Anda di halaman 1dari 23

1

POTENSI PERMASALAHAN PELAKSANAN PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA


TERKAIT SENGKETA PERTANAHAN YANG MELIBATKAN ASET BUMN

Dr. Enrico Simanjuntak, S.H., M.H.1


Pengantar
Dilihat dari sudut pandang praktek hukum, suatu permasalahan pertanahan
secara simultan (bersamaan) sering merupakan kristalisasi berbagai pertalian
permasalahan hukum seperti hukum administrasi, hukum perdata, hukum pidana,
hukum waris dan lain sebagainya. Dalam kondisi demikian, penyelesaian oleh suatu
cabang hukum akan (saling) mempengaruhi penyelesaian oleh cabang hukum lainnya,
sehingga pada akhirnya suatu kasus konkret pertanahan sering membutuhkan
penyelesaian hukum secara berlapis-lapis, tidak secara tunggal oleh salah satu cabang
hukum. Dalam komplesitas alur penyelesaian hukum seperti itu, permasalahan sering
bertambah rumit oleh kegagalan prioritas penerapan aturan hukum mana untuk suatu
permasalahan hukum.2
Sejalan dengan itu, Prof. Nurhasan Ismail menyatakan pelanggaran norma
hukum pertanahan umumnya mengandung tiga aspek yaitu: administratif, perdata dan
pidana. Hal ini merupakan konsekuensi dari perkembangan kedudukan hukum agraria.
Semula hukum agraria menjadi bagian dari hukum perdata, namun sejalan dengan
semakin intensnya campur tangan negara dalam mengatur sumber daya tanah, hukum
tanah juga mengandung aspek administratif dan aspek pidana. Bahkan dalam

1
Hakim Pengadilan TUN Jakarta. Makalah disampaikan dalam kegiatan diskusi tahap II kegiatan
kajian kebijakan dengan judul “Pembatalan Hak Atas Tanah Pemerintah/BUMN Sebagai Pelaksanaan
Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk menyelesaikan sengketa pertanahan dalam
rangka mewujudkan kepastian hukum”, Ruang Rapat PPSK ATP, Pusat Pengembangan dan Standarisasi
Kebijakan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional, Jumat 20 Agustus 2021.
2
Enrico Simanjuntak, “Esensi Sengketa Administrasi Pertanahan Di Peradilan Tata Usaha Negara”,
Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Vol. 3 No. 2 November 2017,
hlm. 1
2

perkembangannya sekarang ini nuansa aspek pidana dalam hukum pertanahan semakin
meluas dengan masuknya hukum pidana korupsi dalam perbuatan melanggar hukum di
bidang pertanahan.3 Maka, sesuai rumusan permasalahan yang disampaikan oleh
panitia bahwa terdapat kekhawatiran dari pengambil keputusan apabila hendak
melaksanakan putusan pengadilan untuk melakukan pembatalan hak atas tanah
Pemerintah/BUMN. Kekuatiran tersebut menyangkut tindakan pembatalan akan
menghilangkan/menghapuskan aset Pemerintah/BUMN, yang akhirnya dapat
menimbulkan kerugian Negara/BUMN.
Sebagai praktisi hukum di bidang hukum administrasi, penulis bertitik tolak dari
sudut pandang hukum administrasi menyangkut urgensi dan konsekuensi hukum dari
suatu putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap
dikaitkan dengan produk hukum yang dikeluarkan Kementerian ATR/Kepala BPN.
Relevansi hukum administrasi dalam diskusi ini menjadi sangat beralasan mengingat
produk Hukum Kementerian ATR/BPN, Kantor Wilayah (Kanwil) BPN, Kantor Pertanahan
sesuai kewenangannya adalah keputusan pejabat TUN di bidang pertanahan.4 Lebih
khusus lagi, pembatalan adalah keputusan yang membatalkan Produk Hukum karena
cacat administrasi dan/atau cacat yuridis dalam penerbitannya atau untuk
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.5

Pembahasan.

(1) Pembatalan, Pencabutan dan Penundaan Keputusan Berdasarkan UU


Peradilan TUN dan UUAP.
Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu Keputusan TUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau

3
Nurhasan Ismail, Hukum Agraria Dalam Tantangan Perubahan (Malang: Setara Press, 2018), hlm.
135
4
Indonesia, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, Peraturan Menteri
ATR/Kepala BPN No. 21 Tahun 2020 (Berita Negara RI Tahun 2020 Nomor 1369). Ps 1 ayat 13
5
Ibid. Ps. 1 ayat 14
3

direhabilitasi.6 Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan tersebut adalah: (a)
Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; (b) Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.7

Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang
mengeluarkan Keputusan TUN.8 Kewajiban sebagaimana dimaksud: (a) pencabutan
Keputusan TUN yang bersangkutan; atau (b) pencabutan Keputusan TUN yang
bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru;

Ketentuan pasal 116 Peradilan TUN menyebutkan bahwa:

(1) …dst;
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan
tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi;
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c,
dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata
kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan
permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan
putusan pengadilan tersebut;
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah
uang paksa dan/atau sanksi administratif;
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat

6
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Tentang Perubahan Kedua Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU. No. 51 Tahun 2009 (LNRI Tahun 2009 No. 160, TLN No. 5079).
Ps. 53 ayat (1)
7
Ibid. Ps. 53 ayat (2)
8
Ibid. Ps. 97 ayat (8)
4

oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana


dimaksud pada ayat (3);
(6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus
mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan
rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
Dengan demikian, apabila dalam jangka waktu dua bulan suatu KTUN yang
dibatalkan belum juga dilaksanakan pencabutannya oleh tergugat, maka dua bulan sejak
tidak dilaksanakannya pencabutan keputusan tersebut, keputusan yang digugat tidak
memiliki kekuatan hukum. Lantas timbul pertanyaan seandainya suatu keputusan
pemberian hak atas tanah selain dinyatakan batal, juga dinyatakan dicabut oleh
Peradilan TUN9, namun kemudian setelah 60 hari (atau dua bulan) sejak putusan
diterima oleh Tergugat10, ternyata Tergugat belum melaksanakan juga putusan
Peradilan TUN, maka dipandang dari sudut UU Peradilan TUN, KTUN objek sengketa
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi. Ketentuan pasal 116 UU
Peradilan TUN di atas, apabila tidak disadari akan potensial menimbulkan berbagai
permasalahan hukum baru.
Sebagaimana UU Peradilan TUN, UUAP selain mengenal pembatalan keputusan,
juga mengenal pencabutan dan penundaan keputusan. Pembatalan, pencabutan dan
penundaan dalam UUAP dapat digambarkan dalam matriks berikut:
Prasyarat hukum Akibat Pelaksana Batas waktu
pelaksanaan

9
Ibid. Ps. 97 angka 9 huruf (a)
10
Ibid. Ps. 116 ayat (2).
5

a. Cacat harus ditetapkan a. Pejabat Lima hari kerja sejak


wewenang; Keputusan yang Pemerintahan ditemukan dasar
b. Cacat baru dengan yang menetapkan pembatalan
Prosedur* mencantumkan Keputusan;
paling lama 21 hari
c. Cacat dasar hukum b. Atasan Pejabat
kerja sejak perintah
substansi* pembatalan dan yang menetapkan
Pengadilan
memperhatikan Keputusan; atau
Pembatalan

AUPB c. atas putusan


Pengadilan.
*Berdasarkan Pasal 71
ayat (1) dan (2) UUAP
jika cacad prosedur dan
substansi suatu
keputusan/tindakan
dapat dibatalkan dan
efek pembatalan
bersifat ex nunc.

a. Cacat Penerbitan - Pejabat Lima hari kerja sejak


wewenang; Keputusan baru Pemerintahan ditemukan dasar
b. Cacat dengan yang menetapkan pencabutan
prosedur mencantumkan Keputusan;
paling lama 21 (dua
Pencabutan

c. Cacat dasar hukum - oleh Atasan


puluh satu) hari kerja
substansi pencabutan dan Pejabat yang
sejak perintah
memperhatikan menetapkan
Pengadilan
AUPB Keputusan; atau
- atas perintah
Pengadilan
6

Jika keputusan Dilaksanakan oleh (a)


berpotensi Pejabat Pemerintahan
menimbulkan: yang menetapkan
Keputusan; dan/atau
a. kerugian
(b) Atasan Pejabat.
negara;
b. kerusakan Permintaan
Penundaan

lingkungan pencabutan
hidup; berdasarkan (a)
dan/atau Permintaan Pejabat
c. konflik sosial Pemerintahan terkait;
atau

(b) Putusan
Pengadilan.

Menurut E. Utrecht keputusan yang batal dapat dibedakan yakni: ketetapan


yang batal karena hukum (nietigheid van rechtswerge), ketetatapan yang batal (nietig,
absoluut nietig) dan ketetapan yang dapat dibatalkan (viernietigbaar).11 Perbedaan
ketiga jenis kebatalan itu menurut Yudhi Setiawan dkk adalah sbb12:
Uraian nietig nietigheid van viernietigbaar
rechtswerge
Sejak kapan batal Ex tunc Ex tunc Ex nunc
Tindakan Putusan/Keputusan. Tanpa perlu ada Mutlak harus ada
Pembatalan Sifat putusan/keputusan: putusan/keputusan putusan/keputusan
konstatering/deklaratur Sifat
putusan/keputusan:
konstitutif

Sebagaimana peraturan-peraturan sebelumnya yang mengatur hal yang sama,


dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI No. 21/2020 terkait tindak lanjut
Pelaksanaan Putusan Pengadilan hanya mengenal istilah “pembatalan”. Istilah

11
E. Utrecht, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku
Indonesia, 1957), hlm. 109
12
Yudhi Setiawan, Boedi Djatmiko Hadiatmodjo, Imam Roppi. Hukum Administrasi Pemerintahan,
Teori dan Praktik (Dilengkapi Dengan Beberapa Kasus Pertanahan), (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), hlm.
253
7

“pembatalan” disini tentu tidak bersifat tunggal atau monolitik tetapi harus disesuaikan
dengan konteks kasus konkrit yang dimaksud. Karena misalnya suatu penetapan hak
atas tanah yang dikeluarkan oleh pejabat tidak berwenang otomatis efek kebatalannya
bersifat mutlak (null and void).13 Memang, kendati secara teoritis keputusan yang
dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang dianggap tidak pernah ada (never
existed) karena tidak sah namun dalam tataran praktik tindak lanjutnya dapat diikuti
dengan tindakan “pencoretan” yang dalam skala tertentu sepadan dengan arti
“pencabutan” dalam legal terms hukum administrasi.
Sebagaimana dimaksud UUAP, dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI No.
21/2020, fungsionaris pembatalan keputusan dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
dan/atau Atasan Pejabat dengan menetapkan dan/atau melakukan Keputusan baru
dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan atau berdasarkan perintah Pengadilan.14
Selanjutnya sebab dan prasyarat pembatalan produk hukum pejabat pertanahan
diatur dalam pasal 29 Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI No. 21/2020 yang
selengkapnya berbunyi sbb:
Pasal 29
(1) Pembatalan Produk Hukum dilakukan oleh Pejabat yang
berwenang karena:
a. cacat administrasi dan/atau cacat yuridis;
b. pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
(2) Sebelum dilakukan Pembatalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, Kementerian atau Kantor Wilayah sesuai
kewenangan memberitahukan kepada pemegang Hak atas Tanah
dan Hak Tanggungan dalam hal Produk Hukum yang akan
dibatalkan berupa hak atas tanah atau sertipikat tanah yang
dibebani dengan hak tanggungan.

13
Kajian tentang perbedaan dan persamaan efek pembatalan keputusan di bidang pertanahan
dapat dilihat lebih lanjut dalam Eddy Pranjoto, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas
Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional, (Bandung: C.V. Utomo, 2006)
14
Indonesia, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, Peraturan Menteri
ATR/Kepala BPN No. 21 Tahun 2020 (Berita Negara RI Tahun 2020 Nomor 1369). Ps 71 ayat (3))
8

Sedikit berbeda dengan UUAP yang membagi fungsionaris pembatalan


keputusan kepada tiga pihak yakni: (a) Pejabat Pemerintahan yang menetapkan
Keputusan; (b) Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau (c) atas putusan
Pengadilan, Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI No. 21/2020 mengatur kewenangan
Menteri untuk penerbitan keputusan pembatalan selain atas dasar putusan pengadilan
juga apabila ditemukan cacad administrasi dan/atau cacad yuridis terhadap produk
hukum yang diterbitkan oleh Menteri atau Kanwil.15 Kewenangan yang sama diberikan
kepada Kepala Kanwil untuk menerbitkan keputusan pembalan selain atas dasar
putusan pengadilan juga apabila ditemukan cacad administrasi dan/atau cacad yuridis
terhadap produk hukum yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan.16
Dengan kata lain Kepala Kantor Pertanahan atau Kepala Kanwil tidak berwenang
membatalkan secara sepihak (unilateral) produk hukum yang cacat administrasi
dan/atau cacad yuridis yang diterbitkan olehnya, namun hanya dapat dilakukan oleh
instansi di atasnya. Bahkan dalam hal tertentu, Menteri dapat membatalkan Produk
Hukum Kanwil atau Kantor Pertanahan karena cacat administrasi dan/atau cacat yuridis
maupun sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.17 Sedangkan dalam peraturan terdahulu yakni Permen No. 11/2016,
kepala kantor pertanahan atau kepala kantor wilayah masih dimungkinkan untuk kasus
tertentu, sekalipun tetap atas nama menteri, untuk mengeluarkan keputusan
pembatalan. Namun seperti dalam peraturan Permen No. 11/2016 maupun peraturan
sesudahnya, dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI No. 21/2020 ini tindak lanjut
putusan pengadilan terkait produk hukum yang Kepala Kantor Pertanahan yang
“dibatalkan” pengadilan tidak dilaksanakan olehnya namun secara ex officio oleh Kepala
Kanwil atau Menteri.
Dalam ketentuan berikutnya, Kementerian atau Kanwil sesuai kewenangannya
tidak dapat membatalkan Produk Hukum baik karena cacat administrasi dan/atau cacat

15
Ibid. Ps. 30 ayat (1) huruf (a) dan (b)
16
Ibid. Ps. 30 ayat (2) huruf (a) dan (b)
17
Ibid. Ps. 30 ayat (3)
9

yuridis maupun sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan


hukum tetap, dalam hal:

a. hak atas tanah objek Sengketa/Perkara telah beralih kepada pihak ketiga;
b. pihak ketiga sebagai pemegang hak terakhir tidak menjadi pihak dalam
Perkara; dan
c. pihak ketiga memperoleh hak atas tanah tersebut dengan itikad baik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum adanya
Perkara.18

Dalam ketentuan sebelumnya juga terdapat norma yang mengecualikan


pelaksanaan pembatalan oleh kepala kantor pertanahan untuk ditindaklanjuti atas
Produk Hukum baik karena cacat administrasi dan/atau cacat yuridis maupun sebagai
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Menteri dan
Kanwil apabila terdapat gugatan, sita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan/atau
lembaga penegak hukum lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, keputusan Pembatalan.19
Secara lebih spesifik, ketentuan pasal 37 mengatur bagaimana Pembatalan
Produk Hukum Sebagai Tindak Lanjut Pelaksanaan Putusan Pengadilan yakni sbb:
(1) Setiap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
wajib dilaksanakan;
(2) Pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan terhadap:
a. objek putusan terdapat putusan lain sekamar yang bertentangan;
b. amar putusan menyatakan gugatan tidak dapat diterima;
c. objek putusan sedang diletakkan sita;
d. letak bidang tanah objek Perkara tidak jelas dan tidak ada eksekusi;
e. letak, luas dan batas bidang tanah objek Perkara yang disebut dalam
amar putusan dan/atau pertimbangan hukum berbeda dengan letak,
luas dan batas bidang tanah yang dieksekusi;

18
Ibid. Ps. 32 ayat (1)
19
Ibid. Ps. 31 ayat (2)
10

f. tanah objek Perkara telah berubah menjadi tanah Negara atau haknya
telah hapus;
g. putusan sama sekali tidak berhubungan dengan objek yang dimohon
Pembatalan;
h. alasan lain yang sah.
(3) Apabila putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan maka diberitahukan
kepada pemohon dan Pengadilan disertai dengan alasan dan
pertimbangannya.

Pasal 38
(1) Atas permohonan yang berkepentingan, putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat
ditindaklanjuti pelaksanaannya dengan tindakan administrasi
pertanahan berupa penerbitan keputusan Pembatalan Produk
Hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pembatalan Produk Hukum sebagai pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
ditindaklanjuti jika amarnya menyatakan batal/tidak sah/tidak
mempunyai kekuatan hukum/tidak mempunyai kekuatan
mengikat/tidak mempunyai kekuatan pembuktian meliputi:
a. penetapan hak atas tanah;
b. pendaftaran hak tanah pertama kali;
c. pemeliharaan data pendaftaran tanah;
d. sertipikat pengganti hak atas tanah;
e. sertipikat Hak Tanggungan;
f. keputusan Pembatalan;
g. keputusan penetapan tanah terlantar;
h. sertipikat hak milik atas satuan rumah susun;
i. penetapan konsolidasi tanah;
j. penegasan tanah objek landreform;
k. penetapan kesediaan pemberian ganti rugi bekas tanah
partikelir;
l. keputusan pemberian izin lokasi yang meliputi lintas provinsi;
11

m. Penetapan Pejabat Tata Usaha Negara di Lingkungan


Kementerian di bidang pertanahan yang bersifat konkret,
individual dan final.20
(3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai
dengan huruf m ditetapkan dengan surat keputusan Menteri atau
Kepala Kantor Wilayah sesuai dengan kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30.

Pasal 39
(1) Dalam hal hak atas tanah atau sertipikat tanah yang dibatalkan
oleh pengadilan merupakan pelaksanaan amar putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri:
a. dalam Perkara yang menempatkan instansi pengguna aset
dan instansi pengelola aset sebagai pihak dalam Perkara
maka Surat Keputusan Pembatalan hak atas tanah sebagai
pelaksanaan putusan pengadilan dapat ditetapkan tanpa
menunggu proses penghapusan aset/aktiva tetap dari
instansi yang bersangkutan, akan tetapi penetapan haknya
setelah ada penghapusan aset jika sudah tercatat sebagai
aset atau persetujuan pelepasan aset jika belum tercatat
dalam daftar aset;
b. dalam hal amar putusannya menyatakan batal hak atas tanah
atau sertipikat tanah instansi pemerintah tanpa melibatkan
pengguna aset dan pengelola aset sebagai pihak dalam
Perkara maka Pembatalan hak atas tanah atau sertipikat
tanah dilakukan setelah penghapusan aset dari pengguna
dan/atau persetujuan pengelola aset.

20
Ketentuan Pasal 87 UUAP:
“Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
12

(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a Kementerian atau Kantor Wilayah sesuai kewenangannya
menyampaikan keputusan pembatalan hak atas tanah atau
sertipikat tanah.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b Kementerian atau Kantor Wilayah sesuai kewenangannya
menyampaikan pemberitahuan putusan pengadilan yang
membatalkan hak atas tanah atau sertipikat tanah kepada
pengguna aset dan pengelola aset;
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk
mencatat dalam buku tanah dan daftar umum lainnya:
a. batalnya hak atas tanah; dan
b. status quo sampai dengan adanya penghapusan aset/aktiva
tetap dari instansi yang bersangkutan;
(5) Pemenang Perkara wajib mengajukan permohonan penghapusan
aset ke instansi yang berwenang.
(6) Penetapan hak atas tanah kepada pemenang Perkara dilakukan
setelah adanya permohonan hak dengan melampirkan:
a. surat keputusan penghapusan aset/aktiva tetap dari daftar
inventaris kekayaan instansi yang bersangkutan dan/atau
surat lain yang sejenis;
b. surat persetujuan pelepasan aset dari pengelola aset.

Dalam Pasal 15 dan Pasal 16 PMK No. 83/PMK.06/2016 ditentukan sbb:

Pasal 15
(1) Penghapusan BMN dari Daftar Barang Pengelola sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan dalam hal BMN sudah tidak
berada dalam penguasaan Pengelola Barang karena:
a. penyerahan kepada Pengguna Barang;
b. Pemindahtanganan;
c. adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dan sudah tidak ada upaya hukum lainnya;
d. menjalankan ketentuan peraturan perundangundangan;
e. Pemusnahan; atau
f. sebab-sebab lain
Pasal 16
13

(1) Penghapusan BMN dari Daftar Barang Pengguna dan/atau Daftar


Barang Kuasa Pengguna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dilakukan dalam hal BMN sudah tidak berada dalam penguasaan
Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang disebabkan
karena:
a. penyerahan kepada Pengelola Barang;
b. pengalihan status penggunaan BMN kepada Pengguna Barang
lain;
c. Pemindahtanganan;
d. adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dan sudah tidak ada upaya hukum lainnya;
e. menjalankan ketentuan peraturan perundangundangan;
f. Pemusnahan; atau
g. sebab-sebab lain.
(2) dst…21
Penghapusan BMN karena adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dan sudah tidak ada upaya hukum lainnya ditindaklanjuti dengan
melakukan penelitian oleh pengelola barang terhadap BMN yang harus dihapuskan
karena adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan
sudah tidak ada upaya hukum lainnya. Penelitian tersebut meliputi: (a) penelitian data
dan dokumen BMN; (b) penelitian terhadap isi putusan pengadilan terkait BMN sebagai
objek putusan pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan sudah
tidak ada upaya hukum lainnya; dan (c) penelitian fisik, untuk mencocokkan fisik BMN
yang akan dihapuskan dengan data administratif, guna memastikan kesesuaian antara
BMN yang menjadi objek putusan pengadilan dengan BMN yang menjadi objek
Penghapusan. Penelitian tersebut dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
Berdasarkan laporan hasil penelitian tersebut, Pengelola Barang menerbitkan
keputusan Penghapusan BMN paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal laporan hasil
penelitian. Berdasarkan keputusan Penghapusan BMN tersebut, Pengelola Barang

21
Rumusan norma ini oleh beberapa kementerian/lembaga juga diikuti dalam peraturan sektoral
di instansi masing-masing sebagai contoh Pasal 15 Peraturan Menteri Pertahanan Tata Cara Pelaksanaan
Barang Milik Negara Di Lingkungan Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2017 Tentang Pelaksanaan Pemusnahan Dan Barang Milik Negara Selain Tanah Dan Di Lingkungan
Kementerian Pertahanan Dan Tentara Nasional Indonesia
14

melakukan Penghapusan BMN dari Daftar Barang Pengelola. Berdasarkan Penghapusan


BMN dari Daftar Barang Pengelola, Pengelola Barang melakukan Penghapusan BMN dari
Daftar Barang Milik Negara.22
Bagi BUMN penghapusanbukuan dilakukan karena: (a) pemindahtanganan; (b)
kondisi tertentu. Kondisi tertentu tersebut diantaranya berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan/atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,
dimana aktiva tetap tersebut tidak lagi menjadi milik atau dikuasai oleh BUMN.23
Persetujuan penghapusan karena kondisi tertentu tersebut diberikan oleh
RUPS/Menteri.24 Sebelum diajukan persetujuan ke Menteri, Direksi wajib
menyampaikan permohonan tanggapan tertulis kepada Komisaris/Dewan Pengawas,
persetujuan dari Komisaris/Dewan Pengawas ini harus ditanggapi paling lama 30 hari.
Bagi aset tanah daerah, penghapusannya ditetapkan dengan keputusan Kepala
Daerah setelah mendapat persetujuan DPRD.25

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat potensi permasalahan


dalam pelaksanaan putusan Peradilan TUN yang berkekuatan hukum tetap dikaitkan
dengan penghapusan barang milik negara berupa aset tanah baik di lingkungan
pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN. Permasalahan tersebut menyangkut
masih belum jelasnya batas waktu paling lama untuk melaksanakan keputusan
penghapusan aset barang milik negara berupa aset tanah jika hal ini harus dilakukan
untuk melaksanakan putusan Peradilan TUN yang memiliki batas waktu pelaksanaan jika
telah berkekuatan hukum tetap.

22
Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara, PMK No. 83/PMK.06/2016 (Berita Negara RI Tahun
2016 No. 757). Ps. 26. Lihat juga ketentuan pasal 40 PMK yang sama tentang tata cara Penghapusan BMN
oleh pengguna barang kepada pengelola barang Karena Adanya Putusan Pengadilan Yang Telah
Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap dan Sudah Tidak Ada Upaya Hukum Lainnya.
23
Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-02/MBU/2010 Tentang Tata Cara Penghapusbukuan
dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap BUMN sebagaimana terakhir diubah oleh Peraturan Menteri Badan
Usaha Milik Negara Republik Indonesia Nomor PER-03/MBU/03/2021 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-02/MBU/2010 Tentang Tata Cara
Penghapusbukuan Dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara. Ps. 3 ayat (1) dan (2)
24
Ibid. Ps. 14 ayat (2).
25
Supriyadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2010), hlm. 328
15

(2) Kerangka Hukum yang mengatur kewajiban pelaksanaan putusan pengadilan


yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sebagaimana berdasarkan UU Peradilan TUN, maka menurut UUAP, setiap
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib melaksanakan Keputusan dan/atau
Tindakan yang sah dan Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh
Pengadilan atau pejabat yang bersangkutan atau atasan yang bersangkutan.26 Dalam hal
Keputusan yang mengakibatkan pembayaran dari uang negara dinyatakan tidak sah,
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib mengembalikan uang ke kas negara.
Kerugian yang timbul akibat Keputusan dan/atau Tindakan yang dibatalkan menjadi
tanggung jawab Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Ketentuan mengenai tata cara
pengembalian uang ke kas negara dan kerugian yang timbul akibat keputusan dan/atau
pembatalan keputusan/tindakan diatur dalam Peraturan Pemerintah.27
Menurut UUAP, Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban antara lain mematuhi
putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.28 Selain itu, Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang. Penyalahgunaan
wewenang dalam UUAP terdiri dari (1) melampaui Wewenang; (2) mencampuradukkan
Wewenang; (3) larangan bertindak sewenang-wenang. Satu diantara kriteria bertindak
sewenang-wenang adalah apabila pejabat pemerintahan melakukan
keputusan/tindakan yang bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.29
Apabila pejabat pemerintahan melakukan tindakan sewenang-wenang
(melakukan suatu keputusan/tindakan yang bertentangan dengan putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap) atau apabila Pejabat Pemerintahan yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 42 dikenai sanksi
administratif berat.30

26
Indonesia, Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014 (LNRI
Tahun 2014 No. 292 TLNRI No. 5601). Ps. 72 ayat (1) UUAP
27
Ibid. Ps. 72 ayat (2) UUAP jo. Ps. 70 ayat (3) dan Ps. 71 ayat (5) UUAP
28
Ibid. Ps. 7 ayat (2) huruf l
29
Ibid. Ps. 17 ayat (2) jo. Ps. 18 ayat (3) huruf b
30
Ibid. Ps. 80 ayat (3)
16

Sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3)


berupa:

a. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas


lainnya;
b. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas
lainnya;
c. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas
lainnya serta dipublikasikan di media massa; atau
d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas
lainnya serta dipublikasikan di media massa.31

PP No. 48/2016 menderogasi sanksi administrasi berat bagi pejabat


pemerintahan yang tidak melaksanakan putusan pengadilan menjadi sanksi administrasi
sedang. Dalam PP. No. 48/2016 disebutkan bahwa Sanksi administrasi sedang
diantaranya dikenakan bagi Pejabat Pemerintahan apabila tidak melaksanakan
Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah
atau dibatalkan oleh Pengadilan atau pejabat yang bersangkutan atau atasan yang
bersangkutan.32 Kendati demikian dalam pasal PP itu tetap disebutkan bahwa sanksi
Administratif berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c dikenakan bagi Pejabat
Pemerintahan apabila menyalahgunakan Wewenang yang meliputi: (a) melampaui
Wewenang; (b) mencampuradukkan Wewenang; dan/atau (c) bertindak sewenang-
wenang.33

Pengenaan sanksi Administratif sedang atau Sanksi Administratif berat


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) hanya dapat dijatuhkan
setelah melalui proses pemeriksaan internal.34 Pejabat yang Berwenang Mengenakan
Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 mengenakan Sanksi

31
Ibid. Ps 81 ayat (3)
32
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada
Pejabat Pemerintahan, PP No. 48 Tahun 2016 (Tambahan LNRI No. 5943). Ps 7 huruf f
33
Ibid. Ps. 8
34
Ibid. Ps. 11 ayat (2)
17

Administratif kepada Pejabat Pemerintahan yang melakukan Pelanggaran


Administratif.35 Dalam hal Pejabat yang Berwenang Mengenakan Sanksi Administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengenakan Sanksi Administratif kepada
Pejabat Pemerintahan yang melakukan Pelanggaran Administratif, Pejabat yang
Berwenang tersebut dikenakan Sanksi Administratif oleh atasannya.36 Sanksi
Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sama dengan jenis Sanksi
Administratif yang seharusnya dikenakan kepada Pejabat Pemerintahan yang
melakukan Pelanggaran Administratif.37 Atasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
juga mengenakan Sanksi Administratif terhadap Pejabat Pemerintahan yang melakukan
Pelanggaran Administratif.38

(3) Urgensi Harmonisasi Pelaksanaan Putusan Pengadilan Dengan Penghapusan


Barang Milik Negara
Dalam persfektif hukum agraria, aset negara atau barang milik negara (BMN)
sebagai penyertaan modal yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan kepada
BUMN, jenis-jenis status tanahnya adalah: (1) tanah hak pengelolaan; (2) tanah hak
pakai; (3) hak guna usaha (HGU) yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan
menjadi aset BUMN Persero seperti perkebunan nusantara; (4) hak guna bangunan yang
merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan menjadi aset BUMN, misalnya PT. Pos
Indonesia; (5) ada pula yang masih berstatus tanah negara.39
Menurut persfektif hukum anggaran negara dan keuangan publik, penyertaan
modal negara dalam suatu BUMN harus jelas dengan peraturan pemerintah, jika
asetnya masih berstatus dan berdokumentasi milik negara, sehingga prosedurnya
melalui lampiran X peraturan pemerintah Keuangan No. 96/PMK.06/2007. Jika asetnya

35
Ibid. Ps. 13 ayat (1)
36
Ibid. Ps. 13 ayat (2)
37
Ibid. Ps. 13 ayat (3)
38
Ibid. Ps 13 ayat (4)
39
Sunaryo Basuki, “Aspek Hukum Tanah Nasional Yang Berkaitan Dengan Pendayagunaan Tanah
Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara”, dalam Dinamika Pemikiran Tentang Pembangunan Hukum
Tanah Nasional, Kumpulan Tulisan Mengenang Alharhum Prof. Boedi Harsono (Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti, 2012), hlm. 169
18

tersebut tidak dialihkan, status masih berada dalam kepemilikan aset BUMN, berarti
Menteri Keuangan selaku pengelola barang milik negara harus dilibatkan dalam
tindakan hukum apapun berkaitan dengan tanah tersebut, atau minimal melalui
pemberian kuasa.40
Penyertaan modal negara dalam bentuk tanah dan bangunan kepada BUMN
Persero hanya dapat dilakukan terhadap rumah negara I dan II, dan tidak dapat
dilakukan terhadap rumah negara negara III yang dihuni karyawan sampai dengan
putera puterinya. Penyertaan modal negara (inbreng) kepada BUMN Persero harus
dibuktikan dengan penetapan peraturan pemerintah dan perubahan sertipikatnya
menjadi sertipikat BUMN Persero tersebut. Dengan demikian, kekayaan tanah dan
bangunan tersebut sah menurut hukum dan administrasi sebagai kekayaan negara yang
dipisahkan dan menjadi milik BUMN Persero tersebut.
Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Arifin P. Soeria Atmadja, konsekuensi logis
adanya penyertaan modal pemerintah pada perseroan terbatas (dalam hal ini BUMN)
adalah pemerintah ikut menanggung risiko dan bertanggung-jawab terhadap kerugian
usaha yang dibiayainya. Dalam menanggung resiko dan bertanggung-jawab atas
kerugian usaha ini, kedudukan pemerintah tidak dapat berposisi sebagai badan hukum
publik.41 Lebih lanjut dikemukakan olehnya bahwa kedudukan pemerintah dalam
perseroan terbatas tidak dapat dikatakan sebagai mewakili negara sebagai badan
hukum publik. Ditegaskan olehnya bahwa pemahaman ini merukan sebagai bentuk
afirmatif pemakaian hukum privat dalam perseroan terbatas yang seluruh atau salah
satu sahamnya dimiliki negara berarti konsep kerugian keuangan negara dalam
pengertian merugikan keuangan negara tidak terpenuhi.42
Dengan demikian sebenarnya dari sudut pandang hukum keuangan publik,
sepanjang telah dilakukan pemisahan kekayaan negara, terutama melalui penyertaan

40
Arie Sukanti Hutagalung dkk, Kajian Hukum Status Tanah dan Rumah Yang Dihuni Ex-Karyawan
Kereta Api Menurut Hukum Agraria dan Hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik (Jakarta: Bidang
Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015), hlm. 48
41
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Persfektif Hukum, (Jakarta: Rajawali Cipta Pers,
2010), hlm. 115 dan 116
42
Ibid.
19

modal (inbreng), maka tanah dan bangunan milik BUMN sebenarnya telah
bertransformasi menjadi aset badan hukum perdata biasa bukan masuk dalam kategori
aset pemerintah (badan hukum publik). Itulah sebabnya MA telah memberi petunjuk
kepada hakim dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Tahun 2010 yang
menyimpulkan bahwa harta kekayaan BUMN atau BUMD dapat disita oleh pengadilan.
Keuangan negara yang disertakan inbreng (penyertaan modal) dalam BUMN atau BUMD
persero dapat disita karena harta tersebut sudah dianggap menjadi harta milik BUMN
atau BUMD. Meskipun demikian, terhadap uang atau barang milik negara yang dikelola
oleh BUMN atau BUMD yang bukan dari penyertaan modal tidak dapat dilakukan sita
jaminan atau sita eksekusi.43
Sejalan dengan itu, Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri juga menegaskan
bahwa BUMN telah go public atau menjadi perseroan Tbk pada dirinya dan pada uang
atau barang yang dimilikinya tidak melekat lagi unsur milik negara, sehingga penguasaan
maupun penyitaannya pun tunduk pada ketentuan hukum acara perdata dengan jalan
mengesampingkan Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Pedoman tersebut juga menyatakan bahwa ketua PN dapat mengeluarkan penetapan
eksekusi yang membebankan pemenuhan isi putusan kepada termohon eksekusi untuk
memasukkan pada penganggaran DIPA pada instansi pemerintah, BUMN/BUMD dalam
Anggaran Pendapat Belanja Negara (APBN) atau Daerah (APBD) tahun anggaran berjalan
atau tahun anggaran berikutnya.44
Menurut Gatot Supramono, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Banjarmasin,
pembentuk UU sewaktu membuat UU BUMN kurang begitu cermat di dalam membuat
peraturannya, karena prinsip yang ada di UU BUMN ternyata tidak sinkron dengan UU
yang lain yaitu UU Keuangan Negara, UU Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), dan UU
Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi (TPPK) dengan prinsip keuangan Negara

43
Dalam hal objek eksekusi adalah harta benda milik atau dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), memang pada dasarnya objek tersebut tidak dapat
disita untuk kepentingan apapun [Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara].
44
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Kertas Kebijakan, Penguatan Sistem
Eksekusi Sengketa Perdata, Solusi Alternatif Penguatan Sistem Eksekusi Sengketa Perdata yang Efektif &
Efesien untuk Kepastian Hukum (Jakarta: LeIP, 2019), hlm. 52-51
20

termasuk harta kekayaan BUMN.45 Adanya perbenturan prinsip hukum ini berpengaruh
kepada ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan BUMN tidak dapat
berkembang dengan baik karena tidak dapat sepenuhnya mengelola dengan prinsip-
prinsip perusahaan yang sehat. Direksi BUMN mempunyai beban psikologis jika salah
urus akan diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sebagai jalan keluarnya
dapat disarankan, perlu adanya perubahan atau penggantian UU Keuangan Negara, UU
TPPK dan UU PUPN dengan secepatnya, agar dapat tercipta kepastian hukum sehingga
kebingungan masyarakat dan penegak hukum segera berakhir.46

(4) Penutup
Status dan kedudukan BUMN masih berada pada legal grey area, apakah
sepenuhnya entitas hukum perdata atau hukum publik atau entitas hukum hibrida
(private-public actor) sehingga spektrum permasalahan hukum yang berkelindan
kepadanya dapat timbul dari berbagai cabang hukum. Secara khusus dalam hal
pelaksanaan putusan Pengadilan TUN menyangkut “pembatalan” keputusan hak atas
tanah yang telah tercatat sebagai aset BUMN terdapat kemungkinan permasalahan.
Potensi permasalahannya adalah karena suatu keputusan hak atas tanah selain dapat
dinyatakan batal, juga dapat diikuti dengan perintah pencabutan dan penerbitan
keputusan baru (UU Peradilan TUN dan UUAP). Bahkan, menurut UUAP, pencabutan
suatu keputusan dilakukan paling lama 21 hari kerja sejak adanya perintah pengadilan.
Jika pencabutan tersebut menyangkut penghapusan daftar barang milik negara pada
BUMN, belum ada batas waktu maksimal menyangkut berapa lama keputusan
pencabutan dikeluarkan oleh pihak Kementerian Keuangan. Batas waktu yang ada
selama paling lama 2 bulan hanya mengatur proses penelitian usulan penghapusan oleh
pengelola barang milik negara. Titik krusialnya adalah seandainya penghapusan barang
milik negara berupa aset BUMN tersebut memakan waktu yang sangat lama, pencari
keadilan akan dirugikan karena kantor pertanahan akan kesulitan menerbitkan

45
Gatot Supramono, “Kedudukan BUMN Dalam Hubungannya Dengan Keuangan Negara Dan
Pengaruhnya Terhadap Penyelesaian Sengketa Perdata Di Pengadilan”, http://pt-banjarmasin.go.id›
images› dataweblama. hlm. 27
46
Ibid.
21

keputusan baru, sementara menurut UU Peradilan TUN dalam hal pencabutan diikuti
kewajiban penerbitan keputusan baru, dan setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja
ternyata kewajiban menerbitkan keputusan baru tersebut belum juga terlaksana, maka
penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar pengadilan
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Tidak
terpenuhinya pelaksanaan putusan pengadilan dalam batas waktu yang ditentukan ini
akan tidak sesuai dengan prinsip justice delayed justice denied maupun asas litis finiri
oportet, yakni setiap perkara harus ada akhirnya. Selain itu, tidak terpenuhinya
pelaksanaan putusan pengadilan dalam batas waktu yang ditentukan mengandung
ancaman sanksi hukum dan/atau upaya hukum baru dari pihak yang merasa dirugikan.
Oleh karena itu dalam rangka menjamin pelaksanaan putusan pengadilan sangat
disarankan penyusunan aturan baru menyangkut batas waktu penghapusan aset
Pemerintah/BUMN yang lebih cepat dan ringkas.
22

Daftar Pustaka
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Persfektif Hukum, (Jakarta: Rajawali
Cipta Pers, 2010)
Arie Sukanti Hutagalung dkk, Kajian Hukum Status Tanah dan Rumah Yang Dihuni Ex-
Karyawan Kereta Api Menurut Hukum Agraria dan Hukum Anggaran Negara dan
Keuangan Publik (Jakarta: Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2015);
Enrico Simanjuntak, “Esensi Sengketa Administrasi Pertanahan Di Peradilan Tata Usaha
Negara”, Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional, Vol. 3 No. 2 November 2017,
E. Utrecht, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Penerbitan dan
Balai Buku Indonesia, 1957)
Eddy Pranjoto, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah Oleh
Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional, (Bandung: C.V.
Utomo, 2006)
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Kertas Kebijakan,
Penguatan Sistem Eksekusi Sengketa Perdata, Solusi Alternatif Penguatan Sistem
Eksekusi Sengketa Perdata yang Efektif & Efesien untuk Kepastian Hukum
(Jakarta: LeIP, 2019);
Nurhasan Ismail, Hukum Agraria Dalam Tantangan Perubahan (Malang: Setara Press,
2018),
Sunaryo Basuki, “Aspek Hukum Tanah Nasional Yang Berkaitan Dengan Pendayagunaan
Tanah Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara”, dalam Dinamika Pemikiran
Tentang Pembangunan Hukum Tanah Nasional, Kumpulan Tulisan Mengenang
Alharhum Prof. Boedi Harsono (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2012);
Supriyadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2010)
Yudhi Setiawan, Boedi Djatmiko Hadiatmodjo, Imam Roppi. Hukum Administrasi
Pemerintahan, Teori dan Praktik (Dilengkapi Dengan Beberapa Kasus
Pertanahan), (Jakarta: Rajawali Pers, 2017)
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Tentang Perubahan Kedua Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU. No. 51 Tahun 2009 (LNRI
Tahun 2009 No. 160, TLN No. 5079)
------------, Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014
(LNRI Tahun 2014 No. 292 TLNRI No. 5601);
------------, Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
Kepada Pejabat Pemerintahan, PP No. 48 Tahun 2016 (Tambahan LNRI No. 5943)
------------, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus
23

Pertanahan, Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 21 Tahun 2020 (Berita


Negara RI Tahun 2020 Nomor 1369);
------------, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara, PMK No.
83/PMK.06/2016 (Berita Negara RI Tahun 2016 No. 757)
------------, Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-02/MBU/2010 Tentang Tata Cara
Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap BUMN sebagaimana
terakhir diubah oleh Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Republik
Indonesia Nomor PER-03/MBU/03/2021 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-02/MBU/2010
Tentang Tata Cara Penghapusbukuan Dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap
Badan Usaha Milik Negara;
Gatot Supramono, “Kedudukan BUMN Dalam Hubungannya Dengan Keuangan Negara
Dan Pengaruhnya Terhadap Penyelesaian Sengketa Perdata Di Pengadilan”,
http://pt-banjarmasin.go.id› images› dataweblama.

Anda mungkin juga menyukai