Anda di halaman 1dari 4

1.

HAK RETENSI

Ada suatu bentuk lagi yang bukan merupakan hak kebendaan, tetapi pembicaraannya dilakukan
dalam bab mengenai Hukum Benda.

Karena hak ini menunjukkan adanya persamaan/mirip dengan gadai. Sedikit banyak hak retensi
ini juga memberikan jaminan. Hak retensi ini juga bersifat Accessoir.

Jadi ada/tidaknya itu tergantung pada adanya hutang piutang pokok. Dan hutang piutang pokok
itu harus ada pertaliannya dengan benda yang ditahan.

Apa yang dimaksud dengan Hak Retensi : Hak untuk menahan sesuatu benda, sampai suatu
piutang yang bertalian dengan benda itu dilunasi.

Aturan yang umum dalam KUH Perdata mengenai Hak Retensi ini dalam KUH Perdata tidak ada,
melainkan diatur dalam pasal-pasal yang tercerai-berai yaitu dalam pasal-pasal : 567, 575, 576, 579,
834, 715, 725, 1159, 1756, 1616, 1729, 1812 KUH Perdata. Jadi tercerai-berai dalam hal-hal yang
khusus yaitu yang melekat pada : penyewa, pandhouder, bezitter, te goede trouw, lasthebber, buruh
dan lain-lain. Soalnya sekarang Hak Retensi itu adanya apakah hanya terbatas pada hak-hak yang
disebut dalam undang-undang saja, ataukah Hak Retensi itu mungkin juga di luar hal-hal yang
disebutkan dalam undang-undang?

Umumnya para pengarang berpendapat bahwa Hak Retensi itu juga mungkin di luar hal-hal yang
ditetapkan dalam undang-undang.

Bagaimana mungkinnya ini? Ini berdasarkan azas kebebasan mengadakan perjanjian = partij
autonomi, sebagaimana yang dapat disimpulkan dari pasal 1338 KUH Perdata.

Sifat-sifat hak retensi

Tak dapat dibagi-bagi artinya kalau misalnya sebagian saja dari hutang itu yang dibayar, tidak lalu
berarti harus mengembalikan sebagian dari barang yang ditahan. Hutang seluruhnya harus dibayar
lebih dahulu, baru barang seluruhnya dikembalikan. Hak Retensi itu tidak membawa serta hak boleh
memakai, terhadap barang yang ditahan itu, jadi hanya boleh menahan saja tak boleh memakai.

2. KOMPENSASI

Kalau A mempunyai tagihan kepada B, yang kekayaannya tidak cukup untuk menutup semua
hutangnnya terhadap pelbagai krediturnya, maka seandainya B juga mempunyai tagihan balik
terhadap terhadap A, dan kedua-duanya telah sama-sama memenuhi syarat kompensasi, maka
hutang piutang timbal balik antara A dan B, sampai jumlah yang terkecil diantara keduanya, atas
tuntutan salah seorang di antara mereka, demi hukum menjadi hapus (pasal 1425, 1426). Hal itu
berarti, bahwa tagihan A terhadap B, untuk bagian yang dapat dikompensir dengan B, menjadi lunas
– demikian pula sebaliknya – aliasnya untuk bagian tersebut ia tak bersaing dengan kreditur lain
untuk mendapatkan pelunasan. Untuk bagian tersebut seakan-akan hak tagihnya didahulukan.
3. SANDERA

Lembaga tersebut diadakan untuk mencegah kemungkinan kecurangan-kecurangan daripada


debitur dalam upayanya untuk menghindarkan eksekusi yang akan diadakan oleh kreditur. Debitur
bisa menyingkirkan habis dulu barang-barangnya atau pura-pura menjualnya kepada orang lain –
umumnya saudara-saudaranya – sehingga pada waktu kreditur akan melaksanakan eksekusi, tidak
ada lagi barang yang berharga yang tersisa. Untuk mengatasi hal tersebut kreditur – dengan syarat-
syarat tertentu – dapat minta agar debitur disandera (pasal 209 H.I.R. dan selanjutnya). Dengan
dimasukkannya debitur dalam kurungan diharapkan, bahwa ia akan melunasi hutang-hutangnya
dengan barang-barang yang semula disingkirkan.

Jadi sandera merupakan sarana yang secara tidak langsung memberikan jaminan atas hak-hak
kreditur. Tekanan di sini dilakukan melalui persoon kreditur. Namun karena sekarang dianggap
bertentangan dengan perikemanusiaan, maka lembaga sandera, dengan surat Edaran Mahkamah
Agung nomor 82/1964 telah dibekukan.

Beberapa pihak menganggap, bahwa lembaga sandera bertentangan dengan perikemanusiaan –


dan karenanya bertentangan dengan Pancasila – karena dalam hal dilaksanakan penyanderaan,
maka yang menderita lahir batin bukan hanya debitur saja, tetapi seluruh keluarganya, dan lebih
lagi, kalau si kreditur yang kaya – umumnya kreditur relatif kaya – tetap menggunakan sarana
tersebut, sekalipun ia tahu, bahwa debitur – yang umumnya relatif miskin – sudah tidak mempunyai
kekayaan lagi untuk dipakai sebagai pelunasan. Dalam hal demikian lembaga tersebut digunakan
semata-mata untuk menyakiti debitur (balas dendam) dan/atau untuk menekan para anggota
keluarganya untuk – atas dasar belas kasihan – membayar hutang debitur. Dengan demikian ia tak
mencapai tujuannya, bahkan digunakan untuk tujuan yang lain dari tujuannya semula. Apalagi ada
yang berpendapat, bahwa lembaga sandera merupakan produk kolonial yang dipakai sebagai alat
untuk melindungi kepentingan penjajah yang pada umumnya merupakan pihak yang ekonomis kuat
terhadap orang-orang pribumi yang secara ekonomis umumnya lemah dan berkedudukan sebagai
debitur.

Pembekuan lembaga tersebut ternyata membawa akibat yang kurang menguntungkan bagi
kreditur, yang seringkali dalam perkara hanya menang diatas kertas saja dan karenanya dapat
membawa orang tertentu pada kecenderungan untuk menggunakan sarana-sarana fisik yang tidak
semestinya.

Sehubungan dengan apa yang dikatakan di atas, kita perlu ingat akan pasal 3 KUH Perdata
dimana ditentukan, bahwa sistem hukum di negeri kita tidak mengenal adanya ”mati perdata”.

4. PRIVILEGIE

Privilegie ini diatur dalam titel 19 Buku II KUH Perdata. Istilahnya dalam KUH Perdata
sebagaimana yang tercantum dalam kepalanya, yaitu sebagai nama dari titel itu, juga dalam pasal-
pasal tertentu yaitu pasal 1139, 1149 KUH Perdata disebut dengan kata bevoorrechte schuld. Sedang
pada pasal-pasal yang lain ada yang menyebut dengan istilah privilegie.
Pengaturan privilegie dalam buku II ini menurut para pengarang sebetulnya kurang tepat, sebab
privilegie bukan merupakan hak kebendaan, hanya merupakan hak untuk lebih mendahulukan
dalam pelunasan/pembayaran piutangnya. Mengingat sifat-sifatnya privilegie itu maka para
pengarang berpendapat bahwa privilegie itu sebetulnya bisa diatur diluar KUH Perdata yaitu
termasuk dalam hukum acara Perdata, termasuk executierecht. Sebab pentingnya hak untuk lebih
didahulukan itu hanya didalam hal ada executie (pelelangan) dari harta kekayaan debitur. Dan selain
itu juga dalam hal kepailitan.

Sekarang apakah pertimbangannya privilegie itu diatur dalam buku II KUH Perdata sejajar dengan
hak-hak kebendaan ?

Karena privilegie ini sekalipun bukan merupakan hak kebendaan dalam satu dua hal mempunyai
sifat kebendaan juga, dalam satu dua hal menunjukkan sifat droit de suite. Privilegie ini sedikit
banyak memberikan jaminan juga oleh karena itu maka menurut sistem KUH Perdata Privilegie ini
diatur bersama dengan pengaturan pand dan hipotik. Sebagaimana kita ketahui pand dan hipotik itu
kedua-duanya merupakan jaminan kebendaan dan diatur dalam buku II KUH Perdata. Ialah hak-hak
kebendaan yang memberikan jaminan yaitu memberi jaminan terhadap piutang. Jadi privilegie ini
juga merupakan hak yang memberi jaminan tapi bukan merupakan hak kebendaan.

Sekarang bertalian dengan jaminan ini mengenai hubungan antara kreditur dan debitur itu
jaminan umumnya diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.

Pasal 1131 KUH Perdata : Semua barang bergerak dan tak bergerak dari debitur baik yang sudah
ada maupun yang masih akan ada, semuanya menjadi tanggungan bagi perutangan-perutangan
pribadi dari debitur itu.

Pasal 1132 KUH Perdata : Barang-barang itu tadi merupakan jaminan bersama bagi kreditur-
krediturnya; hasil penjualan itu dibagi-bagi antara mereka sama rata menurut imbangan piutangnya
masing-masing, kecuali jika di antara kreditur ada alasan yang sah untuk diutamakan/didahulukan.
Maknanya, semua kreditur itu hak-haknya sama terhadap benda debitur, kecuali jika ada alasan-
alasan yang sah untuk lebih didahulukan.

Pasal 1133 KUH Perdata : Hak yang didahulukan itu timbul dari privilegie, gadai, hipotik.

Kreditur yang hak pelunasannya sama itu disebut kreditur concurent, kreditur yang haknya
dilebih dahulukan/diutamakan disebut kreditur preferent.

Jikalau kreditur ini belum puas dengan jaminan umum ini dus masih merasa kurang – oleh
undang-undang dimungkinkan adanya jaminan khusus. Jaminan khusus ini ada dua macam :

a. Jaminan yang bertalian dengan benda :


1. Gadai, titel 20 Buku II KUH Perdata.
2. Hipotik, titel 21 Buku II KUH Perdata.
b. Jaminan perorangan : Buku III KUH Perdata, jaminan yang berupa kemungkinan adanya orang
lain yang dapat ditagih (di samping debitur sendiri) :
1. Borgtocht-borg ini adalah orang lain yang dapat ditagih.
2. Hoofdelijkheid – serupa dengan tanggung renteng. Hoofdelijkheid ini adalah sifatnya dari
verbintenis.
Privilegie bukan jaminan yang bersifat kebendaan dan bukan jaminan yang bersifat perorangan
tetapi tetap memberi jaminannya juga. Apa bedanya antara hak kebendaan dan privilegie ? Hak
kebendaan itu adalah hak atas sesuatu benda. Sedang privilegie adalah hak terhadap benda – yaitu
terhadap benda debitur. Jika perlu benda itu dapat dilelang untuk melunasi piutangnya.

Sekarang apa yang dimaksud dengan privilegie itu, diatur dalam pasal yang tertentu yaitu pasal
1134 ayat 1 KUH Perdata : Privilegie adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada
kreditur yang satu diatas kreditur lainnya semata-mata berdasarkan sifat dari piutangnya.

Jadi adanya privilegie itu diberikan oleh undang-undang bukan diperjanjikan seperti gadai,
hipotik. Mana yang lebih didahulukan antara privilegie di satu pihak dengan gadai dan hipotik di lain
pihak, ini diatur dalam pasal 1134 ayat 2 KUH Perdata.

Gadai dan hipotik dilebih dahulukan daripada privilegie kecuali jika ditentukan lain oleh undang-
undang (lihat pasal 1139 ayat 1, 1149 ayat 1 KUH Perdata). Antara gadai dan hipotik tak pernah ada
persoalan mana yang harus didahulukan sebab gadai itu mengenai benda bergerak, hipotik benda
tetap. Privilegie ini ada dua macam :

- Pasal 1149 KUH Perdata : Privilegie umum, yaitu privilegie terhadap semua harta benda dari
debitur. Ini ada 7 macam, lihat contoh-contohnya dalam pasal tersebut.
- Pasal 1139 KUH Perdata : Privilegie khusus yaitu hak didahulukan terhadap benda-benda
tertentu dari debitur. Ini ada 9 macam, lihat contoh-contohnya dalam pasal tersebut.

Pasal 1138 KUH Perdata : Privilegie yang khusus ini dilebih dahulukan dari privilegie yang umum.

Privilegie yang umum menentukan urutannya. Yang lebih dahulu disebut, juga didahulukan dalam
pelunasannya, Privilegie yang khusus – tidak menentukan urutannya. Meskipun disebut berturut-
turut tapi tidak mengharuskan adanya urutan.

Selanjutnya mengenai privilegie ini ada satu hal lagi yang harus diingat yaitu adanya
matigingsrecht daripada hakim. Yaitu adanya kewenangan daripada hakim untuk menentukan
jumlah yang sepatutnya. Mengurangi sampai jumlah yang pantas, mengingat kepentingan kedua
belah pihak. Menjaga agar para pihak tidak bertindak semaunya sendiri untuk mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya. Matigingsrecht ini juga kita dapati dalam ketentuan-ketentuan hukum kerja
misalnya pasal 1601 KUH Perdata.

Dalam hal apa privilegie ini mempunyai arti yang penting ? Privilegie mempunyai arti penting
dalam hal debitur jatuh pailit atau dalam hal executie dari harta kekayaan debitur.

Anda mungkin juga menyukai