Anda di halaman 1dari 18

Tugas makalah: Dosen Pengampuh:

Hukum Bisnis Syed Agung Afandi, S.Ip., M.Ip

HUKUM PERIKATAN

Disusun Oleh Kelompok III:

Merry Atika Komala Sari (11870124290)

Puteri Ramadani (11870122093)

Yeni Rahmayana (11870123752)

JURUSAN MANAJEMEN S1

FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

PEKANBARU

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT yang telah mencurahkan segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum
Perikatan”.
Penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak.
Untuk itu pada kesempatan kali ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Syed Agung Afandi, S.Ip., M.Ip yang telah membimbing serta menugaskan
saya dalam pembuatan makalah ini, yang Alhamdulillah menambah bekal serta ilmu yang sangat
berguna untuk penulis atau pembaca nantinya, aamiin aamiin yaa rabbal a’lamin.
Semoga segala bimbingan, bantuan dan dukungan yang telah di berikan dibalas oleh Allah
SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik dari segi isi maupun penyajiannya.Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak sangat diharapkan. Selanjutnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca khususnya bagi penulis. Aamiin

Pekanbaru, 05 April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................ 2
C. Tujuan.............................................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Perikatan........................................................................................... 3


B. Pengaturan Perikatan....................................................................................................... 4
C. Unsur-Unsur Perikatan..................................................................................................... 5
D. Macam-Macam Perikatan................................................................................................ 5
E. Hapusnya Suatu Perikatan............................................................................................... 9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...................................................................................................................... 14
B. Saran................................................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang-orang yang tidak sadar bahwa setiap harinya
mereka melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli suatu barang atau menggunakan jasa
angkutan umum, perjanjian sewa-menyewa hal-hal tersebut merupakan suatu perikatan.
Perikatan di Indonesia di atur pada buku ke III KUHP Perdata. Dalam hukum perdata banyak
sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Didalam
perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian,
perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang di atur undang-undang atau tidak, inilah
yang di sebut dengan kebebasan berkontrak dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal
dan tidak melanggar hukum sebagaimana yang telah di atur dalam undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Yang
di maksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang
sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan perikatan untuk tida berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan
tertentu yang telah di sepakati dalam perjanjian. Dalam membuat perjanjian atau kontrak
sangat di perlukan pemahaman akan ketentuan-ketentuan hukum perikatan. Selain itu juga di
perlukan keahlian para pihak dalam pembuatan kontrak agar terhindar dari sengketa atau
perselisihan yang sulit untuk di selesaikan.
Dalam masyarakat banyak terjadi pinjam meminjam barang yang para pihak sudah
menentukan batas waktu pelunasan hutang, namun ternyata debitur/si berutang tidak dapat
membayar hutang sebagaimana yang telah di perjanjikan dengan bermacam-macam alasan,
yang antara lain dagangannya tidak laku, perubahan nilai uang rupiah tidak menentu.
Keadaan debitur yang tidak dapat melunasi hutangnya bukan karena faktor overmatch, maka
debitur dapat dinyatakan wanprestasi.Setiap perikatan selalu ada prestasi yang harus
terpenuhi yang merupakan hakekat dari perikatan itu sendiri. Prestasi menurut pasal 1234
KUH perdata ada tiga jenis yaitu memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang konsep perikatan dan hal-hal yang
terkait di dalamnya sampai dengan berakhirnya atau terhapusnya suatu perikatan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan perikatan?
2. Apa saja pengaturan perikatan itu?
3. Apa saja unsur-unsur perikatan itu?
4. Apa saja macam-macam perikatan itu?
5. Bagaimana suatu perikatan itu berakhir atau terhapus?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang di maksud dengan perikatan.
2. Mengetahui apa saja pengaturan perikatan itu.
3. Mengetahui apa saja unsur-unsur perikatan itu.
4. Mengetahui apa saja macam-macam perikatan itu.
5. Mengetahui dan memahami bagaimana suatu perikatan itu berakhir atau terhapus.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perikatan
Perikatan berasal dari bahasa Belanda “Verbintenis” atau dalam bahasa Inggris
“Binding”. Verbintenis berasal dari perkataan bahasa Perancis “Obligation” yang terdapat
dalam “code civil Perancis”, yang selanjutnya merupakan terjemahan dari kata “Obligation”
yang terdapat dalam Hukum Romawi “Corpusioris Civilis”.
Menurut Hofmann, perikatan atau “Verbintenis” adalah suatu hubungan hukum antara
sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu, seseorang mengikatkan
dirinya untu bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas
sikap yang demikian itu1. Sedangkan menurut Pitlo, perikatan adalah suatu hubungan hukum
yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu
berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
Dari pengertian di atas, perikatan (verbintenis) adalah hubungan hukum (rechtsbetreking)
oleh hukum itu sendiri di atur dan di sahkan cara penghubungannya. Oleh karena itu
perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan (person) adalah hal-hal
yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Hubungan hukum dalam perjanjian
bukan merupakan suatu hubungan yang timbul dengan sendirinya, akan tetapi hubungan
yang tercipta karena adanya “tindakan hukum” (rechtshandeling). Tindakan atau perbuatan
hukum yang di lakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian,
sehingga terdapat satu pihak di beri hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi,
sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri di bebani dengan kewajiban untuk
menunaikan prestasi2.
Subekti memberikan definisi dari perikatan sebagai suatu hubungan antara dua orang atau
dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut3.

B. Pengaturan Perikatan
1
L.C. Hoffman, sebagaimana di kutip dari R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin,
1999, hal. 2.
2
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 7.
3
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Low, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996,
hal. 26.

3
Hukum Perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata. Hukum Perikatan ialah
keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang perikatan. Pengaturan tersebut meliputi
bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum membuat peraturan-peraturan yang berlaku
bagi perikatan pada umumnya. Sedangkan bagian Khusus membuat peraturan-peraturan
mengenai perjanjian-perjanjian bernama yang banyak dipakai dalam masyarakat.

1. Bagian Umum meliputi : Bab I, Bab II, Bab III (hanya pasal 1352 dan 1353) dan Bab IV,
yang berlaku bagi perikatan pada umumnya.
2. Bagian Khusus meliputi : Bab III ( kecuali pasal 1352 dan 1353), Bab V s/d Bab XVIII,
yang berlaku bagi perjanjian- perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya
dalam bab-bab yang bersangkutan.
Pengaturan hukum Perikatan dilakukan dengan sistem terbuka, artinya setiap orang boleh
mengadakan perikatan apa saja baik yang belum di tentukan namanya dalam undang-undang.
Tetapi keterbukaan ini dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang tidak
bertentangan dengan kesusilaan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233KUH Perdata menentukan
bahwa perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Dalam
perikatan yang timbul karena perjanjian, kedua pihak debitur dan kreditur dengan sengaja
bersepakat saling mengingatkan diri, dalam perikatan dimana kedua pihak mempunyai hak
dan kewajiban yang harus di penuhi. Pihak debitur wajib memenuhi prestasi dan pihak
kreditur berhak atas prestasi.
Dalam perikatan yang timbul karena undang-undang, hak dan kewajiban debitur dan
kreditur di tetapkan oleh undang-undang. Pihak debitur dan kreditur wajib memenuhi
ketentuan undang-undang. Undang-undang mewajibkan debitur berprestasi sedangkan
kreditur berhak atas prestasi. Kewajiban ini disebut kewajiban undang-undang, jika
kewajiban tidak dipenuhi, berarti pelanggaran undang-undang.
Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang timbul karena undang-undang diperinci
menjadi dua, yaitu perikatan yang timbul semata-mata karena ditentukan oleh u dang-undang
dan perikatan yang timbul karna perbuatan orang. Perikatan yang timbul karena perbuatan
orang dalam pasal 1353 KUH Perdata diperinci lagi menjadi perikatan yang timbul dari
perbuatan menurut hukum (onrechtmatige daad). 4
4
Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: PT Alumni, 2006, hal. 195

4
C. Unsur-unsur Perikatan
Perikatan mengandung 4 unsur, yaitu5:
1. Hubungan hukum, ialah hubungan yang terhadapnya hukum meletakkan “Hak” pada 1
(satu) pihak dan meletakkan “kewajiban” pada pihak lainnya.
2. Kekayaan, yang di maksud dengan kriteria perikatan adalah ukuran-ukuran yang di
pergunakan terhadap sesuatu hubungan hukum, sehingga hubungan hukum itu dapat di
sebut suatu perikatan. Untuk menentukan apakah suatu hubungan itu merupakan
perikatan, sekalipun hubungan itu tidak dapat di nilai dengan uang, akan tetapi
masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan hukum itu di beri akibat
hukum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan6.
3. Pihak-pihak atau di sebut sebagai subyek perikatan adalah bahwa hubungan hukum harus
terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi atau pihak yang aktif
adalah pihak kreditur atau yang berpiutang, sedangkan pihak yang wajib memenuhi
prestasi adalah pihak pasif yaitu debitur atau yang berutang.
4. Prestasi atau dapat juga kontra prestasi (tergantung dari sudut pandang pelaksanaan
prestasi tersebut) adalah macam-macam pelaksanaan dari perikatan dan menurut
ketentuan pasal 1234 KUH Perdata, di bedakan atas memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.

D. Macam-macam Perikatan
1. Perikatan Murni (Bersahaja)
Apabila di dalam suatu perikatan masing-masing pihak terdiri atas hanya satu orang
saja, sedangkan yang di tuntut juga berupa satu hal saja dan penuntutannya dapat di
lakukan seketika maka perikatan semacam ini di sebut Perikatan Murni (Bersahaja)
Soebekti, 1979:4).7.
2. Perikatan Bersyarat
Suatu perikatan adalah bersyarat mana kala ia di gantungkan pada suatu peristiwa
yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik dengan cara
5
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni,
Bandung, Edisi Kedua, Cetakan 1, 1996, hal. 1-9
6
Hardijan Rusli,Loc. Cit. Hal-26
7
Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan,Jawa timur, 2015,hal .7.

5
menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun dengan cara
membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadi peristiwa tersebut (pasal 1253
KUH Perdata).
Kata “syarat” dalam rumusan tersebut di artikan “peristiwa” yang masih akan datang
dan belum tentu akan terjadi. Kerapkali perikatan bersyarat di lawankan dengan perikatan
murni, yaitu perikatan yang tidak mengandung syarat. Adanya peristiwa (syarat) di dalam
perikatan tidak memerlukan pernyataan (tegas) dari para pihak. Sudah di anggap ada
syarat dalam suatu perikatan, bila dari keadaan dan tujuan perikatan itu terlihat dan
ternyata adanya syarat itu. Syarat ini di sebut “syarat diam”(Badrulzaman, 1995: 47)8.
Mengingat syarat (peristiwa) dalam ketentuan pasal tersebut, maka terdapat dua
macam perikatan bersyarat, yaitu:
a. Perikatan Bersyarat Tangguh adalah perikatan yang lahir apabila peristiwa yang di
maksud itu terjadi. Misalnya, saya berjanji untuk menyewakan rumah saya, kalau saya
betul di pindahkan keluar Jakarta. Jadi, perikatan itu terjadi bila betul saya di
pindahkan keluar Jakarta. Dalam perjanjian jual beli, di bolehkan menyerahkan
harganya kepada perkiraan seorang pihak ketiga dan bila piha ketiga itu tidak mampu
membuat perkiraan tersebut maka tidaklah terjadi pembelian. Jual beli semacam ini
tergolong perikatan dengan syarat tangguh
b. Perikatan Bersyarat Batal adalah perikatan yang sudah lahir, justru berakhir atau di
batalkan bila peristiwa yang di maksud terjadi. Misalnya, saya menyewa rumah
kepada Ali, dengan ketentuan bahwa perikatan akan berakhir kalau anak saya yang
berada di luar negeri kembali ke tanah air. Jadi, perikatan (persewaan) itu akan
berakhir secara otomatis kalau anak saya kembali ke tanah air.
3. Perikatan dengan Ketetapan Waktu
Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya
menangguhkan pelaksanaannya ( pasal 1268 KUH Perdata). Perikatan dengan ketetapan
waktu bertolak belakang dengan perikatan bersyarat. Karena yang di sebutkan
belakangan itu mengandung peristiwa yang belum pasti terjadi, sedangkan yang di
sebutkan sebelumnya mengandung peristiwa yang telah pasti terjadi, hanya saja
pelaksanaannya, yang di tangguhkan. Misalnya, pengaksepan surat wesel yang hari

8
Ibid. Hal.8.

6
bayarnya di tetapkan pada tanggal tertentu atau satu bulan sesudah pengaksepan. Contoh
lain lagi, saya menjual sawah saya kalau sudah panen atau menjual sapi saya kalau sudah
beranak.
Dalam perikatan dengan ketetapan waktu, kreditur tidak berhak untuk menagih
pembayaran sebelum waktu yang di janjikan itu tiba. Oleh karena itu, perikatan dengan
ketetapan waktu selalu di anggap di buat untuk kepentingan debitur, kecuali sifat dan
tujuan perikatan itu sendiri, ternyata ketetapan waktu tersebut di buat untuk kepentingan
kreditur (Pasal 1264 jo. Pasal 1270 KUH Perdata).
4. Perikatan Manasuka
Perikatan semacam ini diatur dalam Pasal 172 KUH Perdata yang berbunyi: “Dalam
perikatan-perikatan manasuka si berutang di bebaskan jika ia menyerahkan salah satu
dari dua barang yang di sebutkan dalam perikatan, tetapi ia tida dapat memaksa si
berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang lain”.
Menurut Badrulzaman (1995:60), perikatan manasuka dapat berubah menjadi
perikatan murni (bersahaja) dengan beberapa cara, yaitu:
a. Bila salah satu dari barang yang di janjikan tidak dapat menjadi pokok perikatan
(Pasal 1274 KUH Perdata).
b. Bila salah satu dari barang-barang yang di janjikan itu hilang atau musnah (Pasal
1275 KUH Perdata)
c. Bila salah satu dari barang-barang yang di janjikan karena kesalahan si berutang tidak
lagi dapat di serahkan (Pasal 1275 KUH Perdata).
Bila kedua barang itu hilang dan debitur salah tentang hilangnya salah satu barang itu,
ia harus membayar harga barang yang hilang paling akhir. Bila hak memiliki di serahkan
kepada kreditur dan hanya salah satu barang saja yang hilang, sedangkan kesalahan tidak
ada pada pihak debitur maka kreditur harus mendapat barang yang masih ada.
Bila salah satu barang hilang karena kesalahan debitur maka kreditur dapat menuntut
penyerahan barang yang masih ada atau harga barang yang telah hilang. Bila kedua
barang telah musnah dan kesalahan ada pada debitur maka kreditur dapat menuntut
pembayaran harga salah satu barang tersebut menurut pilihannya (Pasal 1276 KUH
Perdata).
5. Perikatan Tanggung Menanggung (Tanggung Renteng)

7
Perikatan tanggung menanggung terjadi ketika di salah satu pihak terdapat beberapa
orang. Dalam hal di pihak debitur terdiri atas beberapa orang (ini yang lazim), di kenal
dengan sebutan “Perikatan tanggung menanggung aktif”, sedangkan bila sebaliknya di
pihak kreditur terdiri atas beberapa orang di sebut “Perikatan tanggung menanggung
pasif” (Pasal 1260 KUH Perdata).
Dalam hal perikatan tanggung menanggung aktif, maka tiap-tiap kreditur berhak
menuntut pembayaran seluruh utangnya. Sebaliknya pembayaran yang di lakukan oleh
salah seorang debitur, membebaskan debitur-debitur lainnya. Begitu juga pembayaran
yang di lakukan seorang debitur kepada seorang kreditur membebaskan debitur terhadap
kreditur lainnya.
Bila debitur berhadapan dengan beberapa kreditur maka terserah kepada debitur
untuk memilih apakah ia akan membayar utangnya kepada kreditur yang satu atau kepada
kreditur lainnya ( Pasal 1279KUH Perdata).
Dalam hukum perjanjian ada suatu aturan, bahwa tiada suatu perikatan dianggap
tanggung-menanggung, kecuali hal itu di nyatakan (di perjanjikan) secara tegas, ataupun
di tetapkan oleh undang-undang.9
6. Perikatan Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dapat di bagi atau tidak dapat di bagi semata-mata menyangkut soal
peristiwanya, apakah dapat di bagi atau tidak. Misalnya, perikatan untuk menyerahkan
sejumlah barang (hasil bumi merupakan perikatan yang dapat di bagi, sedangkan
menyerahkan seekor kuda merupakan perikatan tidak dapat di bagi).

Mengenai dapat atau tidak dapat di bagi suatu perikatan, barulah mempunyai arti
bahwa perikatan itu terdiri atas lebih dari seorang debitur. Oleh karena itu bila suatu
perikatan hanya terdiri dari seorang debitur maka perikatan itu harus di anggap tidak
dapat di bagi, walaupun prestasinya dapat di bagi.

Tiada seorang debitur pun dapat memaksakan krediturnya menerima pembayaran


utangnya sebagian, meskipun utang itu dapat di bagi-bagi (Pasal 1390 KUH Perdata).
7. Perikatan dengan Ancaman Hukuman

9
Ibid, hal.12-13

8
Perikatan dengan ancaman hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian rupa, dengan
mana seorang untuk jaminan pelaksanaan suatu perikatan di wajibkan melakukan sesuatu
manakala perikatan itu tidak di penuhi (Pasal 1304 KUH Perdata).
Menurut Subekti (1995: 11), penetapan hukuman ini di maksudkan sebagai
penggantian kerugian yang di derita oleh si berpiutang, karena tidak di penuhinya atau di
langgarnya perjanjian.
Selanjutnya dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1304 KUH Perdata mempunyai dua
maksud, yaitu:
a. Untuk mendorong (menjadi cambuk) si berutang supaya ia memenuhi kewajibannya.
b. Untuk membebaskan si berpiutang dari pembuktian tentang jumlah atau besarnya
kerugian yang di deritanya. Misalnya, saya berjanji dengan pemborong untu
mendirikan sebuah rumah yang harus selesai pada tanggal 31 Desember 2012 dengan
ketentuan bahwa si pemborong akan di kenakan denda Rp. 1.000.000 per bulan untuk
setiap keterlambatan.
Sedangkan menurut Badrulzaman (1995: 74), maksud ancaman dalam pasal 1304
KUH Perdata itu adalah:
a. Untuk memastikan agar perikatan itu benar-benar di penuhi.
b. Untuk menetapkan jumlah ganti rugi tertentu, apabila terjadi wanprestasi dan
menghindari pertengkaran tentang hal itu.10

E. Hapusnya Suatu Perikatan

Percincian tentang hapusnya perikatan disebutkan dalam pasal 1381 KUH perdata, yaitu
karna pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang
hendak dibayarkan suatu tempat perubahan hutang, kompensasi atau perhitungan hutang
hutang timbal bali, pencampuran, pembebasan hutang, hapusnya barang yang dimaksud
dalam perjanjian, akibat berlakunya suatu syarat dan waktu.

Menurut Sebekti 2010: 152 perincian yang disebutkan dalam pasal 1381 KUH perdata
tidaklah lengkap karna melupakan hapusnya perikatan akibat lewatnya ketetapan waktu dan
dalam suatu perjanjian. Kecuali itu juga dilakukan bahwa perikatan bisa dihapus dengan

10
Ibid, Hal.15.

9
beberapa cara yang khusus yang ditetapkan terhadap perikatan misalnya perjanjian matschap
atau lasgeving dalam hal meninggalnya atau menjadi kurandus seorang anggota atau
menjadi valid yang memberi perintah.

1. Pembayaran
Apabila suatu perjanjian sidah dilaksanakan makan tercapailah tujuan kedua belah
pihak dan hapuslah perjanjian itu artinya, terputuslah hukum diantara meraka yang
membuat perjanjian itu.
Dalam hal ini dimaksud pembayaran oleh undang-undang adalah pelaksanaan atau
pemenuhan setiap perjanjian secara sukarela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi
(Subekti,2010 hlm 152). Jadi undang-undang tidak hanya merujuk pada penyerahan uang
saja, tetapi juga penyerahan tiap barang menurut perjanjian yang disebut pembayaran.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penitipan(Consignate)
Jenis pembayaran seperti ini diatur dalam pasal 1404-1412 KUH perdata pasal 1404
KUH perdata menyatakan bahwa:
“jika si berpiutang menolak, maka siberutang dapat menolak, maka siberutang dapat
melakukan penawaran pembayaran tunai apa yang dilakukan nya, dan jika si berpiutang
menolak nya,penitipan uang dan barang nya kepadapengadilan. Penawaran yang
demikian diikuti dengan penitipan , membebaskan si pengutang dengan cara menurut UU
sedangkan apayang dititipkan secara itu tetap atas tangguan si berpiutang”11
Cara pembayaran diatas dapat menolong si berpiutang tidsk suka menerima pembayran.
Penawaran pembayaran tunai itu terjadi, apabila dalam siati perjanjian kreditur tidak
bersedia menerima prestasi yang dilakukan oleh debitnya.
Supaya penawaran pembayaran tunai dapat dikatakan sah pasal 1405 KUH perdata
menetapkan syarat syarat sebagai berikut;
a. Bahwa ia dilakukan kepada seseorang berpiutang atau kepada seseoarang berkuasa
menerimanya untuk itu
b. Bahwa ia dilakukan oleh seseorang yang berkuasa membayar
c. Bahwa ia mengenai semua uang pokok dan bunga yang dapat ditagih beserta biaya
yang telah ditetakan, dengan tidak mengurangi penetapan kemudian
d. Bahwa ketetapan waktu telah tiba, jika itu dibuat untuk kepentiangan si berpiutang
11
Ibid, Hal.132-139

10
e. Bahwa syarat dengan nama berpiutang telah dibua, telah terpenuhi
f. Bahwa penawaran telah ditetspkan dimana menurut persetujuan pembayarsn harus
dilakukan, dan jika tiada suatu persetujuan khusu mengenai itu, kepada si
berpiutangprobado atau ditempat tinggal yang telah dipilihnya
g. Bahwa penawaran itu dilakukan oleh seorang notaris atau juru bicara.
Tata cara diatas dilakukan leh notaris atau juru sita dan disertai oleh dua orang saksi .
Apabila prosedur tersebut juga ditolak oleh kreditor, maka debitur dapat gugat
kreditor di pengadilan negri dengan permohonan agar penawaran tersebut dikatakan
sah.
Supauay penitipan dikatakan sah tidak diperkukan oleh penguasaan hakim, cukuplah:
a. Bahwa penyimpanan itu didahului oleh suatu keterangan yang diberitshuksn
kepada si berpiutang, yang memuat penujukan hari, jam dan ditempat diamana
barang yang akan ditawarkan atau dititipkan
b. Bahwa si berutang telah melepaskan barang yang ditawarkan dengan menitipkan
nya kepada kas penyimpanan atau penitipan pengadilan yang jika ada perselisihan
atau mengendalinya disertai dengan bunga sampai hari penitipan.
c. Notrais atau juru sita kedua nya diseertai dengan dua orang saksi dan dibuat
sepucuk pemberitaan yang menerangkan wujudnya, mata uang yang ditawarkan,
atau bahwa ia tidak datang untuk menerimanya dan akhirnya tentang dilakukan
nya penyimpanan sendiri
d. Bahwa ika si berpiutang tidak datang untuk menerimanya pemberitaan
penyimpanan atau diberitahukan kepada nya, dengan pperingatan untuk
mengambil apa yang telah ditetapkan.
Semua biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran
tunai dan penyimpanan dipikul oleh si kreditur( pasal 1407 KuH) PERDATA.
3. Pembaharuan utang (Novasi)
Pembaruan utang atau novasi adalah suatu perbuatan perjanjian baru yang
menghapuskan suatu perikatan lama, sambil meletakan suatu perikatan baru ( subekti,
2010; 156).

11
Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa pembaharuan utang atau novasi ialah
suatu perjanjian yang dengan itu suatu perjanjian yang suah ditiadakan dan sekaligus
dijadikan sebuah perjanjian yang baru ( Sri soedewi mascheon sofwan, 1980;99) .
4. Perjumpaan utang (Kompensasi)
Apabila seorang berutang, mempunyai juga utang kepada si berpiutang, sehingga
kedua orang itu sama sama berhak untuk menagih piutang satu kepada yang lainnya,
maka utang piutang kedua orang itu dapat di perhitungkan untuk suatu jumlah yang sama
(Subekti,2010;157).
Menurut wirjono prodjodikoro (2011;143), perjumpaan  utang atau kompensasi
adalah akibat dari suatu kedaaan diamana A berutang kepada B, ketika itu juga A
mempunyai piutang kepada B. Dengan kata lain pada suatu waktu A adalah kreditur
sekaligus Debitur dari B.
5. Percampuran utang
Percampuran utang itu terjadi demi hukum, seperti yang disebutkan dalam pasal 1436
KUH perdata, yang berbunyi
“Apabila kedudukan seorang yang berpiutang dan orang berutang berkumpul pada suatu
percampuran utang, dengan nama piutang dihapuskan”
Menurut Mariam darus badrulzaman (1996-186), percampuran utang adalah
percampuran kedudukan (kreditur) dari partai partai yang mengadakan perjanjian,
sehingga kualitas sebagai kreditur menjadi satu dengan kualitas dri debitur. Dalam hal ini
demi hukum hapuslah perikatan yang semula ada diantara kedua belah pihak tersebut.
6. Pembebasan utang
Menurut Mariam darus badrulzaman (1996:186), yang dimaksud dengan pembebasan
utang ialah pernyataan kehendak dari krebitur untuk membebaskan debitur dari perikatan
dan pernyataan kehendak tersebut diterima oleh debitur.
Menurut pakar lain seperti subekti (2010;159), pembebasan utang adalah suatu
perjanjian baru dimanasi berpiutang dengan sukarela membebaskan si berutang dari
segala kewajibannya. Perikatan utang piutang itu ialah telah hapus karena pembebasan,
kalau pembebasan itu diterima dengan baik oleh siberutang, karena adakalanya seorang
yang berutang tidak suka dibebaskan dari utangnya.
7. Musnahnya barang yang terutang

12
Bila mana barang yang menjadi objek dari suatu perikatan musnah, tidak dapat lagi
diperdagangkan atau hilang. Dalam hal ini pasal 1444 KUH Perdata menyatakan bahwa
untuk perikatan sepihak dalam keadaan demikian hapuslah perikatannya asal
barang itu musnah atau hilang diluar salah nya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkan
nya (Mariam Daruz Badrukzaman, 1996;190).
8. Kebatalan dan pembatalan
Perjanjian yang diikat oleh pihak yang tidak cakap dinyatakan batal, hal ini diatur
dalam pasal 1446 KUH perdata yang menytakan bahwa;
“ Semua perikatan yang dibuat oleh orang orang yang ditaruh dibawah pengampuan
adalah hukum, dan atas penuntutuan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka harus
dinyatakan batal, semata mata atas dasar sebelum dewasa atau atas pengmpunan nya”
Adapun UU yang menentukan jangka waktu tuntutan pembatalan harus diajukan 5
tahun yang dimulai berlaku;
a. Dalam hal belum dewasa, sejak hari kedewasaan
b. Dalam halnya pengampuan, sejak hari pencabutan pengampuan
c. Dalam halnya paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti
d. Dalam halnya kekhilafan atau penipuan
e. Dalam hal kebatalan yang tersebut dalam pasal 1341 KUH Perdata,sejak hari
diketahuinya bahwa kesadaran yang diberlakukan untuk pembatalan itu.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1265 KUH perdata bahwa apabila syarat batal
telah dipenuhi maka segala sesuatu kembali ke keadaan semula.12

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum Perikatan (verbintenis) adalah hubungan hukum (rechtsbetreking) oleh hukum itu
sendiri di atur dan di sahkan cara penghubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang
12
Ibid. Hal 154-156

13
mengandung hubungan hukum antara perorangan (person) adalah hal-hal yang terletak dan
berada dalam lingkungan hukum. Hubungan hukum dalam perjanjian bukan merupakan
suatu hubungan yang timbul dengan sendirinya, akan tetapi hubungan yang tercipta karena
adanya “tindakan hukum” (rechtshandeling). Tindakan atau perbuatan hukum yang di
lakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga
terdapat satu pihak di beri hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak
yang lain itupun menyediakan diri di bebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.
Hukum Perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata. Hukum Perikatan ialah
keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang perikatan. Pengaturan tersebut meliputi
bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum membuat peraturan-peraturan yang berlaku
bagi perikatan pada umumnya. Sedangkan bagian Khusus membuat peraturan-peraturan
mengenai perjanjian-perjanjian bernama yang banyak dipakai dalam masyarakat.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah di atas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan
makalah dalam kesimpulan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Yahya, M Harahap. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian.Bandung: PT.Alumni.


Rusli, Hardijan. 1996. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Low. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

14
Hoffman,L.C. 1999. sebagaimana di kutip dari R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan.
Putra Abardin.
Syahrani, Riduan. 2006. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT Alumni.
Darus, Mariam Badrulzaman. 1996. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan
Penjelasan. Bandung: PT Alumni.
Oka, Ketut Setiawan. 2015. Hukum Perikatan. Jawa timur: Sinar Grafika.

15

Anda mungkin juga menyukai