1
Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. LNRI Tahun 2014
Nomor 292, TLNRI Nomor 5601, Pasal 18 ayat (1).
2
Ibid., Pasal 18 ayat (2).
3
Ibid., Pasal 18 ayat (3).
4
Ibid., Pasal 70 ayat (2).
5
Sri Nur Hari Susanto, Jurnal HAN dan Pemerintahan Vol. 3 Isu 3, Sep. 2020, “Metode Perolehan dan
Batas-Batas Wewenang Pemerintahan,” ISSN 2621-2781 Online, hlm. 438.
6
Op.Cit., Pasal 19 ayat (2).
7
Ibid., Pasal 71 ayat (2).
8
Yudhi Widyo Armono, Korupsi karena Penyalahgunaan Wewenang,
https://media.neliti.com/media/publications/170347-ID-korupsi-karena-penyalahgunaan-wewenang.pdf
9
Op.Cit., Pasal 19.
2. Perbandingan antara Pembatalan dan Pencabutan
Pembatalan Pencabutan
1. Diatur dalam Pasal 66, Pasal 67, dan 1. Diatur dalam Pasal 64 dan Pasal 68
Pasal 68 UU Administrasi UU Administrasi Pemerintahan
Pemerintahan
2. Keputusan hanya dapat dibatalkan 2. Keputusan hanya dapat dilakukan
apabila terdapat cacat (a) pencabutan apabila terdapat cacat (a)
wewenang, (b) prosedur, dan/atau wewenang, (b) prosedur, dan/atau (c)
(c) substansi substansi
3. Setelah keputusan dicabut, harus
3. Setelah keputusan dibatalkan, harus diterbitkan keputusan baru dengan
ditetapkan keputusan baru dengan mencantumkan dasar hukum
mencantumkan dasar hukum pencabutan dan dengan
pembatalan dan dengan memperhatikan AUPB
memperhatikan AUPB 4. Pencabutan keputusan dilakukan
4. Pembatalan keputusan dilakukan oleh:
oleh: a. Pejabat pemerintah yang
a. Pejabat pemerintah yang menetapkan (paling lama 5 hari
menetapkan (paling lama 5 hari sejak ditemukannya dasar
sejak ditemukannya dasar pencabutan)
pencabutan) b. Atasan pejabat pemerintah yang
b. Atasan pejabat pemerintah yang menetapkan (paling lama 5 hari
menetapkan (paling lama 5 hari sejak ditemukannya dasar
sejak ditemukannya dasar pencabutan)
pencabutan) c. Perintah pengadilan (paling lama
c. Perintah pengadilan (paling lama 21 hari sejak ditemukannya dasar
21 hari sejak ditemukannya dasar pencabutan)
pencabutan) 5. Badan/pejabat pemerintah akan
5. Pembatalan keputusan yang menetapkan keputusan pencabutan
menyangkut kepentingan umum dan keputusan yang telah dicabut
wajib diumumkan melalui media tidak memiliki kekuatan hukum
massa
6. Badan/pejabat pemerintah perlu
menarik kembali semua dokumen,
arsip, dan/atau barang yang menjadi
akibat hukum dari Keputusan atau
menjadi dasar penetapan keputusan
7. Pemilik dokumen, arsip, dan/atau
barang yang merupakan bagian dari
keputusan tersebut wajib
mengembalikannya kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
menetapkan pembatalan Keputusan
8. Badan/pejabat pemerintah harus
Pembatalan Pencabutan
menetapkan keputusan baru untuk
menindaklanjuti keputusan
pembatalan
10
Ibid.., Pasal 15 ayat (1).
11
Ibid., Pasal 15 ayat (1).
12
Harsanto Nursadi, Jurnal Hukum dan Pembangunan Vol. 48 No. I, Mar. 2018. “Tindakan Hukum
Administrasi (Negara) Perpajakan yang Dapat Berakibat pada Tindakan Pidana,” ISSN 0125-9687, e-
ISSN 2503-1465, hlm. 121
13
Op.Cit., Pasal 1 poin (13).
Contohnya, mandat Presiden Republik Indonesia kepada Menteri Perencanaan
dan Pembangunan Negara/Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional untuk melaksanakan tugas dan kewenangan sebagai Koordinator
Investasi (Chief Investment Officer). Sementara, kewenangan atributif di bidang
koordinasi investasi atau penanaman modal telah diberikan kepada Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Pelaksanaan kewenangan di bidang investasi
tersebut mungkin menimbulkan potensi sengketa kewenangan yang tentu
menjadi perhatian dalam UU Administrasi Pemerintahan.14
b. tumpang-tindih kewenangan disebabkan karena pelaksanaan kewenangan
pejabat pemerintahan yang satu bersinggungan dengan kewenangan pejabat
pemerintahan yang lain, sehingga pelaksanaan kewenangan menjadi kurang
efektif dan efisien. Contoh, Menteri Perencanaan dan Pembangunan
Negara/Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional dan Menteri
Keuangan diberikan kewenangan atributif untuk melakukan perencanaan (PP
40/2006 tentang SPN) dan penganggaran (PP 90/2010 tentang RKA-K/L)
pembangunan nasional. Tarik-menarik kewenangan di bidang perencanaan
penganggaran pembangunan nasional terjadi karena dua pejabat pemerintahan
bertindak dalam satu bidang urusan pemerintahan yang saling bersinggungan,
dimana pembagian kewenangan tidak didasarkan pada proporsi yang dapat
mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Alhasil, penyelenggaran
perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional seringkali tidak sinkron.
14
A. Haryo Yudanto, Sengketa Kewenangan dalam Administrasi Pemerintahan: Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang Terabaikan, 2016,
http://jdih.bappenas.go.id/data/file/sengketa_kewenangan_dalam_AP.pdf
15
Op.Cit., Pasal 16.
16
dapat menghasilkan kesepakatan. Konsep ini hanya berlaku internal dalam satu
instansi pemerintahan dan apabila telah dilakukan koordinasi belum juga mencapai
suatu kesepakatan, maka penyelesaian sengketa tersebut akan diputuskan oleh
Presiden.17
Sementara, jika lembaga negara menghadapi sengketa kewenangan, maka
penyelesaian sengketa dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam UU
Mahkamah Konstitusi dan telah dijabarkan secara teknis dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 8/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.18
5. Contoh lain sengketa kewenangan yang saya ketahui adalah kewenangan dalam hal
pemberian dan penerbitan izin usaha industri khususnya kepada industri farmasi.
Kewenangan pemberian dan penerbitan izin usaha industri secara umum dimiliki
oleh Kementerian Perindustrian melalui UU No. 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian dan PP No. 107 Tahun 2015 tentang Izin Usaha Industri dan dapat
didelegasikan kepada Instansi Pemerintah Pusat yang menyelenggarakan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu, dan Kepala Daerah sesuai dengan klasifikasi yang
ada.19 Sedangkan secara khusus kewenangan pemberian dan penerbitan izin usaha
industri farmasi dimiliki oleh Kementerian Kesehatan melalui Peraturan Menteri
Kesehatan No. 16 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi yang mana
kewenangan tersebut didelegasikan kepada Direktur Jenderal yang membidangi
kefarmasian dan alat kesehatan.20
Jika dilihat secara seksama, kewenangan yang dimiliki oleh Kementerian
Kesehatan sudah tidak relevan, mengingat:
a. Konsideran aturan hukum yang menjadi dasar kewenangannya sudah tidak
berlaku, yakni UU 5/1984 tentang Perindustrian dan PP 13/1995 tentang Izin
Usaha Industri
16
A. Haryo Yudanto, Sengketa Kewenangan dalam.., 2016,
http://jdih.bappenas.go.id/data/file/sengketa_kewenangan_dalam_AP.pdf
17
Op.Cit., Pasal 16.
18
A. Haryo Yudanto, Sengketa Kewenangan dalam.., 2016,
http://jdih.bappenas.go.id/data/file/sengketa_kewenangan_dalam_AP.pdf
19
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 107 Tahun 2015 tentang Izin Usaha Industri. LNRI Tahun 2015
Nomor 329, TLNRI Nomor 5797, Pasal 10 ayat (4), Pasal 11 dan Pasal 12.
20
Kementerian Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang
Industri Farmasi, Berita Negara Tahun 2010 Nomor, Pasal 4
b. UU 36/2009 tentang Kesehatan tidak memberikan kewenangan terkait dengan
pemberian dan penerbitan izin usaha industri, terlebih industri yang bergerak di
bidang kefarmasian;
Sehingga, kewenangan pemberian dan penerbitan izin usaha industri kefarmasian
seharusnya dilimpahkan kepada Kementerian Perindustrian selaku Kementerian yang
membidangi urusan Perindustrian, tanpa melihat komoditas usaha yang dijalankan
industri tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi para
pelaku usaha. Adapun Kementerian Kesehatan hanya berwenang untuk mengatur
persyaratan teknisnya saja dan juga berpartisipasi terhadap pemeriksaan serta
peninjauan langsung ke industri bersama dengan tim yang dibuat sebagai syarat
teknis sebelum izin industri tersebut diberikan atau diterbitkan.