Anda di halaman 1dari 10

ANOTASI

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR:

24/Pid/Pra/2018/PN.Jkt.Sel, tanggal 9 April 2018

Dalam Perkara Permohonan Praperadilan Oleh Perkumpulan Masyarakat Anti

Korupsi Indonesia (MAKI) melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana

DOSEN:
Dr. Chairul Huda, SH.,MH

DISUSUN OLEH:
Roli Pebrianto (2017910027)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

TAHUN AKADEMIK 2017/2018


ANOTASI

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR:

24/Pid/Pra/2018/PN.Jkt.Sel, tanggal 9 April 2018

Dalam Perkara Permohonan Praperadilan Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi

Indonesia (MAKI) Melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Oleh: Roli Pebrianto (2017910027)

I. PENGANTAR

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nomor: 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel,

merupakan putusan dalam permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Masyarakat Anti

Korupsi Indonesia (selanjutnya disingkat MAKI) melawan Komisi Pemberantasan

Korupsi (selanjutnya disingkat KPK). Permohonan Praperadilan ini terkait dengan KPK

selaku Termohon yang menangani perkara korupsi Bank Century berlarut-larut dan belum

menetapkan tersangka baru Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk

(sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Budi Mulya) dalam kasus

korupsi terhadap pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan pemberian

bailout untuk Bank Century.

Terkait kasus Bank Century, berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

nomor: 861 K/Pid.Sus/2015 tanggal 8 April 2015, Budi Mulya selaku Mantan Deputi

Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa telah divonis bersalah

dalam kasus skandal suap Bank Century dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun

dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000.000,- (satu miliar rupiah) subsider 8 (delapan) bulan

kurungan.

1
Kemudian, mengenai lembaga praperadilan yang dikenal dalam KUHAP sebagai bagian

dari Pengadilan Negeri, kewenangannya sungguh sangat terbatas. Kewenangan tersebut

diatur secara limitatif dalam Pasal 77 KUHAP yaitu sah atau tidaknya penangkapan,

penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; ganti kerugian dan atau

rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau

penuntutan.

Namun setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, objek

kewenangan praperadilan menjadi lebih luas yakni dapat menentukan sah atau tidaknya

penetapan tersangka seseorang. MAKI sebagai pemohon mengarahkan permohonannya

bahwa karena belum ditetapkannya Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk

sebagai tersangka maka hal ini bertentangan dengan Pasal 5 dan 6 UU KPK, Pasal 25 Tipikor

dan Pasal 50,102,106 KUHAP yang pada intinya diharuskan adanya kejelasan dan proses

yang cepat dalam penanganan tindak pidana korupsi maka hal ini dapat dianggap bahwa KPK

telah melakukan penghentiannya penyidikan. Dalam UU KPK sebenarnya KPK tidak

dibenarkan untuk melakukan penghentian penyidikan maupun penghentian penuntutan

karenanya setiap perkara yang sudah masuk kedalam tahap penyidikan harus dibawa ke

pengadilan.

Terkait dengan kasus dugaan korupsi Bank Century ini KPK pun dalam berbagai

kesempatan menerangkan bahwa KPK terus melanjutkan proses hukum dugaan korupsi Bank

Century namun memang setelah putusan Budi Mulya berkekuatan hukum tetap (inkracht)

nama-nama yang berada dalam dakwaan Budi Mulya yang dikatakan secara bersama-sama

melakukan tindak pidana korupsi yakni Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede

dkk tidak kunjung ditetapkan jadi tersangka hal inilah yang menimbulkan tanda tanya apakah

prosesnya dihentikan atau masih berlanjut. Jika prosesnya dihentikan maka kewenangan

2
lembaga pra peradilan untuk memutuskan bahwa apakah penghentian penyidikan itu sah atau

tidak. 

Selanjutnya dalam putusan praperadilan a quo, Hakim Effendi Mukhtar memerintahkan

KPK untuk melanjutkan proses hukum terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden

Pardede, dkk. Hal ini sebenarnya menandakan bahwa Hakim Effendi Mukhtar menganggap

bahwa dengan belum atau tidak dilanjutkannya proses penyidikan terhadap Boediono,

Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk adalah bentuk penghentian penyidikan.

Penafsiran ini menurut Anator sah-sah saja karena secara akademis penafsiran hukum

merupakan suatu hal yang lazim dilakukan. Akan tetapi, terkait dengan perintah agar KPK

menetapkan Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk sebagai tersangka ini

menurut sebagian kalangan, ahli hukum, dan para akademisi bukan merupakan kewenangan

dari lembaga praperadilan. 

Jika kita dlihat dalam KUHAP Pasal 1 angka 2 jo Pasal 7 sebenarnya yang berhak untuk

melakukan penetapan tersangka adalah murni kewenangan penegak hukum (penyidik) begitu

pun juga terkait dengan perintah untuk membawa perkara tersebut ke pengadilan sebenarnya

hal ini bukan merupakan kewenangan lembaga praperadilan karena kewenangan untuk

melimpahkan kasus ke pengadilan adalah kewenangan penuntut umum sesuai dengan azas

dominus litis.

Lembaga praperadilan memiliki kewenangan yang limitatif sebenarnya tidak boleh

melakukan putusan yang di luar dari kewenangannya karena akan menabrak azas-azas hukum

dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal inilah yang menjadi perdebatan banyak

kalangan dan untuk itu Anator akan melakukan legal annotatation terhadap putusan

praperadilan a quo.

3
II. TENTANG LEGAL STANDING PEMOHON

Berdasarkan ketentuan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP), bahwa “Permintaan untuk memeriksa sah

atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik

atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri

dengan menyebutkan alasannya.” Bahwa dalam perkembangannya, objek Praperadilan tidak

hanya untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan,

melainkan juga termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka. 1 Adapun yang berhak

mengajukan permohonan Praperadilan berdasarkan ketentuan Pasal 80 KUHAP adalah

Penyidik atau Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan.

Adapun yang menjadi fokus Anator ialah mengenai “pihak ketiga yang berkepentingan”.

Mengenai pengertian “pihak ketiga yang berkepentingan” menimbulkan perbedaan

penafsiran dalam penerapan. Ada yang menafsirkan secara sempit hanya terbatas pada saksi

korban tindak pidana atau pelapor. Sebaliknya, muncul pendapat lain, pengertian “pihak

ketiga yang berkepentingan” harus ditafsirkan secara luas, tidak terbatas hanya saksi korban

atau pelapor, tetapi meliputi masyarakat luas yang diwakili oleh Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM).2

Pada dasarnya penyelesaian tindak pidana yang bersangkutan sedemikian rupa, sangat

layak dan proporsional untuk memberi hak kepada masyarakat umum yang diwakili oleh

LSM atau organisasi kemasyarakatan untuk mengajukan kepada Praperadilan atas pengentian

penyidikan atau penuntutan. Kemudian, M. Yahya Harahap menyatakan bahwa:

“...perkataan “pihak ketiga yang berkepentingan” yang dirumuskan dalam Pasal 80


KUHAP, dikategorikan istilah yang mengandung “pengertian luas” (broad term) atau
“kurang jelas pengertiannya” (unplain meaning). Menghadapi rumusan seperti itu,
diperlukan kemampuan untuk menemukan makna yang aktual (to discover the actual
meaning). Cara yang dianggap mampu memberi pengertian yang tepat dan aktual,
1
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 98/PUU-X/2012 tanggal 21 Mei 2013.
2
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Ed. 2, Cet. 10, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.11.

4
mengaitkannya dengan unsur “kehendak pembuat undang-undang” (legislative purpose)
dan “kehendak publik” (public purpose).
Jika tujuan mem-Praperadilankan penghentian penyidikan atau penuntutan untuk
“mengkoreksi” atau “mengawasi” kemungkinan kekeliruan maupun kesewenangan atas
penghentian itu secara horizontal, cukup alasan untuk berpendapat, bahwa kehendak
pembuat undang-undang dan kehendak publik atas penerapan pihak ketiga yang
berkepentingan, meliputi masyarakat luas yang diwakili LSM atau organisasi
kemasyarakatan.”3

Selanjutnya, dalam permohonan Praperadilan a quo, MAKI selaku Pemohon

mendasarkan alasan permohonan tentang Hak dan Kedudukannya “sebagai pihak ketiga yang

berkepentingan” pada Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 98/PUU-X/2012 tanggal 21 Mei

2013, yang Amar Putusannya menyatakan bahwa:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;


1.1 Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya
masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;
1.2 Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor,
lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;

Berdasarkan uraian tersebut, maka MAKI selaku Pemohon yang merupakan lembaga

swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi kemasyarakatan yang bergerak untuk tujuan

pemberantasan korupsi,4 memiliki kualifikasi secara hukum (legal standing) bertindak

sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan” untuk mengajukan permohonan Praperadilan

sebagaimana ketentuan Pasal 80 KUHAP.

Namun pada sisi yang lain, menurut Anator, Hakim juga dapat mempertimbangkan lain

bahwa ada pihak yang seharusnya lebih berkepentingan atau keberatan atas lambatnya

3
Ibid.
4
Hal ini sebagaimana disebutkan pada Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Anggaran Dasar MAKI, yakni untuk
menciptakan Pemerintah yang bersih dan bebas dari KKN dan memberdayakan masyarakat untuk membantu
Pemerintah dalam Pencegahan dan Pemberantasan KKN di NKRI.

5
proses penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh KPK, yakni Budi Mulya yang

telah diputus terbukti secara sah dan menyakinkan bersama-sama melakukan tindak pidana

korupsi, namun nama-nama yang disebut bersama-sama dengan Budi Mulya, yakni

Boediono c.s, belum diperiksa oleh KPK. Hal ini jelas ada perlakuan yang tidak sama (non

equal treetment) yang berdasarkan pada asas equality before the law.

III. TENTANG KEWENANGAN PRAPERADILAN

Pasal 77 KUHAP menyatakan bahwa: “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa

dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan;

b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan

pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Dalam Pasal 79, 80, 81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal pokok:

yaitu:

a. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau


penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya;
b. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan dapat diajukan oleh penyidik, atau penuntut umum, atau pihak ketiga
yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan
alasannya;
c. Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh
tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri
dengan menyebutkan alasannya.5

Dalam permohonan praperadilan a quo, Pemohon mendasari permohonannya (halamn

9 putusan a quo) pada pertimbangan putusan Mahkamah Agung No. 861 K/Pid.Sus/2015

5
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ed. 2. Cet. 4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 190.

6
pada halaman 826 dengan jelas menerima dan membenarkan alasan kasasi yang diajukan

Jaksa Penuntut Umum dan menambahkan pertimbangan:

“Bahwa Terdakwa Budi Mulya selaku Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang
Pengelolaan Moneter dan Devisa melakukan perbuatan melawan hukum secara
bersama-sama dengan pejabat yang nama-namanya disebutkan dalam
Surat Dakwaan Jaksa/Penuntut Umum, Robert Tantular dan Raden Pardede telah
merugikan keuangan negara dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
(FPJP) sebesar Rp.689.394.000.000,00 (enam ratus delapan puluh sembilan milyar tiga
ratus sembilan puluh empat juta rupiah) dan dalam proses penetapan PT. Bank
Century,Tbk sebagai Bank gagal berdampak Sistemik sebesar Rp.6.762.361.000.000,00
(enam trilyun tujuh ratus enam puluh dua milyar tiga ratus enam puluh satu juta rupiah)
sesuai Laporan Hasil Audit Investigasi Badan Pemeriksa Keuangan RI Nomor:
64/LHP/XV/12/2013 tanggal 20 Desember 2013, serta dana PMS (Penyertaan Modal
Sementara) yang dikucurkan sebesar Rp.1.250.000.000.000,00 (satu trilyun dua ratus
lima puluh milyar rupiah) sehingga total berjumlah Rp. 8.012.221.000.000,00 (delapan
trilyun dua belas miliar dua ratus dua puluh satu juta rupiah)”.
Dengan demikian siapapun pejabat lainnya dari Bank Indonesia termasuk Budiono
yang menyetujui penetapan Bank Century sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik
dan persetujuan pengucuran FPJP haruslah dinyatakan sebagai Tersangka dan diproses
ke Pengadilan Tipikor sebagaimana yang sudah terjadi pada Budi Mulya;

Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim Kasasi diatas, maka terdapat perbedaan

perlakuan antara Budi Mulya dengan Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk

yang disebutkan dalam surat dakwaan bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.

Sehingga menurut Anator, wajar bila dikatakan ada perlakuan yang tidak adil, bagaimana

suatu perbuatan yang dilakukan bersama-sama namun yang dipertanggungjawabkan secara

perseorangan (hanya Budi Mulya).

Apabila dilihat putusan praperadilan a quo, menurut beberapa pendapat telah melampaui

wewenang praperadilan. Menurut Anator, justru putusan praperadilan a quo tidak melampaui

wewenang praperadilan. Hal ini dapat dilihat dari tujuan praperadilan adalah tegaknya hukum

dan perlindungan hak asasi manusia. Jika dilihat dalam amar putusan praperadilan a quo yang

berbunyi:

“...2. Memerintahkan Termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai


dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan
tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan
menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk,
(sebagaiman tertuang dalam surat dakwaan atas nama Terdakwa BUDI MULYA)

7
atau melimpahkannya kepada Kepolisian dan atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan
Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan
Tipikor Jakarta Pusat;...

Berdasarkan amar putusan praperadilan a quo jika dilihat dari perspektif hak asasi

manusia, lambatnya proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK kepada Boediono, cs,

menyebabkan ternyadinya pelanggaran HAM terhadap Budi Mulya yang telah terlebih

dahulu dijatuhi pidana selama 15 tahun penjara dan denda 1 miliar subsider 8 bulan kurangan

sebagaimana telah diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia

pada tingkat Kasasi Nomor: 861 K/Pid.Sus/2015 tanggal 8 April 2015, namun sampai tahun

2018, KPK belum menetapkan tersangka baru dalam kasus bailout Bank Century

(sebagaiman dalam dakwaan yang bersama-sama dengan Budi Mulya). Dengan demikian,

sekali lagi menurut Anator, putusan praperadilan a quo masih sejalan dengan tujuan

praperadilan yakni melindungi hak asasi manusia.

IV. TENTANG AKIBAT HUKUM PUTUSAN PRAPERADILAN

Kewenangan untuk melakukan penetapan tersangka sesuai peraturan perundang-

undangan adalah ditangan penyidik dalam hal ini KPK terkait dengan putusan praperadilan

yang memerintahkan agar Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk sebenarnya

perlu dikembalikan pada Penyidik (KPK) yang menangani perkara tersebut karena pada

dasarnya lembaga praperadilan tidak memiliki kewenangan dalam memerintahkan agar

seseorang ditetapkan jadi tersangka. Namun di sisi lain ada kewajiban bagi KPK untuk

mematuhi putusan praperadilan a quo karena dengan alasan apapun putusan pengadilan harus

dipatuhi terlepas putusan ini baik atau kurang baik. 

Hal yang perlu diingat ialah apabila KPK akan melaksanakan putusan praperadilan a

quo, maka perlu diperhatikan terkait alat bukti karena jika alat bukti belum memenuhi syarat

maka tersangka dapat mengajukan pembatalan status tersangkanya melalui praperadilan. Jika

8
KPK tidak dapat melanjutkan proses selanjutnya, maka sebagaimana dalam amar putusan

praperadilan a quo, KPK dapat melimpahkannya kepada Kepolisian dan/atau Kejaksaan

untuk dilanjutkan dengan Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan dalam proses

persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah Anator uraikan sebelumnya, maka Anantor dapat

menyimpulkan bahwa MAKI sebagai Pemohon Praperadilan mempunyai legal standing

sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan,” namun ada pihak yang menurut Anator lebih

berkepentingan yakni Budi Mulya. Budi Mulya dikatakan sebagai pihak yang paling

berkepentingan dalam hal ini karena atas lambatnya proses pemeriksaan yang dilakukan oleh

KPK terhadap Boediono cs sebagaimana tertuang dalam dakwaan Budi Mulya dan Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 861 K/Pid.Sus/2015 tanggal 8 April 2015.

Selain itu, Hakim Praperadilan tidak melampaui wewenang praperadilan. Sebagaimana

tujuan dari praperadilan yakni untuk melindungi Hak Asasi Manusia. Dilihat dari sisi Budi

Mulya, Putusan Praperadilan a quo telah melindungi HAM Budi Mulya akibat tidak adanya

tindak lanjut terhadap Boediono cs sebagaimana dalam dakwaan atas nama Terdakwa Budi

Mulya.

Anda mungkin juga menyukai