Anda di halaman 1dari 40

BAB V

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja

A. Hubungan Industrial

Pembukaan UUD RI Tahun 1945 alinea ke empat menetapkan tujuan Negara


Republik Indonesia yakni “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” sejalan dengan itu UUD RI
Tahun 1945 Pasal 27(1) “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya” Dari Pembukaan UUD RI Tahun 1945 alinea ke empat tersebut
di atas, menurut Lalu Husni setidaknya ada empat tujuan bernegara yakni adalah
protection funkction (Negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia), welfare
function, (Negara wajib mewujudkan kesejahteraa bagi seluruh rakyat), educational
function (negara memiliki kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa), dan
peacefulness function (Negara wajib menciptakan perdamaian dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat baik ke dalam maupun keluar) .
Hubungan antara buruh dan pekerja dan majikan dan pengusaha yang terjadi
dalam bidang ketenagakerjaan disebut juga dengan hubungan perburuhan atau
industrial. Istilah perburuhan yang sekarang ini disebut dengan istilah industrial.
Pergantian istilah perburuhan dengan industrial tersebut, mengingat di dalam
hubungan perburuhan pada permulaan perkembangannya membahas masalah-
masalah hubungan antara pekerja dan buruh dengan buruh. Akan tetapi pada
kenyataannya, di dalam hubungan kerja antar pekerja dan buruh dengan pengusaha
dan majikan bukan masalah yang berdiri sendiri karena banyak dipengaruhi oleh
masalah lain, seperti masalah ekonomi, sosial politik, dan budaya. Oleh karena
dipengaruhi oleh masalah-masalah tersebut di atas, maka istilah hubungan
perburuhan diganti dengan istilah hubungan industrial, sehingga untuk istilah
perselisihan perburuhan diganti dengan istilah Perselisihan Hubungan Industrial.

a. Sejarah Hubungan Industrial

Lain halnya dengan di negara-negara industri maju seperti Amerika dan Eropa
pada awal awal abad ke 19, yang mana tumbuh kembang hubungan industrial dipicu
oleh revolusi industri yang berakibat timbulnya kompleksitas dalam proses produksi
dan pengelolaan organisasi, sehingga diperlukanlah penataan baru dalam hubungan
diantara para pelaku produksi dalam hak dan kewajibannya.

Di Indonesia sendiri awal mula kemunculan dan perkembangannya diwarnai


oleh pasang d a n surutn y a dinamika politik yang berbasis pada pergeseran
ideologi. Seperti yang diketahui bahwasannya pada saat awal terjadinya revolusi
industri, Indonesia masih berada dalam cengkeraman kekuasaan kolonial Hindia
Belanda lebih kurang 350 tahun, dimana Belanda sendiri pada saat itu belum termasuk
dalam tatanan negara- negara industrialis, karena masih fokus pada bidang
perdagangan hasil-hasil pertanian dan barang mentah.

Fenomena hubungan industrial saat itu masih sangat biasa, sederhana dan
terbatas, paling terkonsentrasi di sektor perkebunan serta industri gula yang tersebar di
beberapa tempat khususnya di pulau jawa. Namun demikian, pola hubungannya sudah
diwarnai oleh politik dan ideologi negara yang diadopsi dari kerajaan Belanda, yaitu
kapitalis liberalis. Kondisi tersebut dapat dilihat dari produk perundang-undangan yang
mengatur perburuhan dan hubungan industrial yang cenderung diwarnai oleh kebijakan
untuk melindungi para pemilik modal.
Setelah kemerdekaan, kondisi hubungan industrial makin diwarnai oleh
dinamika dan perkembangan politik negara. Ditandai dengan bermunculannya serikat
buruh/pekerja yang pada umumnya berafiliasi pada organisasi partai politik, yaitu
partai nasionalis, partai agamis dan partai komunis, yang ketiganya menjadi poros
politik di Indonesia dalam tag line NASAKOM, pada masa demokrasi terpimpin (1960
-1965). Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Soetarto, Direktur Jenderal
Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja, bahwa serikat-serikat buruh di Indonesia
merupakan alat partai politik, sebagaimana dikemukakan oleh pemerintah orde lama,
dengan kebijakannya bahwa hanya serikat buruh yang berafiliasi pada partai-partai
politik Nasakom saja yang diakui eksistensinya.

Perjuangan buruh telah mengalami pergeseran dari perjuangan ekonomis untuk


meningkatkan kesejahteraan, menjadi alat politik untuk mencapai tujuan yang lebih
luas, yang ditetapkan oleh partai politik. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh
Hawkins dalam Vedi R. Hadidz:

“The difference in ideology between the communist, who stress the class
struggle, and the muslim, who talk about the principle of sharing wealth with the
poor, in significant in labour relation in Indonesia. Since some of moslem unions
tend to talk in terms of the Islamic faith instead of the class struggle, they sometime
refuse to join in certain strikes and care considered more moderate”.

(Perbedaan perjuangan ideologi antara komunis yang menekankan


perjuangan kelas, dengan muslim yang berbicara tentang prinsip pembagian
kekayaan dengan kaum miskin, jelas tampak nyata di Indonesia. Karena
beberapa serikat buruh muslim cenderung berbicara dalam kaitannya dengan
kepercayaan Islam dan bukannya perjuangan kelas. Mereka sering kali
menolak ikut serta dalam pemogokan tertentu dan dipandang lebih moderat).

Pada tahun 1966 terjadi peristiwa makar yang dimotori oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) dengan massa pendukungnya, sehingga mengakibatkan terbunuhnya
beberapa jenderal Angkatan Darat. Sejak saat itu terjadi peralihan kekuasaan dari orde
lama ke orde baru, dimana salah satu keputusan politiknya adalah PKI dan massa
pendukungnya dibekukan dan dinyatakan terlarang di Indonesia, karena dianggap
terlibat dalam peristiwa tersebut. Terjadi pembaharuan politik yang salah satunya
berimbas pada kalangan serikat buruh, yaitu dengan dibentuknya Majelis
Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI) pada tanggal 1 November 1969 yang
diresmikan oleh Presiden Soeharto dan mewadahi 21 serikat pekerja.

Setelah Pemilihan Umum tahun 1971, gagasan untuk menyederhanakan partai


politik mulai berkembang, termasuk untuk mereposisi kedudukan dan peran serikat
buruh melalui konsep yang dinamakan pembaharuan dan modernisasi gerakan buruh di
Indonesia, yang intinya meliputi 5 poin sebagai berikut:

1. Agar gerakan buruh di Indonesia menjadi independen, demokratis dan


bertanggung jawab, serta tidak menjadi bagian dari kekuatan politik manapun.
2. Agar setiap anggota serikat buruh membayar iuran baik langsung dipungut
oleh serikat buruh maupun dengan sistem check point melalui pemotongan
gaji oleh perusahaan untuk diserahkan kepada serikat buruh.
3. Aktivitas dan program perjuangan serikat buruh harus diadakan perubahan,
dengan menitikberatkan pada perjuangan yang bersifat sosial ekonomis,
sehingga perlu diadakannya Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang melibatkan
pengusaha dengan serikat buruh.
4. Serikat buruh yang keadaannya masih terpecah belah harus segera disatukan
dan disederhanakan.
5. Susunan dan struktur serikat buruh harus disusun kembali untuk lebih
sederhana dan efisien, dimana untuk setiap sektor industri atau sektor pekerjaan
cukup hanya ada satu serikat buruh yang bersifat nasional.

Dari gagasan untuk menumbuhkan organisasi profesi dan fungsional yang


tidak terkait dengan partai politik, maka atas kesepakatan dari organisasi-organisasi
buruh (serikat pekerja), maka melalui deklarasi persatuan buruh seluruh Indonesia dan
dukungan dari MPBI pada 20 Fabruari 1973, berdirilah Federasi Buruh Seluruh
Indonesia (FBSI), yang merupakan wadah gabungan dari 20 Serikat Buruh Lapangan
Pekerjaan (SBLP). Dengan model pengorganisasian seperti ini, maka terbentuk serikat
buruh yang menggambarkan dan mewakili fungsi dan profesinya sehingga terlepas dari
pengaruh kepentingan politik.

Namun demikian, tarik ulur tentang bentuk pengorganisasian serikat buruh


terus terjadi, seiring dengan masih adanya pengaruh kepentingan politik pada masa
orde baru yang berbasis pada keinginan untuk menyederhanakan dan membatasi
kekuasaan partai serta organisasi-organisasi kepentingan termasuk serikat buruh.
Dalam kongres II FBSI tahun 1985, terjadi perubahan federasi menjadi serikat,
sehingga berubah nama menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), yang
bersifat unitaris. Dimana SBLP digantikan menjadi departemen-departemen dalam
bentuk unit kerja. Bentuk ini dimaksudkan agar lebih mampu mengendalikan
organisasi buruh dari kemungkinan berbeda dengan politik pemerintah (monolitik).

Kondisi tersebut menimbulkan berbagai reaksi baik dari dalam maupun luar
negeri, utamanya dari serikat–serikat buruh internasional yang besar dan berpengaruh
yaitu ICFTU dan AFL- CIO. Akhirnya dilakukan rembug nasional, untuk mengubah
model serikat pekerja hingga menjadi Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (F-SPSI)
dari bentuk unitaris menjadi federasi. Meskipun secara keseluruhan masih tetap tunggal dan
berada di bawah kendali pemerintah.

Perkembangan politik terbaru kembali terjadi di Indonesia. Pada tahun 1998


terjadi peristiwa proses pergeseran kekuasaan yang dinamakan dengan reformasi
politik. Kejadian tersebut pada dasarnya merupakan reaksi terhadap pengaruh dari
liberalisasi ekonomi dan keterbukaan politik, serta semakin kuatnya peran kelas
menengah dari kalangan terdidik untuk ikut menyuarakan kepentingan rakyat, tidak
hanya melalui jalur politik serta kelompok kepentingan, maka dimulailah yang disebut
dengan orde reformasi sejak tahun 1988, menggantikan orde lama yang telah berkuasa
selama lebih kurang 32 tahun. Salah satu ciri dari era ini adalah pergeseran sikap
pandang tentang pembangunan. Dari aliran developmentalis integralis yang
memprioritaskan pembangunan ekonomi melalui stabilitas politik, keamanan dan
keserasian sosial (mengutamakan peran sentral negara), ke aliran kritis pluralis yang
sebagaimana dikemukakan oleh Herbert Feith dan Lance Castles dalam Batubara
(2008; 58):

“Ia mencakup suatu spektrum dari gagasan liberal dan reformasi, misalnya
mencegah korupsi, memberantas kesewenang-wenangan, dalam tata kerja
badan-badan pemerintah dan menegakkan rule of law, hingga bentuk- bentuk
radikal dan populis yang menuntut keadilan yang lebih luas, emansipasi
masyarakat kelas bawah, serta dibongkarnya berbagai instrumen negara yang
mengawasi kehidupan politik atau masyarakat pada umumnya”.

Salah satu penerapan konsep reformasi pada bidang ketenagakerjaan adalah


meningkatnya peran demokratisasi pekerja serta serikat pekerja, diantaranya: dalam
penetapan perjanjian kerja bersama, negosiasi dalam penyelesaian perselisihan
hubungan industrial, hak mogok kerja, hak menyatakan pendapat, serta yang cukup
fenomenal adalah hak kebebasan berserikat. Dengan demikian hubungan industrial di
Indonesia telah memasuki abad millennial yang selalu harus punya kemampuan untuk
menyesuaikan (adaptability) dengan tuntutan perubahan yang bersifat dinamis.

Dalam hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja harus mewujudkan


hubungan yang harmonis dan baik yang konsep maupun rumusannya dapat
dipraktekkan dari Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP). HPP lahir dari Seminar
Nasional HPP tanggal 4 sampai 7 Desember 1974 di Jakarta. HPP tersebut ialah dasar
falsafah yang bertujuan untuk menyeimbangkan hubungan antara pekerja dan
pengusaha sesuai dengan citra bangsa Indonesia, bukan merupakan Undang-undang
bagi kedua belah pihak. Oleh mantan Menteri Tenaga Kerja Sudomo, HPP tersebut
diganti istilahnya menjadi HIP (Hubungan Industrial Pancasila). Berdasarkan
kesepakatan bersama antara Lembaga Tripartite Nasional, SPSI, APINDO/KADIN,
BP7 telah dirumuskan dan dihasilkan suatu “PEDOMAN PELAKSANAAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL PANCASILA”, yang kemudian dikukuhkan dengan
S.K Menteri Tenaga Kerja No.645/MEN/1985 tanggal 3 Juli 1985. Berdasarkan hal
tersebut, selanjutnya lahirlah kesepakatan dan tekat bersama antara pihak pengusaha,
pekerja dan pemerintah untuk menjadikan pedoman tadi sebagai pegangan dan
tuntunan dalam pelaksanaan sehari-hari.

b. Alasan Keluarnya Hubungan Industrial

1. Pemerintah pada masa Orde Baru mempunyai tekad guna melaksanakan


Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam
artian bahwa setiap aspek kehidupan bangsa harus berdasarkan sesuai dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Yang mana Salah satu aspek
kehidupan bangsa itu ialah tata kehidupan di tempat kerja yang disebut dengan
Hubungan Industrial. Oleh karena itu Hubungan Industrial sebagai tata kehidupan
di tempat kerja harus dibuat berdasarkan isi serta jiwa Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.

2. Adapun sistem Hubungan Industrial yang pernah diberlakukan sebelum


pemerintahan Orde Baru berdasarkan demokrasi liberal, yang mana antara pekerja
dan pengusaha mempunyai pandangan kepentingan yang berbeda dan selalu
mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan masing-masing. Dalam
sistem tersebut terdapat adu kekuatan dalam menyelesaikan pendapat, sehingga
mogok kerja selalu menjadi senjata pekerja dan lock out sebagai senjata
pengusaha yang selalu dijumpai dalam praktek-praktek Hubungan Industrial
sehari-hari pada kala itu.

3. Pembangunan yang sedang dilakukan sangat memerlukan suasana yang stabil


dan sesuai. Salah satu faktor penting yang menunjang tercapainya Stabilitas
Nasional yaitu stabilitas di sektor produksi barang dan jasa. Faktor untuk
menunjang tercapainya stabilitas di sektor produksi ialah ketenangan kerja dan
ketenangan usaha. Yang mana hal ini dapat tercapai apabila di tempat kerja ada
tata kehidupan yang sesuai, harmonis dan dinamis. Oleh karena itu Hubungan
Industrial yang berdasarkan falsafah bangsa Indonesia sangat perlu diterapkan
dalam hubungan kerja.

c. Pengertian Hubungan Industrial

Konsep hubungan industrial tidak bisa lepas dari unsur pengusaha dan
pekerja, dimana pengusaha adalah pihak yang mempunyai modal dan tujuan dari
usaha yang dilakukan yaitu untuk mencapai suatu keuntungan tertentu. Sedangkan
pekerja atau buruh adalah pihak yang bekerja untuk menjalankan usaha dengan
menerima upah atau imbalan tertentu. Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian mengenai hubungan
Industrial, yaitu suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Hubungan Industrial merupakan sistem hubungan yang
menempatkan kedudukan pengusaha dan pekerja/buruh sebagai hubungan yang
saling melengkapi dalam rangka mencapai tujuan bersama. Selain unsur di atas,
dalam tatanan sistem ketenagakerjaan Indonesia terdapat pemerintah yang bersifat
mengayomi dan melindungi para pihak. Pemerintah mengeluarkan rambu-rambu
berupa aturan-aturan ketenagakerjaan demi terwujudnya hubungan kerja yang
harmonis antara pengusaha dengan pekerja/buruh.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


Pasal 1 angka 16, disebutkan bahwa hubungan industrial adalah suatu sistem
hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau
jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Pengertian lainnya mengenai Hubungan Industrial yaitu menurut Sendjun H


Manulang adalah sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses
produksi barang dan/atau jasa (pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah) yang
didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan silasila dari
Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 yang tumbuh dan berkembang diatas
kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.

Sedangkan Zainal Asikin, memberikan pengertian atau definisi tentang


Hubungan Industrial, adalah sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku
dalam proses produksi barang dan/atau jasa (pekerja/buruh, pengusaha, dan
pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari
keseluruhan silasila dari Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 yang tumbuh dan
berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.

Pengusaha sebagai pimpinan perusahaan berkepentingan atas kelangsungan


dan keberhasilan perusahaan dengan cara meraih keuntungan setinggi-tingginya
sesuai dengan modal yang telah ditanamkan dan menekan biaya produksi yang
serendah-rendahnya (termasuk upah pekerja/buruh) agar barang dan/atau jasa yang
dihasilkan dapat bersaing di pasaran. Sedangkan, bagi pekerja/buruh perusahaan
adalah sumber pengasilan dan sumber penghidupan, sehingga pekerja/buruh akan
selalu berusaha agar perusahaan dapat memberikan kesejahteraan yang lebih baik dari
yang diperoleh sebelumnya. Kedua kepentingan yang berbeda ini akan selalu
mewarnai hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh dalam proses produksi
barang dan/atau jasa. Perbedaan kepentingan ini harus dicarikan harmonisasi antara
keduanya karena baik pihak pekerja/buruh maupun pengusaha mempunyai tujuan
yang sama yaitu menghasilkan barang dan/atau jasa sehingga perusahaan dapat terus
berjalan. Apabila karena suatu dan lain hal perusahaan terpaksa tutup, maka yang
akan mengalami kerugian tidak hanya perusahaan, tetapi juga pekerja/buruh karena
mereka akan kehilangan pekerjaan sebagai sumber penghidupan. Dengan adanya
tujuan yang sama inilah, maka timbul hubungan yang saling bergantung antara
pengusaha dengan pekerja/buruh dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang
kita kenal dengan istilah hubungan industrial (Maimun, 2007).

Pengaturan hubungan industrial ditujukan untuk menciptakan hubungan yang


harmonis antara pengusaha dan pekerja. Kerharmonisan antara pengusaha dan
pekerja tidak hanya mendorong peningkatan produktivitas, melainkan juga
mendorong terciptanya ketenangan kerja (industrial peace). Kondisi seperti ini
menjadi syarat utama bagi perkembangan industrial (industrial development)
sehingga dorongan terhadap laju pertumbuhan ekonomi dapat diharapkan. Salah satu
implikasi hubungan harmonis ini adalah terpenuhinya dan meningkatnya
kesejahteraan pekerja, seperti jaminan sosial dan fasilitas kesejahteraan lainnya,
dengan tetap memperhatikan kemampuan perusahaan. Pengelolaan dan keberadaan
koperasi atau keberhasilan usaha produktif lainnya semakin menambah peningkatan
kesejahteraan pekerja.

Jadi berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Hubungan


Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan/atau jasa, yang terdiri dari unsur pekerja atau buruh,
pengusaha, dan pemerintah, yang didasarkan pada nilai-nilai dan hukum dasar suatu
bangsa atau negara.
d. Ciri-Ciri Hubungan Industrial

Adapun ciri-ciri hubungan industrial adalah:

1) Hubungan perburuhan didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa,


Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam satu pengertian yang utuh
dan bulat.

2) Hubungan perburuhan adalah hubungan perburuhan yang secara


keseluruhan dijiwai oleh kelima sila Pancasila yang berbunyi sebagai berikut.

a) Suatu hubungan yang berdasarkan atas azas Ketuhanan Yang Maha


Esa, yaitu hubungan perburuhan yang mengakui dan meyakini kerja
sebagai pengabdian manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
sesama manusia.

b) Suatu hubungan perburuhan dan yang di dasarkan Kemanusiaan


yang adil dan beradab, tidak menganggap buruh sebagai faktor
produksi semata, melainkan sebagai manusia pribadi dengan segala
harkat serta martabatnya.

c) Suatu hubungan perburuhan yang di dalam dirinya mengandung


azas yang dapat mendorong ke arah Persatuan Indonesia, tidak
membedakan golongan, perbedaan keyakinan, politik, paham, aliran,
agama, suku maupun kelamin. Pada pokonya seluruh orientasi
ditujukan pada kepentingan nasional.

d) Suatu hubungan perburuhan yang didasarkan atas prinsip


musyawarah untuk mencapai mufakat, berusaha menghilangkan
perbedaanperbadaan, dan mencari persamaan-persamaan ke arah
persetujuan antara buruh dan pengusaha. Pada pokoknya meyakinkan
bahwa, setiap permasalahan perbedaan yang timbul tidak diselesaikan
dengan paksaan sepihak.

e) Suatu hubungan perburuhan yang mendorong terciptanya keadilan


sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan untuk seluruh hasil upaya
bangsa, khususnya dalam pembangunan ekonomi, harus dapat
dinikmati bersama secara serasi, seimbang, dan merata. Serasi dan
seimbang berarti pembagiannya memadai sesuai dengan fungsi dan
prestasi para pelaku. Merata berarti secara nasional, meliputi hasil
seluruh daerah, secara vertikal meliputi seluruh daerah dan kelompok
mayarakat.

3) Hubungan perburuhan didasarkan atas suasana keserasian, keselarasan dan


keseimbangan antara pihak-pihak yang tersangkut dalam keseluruhan proses
produksi yaitu buruh, pengusaha, pemerintah dan mayarakat umum.

4) Hubungan perbutuhan berpegang pula pada tridarma, yaitu buruh,


pengusaha dan pemerintah merasa saling ikut memiliki (rumangsa
handarbeni), ikut memelihara dan mempertahankan (melu hangrungkebi) dan
terus menerus mawas diri (mulat sarira hangrasa wani), yang mengandung
asas partnership dan tanggung jawab bersama.
e. Tujuan Hubungan Industrial

Tujuan hubungan perburuhan Pancasila adalah mengemban cita-cita


Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945 dalam
pembangunan nasional, untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila, serta ikut melaksanakan ketertiban umum yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, melalui penciptaan ketenangan,
ketentraman ketertiban kerja serta ketenangan usaha, meningkatkan produksi dan
meningkatkan kesejahteraan buruh serta derajatnya sesuai dengan martabat manusia.

f. Fungsi Hubungan Industrial

1. Fungsi Pemerintah

Pemerintah Pemerintah selaku pengusaha negara berkepentingan agar


roda perekonomian nasional dan pendistribusian penghasilan dapat berjalan
dengan tertib dan lancar sehingga tidak membahayakan keamanan negara.
Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban agar peraturan perundangundangan
di bidang ketenagakerjaan dapat berjalan dengan adil bagi para pihak
sebagaimana mestinya. Untuk menjamin pelaksanaan peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan dengan adil diperlukan campur tangan
pemerintah melalui instansi/departemen yang khusus menangani masalah
ketenagakerjaan. Menurut Pasal 102 ayat (1) Undang-undang Nomor 13
Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, Pemerintah dalam hubungan industrial
mempunyai fungsi untuk:

a. menetapkan kebijakan,
b. memberikan pelayanan,
c. melaksanakan pengawasan, dan
d. melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan
perundangundangan
ketenagakerjaan.

Menurut Wolfgang Freidmann (1971) fungsi negara dalam sistem ekonomi


campuran ada 4, yaitu:

a. Negara sebagai penyedia

Fungsi negara sebagai penyedia ini berkaitan dengan konsep


negara kesejahteraan (welfare state). Dalam hal ini, negara membuat
dirinya bertanggung jawab atas penyediaan layanan sosial untuk
menjamin standar hidup minimum bagi semua, dalam mitigasi
permainan bebas kekuatan ekonomi .

b. Negara sebagai regulator

Dalam peran ini, negara menggunakan berbagai pengaruh


kontrol, terutama kekuatan untuk mengatur investasi dalam
pembangunan industri, volume dan jenis impor dan ekspor melalui
cara kontrol pertukaran, dan impor dan perizinan industri kontrol

c. Negara sebagai pengusaha

Fungsi negara sebagai pengusaha adalah fungsi yang terpenting


dalam sistem ekonomi campuran. Keterlibatan negara dalam kegiatan
ekonomi dapat dilakukan melalui departemen pemerintah semi
otonomi maupun melalui korporasi-korporasi yang dimiliki negara.
Keterlibatan negara dalam fungsi sebagai pengusaha dapat berbentuk
publik maupun privat.

d. Negara sebagai wasit.

Negara sebagai repositori kekuasaan legislatif, administratif


dan hukum harus mengembangkan beberapa standar keadilan, seperti
antara berbagai sektor ekonomi. Beberapa di antaranya adalah badan
usaha milik negara. Oleh karena itu, harus membedakan antara
kewirausahaan dan fungsi abritral.

2. Fungsi Pekerja/Buruh

a. Pengertian pekerja/buruh Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja


dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 3
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Beberapa
unsur yang melekat dari istilah pekerja/buruh, yaitu:

1) Setiap orang yang bekerja (angkatan kerja maupun bukan angkatan kerja
tetapi harus bekerja).

2) Menerima upah atau imbalan sebagai balas jasa atas pelaksanaan pekerjaan
tersebut (Agusmidah, 2010). Buruh di bagi atas dua klasifikasi, yaitu sebagai
berikut:

1) Buruh profesional- biasa disebut buruh kerah putih, menggunakan


tenaga otak dalam bekerja.
2) Buruh kasar-biasa disebut buruh kerah biru, menggunakan tenaga otot
dalam bekerja (R. Joni Bambang S., 2013).

Istilah buruh dalam bahasa Inggris adalah labour. Pengertian asli buruh adalah
orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Hampir sama dengan
makna ini adalah pengertian yang diberikan oleh W. J. S. Poerwardarminta. Ia
memberikan makna buruh sebagai orang yang bekerja dengan mendapat upah.
Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Labour adalah workers, especially
those who work with their hands. Secara umum buruh adalah orang yang bekerja
dengan menerima upah. Jika makna istilah “tenaga kerja”, “pekerja”, dan “buruh”
dibandingkan dan dianalisis tanpa memperhatikan hukum positif, akan diperoleh
kesimpulan bahwa tenaga kerja mencakup pekerja, sedangkan pekerja mencakup
buruh. Seorang pekerja adalah tenaga kerja, meskipun tenaga kerja belum tentu
pekerja (Abdul Rachmad Budiono, 2009). Tenaga kerja yaitu setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barangdan/atau jasa, baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.

Pengertian tenaga kerja mencakup pekerja/buruh, pegawai negeri sipil,


tentara, orang yang sedang mencari pekerjaan, orang yang berprofesi bebas seperti
pengacara, dokter, pedagang, penjahit dan lain lain. Masing-masing profesi tersebut
berbeda satu dengan yang lain walaupun semua termasuk dalam kategori tenaga
kerja. Hal ini karena hubungan hukum dan peraturan yang mengaturnya juga
berlainan. Bagi pekerja/buruh hubungan hukum dengan pemberi kerja bersifat
keperdataan yaitu dibuat antara para pihak yang mempunyai kedudukan perdata.
Hubungan hukum antara kedua pihak selain diatur dalam perjanjian kerja yang
mereka tandatangani (hukum otonom) juga diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh instansi/lembaga yang berwenang untuk itu (hukum
heteronom). Bagi pegawai negeri sipil dan tentara, hubungan hukum antara mereka
dengan pemerintah didasarkan pada hukum publik yang bersifat heteronom (Maimun,
2007: 11-12).

b. Fungsi Pekerja/buruh dalam Hubungan Industrial Menurut Pasal 102 ayat


(3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, dalam
melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruhnya mempunyai fungsi untuk:

1) menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya,

2) menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,

3) menyalurkan aspirasi secara demokratis,

4) mengembangkan keterampilan, dan keahliannya, serta

5) ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota


beserta

keluarganya.

3. Fungsi Pengusaha

Pengusaha Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun


2013 tentang Ketenagakerjaan, Pengusaha adalah:

a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang


menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara


berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di


Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Menurut Maimun (2007:25-26), maksud dari pengertian tersebut


adalah:

a. Orang perseorangan adalah pribadi yang menjalankan atau


mengawasi operasional perusahaan.

b. Persekutuan adalah suatu bentuk usaha yang tidak berbadan hukum


seperti CV, Firma, Persekutuan Perdata dan lain-lain. Baik yang
bertujuan mencari keuntungan maupun tidak.

c. Badan Hukum (recht persoon) adalah suatu badan hukum yang oleh
hukum dianggap sebagai orang, mempunyai harta kekayaan secara
terpisah, mempunyai hak dan kewajiban hukum dan dapat melakukan
hubungan hukum dengan pihak lain. Contoh badan hukum adalah
perseroan terbatas (PT), yayasan, koperasi dan lain-lain.

Prinsipnya pengusaha adalah pihak yang menjalankan perusahaan, baik


milik sendiri maupun bukan. Secara umum istilah pengusaha adalah orang
yang melakukan suatu usaha (enterpreuner). Menurut Pasal 102 ayat (3)
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, Pengusaha
dan organisasi pengusaha dalam hubungan industrial memiliki fungsi untuk:
a. menciptakan kemitraan,
b. mengembangkan usaha,
c. memperluas lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan buruh secara
terbuka, demokratis dan berkeadilan.

g. Landasan Hubungan Industrial

Landasan adalah dasar tempat berpijak atau tempat di mulainya suatu


perbuatan. Dalam bahasa Inggris, landasan disebut dengan istilah foundation, yang
dalam bahasa Indonesia  menjadi fondasi. Fondasi merupakan bagian terpenting
untuk mengawali  sesuatu. Adapun menurut S. Wojowasito, (1972: 161), bahwa
landasan dapat diartikan sebagai alas, ataupun dapat diartikan sebagai fondasi, dasar,
pedoman dan sumber.

Istilah lain yang hampir sama (identik) dengan kata landasan adalah kata dasar
(basic). Kata dasar adalah awal, permulaan atau titik tolak segala sesuatu. Pengertian
dasar, sebenarnya lebih dekat pada referensi pokok  (basic reference) dari
pengembangan sesuatu. Jadi, kata dasar lebih luas pengertian dari kata fondasi atau
landasan. Karena itu, kata fondasi atau landasan dengan kata dasar (basic reference)
merupakan dua hal yang berbeda wujudnya, tetapi sangat erat hubungannya (Sanusi
Uwes, 2001: 8). Maka, setiap ilmu yang berhubungan dan berkenaan dengan
pelaksanaan pendidikan, merupakan hasil dari pemikiran tentang alam atau manusia.
Oleh karenanya, ilmu-ilmu itu dapat dikatakan sebagai fondasi atau dasar pendidikan
(Sunasi Uwes, 2001: 8). Jadi, dilihat dari pengertian tersebut, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa landasan adalah fondasi  atau dasar tempat berpijaknya sesuatu.

Ada beberapa landasan dalam Hubungan Industrial yang berdasarkan


Pancasila yang harus diperhatikan:
1. Pancasila sebagai landasan idiil.
Hubungan Industrial berlandaskan pada keseluruhan sila-sila daripada
Pancasila secara bulat dan utuh, artinya sila-sila dari Pancasila harus
digunakan terkait satu sama lain dan tidak boleh menonjolkan yang lebih dari
yang lain.
2. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional.
Hubungan Industrial juga berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1945
sebagai landasan konstitusional mulai dari Pembukaan, Batang Tubuh
maupun pada Penjelasannya.
3. Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan-kebijakan Pemerintah
yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.
Landasan operasional GBHN yang ditetapkan oleh MPR serta kebijakan-
kebijakan lain dari pemerintah

h. Azas Hubungan Industrial

Asas merupakan suatu pedoman dalam mengambil suatu tindakan. Asas


hukm menurut Sajipto Raharjo adalah suatu jantungnya peraturan hukum. Hal
tersebut dikarenakan ketika asas hukum menjadi tolak ukur peraturan hukum dan
asas mengandung makna nilai-nilai yang hidup. Asas hukum berfungsi sebagai
pondasi yang memberikan arah, tujuan serta penilaian fundamental, mengandung
nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis. Bahkan dalam satu mata rantai sistem, asas,
norma, dan tujuan hukum berfungsi sebagai pedoman dan ukuran atau kriteria
bagi pelaku manusia.

Melalui asas hukum, norma hukum berubah sifatnya menjadi bagian atau
tatanan etis yang sesuai dengan nilai kemasyarakatan. Pemahaman tentang
keberadaan suatu norma hukum dapat ditelusuri daro ratio legis-nya. Meskipun asas
hukum bukan norma hukum, namun tidak ada norma hukum yang dapat dipahami
tanpa mengetahui asas-asas hukum yang terdapat di dalamnya.

Peraturan hukum yang kongkret itu dapat diterapkan secara langsung pada
peristiwanya, maka asas hukum diterapkan secara tidak langsung. Untuk
menemukan asas hukum di cari sifat-sifat umum dalam norma yang kongkrit, dalam
arti mencari kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam peraturan dimaksud.

Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan


pada pasal 2 dan 3 mencantumkan asas-asas tersebut. Namun diluar UU No. 13
Tahun 2003 masih terdapat asas-asas yang hidup untuk mendampingi peraturan
hukum dibidang ketenagakerjaan untuk mencapai tujuannya dalam melaksanakan
hubungan industrial ialah :

a. Asas Manfaat

Artinya segala usaha dan kegiatan pembangunan harus dapat


dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan kesejahteraan
rakyat.

b. Asas Usaha Bersama dan Kekeluargaan

Artinya usaha mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa harus merupakan


usaha bersama seluruh rakyat yang dilakukan secara gotong royong
dan kekeluargaan.

c. Asas Demokrasi

Artinya didalam menyelesaikan masalah-masalah Nasional ditempuh


dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat.

d. Asas Adil dan Merata

Artinya bahwa hasil yang dicapai dalam pembangunan harus dapat


dinikmati secara adil dan merata sesuai darma baktinya.

e. Asas Perikehidupan dan Keseimbangan

Artinya harus diseimbangkan antara kepentingan-kepentingan dunia


dan akherat, amterial dan spiritual, jiwa dan raga, individu dan
masyarakat, dan lain-lain.

f. Asas Kesadaran Hukum

Setiap warga negara harus taat dan sadar pada hukum dan mewajibkan
negara menegakkan hukum

g. Asas Kepercayaan Pada Diri Sendiri

Pembangunan berdasarkan pada kepercayaan akan kemampuan dan


kekuatan sendiri, serta bersendikan pada kepribadian bangsa.

Dalam pelaksanaanya hubungan industrial Pancasila berlandaskan


kepada dua asas kerja yang sangat penting yaitu, Asas Kekeluargaan dan
Gotong royong, dan Asas Musyawarah untuk mufakat. Sebagai manifestasi
dari 2 azas tersebut ada 3 azas kerjasama/partnership sebagai prinsip
utama dalam Hubungan Industrial yakni :
a. Pekerja dan pengusaha adalah teman seperjuangan dalam proses produksi.
b. Pekerja dan pengusaha adalah teman seperjuangan dalam pembagian
keuntungan.
c. Pekerja dan pengusaha adalah teman seperjuangan dalam bertanggung
jawab, yang meliputi tanggung jawab kepada :
- Tuhan Yang Maha Esa.
- Bangsa dan Negara.
- Masyarakat.
- Pekerja dan keluarganya.
- Perusahaan tempat bekerja.

Asas kekeluargaan dan gotong royong itu harus terjalin kerja sama yang
sebaik-baiknya dalam keharmonisan kerja dan lingkungan kerja, karena
pada hakikatnya:

a. Pekerja dan pengusaha merupakan teman seperjuangan di dalam proses


produksi, hal ini harus berarti bahwa baik pekerja maupun pengusaha
wajib bekerja sama dengan penuh toleransi serta bantu membantu dalam
kelancaran usaha dengan meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan
produksi.
b. Pekerja dan pengusaha adalah teman seperjuangan dalam usahanya
menghasilkan dan memperoleh pendapatan yang berarti pendapatan yang
diterima perusahaan akan dinikmati bersama dengan bagian yang layak
dan seimbang.
c. Pekerja dan pengusaha merupakan teman seperjuangan dalam memikul
tanggung jawab, yaitu:
1) Tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
2) Tanggung jawab kepada Bangsa dan Negara;
3) Tanggung jawab kepada lingkungan masyarakat;
4) Tanggung jawab kepada pekerja beserta keluarganya;
5) Tanggung jawab kepada perusahaan dimana mereka menjalin
hubungan kerja.

Hubungan Industrial Pancasila memerlukan suatu sikap sosial yang


mencerminkan persatuan serta kesatuan nasional, serta sifat
kegotongroyongan, harga menghargai, tenggang rasa, keterbukaan, bantu
membantu dan mampu mengendalikan diri.

Selain dari itu sikap sosial diperlukan juga sikap mental, dimana para
pelaku Hubungan Industrial Pancasila antara pihak yang satu dengan pihak
yang lainnya bersikap sebagai teman seperjuangan atau mitra kerja yang
saling menghormati dan saling mengerti kedudukan serta perananya dan
sama-sama memahami hak dan kewajiban di dalam keseluruhan proses
produksi. Pihak pemerintah dalam hal ini, menempati posisi dan
menjalankan peranan sebagai pengasuh, pembimibing, pelindung dan
pendamai, secara singkatnya berperan sebagai pengayom dan pamong bagi
semua pihak yang terkait.

Serikat pekerja bukan saja merupakan lembaga penyalur aspirasi para


kerja dengan hak-haknya yaitu, hak berorganisasi, hak secara kolektif untuk
menyatakan pendirian dan atau pendapat mengenai segala masalah yang
menyangkut kondisi kerja, hak untuk mengadakan perjanjian kerja bersama
dan hak perlindungan lainnya. Akan tetapi juga memiliki kewajiban untuk
membimbing pekerja yang merupakan anggota-anggotanya untuk selalu
berperanserta dalam tugas-tugas pembangunan nasional.

Sedangkan pengusaha selain diakui hak-haknya seperti, hak milik,


dalam arti hak milik itu harus berfungsi sosial dalam penggunannya, hak
untuk dapat mengembangkan segala usahanya, dalam arti bahwa laba yang
diperolehnya haruslah wajar dan bukan laba yang sebesar mungkin yang
diperolehnya dengan usaha-usaha yang tidak wajar, hak untuk mengelola
permodalan, dengan ketentuan bahwa dalam pemupukan modal itu haruslah
memperhatikan kepentingan semua pihak dalam masyarakat. Dengan
demikian pengusaha berkewajiban memberikan sahamnya secara
konstruktif terhadap peningkatan kesejahteraan hidup para pekerjanya,
melakukan pembinaan asas-asas ketatalaksanaan yang baik, dalam
kerangka pembangunan nasional secara keseluruhan.

i. Sikap Sosial Dan Sikap Mental


Sikap adalah sikap individu dalam bertindak yang merupakan hasil dari
stimulus yang diterima dalam kegiatannya atau pengalamannya yang dapat
menimbulkan atau mempengaruhi perbuatan dan tingkah laku individu tersebut.
Seseorang dalam bersikap kepada orang lain akan membentuk sikap sosial. Hal
tersebut dikarenakan, sikap sosial akan menimbulkan interaksi atau komunikasi
dengan orang lain (banyak orang) sehingga seseorang dapat saling bekerja sama.
Sebagaimana menurut Hurlock yang mengatakan bahwa sikap sosial adalah mampu
bekerja sama, dapat bersaing secara positif, mampu berbagi pada yang lain, memiliki
hasrat terhadap penerimaan sosial, bergantung secara positif pada orang lain, dan
memiliki sikap kelekatan (attachment behavior) yang baik (Lydia, 2012: 99).

Definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sikap sosial adalah interaksi dengan
orang lain, sehingga dapat membentuk suatu perilaku atau perbuatan yang membuat
orang dapat saling bekerja sama. Sikap sosial sangat erat kaitannya dengan perilaku
atau perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengetahui sikap
seserang, oranglain akan menduga dan mengamati bagaimana sikap yang diambil oeh
orang yang bersangkutan terhadap suatu masalah yang dihadapkan pada dirinya.
Sikap mental yang terkendali terpuji akan dapat menumbuhkan kualitas sumber daya
manusia yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas manajemen.

Sikap sosial yakni sikap untuk mencerminkan persatuan dan kesatuan


nasional, gotong-royong, toleransi, tenggang rasa, terbuka, bantu membantu dan
mampu mengendalikan diri. Sedangkan sikap mental yang dimaksud antara lain
saling menghormati, saling mengerti kedudukan dan peranannya, saling memahami
hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Sikap mental pekerja yakni :

Sikap mental TRI DHARMA yang berarti :


- Merasa ikut memiliki
- Ikut memelihara dan mempertahankan
- Terus menerus mawas diri Sikapmental pengusaha yakni : Memanusiakan
manusia yang berarti :
- Pengusaha harus mempunyai kesadaran bahwa pekerja itu adalah manusia
yang mempuntai martabat, harkat dan harga diri
- Pengusaha harus mempunyai kesadaran untuk meningkatkan derajat,
martabat, harga diri dan kesejahteraan pekerja yang merupakan kewajiban
dan tugas kemanusiaan.

Sikap mental pemerintah yakni :

Menjadi pengayom, pembimbing, pelindung dan pendamai bagi seluruh pihak


dalam proses produksi.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 102 Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13


Tahun 2003, dalam melaksanakan Hubungan Industrial, Pemerintah berfungsi :
menetapkan kebijakan, memeberi pelayanan, melaksanakan pengawasan,
melakukan penindakan terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-undanga
Ketenagakerjaan.

Pekerja dan Serikat pekerja berfungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan


kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan
aspirasi secara demokratis, mengembangkan ketrampilan, keahlian serta ikut
memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejah-teraan keluarganya.

Pengusaha dan Organisasi Pengusaha berfungsi menciptakan kemitraan,


mengembangkan usaha memperluas kesempatan kerja, memberikan kesejah-
teraan pada pekerja.

Pemerintah berfungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan,,


melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran
peraturan per-uu ketenaga kerjaan. (Psl. 102)

Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana-sarana sebagai berikut : (Pasal


103)

a. Serikat Pekerja.
b. Organisasi Pengusaha.
c. Lembaga Kerjasama Bipartit.( di tingkat perusahaan)
d. Lembaga Kerjasama Tripartit. (di tingkat nasional, privinsi,
kabupaten/kota)
e. Peraturan Perusahaan.
f. Perjanjian Kerja Bersama.
g. Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan.
h. Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

j. Serikat Pekerja (Pasal 104)

Zaman feodal atau zaman penjajahan Belanda dahulu yang dimaksud dengan
buruh adalah orang-orang pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang dan lain-lain.
Orang-orang ini oleh pemerintah Belanda dahulu disebut dengan blue collar
(berkerah biru), sedangkan orang-orang yang mengerjakan pekerjaan “halus” seperti
pegawai administrasi yang biasa duduk di meja disebut dengan “white collar”
(berkerah putih). Pemerintah Hindia Belanda membedakan antara blue collar dengan
white collar dengan memberikan kedudukan dan status yang berbeda untuk memecah
belah golongan Bumiputra. Orang-orang white collar dikatakan adalah orang-orang
yang pantang melakukan pekerjaanpekerjaan kasar, sedangkan orang-orang blue
collar adalah kuli kasar yang hampir sama kedudukan dengan “budak” yang harus
tunduk dan patuh, hormat kepada orang-orang white collar.

Telah dikemukakan bahwa hubungan hukum tercermin pada hak dan


kewajiban yang diberikan oleh hukum. Hukum harus dibedakan dari hak dan
kewajiban, yang timbul kalau hukum itu diterapkan terhadap peristiwa konkret.
Tetapi kedua-duanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tatanan yang diciptakan
oleh hukum itu baru menjadi kenyataan apabila kepada subyek hukum diberi hak dan
dibebani kewajiban. Pekerja atau buruh merupakan bagian dari tenaga kerja yaitu
tenaga kerja yang bekerja didalam hubungan kerja, dibawah perintah pemberi kerja
(perseorangan, pengusaha, badan hukum) dan atas jasanya dalam bekerja yang
bersangkutan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lainnya. Tenaga kerja
disebut sebagai pekerja atau buruh bila melakukan pekerjaan didalam hubungan kerja
dan dibawah perintah orang lain dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain.

Tenaga kerja yang bekerja dibawah pimpinan orang lain dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain tetapi tidak dalam hubungan kerja misalnya
tukang semir sepatu atau tukang potong rambut, bukan merupakan pekerja atau
buruh. Tenaga kerja memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai
pelaku (aktor) dalam pelaksanaan pembangunan, kiranya perlu meningkatkan kualitas
tenaga kerja Indonesia dan kontribusinya dalam pembangunan serta melindungi hak
dan kepentingannya sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Istilah pekerja dan
buruh secara yuridis sebenarnya adalah sama dan tidak ada perbedaan diantara
keduanya. Kedua kata tersebut dipergunakan dan digabungkan menjadi ‘pekerja atau
buruh” dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk
menyesuaikan dengan istilah “serikat pekerja atau serikat buruh” yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh.
UndangUndang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 3
pengertian pekerja atau buruh adalah “Setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Undang Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak


membedakan antara pekerja atau buruh halus (white collar) dengan pekerja atau
buruh kasar (blue collar). Pembedaan pekerja atau buruh dalam Undang-undang ini
hanya didasarkan pada jenis kelamin (pekerja atau buruh perempuan dan laki-laki)
dan usia (pekerja atau buruh anak). Pembedaan ini dilakukan bukan dalam rangka
diskriminatif tetapi untuk melindungi pekerja atau buruh yang lemah daya tahan
tubuhnya dan untuk menjaga norma-norma kesusilaan.

1. Pengertian Serikat Buruh atau Serikat Pekerja

Pengertian serikat pekerja atau buruhmenurut pasal 1 ayat 1 Undang undang


Nomor 21 Tahun 2000 adalah organisasi yang dibentuk oleh, dari, dan untuk pekerja
atau buruhbaik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja atau buruhserta
meningkatkan kesejahteraan pekerja atau buruh dan keluarganya. Berdasarkan Pasal
1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pekerja/buruh adalah Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain. Pengusaha adalah orang perseorangan, persekutuan atau badan
hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri. Pengusaha juga orang
perseorangan, persekutuan atau badan hokum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya. Dan pengusaha juga diartikan perseorangan, persekutuan
atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan yang berkedudukan
diluar wilayah Indonesia.

Demikian pula menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Serikat Pekerja/Serikat Buruh, definisi Serikat Pekerja/Serikat Buruh memiliki
pengertian yang sama dengan apa yang disebutkan dalam UndangUndang Nomor 21
Tahun 2000 tentang Ketenagakerjaan. Ini menunjukkan bahwa kedua Undang-
Undang ini memiliki pemahaman yang sama tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Dari pengertian Serikat Pekerja dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja atau buruh memuat beberapa prinsip dasar yakni:

a. Jaminan bahwa setiap pekerja atau buruhberhak membentuk dan


menjadi anggota serikat pekerja/buruh;

b. Serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas pekerja atau buruh


tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, dan pihak
manapun;

c. Serikat pekerja atau buruh dapat dibentuk berdasarkan sector usaha,


jenis pekerjaan, atau bentuk lisan sesuai dengan kehendak pekerja/buruh;

d. Basis utama serikat pekerja atau buruhada di tingkat perusahaan,


serikat buruh yang ada dapat menggabungkan diri dalam Federasi Serikat
Pekerja atau buruh. Demikian halnya dengan Federasi Serikat Pekerja atau
buruh dapat menggabungkan diri dalam Konfederasi Serikat Pekerja atau
buruh;

e. Serikat pekerja atau buruh, federasi dan Konfederasi serikat pekerja


atau buruhmyang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada
kantor Depnaker setempat, untuk dicatat;

f. Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja atau


buruhuntuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak
menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan atau
menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja atau buruh.

2. Dasar Hukum Serikat Buruh atau Serikat Pekerja

Pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan untuk turut serta


melindungi pihak yang lemah pekerja/buruh) dari kekuasaan pengusaha, guna
menempatkan pada kedudukan yang layak sesuai harkat martabat manusia. Pada
hakikatnya hukum kerja dengan semua peraturan perundangudnangan bertujuan
melaksanakan keadilan sosial dengan memberikan perlindungan kepada buruh
terhadap kekuasaan pengusaha, dengan sifat pertauran yang memaksa dan
memberikan sanksi tegas kepada pengusaha yang melanggar. Dengan sifatnya yang
memaksa ikut campur pemerintah, membuat hukum kerja menjadi hukum publik
dan privat sekaligus. Ada beberapa dasar hukum, yang menjadikan seseorang dapat
aktif berserikat tanpa perasaan takut atau dibatasi oleh pihak manajemen atau pihak-
pihak lain. Dasar Hukum Serikat Pekerja yakni:

a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28. Pasal 28 Undang-Undang


Dasar 1945 ini (khususnya pasal 28, 28C, dan 28F) memberikan hak
kepada seluruh warga Negara untuk berserikat dan berkumpul dan
mengeluarkan pendapat. Pasal ini banyak dipakai sebagai dasar oleh
para buruh untuk mendirikan buruh/pekerja;

b. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/


Serikat Buruh;

c. Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian


Perselisihan Hubungan Industrial;

e. Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 tentang Pengesahan


Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Hak untuk Berorganisasi;

f. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep


16/Men/2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/ Serikat
Buruh.

g. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


201/Men/2001 tentang Keterwakilan dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial;

h. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


Per06/Men/IV/2005 tentang Pedoman Verifikasi Keanggotaan
Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

3. Fungsi Serikat Buruh atau Serikat Pekerja

Fungsi Serikat Pekerja/Buruh selalu dikaitkan dengan keadaan hubungan


industrial. Hubungan industrial diartikan sebagai suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi dan jasa yang meliputi
pengusaha, pekerja dan pemerintah. Sebagai perwakilan buruh/pekerja maka serikat
pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi:

a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan


penyelesaian perselisihan industrial;

b. wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama dibidang


ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;

c. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis,


dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraaturan
perundangundangan yang berlaku;

d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan


kepentingan anggotanya;

e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan


pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;

f. sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan


saham dalam perusahaan. Dalam pasal 102 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 juga disebutkan fungsi serikat pekerja dalam
hubungan industrial yakni: “Dalam melaksanakan hubungan
industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan
kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,
menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan
keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan
memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya”.
4. Hak dan Kewajiban Serikat Buruh atau Serikat Pekerja

Berdasarkan pengertiannya Serikat Pekerja/Serikat Buruh diberikan jaminan,


seperti yang diatur pada Pasal 25-29, dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh.

a. Hak Serikat Pekerja/ Serikat Buruh

Hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang
yang telah ada sejak lahir, bahkan dari dalam kandungan sekalipun. Hakhak
pekerja/buruh selalu melekat pada setiap orang yang bekerja dengan
menerima gaji. Karena pekerjaannya dibawah perintah orang pemberi kerja
maka seorang pekerja perlu memperoleh jaminan perlindungan dari tindakan
yang sewenang-wenang dari orang yang membayar gajinya. Hak
pekerja/buruh tersebut muncul secara bersamaan ketika sipekerja/buruh
mengikat dirinya pada si majikan untuk melakukan suatu pekerjaan.
Beberapa hak-hak pekerja sebagai berikut: Hak atas upah, Hak untuk
mendapatkan cuti tahunan dan dapat dijalankan sesuai dengan aturan yang
berlaku, Hak untuk mendapatkan kesamaan derajat dimuka hukum, Hak utuk
menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing, dan
Hak untuk mengemukakan pendapat. Hak–hak pekerja ini hanya ada
sewaktu seseorang menjadi pekerja, hak ini melekat pada mereka yang
bekerja.

1) membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;

2) mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial;

3) mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;

4) membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan


usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;

5) melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak


bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6) Dapat berafiliasi dan atau bekerja sama dengan Serikat Pekerja/Serikat


Buruh internasional atau organisasi internasionalnya lainnya. Ketika si
pekerja sudah tidak menjadi pekerja/buruh lagi, hak-hak yang pernah ada
padanya secara otomatis menjadi hilang.

b. Kewajiban Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Timbulnya kewajiban bagi seorang adalah ketika seorang melakukan


suatu kesepakatan dan didalamnya termuat hak dan kewajiban, ketika hak itu
sudah menjadi keharusan yang diperoleh, begitu juga dengan kewajiban.
Kewajiban adalah keharusan yang wajib dan harus ditaati tanpa kecuali,
karena saling keterikatannya antara hak dan kewajiban itulah yang mendasari
mengapa setiap kita menuntut hak, kitapun jangan sampai lalai terhadap
kewajiban. Kewajiban sebagai pekerja telah terbagi dalam tiga bagian
penting, yaitu:

1) Kewajiban ketaatan adalah kewajiban yang dibebankan kepada


pekerja/buruh untuk mematuhi segala peraturan yang telah ditetapkan atau
telah disepakati oleh pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha;

2) Kewajiban konfidensialitas adalah merupakan salah satu bentuk


kewajiban yang diberikan kepada pekerja, dalam artian pekerja mempunyai
kewajiban dalam hal untuk dapat menjaga rahasia perusahaan;

3) Kewajiban loyalitas, loyalitas pekerja terhadap organisasi memiliki makna


kesediaan pekerja untuk melanggengkan hubungan dengan organisasi, kalau
perlu dengan mengorbankan kepentingan ppribadinya tanpa mengharapkan
apapun. Kesediaan pekerja/buruh untuk mempertahankan diri bekerja dalam
organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen pekerja
terhadap organisasi dimana mereka bekerja. Hal ini dapat diupayakan bila
pekerja merasakan adanya keamanan dan kepuasan didalam organisasi
tempat si pekerja bergabung untuk bekerja.

4) Melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan


memperjuangkan kepentingannya;

5) Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya;

6) Mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai


dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

k. Organisasi Pengusaha (Pasal 105)

Arti dari organisasi pengusaha ini adalah sebuah perkumpulan dari beberapa
pemilik usaha/perusahaan yang dimana membentuk suatu susunan agar terciptanya
badan usaha-yang luas dari berbagai perusahaan. Pasal 105 Undang-Undang
Nomor;13 Tahun 2003 tentang”Ketenagakerjaan menjelaskan mengenai-organisasi
pengusaha yaitu “Setiap-pengusaha berhak membentuk dan menjadi,anggota
organisasi pengusaha, serta ketentuan mengenai:organisasi pengusaha diatur sesuai
dengan:peraturan perundang-undangan yang-berlaku”.

l. Lembaga Kerja Sama Bipartit

a. Dasar Hukum

1. Pasal 106 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003  tentang


Ketenagakerjaan “Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima
puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk lembaga
kerjasama bipartit”.
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor Per.32/MEN/XII/2008 tentang Tata Cara Pembentukan Dan
Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit.

b. Pengertian Bipartit

Lembaga Kerjasama Bipartit atau disingkat LKS Bipartit adalah forum


komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan
industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan
serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat di Instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.

  c. Tujuan Dibentuk Bipartit

LKS Bipartit sangat perlu dibentuk di perusahaan karena dapat


menjadi wadah komunikasi yang efektif bagi pengusaha dan pekerja, sehingga
apa yang menjadi inspirasi atau keinginan dari pengusaha dan pekerja/buruh
dapat disampaikan melalui LKS Bipartit untuk dicarikan jalan keluarnya,
sehingga masalah tersebut tidak menjadi besar. Tujuan pembentukan LKS
Bipartit di perusahaan adalah untuk menciptakan hubungan industrial yang
harmonis, dinamis dan berkeadilan di perusahaan.

  d. Manfaat Bipartit

Adanya LKS Bipartit di perusahaan, dapat memberikan manfaat bagi


perusahaan dan pekerja/buruh antara lain :

- Mempererat hubungan silaturahmi dan keakraban antara manajemen dengan


pekerja/buruh.

- Meningkatkan ketenangan kerja dan ketenangan usaha.

- Melahirkan inspirasi untuk inovasi.

- Meningkatkan kesejahteraan pekerja/ buruh.

- Mencegah terjadi dan berkembangnya masalah dalam hubungan industrial.

  e. Fungsi Dan Tugas Bipartit

Fungsi :

Sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha dengan


wakil serikat pekerja/buruh dan atau wakil pekerja/buruh dalam rangka
pengembangan hubungan industrial untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan,
dan perkembangan perusahaan, termasuk kesejahteraan pekerja/ buruh.

Tugas :

1. Melakukan pertemuan secara periodik dan atau sewaktu-waktu apabila


diperlukan.
2. Mengkomunikasikan kebijakan pengusaha dan aspirasi pekerja/buruh
dalam rangka mencegah terjadinya permasalahan hubungan industrial di
perusahaan.
3. Menyampaikan saran. pertimbangan, dan pendapat kepada pengusaha,
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh dalam rangka
penetapan dan pelaksanaan kebijakan perusahaan.

f. Cara Pembentukan Bipartit

1. LKS Bipartit dibentuk oleh unsur pengusaha dan unsur pekerja/ buruh.
2. LKS Bipartit dapat dibentuk di setiap cabang perusahaan.
3. Pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau wakil
pekerja/buruh melaksanakan pertemuan untuk membentuk, menunjuk
dan menetapkan anggota LKS Bipartit di perusahaan.
4. Anggota menyepakati dan menetapkan susunan pengurus LKS
Bipartit.
5. Pembentukan dan susunan pengurus LKS Bipartit dituangkan dalam
Berita Acara yang ditandatangani oleh pengusaha dan wakil serikat
buruh atau wakil pekerja/buruh di perusahaan.

g. Setelah Terbentuk Bipartit

1. LKS Bipartit yang telah terbentuk, diberitahukan untuk dicatat kepada


Instansi/Dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah
pembentukan.
2. Pengurus LKS Bipartit menyampaikan pemberitahuan tertulis baik
langsung maupun tidak langsung dengan melampirikan berita acara
pembentukan, susunan pengurus dan alamat perusahaan.
3. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pemberitahuan,
instansi/Dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
memberikan Nomor Bukti Pencatatan.

h. Komposisi Kepengurusan Bipartit

Kepengurusan LKS Bipartit ditetapkan dari unsur pengusaha dan


unsur pekerja/buruh dengan komposisi   1 : 1 yang jumlahnya disesuaikan
dengan kebutuhan dan paling sedikit 6 (enam) orang.

i.  Menentukan Unsur Pengusaha Dan Unsur Serikat Pekerja/ Buruh Dalam


Kepengurusan Lks Bipartit

 Unsur Pengusaha

Unsur pengusaha atau manajemen yang duduk dalam kepengurusan LKS


Bipartit sebaiknya berkewenangan membuat keputusan dalam perusahaan
agar saran, pertimbangan dan rekomendasi yang dihasilkan LKS Bipartit
dapat cepat sampai dan ditanggapi oleh pimpinan dan manajemen untuk
ditindaklanjuti dan diimplementasikan lebih lanjut.

 Unsur Serikat Pekerja/Buruh atau Pekerja/Buruh

1. Di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan semua


pekerja/ buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh tersebut,
maka secara otomatis pengurus serikat pekerja/ serikat buruh menunjuk
wakilnya dalam LKS Bipartit.
2. Di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/ serikat buruh, maka yang
mewakili pekerja/buruh dalam LKS Bipartit adalah pekerja/ buruh yang
dipilih secara demokratis.
3. Di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/ serikat buruh
dan seluruh pekerja/buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh,
maka yang mewakili pekerja/buruh dalam LKS Bipartit adalah wakil
masing-masing serikat pekerja/serikat buruh yang perwakilannya
ditentukan secara proporsional.
4. Di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan ada
pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh,
maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut menunjuk wakilnya dalam
LKS Bipartit dan pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya yang dipilih secara demokratis.
5. Di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan
ada yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh maka
masing-masing serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya dalam
LKS Bipartit secara profesional dan apabila terdapat pekerja/buruh yang
tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya
yang dipilih secara demokratis.

j. Kewenangan Dan Produk Bipartit

LKS Bipartit mempunyai kewenangan untuk memberikan:

1. Saran.
2. Rekomendasi.
3. Memorandum Kepada pimpinan/manajemen perusahaan.

k. Susunan Pengurus Bipartit

-    Susunan kepengurusan LKS Bipartit sekurang-kurangnya terdiri dari


ketua, wakil ketua, sekretaris dan anggota.

-    Jabatan Ketua LKS Bipartit dapat dijabat secara bergantian antara
wakil pengusaha dan wakil pekerja/ buruh.

-    Masa kerja kepengurusan LKS Bipartit adalah 3 (tiga) tahun.

l. Pergantian Dan Berakhirnya Kepengurusan Bipartit

-    Pergantian keanggotaan LKS Bipartit sebelum berakhirnya masa


jabatan dapat dilakukan atas usul yang diwakili.

-    Masa Jabatan kepengurusan LKS Bipartit berakhir  apabila :

1. Meninggal Dunia;
2. Mutasi atau keluar dari perusahaan;
3. Mengundurkan diri sebagai anggota lembaga;
4. Diganti atas usul dari unsur yang diwakilinya;
5. Sebab-sebab lainnya yang menghalangi tugas-tugas dalam
kepengurusan lembaga.

m. Tata Kerja Bipartit

1. LKS Bipartit mengadakan pertemuan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali


dalam sebulan atau setiap kali dipandang perlu.
2. Materi pertemuan dapat berasal dari unsur pengusaha, unsur
pekerja/buruh, atau dari pengurus LKS Bipartit.
3. LKS Bipartit menetapkan dan membahas agenda pertemuan secara
periodik.
4. Hubungan LKS Bipartit dengan lembaga lainnya di perusahaan
bersifat koordinatif, konsultatif dan komunikatif.

m. Lembaga Kerja Sama Tripartit

Lembaga Kerja Sama Tripartit yang selanjutnya disebut LKS Tripartit adalah
forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan
yang anggotanya terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh.  Lembaga Kerja Sama Tripartit Sektoral, yang selanjutnya
disebut LKS Tripartit Sektoral, adalah forum komunikasi, konsultasi dan
musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan sektor usaha tertentu yang anggotanya
terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi pengusaha sektor usaha tertentu, dan serikat
pekerja/serikat buruh sektor usaha tertentu.

Lembaga Kerja Sama Tripartit memberikan pertimbangan, saran dan pendapat


kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan
masalah ketenagakerjaan.

Lembaga tersebut terdiri dari :

- LKT Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota.


- LKT Sektoral Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Keanggotaan
terdiri
dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha dan Serikat
Pekerja.

Peraturan Pemerintah Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8


Tahun 2005 Tentang Tata Kerja Dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama
Tripartit. Pasal 6 (1) Jumlah seluruh anggota dalam susunan keanggotaan LKS
Tripartit Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, paling banyak 45 (empat
puluh lima) orang yang penetapannya dilakukan dengan memperhatikan komposisi
keterwakilan unsur Pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat
buruh masing-masing paling banyak 15 (lima belas) orang. (2) Komposisi
keterwakilan LKS Tripartit Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
perbandingan 1 (satu) unsur Pemerintah, 1 (satu) unsur organisasi pengusaha, dan 1
(satu) unsur serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal salah satu unsur atau lebih
tidak dapat memenuhi kesamaan jumlah keanggotaan dengan unsur lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka ketentuan komposisi keterwakilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.

Ketentuan Pasal 12 :Pasal 12 (1) Untuk dapat diangkat dalam keanggotaan


LKS Tripartit Nasional, calon anggota harus memenuhi persyaratan:

a. Warga Negara Indonesia;

b. sehat jasmani dan rohani;

c. berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah Menengah Atas


(SMA)/sederajat;

d. Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi Pemerintah yang bertanggung


jawab di bidang ketenagakerjaan dan/atau instansi Pemerintah terkait lain bagi
calon anggota yang berasal dari unsur Pemerintah;

e. anggota atau pengurus organisasi pengusaha, bagi calon anggota yang


berasal dari unsur organisasi pengusaha; dan

f. anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh bagi calon anggota yang
berasal dari unsur serikat pekerja/serikat buruh. f. anggota . . . (2) Ketua LKS
Tripartit Nasional dapat dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d.

Ketentuan Pasal 24 Keanggotaan LKS Tripartit Propinsi terdiri dari unsur


perangkat pemerintah propinsi, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat
buruh. Pasal 25 Susunan keanggotaan LKS Tripartit Propinsi terdiri dari:

a. Ketua merangkap anggota, dijabat oleh gubernur;

b. 3 (tiga) orang Wakil Ketua merangkap anggota, masing-masing dijabat oleh


anggota yang mewakili unsur perangkat pemerintah propinsi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, organisasi pengusaha, dan
serikat pekerja/serikat buruh;

c. Sekretaris merangkap anggota, dijabat oleh anggota yang mewakili unsur


Pemerintah yang berasal dari satuan organisasi perangkat daerah propinsi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan
d. beberapa orang anggota sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26 (1) Jumlah seluruh anggota dalam susunan keanggotaan LKS


Tripartit Propinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, paling banyak 27
(dua puluh tujuh) orang yang penetapannya dilakukan dengan memperhatikan
komposisi keterwakilan unsur perangkat pemerintah propinsi, organisasi
pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh masing-masing paling banyak 9
(sembilan) orang.

(2) Komposisi keterwakilan LKS Tripartit Propinsi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dengan perbandingan 1 (satu) unsur perangkat
pemerintah propinsi, 1 (satu) unsur organisasi pengusaha, dan 1 (satu) unsur
serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Dalam hal salah satu unsur atau lebih tidak dapat memenuhi
kesamaan jumlah keanggotaan dengan unsur lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) maka ketentuan komposisi keterwakilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak berlaku.

B. EVOLUSI TEORI DAN METODE DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL

Lebih dari dua dekade, perkembangan teori yang terjadi dalam memahami
hubungan antarkaryawan dan hubungan sosial di tempat kerja dapat dicatat bahwa
hubungan industrial lebih didasarkan pada analisis ekonomi. Kontrak antarkaryawan
dipandang sebagai hubungan pertukaran ekonomi. Permasalahan yang sering kali
muncul adalah mengubah kemampuan kerja karyawan menjadi ketepatan dalam
kualitas dan kuantitas output. Penelitian mengenai hubungan industrial didasarkan
pada teori biaya transaksi, kontrak, atau teori keagenan prinsipal. Alasan dasar
pendekatan biaya transaksi adalah catatan bahwa transaksi ekonomi termasuk
perumusan dan implementasi kontrak antar karyawan memerlukan biaya. Biaya
transaksi menunjukkan biaya yang bersifat finansial maupun nonfinansial yang
berhubungan dengan model kontrak dan mencakup biaya koordinasi dan motivasi
karyawan, biaya memonitor perilaku karyawan, dan biaya menegakkan dan
menjalankan kontrak.

Studi awal mengenai hubungan antarkaryawan diterapkan dengan fokus


terutama pada peraturan, transaksi, dan tindakan kolektif daripada fokus pada
pertukaran antarindividu. Di tahun 1930-an, hubungan industrial merupakan disiplin
ilmu baru yang dimulai dengan memusatkan pada hubungan antarkaryawan
(Fossum, 1987). Pada awalnya, teori dan penelitian mengenai hubungan industrial
dikembangkan terutama oleh para ahli ekonomi, psikologi, sosiologi, dan politik
terutama dalam fokus dan metode. Sistem hubungan industrial didefinisikan dengan
pengidentifikasian a web of rules yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui
pendefinisian dan pengukuran arah dan kekuatan hubungan di antara variabel-
variabel karyawan secara operasional. Tahun 1978 merupakan generasi baru dalam
hubungan industrial. Ledakan penelitian dalam hubungan industrial telah
memperluas pengetahuan individu dan anggota serikat pekerja dan pengaruh serikat
pekerja pada produktivitas, profitabilitas, dan perekonomian. Berbagai penelitian
yang baru menunjukkan adanya perbedaan pendekatan.

Ada empat proses utama yang terlibat dalam kesepakatan atau perundingan
bersama, yaitu pengorganisasian, negosiasi, penyelesaian yang sama atau adil, dan
kontrak administrasi. Selain itu, dalam berbagai studi tersebut digunakan berbagai
unit analisis. Pada tingkat individual, baik perilaku maupun sikap dapat diukur.
Selanjutnya, ada dua perspektif yang lazim dipakai untuk melihat hubungan
antarpelaku hubungan industrial, yaitu: perspektif fungsional dan perspektif konflik
(Batubara, 2008). Para ahli penganut perspektif fungsional melihat masyarakat
sebagai organisme hidup, sehingga bagian satu dengan yang lain saling terkait.
Masyarakat terdiri dari struktur dan dinamikanya. Adanya kesamaan yang khusus
antara sistem biologis dengan sistem sosial, yaitu persamaan dari perbandingan
bahwa setiap bagian tubuh mempunyai fungsi, begitu juga dalam masyarakat tiap-
tiap bagian ada fungsi dan tujuannya. Apabila pandangan ini dipakai untuk politik
maka dapat dikatakan bahwa kehidupan politik merupakan suatu sistem dengan
berbagai komponen politik yang melakukan fungsi-fungsi tertentu, dan satu fungsi
dengan fungsi yang lain saling terkait sehingga dapat dilihat sebagai satu kesatuan.

Di dalam sistem politik ada komponen yang melakukan fungsi tertentu


secara terus-menerus sehingga melahirkan struktur. Selain perspektif fungsional,
pandangan lain adalah perspektif konflik. Perspektif konflik menyatakan bahwa
perspektif fungsional tidak akan mampu mengatasi keseluruhan fenomena sosial.
Pendekatan perspektif fungsional lebih merupakan suatu pendekatan utopia
ketimbang realitas. Perspektif konflik berpendapat bahwa masyarakat bersisi ganda,
memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. Oleh karena itu, perspektif konflik
digunakan dalam memahami fenomena sosial secara lebih baik. Selanjutnya, ada
dua landasan atau pendekatan hubungan industrial, yaitu pendekatan dari perspektif
kesatuan dan perspektif konflik antarkelas.

Pendekatan perspektif kesatuan memandang bahwa hubungan antara


penguasa dan karyawan bukan merupakan hubungan persaingan melainkan
merupakan hubungan satu tim. Pengusaha merupakan pihak yang menentukan
kebijaksanaan dan karyawan merupakan pihak yang melaksanakan kebijakan.
Pendekatan perspektif kesatuan ini melihat bahwa dalam organisasi kerja terdapat
kelompok dengan beragam kepentingan, tujuan, dan aspirasi. Oleh karena itu,
konflik di dalam hubungan kerja merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Namun
demikian, konflik itu bukan merupakan penyimpangan yang secara terus-menerus
mengganggu keharmonisan industri, tetapi merupakan hal melekat pada hubungan
kerja. Perspektif konflik kelas berkembang menjadi perspektif konflik industri pada
masyarakat paska kapitalis. P. Stephen J. Erry dan David H. Plowman menggunakan
istilah pendekatan kesatuan yang memandang hubungan industrial dengan
pendekatan tersebut sebagai hubungan kerja sama dengan kepentingan yang
harmonis antara pekerja dan pengusaha. P Stephen J. Erry dan David H. Plowman
juga mengemukakan pendekatan keberagaman.

Pendekatan keanekaragaman dijadikan sebagai landasan teori hubungan


industrial. Meski demikian, ada juga ahli hubungan industrial yang memberikan
kritik. Hyman mengatakan sebaiknya tidak ada pelaku hubungan industrial yang
terlalu dominan dan memenangkan kepentingannya saja, sehingga negara harus
menjadi penjaga kepentingan publik dengan tugas utamanya melindungi yang lemah
dan mencegah yang kuat. Pendekatan lain yang dikemukakan dan berbeda dari
pendekatan keanekaragaman adalah pendekatan Marxist. Pendekatan ini bertolak
dari pemikiran bahwa di dalam masyarakat industri ada konflik antarkelas, yaitu
konflik antara kelas pemilik modal atau pengusaha dengan pekerja yang menjual
tenaganya. Konflik ini tidak akan selesai sebelum buruh menguasai alat-alat
produksi. Perbedaan pandangan pendekatan keanekaragaman dan pendekatan
Marxist adalah pendekatan keanekaragaman melihat konflik yang ada di dalam
hubungan industrial bukan merupakan konflik total, akan tetapi konflik kepentingan
yang dapat dirundingkan dengan semangat memberi konsesi dan bersedia kompromi
di antara pelaku hubungan industrial.

Kekuasaan yang dimiliki masing-masing pelaku hubungan industrial baru


terlihat kalau ada interaksi antarmereka. Interaksi antarpelaku hubungan industrial
dipengaruhi oleh lingkungan yang ada bila hubungan industrial dioperasikan. Dalam
interaksi antara pelaku hubungan industrial dapat terjadi konflik. Konflik ini dapat
berupa konflik kelas dan dapat berupa konflik kepentingan. Dalam studi tentang
hubungan industrial yang menjadi sorotan adalah bagaimana konflik kepentingan itu
dapat diselesaikan. Kalau ada konflik, berarti akan ada penggunaan kekuasaan yang
dimiliki oleh suatu organisasi. Ruang lingkup hubungan industrial secara umum
merupakan hubungan antara pekerja dan pengusaha dengan berbagai permasalahan,
seperti ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Ruang lingkup tersebut dibedakan
menjadi dua, yaitu pemasaran tenaga kerja dan pengelolaan tenaga kerja.
Pendekatan biaya transaksi membuat sejumlah asumsi mengenai perilaku karyawan
dan lingkungan ekonomi.

Ada dua asumsi perilaku yang penting, yaitu rasionalitas yang terbatas dan
paham oportunis. Keterbatasan rasionalitas menunjukkan adanya keterbatasan
pandangan individu sehingga individu tidak dapat memproses informasi yang tidak
terbatas dan tidak mampu mengomunikasikan informasi tersebut kepada orang lain
dengan sempurna. Selain itu, individu juga memiliki sifat menjadi seorang yang
oportunis, sehingga individu cenderung memiliki kepentingan sendiri yang berbeda-
beda. Keterbatasan rasionalitas individu, kompleksitas, dan ketidakpastian
lingkungan ekonomi menunjukkan bahwa kontrak karyawan yang detail dan
komprehensif tersebut tidak layak. Sementara itu, perilaku oportunis muncul ketika
karyawan memiliki tingkat tawar-menawar dalam keahlian khusus. Konsep
kerangka kerja hubungan industrial mendorong pengembangan tipologi dengan tiga
level kegiatan hubungan industrial, yaitu level strategi, kebijakan, dan tempat kerja.

C. PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Perselisihan Hubungan Industrial diundangkan dengan Undang-Undang No. 2


Tahun 2004 menggantikan Undang- Undang No. 22 Tahun 1957.

1. Alasan Keluarnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004

a. Bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial


menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi
dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat,
tepat, adil dan murah.
b. Bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang No.12 Tahun 1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
c. Bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan perlu
diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
d. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas perlu ditetapkan
Undang-Undang yang mengatur Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.

2. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial

Tujuan pembinaan dan pengembangan hubungan industrial adalah


untuk menciptakan hubungan yang aman dan harmonis antara pihak-pihak
tersebut sehingga dapat meningkatkan produktivitas usaha. Hak pekerja
merupakan pemenuhan kewajiban pengusaha. Kewajiban pekerja didasarkan
pada kewenangan pengusaha untuk mengaturnya. Kewajiban pekerja adalah
melakukan pekerjaan sesuai dengan penugasan pimpinan menurut disiplin
kerja dan dalam waktu kerja yang diaturkan. Sebagai imbalan atas jasa kerja
tersebut, pekerja berhak memperoleh upah, tunjangan-tunjangan dan jaminan
lainnya, beristirahat, cuti, memperjuangkan haknya secara langsung maupun
secara tidak langsung melalui serikat pekerja. Untuk menjamin perwujudan
hak dan kewajiban pekerja secara kewenangan dan kewajiban pengusaha di
setiap perusahaan, ditetapkan berbagai bentuk peraturan perundangan
ketenagakerjaan mulai dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Persiden dan Keputusan Menteri. Setiap usaha, kecil atau besar,
selalu menyangkut kepentingan banyak orang yaitu pengusaha atau pemilik,
pekerja, masyarakat pemasok bahan dan masyarakat konsumen, serta
Pemerintah. Dalam waktu yang sangat lama, memang tedapat persepsi yang
keliru yang menganggap perusahaanhanya kepentingan pengusaha atau
kepentingan pemilik perusahaan. Masyarakat ternyata mempunyai
kepentingan atas setiap perusahaan, baik karena perusahaan menyediakan
barang-barang konsumsi untuk memnuhi kebutuhan masyarakat, maupun
karena perusahaan menciptakan kesempatan kerja untuk mnyerap pencari
kerja. Di lain pihak, masyarakat mempunyai kepentingan atas perusahaan
karena perusahaan dapat menimbulkan dampak negative yang merugikan
masyarakat seperti polusi atau pencemaran lingkungan.

Dahulu istilah hubungan industrial disebut dengan perselisihan


perburuhan, tetapi seiring dengan perkembangan di bidang ketenagakerjaan
istilah buruh sudah tidak sesuai maka setelah diberlakukan Kepmenaker
Nomor : 15/MEN/1994 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja di tingkat Perusahaan dan
Pemerintahan, istilah Perselisihan Perburuhan diganti dengan Perselisihan
Hubungan Industrial.

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang


Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, merumuskan perselisihan
hubungan Industrial adalah:

Perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara


pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh, karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, dan Perselisihan antar
serikat serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Berdasarkan
pengertian Perselisihan Hubungan Industrial tersebut, maka dalam Pasal 1
angka 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Hubungan Industrialmembagi jenis Perselisihan Hubungan Industrial
menjadi :

a. Perselisihan Hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak


dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

b. Perselisihan Kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam


hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan , atau perjanjian
kerja bersama.

c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja adalah Perselisihan yang


timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.

d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan


antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat
buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
kewajiban keserikatpekerjaan.
3. Cara Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial

Sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang


Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di
Perusahaan Swasta. Penyelesaian berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut
ternyata dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat,
karena tidak dapat lagi mengakomodasi perkembangan yang terjadi terutama
mengenai hak-hak pekerja/buruh.”15 tidak hanya itu, proses penyelesaian
perselisihannya juga berbelit dan memakan waktu cukup lama sehingga dirasa
kurang efektif.

Perselisihan Hubungan Industrial sebagaimana diatur dalam


UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial dapat diselesaikan melalui dua jalur, yaitu penyelesaian
diluar Pengadilan Hubungan Industrial (non litigasi) dan penyelesaian melalui
Pengadilan Hubungan Industrial (litigasi). Penyelesaian perselisihan diluar
Pengadilan Hubungan Industrial (non litigasi) meliputi empat cara, yaitu :

a. Penyelesaian melalui Bipartit

b. Penyelesaian melalui Mediasi

c. Penyelesaian melalui Konsiliasi

d. Penyelesaian melalui Abritrase

Pada prinsipnya penyelesaian hubungan industrial dilakukan dengan


musyawarah untuk mencapai muufakat dan berunding bersama antara
pekerja/buruh dan pengusaha yang terlibat, baik secara bipartite maupun
diperantarai oleh pihak ketiga yang bersifat netral maupun tidak (non litigasi).
Hal ini dikeranakan penyelesaian perselisihan hubungan preindustrial diluar
pengadilan hubungan industrial jauh lebih menguntungkan kedua belah pihak
dan menekan biaya serta menghemat waktu.

Apabila Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dilakukan


diluar Pengadilan Hubungan Industrial tidak mencapai kesepakatan, maka
Penyelesaian Perselisihan dapat dilanjutkan untuk diselesaikan di Pengadilan
Hubungan Industrial (litigasi). Pengadilan Hubungan Industrial merupakan
Pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan Peradilan umum,
mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan
perkara perselisihan hubungan Industrial yang diajukan kepadanya.16
berdasarkan Ketentuan Pasal 56 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yaitu Pengadilan
Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :

a. Ditingkat pertama mengenai Perselisihan Hak

b. Ditingkat pertama dan terakhir mengenai Perselisihan kepentingan

c. Ditingkat pertama mengenai perselisihan Pemutusan Hubungan


Kerja

d. Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat


pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.
Mediasi Hubungan Industrial

Apabila ternyata penelesaian hubungan Industrial tidak dapat


diselesaikan atau tidak tercapai kesepakatan melalui perundingan bipartit,
maka tahap berikutnya adalah Penyelesaian secara Mediasi.uapaya
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui mediasi bersifat wajib,
apabila penyelesaian melalui konsiliasi dan abitrase tidak disepakati oleh para
pihak. Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan bahwa Mediasi
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah :

Penyelesaian perselisihan hak, perseslisihan kepentingan, perselisihan


Pemutusan Hubungan Kerja, perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh
seorang atau lebih mediator yang netral.

Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut Mediator


berdasarkan Pasal 1angka 12 Undang-Undang Nomor 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah :

Pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang


ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang
ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan
mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak
yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak , perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Mediasi berbeda dengan Konsiliasi dan Arbitrase karena dalam


mediasi, dapat menyelesaikan semua jenis perselisihan, yaitu perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Berdasarkan Pasal 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dalam waktu selambat-
lambatnya tujuh hari kerja setelah menerima pelimpahan Penyelesaian
Perselisihan , mediator harus mengadakan penelitian tentang duduk perkara
dan segera mengadakan siding mediasi. Mediator juga dapat memanggil saksi
atau saksi ahli hadir dalam sidang untuk hadir dalam sidang mediasi guna
diminta dan didengar keterangannya.

Apabila tercapai kesepakatan diantara para pihak, maka mediator


membantu membuatkan Perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak
dan kemudian didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat. Namun, dalam hal tidak tercapai
kesepakatanmelalui mediasi berdasarkan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
maka :

a. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis ;

b. Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam waktu


selambatlambatnya sepuluh hari kerja sejak sidang mediasi pertama
sudah harus disampaikan kepada para pihak ;

c. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada


mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis
sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-
lambatnya tiga hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator
harus sudah selesai membantu para pihak dalam membuat perjanjian
bersamauntuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan
Indistrialpada Pengadilan Negeri setempat di wilayah hukum pihak-
pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti
pendapatan.

D. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)

Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai
pelaku dan tujuan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan jaman
banyak perusahaanperusahaan yang mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena
adanya berbagai konflik antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam suatu
perusahaan. Selain masalah besarnya upah, dan masalah-masalah terkait lainnya.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan konflik internal yang terjadi dalam
interaksi antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Pekerja/buruh yang di PHK
mencurigai atasan menekan haknya untuk mendapat uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagai kompensasi PHK.

Mengingat bahwa pekerja/buruh itu merupakan tulang punggung dalam


perusahaan, maka dalam hal ini perusahaan harus berhati-hati dalam mengambil
langkah mengenai pengurangan jumlah pekerja atau melakukan PHK. Bagi
pekerja/buruh PHK merupakan awal hilangnya mata pencaharian yang berarti bahwa
pekerja/buruh telah kehilangan pekerjaan dan penghasilan serta merupakan
permulaan dari kesengsaraan.

Sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan


ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam
pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Untuk itulah sangat diperlukan adanya
perlindungan tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh
dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.

Sehubungan dengan dampak PHK sebagai akibat pelanggaran ketentuan


perjanjian kerja bersama antara pengusaha atau majikan dengan pekerja/buruh
tersebut biasanya sangat cenderung menimbulkan perselisihan sehingga untuk dapat
menghindari terjadinya PHK tersebut maka masing-masing para pihak harus mentaati
peraturan perjanjian kerja yang telah disepakati antara para pihak. Perjanjian tersebut
diatur sedemikian rupa demi terjaganya hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha, agar pekerja/buruh mendapatkan perlindungan yang layak dan
memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

a. Pengertian PHK

Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Pemutusan Hubungan Kerja


(PHK) dapat terjadi karena berbagai hal, seperti telah berakhirnya waktu tertentuyang
telah disepakati/diperjanjikan sebelumnya dapat pula karena adanya perselisihan
antara pekerja/buruh , atau karena sebab lain. Menurut Lalu Husni dalam bukunya
menyatakan bahwa, PHK merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan
terjadinya, terutama dari kalangan buruh/pekerja karena dengan PHK
buruh/pekerjayang bersangkutan akan kehilangan mata pencaharian untuk
menghidupi diri dan keluarganya, karena itu semua pihak yang terlibat dalam
hubungan industrial baik pengusaha, pekerja/buruh atau pemerintah, dengan segala
upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja.

Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan , menyebutkan bahwa : Pemutusan Hubungan Kerja adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu mengakibatkan berakhirnya
hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Pemutusan Hubungan Kerja
bagi pekerja/buruh akan memberikan pengaruh psikologis, ekonomis, finansial, sebab
:

a. Dengan adanya Pemutusan Hubungan Kerja, bagi pekerja/buruh telah


kehilangan mata pencaharian.
b. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus banyak
mengeluarkan biaya.
c. Kehilangan biaya hidup untuk diri sendiri dan keluarganya sebelum
mendapat pekerjaan yang baru sebagai penggantinya.

Pemutusan Hubungan Kerja merupakan peristiwa yang tidak diharapkan


terjadinya terutama bagi pekerja/buruh manjadi kehilangan mata pencaharian. Oleh
karena itu, untuk membantu mengurangi beban pekerja/buruh yang di PHK, maka
peraturan perundang-undangan mengharuskan untuk memberikan hak-hak pekerja
berupa uang pesangon, uang jasa, dan uang ganti kerugian,sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ketentuan untuk mem PHK pekerja diatur dalam Undang-Undang


ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 yakni :

1. Harus ada syarat yang merupakan penetapan dari Lembaga Penyelesaian


Perselisihan Hubungan Industrial (Pasal 151 ayat (3)).
2. Ada alasan
a. Kesalahan berat (Pasal 158 ayat (1)).
- Menipu, mencuri, menggelapkan barang perusahaan.
- Memberi keterangan palsu/yang dipalsukan.
- Mabuk, minum minuman keras di perusahaa.
- Melakukan perbuatan asusila/berjudi di perusahaan.
- Menganiaya, mengancam, mengintimidasi kawan sekerja / pengusaha.
- Membujuk kawan sekerja/pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan Undang-Undang.
- Ceroboh, merusak/membiarkan barang milik perusahaan dalam keadaan
bahaya.
- Membongkar rahasia perusahaan.
- Melakukan perbuatan di perusahaan yang diancam dengan pidana penjara
5 tahun atau lebih.
- Ceroboh / pengusaha dalam keadaan bahaya.

Kesalahan berat tersebut harus didukung oleh bukti sebagai berikut :


- Pekerja tertangkap tangan.
- Pengakuan dari pekerja yang bersangkutan.
- Bukti lain: laporan kejadian yang dibuat pihak yang berwenang di
perusahaan dengan 2 orang saksi.

Hak pekerja yang melakukan kesalahan berat ini adalah : berhak atas uang
penggantian hak yang diatur dalam Pasal 156 ayat (4).

b. Kesalahan Ringan (Pasal 161 ayat (1))


- Melanggar ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama setelah ada peringatan pertama, kedua dan ketiga
secara berturut- turut.
- Surat peringatan tersebut berlaku minimal 6 bulan kecuali ditetapkan lain
(Pasal 161 ayat (2)).

Hak pekerja yang melakukan kesalahan ringan adalah :

- Berhak atas uang pesangon sebesar satu kali sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (2).
- Berhak atas uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (3).
- Berhak uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

3. Memenuhi prosedur tertentu (Pasal 14 ayat (1) dan (2)


Kep.Men. No. 150 Tahun 2000).
Permohonan PHK dibuat di atas kertas bermaterai yang memuat:

- Nama, alamat perusahaan.


- Nama, alamat yang di PHK.
- Umur, jumlah keluarga.
- Masa kerja, tanggal mulai kerja.
- Upah berakhir.
- Alasan di PHK.

Telah dijelaskan bahwa menurut ketentuan PHK dapat diberikan pada pekerja
bila ada penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(Pasal 151 ayat (3). Apabila PHK tadi tanpa penetapan dari Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial,

maka akan batal demi hukum (Pasal 155 ayat (1). Apabila putusan Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial belum ditetapkan, maka pengusaha
dan pekerja harus tetap melaksanakan segala kewajibannya (Pasal 155 ayat (2)).

Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut di atas


dengan tindakan skorsing pada pekerja dengan tetap membayar upah dan hak-hak
lainnya pada pekerja (Pasal 155 ayat (3). Sesuai dengan ketentuan Pasal 153 ayat (1),
pengusaha dilarang melakukan PHK yang alasannya sebagai berikut :

1. Pekerja sakit menurut keterangan dokter selama 12 bulan terus menerus.


2. Pekerja menjalankan kewajiban negara sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agama (naik haji).
4. Pekerja menikah.
5. Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, menyusui
bayinya.
6. Pekerja punya pertalian darah/ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya
dalam satu perusahaan.
7. Pekerja mendirikan/menjadi anggota/pengurus Serikat Pekerja dalam satu
perusahaan.
8. Pengaduan pekerja pada yang berwajib karena pengusaha melakukan tindakan
pidana kejahatan.
9. Perbedaan paham, agama, aliran, suku, golongan, jenis kelamin, kondisi
phisik, status perkawinan dengan pengusaha.
10. Pekerja cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja.

PHK yang dilakukan dengan alasan-alasan tersebut di atas batal demi hukum dan
pengusaha wajib mempekerjakan pekerja yang bersangkutan (Pasal 153 ayat (2).
Menurut ketentuan Pasal 154, PHK tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dapat terjadi bila :

a. Pekerja dalam masa percobaan.


b. Pekerja mengundurkan diri.
c. Pekerja mencapai usia pensiun.
d. Pekerja meninggal dunia.
e. Kontrak kerjanya habis.

Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Menurut Abdul Khakim dalam bukunya yang menyatakan bahwa prosedur


Pemutusan Hubungan Kerja adalah sebagai berikut :

a. Sebelumnya semua pihak, yaitu pengusaha, pekerja/buruh, serikat


pekerja/serikat buruh harus melakukan upaya untuk menghindari Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) ;

b. Bila tidak dapat dihindari, pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau
pekerja/buruh mengadakan perundingan bersama ;

c. Jika perundingan berhasil, dibuat persetujuan bersama ;

d. Bila tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan disertai


dasar dan alasan-alasannya kepada lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial ;

e. Selama belum ada penetapan/putusan dari lembaga Penyelesaian


Perselisihan Hubungan Industrial, kedua pihak tetap melaksanakan segala
kewajiban masing-masing, dimana pekerja/buruh tetap menjalankan
pekerjaannya dan pengusaha membayar upah

Untuk penanganan hubungan kerja massal yang disebabkan karena keadaan


perusahaan seperti rasionalisasi, resesi ekonomi, dan lain-lain sebelumnya
harus diupayakan dengan ;

a. Mengurangi shift (kerja giliran), apabila perusahan menggunakan kerja


sistem shift.

b. Membatasi atau menghapus kerja lembur sehingga dapat mengurangi biaya


kerja.

c. Bila upaya tersebut belum berhasil, maka dapat dilakukan pengurangan jam
kerja.

d. Meningkatkan usaha-usaha efisiensi, seperti mempercepat pensiun bagi


pekerja/buruh yang kurang produktif.
e. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergiliran untuk
sementara waktu.

Pemutusan Hubungan Kerja terpaksa dilakukan, apabila upaya-upaya tersebut


diatas tidak berhasil memperbaiki keadaan perusahaan, maka pengusaha terpaksa
melakukan PHK dengan cara :

a. Harus diadakan perundingan dan penjelasan tentang keadaan perusahaan


secara riil kepada serikat pekerja/serikat buruh.

b. Bersama serikat pekerja/serikat buruh merumuskan jumlah dan kriteria


pekerja yang diputus hubungan kerjanya.

c. Merundingkan persyaratan dalam melakukan Pemutusan Hubungan Kerja


secara terbuka dan dilandasi itikad baik.

d. Setelah persyaratan Pemutusan Hubungan Kerja telah disetujui bersama,


kemudian dilakukan sosialisasi agar dapat diketahui oleh seluruh
pekerja/buruh sebagai dasar diterima tidaknya syarat-syarat tersebut.

e. Bila ada persetujuan dari masing-masing pekerja/buruh, ditetapkan prioritas


pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja secara bertahap.

f. Pada saat penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dibuat persetujuan


bersama, dengan menyebutkan besarnya uang pesangon.

b. Jenis – jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Menurut Lalu Husni dalam bukunya menyebutkan bahwa ada beberapa jenis
Pemutusan Kerja (PHK), yaitu :

1. PHK oleh pengusaha

2. PHK oleh buruh/pekerja

3. PHK putus demi hukum

4. PHK oleh pengadilan

E. UANG PESANGON, UANG PENGHARGAN MASA KERJA, UANG


PENGGANTIAN HAK

Dalam hal terjadi PHK, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon,


uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

1. UANG PESANGON (Pasal 156 ayat (2))

Besarnya uang pesangon diatur sebagai berikut :


a. masa kerja < 1 th ……………………….1 bulan upah
b. masa kerja 1 th ……….< 2 th ………….2 bulan upah
c. masa kerja 2 th ……….< 3 th ………….3 bulan upah
d. masa kerja 3 th ……….< 4 th ………….4 bulan upah
e. masa kerja 4 th ……….< 5 th ………….5 bulan upah
f. masa kerja 5 th ……….< 6 th ………….6 bulan upah
g. masa kerja 6 th ……….< 7 th ………….7 bulan upah
h. masa kerja 7 th ……….< 8 th ………….8 bulan upah
i. masa kerja 8 th ……….< 9 th ………….9 bulan upah.

2. UANG PENGHARGAN MASA KERJA (Pasal 156 ayat (3))

Besarnya uang penghargan masa kerja diatur sebagai berikut :

a. masa kerja 3 th ………. 6 th………… 2 bulan upah


b. masa kerja 6 th ………. 9 th………… 3 bulan upah
c. masa kerja 9 th ……….12 th………... 4 bulan upah
d. masa kerja 2 th ……….15 th………... 5 bulan upah
e. masa kerja 15 th ……….18 th………… 6 bulan upah
f. masa kerja 18 th ……….21 th………… 7 bulan upah
g. masa kerja 21 th ……….24 th………… 8 bulan upah
h. masa kerja 24 th atau lebih ……………10 bulan upah.

3. UANG PENGGANTIAN HAK (Pasal 156 ayat (4))

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja meliputi :

a. Cuti tahunan yang belum diambil/belum gugur.


b. Biaya/ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat dimana
pekerja diterima bekerja.
c. Penggantian rumah, pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang
pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi
syarat.
d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.

Komponen upah yang ditetapkan/digunakan sebagai dasar perhitungan uang


pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak terdiri dari :
(Pasal 157 ayat (1)).

a. Upah pokok
b. Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan pada
pekerja dan keluarganya. (tunjangan jabatan, tunjangan suami atau istri dan
anak).
c. Harga dari jatah/ catu yang diberikan secara cuma-cuma.

Bila pekerja statusnya harian, penghasilan sebulan adalah 30 kali penghasilan


sehari (Pasal 157 ayat (2). Bila pekerja statusnya sebagai pekerja borongan/satuan
hasil, potongan, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata
per hari selama 12 bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan
upah minimum Provinsi/upah minimum Kabupaten/Kota (Pasal 157 ayat (3). Bila
pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah
borongan, perhitungan upah per bulan dihitung dari upah rata-rata 12 bulan terakhir
(Pasal 157 ayat (4). Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan pengusaha juga
dapat terjadi karena hal-hal seperti dibawah ini :

a. Pasal 162 Menetapkan bahwa pekerja yang mengundurkan diri atas


kemauan sendiri dapat di PHK dengan memperoleh uang penggantian hak
sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pekerja yang mengundurkan diri tersebut harus memenuhi syarat :

- Menggunakan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-


lambatnya 30 hri sebelum tanggal pengunduran diri.
- Tidak terikat dalam ikatan dinas.
- Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulainya pengunduran
diri.

Phk dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

b. Pasal 163 Menetapkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK bila terjadi
perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan
perusahaan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja. Hak
pekerja adalah uang pesangon sebesar satu kali upah sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali upah sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
c. Pasal 164 ayat (1) Menetapkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK
karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2
tahun/karena keadaan memaksa.

Hak pekerja adalah uang pesangon seesar 1 kali upah sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 kali upah sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (3); uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 164 ayat (3) Jika perusahaan melakukan effisiensi, hak pekerja adalah
uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

d. Pasal 165Menetapkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK terhadap


pekerja karena perusahaan pailit.

Hak pekerja adalah uang pesangon sebesar 2 kali upah sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali upah sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (3)

dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

e. Pasal 166 Menetapkan jika pekerja meninggal dunia ahli warisnya berhak 2
kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan.
f. Pasal 167 Menetapkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK terhadap
pekerja karena pekerja memasuki usia pensiun dan pekerja diikutkan pada
program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha. Pekerja tidak
berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak.
g. Pasal 168 ayat (1) Menetapkan bahwa jika pekerja mangkir selama 5 hari atau
lebih secara berturut-turut tanpa keterangan tertulis dan telah dipanggil
pengusaha selama 2 kali secara patut dan tertulis, pekerja dapat di PHK
karena dikualifikasikan mengundurkan diri. Pekerja berhak uang penggantian
hak sesuai dengan ketentuan.
h. Pasal 169 ayat (1) Menetapkan bahwa pekerja dapat mengajukan permo-
honan PHK kepada Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial jika
pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut :
- Menganiaya, menghina secara kasar, mengancam pekerja.
- Membujuk pekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan - peraturan Perundang - undangan.
- Tidak membayar upah tepat waktu selama 3 bulan berturut-turut.
- Tidak melakukan kewajiban sesuai perjanjian kerja.
- Memerintahkan pekerja untuk melakukan pekerjaan diluar perjanjian
kerja.
- Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan
dan kesusilaan pekerja sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan
dalam perjanjian kerja.

Pekerja berhak mendapatkan pesangon 2 kali upah sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 kali upah dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan.

Pasal 172 Menetapkan bahwa pekerja yang sakit berkepanjangan dan mengalami
cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaan melampaui batas
12 bulan dapat mengajukan PHK. Hak pekerja yang diberikan uang pesangon 2 kali
upah, uang

i. penghargaan masa kerja 2 kali upah dan uang penggantian hak satu kali upah
sesuai ketentuan.

4. PENCEGAHAN PHK MASSAL

(Surat Edaran No : SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan


Pemutusan Hubungan Kerja Massal). Pekerja dalam proses produksi barang dan
jasa tidak saja merupakan sumber daya tetapi juga sekaligus merupakan asset
yang tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk menjamin kelangsungan usaha.
Oleh karena itu hubungan kerja yang telah terjadi perlu dipelihara secara
berkelanjutan dalam suasana hubungan industrial yang harmonis, dinamis
berkeadilan dan bermartabat. Namun apabila dalam hal suatu perusahaan
mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan,
maka PHK haruslah merupakan upaya terakhir, setelah dilakukan upaya sebagai
berikut :

a. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat


manager dan direktur.
b. Mengurangi shift.
c. Membatasi/menghapuskan kerja lembur.
d. Mengurangi jam kerja.
e. Mengurangi hari kerja.
f. Meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir untuk sementara
waktu.
g. Tidak memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa
kontraknya.
h. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.

Pemilihan alternatif dari hal-hal sebagaimana tersebut di atas perlu


dibahas terlebih dahulu dengan Serikat Pekerja atau dengan wakil pekerja dalam
hal didalam perusahaan tersebut tidak ada Serikat Pekerja untuk mendapatkan
kesempatan secara bipartit sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya PHK.
Bagi pekerja/buruh, PHK merupakan suatu hal yang sangat ditakuti,
karena akan berdampak langsung pada diri pekerja itu sendiri, karena sumber
penghasilan bagi pekerja itu secara otomatis akan terputus, dan mengancam
kelangsungan hidup keluarga pekerja/buruh itu sendiri. Sedangkan bagi
pengusaha, PHK berarti kehilangan pekerja/buruh yang selama ini telah dididik
dan memahami prosedur kerja perusahaan. Oleh karena itu, apabila suatu
perselisihan terjadi antara pengusaha dengan pekerja maka tindakan PHK adalah
pilihan terakhir dalam mengatasi masalah tersebut. Sehubungan dengan itu,
sebelum dilakukan PHK harus diupayakan pencegahan. Adapun bentuk
pencegahannya adalah :

a. Pembinaan Pembinaan secara langsung dapat menumbuhkan,


memelihara, menyempurnakan, dan mengembangkan kegiatan kerja
secara berkesinambungan. Selanjutnya, akan tercipta hubungan sebab
akibat yang timbul secara terus – menerus yang semakin mempererat
hubungan antara pengusaha maupun pekerja/buruh, sehingga dapat
mencegah terjadinya penyimpangan kerja. Upaya pencegahan PHK yang
dapat dilakukan adalah melakukan pembinaan terhadap pekerja.
Bentuknya :

1) Memberikan pendidikan dan latihan atau murasi

2) Memberikan peringatan kepada pekerja baik tertulis maupun lisan.


Surat peringatan tertulis melalui tiga tahap yaitu peringatan pertama,
kedua, dan peringatan ketiga. Peringatan ini dapat diabaikan bila
pekerja melakukan kesalahan berat. Masa berlaku surat peringatan
adalah selama 6 (enam) bulan.

Dari beberapa definisi pembinaan di atas, jelas bagi kita maksud


dari pembinaan itu sendiri bermuara pada adanya perubahan ke arah yang
lebih baik dari sebelumnya, yang diawali dengan kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, pembiayaan, koordinasi, pelaksanaan, dan pengawasan
suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan yaitu hasil yang lebih baik.

b. Merumahkan pekerja

Sebelumnya, perlu menjelaskan bahwa istilah “dirumahkan” tidak


dikenal dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.

Mengenai istilah “dirumahkan” ini, kita dapat merujuk kepada Butir f


Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Kepada Pimpinan Perusahaan di
Seluruh Indonesia No. SE907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang
Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal (“SE Menaker
907/2004”) yang menggolongkan “meliburkan atau merumahkan
pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu” sebagai salah satu
upaya yang dapat dilakukan sebelum melakukan pemutusan hubungan
kerja.

Selanjutnya, Dalam hal tindakan pengusaha merumahkan pekerja bukan


mengarah pada terjadinya PHK, merujuk pada S.E Menaker 5/1998:

a) Pengusaha tetap membayar upah secara penuh yaitu berupa upah


pokok dan tunjangan tetap selama pekerja dirumahkan, kecuali telah
diatur lain dalam Perjanjian Kerja peraturan perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama.

b) Apabila pengusaha akan membayar upah pekerja tidak secara penuh


agar dirundingkan dengan pihak serikat pekerja dan atau para pekerja
mengenai besarnya upah selama dirumahkan dan lamanya
dirumahkan.

c. Memberikan penjelasan secara transparan kepada pekerja/buruh

Bila keadaan keuangan perusahaan tidak memungkinkan untuk


menghindari PHK , pengusaha dapat melakukan upaya memberikan
penjelasan mengenai keadaan perusahaan. Tahapan-tahapan yang mesti
dilakukan adalah sebagai berikut (Surat Edaran Menakertrans No. SE
907/Men/PHI-PHI/X2004):

a. Mengurangi upah dan fasilitas kerja tingkat atas;

b. Mengurangi shift;

c. Membatasi/menghapus kerja lembur;

d. Mengurangi jam kerja;

e. Mengurangi hari kerja;

f. Meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir;

g. Tidak memperpanjang kontrak kerja bagi pekerja yang sudah habis


masa kontraknya;

h. Memberikan pensiun dini bagi yang sudah memenuhi syarat

Namun, bila upaya-upaya pencegahan tersebut tidak berhasil dan PHK


tidak terhindarkan, maka untuk sampai ketindakan PHK, harus melalui
beberapa tahapan yaitu pertama, PHK tersebut wajib dirundingkan oleh
pengusaha dengan serikat pekerja. Apabila dalam perundingan tersebut tidak
menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat melakukan PHK terhadap
pekerja setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, H.R., Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), edisi revisi,

Jakarta: Restu Agung, 2009.

Asikin, Zainal (ed), 1993, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Gultom,Sri Subiandini. 2008. Aspek Hukum Hubungan Industria. Jakarta: Prima

Promosindo.

Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagaan Indonesia Edisi Revisi, Jakarta:


Rajawali Press, 2010.

Joko.2021.Modul Hubungan Industrial.

Soepomo, Iman.1987. Pengantar Hukum Perburuhan, cet. VIII. Jakarta:Djambatan.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Anda mungkin juga menyukai