Anda di halaman 1dari 35

Kegiatan Belajar 1

PENDAHULUAN
A. PERISTILAHAN DAN PENGERTIAN

Banyak istilah yang digunakan untuk tenaga kerja seperti: pekerja, tenaga kerja,
karyawan dan tenaga kerja. Buruh merupakan peninggalan zaman feodal dimana orang
melakukan pekerjaan manual atau pekerjaan manual seperti kuli, perajin yang melakukan
pekerjaan berat dan kotor, yang lebih dikenal dengan sebutan kerah biru.

Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan/jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan
pemerintah berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Tenaga kerja dan pekerja dapat ditemukan dalam UU Ketenagakerjaan no. 13 Tahun 2003.
Pegawai lebih banyak digunakan untuk orang yang bekerja di lembaga negara misalnya
pegawai Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, tidak hanya pekerja di “UIN
SUSKA RIAU”. Tenaga kerja banyak digunakan dalam bidang manajemen karena manusia
“termasuk tenaga kerja/buruh” merupakan salah satu faktor produksi.

Dalam berbagai seminar yang telah diadakan di Indonesia, sering kali diperdebatkan istilah
yang seharusnya digunakan, apakah istilah buruh, buruh atau pekerja, namun tidak ada satu
pendapat yang seragam mengenai hal ini. Sementara itu, Kementerian Tenaga Kerja
menggunakan istilah “pekerja” untuk menggantikan istilah “tenaga kerja”.

Menurut hemat penulis, istilah “tenaga kerja” harus digunakan, karena didukung oleh
undang-undang yang mengaturnya yaitu Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun
2003. Hal ini juga sesuai dengan Kementerian yang mengatur dan mengawasinya yaitu
Kementerian Tenaga Kerja. Demikian pula pelajaran yang diberikan di berbagai Fakultas
Hukum di Indonesia menggunakan nama Hukum Ketenagakerjaan.

Istilah majikan biasanya ditujukan untuk orang-orang yang melakukan pekerjaan halus dan
berpangkat Belanda pada waktu itu, seperti juru tulis, komisaris yang memiliki jabatan
sebagai pegawai, bangsawan atau majikan/karyawan. Istilah majikan dapat ditemukan dalam
undang-undang yang lama, yaitu: Undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan no. 22 Tahun 1957. Tenaga kerja adalah setiap orang yang bekerja pada pemberi
kerja dengan menerima upah (Pasal 1 ayat 1 (1a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957.
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan untuk menghasilkan
barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan
masyarakat (Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2003) Pekerja/Buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 3 UU
No. 2003 Pemberi kerja adalah orang atau badan hukum yang mampu mempekerjakan
pekerja (Pasal 1 ayat (1b) UU No. 22 Tahun 1957.

Sedangkan istilah wirausaha dapat dilihat dalam UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. 3
Tahun 1992, dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 Tahun 2002, dan dalam UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Perusahaan dapat ditemukan dalam UU Jaminan Sosial
Tenaga Kerja no. 3 Tahun 1992, dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 Tahun 2000,
dan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.

entrepreneur adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum:

Yang menjalankan perusahaan milik sendiri. Mereka yang secara mandiri menjalankan
perusahaan bukanlah milik mereka sendiri.

Yang berada di wilayah Indonesia merupakan perusahaan milik sendiri atau bukan milik
yang berkedudukan di Indonesia (Pasal 1 angka 5 UU No. 13 Tahun 2003).

Istilah majikan biasanya ditujukan untuk orang-orang yang melakukan pekerjaan halus dan
berpangkat Belanda pada waktu itu, seperti juru tulis, komisaris yang memiliki jabatan
sebagai pegawai, bangsawan atau majikan/karyawan. Istilah majikan dapat ditemukan dalam
undang-undang yang lama, yaitu: Undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan no. 22 Tahun 1957.

Tenaga kerja adalah setiap orang yang bekerja pada pemberi kerja dengan menerima upah
(ayat 1 (1a) ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957. Tenaga kerja adalah setiap orang
yang dapat melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sendiri. kebutuhan atau untuk memenuhi kebutuhannya sendiri untuk
kebutuhan masyarakat (ayat 2 Pasal 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003)
Pekerja/pekerja adalah setiap orang yang bekerja, menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain (ayat 3 Pasal 1 UU No. 2003 Majikan - orang perseorangan atau badan hukum yang
dapat mempekerjakan karyawan (Pasal 1 (1b) Bagian 1 UU No. 22 Tahun 1957).

Sedangkan istilah wirausaha dapat dilihat dalam UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. 3
Tahun 1992, dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 Tahun 2002, dan dalam UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Perusahaan dapat ditemukan dalam UU Jaminan Sosial
Tenaga Kerja no. 3 Tahun 1992, dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 Tahun 2000,
dan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.

Pengusaha adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum:

Yang menjalankan perusahaan milik sendiri.

Mereka yang secara mandiri menjalankan perusahaan bukanlah milik mereka sendiri.

Istilah perusahaan menurut penulis adalah :

A. Setiap bisnis moral atau non-moral, baik milik pribadi atau milik negara, yang bekerja
dengan membayar upah atau bentuk gangguan lainnya.

B. Usaha sosial dan usaha lain yang mengelola dan mempekerjakan orang lain melalui
pembayaran upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 6 UU No. 13 Tahun 2003).

Menurut UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 Tahun 2000, perusahaan adalah: Bentuk
usaha setia yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan atau
badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, yang mempekerjakan pekerja/buruh
dengan memberikan upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 8 UU No. -UU No.
21 Tahun 2000).
Pengertian perusahaan menurut UU Jamsostek no. 3 Tahun 1992 adalah : Setiap bentuk
badan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja untuk mencari keuntungan maupun tidak,
baik milik swasta maupun milik negara (Pasal 1 ayat (4) UU No. 3 Tahun 1992). BB.

B.MEMAHAMI HUKUM KETENAGAKERJAAN

Banyak rumusan UU Ketenagakerjaan/UU Ketenagakerjaan yang dikemukakan oleh


para ahli hukum, serta pendapat yang berbeda satu sama lain. Rumusan yang diberikan antara
lain dari:

1. MOLENAAR

UU Ketenagakerjaan/ARBEIDSRECHT merupakan bagian dari hukum yang berlaku, yang


pada dasarnya mengatur hubungan antara pekerja dengan pengusaha, antara pekerja dengan
pekerja dan antara pekerja dengan penguasa. Dalam pengertian ini harus dibatasi pada
undang-undang yang bersangkutan dengan orang yang bekerja berdasarkan perjanjian
kerja/pekerjaan orang lain.

2. M.G. LEVENBACH

Hukum Ketenagakerjaan adalah hukum yang berkaitan dengan hubungan kerja, dimana
pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan syarat-syarat kehidupan yang
berkaitan dengan hubungan kerja tersebut. Dalam pengertian ini, hubungan kerja tidak hanya
mengatur mereka yang terikat dalam hubungan kerja, tetapi juga mencakup peraturan-
peraturan tentang persiapan hubungan kerja. Contoh: aturan magang.

3. VAN ESVELD

UU Ketenagakerjaan tidak membatasi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan di bawah


pimpinan, tetapi juga mencakup pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja mandiri yang
melaksanakan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri.

4. MOK

Hukum perburuhan adalah hukum yang mengatur tentang pekerjaan yang dilakukan di bawah
pimpinan orang lain dan dengan keadaan hidup yang berhubungan langsung dengan
pekerjaan itu.
5. IMAN Prof. SOEPOMO

Hukum Ketenagakerjaan adalah seperangkat peraturan, tertulis atau tidak, yang berkaitan
dengan peristiwa di mana seseorang bekerja untuk orang lain dengan menerima upah.

Perangkat peraturan tersebut tidak boleh diartikan seolah-olah peraturan ketenagakerjaan


sudah lengkap dan telah disusun secara sistematis dalam Kode Ketenagakerjaan. Peraturan
tertulis seperti: Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan lain-lain tentunya tidak akan
fleksibel sewaktu-waktu. Dalam hal ini, banyak ketentuan mengenai ketenagakerjaan harus
ditemukan dalam aturan tidak tertulis yang berbentuk adat. Ada peraturan-peraturan, baik
dalam arti formal maupun materiil, yang ditetapkan oleh penguasa dari pusat yang bersifat
heteronom dan ada pula yang timbul dalam dunia perburuhan itu sendiri, yang ditentukan
oleh pekerja dan pengusaha atau ditetapkan. oleh pengusaha itu sendiri, yang bersifat
otonom.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan ditegaskan


bahwa tenaga kerja adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja sebelum,
selama dan setelah masa kerja. Peraturan tersebut didasarkan pada tujuan berikut:

Memberdayakan tenaga kerja dan memanfaatkannya secara optimal dan manusiawi

Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan nasional dan daerah .Melindungi pekerja untuk kemakmuran

Meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Pasal 5 UU 13/2013 menegaskan bahwa setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama
untuk mendapatkan.

a. Tenaga Kerja Terdidik

Tenaga kerja yang mempunyai keahlian pada bidang tertentu atau khusus yang diperoleh dari
bidang pendidikan. Sebagai contoh: dosen, dokter, guru, pengacara, akuntan dan sebagainya.

 
b.Tenaga Kerja Terlatih

Tenaga kerja yang memiliki keahlian pada bidang tertentu atau khusus yang diperoleh dari
pengalaman dan latihan. Sebagai contoh: supir, tukang jahit, montir dan sebagainya.

c. Tenaga Kerja Tidak Terdidik dan Tidak Terlatih

Tenaga kerja yang mengandalkan tenaga, tidak memerlukan pendidikan maupun pelatihan
terlebih dahulu. Sebagai contoh: kuli, pembantu rumah tangga, buruh kasar dan sebagainya.

Klasifikasi diatas mendorong pengaturan terkait pelatihan kerja sebagaimana diatur dalam
Bab V UU 13/2013, agar kualifikasi tenaga kerja Indonesia dapat semakin baik.

Dalam pelaksanaan ketenagakerjaan, pelaku usaha dan tenaga kerja mengikatkan diri dalam
suatu hubunga hukkum melalui ikatan atau perjanjian kerja yang sudah disepakati oleh kedua
belah pihak, bersifat tertulis atau lisan dan dilandasi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan yang berlaku. Hak dan kewajiban antara pengusaha dan tenaga
kerja juga menjadi perhatian demi menciptakan keamanan dan kenyamanan saat melakukan
aktivitas pekerjaan.

Apabila timbul perselisihan antara pengusaha dan tenaga kerja, maka hukum yang mengatur
adalah Undang Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Setiap bentuk perselisihan memiliki cara atau prosedur yang berlaku dan harus
diikuti oleh kedua belah pihak baik itu melalui cara berunding, mediasi, konsiliasi, arbitrase
maupun diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial.

C. OBJEK, SIFAT, JABATAN HUKUM KERJA

Dari segi hukum, pekerja/buruh bebas memilih dan menentukan nasibnya sendiri, bebas
memilih dan menentukan pekerjaan yang disukainya. Ini bisa dimaklumi, karena di negara
kita ada prinsip: “tidak ada yang boleh diperbudak, diregangkan atau diperbudak”.
Perbudakan dan perbudakan adalah tindakan yang melanggar hak asasi manusia.

Namun secara sosiologis/sosial, pekerja/buruh adalah orang-orang yang tidak bebas, karena
dipaksa untuk bekerja dan mengikuti majikan/pengusahanya di mana pun mereka berada.
Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia adalah tenaga kerja yang tidak memiliki bekal hidup
berupa keahlian dan keterampilan, selain tenaga kerjanyaMajikan/majikan yang pada
dasarnya menentukan kondisi kerja, dapat dikatakan bahwa majikanlah yang menentukan
hidup matinya tenaga kerja.

Dalam praktiknya, baik secara fisik maupun moral, pekerja bukanlah pihak yang bebas.
Tindakan pencegahan berikut telah diambil untuk melindungi para pekerja ini:

A. Memahami peraturan/penguasa pemerintah yang heterogen.

B. Menetapkan aturan yang dibuat oleh pengusaha dengan serikat pekerja, yang disebut
Perjanjian Kerja Bersama/PCB.

C. Himpunan aturan yang ditetapkan oleh pengusaha disebut aturan perusahaan independen

Dalam hal ini aturan tipe kedua dan ketiga tidak boleh bertentangan dengan tipe pertama.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sifat hukum perburuhan adalah:

A. Lindungi yang lemah dan tempatkan mereka pada posisi yang layak bagi kemanusiaan.

B. Untuk memperoleh kondisi sosial di bidang ketenagakerjaan atau ketenagakerjaan yang


pelaksanaannya dilakukan dengan melindungi tenaga kerja dari kekuasaan pengusaha yang
tidak terbatas.

Lembaga Hubungan Industrial Adalah agen tenaga kerja yang dibentuk dari tidak yakin
serikat pekerja/serikat buruh terdaftar pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan, organisasi pengusaha khusus di bidang ketenagakerjaan yang telah
terakreditasi oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan instansi pemerintah.
Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan pemberi kerja mempunyai fungsi
menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas kesempatan kerja, dan
memberikan kesejahteraan bagi pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

D. Hakekat Hukum Ketenagakerjaan

Hubungan antara pekerja dan pekerja dengan majikan atau majikannya sangat berbeda
dengan hubungan antara penjual dan pembeli. Orang yang melakukan jual beli barang bebas
melakukan usaha jual beli barang tersebut, artinya penjual tidak dapat dipaksa untuk menjual
barang miliknya jika harga yang ditawarkan tidak sesuai dengan keinginannya. Demikian
pula pembeli tidak dapat dipaksa untuk membeli barang tersebut jika harga barang yang
diinginkannya tidak sesuai dengan keinginannya. Begitu pula dengan pertukaran barang,
orang bebas menukarkan barang jika cocok dengan barang yang dipertukarkan atau
sebaliknya. Dalam hubungan antara pekerja atau pekerja dengan majikan atau pengusaha,
hubungan itu bebas secara hukum, karena prinsip negara kita adalah tidak ada yang bisa
diperbudak atau diperbudak. Segala macam dan bentuk penghambaan, perpanjangan dan
penghambaan dilarang, tetapi secara sosial pekerja atau pekerja tidak sebesar atau komitmen
seperti orang yang tidak memiliki bekal hidup lain selain tenaganya, dan kadang-kadang
terpaksa menerima hubungan kerja dengan majikannya. atau pengusaha meskipun menjadi
beban bagi pekerja atau pekerja itu sendiri, apalagi saat ini dengan banyaknya jumlah pekerja
yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang ada. Akibatnya, pekerja atau buruh sering
dieksploitasi oleh pengusaha dengan upah yang relatif kecil. Oleh karena itu, pemerintah
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya untuk melindungi pekerja
atau pekerja untuk melindungi mereka sebagai pihak yang lemah dari otoritas pengusaha atau
kontraktor untuk menempatkan mereka pada posisi yang layak sesuai dengan harkat dan
martabat manusia.

Berdasarkan pembagiannya menurut isi hukumnya, hukum dibedakan menjadi hukum publik
dan hukum perdata/privat. Ada pembagian antara publik dan sipil/swasta karena isi
pengaturan hukum tergantung pada sifat hubungan yang diaturnya, dan dapat mengatur
hubungan kepentingan umum atau mengatur hubungan kepentingan pribadi.16 Carol Harlow
dalam esainya Publik dan Pribadi.

Law: Definition without Distinction, mengemukakan bahwa di Inggris tidak mengenal


pembedaan publik dan privat, tatapi langsung menggunakan istilah “perjanjian”, “mengganti
kerugian”, dan “kejahatan”.17 Pembicaraan mengenai publik dan privat berawal dari tradisi
Perancis, terutama para pengacara kontinental, yang memberikan istilah hukum publik untuk
memisahkan aturan yang otonom, dimana aturan yang demikian normalnya terpisah dari
yurdiksi administrasi.18Karl E. Karle menulis sebuah artikel yang mencoba untuk
menggambarkan dan mempertahankan pemikirannya mengenai fungsi ideologi hukum dalam
kajian yang memfokuskan terhadap perlakuan pembedaan publik atau privat dalam hukum
ketenagakerjaan. Perbedaan publik/pribadi berulang tidak hanya sebagai motif sebuah latar
belakang tapi sangat sering sebagai unsur penting dari dasar keputusan.19Sebagai contoh, di
negara-negara common law system, kontrak kerja masih dianggap sebagai hukum yang
bersifat privat. Akan tetapi, hal yang demikian tanpa adanya jaminan secara eksplisit
pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja baik disebabkan oleh alasan yang baik maupun
yang tidak atau tanpa alasan sama sekali. Oleh karena itu, akhir-akhir ini pengadilan
mengatur hal yang demikian dalam setiap keputusan baik itu sebagai kewajiban untuk
mengganti kerugian ataupun perjanjian. Dengan adanya hal demikian banyak negara bagian
yang melarang memberhentikan pekerjanya dengan alasan bertentangan dengan kebijakan
publik.20Asri Wijayanti berpendapat bahwa hukum ketenagakerjaan dapat bersifat privat dan
dapat pula bersifat publik.21 Bersifat privat karena mengatur hubungan antara orang
perseorangan (majikan-buruh) dalam pembuatan perjanjian kerja dan bersifat publik karena
pemerintah ikut campur tangan dalam masalah-masalah perburuhan serta adanya sanksi
pidana dalam peraturan hukum perburuhan.22 Hubungan antara hukum publik terhadap
hukum privat adalah hubungan antara hukum khusus atau perkecualian terhadap hukum
umum.23 Hukum publik merupakan perkecualian atas hukum privat apabila itu diperlukan
oleh pemerintah untuk memelihara kepentingan umum.24Sebagaimana telah disampaikan,
Hukum Ketenagakerjaan yang awalnya merupakan hukum yang bersifat privat/keperdataan
lama kelamaan menjadi hukum yang bersifat publik. Campur tangan negara tidak dapat
dihindarkan dalam Hukum Ketenagakerjaan. Agus Yudha Hernoko menyatakan bahwa
Hukum Perdata sedang mencari bentuk baru melalui campur tangan negara.25Negara akhir-
akhir ini cenderung memperbanyak peraturan-peraturan hukum pemaksa (dwingend recht)
demi kepentingan umum untuk melindungi kepentingan yang lemah.26Hal tersebut juga
berpengaruh terhadap kaidah hukum yang diaturnya. Selain pendapat Aloysius Uwiyono,
jauh sebelumnya, Immanuel Kant menyatakan bahwa kaidah hukum bersifat heteronom
mengandung arti bahwa kekuasaan dari luarlah yang memaksakan kehendaknya kepada
manusia, yaitu kekuasaan masyarakat atau negara.27Orang tunduk kepada hukum karena ada
kekuasaan yang memaksa mereka untuk taat tanpa syarat.
Djumédji menyatakan bahwa majikan dan pekerja mempunyai hubungan perdata, artinya
kedua belah pihak berstatus keperdataan.29 Selain itu, para pihak juga terikat oleh hukum
yang berdiri sendiri, yaitu ketentuan yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh. 30 Selain
itu, di luar hukum yang merdeka, terdapat hukum heterogen yang mengatur hubungan antara
pihak-pihak tersebut dan ditentukan oleh pembuat undang-undang, serta masih mengandung
hal-hal yang bersifat privat. Bersifat umum, hal ini karena ketentuan yang terdapat dalam UU
Ketenagakerjaan sudah banyak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Beberapa
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, misalnya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2004 tentang penempatan. dan perlindungan TKI di luar negeri. Dari perspektif hukum, ini
adalah aturan yang heterogen.

Hal-hal yang bersifat privat, misalnya aturan-aturan yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan, masih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengatur
sendiri-sendiri atau memutuskan ketentuan mana yang ingin mereka atur. Misalnya, Pasal
116 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “pembuatan perjanjian kerja bersama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan musyawarah”. Ketentuan lebih lanjut
mengenai PKB diatur dalam Peraturan Menteri No. 28 Tahun 2014 tentang tata cara
pembentukan dan pengesahan anggaran rumah tangga serta penyusunan dan pendaftaran
perjanjian kerja bersama. Pasal 24 Peraturan Menteri tersebut mengatur tentang isi perjanjian
kerja bersama tetapi klausul yang digunakan adalah “perjanjian kerja bersama harus memuat
paling sedikit”. Dengan demikian, ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja bersama
ditetapkan melalui musyawarah para pihak dengan memuat sekurang-kurangnya ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam peraturan menteri tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
ketentuan perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh para pihak harus melalui
musyawarah/negosiasi dan isi ketentuan dapat lebih dari yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan sehingga ketentuan tersebut merupakan ketentuan khusus. Jika itu
adalah ilmu tentang aturan hukum, maka regulasi adalah aturan yang independen.

Berangkat dari analisis di atas, penulis lebih menekankan pada hubungan kerja yang diatur
dalam UU Ketenagakerjaan. Hubungan antara majikan dan pekerja/buruh berdasarkan
hubungan kerja. Pasal 1 Angka 15 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “hubungan kerja
adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang
memuat unsur kerja, upah, dan perintah”. Pengertian hubungan kerja menurut UU
Ketenagakerjaan didasarkan pada perjanjian kerja yang merupakan suatu bentuk persetujuan
untuk melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1601 KUHPerdata. UU
Ketenagakerjaan mengatur hubungan perburuhan di Bab Sembilan. Bab Sembilan Terdiri
dari Model Hubungan Kerja (Pasal 50).

Berangkat dari analisis di atas, penulis lebih menekankan pada hubungan kerja yang diatur
dalam UU Ketenagakerjaan. Hubungan antara majikan dan pekerja/buruh berdasarkan
hubungan kerja. Pasal 1 Angka 15 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “hubungan kerja
adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang
memuat unsur kerja, upah, dan perintah”. Pengertian hubungan kerja menurut UU
Ketenagakerjaan didasarkan pada perjanjian kerja yang merupakan suatu bentuk persetujuan
untuk melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1601 KUHPerdata. UU
Ketenagakerjaan mengatur hubungan perburuhan di Bab Sembilan. Bab Sembilan Terdiri
dari Model Hubungan Kerja (Pasal 50)

Berangkat dari analisis di atas, penulis lebih menekankan pada hubungan kerja yang diatur
oleh UU Ketenagakerjaan. Hubungan antara majikan dan pekerja/buruh berdasarkan
hubungan kerja. Pasal 1 Nomor 15 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “Hubungan kerja
adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang
memuat unsur kerja, upah, dan perintah.” Pengertian hubungan kerja menurut UU
Ketenagakerjaan didasarkan pada perjanjian kerja yang merupakan suatu bentuk persetujuan
untuk melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1601 KUHPerdata. UU
Ketenagakerjaan mengatur hubungan perburuhan di Bab Sembilan. Bab 9 terdiri dari
Formulir Hubungan Kerja (Pasal 50) Perjanjian Kerja (Pasal 51 dan Pasal 63), Syarat Hukum
Perjanjian Kerja (Pasal 52), Tagihan Balik Biaya yang Dikeluarkan (Pasal 53), Isi dan
Ketentuan Perjanjian Kerja (Pasal 54 -55), Jenis Perjanjian Kerja dan Ketentuan-
ketentuannya (Pasal 56-60), Perjanjian Pemutusan Hubungan Kerja (Pasal 61-62), dan
Ketentuan-Ketentuan Tentang Pekerjaan Kontrak atau Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh (Pasal
64-66) Pasal 50 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “hubungan antara pekerjaan itu
terjadi karena adanya kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh”. 32 Tergantung
pasalnya, hubungan ini hanya dapat terjadi antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Dengan
demikian, dimungkinkan bagi para pihak dalam hubungan kerja selain majikan dan
pekerja/buruh, menurut ilmu hukum, ketentuan semacam itu menjadi dasar hukum yang
heterogen sehingga sifat hukumnya adalah common law. Sedikit kritik dari penulis, yang
seharusnya menjadi pihak dalam hubungan bisnis adalah “majikan”. Berdasarkan Pasal 1
Angka 4 UU Ketenagakerjaan, “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan
hukum, atau badan lain yang mempekerjakan pekerja dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.” Majikan adalah majikan. 33 Pembicaraan tentang hubungan kerja
berlanjut melalui pembahasan perjanjian kerja karena merupakan dasar dari adanya suatu
hubungan kerja. Perjanjian kerja merupakan perjanjian yang bersifat memaksa (dwang
contract) karena para pihak tidak dapat menentukan keinginannya sendiri dalam perjanjian
tersebut. Kebebasan berkontrak sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang Perikatan
Perbedaan kedudukan para pihak dalam perjanjian kerja menyebabkan para pihak tidak
mencantumkan keinginannya sendiri dalam perjanjian tersebut, terutama pekerja/buruh,
namun para pihak dalam hubungan usaha tersebut tunduk pada ketentuan undang-undang
perburuhan.34 Namun demikian, menurut penulis Para pihak, para pihak tetap dapat
menentukan sendiri isi perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang,
peraturan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Perbedaan sikap terlihat dari adanya komponen
kepemimpinan dalam hubungan kerja. Perbedaan ini disebabkan oleh sifat hubungan kedua
belah pihak yang tidak seimbang/bawahan.35 Sebagaimana disebutkan dalam UU
Ketenagakerjaan unsur-unsur perjanjian kerja meliputi adanya kerja, upah dan perintah, tetapi
Asri Wijayanti menambahkan unsur lain yaitu adanya waktu tertentu. Komponen waktu
berarti pekerja bekerja untuk waktu yang telah ditentukan atau waktu yang tidak
ditentukan.36 Menurut penulis, waktu tidak terbatas tidak berarti pekerja bekerja untuk
selamanya tetapi masih dibatasi pada waktu yang telah disepakati, misalnya usia pensiun.
untuk pekerja/buruh. Unsur kerja Pekerjaan tidak dipungut biaya sesuai kesepakatan antara
pekerja dan pengusaha sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Komponen upah adalah adanya upah tertentu yang merupakan imbalan atas
pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh. Dan unsur terakhir, unsur perintah adalah di
bawah perintah (gezag ver houding), dalam suatu hubungan kerja kedudukan majikan adalah
majikan sehingga ia berhak dan sekaligus berkewajiban memberi perintah yang berkaitan
dengan pekerjaannya.

Undang-undang Ketenagakerjaan memang Tidak secara tegas mengatur tentang pekerjaan


yang dapat diperjanjikan, kecuali untuk perjanjian kerja tertentu, misalnya pekerjaan yang
hanya dapat diperjanjikan dengan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu jika
menyangkut jenis perjanjian tertentu. Jika berdasarkan pengetahuan tentang norma-norma
hukum perburuhan, para pihak dapat menentukan fungsi-fungsi yang dapat diperjanjikan,
maka aturan ini merupakan norma hukum yang berdiri sendiri. Namun, jika jenis pekerjaan
itu telah ditentukan oleh undang-undang, terutama untuk perjanjian waktu tertentu, maka
klausul ini merupakan norma hukum non-heterogen. Kepemimpinan adalah manifestasi dari
hubungan yang tidak seimbang. Hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh adalah
hubungan antara atasan dan bawahan sehingga bersifat subordinat (hubungan vertikal,
khususnya di atas dan di bawah).39 Ketentuan ini dapat ditemukan dalam KUHPerdata, Pasal
1601a, tentang ketenagakerjaan. perjanjian adalah suatu perjanjian yang mengikat pihak
pertama, Pekerja, atas perintah pihak lain, majikan, untuk jangka waktu tertentu, melakukan
pekerjaan untuk mendapatkan upah. Dengan demikian pengaturan dalam suatu hubungan
bisnis adalah sesuatu yang bersifat privat dan norma hukumnya bersifat independen.

Uang sebagai imbalan dari pemberi kerja atau pemberi kerja kepada pekerja/pekerjaan yang
ditetapkan dan dibayarkan sesuai dengan perjanjian kerja, perjanjian atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan kepada pekerja/pekerja dan keluarganya untuk
pekerjaan dan/atau jasa 40 Berdasarkan hal tersebut ketentuan, pengaturan pengupahan
merupakan pengaturan umum karena menentukan bagaimana dan seberapa besar
penetapannya.41 Jika didasarkan pada aturan hukum perburuhan, maka pengaturan
pengupahan merupakan norma hukum yang heterogen. Hal ini terlihat dengan adanya
ketentuan bahwa pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum dan upah
harus diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang. Dari segi waktu, UU Ketenagakerjaan
mengatur bahwa perjanjian kerja dapat dibuat untuk dan untuk waktu yang tidak ditentukan.
Kondisi ini dapat dilihat dari Pasal 56 Ayat (1), perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu
atau untuk waktu tidak tertentu. Selanjutnya perjanjian untuk jangka waktu tertentu hanya
untuk beberapa fungsi yang ditentukan dalam Pasal 59(1). Selain itu, waktu juga dapat
diartikan sebagai lamanya waktu pekerja/buruh bekerja dalam satu hari atau dalam satu
minggu. Ayat (1) Pasal 77 menyatakan bahwa “pengusaha wajib melaksanakan ketentuan
yang berkaitan dengan jam kerja”. 42 Ayat (2) mengatur tentang waktu kerja sebagaimana
dimaksud. Dengan ketentuan demikian, para pihak tidak dapat menentukan sendiri jangka
waktu perjanjian kerja atau menentukan sendiri lamanya masa kerja. Para pihak akan
mendasarkan diri pada jenis usaha yang menjadi subyek perjanjian. Dengan demikian
pengaturan mengenai waktu dalam suatu perjanjian kerja merupakan pengaturan yang
bersifat umum.
4.Sifat Hukum Ketenagakerjaan

Hukum ketenagakerjaan mempunyai tujuan untuk melaksanakan keadilan sosial dalam


bidang ketenagakerjaan dengan cara melindungi pekerja terhadap kekuasaan pengusaha.
Perlindungan pekerja ini terlaksana apabila peraturan-peraturan dalam bidang
ketenagakerjaan yang mengharuskan atau memaksa pengusaha bertindak sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan dilaksanakan dengan benar oleh para pihak khususnya
pengusaha. Peraturan merupakan peraturan yang berupa perintah atau larangan dan
memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan. Dengan demikian
hukum ketenagakerjaan dapat bersifat hukum privat dan hukum publik. Bersifat privatkarena
adanya hubungan pekerjaan antara orang perorangan, misalnya dalam pembuatan perjanjian
kerjanya. Bersifat publik karena adanya campur tangan pemerintah dalam hubungan kerja
misalnya dalam penetapan upah atau gaji karyawan, dan dalam penetapan pemeutusan
hubungan kerja dan lain-lain.

Perlindungan Hukum

1. Teori perlindungan hukum

Tindakan perlindungan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku.


Hukum bisa berupa aturan atau peraturan, bisa tertulis atau tidak tertulis, contoh hukum
tertulis adalah peraturan hukum. Contoh hukum tidak tertulis adalah hukum adat yang
berlaku di suatu daerah tertentu. Hukum ini berguna untuk menciptakan perdamaian dan
kerukunan antar manusia sehingga saling menghormati kepentingan. Perlindungan hukum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perlindungan berarti tempat berlindung atau
sesuatu yang harus dilindungi, misalnya perlindungan yang buruk. Menurut Sudikno
Mertokusumo, segala macam peraturan yang mengandung muatan umum dan normatif pada
umumnya karena berlaku untuk elemen masyarakat yang berbeda dan normatif Karena
mendefinisikan apa yang harus dilakukan, dan apa yang tidak boleh dilakukan. Perlindungan
hukum adalah pemberian perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan
oleh orang lain dan perlindungan ini diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati hak-hak yang diberikan oleh undang-undang. Perlindungan hukum adalah upaya
untuk melindungi warga negara atau masyarakat dari tindakan kekerasan. tindakan oleh
pemerintah atau pengusaha, bukan hanya tindakan pemerintah. Hanya saja, tetapi tindakan
kasar yang dilakukan oleh majikan atau majikan. Perlindungan ini diperuntukkan bagi warga
negara tanpa kecuali. Menurut Philippus M. Hadjon, perlindungan dibagi menjadi dua jenis,
yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.

Hukum Ketenagakerjaan dalam pengertian sebelumnya adalah kumpulan peraturan-


peraturan yang mengatur hubungan dengan sifat mengikat antara pihak penerima kerja dan
pihak pemberi kerja yang kemudian disebut sebagai hubungan kerja, sehingga Hukum
Ketenagakerjaaan memiliki sifat tertutup (private) karena merupakan hubungan yang
mengikat satu pihak dengan satu atau lebih pihak lainnya.

Akan tetapi, undang-undang ketenagakerjaan bersifat umum juga karena campur


tangan pemerintah negara dalam menyelenggarakan hubungan perburuhan yang bertujuan
untuk kesejahteraan masyarakat secara bersama-sama. Secara umum, ada 2 (dua) ciri-ciri
hukum perburuhan, antara lain:

a)Sifat Hukum Ketenagakerjaan sebagai Hukum Mengatur (Regelend Recht)Sifat


mengatur ini ditandai dengan adanya peraturan yang tidak sepenuhnya bersifat memaksa,
sehingga diperbolehkan terjadinya atau dilakukan suatu penyimpangan atas ketentuan
tersebut dalam perjanjian baik Perjanjian Kerja, Peraturan perusahaan (PP) maupun
Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Sifat Hukum Ketenagakerjaan disebut sebagai sifat
fakultatif, yang memiliki definisi sebagai hukum atau peraturan yang mengatur dan
melengkapi dan dapat dikesampingkan. Contoh aturan Hukum Ketenagakerjaan atau Hukum
Perburuhan yang bersifat fakultatif atau mengatur, antara lain: 1)Pasal 51 ayat (1) UURI
Ketenagakerjaan Tentang pembuatan perjanjian kerja baik dengan cara tertulis maupun tidak
tertulis atau secara lisan karena tidak adanya kewajiban bahwa suatu perjanjian ditegaskan
harus berupa bentuk tertulis maupun tidak tertulis atau lisan sesuai dengan Pasal dengan sifat
sebagai pengatur, sehingga tidak terdapat hukuman berupa sanksi bagi siapapun yang
membuat perjanjian kerja dalam bentuk lisan atau tidak tertulis. Dalam Pasal ini terbukti
bahwa Perjanjian Kerja dalam bentuk tertulis bukan merupakan hal yang memaksa atau
imperative.

2)Pasal 10 ayat (1) UURI Ketenagakerjaan Dalam Pasal ini, diatur bahwa pemberi
kerja selaku pengusaha/perusahaan memiliki hak untuk membentuk serta menjadi anggota
organisasi pengusaha, sehingga ketentuan Hukum yang bersifat mengatur, memberikan hak
kepada pihak pengusaha untuk melaksanakan maupun tidak, ketentuan dalam Pasal ini
memberikan kebebasan kepada pihak pengusaha/perusahaan untuk memilih. 3)Pasal 60 ayat
(1) UURI Ketenagakerjaan Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (untuk
selanjutnya disebut sebagai “PKWTT”) yang memiliki syarat berupa masa percobaan selama
3 (tiga) bulan, sehingga ketentuan dalam Pasal ini memiliki sifat mengatur, tetapi pihak
pemberi kerja selaku pengusaha/perusahaan memiliki hak untuk menjalankan masa
percobaan tersebut ataupun tidak selama hubungan kerja berlangsung. b)Sifat Hukum
Ketenagakerjaan sebagai Sifat Memaksa (dwingenrecht)Sifat memaksa dalam Hukum
Ketenagakerjaan ini merupakan peraturan-peraturan yang telah dicampur tangani oleh
Pemerintah Negara yang ditegaskan harus ditaati dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun,
dengan upaya dapat mengatur atau sebagai pengatur hubungan kerja antara penerima kerja
selaku tenaga kerja atau pekerja dan pemberi kerja selaku pengusaha atau perusahaan, dapat
dijatuhkan hukuman atau pemberian sanksi kepada setiap individu yang menolak untuk
mentaati peraturan atau melanggar aturan yang memiliki sifat memaksa. Contoh bentuk
ketentuan memaksa yang dicampur tangani oleh pemerintah yang telah tercantum didalam
UURI Ketenagakerjaan, antara lain: 1)Pasal 42 ayat (1) UURI Ketenagakerjaan, tentang
perizinan yang menyangkut penggunaan Tenaga Kerja Asing (atau disebut sebagai “TKA”);
2)Pasal 68 UURI Ketenagakerjaan, mengenai larangan dan syarat untuk mempekerjakan anak
dibawah umur; 3)Pasal 76 UURI Ketenagakerjaan, mengenai larangan dan syarat untuk
mempekerjakan perempuan; 4)Pasal 153 ayat (1) UURI Ketenagakerjaan, tentang larangan
melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (untuk selanjutnya disebut sebagai “PHK”) terhadap
kasus atau sengketa tertentu.

Tujuan Hukum Ketenagakerjaan

Berdasarkan Pasal 4 UURI Ketenagakerjaan, tercantum tujuan Hukum


Ketenagakerjaan, yang menerangkan: “Pembangunan Ketenagakerjaan memiliki tujuan,
yaitu: a.“Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi”
yang memiliki penjelasan sebagai suatu kegiatan yang terpadu untuk bermanfaat sebagai
pemberian kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja atau pekerja didalam Negara
Indonesia, dengan harapan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam
tujuan membangun atau sebagai Pembangunan Nasional. Meskipun demikian, tujuan tersebut
tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaannya; b.“Mewujudkan pemerataan kesempatan
kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai” yang memberikan penjelasan bahwa
penyediaan tenaga kerja yang harus diupayakan diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai bentuk satu Kesatuan pasar kerja dengan memberikan setiap orang
kesempatan yan sama untuk memberikan prestasi dalam hal bekerja dan pekerjaan yang
disesuaikan dengan bakat, minat sera kemampuan setiap orangnya. Tujuan tersebut kemudian
diatur demi mewujudkan pemerataan penempatan tenaga kerja atau pekerja yang kemudian
perlu diupayakan demi dapat mengisi kebutuhan diseluruh sektor dan daerah didalam Negara
Indonesia; c.“Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan”; d.“Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya”. Apabila
Tujuan Hukum Ketenagakerjaan atau Hukum Perburuhan disesuaikan bagi kepentingan
setiap pihak didalamnya, antara lain:

a.Kepentingan bagi diri sendiri setiap individu, untuk lebih mengenal serta memahami
hak-hak dan kewajiban sebagai seorang buruh, pekerja atau karyawan. Jika hak pekerja tidak
dipenuhi oleh pihak pengusaha/perusahaan, maka pekerja memiliki hak untuk
mempertanyakan secara langsung kepada pihak pengusaha/perusahaan mengenai hak-hak
pekerja yang belum diterima atau belum dipenuhi oleh pihak pemberi kerja.b.Kepentingan
masyarakat selaku Warga Negara Indonesia yang memiliki keinginan menjadi buruh, pekerja
atau karyawan, masyarakat memiliki hak untuk menerima informasi-informasi mengenai hak-
haknya yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum yang setara dari pemerintah Negara
serta informasi mengenai kewajibannya yang harus dilaksanakan atau
dilakukan.c.Kepentingan pengusaha atau perusahaan selaku pemberi kerja dan pejabat
pemerintahan untuk memberikan informasi mengenai aksi unjuk rasa, demo atau mogok kerja
massal dalam lingkungan perusahaan yang dilakukan oleh pekerja atau buruh karena
perusahaan belum memenuhi hak-hak normatif yang telah ditetapkan oleh ketentuan hukum
atau undang-undang.Demikian tujuan Hukum Ketenagakerjaan atau Hukum Perburuhan yang
dapat disimpulkan demi Pembangunan Nasional serta pemerataan demi mencapai
kesejahteraan masyarakat dengan cara memberikan kesempatan kerja secara merata kepada
setiap tenaga kerja diseluruh wilayah Negara Indonesia yang telah disesuaikan dengan bakat,
minat dan kemampuan setiap individu yang berbeda-beda.

4.Fungsi Hukum Ketenagakerjaan

Pada dasarnya, Hukum Ketenagakerjaan memiliki fungsi sebagai pengatur hubungan


yang serasi dan harmonis bagi semua pihak yang memiliki hubungan dengan proses atau
kegiatan produksi barang maupun dalam bentuk jasa, sebagai alat pelindung tenaga kerja atau
pekerja yang bersifat memaksa. Hukum Ketenagakerjaan memiliki manfaat atau fungsi, yaitu
sebagai berikut:15a.Mendapatkan kepastian hukum dan keadilan; b.Kehidupan para buruh,
pekerja atau karyawan akan dapat terpenuhi secara layak dan sesuai dengan standar hidup
sesuai dengan ketentuan hukum; c.Kehidupan antara para buruh, pekerja atau karyawan
dengan perusahaan atau pengusaha selaku pemberi kerja terdapat hubungan yang harmonis
serta adanya rasa memiliki perusahaan, sehingga perusahaan akan lebih pesat
perkembangannya dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dalam mewujudkan
kesejahteraannya.

Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Ketenagakerjaan memiliki fungsi


sebagai suatu sarana pembaharuan masyarakat, yaitu sebagai penyalur atau pengatur arah
kegiatan yang dilakukan oleh manusia atau masyarakat kearah kegiatan yang diharapkan atau
dikehendaki oleh pembangunan ketenagakerjaan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan
dan mencapai pembangunan nasional yang diarahkan atau disusun untuk mengatur,
mengawasi maupun membina seluruh kegiatan apapun yang berhubungan dengan tenaga
kerja berdasarkan Undang-Undang yang berlaku didalam bidang Ketenagakerjaan yang
dituntut atau ditegaskan harus sesuai dengan kecepatan perkembangan pembangunan yang
meningkat secara pesat sesuai dengan perkembangan zaman manusia, sehingga Hukum
Ketenagakerjaan dapat berfungsi sebagai salah satu pencegahan terjadinya perbudakan,
perhambaan maupun kerja paksa atau rodi, serta memberikan perlindungan kepada tenaga
kerja untuk kedudukan hukum yang sama serta seimbang tanpa diskriminasi, perlindungan
untuk tidak kehilangan pekerjaan serta kehidupan ekonomi yang layak demi kesejahteraan
masyarakat Negara Indonesia.

Para Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan a.Tinjauan Umum Pemberi Kerja selaku
Perusahaan dan Pengusaha 1)Pengertian Pemberi Kerja selaku Perusahaan dan Pengusaha
Pemberi Kerja17 selaku Perusahaan18 atau Pengusaha19adalah salah satu aspek penting
dalam wujudkan atau mencapai pemerataan kesempatan kerja atau Pembangunan Nasional.
Istilah perusahaan pada awalnya diambil dan diatur pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (untuk selanjutnya disebut sebagai “KUHD”) yang
kemudian dicabut berdasarkan Stb.1938:276 tertanggal 17 Juli 1938.20Perusahaan dapat
disebut sebagai tempat berlangsungnya suatu kegiatan atau produksi secara permanen atau
tetap dengan mempekerjakan setiap orang yang mampu melakukan atau melaksanakan
kewajiban mereka dalam bekerja dengan memberikan hak-hak pekerja berupa imbalan upah
ataupun berupa bentuk lainnya. Kegiatan yang dilakukan oleh Perusahaan adalah untuk
memproduksi barang maupun jasa yang dibutuhkan didalam kalangan masyarakat maupun
oleh diri sendiri, dengan tujuan utama mendapatkan keuntungan dan atau laba, maupun
perusahaan yang berbadan usaha hukum maupun bukan badan hukum. Terdapat pula definisi
Perusahaan menurut beberapa Ahli Hukum, diantara lain:21Menurut Molengraaff, beliau
berpendapat bahwa: “Perusahaan merupakan keseluruhan perbuatan atau kegiatan yang
dilakukan secara terus-menerus, memperdagangkan serta menyerahkan barang yang
diproduksi ataupun didistribusikan oleh Perusahaan, mengadakan suatu perjanjian
perdagangan dan mendapatkan penghasilan.”Menurut Abdul Kadir Muhammad, beliau
berpendapat didalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Perusahaan di Indonesia”
bahwa: “Berdasarkan tinjauan hukum, Perusahaan memiliki istilah yang mengacu pada badan
hukum dan kegiatan badan usaha dalam menjalankan usahanya, sehingga dapat disimpulkan
bahwa Perusahaan adalah tempat terjadinya suatu kegiatan produksi (workshop) dengan
tujuan mendapatkan laba atau keuntungan.”Perusahaan dalam dunia usaha atau kegiatan
usaha berjumlah besar menggunakan bentuk Perseroan Terbatas22(untuk selanjutnya disebut
sebagai “PT”), yang merupakan salah satu badan hukum persekutuan modal, PT didirikan
berdasarkan adanya suatu perjanjian antara dua atau lebih pihak, kegiatan dalam PT adalah
untuk melakukan kegiatan usaha yang disesuaikan dengan modal dasar yang secara
keseluruhannya terbagi dalam bentuk saham dan ditegaskan harus sesuai dan memenuhi
persyaratan dan aturan pelaksanaan yang telah ditetapkan didalam Undang-Undang.
Perusahaan merupakan tempat suatu kegiatan berlangsung, sedangkan Pengusaha adalah
orang perseorangan atau secara bersekutu atau berkelompok yang memiliki suatu
kemampuan dimana seseorang atau sekelompok orang bertahan dalam suatu kondisi,
melakukan suatu usaha tanpa pantang menyerah. Pengusaha adalah setiap orang yang mampu
untuk menerima kegagalan dalam dunia bisnis serta bertahan dalam kondisi yang kesulitan,
sehingga dapat berbuah hasil dan menjadi bisnis yang sukses. 2)Hak dan Kewajiban Pemberi
Kerja selaku Perusahaan dan PengusahaPemberi kerja selaku perusahaan atau pengusaha
memiliki hak dan kewajiban yang harus dipatuhi sebagaimana diatur dalam peraturan dan
UURI yang disusun demi mengatur, dan mengawasi setiap perusahaan demi
meminimalisirkan perilaku sewenang-wenang yang dapat menimbulkan diskriminasi
terhadap tenaga kerja dalam lingkungan perusahaan. Hak dan Kewajiban tersebut telah
disetujui dan disepakati sebagaimana diperjanjikan didalam perjanjian kerja antara pihak
penerima kerja dan pihak pemberi kerja. Hak-hak yang layak dan sepantasnya diterima oleh
pihak pemberi kerja, yaitu:23a)Hak atas hasil pekerjaan b)Hak untuk memerintah dan
mengatur tenaga kerja c)Hak untuk melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja
atau buruh Untuk mendapatkan haknya, perusahaan atau pengusaha tentu saja harus
melakukan kewajiban sebagai seorang atau suatu kelompok yang disebut sebagai pemberi
kerja, antara lain: a)“Ketentuan untuk mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat.Pasal
67 ayat (1) UURI Ketenagakerjaan Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja
yang merupakan penyandang cacat memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan
sesuai dengan garis dan derajat kecacatan tenaga kerja yang bekerja didalam lingkungan
perusahaan.”

b)“Ketentuan waktu kerja.Pasal 77 ayat (2) UURI Ketenagakerjaan (a)7 (tujuh) jam
dalam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu; atau(b)8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam dalam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.” c)“Ketentuan
dalam memberikan waktu istirahat dan cuti kepada Pekerja atau Buruh. Pasal 79 ayat (2)
huruf (a) dan (b) UURI Ketenagakerjaan (a)Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya
setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam secara terus-menerus dan waktu istirahat
tersebut tidak termasuk jam kerja; (b)Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2(dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu.” d)“Ketentuan dalam memberikan kesempatan kepada tenaga kerja untuk
melaksanakan ibadah agama. Pasal 80 UURI Ketenagakerjaan Perusahaan atau pengusaha
diwajibkan untuk memberikan waktu yang cukup kepada tenaga kerja atau pekerjanya untuk
melaksanakan ibadah yang merupakan kewajiban agama atau kepercayaannya masing-
masing individu.” e)“Ketentuan dalam membayar upah lembur apabila tenaga kerja bekerja
pada hari libur resmi. Pasal 85 ayat (3) UURI Ketenagakerjaan Pengusaha atau perusahaan
selaku pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja pada hari libur resmi diwajibkan
untuk membayar upah kerja lembur sebagaimana mestinya.” f)“Ketentuan membayar upah
kerja sesuai dengan upah minimum daerah yang telah ditentukan. Pasal 91 UURI
Ketenagakerjaan Pengusaha atau perusahaan diwajibkan untuk membayar biaya upah kerja
kepada tenaga kerja sesuai dengan pengaturan pengupahan yang telah ditetapkan atas
kesepakatan antara pemberi kerja dan penerima kerja dan tidak diperbolehkan lebih rendah
dari ketentuan pengupahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.” Tinjauan Umum Penerima Kerja selaku Pekerja atau Tenaga Kerja 1)Pengertian
Penerima Kerja selaku Pekerja atau Tenaga Kerja Penerima Kerja selaku Tenaga Kerja24
atau Pekerja/Buruh25 merupakan salah satu aset terpenting dalam Perusahaan, karena
merupakan aspek yang melakukan kegiatan produksi barang maupun jasa didalam
Perusahaan. Demikian pula dapat disimpulkan bahwa suatu Perusahaan tanpa tenaga kerja
atau pekerja tidak akan dapat melaksanakan kegiatan produksinya dengan baik. Menurut Dr.
Payaman Simanjuntak, beliau berpendapat dalam bukunya yang berjudul “Pengantar
Ekonomi Sumber Daya Manusia” bahwa: “Tenaga kerja atau pekerja merupakan penduduk
Negara yang berada di posisi sudah atau sedang melakukan suatu kegiatan yang disebut
sebagai bekerja, baik yang sedang mencari pekerjaan, dan bukan masih dalam kondisi
melaksanakan kegiatan lain seperti sekolah (pelajar) atau yang sedang mengurus rumah
tangga (Ibu Rumah Tangga), sehingga seseorang tersebut dapat didefinisi ia adalah seorang
tenaga kerja atau bukan tenaga kerja sesuai dengan batas umur.”Sesuai dengan penjelasan
Ahli diatas, Penulis kemudian dapat menyimpulkan bahwa yang disebut sebagai Tenaga
Kerja adalah setiap orang atau individu/pribadi yang sedang mencari pekerjaan atau
sudah/sedang melakukan kegiatan bekerja dengan memenuhi persyaratan berupa batasan usia
yang telah diatur dan ditetapkan dalam peraturan Undang-Undang dengan tujuan
mendapatkan hak-hak tenaga kerja berupa imbalan dalam bentuk upah maupun dalam bentuk
lainnya demi kehidupan sehari-hari seseorang. 2)Hak dan Kewajiban Penerima Kerja selaku
Pekerja atau Tenaga Kerja Didalam UURI Ketenagakerjaan, diatur pula Hak dan Kewajiban
Tenaga Kerja sebagai Penerima Kerja yang bertujuan untuk mengawasi, mengatur dan
melindungi tenaga kerja yang bekerja didalam lingkungan Perusahaan, hak tenaga kerja yang
diatur dalam UURI Ketenagakerjaan diantara lainnya:26a)“Hak atas kesempatan dan
perlakuan yang setara dan sama tanpa adanya bentuk diskriminasi. Pasal 5 UURI
Ketenagakerjaan Setiap tenaga kerja/pekerja/buruh berhak untuk memiliki kesempatan untuk
memperoleh pekerjaan yang sama tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Pasal 6 UURI
Ketenagakerjaan Setiap tenaga kerja/pekerja/buruh memiliki hak untuk memperoleh
perlakuan yang sama dan setara oleh pengusaha/perusahaan tanpa diskriminasi dalam bentuk
apapun.” b)“Hak atas lamanya waktu untuk melakukan kegiatan kerja atau bekerja. Pasal 77
ayat (1) dan ayat (2) UURI Ketenagakerjaan (1)Setiap pengusaha atau perusahaan diwajibkan
untuk melaksanakan ketentuan waktu kerja; (2)Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi: (a)7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu)
minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau (b)8 (delapan) jam 1 (satu)
hari dan 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu.” c)“Hak Overtime atau Hak Lembur. Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) UURI
Ketenagakerjaan (1)Pekerja atau buruh yang dipekerjakan oleh Pengusaha yang bekerja
melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) diwajibkan untuk
memenuhi syarat sebagai berikut: (a)Adanya atau terdapat persetujuan atau kesepakatan
pekerja/buruh yang bersangkutan untuk bekerja melebihi waktu; (b)Ketentuan waktu kerja
lembur hanya dapat dilakukan selama 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari atau 14 (empat belas)
jam dalam waktu 1 (satu) minggu. (2)Pekerja atau buruh yang dipekerjakan oleh Pengusaha
yang bekerja melebihi ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diwajibkan untuk membayar imbalan berupa upah kerja lembur atau overtime.” d)“Hak atas
kegiatan ibadah pekerja atau buruh. Pasal 80 UURI Ketenagakerjaan Pengusaha atau
perusahaan diwajibkan untuk memberikan kesempatan berupa waktu bagi tenaga
kerja/pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agama dan
kepercayaannya masing-masing individu/pribadi.” e)“Hak untuk mendapatkan perlindungan
kerja oleh Perusahaan. Pasal 86 ayat (1) UURI Ketenagakerjaan Setiap tenaga
kerja/pekerja/buruh memiliki hak atau berhak untuk memperoleh perlindungan atas:
(a)Keselamatan dan Kesehatan Kerja; (b)Moral dan Kesusilaan; serta (c)Perlakuan yang
disesuaikan dengan harkat dan martabat manusia atau berdasarkan Hak Asasi Manusia
(HAM) serta nilai-nilai agama.” f)“Hak untuk mendapatkan imbalan berupa upah untuk
kehidupan sehari-hari pekerja/buruh. Hak yang didapatkan oleh setiap pekerja atau buruh
yaitu berupa penghasilan dan imbalan berupa upah demi memenuhi kebutuhan pokok
kehiduapn sehari-hari tiap individu yang melakukan kegiatan kerja atau bekerja, hak untuk
mendapatkan upah diatur didalam Pasal 79, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 93 UURI
Ketenagakerjaan.” Hak yang didapatkan oleh setiap Tenaga Kerja yang melakukan kegiatan
kerja sebagaimana dimaksud diatas, terdapat pula kewajiban yang harus dilaksanakan atau
dilakukan oleh setiap pekerja atau buruh untuk mendapatkan hak yang disebut diatas, antara
lain:

“Kewajiban dalam menjaga ketertiban dan ketentraman dalam lingkungan


Perusahaan. Pasal 102 ayat (2) UURI Ketenagakerjaan Setiap tenaga kerja/pekerja/buruh
memiliki fungsi dalam melaksanakan hubungan industrial, diantaranya adalah untuk
menjalankan ketertiban umum demi kelangsungan dan kelancaran produksi dalam
perusahaan, menyalurkan aspirasi secara demokratis, untuk perkembangan keterampilan dan
keahlian setiap individu atau pribadi tenaga kerja, serta memajukan perusahaan dan
memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.” b)“Kewajiban pekerja untuk
menuruti perintah yang terdapat didalam perjanjian yang disepakati bersama perusahaan atau
pengusaha selaku pemberi kerja. Pasal 126 ayat (1) UURI Ketenagakerjaan Baik
pengusaha/perusahaan, serikat pekerja atau serikat buruh27 dan pekerja/buruh berkewajiban
dalam melaksanakan ketentuan yang disepakati atau disetujui oleh kedua belah pihak dalam
Perjanjian Kerja Bersama28.” c)“Kewajiban untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa
dengan baik antara pemberi kerja dan penerima kerja. Pasal 136 ayat (1) UURI
Ketenagakerjaan Penyelesaian perselisihan atau sengketa dalam hubungan industrial
diwajibkan untuk dilaksanakan oleh pemberi kerja selaku pengusaha/perusahaan dan
penerima kerja selaku pekerja/buruh secara musyawarah untuk mufakat dan kesejahteraan
bersama.” B.Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja1.Pengertian Perjanjian KerjaPerjanjian
Kerja29 menurut UURI Ketenagakerjaan adalah suatu perjanjian yang disetujui atau
disepakati antara tenaga kerja/pekerja/buruh dengan pengusaha/perusahaan yang isinya
memuat syarat-syarat kerja, penegasan hak dan kewajiban para pihak.

Terdapat juga beberapa definisi Perjanjian Kerja menurut para Ahli Hukum, yaitu
sebagai berikut:

a.Menurut R. Iman Soepomo, beliau berpendapat bahwa: “Perjanjian Kerja


merupakan suatu perjanjian dimana pihak kesatu yaitu selaku tenaga kerja mengikatkan diri
untuk melakukan suatu kegiatan kerja atau bekerja dengan mendapatkan hak berupa imbalan
upah dari pihak lainnya yang disebut sebagai majikan atau pemberi kerja.” b.Menurut
Subekti, beliau berpendapat bahwa: “Perjanjian Kerja adalah perjanjian yang timbul antara
penerima kerja dan pemberi kerja, yang ditandai oleh ciri-ciri: adanya suatu pemberian hak
berupa upah atau disebut sebagai gaji yang telah diperjanjikan, serta adanya suatu hubungan
dimana satu pihak lainnya memberikan perintah yang harus ditaati oleh pihak yang menerima
upah tersebut.
KEGIATAN BELAJAR 2

SEJARAH HUKUM

KETENAGA KERJAAN

DI INDONESIA

Sejarah UU Ketenagakerjaan di Indonesia tidak lepas dari sejarah Perbudakan di


negeri ini yang saat itu masih bernama Hindia Belanda. Setelah era perbudakan, pada tahun
1819 Peraturan tentang pendaftaran budak dikeluarkan. Pada tahun 1820 ada peraturan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan membayar pajak bagi pemilik
budak. Kemudian pada tahun 1829 ada undang-undang yang melarang pengangkutan budak
anak. Setelah itu pada tahun 1839 ada peraturan tentang pendaftaran anak budak dan
penggantian nama budak. Sebelum itu pada tahun 1825 ada peraturan tentang budak dan
perdagangan budak.

Peraturan penghapusan budak dikeluarkan pada tahun 1854. Kemudian pada tanggal 1
Januari 1860 dinyatakan dihapuskan sama sekali, meskipun dalam prakteknya setelah tahun
1860 masih banyak orang yang menjadi budak dan pemilik budak. Istilah budak setelah tahun
1860 mulai menyusut. Istilah budak semakin jarang terdengar tetapi diganti dengan istilah
lain yaitu hamba dan budak.

Pada tahun 1880 dikeluarkan peraturan tentang pekerja. Orang yang bekerja disebut koeli
(kuli) dan aturannya adalah Koeli Ordonantie. Pada tahun-tahun berikutnya peraturan Koeli
mulai menjadi sorotan seiring dengan penggunaan istilah pekerja yang mulai bergeser dari
koeli menjadi buruh. Sebelum kekalahan Pemerintah Belanda di Indonesia, ordonansi itu
dihapuskan. Sejarah UU Ketenagakerjaan di Indonesia mencapai puncaknya ketika negara
merdeka dimana hukum yang berlaku terkait ketenagakerjaan sejak dulu hingga sekarang dan
yang akan datang akan selalu bersumber dari UUD 1945 dan Pancasila

.
1. Sejarah Hukum Ketenagakerjaan

Ada beberapa periode perkembangan hukum perburuhan di Indonesia a- Periode menjelang


kemerdekaan, ketika pendudukan Indonesia dikuasai atau dijamin oleh Belanda. Tenaga kerja
Indonesia menjadi budak warga negara Belanda yang datang ke Indonesia. Perbudakan
memiliki unsur utusan dan penegak. Budak adalah orang yang bekerja atas perintah orang
lain. Budak sama sekali tidak berhak atas hidup mereka. Budak hanya berkewajiban untuk
menyenangkan atau memerintahkan pemilik budak.

Hukum perbudakan yang berlaku saat ini adalah hukum perbudakan atau perburuhan asli
Indonesia. Perbudakan atau perburuhan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda
merupakan hukum tertulis. Pada tahun 1854, Hindia Belanda menerbitkan sistem
Regeringsregement (RR) yang mencakup penghapusan perbudakan. Bagian 115 dari Regulasi
juga menyatakan bahwa tanggal penghapusan perbudakan tidak boleh lebih dari 1 Januari
1860.

Kerja wajib inilah yang menyebabkan penghapusan perbudakan. Kesukarelaan pada awalnya
merupakan model gotong royong untuk kepentingan bersama di suatu daerah dan hasilnya
berpihak pada raja. Seringkali dengan perkembangan dimana kerja paksa ini pada awalnya
merupakan bentuk gotong royong yang semakin menyiksa masyarakat, kerja paksa ini
menjadi kerja paksa yang berpihak pada suatu kelompok atau individu. Para pekerja paksa ini
tidak menerima satu upah pun.

A. Zaman Pebudakan

Era perbudakan adalah masa ketika orang bekerja di bawah bimbingan orang lain. Ciri
penting adalah bahwa pekerja/buruh tidak memiliki hak, hak untuk hidup juga ditentukan
oleh majikannya. Apa yang mereka miliki hanyalah kewajiban untuk bekerja dan mengikuti
perintah dan instruksi tuannya. Yang sangat menyedihkan pada saat itu adalah tidak ada
peraturan pemerintah yang mengatur bahwa pemeliharaan budak adalah tanggung jawab
pemiliknya. Baru pada tahun 1817 pemerintah Hindia Timur Belanda mengatur perbudakan
dengan menetapkan peraturan sebagai berikut:

1) Melarang masuknya budak ke pulau Jawa.

2) Harus ada pendaftaran budak.


3) Untuk mengenakan pajak atas kepemilikan budak.

4) Melarang pengangkutan budak anak

5) Mengadakan peraturan tentang pendaftaran anak budak.

. Memang, kelima aturan tersebut di atas tidak mampu mengubah nasib para budak. Pada
tahun 1825 dilakukan perbaikan-perbaikan yang seharusnya mengubah nasib para budak,
yang intinya adalah: “bahwa hubungan antara pemilik dan budak tidak terletak pada
perlakuan pemilik budak, yang esensinya bersifat yuridis, sosiologis, dan ekonomis. ".

Sarana hukum: kewajiban dilakukan secara biasa dan hak diberikan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Sedangkan secara sosiologis berarti: hak dan kewajiban yang berlaku diakui
dalam masyarakat. Secara ekonomi berarti: hak yang diberikan kepada budak mencapai
keseimbangan yang cukup baginya.

Pada masa pemerintahan Raffles antara tahun 1818 dan 1825, ia berusaha memperbaiki nasib
para budak dengan sebuah lembaga yang disebut "Java Bnevolent Institution". Niat baik
Raffles digagalkan oleh pemilik budak yang berpendapat bahwa "penghapusan properti
adalah pelanggaran hak budak". Pendapat ini dapat diterima oleh pihak lain, yang berbunyi:
"perbudakan besar bagi kemanusiaan, untuk menjadi milik manusia".

Pada tahun 1854 mulai tergerus dan pada tahun 1860 tepatnya pada tanggal 1 Januari 1860
awal negara Indonesia dihapuskan, tetapi tidak perlu dibatalkan sama sekali, karena secara
istilah masih ada. Di luar pulau Jawa disebut perbudakan (Sumatera) dan geliat (pulau
Banda).

Perbudakan / pandeling gschap, yaitu memberikan kredit / kredit kepada seseorang, dan jika
mereka tidak dapat membayar kembali, maka pengambil gadai harus bekerja untuk pegadaian
sampai hutang dan bunga dibayar. Orang yang diberi gadai diperlakukan sebagai hamba, oleh
karena itu perbudakan terwujud.

Pemanjangan itu terjadi di Pulau Banda yang terkenal sebagai pulau penghasil rempah-
rempah. Tanah pulau itu dikuasai oleh penduduk asli, kemudian gubernur jenderal Hindia
Belanda mengambil alih, banyak pemilik tanah pulau itu terbunuh. Lahan dikuasai oleh
karyawan perusahaan dan budidaya rempah-rempah. Tanah tempat karyawan perusahaan
bekerja dikenal sebagai Perk dan orang-orang yang bekerja di Perkenier. Ikatan karyawan
perusahaan untuk menanam rempah-rempah di Pulau Banda disebut Peruluran.

Zaman penjajahan Jepang ada namanya kerja paksa Romusha untuk kepentingan
suatu kerajaan atau kelompok untuk pembangunan apa yg diinginkan oleh Raja. Parahnya
lagi pada masa penjajahan Jepang pekerja Romushaini apabila lamban, lemas, malas-malasan
dalam melakukan pekerjaan akan dihukum, apalagi yang tidak melakukan pekerjaan.b.Masa
setelah kemerdekaanAda perbedaan yang sangat berbeda sekali pada hukum perburuhan
setelah masa kemerdekaan. Pada masa kedudukan Hindia Belanda hukum perburuhan banyak
dipengaruhi oleh pemerintahan Hindia Belanda. Sedangkan setelah kemerdekaan hukum
ketenagakerjaan sudah diambil alih oleh pemerintah kita (Indonesia) dapat dilihat dalam
Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dan dituangkan dalam Pasal 27 ayat
(2) “tiap warga negara berhak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak selaykanya
makhluk hidup”.Pada awal kemerdekaan sebenarnya hal yang mengenai Ketenagakerjaan
belum manjadi hal paling penting, pokok dimata pemerintah kita pada masa itu. Yang
menjadikan hal yang tidak penting ini adalahkarna pada masyarakat Indonesia lagi sibuk
dalam mempertahankan kemerdekaannya.Tahun 1951 diundangkan yaitu Undang-Undang
Nomor 12Tahun 1948 yang bernama Undang-Undang Kerja. Undag-Undang ini mengatur
pekerjaan yang boleh dilakukan orang dewasa, anak-anak, remaja dan perempuan, waktu
kerja, istirahat dan mengatur mengenai tempat kerja.Tahun 1951 apabila ada perselisihan
maka akan diselesaikan oleh pihak yang berselisih itu saja sendiri, bila dalam penyelesaian
tersebut tidak memenuhi titik terang baru pegawai kementrian perburuhan bergerak dengan
intrksi dari Menteri Tenaga Kerja.

B. ZAMAN RODI (KERJA PAKSA)


Mula-mula bentuknya adalah melakukan pekerjaan secara bersama-sama antara
budak-budak atau anggota masyarakat desa. Namun karena berbagai alasan dan
keadaan, kerja bersama tersebut berubah menjadi kerja paksa untuk kepentingan
seseorang dengan menerima upah. Kemudian kepentingan tersebut beralih lagi yakni
untuk Gubernemen. Pekerjaan yang dilakukan para budak tersebut merupakan kerja
paksa atau rodi. Misalnya, pekerjaan untuk mendirikan benteng, pabrik gula, jalan
raya (Anyer sampai Panarukan yang biasa disebut jalan Daendels). Guna melakukan
kepentingan tersebut banyak pekerja yang mati. Pada Tahun 1813 Raffles berusaha
menghapuskan rodi namun usahanya menemui kegagalan.
Setelah Indonesia dikembalikan pada Nederlands, kerja rodi bahkan makin diperhebat
dan digolongkan menjadi beberapa kelompok yakni :
Rodi Gubernemen : budak yang bekerja pada pemerintah Hindia Belanda tanpa
bayaran.
Rodi perorangan, yang bekerja pada pembesar-pembesar Belanda / Raja-raja di
Indonesia.
Rodi Desa untuk pekerjaan di Desa. Proses hapusnya rodi ini memakan waktu
yang lama dan pada Tahun 1938 rodi baru dapat dihapuskan.

a. ZAMAN POENALE SANKSI


Zaman ini merupakan perkembangan kerja rodi untuk Gubernemen. Gubervemen
adalah penguasa pemerintah Hindia Belanda yang menyewakan tanah pada orang-
orang swasta (bukan orang Indonesia asli). Guna menggarap tanah yang disewakan
tersebut Gubervemen mengambil pekerjanya dari rodi desa dengan menghubungi
kepala desa yang bersangkutan. Pekerja dipekerjakan pada tanah yang disewakan.
Mereka dikontrak selama 5 tahun dengan kontrak kerja secara tertulis. Perjanjian
kontrak tersebut memuat tentang :
 Besarnya upah.
 Besarnya uang makan.
 Perumahan.
 Macamnya pekerjaan.
 Penetapan hari kerja.

Penetapan hari kerja tersebut diatur gunanya supaya orang yang dipekerjakan pada
tanah-tanah swasta mempunyai kesempatan untuk mengerjakan sawahnya. Pada tahun
1870 lahirlah Agarische Wet yang hal ini mendorong tumbuhnya perkebunan-
perkebunan besar seperti perkebunan karet, tembakau, cengkeh dan sebagainya.
Sehubungan dengan tumbuhnya perkebunan-perkebunan tadi, masalah perburuhan
menjadi semakin penting, karena semakin banyak buruh yang dipekerjakan. Namun
juga ada yang menolak untuk dikirim ke perkebunan di Sumatra Timur yang ditanami
tembakau. Orang yang menolak untuk dipekerjakan diperkebunan dipidana dengan
hukuman badan yang disebut dengan poenale sanksi.
Kejadian tersebut mendapat pertentangan dari Parlemen Belanda di Nederland dengan
pernyataannya sebagai berikut: “kalau buruh di Indonesia menyalahi
perjanjian/melakukan kesalahan maka tidak seharusnya dipidana dengan pidana yang
mengarah pada hukuman badan, khususnya di daerah Sumatra Timur”.
Pernyataan ini kemudian diwujudkan dengan dikeluarkannya “Koeli Ordonantie”
pada tahun 1880, yaitu peraturan yang digunakan untuk buruh jangan sampai diberi
pidana yang mengarah pada pidana badan.
Pada Tahun 1930 keadaan buruh di Sumatra Timur tambah jelek karena ada
pemerasan, penganiayan dan penyalah-gunaan wewenang yang dilakukan penguasa.
Kemudian tahun 1904 diadakan/dibentuk instansi pengawasan perbudakan (Arbeids
Inspectie).
Baru pada tanggal 1 Januari 1942 Poenale Sanksi lenyap dari dunia perburuhan di
perkebunan Indonesia.

1. SESUDAH KEMERDEKAAN 17 AGUSTUS 1945


Sesudah kemerdekaan Republik Indonesia, masalah perburuhan lebih diperhatikan yaitu
dengan adanya “PANCA KRIDA HUKUM PERBURUHAN” yang menurut Prof. Iman
Soepomo meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan dan perhambaan.
b. Membebaskan penduduk Indonesia dari rodi atau kerja paksa.
c. Membebaskan buruh Indonesia dari Poenale Sanksi.
d. Membebaskan buruh Indonesia dari rasa ketakutan akan kehilangan pekerjaan secara
semena-mena.
e. Memberikan kedudukan hukum yang seimbang (bukan sama) kepada buruh dan
memberi penghidupan yang layak bagi buruh.

Sesuai dengan uraian diatas, jika disimpulkan terdapat keadaan sebagai berikut :
Keadaan hukum perburuhan sebelum kemerdekaan :
a. Pandangan hukum perburuhan terletak pada kontrak sosial yang bebas artinya nasib
buruh bergantung dari perorangan yang menggunakan buruh tersebut.
b. Sifat peraturan yang ada, adalah privat rechtelyk.

Keadaan Hukum Perburuhan Setelah Kemerdekaan

a. Peraturan yang sifatnya privat recktelyk beralih pada publik recktelyk.


b. Peraturan hukum perburuhan mempunyai sanksi pidana yang jelas.

A. SUMBER-SUMBER HUKUM PERBURUHAN


Sumber hukum perburuhan adalah : segala sesuatu dimana kita dapat menemukan
ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan mengenai permasalahan perburuhan, yang dapat
dijadikan sebagai patokan untuk menyelesaikan permasalahan perburuhan. Sumber hukum
perburuhan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni :
1. SUMBER HUKUM YANG TERTULIS
Menurut Prof. Iman Soepomo sumber hukum yang tertulis ada 5 macam yakni :
a. Undang-Undang.
Dipandang dari sudut kekuatan hukum, Undang-Undang merupakan sumber
hukum yang tertinggi dan terpenting menurut hukum perburuhan, dibuat oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Contoh : Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.
Selain Undang-undang ada juga Perpu/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang, yang membuat adalah Presiden dalam keadaan kegentingan yang
memaksa. Perpu tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan
Rakyat pada sidang berikutnya.
b. Peraturan-Peraturan.
Peraturan merupakan pelaksanaan Undang-Undang yang dibuat oleh Presiden dan
Menteri Tenaga Kerja. Peraturan ini dapat berwujud P.P (Peraturan Pemerintah),
Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Keputusan Presiden.
Contoh : Peraturan Pemerintah R.I No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan
Keempat atas Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Contoh : Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.102 Tahun
2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
c. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang berada pada
lingkungan peradilan umum. Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan
berwenang memeriksa, mengadili dan memutus :

 Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak.


 Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.
 Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.
 Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja dalam satu perusahaan.
Pautusan dari Pengadilan Hubungan Industrial ini dapat menjadi sumber hukum
bagi pihak-pihak yang berselisih.

d. Perjanjian.
Yang dimaksud perjanjian sebagai sumber hukum perburuhan ini adalah
Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Perjanjian kerja adalah
perjanjian antara para pihak (pekerja) dengan pengusaha yang dibuat secara
tertulis mengenai syarat-syarat kerja. Perjanjian tersebut memuat :
 Nama, alamat perusahaan, jenis usaha;
 Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja;
 Jabatan/jenis pekerjaan;
 Tempat pekerjaan;
 Besarnya upah dan cara pembayaran;
 Hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja;
 Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
 Tempat dan tanggal perjanjian dibuat;
 Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang dibuat oleh Serikat Pekerja atau
beberapa Serikat Pekerja yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
Baik perjanjian kerja maupun perjanjian kerja bersama dapat menjadi sumber
hukum perburuhan bila ada masalah perburuhan diantara pekerja/Serikat Pekerja
dengan pengusaha/beberapa pengusaha.
e. Traktat/Konvensi.
Traktat adalah perjanjian yang diadakan oleh beberapa negara di dunia ini
mengenai permasalahan perburuhan. Negara-negara tersebut menjadi Anggota
International Labour Organization (ILO). Sampai dengan Tahun 2001 ILO telah
menghasilkan 184 konveksi, 12 diantaranya telah diratifikasi Indonesia. Dari 12
konveksi tersebut ada yang diratifikasi pemerintah Hindia Belanda dan
pemerintah Republik Indonesia.
1) Konveksi Yang Diratifikasi Pemerintah Hindia Belanda
 Konvensi No.19 Tahun 1925 tentang “Equality of Treatment (Accident
Compensation)” = Perlakuan yang sama bagi pekerja nasional dan asing
dalam hal tunjangan kecelakaan. Diatur dalam Undang-Undang No.3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
 Konvensi No. 27 Tahun 1929 tentang “Marking of Weight (Packages
Transported by Vessel)” = Pemberian tanda berat pada barang-barang
besar yang diangkut dengan kapal.
 Konvensi No. 29 Tahun 1929 tentang “Foroed Labour” = Wajib kerja.
 Konvensi No. 45 Tahun 1945 tentang “Underground Work (Women)” =
Kerja wanita dalam semua macam tambang dibawah tanah.
2) Konvensi yang Diartifikasi Pemerintah Republik Indonesia
 Konvensi No.98 Tahun 1949 tentang “Right to Organized & Collective
Emergency” = Berlakunya dasar-dasar hak berorganisasi dan berunding
bersama. Diratifikasi dengan Undang-Undang No.18 Tahun 1956 dan
diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
 Konvensi No.100 Tahun 1951 tentang “Equal Penumaration” =
Pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan wanita yang mempunyai
nilai yang sama.
 Konvensi No.106 Tahun 1957 tentang “Weekly Rest/Commerce & Office”
= Istirahat mingguan diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan Pasal 79 ayat (2a)
 Konvensi No.120 Tahun 1964 tentang “Hygiene (Commerce & Office)”
 Hygiene dalam perniagaan dan kantor diatur dalam Undang-Undang No.1
Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
 Konvensi No.105 Tahun 1957 tentang “Abolition of Foroed Labour” =
Penghapusan Kerja Paksa diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun
1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa.
 Konvensi No.138 Tahun 1973 tentang “Minimum Age for Administration
of Employment” = Usia minimum untuk diperbolehkan bekerja diatur
dalam Undang-Undang No.20 Tahun 1999 tentang usia minimum untuk
diperbolehkan bekerja.
 Konvensi No.111 Tahun 1958 tentang “Discrimination in Respect of
Employment & Occupation” = Deskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan.
Diatur dalam Undang- Undang No.21 Tahun 2001 tentang Diskriminasi
dalam Pekerjan dan Jabatan.
 Konvensi No.182 Tahun 1999 tentang “Prohibition and Immediate Action
for the Elimination Of The Worst Form Of Child Labour” = Pelarangan dan
tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjan terburuk untuk
anak. Diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2001 tentang
penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

2. SUMBER HUKUM YANG TIDAK TERTULIS


Sumber hukum yang tidak tertulis adalah kebiasaan. Kebiasaan tersebut tumbuh subur
setelah Perang Dunia II dengan alasan karena :
a. Pembentukan Undang-Undang atau peraturan perburuhan tidak dapat dilakukan
secepat perkembangan permasalahan perburuhan yang harus diatur.
b. Peraturan dari zaman Hindia Belanda dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan rasa
keadilan masyarakat di Indonesia.

B. KEDUDUKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN


Bila diikuti sistem Belanda, di negara tersebut hukum perburuhan/ ketenagakerjaan
dahulu dijadikan bagian dari hukum perdata, dan secara tradisional hukum
perburuhan/ketenagakerjaan selalu digolongkan pada hukum sipil. Gagasan ini berasal dari
zaman di mana dianggap bahwa buruh/ tenaga kerja dan majikan/pengusaha bebas
mengadakan perjanjian kerja satu dengan yang lainnya (Pasal 1338 KUH. Perdata) dan
Pemerintah dilarang mencampuri kemerdekaan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut.

Namun perkembangan teknologi dalam bidang produksi telah memaksa pemerintah untuk
terus menerus mencampuri urusan perburuhan/ketenaga-kerjaan dan ada kalanya demi
kepentingan umum dan ada kalanya untuk kepentingan buruh/tenaga kerja itu sendiri yang
selalu berada dalam posisi yang lemah.

Dalam kenyataannya sifat sipil makin menyempit dan sifat publik makin meluas dalam
bidang ketenagakerjaan. Oleh karena itu dalam kurikulum Fakultas Hukum dewasa ini
hukum perburuhan/ketenagakerjaan dimasukkan ke dalam Jurusan Hukum Administrasi
Negara (HAN) walaupun pada beberapa Fakultas Hukum di Indonesia ada yang dimasukkan
pada Jurusan Hukum Perdata atau Jurusan Hukum Tata Negara.

Anda mungkin juga menyukai