PENDAHULUAN
1
Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara: Suatu Perbandingan (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1995), hlm. 17.
2
Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah (Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu Populer, 1986), hlm. xvii.
1
Tujuan dari pembentukan Peradilan TUN sebagaimana dijelaskan oleh pemerintah di hadapan
Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-Undang tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, tanggal 29 April 1986, adalah untuk:3
1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu;
2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada
kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Tujuan tersebut kemudian dimuat dalam Penjelasan Umum Angka ke-1 dari Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (untuk selanjutnya disebut Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986).4
Peradilan TUN juga diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah (sebagai
tergugat) dengan warga negaranya (individu ataupun badan hukum perdata sebagai penggugat),
yaitu sengketa yang timbul akibat dari adanya tindakan-tindakan pemerintah yang diwujudkan
dalam keputusan TUN (beschikking) yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya.
Apa yang disengketakan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebenarnya adalah
wujud dari pelaksanaan suatu wewenang pemerintah menurut hukum publik yang dilaksanakan oleh
badan atau pejabat TUN. Wewenang itu adalah kewenangan untuk membentuk hukum positif serta
mempertahankannya.
3
W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2005), hlm. 1.
4
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 9 tahun 2004.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan TUN) berlaku asas bahwa
selama suatu keputusan TUN tidak digugat dan tidak dinyatakan batal, maka dia selalu dianggap
sah menurut hukum dan karenanya selalu dapat dilaksanakan seketika. Dengan asas ini, berarti
suatu gugatan yang diajukan tidak akan menunda pelaksanaan keputusan TUN yang sedang digugat
atau dengan kata lain, tidak akan menghalangi bekerjanya norma-norma hukum yang terdapat di
dalamnya. Namun, dari segi perlindungan hukum, dalam keadaan tertentu, penggugat dapat
mengajukan permohonan agar selama proses pemeriksaan sengketa berjalan, keputusan TUN yang
digugat dapat ditunda pelaksanaannya. Hal itulah yang kemudian diatur di dalam Pasal 67 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Keputusan TUN itu berlaku sah dan memperoleh kekuatan tetap jika tenggang waktu untuk
menggugatnya telah lewat tanpa ada suatu gugatan yang diajukan terhadapnya5 Asas tersebut di atas
adalah asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid, praesumptio iustae causal). Asas
ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtmatig sampai
ada pembatalannya. Dengan asas ini berarti suatu gugatan yang diajukan tidak akan menunda
pelaksanaan keputusan TUN yang sedang digugat6
Suatu gugatan TUN pada prinsipnya tidak bersifat menunda pelaksanaan keputusan TUN.
Namun dari segi perlindungan hukum, dalam keadaan tertentu, penggugat dapat mengajukan
permohonan agar selama proses pemeriksaan sengketa berjalan, keputusan TUN yang digugat dapat
ditunda pelaksanaannya. Hal itulah yang diatur di dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986.
5
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2005), hlm. 208.
6
Tjandra, op.cit., hlm. 10.
4
tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang digugat.
(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar
pelaksanaan keputusan tata usaha negara itu ditunda selama
pemeriksaan sengketa tata usaha negara sedang berjalan,
sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus
terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
(4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2):
a. Dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan
yang sangat mendesak yang mengakibatkan
kepentingan penggugat sangat dirugikan jika
keputusan tata usaha negara yang digugat itu tetap
dilaksanakan.
b. Tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum
dalam rangka pembangunan mengharuskan
dilaksanakannya keputusan tersebut.
Merujuk pada isi Pasal 67 tersebut, maka dalam keadaan tertentu, penggugat dapat
mengajukan permohonan agar selama proses pemeriksaan sengketa berjalan, keputusan TUN yang
digugat dapat ditunda pelaksanaannya. Jadi, mengenai penundaan pelaksanaan keputusan TUN
selama proses pemeriksaan berjalan harus dimintakan atau dimohonkan terlebih dahulu kepada
pengadilan. Keputusan TUN tidak dapat ditunda secara otomatis dengan hanya adanya proses
pemeriksaan pengadilan.
Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 memberi hak kepada penggugat,
untuk dalam keadaan tertentu, diperbolehkan menyimpang dari asas praduga rechtmatig yang
terkandung pada Pasal 67 ayat (1). Kriteria penundaan pelaksanaan keputusan TUN di dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya disebutkan “…apabila terdapat keadaan yang sangat
mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika keputusan tata usaha
negara yang digugat itu tetap dilaksanakan” (Pasal 67 ayat (4) sub a).
5
Lebih lanjut mengenai penundaan pelaksanaan keputusan TUN, diatur kembali dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung (untuk selanjutnya disebut SEMA) Nomor 2 Tahun 1991 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Bagian VI dari SEMA itu khusus mengatur mengenai penundaan
pelaksanaan keputusan TUN.
2.3 Tata Cara Pengajuan Permohonan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara.
Pasal 67 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menjelaskan bahwa “Permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus
terlebih dahulu dari pokok sengketanya”. Dengan adanya kata “dapat” dalam Pasal 67 ayat (3),
maka dapat ditafsirkan bahwa permohonan penundaan pelaksanaan putusan itu dapat diajukan
secara:7
1. Di dalam atau bersama-sama surat gugat. Apabila
diajukan bersama- sama dalam surat gugatan, maka yang
akan memutuskan tentang permohonan itu adalah Ketua
Pengadilan TUN dalam suatu penetapan yang diambilnya
dalam rapat permusyawaratan. Karena diajukan bersama-
sama dengan surat gugatan, apabila gugatannya penggugat
harus dianggap dismissed, maka sekaligus putusan
dismissal itu mengandung pula penolakan terhadap
permohonan penundaan yang diajukan.
2. Selama sengketa itu diperiksa, baik dengan acara biasa
maupun acara cepat. Permohonan penundaan dapat
diajukan selama proses pemeriksaan sengketa berjalan, baik
pemeriksaannya itu dilakukan dengan acara biasa maupun
dengan acara cepat. Melalui cara yang ke dua ini, berarti
terbuka kemungkinan untuk mengajukan permohonan
penundaan dalam surat yang terpisah dengan surat gugatan.
7
Indroharto, op.cit., hlm. 209-211.
6
Agar permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN dapat efektif, maka metode
penyusunan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN itu perlu memperhatikan hal-
hal berikut:8
1. Memuat motivasi-motivasi dan dalil-dalil penggugat yang
substansinya menggambarkan bahwa:
a. Keputusan yang digugat tersebut nyata-nyata dapat
menimbulkan kerugian bagi penggugat sehingga tidak dapat
dipertahankan keberlakuannya.
b. Keputusan yang digugat bersifat melawan hukum,
karena memenuhi rumusan ketentuan Pasal 53 ayat
(2).
c. Urgensi dilakukannya penundaan pelaksanaan keputusan TUN.
2. Pengajuan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan
TUN dilakukan jauh sebelum rencana pelaksanaan putusan.
3. Petitum pokok dari gugatannya sebaiknya berbunyi:
a. Memerintah kepada tergugat untuk menunda
pelaksanaan keputusan TUN yang disengketakan itu
selama sengketa tersebut sedang berjalan sampai
ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
b. Menyatakan keputusan yang disengketakan tersebut
melawan hukum dan batal karenanya.
c. Memerintah kepada tergugat untuk menerbitkan
keputusan baru yang seadil-adilnya.
d. Menghukum tergugat untuk membayar biaya
perkara (dan seterusnya).
Apabila dicermati lebih lanjut, maka upaya permohonan penundaan keputusan TUN
ternyata memiliki titik temu (persamaan) dengan bentuk upaya pemeriksaan acara cepat yang
diperbolehkan dalam pemeriksaan sengketa TUN. Dan persamaan di antara keduanya itu semakin
8
Tjandra, op.cit., hlm. 78.
7
memperlihatkan bahwa keberadaan Peradilan TUN memang benar-benar dimaksudkan untuk
melindungi hak-hak warga negara (hak asasi manusia).
Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menjelaskan bahwa:
“Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan
dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada
pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 98 ayat (1) tersebut, terlihat jelas bahwa alasan pengajuan
permohonan pemeriksaan acara cepat mempunyai persamaan dengan alasan pengajuan permohonan
penundaan pelaksanaan keputusan TUN dalam Pasal 67 ayat (1), yaitu sama-sama terdapat
kepentingan penggugat yang cukup mendesak.
9
Indroharto, op.cit., hlm. 211.
10
Ibid., hlm. 211-213.
8
1. Harus dilakukan pertimbangan-pertimbangan mengenai kepentingan-
kepentingan yang tersangkut. Pertimbangan itu meliputi pertimbangan
terhadap:
a. Kepentingan umum;
b. Kepentingan penggugat;
c. Kepentingan pihak ke tiga yang berkaitan;
2.5 Akibat Hukum Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara.
9
Isi dari penetapan mengenai permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN dapat
berupa:
1. Permohonan penggugat ditolak.
2. Permohonan penggugat dinyatakan tidak diterima.
3. Permohonan penggugat diterima untuk seluruhnya atau
untuk sebagian. Diktum untuk hal seperti itu dapat berupa
perintah kepada tergugat untuk menunda pelaksanaan untuk
seluruhnya atau sebagian dari keputusan TUN yang
digugat.
Undang-undang tidak membuka kemungkinan untuk dikabulkannya permohonan dalam
bentuk tindakan sementara maupun uang paksa di samping penundaan pelaksanaan dari keputusan
yang digugat.
Ketentuan Pasal 109 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 mengenai syarat-syarat
putusan pengadilan juga berlaku bagi penetapan terhadap permohonan penundaan pelaksanaan
keputusan TUN. Akibat hukum dari penetapan penundaan semacam itu ialah menunda dengan
seketika bekerjanya keputusan TUN yang digugat.
Menurut Soemaryono,11 apabila tergugat tetap melaksanakan atau mengeksekusi keputusan
TUN yang sudah ditunda pelaksanaannya oleh pengadilan, maka keputusan TUN yang dikeluarkan
oleh tergugat dapat dinyatakan cacat hukum dan seluruh kerugian ditanggung oleh tergugat. Jika
penggugat merasa dirugikan atas keputusan TUN yang tetap dilaksanakan oleh tergugat, meskipun
telah ada penetapan penundaan yang telah dikeluarkan oleh pengadilan, maka penggugat dapat
mengajukan gugatan ganti rugi secara perdata ke Pengadilan Negeri akibat kerugian yang diterima.
Masih menurut Soemaryono, upaya hukum yang dapat dilakukan atas putusan penundaan,
apabila pihak tergugat merasa bahwa keputusan TUN yang dia buat itu sudah tepat, adalah dengan
mengajukan keberatan. Dan alasan pengajuan keberatan dari tergugat yaitu adanya unsur
kepentingan umum (Pasal 67 ayat (4) sub b Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986). Pengajuan
keberatan itu adalah dalam bentuk surat bantahan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan dengan
melampirkan bukti- bukti.12
Pada dasarnya, di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 memang tidak diatur upaya
11
Wawancara dengan Soemaryono, pada saat beliau masih menjabat sebagai Hakim di Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara Jakarta
12
Ibid.
10
hukum apa yang dapat dilakukan oleh tergugat terhadap penetapan penundaan pelaksanaan
keputusan TUN. Namun dalam hal ini, bentuk-bentuk perlawanan telah berkembang di dalam
praktik. Pihak pengadilan selalu memberikan kesempatan secara terbuka kepada tergugat untuk
membela hak-haknya apabila dia merasa bahwa penetapan penundaan pelaksanaan keputusan TUN
itu tidak tepat.
Penetapan penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang dikeluarkan oleh Ketua
Pengadilan, sesuai dengan sifatnya yang sementara, dapat dilawan oleh pihak tergugat, segera
setelah penetapan itu dikeluarkan dalam bentuk surat bantahan. Ketua Pengadilan setelah menerima
surat bantahan dapat memprosesnya dengan acara yang relatif singkat, yaitu dengan 1 (satu) atau 2
(dua) kali pertemuan, kemudian dapat menolak atau mengabulkan bantahan tersebut.
Menolak berarti penetapan penundaan dipertahankan, dan mengabulkan berarti penetapan
penundaan dicabut. Apabila Majelis Hakim hendak mengabulkan bantahan tergugat, maka
pencabutan penetapan penundaan dilakukan sebelum pokok perkara diputus13
Di dalam praktiknya, ternyata juga tidak mudah untuk menjalankan isi penetapan
permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN. Ada beberapa kasus yang menunjukkan
bahwa pihak tergugat tidak mau patuh terhadap isi penetapan permohonan penundaan pelaksanaan
keputusan TUN yang telah dikeluarkan oleh pengadilan. Permohonan penundaan pelaksanaan
keputusan TUN dari penggugat dinyatakan diterima oleh pengadilan, tetapi tetap saja eksekusi
keputusan TUN dilaksanakan oleh tergugat.
Salah satu contoh kasus dari tidak mau tunduknya tergugat terhadap isi penetapan permohonan
penundaan pelaksanaan keputusan TUN adalah pada kasus gugatan Aminah Torik (penggugat)
terhadap Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bogor (tergugat).14 Kasus ini terjadi sekitar
bulan Januari 1995. Penggugat yang sudah hampir selesai pengurusan izin bangunannya (IMB),
diancam akan dibongkar dengan Surat Perintah Bongkar (SPB) dari tergugat, dengan alasan tidak
memiliki IMB. Atas ancaman pembongkaran itu, penggugat mengajukan gugatan terhadap tergugat
dan sekaligus mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan SPB kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara Bandung.
13
Lintong O. Siahaan, Prospek PTUN sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia: Studi
tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-2001 (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2005),
hlm. 233.
14
Ibid., hlm. 203-204.
11
Atas gugatan dan permohonan dari penggugat, kemudian Hakim di Pengadilan Tata Usaha
Negara Bandung, melalui Putusan Penundaan Nomor 03/PEN/PTUN-BDG/1995 tanggal 18 Januari
1995, menunda berlakunya perintah pelaksanaan pembongkaran terhadap rumah penggugat. Tetapi
kemudian, ternyata tergugat tetap tidak mau melaksanakan putusan penundaan. Bahkan tergugat
dengan sengaja menyaksikan dan memimpin sendiri pembongkaran rumah milik penggugat, dengan
mengundang juga pejabat lain untuk menyaksikannya, seperti Dandim Kodya Bogor, Kapolres
Bogor dan Ketua DPRD Kodya Bogor.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap
rechtmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini berarti suatu gugatan yang diajukan
tidak akan menunda pelaksanaan keputusan TUN yang sedang digugat. Dasar hukum
permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN adalah Pasal 67 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986. Ukuran yang dipakai pada waktu mengadakan penilaian untuk
mengabulkan atau menolak suatu permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN
yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan atau Majelis Hakim yang
bersangkutan sebenarnya masih sangat bersifat umum, karena undang-undang tidak
12
memberikan ukuran-ukuran yang terperinci. Undang-undang hanya memberikan batasan-
batasan
Berdasarkan uraian dari pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
Permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara dapat dikabulkan
apabila memenuhi syarat -syarat :
1. Adanya keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat
sangat dirugikan jika keputusan tata usaha negara yang digugat itu tetap dilaksnakan.
2. Tidak ada kepentingan umum yang di rugikan dalam rangka pembangunan yang
mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
3.2 Saran.
Pengadilan hendaknya sebelum memberikan penetapan dikabulkan atau tidaknya
permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara harus dilakukan
penilaian-penilaian disertai dengan pertimbangan-pertimbangan, baik itu dilihat dari segi
kepentingan penggugat maupun kepentingan umum, didasarkan pada pertimbangan hukum
yang benar sesuai dengan ketentuan undang-undang dan faktafakta yang obyektif.
DAFTAR PUSTAKA
13