Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum merupakan himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa,


berisikan suatu perintah, larangan atau kebolehan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Hukum dibuat serta tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan tujuan untuk
mengatur kehidupan masyarakat baik masyarakat modern maupun masyarakat tradisional,
agar terciptanya ketertiban, ketenangan, kedamaian, dan kesejahteraan. Hukum juga
merupakan cerminan dari suatu bangsa, apabila dalam hukum itu dapat ditegakkan dengan
sebaik-baiknya maka tentramlah suatu negara itu dan sebaliknya apabila hukum itu tidak
ditegakkan dengan sebaik-baiknya maka akan menyebabkan kekacauan pada suatu negara.
Berbagai teori dan praktek, hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini masih adanya
pengaruh penggunaan hukum pidana yang berasal dari negara Belanda.
Di Indonesia, hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku
pada suatu masyarakat dalam suatu sistem negara yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-
aturan untuk menentukan tindakan-tindakan yang tidak dapat dilakukan dan dengan disertai
ancaman hukuman bagi yang melanggar aturan tersebut. Aturan-aturan tersebut diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terdiri dari tiga buku, yaitu: buku ke-1
berisi tentang aturan umum, buku ke-2 berisi tentang kejahatan terhadap kepentingan umum
dan buku ke-3 berisi tentang pelanggaran. Dalam hukum pidana suatu kejahatan yang
meskipun kejahatan tersebut belum selesai dilakukan, tetapi pelaku masih dapat dikenakan
hukuman, hal ini didasarkan pada pasal 53 KUHP tentang percobaan melakukan kejahatan.
Lahirnya pranata hukum percobaan bukan saja dititikberatkan dari hasil perbuatan,
tetapi juga kehendak manusianya. Pranata hukum dalam delik percobaan hanya mengancam
pidana bagi mereka yang dinyatakan terbukti telah melakukan kejahatan. Di dalam KUHP
Indonesia pelaku (pembuat) percobaan diancam dengan pidana 1/3 dari kejahatan tertentu
yang dilakukan. Oleh sebab itu, penulis ingin menggali lebih jauh kembali terhadap
pembahasan tentang percobaan tindak pidana dalam hukum pidana di Indonesia dengan
mengambil salah satu contoh kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Baturaja, yaitu dalam
Putusan Nomor: 30/Pid.B/2015/PN.BTA sehingga dapat menjadi pembelajaran penting dalam
studi ilmu hukum pidana beserta dengan penerapannya di masa mendatang.
2

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan sebelumnya, rumusan masalah


yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana penyelesaian kasus tentang
percobaan terhadap tindak pidana diterapkan oleh aparat penegak hukum?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah untuk
mengetahui penyelesaian kasus tentang percobaan tindak pidana yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk mendapatkan informasi mendalam
mengenai penerapan penyelesaian kasus percobaan terhadap tindak pidana dan penerapannya
dalam kasus pidana yang muncul di tengah masyarakat Indonesia.
3

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaar feit. Dalam KUHP tidak
terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan starfbaar feit itu sendiri. Strafbaar
feit merupakan istilah Belanda, yang berasal dari kata strafbaar, artinya dapat dihukum.
Menurut Pompe, perkataan stafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai:
suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja
ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana
penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya
tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
Sedangkan Van Hamel uraian tindak pidana (straafbaar feit) itu sebagai:
perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang (UU), melawan hukum,
strafwaardig (patut atau bernilai untuk dipidana), dan dapat dicela karena
kesalahan.
E. Utrecht memakai istilah peristiwa pidana karena yang ditinjau adalah peristiwa
(feit) dari sudut hukum pidana. Namun, Moeljatno menolak istilah peristiwa pidana karena
katanya peristiwa itu adalah pengertian yang konkret yang hanya menunjuk kepada suatu
kejadian yang tertentu saja. Moeljatno sendiri memakai istilah perbuatan pidana untuk kata
delik. Menurutnya, kata tindak lebih sempit cakupannya daripada perbuatan. Kata tindak tidak
menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan
yang konkret. Simons memberikan defenisi lebih lanjut mengenai delik dalam arti strafbaar
feit sebagai berikut:
delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dan oleh UU telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan
yang dapat dihukum.
Menurut Van Hattum, semua syarat yang harus terpenuhi sebagai syarat agar
seseorang itu dapat diadili haruslah juga dianggap sebagai unsur-unsur delik. Syarat- syarat
pokok dari suatu delik itu adalah (1) dipenuhinya semua unsur delik seperti yang terdapat di
dalam rumusan delik, (2) dapat dipertanggungjawabkannya si pelaku atas perbuatannya,
(3) tindakan dari pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan sengaja, dan (4) pelaku tersebut
dapat dihukum.
4

2.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana

Perbuatan dikategorikan sebagai delik bila memenuhi unsur-unsur, sebagai berikut:


(1) harus ada perbuatan manusia, (2) perbuatan manusia tersebut harus sesuai dengan
perumusan pasal dari UU yang bersangkutan, (3) perbuatan itu melawan hukum (tidak ada
alasan pemaaf), dan dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan menurut Moeljatno
menyatakan bahwa unsur tindak pidana meliputi: (1) kelakuan dan akibat; (2) hal ikhwal atau
keadaan yang menyertai perbuatan, (3) keadaan tambahan yang memberatkan pidana, (4)
unsur melawan hukum yang objektif, dan unsur melawan hukum yang subjektif.
Selanjutnya Satochid Kartanegara mengemukakan bahwa unsur delik terdiri atas unsur
subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbutan yang dapat
berupa kemampuan (toerekeningsvatbaarheid) dan kesalahan (schuld). Sedangkan unsur
objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa: suatu tindakan, suatu
akibat, dan keadaan (omstandigheid). Adapun uraian mengenai unsur subjektif dan unsur
objektif terhadap delik adalah sebagai berikut:
1. Unsur Subjektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri si pelaku (dader) yang berupa
sesuatu hal yang dapat dipertanggungjawabkannya seseorang terhadap perbuatan yang
telah dilakukan (kemampuan bertanggung jawab) dan kesalahan di mana kesalahan yang
dimaksud adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan dan kealpaan. Seseorang
dapat dikatakan mampu bertanggungjawab apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga
syarat, yaitu:
a. keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga dia dapat mengerti akan nilai
perbuatannya dan karena juga mengerti akan nilai perbuatannya itu.
b. keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga dia dapat menentukan
kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukan.
c. Orang itu harus sadar bahwa perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan mana yang
tidak dilarang oleh UU.
Sebagaimana diketahui, bahwa kesalahan (schuld) dibedakan menjadi:
a. dolus atau opzet atau kesengajaan, dalam Memorie van Toelicting (MvT), dolus atau
sengaja berarti si pembuat harus menghendaki apa yang dilakukannya dan harus
mengetahui akibat terhadap perbuatan yang dilakukannya (willens en wettens).
Tingkatan sengaja dibedakan atas tiga tingkatan, yaitu:
1) Sengaja sebagai niat, akibat delik merupakan tujuan untuk suatu perbuatan, yang
seandainya tujuan itu tidak ada maka perbuatan tidak akan dilakukan.
5

2) Sengaja dengan kesadaran akan kepastian, adanya kesadaran bahwa dengan


melakukan perbuatan itu pasti akan terjadi akibat tertentu dari perbuatan itu.
3) Sengaja dengan kesadaran akan kemungkinan, dengan melakukan perbuatan itu
maka telah disadari kemungkinan yang dapat terjadi dengan terlaksananya
perbuatan itu.
b. culpa atau kealpaan atau kelalaian, dalam MvT, culpa itu terletak antara sengaja dan
kebetulan. Culpa itu baru ada kalau orang dalam hal kurang hati-hati, alpa dan kurang
teliti atau kurang mengambil tindakan pencegahan. Yurisprudensi menginterpretasikan
culpa sebagai kurang mengambil tindakan pencegahan atau kurang hati-hati. Kealpaan
(culpa) dibedakan atas:
1) kealpaan dengan kesadaran (bewuste culpa). Dalam hal ini, si pelaku telah
membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia
berusaha untuk mencegah toh timbul juga akibat tersebut.
2) kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste culpa). Dalam hal ini, si pelaku tidak
membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan
diancam hukuman oleh UU, sedang dia seharusnya memperhitungkan akan
timbulnya suatu akibat.
Terdapat dua bentuk kealpaan berdasarkan tingkatannya, di mana penggolongan ini
digolongkan berdasarkan berat ringannya akibat yang ditimbulkan dari suatu kealpaan.
Adapun pembagian bentuk kealpaan ditinjau dari tingkatannya, yaitu:
1) kealpaan ringan (culpa levis), merupakan suatu bentuk kealpaan yang paling
ringan dan bergradasi paling rendah. Beberapa ahli pidana mengganggap bahwa
suatu kealpaan ringan tidaklah dapat dipidana sama sekali.
2) kealpaan berat (culpa lata), merupakan suatu bentuk kealpaan yang dapat diancam
dengan suatu pemidanaan.

2. Unsur Objektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yang dapat berupa:
a. perbuatan manusia, baik dalam arti berbuat (act) maupun dalam arti tidak berbuat
(omissionis).
b. adanya akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam delik materil di mana akibat tersebut
membahayakan bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan
oleh hukum.
c. Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh UU. Umumnya
dapat dibedakan menjadi (1) keadaan pada saat perbuatan dilakukan, (2) keadaan
setelah perbuatan dilakukan, dan (3) sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.
6

2.3 Pengertian Percobaan (Pogging)

Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku I tentang Aturan Umum dalam
Bab IV Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP. Adapun bunyi dari Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP
berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah
sebagai berikut:
Pasal 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi
sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.

Dari uraian kedua pasal tersebut, pengertian mengenai percobaan tidak dijelaskan oleh UU,
tetapi yang ditetapkan bahwa percobaan melakukan tindak pidana diancam dengan pidana jika
telah memenuhi sejumah persyaratan tertentu. Menurut Jan Remmelink, percobaan dalam
bahasa sehari-hari dimengerti sebagai upaya untuk mencapai tujuan tertentu tanpa
(keberhasilan) mewujudkannya. Sementara menurut Wirjono Prodjodikoro, pada umumnya
kata percobaan berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan yang pada akhirnya tidak atau
belum tercapai. Lebih lanjut Jonkers yang menyatakan bahwa mencoba berarti berusaha untuk
mencapai sesuatu tapi tidak tercapai.
Lamintang berpendapat, bahwa satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang
pembentukan Pasal 53 Ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan bahwa
dengan demikian maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk
melakukan suatu kejahatan yang telah di mulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun
suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam
suatu permulaan pelaksanaan. Hazewinkel – Suringa mengemukakan bahwa niat adalah
kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu perbuatan tertentu dalam keadaan
tertentu pula. Dalam rencana itu, selalu mengandung suatu yang dikehendaki mungkin pula
mengandung bayangan-bayangan tentang cara mewujudkannya yaitu akibat-akibat tambahan
yang tidak dikehendaki, tetapi dapat direka-reka akan timbul, maka jika rencana tadi
dilaksanakan dapat menjadi kesengajaan sebagai maksud.
7

Akan tetapi, mungkin pula menjadi kesengajaan dalam corak lain, sebagai keinsyafaan
kepastian ataupun sengaja keinsyafan kemungkinan. Von Feueur Bach mengatakan percobaan
itu strafbaar, karena antara perbuatan percobaan dan kejahatan yang hendak dilakukan adalah
suatu hubungan sebab-menyebab, dan oleh sebab itu ditinjau dari sudut objektif perbuatan
tersebut membahayakan. Terang sekali apa yang dapat dilihat di atas bahwa perbuatan
persiapan dan perbuatan melaksanakan, dalam ilmu hukum pidana bergantung pada teori
yang dianut. Mereka yang menganut suatu teori percobaan yang subjektif, hanya dapat
menentukan batas tiap perkara percobaan satu persatu. Jadi, mereka tidak dapat menentukan
suatu batas yang tetap dan umum untuk suatu tipe perkara percobaan yang tertentu. mereka
yang menganut teori percobaan objektif umumnya dapat menentukan suatu batas tetap dan
umum untuk suatu tipe percobaan tertentu.

2.4 Unsur-Unsur Percobaan

Adapun syarat-syarat umum yang harus terpenuhi dalam unsur-unsur percobaan yang
dimuat dalam Pasal 53 KUHP adalah sebagai berikut :
1. Adanya niat untuk melakukan kejahatan (voornemen), menurut Moeljatno, niat jika
dipandang dari sudut bahasa adalah sikap batin seseorang yang memberi arah kepada apa
yang akan diperbuatnya. Sementara menurut MvT niat sama dengan kehendak atau
maksud. Pada umumnya para pakar menganut pendapat bahwa yang dimaksud dengan niat
dalam percobaan (poging) adalah kesengajaan dalam arti luas. Pendapat ini demikian
dianut antara lain oleh Hazewinkel-Suringa, van Hamel, van Hattum, Jonkers, dan van
Bemmelen. Dalam praktik hukum berdasarkan kepada berbagai yurisprudensi, niat dalam
hal percobaan ini menganut pandangan yang sama dengan para pakar hukum pada
umumnya yaitu kesengajaan dengan semua bentuknya.
2. Niat itu telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan ( begin van uitvoering), niat
merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan berada di alam batiniah
seseorang. Sangat sulit bagi seseorang untuk mengetahui apa niat yang ada di dalam hati
orang lain. Tidak seorangpun dapat dipidana hanya semata-mata karena adanya niat saja.
Dalam hukum pidana dikenal adanya adagium cogitationis poenam nemo patitur, yaitu:
tidak seorangpun dapat dipidananya atas apa yang semata-mata hanya ada dalam
pikirannya. Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya kepada orang lain.
Oleh karena itu, kehendak atau niat belum mencukupi agar orang itu dapat dipidana,
berkehendak adalah bebas. Namun, niat itu juga dapat diketahui dari tindakan (perbuatan)
yang merupakan permulaan dari pelaksanaan niat. Suatu hal yang mustahil apabila
8

seseorang akan mengutarakan niatnya untuk melakukan suatu kejahatan, oleh karena itu,
dalam percobaan, niat seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan
permulaan pelaksanaan. Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk
menentukan apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan atau belum.
Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki,
biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat
perbedaan antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan. Menurut Moeljatno,
tidak ada keraguan menurut MvT bahwa permulaan pelaksanaan dalam hal ini adalah
merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan. Berdasarkan MvT mengenai
pembentukan Pasal 53 Ayat (1) KUHP, dapat diketahui bahwa batas antara percobaan
yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu adalah terletak
diantara tindakan-tindakan persiapan (voorbereidingshandelingen) dengan tindakan-
tindakan pelaksanaan (uitvoeringshandelingen). Dalam MvT, hanya diberikan pengertian
uitvoeringshandelingen, yaitu berupa tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan
sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai
pelaksanaannya. Sedangkan pengertian voorbereidingshandelingen tidak diberikan. Batas
yang tegas antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan tidak dapat
ditetapkan oleh UU. Persoalan tersebut diserahkan kepada Hakim dan ilmu pengetahuan
untuk melaksanakan asas yang ditetapkan dalam UU. Dalam KUHP, tidak ditentukan
kapankah suatu perbuatan itu merupakan perbuatan persiapan dan kapankah perbuatan itu
telah merupakan permulaan pelaksanaan yang merupakan unsur dari delik percobaan.
3. Pelaksanaan perbuatan kejahatan itu tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak dari
pelaku, tidak selesainya pelaksanaan perbuatan dapat terjadi karena berbagai sebab, baik
oleh sebab yang berada di luar kehendak si pelaku maupun oleh karena kehendak dari si
pelaku itu sendiri. Apabila tidak selesainya pelaksanaan itu disebabkan oleh kehendak
sendiri (vrijwillige terugtred) maka pelaku itu tidak dapat dipidana sehingga dapat
dikatakan bahwa ada pengunduran diri secara sukarela. Namun sebaliknya, apabila
perbuatan selesai dilaksanakan maka perbuatan itu sudah merupakan delik selesai. Tidak
terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu karena adanya faktor keadaan
dari luar diri orang tersebut. Keadaan di luar kehendak pelaku maksudnya adalah, setiap
keadaan baik fisik maupun psikis yang datangnya dari luar yang menghalangi atau
menyebabkan tidak sempurnanya penyelesaian kejahatan itu.
9

2.5 Teori Percobaan

Dalam ilmu hukum pidana dikenal adanya teori-teori tentang dasar dapat dipidananya
percobaan tindak pidana. Teori-teori tentang dasar dapat dipidananya percobaan dapat
dibedakan atas teori percobaan yang obyektif dan teori percobaan yang subyektif. Pendukung
teori percobaan obyektif antara lain D. Simons, sedangkan pendukung teori percobaan yang
subyektif antara lain van Hamel. Terhadap kedua teori itu, Jonkers berpendapat bahwa ajaran
yang subyektif menitikberatkan pada subyek, yaitu maksud perseorangan (individu), ajaran
obyektif mementingkan obyek yaitu perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat. Adapun
penjelasan mengenai keduanya dapat diuraikan seperti berikut:
1. Teori subjektif, dapat dipidananya percobaan, karena niat seseorang untuk melakukan
kejahatan itu dianggap sudah membahayakan kepentingan hukum. Sehingga niat untuk
melakukan kejahatan yang telah diwujudkan menjadi suatu perbuatan dianggap telah
membahayakan.
2. Teori objektif, dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana adalah bahwa perbuatan
itu telah membahayakan suatu kepentingan hukum. Sekalipun perbuatan itu belum
melanggar suatu kepentingan hukum, tetapi kepentingan hukum itu telah dibahayakan.
Kedua teori ini memiliki konsekuensi-konsekuensi yang berbeda dalam dua hal, yaitu:
(1) mengenai batas antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan dan (2)
percobaan yang tidak mampu. Dalam KUHP tidak diatur mengenai percobaan yang tidak
mampu ini. Tetapi dalam doktrin dan yurisprudensi telah diadakan rincian antara:
1. Percobaan yang sarana atau alatnya tidak mampu, yang terdiri atas: (1) alat/sarana yang
absolut tidak mampu dan (2) alat/sarana yang relatif tidak mampu.
2. Percobaan yang obyeknya tidak mampu, yang terdiri atas: (1) obyek yang absolut tidak
mampu dan (2) obyek yang relatif tidak mampu.
Dari sudut pandang teori percobaan obyektif, dalam hal alat/sarana absolut tidak mampu dan
obyek absolut tidak mampu, pelakunya tidak dapat dipidana karena tidak ada suatu
kepentingan hukum yang telah dibahayakan. Menurut teori percobaan yang obyektif,
percobaan tidak mampu yang dapat dipidana hanyalah dalam hal alat/sarana yang relatif tidak
mampu dan obyek yang relatif tidak mampu. Dalam hal adanya sifat relatif dari alat/sarana
dan obyek itu, telah ada kepentingan hukum yang dibahayakan.
Dari sudut pandang teori percobaan subyektif, baik alat tidak mampu secara absolut
dan relatif maupun obyek tidak mampu secara absolut dan relatif, pelakunya tetap dapat
dipidana karena percobaan tindak pidana. Hal ini disebabkan karena menurut teori percobaan
yang subyektif, dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana adalah watak yang
10

berbahaya dari si pelaku, sedangkan dalam hal tersebut pelaku telah melakukan perbuatan
yang dengan jelas menunjukkan wataknya yang berbahaya. Tidak terjadinya suatu akibat
yang dikehendaki oleh si pelaku, hanyalah soal kebetulan saja semata-mata, yang tidak
mempengaruhi hal perlu dipidananya si pelaku karena wataknya yang berbahaya.

2.6 Bentuk Percobaan

Adapun bentuk-bentuk percobaan dikelompokkan menjadi:


1. Percobaan selesai atau percobaan lengkap (delik manqué), melakukan perbuatan yang
ditujukan untuk melakukan tindak pidana yang pelaksanaannya sudah begitu jauh, sama
seperti tindak pidana selesai, tetapi karena sebab suatu hal tindak pidana itu tidak terjadi.
Jika dilihat dari perbuatannya sebenarnya bukan lagi percobaan, karena baik niat,
permulaan pelaksanaan dan pelaksanaannya telah selesai. Namun, karena sebab tindak
pidana yang dituju tidak terjadi dan tidak mencapai apa yang dikehendaki yang
menyebabkan persoalan ini masih dapat dikategorikan pada percobaan.
2. Percobaan tertunda atau percobaan terhenti atau percobaan tidak lengkap (tentative
poging), percobaan yang perbuatan pelaksanaannya terhenti pada saat mendekati
selesainya kejahatan.
3. Percobaan tidak mampu (ondeugdelijke poging), perbuatan seseorang yang tidak dapat
meyelesaikan kejahatan sebagaimana yang diisyaratkan undang-undang, oleh sebab
alatnya dan atau objeknya yang menurut sifatnya tidak mungkin dapat terjadi suatu
kejahatan. Jadi, yang tidak sempurna itu adalah bukan pada percobaannya, melainkan
perbuatannya.
4. Percobaan yang dikualifisir, adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan
tindak pidana selesai yang lain daripada tindak pidana yang ditujunya.
11

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus Posisi

Pada hari Kamis tanggal 13 November 2014 sekitar pukul 11.00 WIB, Saudara David
Roberco Bin Baizigar dan Saudara Doni Kurniawan Bin Hamzah datang ke tempat Bilyar
Sukamaju, Kelurahan Kisau, Kecamatan Muaradua, Kab Ogan Komering Ulu Selatan.
Mereka berdua duduk ditempat kursi yang ada disekitar meja bilyar. Tidak lama berselang
kemudian, melintas Saudara Rice Ario Fernando Bin Teguh didepan mereka. Lalu Saudara
Rice Ario Fernando Bin Teguh menegur Saudara David Roberco Bin Baizigar dikarenakan
nada dan raut muka Saudara David Roberco Bin Baizigar yang tidak disukai oleh Saudara
Rice Ario Fernando Bin Teguh.
Adapun Saudara Rice Ario Fernando Bin Teguh sambil menahan emosi tetap bermain
bilyar dengan temannya Saudara Doni Kurniawan Bin Hamzah. Dikarenakan Saudara Rice
Ario Fernando Bin Teguh sudah tidak dapat menahan emosi ditambah juga ada dendam
sebelumnya, lalu Saudara Rice Ario Fernando Bin Teguh pulang kerumah untuk mengambil
sebilah pisau dan menyelipkan dipinggang sebelah kirinya. Saudara Rice Ario Fernando Bin
Teguh kembali lagi menuju ke tempat bilyar semula dan melihat Saudara David Roberco Bin
Baizigar masih duduk ditempat bilyar semula, sambil mendekati Saudara David Roberco Bin
Baizigar dan dari arah belakang Saudara Rice Ario Fernando Bin Teguh langsung menggorok
leher Saudara David Roberco Bin Baizigar. Perbuatan itu diperkirakan terjadi sekitar pukul
12.30 WIB pada hari itu juga sambil mengatakan “kau ni e yang ngeroyok aku sarenan tu
(kamu nilah yang menggeroyok saya waktu itu)”.
Karena Saudara David Roberco Bin Baizigar merasa sakit dan menjerit minta tolong
sehingga banyak orang yang datang, Saudara Rice Ario Fernando Bin Teguh melarikan diri.
Sedangkan Saudara David Roberco Bin Baizigar dibawa oleh Saudara Doni Kurniawan Bin
Hamzah ke Klinik Ismadana Muaradua. Oleh klinik tersebut dirujuk kerumah sakit umum
daerah Ogan Komering Ulu Selatan dan dirawat selama 4 (empat) hari. Akibatnya, korban
mengalami luka robek di leher bagian depan sepanjang 15 cm dari bawah tepi kiri dagu
sampai pertengahan antara dagu kanan dan rahang bawah tetapi beraturan ujung lancip dasar
otot leher akibat benda tajam cedera tersebut telah mengakibatkan luka derajat sedang berat,
sebagaimana diterangkan berdasarkan hasil Visum et Repertum yang dibuat oleh Rumah Sakit
12

Umum Daerah Muaradua No.445.4/22/RSUD/OKUS/XII/2014, tanggal 11 Desember 2014


yang ditandatangani oleh dr. Zakiyah.
3.2 Dakwaan dan Tuntutan
Merujuk pada Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Nomor Registrasi Perkara PDM-
03/Epp.2/04/2015 tanggal 15 April 2015, terdakwa telah didakwa melakukan perbuatan
percobaan pembunuhan sebagaimana diatur serta diancam pidana menurut pasal 338 KUHP
Jo pasal 53 ayat (1) KUHP. Adapun pasal-pasal tersebut berbunyi:
Pasal 338
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 53 Ayat (1)
Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

Adapun Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan tuntutan hukuman pidana kepada terdakwa
dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun selama terdakwa berada dalam tahanan
sementara, dengan perintah agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.

3.3 Putusan Pengadilan Negeri


Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Baturaja Nomor: 30/Pid.B/2015/PN.BTA
pada hari Rabu tanggal 15 April 2015, Pengadilan Negeri Baturaja telah menjatuhkan putusan
yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa Rice Ario Fernando Bin Teguh telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan perecobaan
pembunuhan;
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Rice Ario Fernando Bin Teguh oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun;
3. Menetapkan masa penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5. Menetapkan barang bukti berupa:
a. 1(satu) helai baju kaos oblong warna merah yang ada bercak darah bermerek lineship,
b. 1(satu bilah pisau garpu bergagang kayu berwarna kuning bersarung kulit warna coklat,
dirampas untuk dimusnahkan;
13

6. Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.2.500,00 (dua ribu lima
ratus rupiah).

3.4 Permasalahan Hukum

Pada dakwaan primer, JPU memberikan dakwaan kepada terdakwa Rice Ario
Fernando Bin Teguh berupa percobaan pembunuhan yang telah diatur dalam Pasal 338 KUHP
jo. Pasal 53 Ayat (1) KUHP dan dakwaan subsidair yaitu penganiayaan. Namun dalam
dakwaan subsidair, tidak disebutkan pasal mana yang dapat menjerat terdakwa. Kemudian,
penjabaran mengenai pembuktian unsur percobaan pembunuhan tersebut, terlihat bahwa
majelis hakim tidak menyandarkan pembuktian unsur-unsurnya kepada dasar hukum dan
studi literatur yang memadai. Majelis hakim hanya menuliskan kembali fakta-fakta hukum
yang terjadi dari kasus tersebut untuk dijadikan sebagai dasar acuan pembuktiannya.
14

BAB IV
ANALISIS

Jika dilihat dari permasalahan yang ada, JPU sebagaimana yang tertuang dalam Surat
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Nomor Registrasi Perkara PDM-03/Epp.2/04/2015 tanggal
15 April 2015, memberikan dakwaan kepada terdakwa Rice Ario Fernando Bin Teguh dengan
dakwaan primer berupa percobaan pidana pembunahan dan dakwaan subsidair berupa
penganiayaan berencana terhadap korban David Roberco Bin Baizigar pada tanggal 13
November 2014 sekira pukul 12.30 WIB bertempat di Bilyar Sukamaju Kelurahan Kisau,
Kecamatan Muaradua, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan. Namun, JPU dalam
tuntutannya hanya menuntut terdakwa dengan Pasal 338 KUHP jo. Pasal 53 Ayat (1) KUHP
tanpa merujuk pasal yang dapat menjerat dakwaan subsidairnya. Adapun dakwaan subsidair
yang dibuat oleh JPU, sebaiknya juga memasukkan pasal yang mengatur tentang pidana
terhadap penganiayaan, yaitu Pasal 351 KUHP. Hal ini dimaksudkan agar apabila terdakwa
dinyatakan lolos dari dakwaan primer yaitu percobaan pembunuhan, terdakwa dapat
dikenakan dakwaan subsidair yaitu penganiayaan yang menimbulkan luka berat atau
penganiayaan berencana yang menimbulkan luka berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 351
Ayat (2) KUHP atau Pasal 353 Ayat (2) KUHP.
Dalam penjabaran mengenai pembuktian unsur percobaan pembunuhan yang
dilakukan oleh terdakwa, terlihat bahwa majelis hakim tidak menyandarkan pembuktian
unsur-unsurnya kepada dasar hukum dan studi literatur yang memadai. Majelis hakim hanya
menuliskan kembali fakta-fakta hukum yang terjadi dari kasus tersebut. Adapun unsur-unsur
terhadap perbuatan percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa diantaranya harus
memenuhi paling tidak 3 (tiga) unsur utama: (1) unsur barang siapa, (2) unsur dengan sengaja,
dan (3) unsur merampas nyawa orang lain, tidak selesainya perbuatan itu bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri. Karena dalam putusan tersebut hakim tidak disertai
alasan-alasan mengenai penjabaran pembuktian unsur-unsur tersebut, maka kami akan
mencoba untuk menganalisis unsur-unsur itu diantaranya sebagai berikut:
1. Unsur barang siapa, karena pada setiap tindak pidana pasti akan selalu melekat dan tidak
dapat dilepaskan dari keberaadaan subjek hukum selaku mereka yang kepadanya harus
mempertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang telah terjadi, maka orang tersebut
harus mampu untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai
15

hukum dan melawan hukum dan orang yang mampu untuk menentukan kehendakanya
menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan itu. Karena dalam persidangan
dihadapkan seseorang yang bernama Rice Ario Fernando Bin Teguh sebagaimana disebut
dalam dakwaan JPU dan berdasarkan keterangan para saksi dalam perkara ini ternyata
identitas tersebut adalah benar adanya dan bukan orang lain serta tidak ditemukan hal-hal
lain yang menghalangi atau mengurangi kecakapan terdakwa dalam
mempertanggungjawabkan setiap perbuatan yang dilakukannya dan selama di persidangan
terdakwa memiliki pemahaman dan kesadaran akan setiap tindakan yang dilakukannya
berikut segala tanggung jawab secara hukum, maka unsur ini telah terpenuhi.
2. Unsur dengan sengaja, dari sudut pandang ilmu hukum pidana teori kesengajaan ini dibagi
menjadi teori kehendak (willen) dan teori pengetahuan (wetten), di mana terdakwa
bekehendak untuk melakukan perbuatan pembunuhan terhadap korban dengan sengaja
karena dendam yang dimiliki sebelumnya. Adapun kesengajaan yang dilakukan oleh
terdakwa tergolong ke dalam kesengajaan sebagai tujuan (opzet als oogmerk), di mana
terdakwa telah bertujuan untuk membunuh korban dengan cara ketika terdakwa tidak suka
terhadap nada dan raut muka korban, maka terdakwa kembali ke rumahnya untuk
mengambil sebilah pisau dan menyelipkannya dipinggang sebelah kiri lalu datang kembali
ke tempat bilyar serta langsung mendekati korban dari belakang dan langsung menggorok
leher korban menggunakan pisau yang dibawanya sebanyak satu kali, maka unsur ini
terpenuhi.
3. Unsur merampas nyawa orang lain, tidak selesainya perbuatan itu bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri, menurur R. Soesilo yang dimaksud dengan
merampas nyawa orang lain itu merupakan kejahatan yang dinamakan makar mati atau
pembunuhan dimana perbuatan yang dilakukannya mengakibatkan kematian bagi orang
lain, sedangkan kematian itu disengaja atau dengan maksud termasuk dalam niatnya serta
perbuatan itu pula harus dilakukan segara setelah timbul maksud untuk membunuh tidak
dengan pikir-pikir lebih panjang lagi. Namun, tidak selesainya perbuatan tersebut bukan
semata-mata karena kehendak dari pelaku, melainkan karena adanya faktor keadaan dari
luar diri orang tersebut. Keadaan di luar kehendak pelaku maksudnya adalah, setiap
keadaan baik fisik maupun psikis yang datangnya dari luar yang menghalangi atau
menyebabkan tidak sempurnanya penyelesaian kejahatan itu. Terdakwa dalam melakukan
perbuatannya tersebut memiliki dendam kepada korban yang mana terdakwa setelah
mengambil sebilah pisau dari rumahnya dan kembali ke tempat bilyar, terdakwa langsung
mendekati korban dan menggorok leher korban di mana perbuatan tersebut mengancam
nyawa korban. Hal ini sesuai dengan hasil visum et repertum terhadap korban yang
16

menyatakan bahwa luka yang dialami korban diakibatkan oleh benda tajam yang
mengakibatkan luka derajat sedang berat.

Akan tetapi, perbuatannya tidak menyebabkan korban meninggal sehingga perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa tidak selesai. Terlebih ketika korban teriak untuk minta tolong
maka seketika terdakwa membuang barang bukti berupa sebilah pisau itu dan langsung
melarikan diri karena banyak orang yang datang menghampiri korban yang terluka
tersebut. Atas perbuatan yang dilakukannya itu, percobaan pidana yang dilakukan
terdakwa masuk ke dalam bentuk percobaan yang dikualifisir. Hal ini sejalan pendapat
yang telah disampaikan oleh Adam Chazawi dimana percoabaan yang dikualifisir itu
adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan tindak pidana selesai yang
lain daripada tindak pidana yang ditujunya. Lebih jauh menurut Adam Chazawi, seorang
dengan maksud membunuh orang yang dibencinya dengan tusukan pisau, dan tidak mati
tetapi hanya luka-luka berat. Pada orang ini terdapat kehendak untuk membunuh, tikaman
pisau itu diarahkan pada matinya korban, akan tetapi kematian tidak timbul, artinya
pembunuhan tidak terjadi, yang terjadi adalah penganiayaan yang menimbulkan luka berat
(Pasal 351 ayat (3) KUHP), atau mungkin penganiayaan berat (Pasal 354 ayat (1) KUHP),
atau penganiayaan berencana yang menimbulkan luka berat (Pasal 353 ayat (2) KUHP),
atau penganiayaan berat berencana (Pasal 355 ayat (1) KUHP). Oleh sebab itu, pada
pembunuhan dimana akibat kematian tidak timbul, tetapi hanya luka-luka saja, disebut atau
dikualifisir sebagai tindak pidana lain hanya oleh sebab penglihatan dari luar saja. Akan
tetapi, jika dilihat dari sudut subyektif, syarat batin si pembuat, sesungguhnya kasus
seorang yang hendak membunuh dengan pelaksanaannya menikam, dari tikaman tidak
menimbulkan kematian tetapi hanya luka-luka saja maka tidak dapat dikualifisir sebagai
penganiayaan yang menimbulkan luka berat. Karena dari sudut batin sungguh berbeda
antara pembunuhan dengan penganiayaan. Pada pembunuhan sikap batin ialah kehendak
selalu ditujukan pada hilangnya nyawa (kematian) korban. Akan etapi pada penganiayaan,
kesengajaan hanya ditujukan pada penderitaan fisik belaka, bisa semata-mata rasa sakit
atau bisa juga pada rasa sakit berupa luka-luka. Jika kesengajaan penganiayaan sekedar
pada rasa sakit semata-mata disebut dengan penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP),
sedangkan apabila kesengajaan itu ditujukan pada rasa sakit yang berupa luka berat,
disebut dengan penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP). Jadi, unsur terakhir ini telah
terbukti.
17

BAB V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang didapat dari pembahasan materi dan kasus di atas adalah:
1. Adanya ketidakcermatan JPU dalam membuat dakwaan subsidair di mana dalam dakwaan
subsidair tersebut tidak dicantumkan pasal mana yang ada di dalam KUHP yang dapat
menjerat terdakwa apabila dakwaan primer JPU dinyatakan tidak terbukti;
2. Adanya kekurangtelitian majelis hakim dalam menjabarkan pembuktian unsur-unsur
percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa Rice Ario Fernando Bin Teguh
kepada korban David Roberco Bin Baizigar di mana majelis hakim tidak menyandarkan
penjabaran dalam pembuktian unsur-unsur tersebut kepada dasar hukum dan studi literatur
yang memadai;

4.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan kepada aparat penegak hukum adalah sebaiknya
dalam penulisan dakwaan, tuntutan, dan putusannya agar dapat diperiksa kembali apakah isi
dari penulisan tersebut sudah sesuai dan lengkap sesuai dengan maksud yang dituju ataukah
masih terdapat kesalahan penulisan pada tanggal, nama-nama yang bersengketa, dan tempat
kejadian perkara atau hal lainnya yang berakibat lain dari maksud yang diharapkan. Hal ini
bertujuan agar tulisan tersebut tidak dapat memilki dualisme penafsiran dan untuk
memastikan bahwa tulisan tersebut telah memiliki dasar hukum yang memadai.

Anda mungkin juga menyukai