PENDAHULUAN
A. PERISTILAHAN DAN PENGERTIAN
Banyak istilah yang digunakan untuk tenaga kerja seperti: pekerja, tenaga kerja,
karyawan dan tenaga kerja. Buruh merupakan peninggalan zaman feodal dimana orang
melakukan pekerjaan manual atau pekerjaan manual seperti kuli, perajin yang melakukan
pekerjaan berat dan kotor, yang lebih dikenal dengan sebutan kerah biru.
Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan/jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan
pemerintah berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Tenaga kerja dan pekerja dapat ditemukan dalam UU Ketenagakerjaan no. 13 Tahun 2003.
Pegawai lebih banyak digunakan untuk orang yang bekerja di lembaga negara misalnya
pegawai Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, tidak hanya pekerja di “UIN
SUSKA RIAU”. Tenaga kerja banyak digunakan dalam bidang manajemen karena manusia
“termasuk tenaga kerja/buruh” merupakan salah satu faktor produksi.
Dalam berbagai seminar yang telah diadakan di Indonesia, sering kali diperdebatkan istilah
yang seharusnya digunakan, apakah istilah buruh, buruh atau pekerja, namun tidak ada satu
pendapat yang seragam mengenai hal ini. Sementara itu, Kementerian Tenaga Kerja
menggunakan istilah “pekerja” untuk menggantikan istilah “tenaga kerja”.
Menurut hemat penulis, istilah “tenaga kerja” harus digunakan, karena didukung oleh
undang-undang yang mengaturnya yaitu Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun
2003. Hal ini juga sesuai dengan Kementerian yang mengatur dan mengawasinya yaitu
Kementerian Tenaga Kerja. Demikian pula pelajaran yang diberikan di berbagai Fakultas
Hukum di Indonesia menggunakan nama Hukum Ketenagakerjaan.
Istilah majikan biasanya ditujukan untuk orang-orang yang melakukan pekerjaan halus dan
berpangkat Belanda pada waktu itu, seperti juru tulis, komisaris yang memiliki jabatan
sebagai pegawai, bangsawan atau majikan/karyawan. Istilah majikan dapat ditemukan dalam
undang-undang yang lama, yaitu: Undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan no. 22 Tahun 1957. Tenaga kerja adalah setiap orang yang bekerja pada pemberi
kerja dengan menerima upah (Pasal 1 ayat 1 (1a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957.
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan untuk menghasilkan
barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan
masyarakat (Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2003) Pekerja/Buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 3 UU
No. 2003 Pemberi kerja adalah orang atau badan hukum yang mampu mempekerjakan
pekerja (Pasal 1 ayat (1b) UU No. 22 Tahun 1957.
Sedangkan istilah wirausaha dapat dilihat dalam UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. 3
Tahun 1992, dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 Tahun 2002, dan dalam UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Perusahaan dapat ditemukan dalam UU Jaminan Sosial
Tenaga Kerja no. 3 Tahun 1992, dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 Tahun 2000,
dan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
Yang menjalankan perusahaan milik sendiri. Mereka yang secara mandiri menjalankan
perusahaan bukanlah milik mereka sendiri.
Yang berada di wilayah Indonesia merupakan perusahaan milik sendiri atau bukan milik
yang berkedudukan di Indonesia (Pasal 1 angka 5 UU No. 13 Tahun 2003).
Istilah majikan biasanya ditujukan untuk orang-orang yang melakukan pekerjaan halus dan
berpangkat Belanda pada waktu itu, seperti juru tulis, komisaris yang memiliki jabatan
sebagai pegawai, bangsawan atau majikan/karyawan. Istilah majikan dapat ditemukan dalam
undang-undang yang lama, yaitu: Undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan no. 22 Tahun 1957.
Tenaga kerja adalah setiap orang yang bekerja pada pemberi kerja dengan menerima upah
(ayat 1 (1a) ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957. Tenaga kerja adalah setiap orang
yang dapat melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sendiri. kebutuhan atau untuk memenuhi kebutuhannya sendiri untuk
kebutuhan masyarakat (ayat 2 Pasal 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003)
Pekerja/pekerja adalah setiap orang yang bekerja, menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain (ayat 3 Pasal 1 UU No. 2003 Majikan - orang perseorangan atau badan hukum yang
dapat mempekerjakan karyawan (Pasal 1 (1b) Bagian 1 UU No. 22 Tahun 1957).
Sedangkan istilah wirausaha dapat dilihat dalam UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. 3
Tahun 1992, dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 Tahun 2002, dan dalam UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Perusahaan dapat ditemukan dalam UU Jaminan Sosial
Tenaga Kerja no. 3 Tahun 1992, dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 Tahun 2000,
dan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
Mereka yang secara mandiri menjalankan perusahaan bukanlah milik mereka sendiri.
A. Setiap bisnis moral atau non-moral, baik milik pribadi atau milik negara, yang bekerja
dengan membayar upah atau bentuk gangguan lainnya.
B. Usaha sosial dan usaha lain yang mengelola dan mempekerjakan orang lain melalui
pembayaran upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 6 UU No. 13 Tahun 2003).
Menurut UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 Tahun 2000, perusahaan adalah: Bentuk
usaha setia yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan atau
badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, yang mempekerjakan pekerja/buruh
dengan memberikan upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 8 UU No. -UU No.
21 Tahun 2000).
Pengertian perusahaan menurut UU Jamsostek no. 3 Tahun 1992 adalah : Setiap bentuk
badan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja untuk mencari keuntungan maupun tidak,
baik milik swasta maupun milik negara (Pasal 1 ayat (4) UU No. 3 Tahun 1992). BB.
1. MOLENAAR
2. M.G. LEVENBACH
Hukum Ketenagakerjaan adalah hukum yang berkaitan dengan hubungan kerja, dimana
pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan syarat-syarat kehidupan yang
berkaitan dengan hubungan kerja tersebut. Dalam pengertian ini, hubungan kerja tidak hanya
mengatur mereka yang terikat dalam hubungan kerja, tetapi juga mencakup peraturan-
peraturan tentang persiapan hubungan kerja. Contoh: aturan magang.
3. VAN ESVELD
4. MOK
Hukum perburuhan adalah hukum yang mengatur tentang pekerjaan yang dilakukan di bawah
pimpinan orang lain dan dengan keadaan hidup yang berhubungan langsung dengan
pekerjaan itu.
5. IMAN Prof. SOEPOMO
Hukum Ketenagakerjaan adalah seperangkat peraturan, tertulis atau tidak, yang berkaitan
dengan peristiwa di mana seseorang bekerja untuk orang lain dengan menerima upah.
Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan nasional dan daerah .Melindungi pekerja untuk kemakmuran
Pasal 5 UU 13/2013 menegaskan bahwa setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama
untuk mendapatkan.
Tenaga kerja yang mempunyai keahlian pada bidang tertentu atau khusus yang diperoleh dari
bidang pendidikan. Sebagai contoh: dosen, dokter, guru, pengacara, akuntan dan sebagainya.
b.Tenaga Kerja Terlatih
Tenaga kerja yang memiliki keahlian pada bidang tertentu atau khusus yang diperoleh dari
pengalaman dan latihan. Sebagai contoh: supir, tukang jahit, montir dan sebagainya.
Tenaga kerja yang mengandalkan tenaga, tidak memerlukan pendidikan maupun pelatihan
terlebih dahulu. Sebagai contoh: kuli, pembantu rumah tangga, buruh kasar dan sebagainya.
Klasifikasi diatas mendorong pengaturan terkait pelatihan kerja sebagaimana diatur dalam
Bab V UU 13/2013, agar kualifikasi tenaga kerja Indonesia dapat semakin baik.
Dalam pelaksanaan ketenagakerjaan, pelaku usaha dan tenaga kerja mengikatkan diri dalam
suatu hubunga hukkum melalui ikatan atau perjanjian kerja yang sudah disepakati oleh kedua
belah pihak, bersifat tertulis atau lisan dan dilandasi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan yang berlaku. Hak dan kewajiban antara pengusaha dan tenaga
kerja juga menjadi perhatian demi menciptakan keamanan dan kenyamanan saat melakukan
aktivitas pekerjaan.
Apabila timbul perselisihan antara pengusaha dan tenaga kerja, maka hukum yang mengatur
adalah Undang Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Setiap bentuk perselisihan memiliki cara atau prosedur yang berlaku dan harus
diikuti oleh kedua belah pihak baik itu melalui cara berunding, mediasi, konsiliasi, arbitrase
maupun diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial.
Dari segi hukum, pekerja/buruh bebas memilih dan menentukan nasibnya sendiri, bebas
memilih dan menentukan pekerjaan yang disukainya. Ini bisa dimaklumi, karena di negara
kita ada prinsip: “tidak ada yang boleh diperbudak, diregangkan atau diperbudak”.
Perbudakan dan perbudakan adalah tindakan yang melanggar hak asasi manusia.
Namun secara sosiologis/sosial, pekerja/buruh adalah orang-orang yang tidak bebas, karena
dipaksa untuk bekerja dan mengikuti majikan/pengusahanya di mana pun mereka berada.
Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia adalah tenaga kerja yang tidak memiliki bekal hidup
berupa keahlian dan keterampilan, selain tenaga kerjanyaMajikan/majikan yang pada
dasarnya menentukan kondisi kerja, dapat dikatakan bahwa majikanlah yang menentukan
hidup matinya tenaga kerja.
Dalam praktiknya, baik secara fisik maupun moral, pekerja bukanlah pihak yang bebas.
Tindakan pencegahan berikut telah diambil untuk melindungi para pekerja ini:
B. Menetapkan aturan yang dibuat oleh pengusaha dengan serikat pekerja, yang disebut
Perjanjian Kerja Bersama/PCB.
C. Himpunan aturan yang ditetapkan oleh pengusaha disebut aturan perusahaan independen
Dalam hal ini aturan tipe kedua dan ketiga tidak boleh bertentangan dengan tipe pertama.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sifat hukum perburuhan adalah:
A. Lindungi yang lemah dan tempatkan mereka pada posisi yang layak bagi kemanusiaan.
Lembaga Hubungan Industrial Adalah agen tenaga kerja yang dibentuk dari tidak yakin
serikat pekerja/serikat buruh terdaftar pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan, organisasi pengusaha khusus di bidang ketenagakerjaan yang telah
terakreditasi oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan instansi pemerintah.
Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan pemberi kerja mempunyai fungsi
menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas kesempatan kerja, dan
memberikan kesejahteraan bagi pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
Hubungan antara pekerja dan pekerja dengan majikan atau majikannya sangat berbeda
dengan hubungan antara penjual dan pembeli. Orang yang melakukan jual beli barang bebas
melakukan usaha jual beli barang tersebut, artinya penjual tidak dapat dipaksa untuk menjual
barang miliknya jika harga yang ditawarkan tidak sesuai dengan keinginannya. Demikian
pula pembeli tidak dapat dipaksa untuk membeli barang tersebut jika harga barang yang
diinginkannya tidak sesuai dengan keinginannya. Begitu pula dengan pertukaran barang,
orang bebas menukarkan barang jika cocok dengan barang yang dipertukarkan atau
sebaliknya. Dalam hubungan antara pekerja atau pekerja dengan majikan atau pengusaha,
hubungan itu bebas secara hukum, karena prinsip negara kita adalah tidak ada yang bisa
diperbudak atau diperbudak. Segala macam dan bentuk penghambaan, perpanjangan dan
penghambaan dilarang, tetapi secara sosial pekerja atau pekerja tidak sebesar atau komitmen
seperti orang yang tidak memiliki bekal hidup lain selain tenaganya, dan kadang-kadang
terpaksa menerima hubungan kerja dengan majikannya. atau pengusaha meskipun menjadi
beban bagi pekerja atau pekerja itu sendiri, apalagi saat ini dengan banyaknya jumlah pekerja
yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang ada. Akibatnya, pekerja atau buruh sering
dieksploitasi oleh pengusaha dengan upah yang relatif kecil. Oleh karena itu, pemerintah
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya untuk melindungi pekerja
atau pekerja untuk melindungi mereka sebagai pihak yang lemah dari otoritas pengusaha atau
kontraktor untuk menempatkan mereka pada posisi yang layak sesuai dengan harkat dan
martabat manusia.
Berdasarkan pembagiannya menurut isi hukumnya, hukum dibedakan menjadi hukum publik
dan hukum perdata/privat. Ada pembagian antara publik dan sipil/swasta karena isi
pengaturan hukum tergantung pada sifat hubungan yang diaturnya, dan dapat mengatur
hubungan kepentingan umum atau mengatur hubungan kepentingan pribadi.16 Carol Harlow
dalam esainya Publik dan Pribadi.
Hal-hal yang bersifat privat, misalnya aturan-aturan yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan, masih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengatur
sendiri-sendiri atau memutuskan ketentuan mana yang ingin mereka atur. Misalnya, Pasal
116 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “pembuatan perjanjian kerja bersama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan musyawarah”. Ketentuan lebih lanjut
mengenai PKB diatur dalam Peraturan Menteri No. 28 Tahun 2014 tentang tata cara
pembentukan dan pengesahan anggaran rumah tangga serta penyusunan dan pendaftaran
perjanjian kerja bersama. Pasal 24 Peraturan Menteri tersebut mengatur tentang isi perjanjian
kerja bersama tetapi klausul yang digunakan adalah “perjanjian kerja bersama harus memuat
paling sedikit”. Dengan demikian, ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja bersama
ditetapkan melalui musyawarah para pihak dengan memuat sekurang-kurangnya ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam peraturan menteri tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
ketentuan perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh para pihak harus melalui
musyawarah/negosiasi dan isi ketentuan dapat lebih dari yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan sehingga ketentuan tersebut merupakan ketentuan khusus. Jika itu
adalah ilmu tentang aturan hukum, maka regulasi adalah aturan yang independen.
Berangkat dari analisis di atas, penulis lebih menekankan pada hubungan kerja yang diatur
dalam UU Ketenagakerjaan. Hubungan antara majikan dan pekerja/buruh berdasarkan
hubungan kerja. Pasal 1 Angka 15 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “hubungan kerja
adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang
memuat unsur kerja, upah, dan perintah”. Pengertian hubungan kerja menurut UU
Ketenagakerjaan didasarkan pada perjanjian kerja yang merupakan suatu bentuk persetujuan
untuk melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1601 KUHPerdata. UU
Ketenagakerjaan mengatur hubungan perburuhan di Bab Sembilan. Bab Sembilan Terdiri
dari Model Hubungan Kerja (Pasal 50).
Berangkat dari analisis di atas, penulis lebih menekankan pada hubungan kerja yang diatur
dalam UU Ketenagakerjaan. Hubungan antara majikan dan pekerja/buruh berdasarkan
hubungan kerja. Pasal 1 Angka 15 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “hubungan kerja
adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang
memuat unsur kerja, upah, dan perintah”. Pengertian hubungan kerja menurut UU
Ketenagakerjaan didasarkan pada perjanjian kerja yang merupakan suatu bentuk persetujuan
untuk melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1601 KUHPerdata. UU
Ketenagakerjaan mengatur hubungan perburuhan di Bab Sembilan. Bab Sembilan Terdiri
dari Model Hubungan Kerja (Pasal 50)
Berangkat dari analisis di atas, penulis lebih menekankan pada hubungan kerja yang diatur
oleh UU Ketenagakerjaan. Hubungan antara majikan dan pekerja/buruh berdasarkan
hubungan kerja. Pasal 1 Nomor 15 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “Hubungan kerja
adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang
memuat unsur kerja, upah, dan perintah.” Pengertian hubungan kerja menurut UU
Ketenagakerjaan didasarkan pada perjanjian kerja yang merupakan suatu bentuk persetujuan
untuk melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1601 KUHPerdata. UU
Ketenagakerjaan mengatur hubungan perburuhan di Bab Sembilan. Bab 9 terdiri dari
Formulir Hubungan Kerja (Pasal 50) Perjanjian Kerja (Pasal 51 dan Pasal 63), Syarat Hukum
Perjanjian Kerja (Pasal 52), Tagihan Balik Biaya yang Dikeluarkan (Pasal 53), Isi dan
Ketentuan Perjanjian Kerja (Pasal 54 -55), Jenis Perjanjian Kerja dan Ketentuan-
ketentuannya (Pasal 56-60), Perjanjian Pemutusan Hubungan Kerja (Pasal 61-62), dan
Ketentuan-Ketentuan Tentang Pekerjaan Kontrak atau Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh (Pasal
64-66) Pasal 50 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “hubungan antara pekerjaan itu
terjadi karena adanya kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh”. 32 Tergantung
pasalnya, hubungan ini hanya dapat terjadi antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Dengan
demikian, dimungkinkan bagi para pihak dalam hubungan kerja selain majikan dan
pekerja/buruh, menurut ilmu hukum, ketentuan semacam itu menjadi dasar hukum yang
heterogen sehingga sifat hukumnya adalah common law. Sedikit kritik dari penulis, yang
seharusnya menjadi pihak dalam hubungan bisnis adalah “majikan”. Berdasarkan Pasal 1
Angka 4 UU Ketenagakerjaan, “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan
hukum, atau badan lain yang mempekerjakan pekerja dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.” Majikan adalah majikan. 33 Pembicaraan tentang hubungan kerja
berlanjut melalui pembahasan perjanjian kerja karena merupakan dasar dari adanya suatu
hubungan kerja. Perjanjian kerja merupakan perjanjian yang bersifat memaksa (dwang
contract) karena para pihak tidak dapat menentukan keinginannya sendiri dalam perjanjian
tersebut. Kebebasan berkontrak sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang Perikatan
Perbedaan kedudukan para pihak dalam perjanjian kerja menyebabkan para pihak tidak
mencantumkan keinginannya sendiri dalam perjanjian tersebut, terutama pekerja/buruh,
namun para pihak dalam hubungan usaha tersebut tunduk pada ketentuan undang-undang
perburuhan.34 Namun demikian, menurut penulis Para pihak, para pihak tetap dapat
menentukan sendiri isi perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang,
peraturan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Perbedaan sikap terlihat dari adanya komponen
kepemimpinan dalam hubungan kerja. Perbedaan ini disebabkan oleh sifat hubungan kedua
belah pihak yang tidak seimbang/bawahan.35 Sebagaimana disebutkan dalam UU
Ketenagakerjaan unsur-unsur perjanjian kerja meliputi adanya kerja, upah dan perintah, tetapi
Asri Wijayanti menambahkan unsur lain yaitu adanya waktu tertentu. Komponen waktu
berarti pekerja bekerja untuk waktu yang telah ditentukan atau waktu yang tidak
ditentukan.36 Menurut penulis, waktu tidak terbatas tidak berarti pekerja bekerja untuk
selamanya tetapi masih dibatasi pada waktu yang telah disepakati, misalnya usia pensiun.
untuk pekerja/buruh. Unsur kerja Pekerjaan tidak dipungut biaya sesuai kesepakatan antara
pekerja dan pengusaha sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Komponen upah adalah adanya upah tertentu yang merupakan imbalan atas
pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh. Dan unsur terakhir, unsur perintah adalah di
bawah perintah (gezag ver houding), dalam suatu hubungan kerja kedudukan majikan adalah
majikan sehingga ia berhak dan sekaligus berkewajiban memberi perintah yang berkaitan
dengan pekerjaannya.
Uang sebagai imbalan dari pemberi kerja atau pemberi kerja kepada pekerja/pekerjaan yang
ditetapkan dan dibayarkan sesuai dengan perjanjian kerja, perjanjian atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan kepada pekerja/pekerja dan keluarganya untuk
pekerjaan dan/atau jasa 40 Berdasarkan hal tersebut ketentuan, pengaturan pengupahan
merupakan pengaturan umum karena menentukan bagaimana dan seberapa besar
penetapannya.41 Jika didasarkan pada aturan hukum perburuhan, maka pengaturan
pengupahan merupakan norma hukum yang heterogen. Hal ini terlihat dengan adanya
ketentuan bahwa pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum dan upah
harus diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang. Dari segi waktu, UU Ketenagakerjaan
mengatur bahwa perjanjian kerja dapat dibuat untuk dan untuk waktu yang tidak ditentukan.
Kondisi ini dapat dilihat dari Pasal 56 Ayat (1), perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu
atau untuk waktu tidak tertentu. Selanjutnya perjanjian untuk jangka waktu tertentu hanya
untuk beberapa fungsi yang ditentukan dalam Pasal 59(1). Selain itu, waktu juga dapat
diartikan sebagai lamanya waktu pekerja/buruh bekerja dalam satu hari atau dalam satu
minggu. Ayat (1) Pasal 77 menyatakan bahwa “pengusaha wajib melaksanakan ketentuan
yang berkaitan dengan jam kerja”. 42 Ayat (2) mengatur tentang waktu kerja sebagaimana
dimaksud. Dengan ketentuan demikian, para pihak tidak dapat menentukan sendiri jangka
waktu perjanjian kerja atau menentukan sendiri lamanya masa kerja. Para pihak akan
mendasarkan diri pada jenis usaha yang menjadi subyek perjanjian. Dengan demikian
pengaturan mengenai waktu dalam suatu perjanjian kerja merupakan pengaturan yang
bersifat umum.
4.Sifat Hukum Ketenagakerjaan
Perlindungan Hukum
2)Pasal 10 ayat (1) UURI Ketenagakerjaan Dalam Pasal ini, diatur bahwa pemberi
kerja selaku pengusaha/perusahaan memiliki hak untuk membentuk serta menjadi anggota
organisasi pengusaha, sehingga ketentuan Hukum yang bersifat mengatur, memberikan hak
kepada pihak pengusaha untuk melaksanakan maupun tidak, ketentuan dalam Pasal ini
memberikan kebebasan kepada pihak pengusaha/perusahaan untuk memilih. 3)Pasal 60 ayat
(1) UURI Ketenagakerjaan Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (untuk
selanjutnya disebut sebagai “PKWTT”) yang memiliki syarat berupa masa percobaan selama
3 (tiga) bulan, sehingga ketentuan dalam Pasal ini memiliki sifat mengatur, tetapi pihak
pemberi kerja selaku pengusaha/perusahaan memiliki hak untuk menjalankan masa
percobaan tersebut ataupun tidak selama hubungan kerja berlangsung. b)Sifat Hukum
Ketenagakerjaan sebagai Sifat Memaksa (dwingenrecht)Sifat memaksa dalam Hukum
Ketenagakerjaan ini merupakan peraturan-peraturan yang telah dicampur tangani oleh
Pemerintah Negara yang ditegaskan harus ditaati dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun,
dengan upaya dapat mengatur atau sebagai pengatur hubungan kerja antara penerima kerja
selaku tenaga kerja atau pekerja dan pemberi kerja selaku pengusaha atau perusahaan, dapat
dijatuhkan hukuman atau pemberian sanksi kepada setiap individu yang menolak untuk
mentaati peraturan atau melanggar aturan yang memiliki sifat memaksa. Contoh bentuk
ketentuan memaksa yang dicampur tangani oleh pemerintah yang telah tercantum didalam
UURI Ketenagakerjaan, antara lain: 1)Pasal 42 ayat (1) UURI Ketenagakerjaan, tentang
perizinan yang menyangkut penggunaan Tenaga Kerja Asing (atau disebut sebagai “TKA”);
2)Pasal 68 UURI Ketenagakerjaan, mengenai larangan dan syarat untuk mempekerjakan anak
dibawah umur; 3)Pasal 76 UURI Ketenagakerjaan, mengenai larangan dan syarat untuk
mempekerjakan perempuan; 4)Pasal 153 ayat (1) UURI Ketenagakerjaan, tentang larangan
melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (untuk selanjutnya disebut sebagai “PHK”) terhadap
kasus atau sengketa tertentu.
a.Kepentingan bagi diri sendiri setiap individu, untuk lebih mengenal serta memahami
hak-hak dan kewajiban sebagai seorang buruh, pekerja atau karyawan. Jika hak pekerja tidak
dipenuhi oleh pihak pengusaha/perusahaan, maka pekerja memiliki hak untuk
mempertanyakan secara langsung kepada pihak pengusaha/perusahaan mengenai hak-hak
pekerja yang belum diterima atau belum dipenuhi oleh pihak pemberi kerja.b.Kepentingan
masyarakat selaku Warga Negara Indonesia yang memiliki keinginan menjadi buruh, pekerja
atau karyawan, masyarakat memiliki hak untuk menerima informasi-informasi mengenai hak-
haknya yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum yang setara dari pemerintah Negara
serta informasi mengenai kewajibannya yang harus dilaksanakan atau
dilakukan.c.Kepentingan pengusaha atau perusahaan selaku pemberi kerja dan pejabat
pemerintahan untuk memberikan informasi mengenai aksi unjuk rasa, demo atau mogok kerja
massal dalam lingkungan perusahaan yang dilakukan oleh pekerja atau buruh karena
perusahaan belum memenuhi hak-hak normatif yang telah ditetapkan oleh ketentuan hukum
atau undang-undang.Demikian tujuan Hukum Ketenagakerjaan atau Hukum Perburuhan yang
dapat disimpulkan demi Pembangunan Nasional serta pemerataan demi mencapai
kesejahteraan masyarakat dengan cara memberikan kesempatan kerja secara merata kepada
setiap tenaga kerja diseluruh wilayah Negara Indonesia yang telah disesuaikan dengan bakat,
minat dan kemampuan setiap individu yang berbeda-beda.
Para Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan a.Tinjauan Umum Pemberi Kerja selaku
Perusahaan dan Pengusaha 1)Pengertian Pemberi Kerja selaku Perusahaan dan Pengusaha
Pemberi Kerja17 selaku Perusahaan18 atau Pengusaha19adalah salah satu aspek penting
dalam wujudkan atau mencapai pemerataan kesempatan kerja atau Pembangunan Nasional.
Istilah perusahaan pada awalnya diambil dan diatur pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (untuk selanjutnya disebut sebagai “KUHD”) yang
kemudian dicabut berdasarkan Stb.1938:276 tertanggal 17 Juli 1938.20Perusahaan dapat
disebut sebagai tempat berlangsungnya suatu kegiatan atau produksi secara permanen atau
tetap dengan mempekerjakan setiap orang yang mampu melakukan atau melaksanakan
kewajiban mereka dalam bekerja dengan memberikan hak-hak pekerja berupa imbalan upah
ataupun berupa bentuk lainnya. Kegiatan yang dilakukan oleh Perusahaan adalah untuk
memproduksi barang maupun jasa yang dibutuhkan didalam kalangan masyarakat maupun
oleh diri sendiri, dengan tujuan utama mendapatkan keuntungan dan atau laba, maupun
perusahaan yang berbadan usaha hukum maupun bukan badan hukum. Terdapat pula definisi
Perusahaan menurut beberapa Ahli Hukum, diantara lain:21Menurut Molengraaff, beliau
berpendapat bahwa: “Perusahaan merupakan keseluruhan perbuatan atau kegiatan yang
dilakukan secara terus-menerus, memperdagangkan serta menyerahkan barang yang
diproduksi ataupun didistribusikan oleh Perusahaan, mengadakan suatu perjanjian
perdagangan dan mendapatkan penghasilan.”Menurut Abdul Kadir Muhammad, beliau
berpendapat didalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Perusahaan di Indonesia”
bahwa: “Berdasarkan tinjauan hukum, Perusahaan memiliki istilah yang mengacu pada badan
hukum dan kegiatan badan usaha dalam menjalankan usahanya, sehingga dapat disimpulkan
bahwa Perusahaan adalah tempat terjadinya suatu kegiatan produksi (workshop) dengan
tujuan mendapatkan laba atau keuntungan.”Perusahaan dalam dunia usaha atau kegiatan
usaha berjumlah besar menggunakan bentuk Perseroan Terbatas22(untuk selanjutnya disebut
sebagai “PT”), yang merupakan salah satu badan hukum persekutuan modal, PT didirikan
berdasarkan adanya suatu perjanjian antara dua atau lebih pihak, kegiatan dalam PT adalah
untuk melakukan kegiatan usaha yang disesuaikan dengan modal dasar yang secara
keseluruhannya terbagi dalam bentuk saham dan ditegaskan harus sesuai dan memenuhi
persyaratan dan aturan pelaksanaan yang telah ditetapkan didalam Undang-Undang.
Perusahaan merupakan tempat suatu kegiatan berlangsung, sedangkan Pengusaha adalah
orang perseorangan atau secara bersekutu atau berkelompok yang memiliki suatu
kemampuan dimana seseorang atau sekelompok orang bertahan dalam suatu kondisi,
melakukan suatu usaha tanpa pantang menyerah. Pengusaha adalah setiap orang yang mampu
untuk menerima kegagalan dalam dunia bisnis serta bertahan dalam kondisi yang kesulitan,
sehingga dapat berbuah hasil dan menjadi bisnis yang sukses. 2)Hak dan Kewajiban Pemberi
Kerja selaku Perusahaan dan PengusahaPemberi kerja selaku perusahaan atau pengusaha
memiliki hak dan kewajiban yang harus dipatuhi sebagaimana diatur dalam peraturan dan
UURI yang disusun demi mengatur, dan mengawasi setiap perusahaan demi
meminimalisirkan perilaku sewenang-wenang yang dapat menimbulkan diskriminasi
terhadap tenaga kerja dalam lingkungan perusahaan. Hak dan Kewajiban tersebut telah
disetujui dan disepakati sebagaimana diperjanjikan didalam perjanjian kerja antara pihak
penerima kerja dan pihak pemberi kerja. Hak-hak yang layak dan sepantasnya diterima oleh
pihak pemberi kerja, yaitu:23a)Hak atas hasil pekerjaan b)Hak untuk memerintah dan
mengatur tenaga kerja c)Hak untuk melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja
atau buruh Untuk mendapatkan haknya, perusahaan atau pengusaha tentu saja harus
melakukan kewajiban sebagai seorang atau suatu kelompok yang disebut sebagai pemberi
kerja, antara lain: a)“Ketentuan untuk mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat.Pasal
67 ayat (1) UURI Ketenagakerjaan Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja
yang merupakan penyandang cacat memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan
sesuai dengan garis dan derajat kecacatan tenaga kerja yang bekerja didalam lingkungan
perusahaan.”
b)“Ketentuan waktu kerja.Pasal 77 ayat (2) UURI Ketenagakerjaan (a)7 (tujuh) jam
dalam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu; atau(b)8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam dalam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.” c)“Ketentuan
dalam memberikan waktu istirahat dan cuti kepada Pekerja atau Buruh. Pasal 79 ayat (2)
huruf (a) dan (b) UURI Ketenagakerjaan (a)Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya
setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam secara terus-menerus dan waktu istirahat
tersebut tidak termasuk jam kerja; (b)Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2(dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu.” d)“Ketentuan dalam memberikan kesempatan kepada tenaga kerja untuk
melaksanakan ibadah agama. Pasal 80 UURI Ketenagakerjaan Perusahaan atau pengusaha
diwajibkan untuk memberikan waktu yang cukup kepada tenaga kerja atau pekerjanya untuk
melaksanakan ibadah yang merupakan kewajiban agama atau kepercayaannya masing-
masing individu.” e)“Ketentuan dalam membayar upah lembur apabila tenaga kerja bekerja
pada hari libur resmi. Pasal 85 ayat (3) UURI Ketenagakerjaan Pengusaha atau perusahaan
selaku pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja pada hari libur resmi diwajibkan
untuk membayar upah kerja lembur sebagaimana mestinya.” f)“Ketentuan membayar upah
kerja sesuai dengan upah minimum daerah yang telah ditentukan. Pasal 91 UURI
Ketenagakerjaan Pengusaha atau perusahaan diwajibkan untuk membayar biaya upah kerja
kepada tenaga kerja sesuai dengan pengaturan pengupahan yang telah ditetapkan atas
kesepakatan antara pemberi kerja dan penerima kerja dan tidak diperbolehkan lebih rendah
dari ketentuan pengupahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.” Tinjauan Umum Penerima Kerja selaku Pekerja atau Tenaga Kerja 1)Pengertian
Penerima Kerja selaku Pekerja atau Tenaga Kerja Penerima Kerja selaku Tenaga Kerja24
atau Pekerja/Buruh25 merupakan salah satu aset terpenting dalam Perusahaan, karena
merupakan aspek yang melakukan kegiatan produksi barang maupun jasa didalam
Perusahaan. Demikian pula dapat disimpulkan bahwa suatu Perusahaan tanpa tenaga kerja
atau pekerja tidak akan dapat melaksanakan kegiatan produksinya dengan baik. Menurut Dr.
Payaman Simanjuntak, beliau berpendapat dalam bukunya yang berjudul “Pengantar
Ekonomi Sumber Daya Manusia” bahwa: “Tenaga kerja atau pekerja merupakan penduduk
Negara yang berada di posisi sudah atau sedang melakukan suatu kegiatan yang disebut
sebagai bekerja, baik yang sedang mencari pekerjaan, dan bukan masih dalam kondisi
melaksanakan kegiatan lain seperti sekolah (pelajar) atau yang sedang mengurus rumah
tangga (Ibu Rumah Tangga), sehingga seseorang tersebut dapat didefinisi ia adalah seorang
tenaga kerja atau bukan tenaga kerja sesuai dengan batas umur.”Sesuai dengan penjelasan
Ahli diatas, Penulis kemudian dapat menyimpulkan bahwa yang disebut sebagai Tenaga
Kerja adalah setiap orang atau individu/pribadi yang sedang mencari pekerjaan atau
sudah/sedang melakukan kegiatan bekerja dengan memenuhi persyaratan berupa batasan usia
yang telah diatur dan ditetapkan dalam peraturan Undang-Undang dengan tujuan
mendapatkan hak-hak tenaga kerja berupa imbalan dalam bentuk upah maupun dalam bentuk
lainnya demi kehidupan sehari-hari seseorang. 2)Hak dan Kewajiban Penerima Kerja selaku
Pekerja atau Tenaga Kerja Didalam UURI Ketenagakerjaan, diatur pula Hak dan Kewajiban
Tenaga Kerja sebagai Penerima Kerja yang bertujuan untuk mengawasi, mengatur dan
melindungi tenaga kerja yang bekerja didalam lingkungan Perusahaan, hak tenaga kerja yang
diatur dalam UURI Ketenagakerjaan diantara lainnya:26a)“Hak atas kesempatan dan
perlakuan yang setara dan sama tanpa adanya bentuk diskriminasi. Pasal 5 UURI
Ketenagakerjaan Setiap tenaga kerja/pekerja/buruh berhak untuk memiliki kesempatan untuk
memperoleh pekerjaan yang sama tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Pasal 6 UURI
Ketenagakerjaan Setiap tenaga kerja/pekerja/buruh memiliki hak untuk memperoleh
perlakuan yang sama dan setara oleh pengusaha/perusahaan tanpa diskriminasi dalam bentuk
apapun.” b)“Hak atas lamanya waktu untuk melakukan kegiatan kerja atau bekerja. Pasal 77
ayat (1) dan ayat (2) UURI Ketenagakerjaan (1)Setiap pengusaha atau perusahaan diwajibkan
untuk melaksanakan ketentuan waktu kerja; (2)Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi: (a)7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu)
minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau (b)8 (delapan) jam 1 (satu)
hari dan 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu.” c)“Hak Overtime atau Hak Lembur. Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) UURI
Ketenagakerjaan (1)Pekerja atau buruh yang dipekerjakan oleh Pengusaha yang bekerja
melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) diwajibkan untuk
memenuhi syarat sebagai berikut: (a)Adanya atau terdapat persetujuan atau kesepakatan
pekerja/buruh yang bersangkutan untuk bekerja melebihi waktu; (b)Ketentuan waktu kerja
lembur hanya dapat dilakukan selama 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari atau 14 (empat belas)
jam dalam waktu 1 (satu) minggu. (2)Pekerja atau buruh yang dipekerjakan oleh Pengusaha
yang bekerja melebihi ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diwajibkan untuk membayar imbalan berupa upah kerja lembur atau overtime.” d)“Hak atas
kegiatan ibadah pekerja atau buruh. Pasal 80 UURI Ketenagakerjaan Pengusaha atau
perusahaan diwajibkan untuk memberikan kesempatan berupa waktu bagi tenaga
kerja/pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agama dan
kepercayaannya masing-masing individu/pribadi.” e)“Hak untuk mendapatkan perlindungan
kerja oleh Perusahaan. Pasal 86 ayat (1) UURI Ketenagakerjaan Setiap tenaga
kerja/pekerja/buruh memiliki hak atau berhak untuk memperoleh perlindungan atas:
(a)Keselamatan dan Kesehatan Kerja; (b)Moral dan Kesusilaan; serta (c)Perlakuan yang
disesuaikan dengan harkat dan martabat manusia atau berdasarkan Hak Asasi Manusia
(HAM) serta nilai-nilai agama.” f)“Hak untuk mendapatkan imbalan berupa upah untuk
kehidupan sehari-hari pekerja/buruh. Hak yang didapatkan oleh setiap pekerja atau buruh
yaitu berupa penghasilan dan imbalan berupa upah demi memenuhi kebutuhan pokok
kehiduapn sehari-hari tiap individu yang melakukan kegiatan kerja atau bekerja, hak untuk
mendapatkan upah diatur didalam Pasal 79, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 93 UURI
Ketenagakerjaan.” Hak yang didapatkan oleh setiap Tenaga Kerja yang melakukan kegiatan
kerja sebagaimana dimaksud diatas, terdapat pula kewajiban yang harus dilaksanakan atau
dilakukan oleh setiap pekerja atau buruh untuk mendapatkan hak yang disebut diatas, antara
lain:
Terdapat juga beberapa definisi Perjanjian Kerja menurut para Ahli Hukum, yaitu
sebagai berikut:
SEJARAH HUKUM
KETENAGA KERJAAN
DI INDONESIA
Peraturan penghapusan budak dikeluarkan pada tahun 1854. Kemudian pada tanggal 1
Januari 1860 dinyatakan dihapuskan sama sekali, meskipun dalam prakteknya setelah tahun
1860 masih banyak orang yang menjadi budak dan pemilik budak. Istilah budak setelah tahun
1860 mulai menyusut. Istilah budak semakin jarang terdengar tetapi diganti dengan istilah
lain yaitu hamba dan budak.
Pada tahun 1880 dikeluarkan peraturan tentang pekerja. Orang yang bekerja disebut koeli
(kuli) dan aturannya adalah Koeli Ordonantie. Pada tahun-tahun berikutnya peraturan Koeli
mulai menjadi sorotan seiring dengan penggunaan istilah pekerja yang mulai bergeser dari
koeli menjadi buruh. Sebelum kekalahan Pemerintah Belanda di Indonesia, ordonansi itu
dihapuskan. Sejarah UU Ketenagakerjaan di Indonesia mencapai puncaknya ketika negara
merdeka dimana hukum yang berlaku terkait ketenagakerjaan sejak dulu hingga sekarang dan
yang akan datang akan selalu bersumber dari UUD 1945 dan Pancasila
.
1. Sejarah Hukum Ketenagakerjaan
Hukum perbudakan yang berlaku saat ini adalah hukum perbudakan atau perburuhan asli
Indonesia. Perbudakan atau perburuhan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda
merupakan hukum tertulis. Pada tahun 1854, Hindia Belanda menerbitkan sistem
Regeringsregement (RR) yang mencakup penghapusan perbudakan. Bagian 115 dari Regulasi
juga menyatakan bahwa tanggal penghapusan perbudakan tidak boleh lebih dari 1 Januari
1860.
Kerja wajib inilah yang menyebabkan penghapusan perbudakan. Kesukarelaan pada awalnya
merupakan model gotong royong untuk kepentingan bersama di suatu daerah dan hasilnya
berpihak pada raja. Seringkali dengan perkembangan dimana kerja paksa ini pada awalnya
merupakan bentuk gotong royong yang semakin menyiksa masyarakat, kerja paksa ini
menjadi kerja paksa yang berpihak pada suatu kelompok atau individu. Para pekerja paksa ini
tidak menerima satu upah pun.
A. Zaman Pebudakan
Era perbudakan adalah masa ketika orang bekerja di bawah bimbingan orang lain. Ciri
penting adalah bahwa pekerja/buruh tidak memiliki hak, hak untuk hidup juga ditentukan
oleh majikannya. Apa yang mereka miliki hanyalah kewajiban untuk bekerja dan mengikuti
perintah dan instruksi tuannya. Yang sangat menyedihkan pada saat itu adalah tidak ada
peraturan pemerintah yang mengatur bahwa pemeliharaan budak adalah tanggung jawab
pemiliknya. Baru pada tahun 1817 pemerintah Hindia Timur Belanda mengatur perbudakan
dengan menetapkan peraturan sebagai berikut:
. Memang, kelima aturan tersebut di atas tidak mampu mengubah nasib para budak. Pada
tahun 1825 dilakukan perbaikan-perbaikan yang seharusnya mengubah nasib para budak,
yang intinya adalah: “bahwa hubungan antara pemilik dan budak tidak terletak pada
perlakuan pemilik budak, yang esensinya bersifat yuridis, sosiologis, dan ekonomis. ".
Sarana hukum: kewajiban dilakukan secara biasa dan hak diberikan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Sedangkan secara sosiologis berarti: hak dan kewajiban yang berlaku diakui
dalam masyarakat. Secara ekonomi berarti: hak yang diberikan kepada budak mencapai
keseimbangan yang cukup baginya.
Pada masa pemerintahan Raffles antara tahun 1818 dan 1825, ia berusaha memperbaiki nasib
para budak dengan sebuah lembaga yang disebut "Java Bnevolent Institution". Niat baik
Raffles digagalkan oleh pemilik budak yang berpendapat bahwa "penghapusan properti
adalah pelanggaran hak budak". Pendapat ini dapat diterima oleh pihak lain, yang berbunyi:
"perbudakan besar bagi kemanusiaan, untuk menjadi milik manusia".
Pada tahun 1854 mulai tergerus dan pada tahun 1860 tepatnya pada tanggal 1 Januari 1860
awal negara Indonesia dihapuskan, tetapi tidak perlu dibatalkan sama sekali, karena secara
istilah masih ada. Di luar pulau Jawa disebut perbudakan (Sumatera) dan geliat (pulau
Banda).
Perbudakan / pandeling gschap, yaitu memberikan kredit / kredit kepada seseorang, dan jika
mereka tidak dapat membayar kembali, maka pengambil gadai harus bekerja untuk pegadaian
sampai hutang dan bunga dibayar. Orang yang diberi gadai diperlakukan sebagai hamba, oleh
karena itu perbudakan terwujud.
Pemanjangan itu terjadi di Pulau Banda yang terkenal sebagai pulau penghasil rempah-
rempah. Tanah pulau itu dikuasai oleh penduduk asli, kemudian gubernur jenderal Hindia
Belanda mengambil alih, banyak pemilik tanah pulau itu terbunuh. Lahan dikuasai oleh
karyawan perusahaan dan budidaya rempah-rempah. Tanah tempat karyawan perusahaan
bekerja dikenal sebagai Perk dan orang-orang yang bekerja di Perkenier. Ikatan karyawan
perusahaan untuk menanam rempah-rempah di Pulau Banda disebut Peruluran.
Zaman penjajahan Jepang ada namanya kerja paksa Romusha untuk kepentingan
suatu kerajaan atau kelompok untuk pembangunan apa yg diinginkan oleh Raja. Parahnya
lagi pada masa penjajahan Jepang pekerja Romushaini apabila lamban, lemas, malas-malasan
dalam melakukan pekerjaan akan dihukum, apalagi yang tidak melakukan pekerjaan.b.Masa
setelah kemerdekaanAda perbedaan yang sangat berbeda sekali pada hukum perburuhan
setelah masa kemerdekaan. Pada masa kedudukan Hindia Belanda hukum perburuhan banyak
dipengaruhi oleh pemerintahan Hindia Belanda. Sedangkan setelah kemerdekaan hukum
ketenagakerjaan sudah diambil alih oleh pemerintah kita (Indonesia) dapat dilihat dalam
Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dan dituangkan dalam Pasal 27 ayat
(2) “tiap warga negara berhak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak selaykanya
makhluk hidup”.Pada awal kemerdekaan sebenarnya hal yang mengenai Ketenagakerjaan
belum manjadi hal paling penting, pokok dimata pemerintah kita pada masa itu. Yang
menjadikan hal yang tidak penting ini adalahkarna pada masyarakat Indonesia lagi sibuk
dalam mempertahankan kemerdekaannya.Tahun 1951 diundangkan yaitu Undang-Undang
Nomor 12Tahun 1948 yang bernama Undang-Undang Kerja. Undag-Undang ini mengatur
pekerjaan yang boleh dilakukan orang dewasa, anak-anak, remaja dan perempuan, waktu
kerja, istirahat dan mengatur mengenai tempat kerja.Tahun 1951 apabila ada perselisihan
maka akan diselesaikan oleh pihak yang berselisih itu saja sendiri, bila dalam penyelesaian
tersebut tidak memenuhi titik terang baru pegawai kementrian perburuhan bergerak dengan
intrksi dari Menteri Tenaga Kerja.
Penetapan hari kerja tersebut diatur gunanya supaya orang yang dipekerjakan pada
tanah-tanah swasta mempunyai kesempatan untuk mengerjakan sawahnya. Pada tahun
1870 lahirlah Agarische Wet yang hal ini mendorong tumbuhnya perkebunan-
perkebunan besar seperti perkebunan karet, tembakau, cengkeh dan sebagainya.
Sehubungan dengan tumbuhnya perkebunan-perkebunan tadi, masalah perburuhan
menjadi semakin penting, karena semakin banyak buruh yang dipekerjakan. Namun
juga ada yang menolak untuk dikirim ke perkebunan di Sumatra Timur yang ditanami
tembakau. Orang yang menolak untuk dipekerjakan diperkebunan dipidana dengan
hukuman badan yang disebut dengan poenale sanksi.
Kejadian tersebut mendapat pertentangan dari Parlemen Belanda di Nederland dengan
pernyataannya sebagai berikut: “kalau buruh di Indonesia menyalahi
perjanjian/melakukan kesalahan maka tidak seharusnya dipidana dengan pidana yang
mengarah pada hukuman badan, khususnya di daerah Sumatra Timur”.
Pernyataan ini kemudian diwujudkan dengan dikeluarkannya “Koeli Ordonantie”
pada tahun 1880, yaitu peraturan yang digunakan untuk buruh jangan sampai diberi
pidana yang mengarah pada pidana badan.
Pada Tahun 1930 keadaan buruh di Sumatra Timur tambah jelek karena ada
pemerasan, penganiayan dan penyalah-gunaan wewenang yang dilakukan penguasa.
Kemudian tahun 1904 diadakan/dibentuk instansi pengawasan perbudakan (Arbeids
Inspectie).
Baru pada tanggal 1 Januari 1942 Poenale Sanksi lenyap dari dunia perburuhan di
perkebunan Indonesia.
Sesuai dengan uraian diatas, jika disimpulkan terdapat keadaan sebagai berikut :
Keadaan hukum perburuhan sebelum kemerdekaan :
a. Pandangan hukum perburuhan terletak pada kontrak sosial yang bebas artinya nasib
buruh bergantung dari perorangan yang menggunakan buruh tersebut.
b. Sifat peraturan yang ada, adalah privat rechtelyk.
d. Perjanjian.
Yang dimaksud perjanjian sebagai sumber hukum perburuhan ini adalah
Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Perjanjian kerja adalah
perjanjian antara para pihak (pekerja) dengan pengusaha yang dibuat secara
tertulis mengenai syarat-syarat kerja. Perjanjian tersebut memuat :
Nama, alamat perusahaan, jenis usaha;
Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja;
Jabatan/jenis pekerjaan;
Tempat pekerjaan;
Besarnya upah dan cara pembayaran;
Hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja;
Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
Tempat dan tanggal perjanjian dibuat;
Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang dibuat oleh Serikat Pekerja atau
beberapa Serikat Pekerja yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
Baik perjanjian kerja maupun perjanjian kerja bersama dapat menjadi sumber
hukum perburuhan bila ada masalah perburuhan diantara pekerja/Serikat Pekerja
dengan pengusaha/beberapa pengusaha.
e. Traktat/Konvensi.
Traktat adalah perjanjian yang diadakan oleh beberapa negara di dunia ini
mengenai permasalahan perburuhan. Negara-negara tersebut menjadi Anggota
International Labour Organization (ILO). Sampai dengan Tahun 2001 ILO telah
menghasilkan 184 konveksi, 12 diantaranya telah diratifikasi Indonesia. Dari 12
konveksi tersebut ada yang diratifikasi pemerintah Hindia Belanda dan
pemerintah Republik Indonesia.
1) Konveksi Yang Diratifikasi Pemerintah Hindia Belanda
Konvensi No.19 Tahun 1925 tentang “Equality of Treatment (Accident
Compensation)” = Perlakuan yang sama bagi pekerja nasional dan asing
dalam hal tunjangan kecelakaan. Diatur dalam Undang-Undang No.3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Konvensi No. 27 Tahun 1929 tentang “Marking of Weight (Packages
Transported by Vessel)” = Pemberian tanda berat pada barang-barang
besar yang diangkut dengan kapal.
Konvensi No. 29 Tahun 1929 tentang “Foroed Labour” = Wajib kerja.
Konvensi No. 45 Tahun 1945 tentang “Underground Work (Women)” =
Kerja wanita dalam semua macam tambang dibawah tanah.
2) Konvensi yang Diartifikasi Pemerintah Republik Indonesia
Konvensi No.98 Tahun 1949 tentang “Right to Organized & Collective
Emergency” = Berlakunya dasar-dasar hak berorganisasi dan berunding
bersama. Diratifikasi dengan Undang-Undang No.18 Tahun 1956 dan
diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Konvensi No.100 Tahun 1951 tentang “Equal Penumaration” =
Pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan wanita yang mempunyai
nilai yang sama.
Konvensi No.106 Tahun 1957 tentang “Weekly Rest/Commerce & Office”
= Istirahat mingguan diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan Pasal 79 ayat (2a)
Konvensi No.120 Tahun 1964 tentang “Hygiene (Commerce & Office)”
Hygiene dalam perniagaan dan kantor diatur dalam Undang-Undang No.1
Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Konvensi No.105 Tahun 1957 tentang “Abolition of Foroed Labour” =
Penghapusan Kerja Paksa diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun
1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa.
Konvensi No.138 Tahun 1973 tentang “Minimum Age for Administration
of Employment” = Usia minimum untuk diperbolehkan bekerja diatur
dalam Undang-Undang No.20 Tahun 1999 tentang usia minimum untuk
diperbolehkan bekerja.
Konvensi No.111 Tahun 1958 tentang “Discrimination in Respect of
Employment & Occupation” = Deskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan.
Diatur dalam Undang- Undang No.21 Tahun 2001 tentang Diskriminasi
dalam Pekerjan dan Jabatan.
Konvensi No.182 Tahun 1999 tentang “Prohibition and Immediate Action
for the Elimination Of The Worst Form Of Child Labour” = Pelarangan dan
tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjan terburuk untuk
anak. Diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2001 tentang
penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Namun perkembangan teknologi dalam bidang produksi telah memaksa pemerintah untuk
terus menerus mencampuri urusan perburuhan/ketenaga-kerjaan dan ada kalanya demi
kepentingan umum dan ada kalanya untuk kepentingan buruh/tenaga kerja itu sendiri yang
selalu berada dalam posisi yang lemah.
Dalam kenyataannya sifat sipil makin menyempit dan sifat publik makin meluas dalam
bidang ketenagakerjaan. Oleh karena itu dalam kurikulum Fakultas Hukum dewasa ini
hukum perburuhan/ketenagakerjaan dimasukkan ke dalam Jurusan Hukum Administrasi
Negara (HAN) walaupun pada beberapa Fakultas Hukum di Indonesia ada yang dimasukkan
pada Jurusan Hukum Perdata atau Jurusan Hukum Tata Negara.