1
Hakim Pengadilan TUN Jakarta. Makalah disampaikan dalam kegiatan diskusi tahap II kegiatan
kajian kebijakan dengan judul “Pembatalan Hak Atas Tanah Pemerintah/BUMN Sebagai Pelaksanaan
Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk menyelesaikan sengketa pertanahan dalam
rangka mewujudkan kepastian hukum”, Ruang Rapat PPSK ATP, Pusat Pengembangan dan Standarisasi
Kebijakan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional, Jumat 20 Agustus 2021.
2
Enrico Simanjuntak, “Esensi Sengketa Administrasi Pertanahan Di Peradilan Tata Usaha Negara”,
Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Vol. 3 No. 2 November 2017,
hlm. 1
2
perkembangannya sekarang ini nuansa aspek pidana dalam hukum pertanahan semakin
meluas dengan masuknya hukum pidana korupsi dalam perbuatan melanggar hukum di
bidang pertanahan.3 Maka, sesuai rumusan permasalahan yang disampaikan oleh
panitia bahwa terdapat kekhawatiran dari pengambil keputusan apabila hendak
melaksanakan putusan pengadilan untuk melakukan pembatalan hak atas tanah
Pemerintah/BUMN. Kekuatiran tersebut menyangkut tindakan pembatalan akan
menghilangkan/menghapuskan aset Pemerintah/BUMN, yang akhirnya dapat
menimbulkan kerugian Negara/BUMN.
Sebagai praktisi hukum di bidang hukum administrasi, penulis bertitik tolak dari
sudut pandang hukum administrasi menyangkut urgensi dan konsekuensi hukum dari
suatu putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap
dikaitkan dengan produk hukum yang dikeluarkan Kementerian ATR/Kepala BPN.
Relevansi hukum administrasi dalam diskusi ini menjadi sangat beralasan mengingat
produk Hukum Kementerian ATR/BPN, Kantor Wilayah (Kanwil) BPN, Kantor Pertanahan
sesuai kewenangannya adalah keputusan pejabat TUN di bidang pertanahan.4 Lebih
khusus lagi, pembatalan adalah keputusan yang membatalkan Produk Hukum karena
cacat administrasi dan/atau cacat yuridis dalam penerbitannya atau untuk
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.5
Pembahasan.
3
Nurhasan Ismail, Hukum Agraria Dalam Tantangan Perubahan (Malang: Setara Press, 2018), hlm.
135
4
Indonesia, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, Peraturan Menteri
ATR/Kepala BPN No. 21 Tahun 2020 (Berita Negara RI Tahun 2020 Nomor 1369). Ps 1 ayat 13
5
Ibid. Ps. 1 ayat 14
3
direhabilitasi.6 Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan tersebut adalah: (a)
Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; (b) Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.7
Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang
mengeluarkan Keputusan TUN.8 Kewajiban sebagaimana dimaksud: (a) pencabutan
Keputusan TUN yang bersangkutan; atau (b) pencabutan Keputusan TUN yang
bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru;
(1) …dst;
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan
tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi;
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c,
dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata
kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan
permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan
putusan pengadilan tersebut;
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah
uang paksa dan/atau sanksi administratif;
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat
6
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Tentang Perubahan Kedua Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU. No. 51 Tahun 2009 (LNRI Tahun 2009 No. 160, TLN No. 5079).
Ps. 53 ayat (1)
7
Ibid. Ps. 53 ayat (2)
8
Ibid. Ps. 97 ayat (8)
4
9
Ibid. Ps. 97 angka 9 huruf (a)
10
Ibid. Ps. 116 ayat (2).
5
lingkungan pencabutan
hidup; berdasarkan (a)
dan/atau Permintaan Pejabat
c. konflik sosial Pemerintahan terkait;
atau
(b) Putusan
Pengadilan.
11
E. Utrecht, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku
Indonesia, 1957), hlm. 109
12
Yudhi Setiawan, Boedi Djatmiko Hadiatmodjo, Imam Roppi. Hukum Administrasi Pemerintahan,
Teori dan Praktik (Dilengkapi Dengan Beberapa Kasus Pertanahan), (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), hlm.
253
7
“pembatalan” disini tentu tidak bersifat tunggal atau monolitik tetapi harus disesuaikan
dengan konteks kasus konkrit yang dimaksud. Karena misalnya suatu penetapan hak
atas tanah yang dikeluarkan oleh pejabat tidak berwenang otomatis efek kebatalannya
bersifat mutlak (null and void).13 Memang, kendati secara teoritis keputusan yang
dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang dianggap tidak pernah ada (never
existed) karena tidak sah namun dalam tataran praktik tindak lanjutnya dapat diikuti
dengan tindakan “pencoretan” yang dalam skala tertentu sepadan dengan arti
“pencabutan” dalam legal terms hukum administrasi.
Sebagaimana dimaksud UUAP, dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI No.
21/2020, fungsionaris pembatalan keputusan dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
dan/atau Atasan Pejabat dengan menetapkan dan/atau melakukan Keputusan baru
dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan atau berdasarkan perintah Pengadilan.14
Selanjutnya sebab dan prasyarat pembatalan produk hukum pejabat pertanahan
diatur dalam pasal 29 Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI No. 21/2020 yang
selengkapnya berbunyi sbb:
Pasal 29
(1) Pembatalan Produk Hukum dilakukan oleh Pejabat yang
berwenang karena:
a. cacat administrasi dan/atau cacat yuridis;
b. pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
(2) Sebelum dilakukan Pembatalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, Kementerian atau Kantor Wilayah sesuai
kewenangan memberitahukan kepada pemegang Hak atas Tanah
dan Hak Tanggungan dalam hal Produk Hukum yang akan
dibatalkan berupa hak atas tanah atau sertipikat tanah yang
dibebani dengan hak tanggungan.
13
Kajian tentang perbedaan dan persamaan efek pembatalan keputusan di bidang pertanahan
dapat dilihat lebih lanjut dalam Eddy Pranjoto, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas
Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional, (Bandung: C.V. Utomo, 2006)
14
Indonesia, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, Peraturan Menteri
ATR/Kepala BPN No. 21 Tahun 2020 (Berita Negara RI Tahun 2020 Nomor 1369). Ps 71 ayat (3))
8
15
Ibid. Ps. 30 ayat (1) huruf (a) dan (b)
16
Ibid. Ps. 30 ayat (2) huruf (a) dan (b)
17
Ibid. Ps. 30 ayat (3)
9
a. hak atas tanah objek Sengketa/Perkara telah beralih kepada pihak ketiga;
b. pihak ketiga sebagai pemegang hak terakhir tidak menjadi pihak dalam
Perkara; dan
c. pihak ketiga memperoleh hak atas tanah tersebut dengan itikad baik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum adanya
Perkara.18
18
Ibid. Ps. 32 ayat (1)
19
Ibid. Ps. 31 ayat (2)
10
f. tanah objek Perkara telah berubah menjadi tanah Negara atau haknya
telah hapus;
g. putusan sama sekali tidak berhubungan dengan objek yang dimohon
Pembatalan;
h. alasan lain yang sah.
(3) Apabila putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan maka diberitahukan
kepada pemohon dan Pengadilan disertai dengan alasan dan
pertimbangannya.
Pasal 38
(1) Atas permohonan yang berkepentingan, putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat
ditindaklanjuti pelaksanaannya dengan tindakan administrasi
pertanahan berupa penerbitan keputusan Pembatalan Produk
Hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pembatalan Produk Hukum sebagai pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
ditindaklanjuti jika amarnya menyatakan batal/tidak sah/tidak
mempunyai kekuatan hukum/tidak mempunyai kekuatan
mengikat/tidak mempunyai kekuatan pembuktian meliputi:
a. penetapan hak atas tanah;
b. pendaftaran hak tanah pertama kali;
c. pemeliharaan data pendaftaran tanah;
d. sertipikat pengganti hak atas tanah;
e. sertipikat Hak Tanggungan;
f. keputusan Pembatalan;
g. keputusan penetapan tanah terlantar;
h. sertipikat hak milik atas satuan rumah susun;
i. penetapan konsolidasi tanah;
j. penegasan tanah objek landreform;
k. penetapan kesediaan pemberian ganti rugi bekas tanah
partikelir;
l. keputusan pemberian izin lokasi yang meliputi lintas provinsi;
11
Pasal 39
(1) Dalam hal hak atas tanah atau sertipikat tanah yang dibatalkan
oleh pengadilan merupakan pelaksanaan amar putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri:
a. dalam Perkara yang menempatkan instansi pengguna aset
dan instansi pengelola aset sebagai pihak dalam Perkara
maka Surat Keputusan Pembatalan hak atas tanah sebagai
pelaksanaan putusan pengadilan dapat ditetapkan tanpa
menunggu proses penghapusan aset/aktiva tetap dari
instansi yang bersangkutan, akan tetapi penetapan haknya
setelah ada penghapusan aset jika sudah tercatat sebagai
aset atau persetujuan pelepasan aset jika belum tercatat
dalam daftar aset;
b. dalam hal amar putusannya menyatakan batal hak atas tanah
atau sertipikat tanah instansi pemerintah tanpa melibatkan
pengguna aset dan pengelola aset sebagai pihak dalam
Perkara maka Pembatalan hak atas tanah atau sertipikat
tanah dilakukan setelah penghapusan aset dari pengguna
dan/atau persetujuan pengelola aset.
20
Ketentuan Pasal 87 UUAP:
“Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
12
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a Kementerian atau Kantor Wilayah sesuai kewenangannya
menyampaikan keputusan pembatalan hak atas tanah atau
sertipikat tanah.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b Kementerian atau Kantor Wilayah sesuai kewenangannya
menyampaikan pemberitahuan putusan pengadilan yang
membatalkan hak atas tanah atau sertipikat tanah kepada
pengguna aset dan pengelola aset;
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk
mencatat dalam buku tanah dan daftar umum lainnya:
a. batalnya hak atas tanah; dan
b. status quo sampai dengan adanya penghapusan aset/aktiva
tetap dari instansi yang bersangkutan;
(5) Pemenang Perkara wajib mengajukan permohonan penghapusan
aset ke instansi yang berwenang.
(6) Penetapan hak atas tanah kepada pemenang Perkara dilakukan
setelah adanya permohonan hak dengan melampirkan:
a. surat keputusan penghapusan aset/aktiva tetap dari daftar
inventaris kekayaan instansi yang bersangkutan dan/atau
surat lain yang sejenis;
b. surat persetujuan pelepasan aset dari pengelola aset.
Pasal 15
(1) Penghapusan BMN dari Daftar Barang Pengelola sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan dalam hal BMN sudah tidak
berada dalam penguasaan Pengelola Barang karena:
a. penyerahan kepada Pengguna Barang;
b. Pemindahtanganan;
c. adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dan sudah tidak ada upaya hukum lainnya;
d. menjalankan ketentuan peraturan perundangundangan;
e. Pemusnahan; atau
f. sebab-sebab lain
Pasal 16
13
21
Rumusan norma ini oleh beberapa kementerian/lembaga juga diikuti dalam peraturan sektoral
di instansi masing-masing sebagai contoh Pasal 15 Peraturan Menteri Pertahanan Tata Cara Pelaksanaan
Barang Milik Negara Di Lingkungan Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2017 Tentang Pelaksanaan Pemusnahan Dan Barang Milik Negara Selain Tanah Dan Di Lingkungan
Kementerian Pertahanan Dan Tentara Nasional Indonesia
14
22
Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara, PMK No. 83/PMK.06/2016 (Berita Negara RI Tahun
2016 No. 757). Ps. 26. Lihat juga ketentuan pasal 40 PMK yang sama tentang tata cara Penghapusan BMN
oleh pengguna barang kepada pengelola barang Karena Adanya Putusan Pengadilan Yang Telah
Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap dan Sudah Tidak Ada Upaya Hukum Lainnya.
23
Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-02/MBU/2010 Tentang Tata Cara Penghapusbukuan
dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap BUMN sebagaimana terakhir diubah oleh Peraturan Menteri Badan
Usaha Milik Negara Republik Indonesia Nomor PER-03/MBU/03/2021 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-02/MBU/2010 Tentang Tata Cara
Penghapusbukuan Dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara. Ps. 3 ayat (1) dan (2)
24
Ibid. Ps. 14 ayat (2).
25
Supriyadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2010), hlm. 328
15
26
Indonesia, Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014 (LNRI
Tahun 2014 No. 292 TLNRI No. 5601). Ps. 72 ayat (1) UUAP
27
Ibid. Ps. 72 ayat (2) UUAP jo. Ps. 70 ayat (3) dan Ps. 71 ayat (5) UUAP
28
Ibid. Ps. 7 ayat (2) huruf l
29
Ibid. Ps. 17 ayat (2) jo. Ps. 18 ayat (3) huruf b
30
Ibid. Ps. 80 ayat (3)
16
31
Ibid. Ps 81 ayat (3)
32
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada
Pejabat Pemerintahan, PP No. 48 Tahun 2016 (Tambahan LNRI No. 5943). Ps 7 huruf f
33
Ibid. Ps. 8
34
Ibid. Ps. 11 ayat (2)
17
35
Ibid. Ps. 13 ayat (1)
36
Ibid. Ps. 13 ayat (2)
37
Ibid. Ps. 13 ayat (3)
38
Ibid. Ps 13 ayat (4)
39
Sunaryo Basuki, “Aspek Hukum Tanah Nasional Yang Berkaitan Dengan Pendayagunaan Tanah
Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara”, dalam Dinamika Pemikiran Tentang Pembangunan Hukum
Tanah Nasional, Kumpulan Tulisan Mengenang Alharhum Prof. Boedi Harsono (Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti, 2012), hlm. 169
18
tersebut tidak dialihkan, status masih berada dalam kepemilikan aset BUMN, berarti
Menteri Keuangan selaku pengelola barang milik negara harus dilibatkan dalam
tindakan hukum apapun berkaitan dengan tanah tersebut, atau minimal melalui
pemberian kuasa.40
Penyertaan modal negara dalam bentuk tanah dan bangunan kepada BUMN
Persero hanya dapat dilakukan terhadap rumah negara I dan II, dan tidak dapat
dilakukan terhadap rumah negara negara III yang dihuni karyawan sampai dengan
putera puterinya. Penyertaan modal negara (inbreng) kepada BUMN Persero harus
dibuktikan dengan penetapan peraturan pemerintah dan perubahan sertipikatnya
menjadi sertipikat BUMN Persero tersebut. Dengan demikian, kekayaan tanah dan
bangunan tersebut sah menurut hukum dan administrasi sebagai kekayaan negara yang
dipisahkan dan menjadi milik BUMN Persero tersebut.
Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Arifin P. Soeria Atmadja, konsekuensi logis
adanya penyertaan modal pemerintah pada perseroan terbatas (dalam hal ini BUMN)
adalah pemerintah ikut menanggung risiko dan bertanggung-jawab terhadap kerugian
usaha yang dibiayainya. Dalam menanggung resiko dan bertanggung-jawab atas
kerugian usaha ini, kedudukan pemerintah tidak dapat berposisi sebagai badan hukum
publik.41 Lebih lanjut dikemukakan olehnya bahwa kedudukan pemerintah dalam
perseroan terbatas tidak dapat dikatakan sebagai mewakili negara sebagai badan
hukum publik. Ditegaskan olehnya bahwa pemahaman ini merukan sebagai bentuk
afirmatif pemakaian hukum privat dalam perseroan terbatas yang seluruh atau salah
satu sahamnya dimiliki negara berarti konsep kerugian keuangan negara dalam
pengertian merugikan keuangan negara tidak terpenuhi.42
Dengan demikian sebenarnya dari sudut pandang hukum keuangan publik,
sepanjang telah dilakukan pemisahan kekayaan negara, terutama melalui penyertaan
40
Arie Sukanti Hutagalung dkk, Kajian Hukum Status Tanah dan Rumah Yang Dihuni Ex-Karyawan
Kereta Api Menurut Hukum Agraria dan Hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik (Jakarta: Bidang
Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015), hlm. 48
41
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Persfektif Hukum, (Jakarta: Rajawali Cipta Pers,
2010), hlm. 115 dan 116
42
Ibid.
19
modal (inbreng), maka tanah dan bangunan milik BUMN sebenarnya telah
bertransformasi menjadi aset badan hukum perdata biasa bukan masuk dalam kategori
aset pemerintah (badan hukum publik). Itulah sebabnya MA telah memberi petunjuk
kepada hakim dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Tahun 2010 yang
menyimpulkan bahwa harta kekayaan BUMN atau BUMD dapat disita oleh pengadilan.
Keuangan negara yang disertakan inbreng (penyertaan modal) dalam BUMN atau BUMD
persero dapat disita karena harta tersebut sudah dianggap menjadi harta milik BUMN
atau BUMD. Meskipun demikian, terhadap uang atau barang milik negara yang dikelola
oleh BUMN atau BUMD yang bukan dari penyertaan modal tidak dapat dilakukan sita
jaminan atau sita eksekusi.43
Sejalan dengan itu, Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri juga menegaskan
bahwa BUMN telah go public atau menjadi perseroan Tbk pada dirinya dan pada uang
atau barang yang dimilikinya tidak melekat lagi unsur milik negara, sehingga penguasaan
maupun penyitaannya pun tunduk pada ketentuan hukum acara perdata dengan jalan
mengesampingkan Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Pedoman tersebut juga menyatakan bahwa ketua PN dapat mengeluarkan penetapan
eksekusi yang membebankan pemenuhan isi putusan kepada termohon eksekusi untuk
memasukkan pada penganggaran DIPA pada instansi pemerintah, BUMN/BUMD dalam
Anggaran Pendapat Belanja Negara (APBN) atau Daerah (APBD) tahun anggaran berjalan
atau tahun anggaran berikutnya.44
Menurut Gatot Supramono, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Banjarmasin,
pembentuk UU sewaktu membuat UU BUMN kurang begitu cermat di dalam membuat
peraturannya, karena prinsip yang ada di UU BUMN ternyata tidak sinkron dengan UU
yang lain yaitu UU Keuangan Negara, UU Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), dan UU
Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi (TPPK) dengan prinsip keuangan Negara
43
Dalam hal objek eksekusi adalah harta benda milik atau dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), memang pada dasarnya objek tersebut tidak dapat
disita untuk kepentingan apapun [Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara].
44
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Kertas Kebijakan, Penguatan Sistem
Eksekusi Sengketa Perdata, Solusi Alternatif Penguatan Sistem Eksekusi Sengketa Perdata yang Efektif &
Efesien untuk Kepastian Hukum (Jakarta: LeIP, 2019), hlm. 52-51
20
termasuk harta kekayaan BUMN.45 Adanya perbenturan prinsip hukum ini berpengaruh
kepada ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan BUMN tidak dapat
berkembang dengan baik karena tidak dapat sepenuhnya mengelola dengan prinsip-
prinsip perusahaan yang sehat. Direksi BUMN mempunyai beban psikologis jika salah
urus akan diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sebagai jalan keluarnya
dapat disarankan, perlu adanya perubahan atau penggantian UU Keuangan Negara, UU
TPPK dan UU PUPN dengan secepatnya, agar dapat tercipta kepastian hukum sehingga
kebingungan masyarakat dan penegak hukum segera berakhir.46
(4) Penutup
Status dan kedudukan BUMN masih berada pada legal grey area, apakah
sepenuhnya entitas hukum perdata atau hukum publik atau entitas hukum hibrida
(private-public actor) sehingga spektrum permasalahan hukum yang berkelindan
kepadanya dapat timbul dari berbagai cabang hukum. Secara khusus dalam hal
pelaksanaan putusan Pengadilan TUN menyangkut “pembatalan” keputusan hak atas
tanah yang telah tercatat sebagai aset BUMN terdapat kemungkinan permasalahan.
Potensi permasalahannya adalah karena suatu keputusan hak atas tanah selain dapat
dinyatakan batal, juga dapat diikuti dengan perintah pencabutan dan penerbitan
keputusan baru (UU Peradilan TUN dan UUAP). Bahkan, menurut UUAP, pencabutan
suatu keputusan dilakukan paling lama 21 hari kerja sejak adanya perintah pengadilan.
Jika pencabutan tersebut menyangkut penghapusan daftar barang milik negara pada
BUMN, belum ada batas waktu maksimal menyangkut berapa lama keputusan
pencabutan dikeluarkan oleh pihak Kementerian Keuangan. Batas waktu yang ada
selama paling lama 2 bulan hanya mengatur proses penelitian usulan penghapusan oleh
pengelola barang milik negara. Titik krusialnya adalah seandainya penghapusan barang
milik negara berupa aset BUMN tersebut memakan waktu yang sangat lama, pencari
keadilan akan dirugikan karena kantor pertanahan akan kesulitan menerbitkan
45
Gatot Supramono, “Kedudukan BUMN Dalam Hubungannya Dengan Keuangan Negara Dan
Pengaruhnya Terhadap Penyelesaian Sengketa Perdata Di Pengadilan”, http://pt-banjarmasin.go.id›
images› dataweblama. hlm. 27
46
Ibid.
21
keputusan baru, sementara menurut UU Peradilan TUN dalam hal pencabutan diikuti
kewajiban penerbitan keputusan baru, dan setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja
ternyata kewajiban menerbitkan keputusan baru tersebut belum juga terlaksana, maka
penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar pengadilan
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Tidak
terpenuhinya pelaksanaan putusan pengadilan dalam batas waktu yang ditentukan ini
akan tidak sesuai dengan prinsip justice delayed justice denied maupun asas litis finiri
oportet, yakni setiap perkara harus ada akhirnya. Selain itu, tidak terpenuhinya
pelaksanaan putusan pengadilan dalam batas waktu yang ditentukan mengandung
ancaman sanksi hukum dan/atau upaya hukum baru dari pihak yang merasa dirugikan.
Oleh karena itu dalam rangka menjamin pelaksanaan putusan pengadilan sangat
disarankan penyusunan aturan baru menyangkut batas waktu penghapusan aset
Pemerintah/BUMN yang lebih cepat dan ringkas.
22
Daftar Pustaka
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Persfektif Hukum, (Jakarta: Rajawali
Cipta Pers, 2010)
Arie Sukanti Hutagalung dkk, Kajian Hukum Status Tanah dan Rumah Yang Dihuni Ex-
Karyawan Kereta Api Menurut Hukum Agraria dan Hukum Anggaran Negara dan
Keuangan Publik (Jakarta: Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2015);
Enrico Simanjuntak, “Esensi Sengketa Administrasi Pertanahan Di Peradilan Tata Usaha
Negara”, Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional, Vol. 3 No. 2 November 2017,
E. Utrecht, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Penerbitan dan
Balai Buku Indonesia, 1957)
Eddy Pranjoto, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah Oleh
Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional, (Bandung: C.V.
Utomo, 2006)
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Kertas Kebijakan,
Penguatan Sistem Eksekusi Sengketa Perdata, Solusi Alternatif Penguatan Sistem
Eksekusi Sengketa Perdata yang Efektif & Efesien untuk Kepastian Hukum
(Jakarta: LeIP, 2019);
Nurhasan Ismail, Hukum Agraria Dalam Tantangan Perubahan (Malang: Setara Press,
2018),
Sunaryo Basuki, “Aspek Hukum Tanah Nasional Yang Berkaitan Dengan Pendayagunaan
Tanah Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara”, dalam Dinamika Pemikiran
Tentang Pembangunan Hukum Tanah Nasional, Kumpulan Tulisan Mengenang
Alharhum Prof. Boedi Harsono (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2012);
Supriyadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2010)
Yudhi Setiawan, Boedi Djatmiko Hadiatmodjo, Imam Roppi. Hukum Administrasi
Pemerintahan, Teori dan Praktik (Dilengkapi Dengan Beberapa Kasus
Pertanahan), (Jakarta: Rajawali Pers, 2017)
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Tentang Perubahan Kedua Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU. No. 51 Tahun 2009 (LNRI
Tahun 2009 No. 160, TLN No. 5079)
------------, Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014
(LNRI Tahun 2014 No. 292 TLNRI No. 5601);
------------, Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
Kepada Pejabat Pemerintahan, PP No. 48 Tahun 2016 (Tambahan LNRI No. 5943)
------------, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus
23