Indonesia adalah negara hukum yang sebagaimana telah tercantum dalam Pasal 1
ayat (3) UUD 1945, Hal ini menunjukan pengakuan yang tegas dan kuat dalam sistem
hukum Indonesia1 yang artinya segala tindakan dari penyelenggaraan pemerintahan harus
berdasarkan pada hukum. Salah satu unsur suatu negara hukum. Negara Hukum
(rechtsstaat) yang dimaksud oleh Friedrich Julius Stahl, menolak paham monarki absolut
dan menghendaki bentuk Negara menurut hukum, yang mengandung empat unsur yakni:
1) pengakuan hak-hak dasar manusia
2) adanya pembagian kekuasaan (scheiding van macht)
3) pemerintahan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan (wetmatigheid
van het bestuur)
4) adanya peradilan administrasi (PTUN).2
Penerapan prinsip negara hukum di Indonesia memberikan konsekuensi lahirnya pengadilan tata
usaha negara. Pengadilan tata usaha Negara sebagai pranata hukum yakni bentuk konkrit
pelaksanaan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi agar pemerintah tidak melakukan
tindakan yang sewenang-wenang3. Setiap putusan yang dikeluarkan oleh hakim PTUN pasti
diharapkan dapat menyelesaikan perkara dari gugatan yang diajukan tersebut. Dalam PTUN,
ketika hakim menjatuhkan putusan, maka putusan tersebut dapat berbentuk gugatan ditolak,
gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima, dan gugatan gugur (Pasal 97 ayat (7) UU PTUN).
Eksekusi terhadap putusan PTUN tersebut diatur dalam pasal 116 Undang-Undang No.
51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang
1
Yuslim, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hal. 9
2
Ach. Nadzirun Ilham, Skripsi, Peran Pengadilan Tata Usaha Negara Sebagai Perlindungan Hukum Kepada
Masyarakat Atas Tindakan Hukum Pemerintah Dalam Prespektif Negara Hukum,(Malang: UNISMA, 2021), hal. 1
3
Ari Wirya Dinata, Implikasi Hukum Ketidakpatuhan Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Ditinjau
dari Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Negara Kesatuan, Kota Bengkulu, Jurnal Hukum Peratun Vol. 4 No. 1
Februari 2021. Hlm. 1
Peradilan Tata Usaha Negara (yang selanjutnya disebut Perubahan Kedua Atas UU PTUN) yang
menyatakan bahwa ketika putusan tersebut sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka
masing-masing pihak harus melaksanakannya dan ketika tergugat tidak melaksanakan
kewajibannya, maka putusan PTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dengan
begitu maka penggugat harus mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar
memerintahkan tergugat agar putusan PTUN tersebut dilaksanakan. Namun, apabila tergugat
tetap tidak bersedia maka pejabat yang bersangkutan akan dikenakan upaya paksa (uang
paksa/sanksi administratif) dan ketika pejabat tersebut tetap tidak melaksanakan putusan PTUN,
maka panitera akan mengumumkan pada media massa cetak setempat dan ketua pengadilan
harus mengajukan hal tersebut kepada Presiden. Meskipun sudah terdapat pengaturan mengenai
eksekusi putusan PTUN, muncul implikasi hukum yang menyebabkan efektifitas penyelesaian
sengketa tata usaha negara di Indonesia masih belum maksimal. Sehingga, bukannya
menemukan keadilan, eksekusi putusan tersebut terkadang menimbulkan persoalan baru. Kondisi
inilah yang kemudian membuat penulis melakukan penelitian dengan mengambil judul.
Kekuatan Eksekutorial Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Memberikan Keadilan
Kepada Masyarakat Mampang Jakarta Berdasarkan Putusan Nomor. 205/G/TF/2021/PTUN.JKT
dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaiman kekuatan eksekutorial Putusan
PTUN? 2. Bagaimana dampak eksekutorial Putusan Nomor. 205/G/TF/2021/PTUN.JKT
bagi masyarakat Mampang Jakarta?
Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif. Berdasarkan jenis penelitian dimaksud maka
pendekatan digunakan adalah pendekatan hukum dan peraturan perundang-undangan. Sesuai
dengan jenis penelitian yang ditetapkan tersebut maka bahan hukum yang penulis gunakan
bahan hukum primer dan sekunder.xxxxx
PEMBAHASAN
1. kekuatan eksekutorial Putusan PTUN
Eksekusi yakni tindak lanjut dari putusan hakim terhadap suatu perkara yang telah
memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Eksekusi harus dicantumkan
dalam amar putusan agar memiliki kepastian hukum, dan dasar pelaksanaannya Eksekusi
Prespektif hukum perdata adalah upaya merealisasikan kewajiban pihak yg dikalahkan pada
putusan Pengadilan guna memenuhi prestasi yang termuat pada diktum putusan tersebut.
Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap ddan mengandung amar condemnatoir atau menghukum pihak yang kalah untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu prestasi tertentu. Asas-asas ekseskusi putusan
pengadilan antaralain:
4
Alifia Jasmine, Apa Saja Jenis Eksekusi Perdata berdasarkan HIR? Diakses tanggal 11/11/2022, 17. 00. wib
Sebelumnya eksekusi dalam TUN lebih dipengerahuni self respect, yaitu kewenangan
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diberikan
kepada badan/pejabat yang berwenang tanpa adanya saksi oleh pengadilan. Dapat dikatakan
apabila pejabat/atau badan tersebut telah dijatukan putusna oleh pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap tidak dilakukan pelaksanaan maka, badan atau pejabat tersebut, tidak
dikenakan sanksi. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana perlindungan hak-hak
penggugat. Namun setalah dilakukannya revisi terhadap undang-undang xx menggeser dari yang
awalnya self respect menuju fixed execution, yaitu eksekusi yang pelaksanaannya dapat
dipaksakan oleh pengadilan melalui instrument pemaksa yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Ketentuan tersebut terdapat dalam padat 116, maka menurut Paulus effendie Lotung,
ada gua jenis eksekusi di pengadilan taa usaha negara: