Anda di halaman 1dari 38

Kegiatan Belajar 7

PERLINDUNGAN KERJA

Ada 3 (tiga) aspek pada bidang ketenagakerjaan yang memiliki keterkaitan


dan pengaruh kuat terhadap pelaksanaan hubungan industrial, bahkan seringkali
menjadi pemicu (trigger) bagi timbulnya friksi bahkan konflik hubungan industrial.
Ketiganya adalah aspek Perlindungan Kerja, Pengupahan serta Kesejahteraan
Pekerja.
Perlindungan kerja secara teoritis dimaksudkan sebagai langkah yang
dilakukan oleh negara dan pemerintah dalam bentuk kebijakan dan tindakan untuk
memastikan/menjamin hak-hak atas pekerja, terhindar dari risiko-risiko kerja, risiko-
risiko sosial, kesamaan perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun, untuk
mewujudkan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya, dengan tetap memperhatikan
perkembangan dan kemajuan dunia usaha serta kepentingan pengusaha.
Mengutip pendapat Zaeni Asyhadie dalam Hukum Ketenagakerjaan Bidang
Hubungan Kerja (2007, 78), ada tiga jenis perlindungan kerja, yaitu:
1. Perlindungan Sosial
Merupakan kebijakan dan tindakan untuk menjamin agar pekerja dapat
menikmati perkembangan kehidupannya sebagai manusia pada umumnya,
sebagai anggota masyarakat dan sebagai anggota keluarga. Beberapa contoh:
perlindungan bagi pekerja anak agar mampu menjalani kehidupan masa
depannya, perlindungan bagi pekerja wanita agar selain bekerja juga mampu
mengurus dan merawat keluarganya, jaminan kesehatan dan sebagainya.

2. Perlindungan Teknis
Merupakan perlindungan yang berkaitan dengan upayauntuk mencegah
pekerja dari risiko-risiko teknis dalam melaksanakan pekerjaan, seperti
kecelakaan kerja, peledakan, kebakaran dan penyakit akibat kerja. Contoh
perlindungan ini adalah tentang keselamatan dan kesehatan kerja.

3. Perlindungan Ekonomis
Merupakan jenis perlindungan yang berkaitan dengan jaminan agar pekerja
mendapatkan penghasilan yang cukup guna memenuhi kebutuhan dirinya dan
keluarganya, sehingga mampu menapaki kehidupannya dengan lebih baik.
Contoh di sini tentang jaminan pengupahan, kesejahteraan pekerja dan
keluarganya dan sebagainya.
Perlindungan kerja di dalam hukum ketenagakerjaan banyak ragamnya,
namun yang akan dibahas dalam bab ini hanya dua macam yaitu :
 Kesehatan yang diatur dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009.
 Keselamatan kerja yang diatur dengan Undang-Undang No. 88 Tahun
2019.
 Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
A. KESEHATAN YANG DIATUR DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 36
TAHUN 2009.
Pasal 164
1) Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup
sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang
diakibatkan oleh pekerjaan.
2) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pekerja di sektor formal dan informal.
3) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
bagi setiap orang selain pekerja yang berada di lingkungan tempat
kerja.
4) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) berlaku juga bagi kesehatan pada lingkungan tentara nasional
Indonesia baik darat, laut, maupun udara serta kepolisian Republik
Indonesia.
5) Pemerintah menetapkan standar kesehatan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
6) Pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan menjamin lingkungan kerja
yang sehat serta bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja.
7) Pengelola tempat kerja wajib bertanggung jawab atas kecelakaan kerja
yang terjadi di lingkungan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 165
1) Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya
kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan
pemulihan bagi tenaga
2) kerja.
3) Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang
sehat dan menaati peraturan yang berlaku di tempat kerja.
4) Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada
perusahaan/instansi, hasil pemeriksaan kesehatan secara fisik dan
mental digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan.
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 166
1) Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya
pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib
menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja.
2) Majikan atau pengusaha menanggung biaya atas gangguan kesehatan
akibat kerja yang diderita oleh pekerja sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
3) Pemerintah memberikan dorongan dan bantuan untuk perlindungan
pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

B. KESELAMATAN KERJA YANG DIATUR DENGAN UNDANG-


UNDANG NO. 88 TAHUN 2019.

Bagian Kesatuan
Umum
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1) Kesehatan Kerja adalah upaya yang ditujukan untuk melindungi setiap
orang yang berada di Tempat Kerja agar hidup sehat dan terbebas dari
gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan dari
pekerjaan.
2) Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan
danf atau lingkungan kerja.
3) Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
4) Tempat Kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka,
bergerak atau tetap, letak pekerja bekerja, atau yang sering dimasuki
pekerja untuk keperluan suatu usaha dan terdapat sumber bahaya sesuai
dcngan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5) Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh
Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6) Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
7) Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan dirinya dalam
bidang kesehatan serta memlliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
8) Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah,
atau imbalan dalam bentuk lain.
9) Pengurus atau Pengelola Tempat Kerja adalah orang yang mempunyai
tugas memimpin langsung sesuatu Tempat Kerja atau bagiannya yang
berdiri sendiri.
10) Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara
negara yang mempekerjakan Aparatur Sipil Negara, Prajurit Tentara
Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.

Pasal 2
1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab
dalam penyelenggaraan Kesehatan Kerja secara terpadu, menyeluruh, dan
berkesinambungan.
2) Penyelenggaraan Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi upaya:
a. pencegahampenyakit;
b. peningkatrrn kesehatan;
c. penanganan penyakit; dan
d. pemulihan kesehatan.
3) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilaksanakan sesuai dengan
standar Kesehatan Kerja.
4) Standar Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diiaksanakan
dengan memperhatikan Sistem Kesehatan Nasional dan kebijakan
keselamatan dan Kcsehatan Kerja nasional sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
Pasal 3
1) Penyelenggaraan Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksuci dalam Pasal 2
ditujukan kepada setiap orang yang berada di Tempat Kerja.
2) Penyelenggaraan Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dipenuhi oleh Pengurus atau Pengelola Tempat Kerja dan Pemberi Kerja di
semua Tempat Kerja

Bagian kedua
Standar Kesehatan Kerja
Pasal 4
Standar Kesehatan Kerja dalam upaya pencegahan penyakit meliputi:
1) identifikasi, penilaian, dan pengendalian potensi bahaya kesehatan;
2) pemenuhan persyaratan kesehatan lingkungan kerja;
3) pelindungan kesehatan reproduksi;
4) pemeriksaan kesehatan;
5) penilaian kelaikan bekerja;
6) pemberian imunisasi dan/atau profilaksis bagi Pekerja berisiko tinggi;
7) pelaksanaan kewaspadaan standar; dan
8) surveilans Kesehatan Kerja.
Pasal 5
Standar Kesehatan Kerja dalam upaya peningkatan kesehatan meliputi:
1) peningkatan pengetahuan kesehatan;
2) pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat;
3) pembudavaen keselamatan dan Kesehatan Kerja di Tempat kerja
4) penerapan gizi kerja; dan
5) peningkatan kesehatan fisik dan mental

Pasal 6
Standar Kesehatan Kerja dalam upaya penanganan penyakit meliputi:
a. pertolongan pertama pada cedera dan sakit yang terjadi di Tempat
Kerja;
b. diagnosis dan tata laksana penyakit; dan
c. penanganan kasus kegawatdaruratan medik danf atau rujukan.
1) Pertolongan pertama pada cedera dan sakit yang terjadi di Tempat Kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dilaksanakan di Tempat
Kerja.
2) Diagnosis dan tata laksana penyakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan terhadap
3) Penyakit Akibat Kerja dan bukan Penyakit Akibat Keda, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
4) Penanganan kasus kegawat daruratan medik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c meliputi penanganan lanjutan setelah pertolongan pertama
terhadap cedera, kasus keracunan, dan gangguan kesehatan lainnya yang
memerlukan tindakan segera, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
5) Rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6) Jika daiam diagnosis dan tata laksana Penyakit Akibat Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditemukan kecacatan, dilakukan penilaian kecacatan.
7) Hasil penilaian kecacatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) digunakan
sebagai pertimbangan untuk mendapatkan jaminan kecelakaan kerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 7
Standar Kesehatan Kerja dalam upaya pemulihan kesehatan meliputi:
a. pemulihan medis; dan
b. pemulihan kerja.
1) Pemulihan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan
sesuai dengan kebutuhan medis.
2) Pemulihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan
melalui program kembalibekerja.

Pasal 8
1) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar Kesehatan Kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 diatur dengan:
a. Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan, untuk standar Kesehatan Kerja yang bersifat teknis
kesehatan; dan
b. Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang ketenagakerjaan, untuk penerapan standar Kesehatan Kerja
bagi Pekerja di perusahaan.
2) Penerapan standar Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
sampai dengan Pasal 7 dapat dikembangkan oleh kementerian/lembaga terkait
sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik bidang masing-masing.
Bagian Ketiga
Dukungan Penyelenggaraan Kesehatan Kerja
Pasal 9
Penyelenggaraan Kesehatan Kerja harus didukung oleh:
a. sumber daya manusia;
b. Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
c. peralatan Kesehatan Kerja; dan
d. pencatatan dan pelaporan.

Pasal 10
1) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal t huruf a terdiri
atas Tenaga Kesehatan dan tenaga nonkesehatan.
2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki
kompetensi di bidang kedokteran kerja atau Kesehatan Kerja yang diperoleh
melalui pendidikan danf atau pelatihan.
3) Pendidikan di bidang kedokteran kerja atau Kesehatan Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
4) Pelatihan di bidang kedokteran kerja atau Kesehatan Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah Fusat, Pemerintah
Daerah, danlatau masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
5) Pelatihan di bidang kedokteran kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (41
ditujukan khusus bagi dokter yang harus memuat materi mengenai diagnosis
Penyakit Akibat Kerja dan penetapan kelaikan kerja dan program kembali
kerja.
6) Pelatihan di bidang Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
paling sedikit meliputi pelatihan Kesehatan Kerja atau higiene perusahaan
keselamatan dan Kesehatan Kerja.
7) Peiatihan Kesehatan Kerja atau higiene perusahaan keselamatan dan
Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan pelayanan Pekerja dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Pasal 11
Pelatihan kedokteran kerja, Kesehatan Kerja atau higiene perusahaan
keselamatan dan Kesehatan Kerja dikecualikan bagi Tenaga Kesehatan yang
telah memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan formal di
bidang kedokteran kerja atau Kesehatan Kerja.

Pasal 12
1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal t huruf b
dapat berbentuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama atau Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tingkat lanjutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
2) Penyediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat dilaksanakan melalui kerja
sama dengan pihak lain.
3) Jika penyelenggaraan Kesehatan Kerja di Tempat Kerja melakukan upaya
penanganan penyakit dan pemulihan kesehatan maka di Tempat Kerja harus
tersedia Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 13
peralatan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal t huruf
c merupakan peralatan untuk pengukuran, pemeriksaan, darr peralatan lainnya
termasuk alat pelindung diri sesuai dengan faktor risiko/bahaya keselamatan
dan Kesehatan Kerja di Tempat Kerja.

Pasal 14
1) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal t huruf d
dilaksanakan oleh Pemberi Kerja, Pengurus atau Pengelola Tempat Kerja,
dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
2) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
secara berjenjang kepada Pemerirrtah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
rangka surveilans Kesehatan Kerja.
3) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan scsuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Pendanaan
Pasal 15
Pendanaan penyelenggaraan Kesehatan Kerja dapat bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, anggaran pendapatan dan belanja
daerah, masyarakat, atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Bagian Kelima
Peran Serta Masyarakat
Pasal 16
1) Masyarakat berperan serta dalam pelaksanaan Kesehatan Kerja untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan melalui:
a. perencanaan, pelaksanaan, pemantarlan, penilaian, dan pengawasan;
b. pemberian bantuan sarana, tenaga ahli, dan Iinansial;
c. dukungan kegiatan penelitian dan pengembangan Kesehatan Kerja;
d. pemberian bimbingan dan penyuluhan serta penyebarluasan informasi;
dan
e. sumbangan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan
kebijakan dan/ atau pelaksanaan Kesehatan Kerja.

Bagian Keenam
Pembinaan Dan Pengawasan
Pembinaan
Pasal 17
1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap
penyelenggaraan
2) Kesehatan Kerja.
3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap aspek
pemenuhan standar
4) Kesehatan Kerja.
5) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. advokasi dan sosialisasi;
b. bimbingan teknis; dan
c. pemberdayaanmasyarakat.
6) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meiibatkan pemangku
kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pasal 18
Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
Pemerintah Fusat dan Pemerintah Daerah dapat memberikan penghargaan
kepada orang, lembaga, Pengurus atau Pengelola Tempat Kerja, atau Pemberi
Kerja yang telah berjasa dalam setiap kegiatan untuk mewujudkan tujuan
Kesehatan Kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh
Pengawasan
Pasal 19
1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Kesehatan Kerja.
2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap aspek
pemenuhan standar Kesehatan Kerja.
3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh tenaga
yang memiliki fungsi pengawasan di bidang ketenagakerjaan atau tenaga yang
memiliki fungsi pengawasan di bidang kesehartan, sesuai dengan ket-entuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedelapan
Ketentuan Penutup
Pasal 20
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Kesehatan Kerja
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah ini.

Pasal 21
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 88 Tahun


2019 Tentang Kesehatan Kerja
1) UMUM
Pekerja merupakan aset berharga dalam pembangunan perekonomian
bangsa yang wajib mendapatkan perlindungan keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Pelaksanaan keselamatan dan Kesehatan Kerja bertujuan memberikan
perlindungan bagi Pekerja agar sehat, selamat, produktif, dan terhindar dari
kecelakaan kerja dan Penyakit Akibat Kerja.
Kesehatan Kerja merupakan bagian tak terpisahkan dari keselamatan
dan Kesehatan Kerja, tercermin dalam berbagai Undang-Undang. UndangUndang
yang dimaksud, antara lain yaitu Undang-Undang yang mengatur mengenai
keselamatan kerja dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketenagakerjaan
serta Undang-Undang yang mengatur mengenai kesehatan telah mengamanatkan
pengaturan tentang
Kesehatan Kerja. Kebijakan keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam
perlindungan kesehatan Pekerja sejalan dengan prinsip dalam Sistem Kesehatan
Nasional. Hal ini terwujud melalui kebijakan, sistem, dan program nasional dalam
mencapai terwujudnya budaya keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Produktifitas kerja dapat terwujud apabila Pekerja
berada dalam kondisi sehat dan bugar untuk bekerja serta merasa aman dan
terlindungi sebelum, saat, dan setelah bekerja. Oleh karena itu, dalam rangka
memberikan perlindungan kepada Pekerja dan setiap orang selain Pekerja yang
berada di Tempat Kerja, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
bertanggung jawab dalam penvelenggaraan Kesehatan Kerjamelalui upaya
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, penanganan penyakit, dan
pemulihan kesehatan, yang dilaksanakan sesuai dengan standar Kesehatan Kerja.
Materi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini yaitu
mengenai standar Kesehatan Kerja yang wajib dipenuhi oleh Pengurus atau
Pengelola Tempat Kerja dan Pemberi Kerja di semua Tempat Kerja, hal yang
mendukung penyelenggaraan Kesehatan Kerja, peran serta masyarakat, dan
pembinaan dan pengawasan.

2) Pasal Demi Pasal


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "masyarakat" adalah orang perseorangan atau
kelompok yang terorganisir maupun tidak terorganisir, termasuk dunia
usaha atau swasta.

Ayat (2)
Upaya pencegahan penyakit dilaksanakan agar Pekerja terbebas dari
penyakit dan gangguan kesehatan serta cedera akibat kerja. Upaya
peningkatan kesehatan dilaksanakan untuk memperoleh derajat
kesehatan setinggi-tingginya pada kondisi sehat, bugar, dan produktif.
Upaya penanganan penyakit dilaksanakan untuk mengobati penyakit,
mencegah keparahan penyakit, mencegah dan menurunkan tingkat
kecacatan, serta mencegah kematian. Upaya pemulihan kesehatan
dilaksanakan untuk memulihkan kondisi Pekerja mencapai
kemampuan fisik, mental, dan sosial yang optimal.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "setiap orang" antara lain Pemberi Kerja,
Pengurus atau Pengelola Tempat Kerja, Pekerja, Aparatur Sipil
Negara, Prajurit Tentara Nasional Irrdonesia, Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan pengunjung di Tempat Kerja.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "semua Tempat Kerja" adalah Tempat Kerja
baik pada sektor formal maupun sektor informal, termasuk instansi
pemerintah, dan usaha mikro, kecil, dan menengah.

Pasal 4
Huruf a
Yang dimaksud dengan "identifikasi potensi bahaya kesehatan"
adalah proses secara sistematik dan berkesinambungan
berdasarkan informasi yang tersedia untuk mengidentifikasi
bahaya kesehatan dan irrenganalisis risiko kesehatan terhadap
Pekerja. Yang dimaksud dengan "penilaian potensi bahaya
kesehatan" adalah proses menentukan prioritas pengendalian
clan tindak lanjut terhadap tingkat risiko kesehatan dan
kecelakaan kerja karena tidak semua aspek bahaya potensial
dapat ditindaklanjuti. Yang dimaksud dengan "pengendalian
potensi bahaya Kesehatan" adalah program atau kegiatan yang
dilakukan apabila suatu risiko tidak dapat ditoleransi agar tidak
menimbulkan Penyakit Akibat Kerja, bukan Penyakit Akibat
Kerja, dan kecelakaan kerja.

Huruf b
Yang dimaksud dengan "pemenuhan persyaratan kesehatan
lingkungan kerja" adalah upaya pencegahan penyakit dan/atau
gangguan kesehatan dari faktor risiko lingkungan kerja yang
terdiri dari faktor bahaya fisik, kimia, biologi, ergonomi, dan
psikososial, serta sanitasi untuk mewujudkan kualitas
lingkungan kerja yang sehat.

Huruf c
Yang dimaksud dengan "pelindungan kesehatan reproduksi"
adalah upaya kesehatan yang ditujukan agar sistem reproduksi
dalam keadaan schat secara fisik, mental, dan sosial secara
utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan
yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi
yang diakibatkan dari alat, bahan, dan proses kerja serta
lingkungan kerja.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pemeriksaan kesehatan" adalah upaya
kesehatan yang dilakukan untuk menetapkan status kesehatan
Pekerja, deteksi dini penyakit termasuk Penyakit Akibat Kerja
dan sebagai dasar pengembangan program Kesehatan Kerja.

Huruf e
Yang dimaksud dengan "penilaian kelaikan bekerja" adalah
upaya untuk mengetahui kondisi kapasitas Pekerja dan
kesesuaian dengan pekerjaannya yang dilakukan melalui
pemeriksaan kesehatan, pengetahuan, dan keterampilan dalam
suatu pekerjaan.

Huruf f
Yang dimaksud dengan "Pekerja berisiko tinggi" adalah
Pekerja di area tempat dengan kegiatan yang berpotensi
menularkan penyakit yang berasal dari agen lingkungan kerja
berupa orang, hewan maupun spesimen tubuh seperti darah,
liur, dahak, dan lainnya.

Huruf g
Yang dimaksud dengan "kewaspadaan standar" adalah langkah
yang perlu diikuti ketika melakukan tindakan yang melibatkan
kontak dengan darah, semua cairan tubuh dan sekresi, ekskresi
kecuali keringat, kulit dengan luka terbuka dan mukosa yang
bertujuan untuk melindungi Pekerja dari paparan biologi yang
infeksius.

Huruf h
Yang dimaksud dengan "surveilans Kesehatan Kerja" adalah
kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus
terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau
masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan penyakit di Tempat Kerja, Penyakit
Akibat Kerja, dan kecelakaan kerja guna mengarahkan
tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan
efisien.

Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Yang dimaksud dengan "pembudayaan perilaku hidup bersih
dan sehat" adalah upaya yang dilakukan agar para Pekerja,
Pemberi Kerja, Pengurus atau Pengelola Tempat Kerja, tahu,
marl, dan mampu mempraktikkan pola hidup bersih dan sehat.

Huruf c
Yang dimaksud dengan "pembudayaan keselamatan dan
Kesehatan Kerja di Tempat Kerja" adalah upaya yang
dilakukan agar para Pekerja, Pemberi Kerja, Pengurus atau
Pengelola Tempat Kerja, tahu, mau, dan mampu
mempraktikkan budaya sehat dan selamat di Tempat Kerja
serta berperan aktif dalam mewujudkan Tempat Kerja yang
sehat dan aman.

Huruf d
Yang dimaksud dengan "penerapan gizi kerja" adalah
pemenuhan gizi yang diperlukan oleh Pekerja untuk
melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan jenis pekerjaart dan
beban kerjanya untuk meningkatkan produktivitas.

Huruf e
Yang dimaksud dengan "peningkatan kesehatan fisik" adalah
peningkatan kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan
pekerjaan sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang
berarti dengan melakukan aktivitas fisik yang baik, benar,
terukur, dan teratur, guna mencapai kebugaran jasmani. Yang
dimaksud dengan "peningkatan kesehatan mental" adalah
upaya pengendalian faktor psikososial dan pencegahan
gangguan mental emosional yang dapat terjadi pada Pekerja
yang dipengaruhi oleh lingkungan kerja.

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundangundangan"
adalah peraturan pcrundang-undangan yang mengatur mengenai
praktik Tenaga Kesehatan dan standar pelayanan kesehatan.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundangundangan"
adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
standar pelayanan kegawatdaruratan medik.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jeias.

Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemulihan medis" adalah pelayanan
kesehatan terhadap gangguan fisik, psikis, dan fungsi yang
diakibatkan oleh keadaan/kondisi sakit, penyakit atau cedera
melalui paduan intervensi medik, keterapian Iisik dan f atau
rehabilitatif untuk mencapai kemampuan fungsi yang optimal.

Huruf b
Yang dimaksud dengan "pemulihan kerja" adalah upaya
pemulihan terhadap Pekerja yang telah memiliki keterbatasan
fisik/mental yang disebabkan Penyakit Akibat Kerja, bukan
Penyakit Akibat Kerja, atau kecelakaan kerja agar dapat
membantu Pekerja meningkatkan toleransi fisik dan
melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga dapat kembali
bekerja.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "program kembali bekerja" adalah suatu upaya
terencana agar Pekerja yang mengalami cedera/sakit dapat segera
kembali bekerja secara produktif, aman, dan berkelanjutan. Dalam
upaya ini termasuk pemulihan medis, pemulihan kerja, pelatihan
keteramptlan, penyesuaian pekerjaan, penyediaan pekerjaan baru,
penatalaksanaan biaya asuransi, dan kompensasi, serta partisipasi
Pemberi Kerja.

Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "teknis kesehatan" adalah penerapan
ilmu kesehatarr dan pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang kesehatan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tenaga nonkesehatan" adalah sumber daya
manusia di luar Tenaga Kesehatan yang mendukung penyelenggaraan
Kesehatan Kerja, antara lain tenaga keteknikan, administrasi, dan
humaniora.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Yang dimaksud dengan "peralatan Kesehatan Kerja" adalah peralatan yang memiliki
kesesuaian fungsi alat dengan potensi bahaya dan keselamatan yang terdapat di
lingkungan kerja untuk mencegah dan menangani Penyakit Akibat Kerja, bukan
Penyakit Akibat Kerja, dan kecelakaan kerja.
Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Pengawasan yang dilakukan oleh tenaga yang memiliki fungsi
pengawasan di bidang ketenagakerjaan merupakan pengawasan
terhadap pelaksanaan Kesehatan Kerja di perusahaan. Pengawasan
yang dilakukan oleh tenaga yang memiliki fungsi pengawasan di
bidang kesehatan merupakan pengawasan terhadap kepatuhan
ketentuan peraturan perundangundangan di bidang kesehatan oleh
masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan
dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 2l
Cukup jelas.

C. NOMOR 50 TAHUN 2012 TENTANG PENERAPAN SISTEM


MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA.
Bagian kesatu
Umum
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1) Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya
disingkat SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara
keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan
kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
2) Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat K3 adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan
tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja.
3) Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
4) Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
5) Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
6) Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
7) Audit SMK3 adalah pemeriksaan secara sistematis dan independen terhadap
pemenuhan kriteria yang telah ditetapkan untuk mengukur suatu hasil
kegiatan yang telah direncanakan dan dilaksanakan dalam penerapan SMK3
di perusahaan.
8) Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Penerapan SMK3 bertujuan untuk:
a. meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja
yang terencana, terukur,terstruktur, dan terintegrasi;
b. mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
dengan melibatkan unsur manajemen, pekerja/buruh, dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh; serta
c. menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman, dan efisien untuk
mendorong produktivitas.

Pasal 3
1) Penerapan SMK3 dilakukan berdasarkan kebijakan nasional tentang SMK3.
2) Kebijakan nasional tentang SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tertuang dalam Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran III sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Bagian Kedua
Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
Pasal 4

1) Kebijakan nasional tentang SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,


sebagai pedoman perusahaan dalam menerapkan SMK3.
2) Instansi pembina sektor usaha dapat mengembangkan pedoman penerapan
SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebutuhan
berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 5
1) Setiap perusahaan wajib menerapkan SMK3 di perusahaannya.
2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi perusahaan:
a. mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang; atau
b. mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi.
3) Ketentuan mengenai tingkat potensi bahaya tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4) Pengusaha dalam menerapkan SMK3 wajib berpedoman pada Peraturan
Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan serta dapat
memperhatikan konvensi atau standar internasional.
Pasal 6
1) SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi:
a. penetapan kebijakan K3;
b. perencanaan K3;
c. pelaksanaan rencana K3;
d. pemantauan dan evaluasi kinerja K3; dan
e. peninjauan dan peningkatan kinerja SMK3.
2) Penerapan SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertuang dalam
pedoman yang tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Bagian ketiga
Penetapan Kebijakan K3
Pasal 7
1) Penetapan kebijakan K3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
a dilaksanakan oleh pengusaha.
2) Dalam menyusun kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha
paling sedikit harus:
a. melakukan tinjauan awal kondisi K3 yang meliputi:
 identifikasi potensi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko;
 perbandingan penerapan K3 dengan perusahaan dan sektor lain yang
lebih baik;
 peninjauan sebab akibat kejadian yang membahayakan;
 kompensasi dan gangguan serta hasil penilaian sebelumnya yang
berkaitan dengan keselamatan; dan
 penilaian efisiensi dan efektivitas sumber daya yang disediakan.
b. memperhatikan peningkatan kinerja manajemen K3 secara terus-menerus;
dan
c. memperhatikan masukan dari pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh.
3) Kebijakan K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. visi;
b. tujuan perusahaan;
c. komitmen dan tekad melaksanakan kebijakan; dan
d. kerangka dan program kerja yang mencakup kegiatan perusahaan secara
menyeluruh yang bersifat umum dan/atau operasional.
Pasal 8
Pengusaha harus menyebarluaskan kebijakan K3 yang telah
ditetapkan kepada seluruh pekerja/buruh, orang lain selain pekerja/buruh yang
berada di perusahaan, dan pihak lain yang terkait.

Bagian Keempat
Perencanaan K3
Pasal 9
1) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dilakukan
untuk menghasilkan rencana K3.
2) Rencana K3 disusun dan ditetapkan oleh pengusaha dengan mengacu pada
kebijakan K3 yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1).
3) Dalam menyusun rencana K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pengusaha
harus mempertimbangkan:
a. hasil penelaahan awal;
b. identifikasi potensi bahaya, penilaian, dan pengendalian risiko;
c. peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya; dan
d. sumber daya yang dimiliki.
4) Pengusaha dalam menyusun rencana K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus melibatkan Ahli K3, Panitia Pembina K3, wakil pekerja/buruh, dan
pihak lain yang terkait di perusahaan.
5) Rencana K3 paling sedikit memuat:
a. tujuan dan sasaran;
b. skala prioritas;
c. upaya pengendalian bahaya;
d. penetapan sumber daya;
e. jangka waktu pelaksanaan;
f. indikator pencapaian; dan
g. sistem pertanggungjawaban.

Bagian Kelima
Pelaksanaan Rencana K3
Pasal 10
1) Pelaksanaan rencana K3 dilakukan oleh pengusaha berdasarkan rencana K3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 9.
2) Pengusaha dalam melaksanakan rencana K3 didukung oleh sumber daya
manusia di bidang K3, prasarana, dan sarana.
3) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki:
a. kompetensi kerja yang dibuktikan dengan sertifikat; dan
b. kewenangan di bidang K3 yang dibuktikan dengan surat izin
kerja/operasi dan/atau surat penunjukkan dari instansi yang
berwenang.
4) Prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit
terdiri dari:
a. organisasi/unit yang bertanggung jawab di bidang K3;
b. anggaran yang memadai;
c. prosedur operasi/kerja, informasi, dan pelaporan serta
pendokumentasian; dan
d. instruksi kerja.

Pasal 11

1) Pengusaha dalam melaksanakan rencana K3 harus melakukan kegiatan dalam


pemenuhan persyaratan K3.
2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. tindakan pengendalian;
b. perancangan (design) dan rekayasa;
c. prosedur dan instruksi kerja;
d. penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan;
e. pembelian/pengadaan barang dan jasa;
f. produk akhir;
g. upaya menghadapi keadaan darurat kecelakaan dan bencana industri;
dan
h. rencana dan pemulihan keadaan darurat.
3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f,
dilaksanakan berdasarkan identifikasi bahaya, penilaian, dan pengendalian
risiko.
4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g dan huruf h
dilaksanakan berdasarkan potensi bahaya, investigasi, dan analisa kecelakaan.

Pasal 12
1) Pengusaha dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 harus:
a. menunjuk sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi kerja
dan kewenangan di bidang K3;
b. melibatkan seluruh pekerja/buruh;
c. membuat petunjuk K3 yang harus dipatuhi oleh seluruh pekerja/buruh,
orang lain selain pekerja/buruh yang berada di perusahaan, dan pihak
lain yang terkait;
d. membuat prosedur informasi;
e. membuat prosedur pelaporan; dan
f. mendokumentasikan seluruh kegiatan.
2) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diintegrasikan dengan kegiatan manajemen perusahaan.

Pasal 13
1) Prosedur informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d
harus memberikan jaminan bahwa informasi K3 dikomunikasikan kepada
semua pihak dalam perusahaan dan pihak terkait di luar perusahaan.
2) Prosedur pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf e
terdiri atas pelaporan:
a. terjadinya kecelakaan di tempat kerja;
b. ketidaksesuaian terhadap peraturan perundang-undangan dan/atau standar;
c. kinerja K3;
d. identifikasi sumber bahaya; dan
e. yang diwajibkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Pendokumentasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf f
paling sedikit dilakukan terhadap:
a. peraturan perundang-undangan di bidang K3 dan standar di bidang K3;
b. indikator kinerja K3;
c. izin kerja;
d. hasil identifikasi, penilaian, dan pengendalian risiko;
e. kegiatan pelatihan K3;
f. kegiatan inspeksi, kalibrasi dan pemeliharaan;
g. catatan pemantauan data;
h. hasil pengkajian kecelakaan di tempat kerja dan tindak lanjut;
i. identifikasi produk termasuk komposisinya;
j. informasi mengenai pemasok dan kontraktor; dan
k. audit dan peninjauan ulang SMK3.
Bagian Keenam
Pemantauan dan Evaluasi Kinerja K3
Pasal 14
1) Pengusaha wajib melakukan pemantauan dan evaluasi kinerja K3.
2) Pemantauan dan evaluasi kinerja K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melalui pemeriksaan, pengujian, pengukuran, dan audit internal SMK3
dilakukan oleh sumber daya manusia yang kompeten.
3) Dalam hal perusahaan tidak memiliki sumber daya untuk melakukan
pemantauan dan evaluasi kinerja K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat menggunakan jasa pihak lain.
4) Hasil pemantauan dan evaluasi kinerja K3 sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaporkan kepada pengusaha.
5) Hasil pemantauan dan evaluasi kinerja K3 sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) digunakan untuk melakukan tindakan perbaikan.
6) Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi kinerja K3 sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan/atau standar.

Bagian Keenam
Peninjauan dan Peningkatan Kinerja SMK3
Pasal 15
1) Untuk menjamin kesesuaian dan efektifitas penerapan SMK3, pengusaha
wajib melakukan peninjauan.
2) Peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap
kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.
3) Hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk
melakukan perbaikan dan peningkatan kinerja.
4) Perbaikan dan peningkatan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dilaksanakan dalam hal:
a. terjadi perubahan peraturan perundang-undangan;
b. adanya tuntutan dari pihak yang terkait dan pasar;
c. adanya perubahan produk dan kegiatan perusahaan;
d. terjadi perubahan struktur organisasi perusahaan;
e. adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk
epidemiologi;
f. adanya hasil kajian kecelakaan di tempat kerja;
g. adanya pelaporan; dan/atau
h. adanya masukan dari pekerja/buruh.

Bagian Ketujuh
Penilaian SMK3
Pasal 16
1) Penilaian penerapan SMK3 dilakukan oleh lembaga audit independen yang
ditunjuk oleh Menteri atas permohonan perusahaan.
2) Untuk perusahaan yang memiliki potensi bahaya tinggi wajib melakukan
penilaian penerapan SMK3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Audit
SMK3 yang meliputi:
a. pembangunan dan terjaminnya pelaksanaan komitmen;
b. pembuatan dan pendokumentasian rencana K3;
c. pengendalian perancangan dan peninjauan kontrak;
d. pengendalian dokumen;
e. pembelian dan pengendalian produk;
f. keamanan bekerja berdasarkan SMK3;
g. standar pemantauan;
h. pelaporan dan perbaikan kekurangan;
i. pengelolaan material dan perpindahannya;
j. pengumpulan dan penggunaan data;
k. pemeriksaan SMK3; dan
l. pengembangan keterampilan dan kemampuan.
4) Penilaian penerapan SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tertuang
dalam pedoman yang tercantum dalam Lampiran II sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 17
1) audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilaporkan kepada Menteri
dengan tembusan disampaikan kepada menteri pembina sektor usaha,
gubernur, dan bupati/walikota sebagai bahan pertimbangan dalam upaya
peningkatan SMK3.
2) Bentuk laporan hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertuang
dalam pedoman yang tercantum dalam Lampiran III sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Bagian Kedelapan
Pengawasan
Pasal 18
1) Pengawasan SMK3 dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan pusat, provinsi
dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pembangunan dan terjaminnya pelaksanaan komitmen;
b. organisasi;
c. sumber daya manusia;
d. pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang K3;
e. keamanan bekerja;
f. pemeriksaan, pengujian dan pengukuran penerapan SMK3;
g. pengendalian keadaan darurat dan bahaya industri;
h. pelaporan dan perbaikan kekurangan; dan
i. tindak lanjut audit.

Pasal 19
1) Instansi pembina sektor usaha dapat melakukan pengawasan SMK3 terhadap
pelaksanaan penerapan SMK3 yang dikembangkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara terkoordinasi dengan pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 20
1) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19
digunakan sebagai dasar dalam melakukan pembinaan.

Bagian Kesembilan
Ketentuan Peralihan
Pasal 21
1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Perusahaan yang telah
menerapkan SMK3, wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan
Pemerintah ini paling lama 1 (satu) tahun.

Bagian Sepuluh
Ketentuan Penutup
Pasal 22
1) Peraturan Pemerintah mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Penjelasan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan Sistem


Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja.

1) UMUM
Globalisasi perdagangan saat ini memberikan dampak persaingan
sangat ketat dalam segala aspek khususnya ketenagakerjaan yang salah satunya
mempersyaratkan adanya perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.
Untuk meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja,
tidak terlepas dari upaya pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja yang
terencana, terukur, terstruktur, dan terintegrasi melalui SMK3 guna menjamin
terciptanya suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan
melibatkan unsur manajemen, pekerja/buruh, dan/atau serikat pekerja/serikat
buruh dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang nyaman, efisien dan produktif.
Penerapan keselamatan dan kesehatan kerja melalui SMK3 telah
berkembang di berbagai negara baik melalui pedoman maupun standar. Untuk
memberikan keseragaman bagi setiap perusahaan dalam menerapkan SMK3
sehingga perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja bagi tenaga kerja,
peningkatan efisiensi, dan produktifitas perusahaan dapat terwujud maka perlu
ditetapkan Peraturan Pemerintah yang mengatur penerapan SMK3.
Peraturan Pemerintah ini memuat:
a. ketentuan umum;
b. sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
c. penilaian SMK3;
d. pengawasan;
e. ketentuan Peralihan; dan
f. ketentuan Penutup.

2) Pasal Demi Pasal


Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang
undangan antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang kesehatan, minyak dan gas bumi, atau pertambangan.

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “tingkat potensi bahaya tinggi”
adalah perusahaan yang memiliki potensi bahaya yang
dapat mengakibatkan kecelakaan yang merugikan jiwa
manusia,terganggunya proses produksi dan pencemaran
lingkungan kerja.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Penyebarluasan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja
dapat dilakukan melalui media antara lain papan
pengumuman, brosur, verbal dalam briefing/apel, dan/atau
media elektronik lainnya. Yang dimaksud dengan pihak lain
antara lain subkontraktor, penyewa, tamu, pelanggan, pemasok.

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penelaahan awal” adalah kegiatan
yang dilakukan pengusaha untuk mengetahui
posisi/kondisi/tingkat pelaksanaan keselamatan dan kesehatan
kerja di perusahaan terhadap penerapan peraturan perundang-
undangan keselamatan dan kesehatan kerja. Kegiatan tersebut
juga mencakup evaluasi terhadap kebijakan keselamatan dan
kesehatan kerja yang ada, partisipasi pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh, tanggung jawab pimpinan unit
kerja, analisa dan statistik kecelakaan, dan penyakit akibat
kerja, serta upaya-upaya pengendalian yang sudah dilakukan.
Huruf b
Identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko
dilakukan terhadap mesin-mesin, pesawat pesawat, alat kerja,
peralatan lainnya, bahan-bahan, lingkungan kerja, sifat
pekerjaan, cara kerja, proses produksi, dan sebagainya.

Huruf c
Yang dimaksud “persyaratan lainnya” adalah standar,
pedoman, dan peraturan perusahaan.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “sumber daya” adalah personil yang
memiliki kualifikasi dan kompetensi keselamatan dan
kesehatan kerja, sarana keselamatan dan kesehatan kerja, alat
pelindung diri, alat pengaman, dan anggaran yang dialokasikan
untuk program keselamatan dan kesehatan kerja.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pihak lain yang terkait di perusahaan
antara lain akuntan publik, konsultan, penyedia jasa, dan
penyewa.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud “kompetensi kerja” adalah kemampuan setiap
individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan,
dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Huruf b
Yang dimaksud dengan instansi yang berwenang antara lain
kementerian kesehatan.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Tindakan pengendalian meliputi pengendalian terhadap
kegiatan, produk barang dan jasa yang dapat menimbulkan
risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja sekurang-
kurangnya mencakup pengendalian terhadap bahan, peralatan,
lingkungan kerja, cara kerja, sifat pekerjaan, dan proses kerja.

Huruf b
Perancangan (design) dan rekayasa meliputi pengembangan,
verifikasi tinjauan ulang, validasi dan penyesuaian berdasarkan
identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian risiko
kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Huruf c
Penyusunan prosedur dan instruksi kerja memperhatikan
syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja dan ditinjau
ulang apabila terjadi kecelakaan, perubahan peralatan,
perubahan proses dan/atau perubahan bahan baku serta ditinjau
ulang secara berkala.

Huruf d
Dalam kontrak penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan,
memuat jaminan kemampuan perusahaan penerima pekerjaan
dalam memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja.

Huruf e
Dalam pembelian/pengadaan barang dan jasa perlu
memperhatikan spesifikasi teknis dan aspek keselamatan dan
kesehatan kerja serta kelengkapan lembar data keselamatan
bahan.

Huruf f
Produk akhir dilengkapi dengan petunjuk pengoperasian,
spesifikasi teknis, lembar data keselamatan bahan, label
dan/atau informasi keselamatan dan kesehatan kerja lainnya.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “potensi bahaya” adalah kondisi atau
keadaan baik pada orang, peralatan, mesin, pesawat, instalasi,
bahan, cara kerja, sifat kerja, proses produksi dan lingkungan
yang berpotensi menimbulkan gangguan, kerusakan, kerugian,
kecelakaan, kebakaran, peledakan, pencemaran, dan penyakit
akibat kerja. Yang dimaksud dengan “investigasi” adalah
serangkaian kegiatan untuk mengumpulkan keterangan/data
atas rangkaian temuan kejadian gangguan, kerusakan,
kerugian, kecelakaan, kebakaran, peledakan, pencemaran, dan
penyakit akibat kerja. Yang dimaksud dengan “analisa
kecelakaan” adalah serangkaian kegiatan untuk mengadakan
analisa dan penyelidikan untuk mengetahui/membuktikan
kebenaran atau kesalahan sebuah fakta yang kemudian
menyajikan kesimpulan atas kejadian kecelakaan, kebakaran,
peledakan, pencemaran, dan penyakit akibat kerja yang
merupakan bagian penting program pencegahan kecelakaan.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan perusahaan yang memiliki potensi
bahaya tinggi antara lain perusahaan yang bergerak di bidang
pertambangan, minyak dan gas bumi.

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Anda mungkin juga menyukai