Anda di halaman 1dari 22

BEBERAPA ASPEK

TENTANG HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA


DAN PERKEMBANGANNYA
Oleh : Sutiyono, SH., MH.
(Wakil Ketua PTUN Gorontalo)

I. PENDAHULUAN

Undang-Undang (UU) No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha


Negara (Peratun) yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986,
hingga saat ini telah mengalami dua kali perubahan pada beberapa pasal
dengan terbitnya UU No.9/2004 yang diundangkan pada tanggal 29 Maret
2004 dan UU No.51/2009 yang diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2009.
Perubahan tersebut selain untuk menyesuaikan dengan terbitnya Undang-
Undang baru tentang Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung (UU
No.4/2004 dan UU No.5/2004), juga untuk menyesuaikan dengan
perkembangan kebutuhan hukum bagi masyarakat dan kehidupan ketata-
negaraan menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Di antara beberapa perubahan yang secara langsung atau tidak


langsung berkaitan dengan hukum acara Peratun dari ketentuan UU
No.5/1986 yang diubah antara lain :
1. Di dalam UU No.9/2004 :
- Lahirnya instrument lembaga Juru Sita di PTUN (pasal 39-A s/d 39-
E);
- Perubahan rumusan tentang alasan gugatan, serta kriteria Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) dikaitkan dengan UU
No.28/1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas
dari KKN (pasal 53 ayat 2 beserta penjelasannya) ;
- Perubahan tentang tata cara eksekusi/pelaksanaan putusan (psl 116
ayat 3) ;
- Adanya upaya paksa dan sanksi administratif terhadap Pejabat
Tata Usaha Negara yang tidak melaksanakan putusan Peratun yang
telah berkekuatan hukum tetap (pasal 116 ayat 4 dan 5) ;
- Dihapuskannya perlawanan pihak ketiga (derden Verzet) terhadap
putusan PERATUN yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (ex
pasal 118 UU No.5/1986), dsb.

2. Di dalam UU No.51/2009 :
- Dibentuknya pengadilan khusus dan Hakim Ad-Hoc di lingkungan
Peratun (Pasal 9-A) ;
- Perubahan/penambahan tentang tata cara eksekusi dan upaya paksa
terhadap Pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan Peratun,
diajukan kepada Presiden dan Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat
untuk menjalankan fungsi pengawasan ( Pasal 116 ayat 6) ;
2

- Pada setiap PTUN dibentuk Pos Bantuan Hukum secara cuma-cuma


bagi pencari keadilan yang tidak mampu (Pasal 144-D) ;

Berkaitan dengan Hukum Acara Peratun, sejak tahun 2004 telah


disusun Rancangan Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan
(UU-AP) yang diprakarsai oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara. RUU-AP kini telah menjadi Undang-Undang yaitu Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administratsi Pemerintahan yang diundang
pada tanggal 17 Oktober 2014, hal ini dimaksudkan sebagai Hukum Materiil
Administrasi Negara yang menjadi kompetensi absolut Peratun, yang sedikit
banyak juga terdapat titik singgung dengan Hukum Acara Peratun.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang hal-hal tersebut, akan ditinjau


beberapa aspek Hukum Acara Peratun menurut UU No.5 Tahun 1986 yang
masih berlaku dan perubahan/perkembangannya menurut UU No.9/2004
dan UU No.51/2009, serta tinjauan singkat beberapa materi Undang-
Undang No.30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang ada
kaitannya dengan Hukum Acara Peratun.

II. CIRI-CIRI/KARAKTERISTIK HUKUM ACARA PERATUN

Proses beracara di Peratun pada prinsipnya sama dengan proses


acara perdata di Peradilan Umum, namun ada beberapa kekhususan
antara lain sbb :
1). Pengajuan gugatan dibatasi tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari
terhitung sejak Keputusan TUN yang digugat dikeluarkan/diumumkan
oleh Badan/Pejabat TUN, atau sejak diterima/diketahui oleh Penggugat
(pasal 55/temporalis) ;
2). Adanya kewajiban dilaksanakannya upaya administrasi berupa
keberatan dan banding administrasi sebelum gugatan di ajukan ke
Peradilan Tata Usaha Negara (vide Pasal 75-78 UUAP dan Perma No.
6 Tahun 2018)
3). Tuntutan di Peradilan TUN yang limitatif, dengan tuntutan Pokok batal
atau Tidak sah Surat Keputusan (obyek sengketa) pasal 53 dan
petitum yang mengekor/mengikutinya (tailing/follow it) lihat Pasal 97
ayat (8) UU Peratun;
4). Gugatan tidak menunda pelaksanaan surat keputusan Obyek sengketa
(Presumption jastice causa/ SK selalu dianggap benar sampai ada
keputusan Pembatalannya)
5). Dikenal adanya prosedur penolakan (“dismissal procedure”), yaitu
wewenang Ketua PTUN untuk memutuskan dengan Penetapan bahwa
gugatan tidak diterima karena tidak memenuhi syarat2 yang ditentukan
pasal 62 ayat (1) ;
6). Dikenal adanya Pemeriksaan Persiapan sebelum pokok sengketa
diperiksa di persidangan, untuk memperbaiki gugatan yang kurang
jelas (pasal 63);
7). Dikenal adanya 3 (tiga) Acara Pemeriksaan Perkara, yaitu :
3

a. Acara Singkat, khusus untuk pemeriksaan perlawanan terhadap


Penetapan Dismissal ( pasal 62 ayat 4) ;
b. Acara Cepat (Hakim Tunggal), apabila terdapat kepentingan
Penggugat yang cukup mendesak dan dimohonkan oleh
Penggugat (pasal 98-99);
c. Acara Biasa (Hakim Majelis), yaitu acara pemeriksaan perkara
melalui pemeriksaan persiapan ;
d. Acara sederhana dalam sengketa keterbukaan Informasi (UU
14/2008)
8). Tidak ada putusan Verstek, tetapi Hakim berwenang
memanggil
Tergugat melalui atasannya ( pasal 72) ;
9). Tidak ada gugatan balik (rekonpensi) dari Tergugat kepada
Penggugat ;
10). Sistem pembuktian yang bebas (Pasal 80 dan Pasal 107 UU
Peratun)
11). Peranan hakim aktif (dominus Litis)
12). Putusan Peradilan TUN Bersifat Erga Omnes artinya mengikat
semua pihak;
13). Putusan Peratun tidak boleh ultra petita tapi dimungkinkan
adanya reformatio in peius (membawa keadaan yang buruk bagi
Penggugat).

III. SUBYEK GUGATAN TUN


a. Penggugat
Menurut pasal 53 ayat (1) UU No.5 Tahun l986, subyek yang
dapat bertindak selaku Penggugat di dalam sengketa TUN adalah :
a) Orang (beberapa orang, masing-masing sebagai pribadi/sejumlah
orang) ; atau ahliwarisnya ;
b) Badan Hukum Perdata, yaitu setiap badan hukum swasta yang
bukan badan hukum publik. Ini dapat berupa perusahaan-
perusahaan swasta, organisasi, koperasi, yayasan maupun
perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan/Lembaga swadaya
masyarakat, Partai Politik yang dapat diwakili oleh pengurusnya
sesuai ketentuan di dalam Anggaran Dasar, dan Anggaran
Rumah Tangganya, serta Akta Pendiriannya

Dalam perkembangannya sekarang, Praktek di Pengadilan Pejabat


TUN juga dapat menjadi Penggugat untuk bertindak mewakili
instansinya, misalnya mengajukan gugatan terhadap
penerbitan/pembatalan Surat Ijin Penghunian (SIP), Surat Perintah
Pembongkaran Bangunan, Sertipikat tanah, dll sepanjang yang
menyangkut asset milik instansi pemerintah yang bersangkutan. ( Buku
II Pedoman Teknis Peratun, Edisi 2009), lihat juga Pasal 17 sampai
dengan Pasal 21 Undang-Undang No.30/2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan (khusus Pasal 21 ayat (2) huruf b)
4

b. Tergugat
Tergugat dalam sengketa TUN adalah Badan/Pejabat TUN yang
mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya
atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan
hukum perdata (Pasal 1 angka 6 jo Pasal 1 angka 12) Sedangkan
yang dimaksud dengan Badan/Pejabat TUN menurut Pasal 1 butir 2
atau Pasal 1 angka 8 adalah : “ Badan atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.

Menurut penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan


“urusan pemerintahan” ialah “kegiatan yang bersifat eksekutif”. Menurut
INDROHARTO, SH (1991) dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan
Badan/Pejabat TUN adalah “ menunjuk kepada apa saja dan siapa saja
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada
suatu saat melaksanakan urusan pemerintahan, maka pada saat ia
berbuat itu dapat dianggap sebagai badan/pejabat TUN ”. Jadi yang
menjadi kriteria bukanlah kedudukan struktural dari badan/pejabat yang
bersangkutan di dalam jajaran pemerintahan, bukan pula nama instansi
resminya, melainkan fungsi urusan pemerintahan atau pelayanan
umum (“public services”) yang dilaksanakannya pada saat ia
mengeluarkan keputusan TUN, yang dalam garis besarnya
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Instansi-instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi ;
2. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara di luar
lingkungan kekuasaan eksekutif yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan melaksanakan suatu urusan pemerintahan ;
3. Badan-badan hukum perdata, BUMN/BUMD, yang didirikan oleh
pemerintah dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan ( seperti : Perum, Perjan, Persero ) ;
4. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pihak
pemerintah dengan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan ;
5. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan.
Dalam perkembangannya, instansi-instansi seperti BUMN/BUMD,
Bank, Perguruan Tinggi Negeri/Swasta yang berubah status dari Badan
Hukum Publik menjadi Badan Hukum Perdata (Persero dan/atau
BHMN) dengan adanya Undang-Undang No.19/2003 tentang BUMN,
bukan lagi termasuk Badan Tata Usaha Negara yang dapat menjadi
Tergugat di Peratun.

c. Intervinient (pihak ketiga yang berkepentingan)


5

Diatur dalam ketentuan Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor


5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur
bahwa :
“Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang
berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh
pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan
permohonan, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam
sengketa Tata Usaha Negara dan bertindak sebagai :
a. Pihak yang membela haknya atau;
b. Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang
bersengketa”.
IV. TENTANG KUASA HUKUM DALAM SENGKETA TUN
1. Untuk menjadi kuasa di Pengadilan diharuskan dengan Kuasa Khusus
(SEMA No.6/1994). Surat kuasa khusus harus memuat secara jelas
dan rinci mengenai hal-hal yang dikuasakan dengan menyebutkan
pihak-pihak yang berperkara, keputusan TUN yang dijadikan obyek
sengketa dan tahapan pemeriksaannya. Khusus Surat Kuasa dari
Tergugat harus menyebutkan nomor perkaranya ( Pasal 57 UU
No.5/1986, Pasal 1792 KUHPerdata, SEMA No.2/1991 dan SEMA
No.6/1994) ;
2. Surat Kuasa Khusus dapat dimaksudkan sekaligus untuk berperkara
pada tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali,
asalkan disebutkan di dalam surat kuasa tersebut ;
3. Badan/Pejabat TUN (Tergugat) dapat memberi kuasa kepada :
a. Advokat ;
b. Pejabat bawahannya dengan Surat Tugas (tanpa materai) yang
diberi cap dinas dari instansi ybs.
c. Jaksa/Pengacara Negara, hanya dalam hal (perkara) yang
berkaitan dengan penyelamatan kekayaan negara dan
menegakkan kewibawaan pemerintah (Psl 27 dan 30 (2) UU
No.16/2004 tentang Kejaksaan jo Keppres No.55/1991 Psl.24).

d. Kuasa Insidentil dapat diberikan dengan Ijin (Penetapan) Ketua


Pengadilan, dengan syarat antara Si Pemberi dan Penerima Kuasa
mempunyai hubungan keluarga yang dikuatkan oleh surat keterangan
Lurah/Kepala Desa dan Camat setempat.
Kuasa yang bersifat insidentil hanya untuk satu kepentingan tertentu saja
(einmalig) yang didasarkan adanya hubungan khusus antara si pemberi
kuasa dengan si penerima kuasa, misalnya :

a. suami/isteri (105, 112, 114 KUH Perd).


b. hubungan keluarga sedarah/semenda (290-297).
c. hubungan perwalian (331-334) & pengampuan (433-461).
d. hubungan pekerjaan, baik instansi negeri/swasta ;
e. Pejabat Atasan kepada bawahannya (perintah/mandaat).
6

f. Direksi kepada pengurus yang ditentukan dalam AD/ART.


g. Buruh kepada Serikat Pekerja.
h. hubungan kepentingan/urusan bersama (1811).

e.Kuasa Substitusi.
Kuasa Substitusi adalah kuasa pengganti (limpahan) dari seorang
penerima kuasa pertama kepada penerima kuasa yg baru (1803 KUH
Perd). Kuasa substitusi dapat diberikan untuk seterusnya (permanen)
atau hanya untuk waktu tertentu saja (temporer), hal ini harus secara
jelas dicantumkan di dalam surat kuasa.

V. OBYEK GUGATAN TUN


Obyek gugatan dalam sengketa TUN adalah berupa Keputusan TUN
(beschikking). Menurut UU No.5/1986 jo UU No.9/2004 jo UU No.51/2009,
ada tiga golongan Keputusan TUN yang dapat digugat, yaitu :

1. Objek sengketa menurut UU Peratun

a. Keputusan TUN Konkrit ( Pasal 1 angka 9) :


Yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Keputusan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 9


Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara tersebut masih dibatasi oleh ketentuan Pasal 2 (UU
No. 9/2004) yaitu “Tidak termasuk dalam pengertian keputusan tata
usaha negara menurut Undang-Undang ini :
a. Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata;
b. Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum;
c. Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan
persetujuan;
d. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab
undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-
undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan tata usaha negara yang mengenai tata usaha negara
Tentara Nasional Indonesia;
7

g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di Pusat maupun di


Daerah mengenai hasil Pemilihan Umum.

Selanjutnya pengertian surat keputusan tata usaha negara yang


dapat dijadikan obyek sengketa di Peratun masih dibatasi/dipersempi
oleh ketentuan pasal 49 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang
Peratun yang mengatur :
“Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal
keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam,
atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Keputusan TUN Fiktif (Pasal 3 ayat 1) :


Yaitu Keputusan TUN yang seharusnya dikeluarkan oleh
Badan/Pejabat TUN menurut kewajibannya, tetapi ternyata tidak
dikeluarkan, sehingga menimbulkan kerugian bagi seseorang atau
badan hukum perdata.
Pasal 3 ayat (1) :
“Apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan,
sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tsb disamakan
dengan Keputusan TUN”.
Misalnya : Di bidang kepegawaian, Pejabat Atasan (PNS) yang
berwenang membuat Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3)
terhadap bawahannya untuk usulan kenaikan pangkat, apabila pada
waktu yang ditentukan tidak melaksanakan apa yang menjadi
kewajibannya, maka PNS yang merasa dirugikan dapat menggugat
atasannya tersebut berdasarkan keputusan TUN fiktif.

c. Keputusan TUN Negatif (pasal 3 ayat 2) (catt. Penulis sekedar


untuk diketahui):
Yaitu Keputusan TUN yang dimohonkan oleh seseorang atau badan
hukum perdata kepada Badan/Pejabat TUN, ternyata tidak
ditanggapi atau tidak dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang
bersangkutan, sehingga dianggap bahwa Badan/Pejabat TUN
tersebut telah mengeluarkan keputusan penolakan (Keputusan TUN
Negatif).
Pasal 3 ayat (2) :
“Jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan
yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka
Badan atau Pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak
mengeluarkan keputusan yang dimaksud”.
8

Misalnya : permohonan Sertifikat Tanah, IMB, KTP dsb., apabila


dalam jangka waktu yang ditentukan tidak dijawab/tidakditerbitkan
oleh Badan/Pejabat TUN yang berwenang, maka Badan/Pejabat
TUN ybs dapat digugat oleh si pemohon.

d. Keputusan TUN Fiktif Positif (Pasal 3 ayat 1) :


Pasca diterbitkannya Undang-Undang No. 30 tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan, terdapat pergeseran norma terhadap
ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, yang menganut rezim fiktif negatif berubah menjadi
rezim fiktif positif sebagaimana dianut Pasal 53 Undang-Undang No. 30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

Lebih lanjut pasca diundangkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020


Tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) pada pasal 175 telah merevisi
beberapa Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan diantaranya Pasal 53 yaitu dengan
meniadakan/menghapus kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara
untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa fiktif positif.

2. Objek Sengketa menurut UU No. 30 Tahun 2014 Tentang


Administrasi Pemerintahan

a. Pasal 87 UUAP

 Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;


 Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di
Lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara
negara lainnya;
 Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AAUPB;
 Bersifat final dalam arti lebih luas;
 Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum
dan/atau
 Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat

b. Pasal 21 UUAP
Pengujian Penyalah gunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan, Yang pelaksanaan hukum acaranya dipertegas
dengan Perma RI No. 4 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara
Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan wewenang.

c, Pasal 53 fiktif positif


Yang pelaksanaan hukum acaranya dipertegas dengan Perma RI
No. 8 Tahun 2017 Tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh
Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan putusan
dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan.

d. Pasal 1 angka (8) UUAP yang menentukan:


9

Tindakan factual, pengujian Tindakan badan atau pejabat


pemerintahan OOD/onrechmatige overheidsdaad (Vide Pasal 1
angka (8) UUAP yang menentukan:
Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut
Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau
Penyelenggara Negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak
melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan”.
Yang pelaksanaan hukum acaranya dipertegas dengan Perma RI. 2
tahun 2019 Tentang Pedoman Penyelesaian SengketaTindakan
Pemerintahan dan Kewenangan mengadili Perbuatan Melanggar
Hukum Oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan Onrechmatige
Overheidsdaad

3. Objek Sengketa menurut UU Sektoralnya

a. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan


Informasi Publik Jo. Perma No. 02 Tahun 2011 Tentang
Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan;
Pasal 4 ayat (1) diatur : Salah satu pihak atau Para Pihak yang tidak
menerima Putusan Komisi Informasi dapat mengajukan keberatan
secara tertulis Ke Pengadilan yang berwenang.

b. Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah


Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum jo. Perma No. 2
Tahun 2016 Tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa
Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada
Peradilan Tata Usaha Negara;

Pasal 23 UUPTBPUKU : Pengadilan Tata Usaha Negara


berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus gugatan
terhadap Penetapan Atas Lokasi Pembangunan untuk kepentingan
Umum.

c. Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua


atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang,
Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
diberi kewenangan untuk menerima, memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa TUN Pemilihan. (vide Pasal 153);

d. Mahkamah Agung RI diberi kewenangan Pasal 153 untuk


menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
Pelanggaran Administrasi Pemilihan. (vide Pasal 135 A);

e. Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum


memberikan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara
10

menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa


Proses Pemilihan Umum (vide Pasal 471);

f. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup jo. Undang-Undang No. 11 Tahun
2022 Tentang Cipta kerja, yang menentukan instrument penegakan
hukum administrasi negara di bidang lingkungan hidup, seperti Izin
Lingkungan, Izin berusaha dan lain sebagainya.

VI. ALASAN GUGATAN / DASAR PENGUJIAN KEPUTUSAN TUN :

Menurut pasal 53 ayat (2) UU No.9 Tahun 2004, alasan-alasan yang


dapat digunakan oleh Penggugat untuk mengajukan gugatan
(beroepsgronden) terhadap keputusan TUN adalah :
a). Keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan peraturan perun-
dang-undangan yang berlaku (in strijd met de wet / onwetmatige) ;
b). Keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik/AUPB (Algemeene Beginselen van Behoorlijk
Bestuur / The Principles of The Good Administration ).

Alasan gugatan tersebut di atas, juga sekaligus menjadi dasar pengujian


(toetsingsgronden) bagi Hakim TUN untuk menguji suatu keputusan TUN,
yang ruang lingkupnya dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Bertentangan Dengan Peraturan Perundangan Yang


Berlaku
Menurut penjelasan UU No.5 Tahun 1986, suatu keputusan TUN dapat
dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, apabila :
1). Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang
(bevoegdheids-gebreken). Sumber kewenangan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Atribusi adalah sumber kewenangan yang diberikan oleh Undang-
Undang kepada Badan atau pejabat tata usaha negara sebagai
penerima kewenangan atribusi untuk melaksanakan tindakan
tertentu (tanggung jawab ada pada penerima kewenangan
atribusi);
b. Delegasi adalah sumber kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang atas sebagian kewenangan yang telah diberikan
kepada penerima kewenagan atribusi kepada penerima
kewenangan delegasi untuk melaksanakan tindakan tertentu
(tanggung jawab ada pada penerima kewenangan delegasi);
c. Mandat adalah sumber kewenangan yang diberikan oleh
penerima kewenangan delegasi atas sebagian tindakan tertentu
11

kepada bawahannya atau istansi bawahannya (tanggung jawab


ada pada pemberi kewenangan);

Ruang lingkup kewenangan ini dapat berupa :


a). Ketidakwenangan materi (onbevoegdheid ratione materiale).
Yaitu apabila materi/substansi KTUN itu bukan menjadi wewenang
dari Badan/Pejabat TUN yang menerbitkannya (kompetensi
absolut).
b). Ketidakwenangan tempat/wilayah (onbevoegdheid ratione loci).
Yaitu apabila kewenangan untuk menerbitkan KTUN itu bukan
termasuk dalam wilayah hukum dari Badan/Pejabat TUN yang
menerbitkannya, melainkan termasuk kewenangan Badan/Pejabat
TUN di wilayah lain (kompetensi relatif).
c). Ketidakwenangan tentang waktu (onbevoegdheid ratione
tempori).
Yaitu apabila keputusan TUN itu diterbitkan belum atau telah lewat
waktu (kedaluarsa) dari yang ditentukan menurut peraturan yang
berlaku.
d). Ketidakwenangan Qourum (onbevoegdheid ratione courum).
Yaitu apabila badan atau Pejabat Tata Usaha negara yang
berwenang terdiri dari beberapa orang dan secara hukum
diharuskan mengambil putusan secara kolektif kolegial dengan
suara musyawarah/suara terbanyak.

2). Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perun-


dang-undangan yang bersifat prosedural/formal (vormsgebreken).
Contoh : Dalam kasus kepegawaian, sebelum keputusan
pemberhentian pegawai dikeluarkan, seharusnya pegawai ybs diberi
kesempatan untuk membela diri.
3). Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perun-
dang-undangan yang bersifat materiil/substansial (inhouds-
gebreken).
Dalam praktek, ini adalah menyangkut isi keputusan yang
bertentangan dengan peraturan dasarnya, atau dengan peraturan
yang lebih tinggi.
Contoh : Keputusan TUN tentang Izin Mendirikan Bangunan yang
tidak sesuai dengan RUTRK (bestemmingsplan), Izin Prinsip suatu
perusahaan pertambangan yang tidak sesuai dengan AMDAL,
Sertipikat Hak Atas Tanah yang tidak sesuai dengan peruntukannya
atau diterbitkan kepada orang yang salah (error in persona/error in
objecto) dsb.
Jika suatu keputusan TUN dinilai bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan baik yang bersifat formal maupun substansial,
maka keputusan tersebut dinyatakan batal.
12

b. Bertentangan Dengan Asas-Azas Umum Pemerintahan


Yang Baik

AUPB sebagai suatu doktrin adalah bersifat universal yang sudah diakui
dan diterapkan di banyak negara, dimana ada yang dirumuskan
(dikodifikasikan) secara resmi dan ada pula yang tidak dikodifikasikan.
Pada intinya, fungsi dari AUPB adalah :
1). Sebagai pedoman atau kode etik bagi Badan/ Pejabat TUN dalam
melaksanakan urusan pemerintahan (dalam rangka menerbitkan
keputusan TUN), yang tujuan akhirnya adalah demi terwujudnya
pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance) ;
2). Sebagai tolok ukur dan sekaligus alasan (beroepsgronden) bagi pihak
yang merasa dirugikan kepentingannya oleh keputusan Badan/
Pejabat TUN untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan
tersebut ;
3). Sebagai dasar atau kriteria pengujian (toetsingsgronden) bagi
pengadilan atau hakim TUN untuk menilai apakah keputusan yang
diterbitkan oleh Badan/Pejabat TUN itu telah sesuai atau tidak
dengan norma hukum dan keadilan, sehingga dapat diputuskan sah
atau tidaknya keputusan tersebut.

Di Indonesia, AUPB hingga saat ini secara resmi belum/tidak


dikodifikasikan tersendiri, namun sebagian di antaranya ada yang telah
dimuat di dalam UU No.28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas KKN (pasal 3), yang disebut dengan
Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara (AUPN). AUPN ini
kemudian diadopsi oleh UU No.9 Tahun 2004, yang terdiri dari 7 (tujuh)
asas, yaitu :
1). Asas Kepastian Hukum ( legal certainty) :
adalah asas yang mengutamakan landasan peraturan perundang-
undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan
Penyelenggara Negara ;
2). Asas Tertib Penyelenggaraan Negara (governance orderliness) :
adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan
keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara ;
3). Asas Kepentingan Umum (public service) :
adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
yang aspiratif, akomodatif dan selektif ;
4). Asas Keterbukaan (open management/fair play) :
adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif
tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara ;
5). Asas Proporsionalitas ( proportionality) :
adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban Penyelenggara Negara ;
6). Asas Profesionalitas ( professionality) :
13

adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode


etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
7). Asas Akuntabilitas (accountability) :
adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggung-
jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Selain tujuh asas AUPN (=AUPB) tersebut di atas, di dalam doktrin


administrasi negara masih terdapat AUPB lainnya yang lazim digunakan
sebagai dasar pengujian beschikking, seperti misalnya : Asas
Kecermatan (zorgvuldigheid), Asas Larangan Penyalahgunaan
Wewenang (detournement de pouvoir), Asas Larangan Bertindak Se-
wenang2 (het verbod van willekeur), dsb. ( Menurut versi Prof. Kuntjoro
Purbopranoto dan Prof. R. Crince Le Roy, ada 13 asas AUPB yang
disusun secara rinci).

Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang


Administrasi Pemerintahan pada pasal 10 ayat (1) memberikan bentuk
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu:
a. Kepastian Hukum;
b. Kemanfaatan;
c. Ketidakberpihakan;
d. Kecermatan;
e. Tidak Menyalahgunakan Kewenangan;
f. Keterbukaan;
g. Kepentingan;
h. Pelayanan Yang Baik;

VII. JENIS PENETAPAN DAN PUTUSAN PTUN

1. Penetapan Penundaan (Schorsing)


Penetapan schorsing dapat dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan atau
Majelis Hakim apabila ada permohonan dari Penggugat berdasarkan
alasan kepentingan yang mendesak, dengan memerintahkan kepada
Tergugat untuk menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang menjadi
obyek sengketa selama proses pemeriksaan sedang berjalan, sampai
ada putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(pasal 67). Ratio dari penetapan penundaan ini adalah untuk mencegah
terjadinya perubahan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan obyek
sengketa yang sedang dalam proses pemeriksaan Pengadilan, dimana
apabila Keputusan TUN yang digugat terlanjur dilaksanakan, tentu akan
mempersulit pelaksanaan putusan di kemudian hari apabila putusan
dalam perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap ;
2. Putusan Sela :
14

a). Putusan Sela tentang berwenang atau tidak berwenangnya Hakim


untuk mengadili perkara yang bersangkutan, dalam hal ada eksepsi
Tergugat mengenai kewenangan absolut atau relatif (pasal 77 ) ;
b). Putusan Sela tentang dikabulkannya atau ditolaknya permohonan
intervensi dari pihak ketiga untuk menjadi pihak dalam perkara
tersebut ( pasal 83 ) ;

3. Putusan Akhir :
Putusan akhir yang dijatuhkan oleh Pengadilan TUN dapat berupa :
a). Gugatan Ditolak.
Yaitu dalam hal syarat-syarat material gugatan tidak terpenuhi/tidak
terbukti;
b). Gugatan Dikabulkan.
Yaitu dalam hal syarat-syarat material gugatan terpenuhi/terbukti,
yang amarnya membebankan kewajiban kepada Tergugat yang
dapat berupa :
l). Pencabutan Keputusan TUN yang disengketakan ; atau
2).Pencabutan Keputusan TUN yang disengketakan dan penerbitan
Keputusan TUN yang baru ; atau
3).Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pasal 3.
c). Gugatan Tidak Diterima ( Niet Ontvankelijke Verklaard / N.O.)
Yaitu dalam hal syarat-syarat formal gugatan tidak terpenuhi.
d). Gugatan Gugur.
Yaitu dalam hal Penggugat atau Kuasanya tidak hadir di persidangan
pada hari pertama dan kedua tanpa alasan yang sah, meskipun telah
dipanggil secara patut, dimana pokok perkara belum diperiksa (pasal
71 ayat 1) ;

VIII. UPAYA HUKUM


Seperti halnya di lingkungan peradilan lain, terhadap putusan PTUN
(tingkat pertama) dapat diajukan upaya hukum Banding (pasal 122 s/d
130), Kasasi (pasal 131) dan Peninjauan Kembali/ P.K. (pasal 132 UU
No.5/1986 jo pasal 66-76 UU No.l4/l985 jo UU No.5/2004).
Khusus mengenai kasasi putusan Peratun, dengan berlakunya UU
Mahkamah Agung yang baru yaitu UU No.5 Tahun 2004 (perubahan UU
No.14/1985), terdapat ketentuan baru yang membatasi upaya kasasi untuk
perkara2 TUN tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 45-A UU
No.5/2004 yang berbunyi sbb :
(1). Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang
memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh
Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya ;
(2). Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas :
c). perkara Tata Usaha Negara yang obyek gugatannya berupa
keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di
wilayah daerah yang bersangkutan.
15

(3). Permohonan kasasi terhadap perkara sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) atau permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat2 formal,
dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan
tingkat pertama dan berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah
Agung.
(4). Penetapan ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak dapat diajukan upaya hukum.
(5). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

IX. EKSEKUSI / PELAKSANAAN PUTUSAN PERATUN


( Menurut UU No.51 Tahun 2009)
Putusan PERATUN yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yang amarnya
mengabulkan gugatan Penggugat serta membebankan kewajiban tertentu
kepada Tergugat (Badan/Pejabat TUN), yang dapat berupa :

1. Putusan Tentang Pencabutan Keputusan TUN


Dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja setelah salinan putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap diterima Tergugat, maka
Tergugat harus sudah melaksanakan isi putusan tentang pencabutan
Keputusan TUN tersebut.
Jika dalam waktu tersebut Tergugat belum atau tidak melaksanakannya
(yaitu mencabut Keputusan TUN ybs), maka Keputusan TUN itu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi (pasal 116 ayat 2 UU No.51/2009).

2. Putusan Tentang Penerbitan Keputusan TUN


Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c (yaitu
menerbitkan Keputusan TUN yang dimaksud), maka kewajiban itu harus
dilaksanakan dalam jangka waktu 90 (Sembilan puluh) hari kerja setelah
diterimanya salinan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Jika dalam jangka waktu tersebut Tergugat belum/tidak
melaksanakan kewajibannya, maka Penggugat (sebagai pihak yang
menang) dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua PTUN
agar memerintahkan Tergugat untuk melaksanakan putusan dimaksud
(Pasal 116 ayat 3 UU No.51/2009) ;

3. Putusan Rehabilitasi/Kompensasi (Khusus Sengketa Kepegawaian)


a). Rehabilitasi adalah pemulihan hak Penggugat dalam kemampuan,
kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai Pegawai Negeri Sipil
(misalnya, Penggugat adalah PNS yang diberhentikan dari jabatan
Kepala Bagian, maka putusan rehabilitasi berarti mengembalikan
pada jabatan semula sebagai Kepala Bagian).
16

b). Jika rehabilitasi tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna


(misalnya, karena jabatan yang dulunya diduduki Penggugat
ternyata sudah terlanjur diisi oleh orang lain), maka dapat dilakukan
kompensasi berupa uang atau bentuk lain sebagai pengganti
rehabilitasi yang tidak dapat dilaksanakan, dimana besarnya
kompensasi itu dapat ditentukan melalui kesepakatan bersama
antara pihak Penggugat dengan pihak Tergugat (pasal 97 ayat 11
jo pasal 117 jo pasal 121);

4. Putusan Tentang Ganti Rugi


a). Pelaksanaan putusan tentang Ganti Rugi seperti halnya rehabilitasi,
terkait dengan pelaksanaan amar putusan pokoknya (yaitu mengenai
pencabutan atau penerbitan Keputusan TUN yang disengketakan),
maka jangka waktu pelaksanaan putusan Ganti Rugi juga terkait atau
mengikuti pelaksanaan amar putusan pokoknya tersebut (pasal 130) ;
b). Pihak yang dibebani membayar Ganti Rugi :
1). Ganti Rugi yang menjadi tanggungjawab Badan TUN Pusat,
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) ;
2). Ganti Rugi yang menjadi tanggungjawab Badan TUN Daerah,
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) ;
3). Ganti Rugi yang menjadi tanggungjawab Badan TUN di luar
ketentuan di atas (misalnya : BUMN), dibebankan pada Badan
TUN yang bersangkutan (pasal 2 PP No.43 Tahun 1991 ) ;

1. Upaya Paksa dan Sanksi Administratif Bagi Pejabat TUN

Salah satu perubahan tentang ketentuan eksekusi dari Pasal 116 UU


No.5/1986 yang diubah di dalam UU No.51/2009 adalah, dalam hal
Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu yang ditentukan,
di samping dikenakan upaya paksa berupa pembayaran uang paksa,
sanksi administratif dan diumumkan di media massa, juga ditentukan
bahwa hal itu diajukan kepada Presiden dan DPR/DPRD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116 ayat (4), (5) dan (6) UU No.51/2009 :
Pasal 116 ayat (6) :
“ Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus
mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan
rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan”.
Pasal 116 ayat (7) :
17

“Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif dan


tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi
administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan”.

Dari ketentuan Pasal 116 ayat (4) dan (5) UU No.51/2009 tersebut di
atas, berarti terdapat 3 (tiga) macam sanksi yang dapat diterapkan
terhadap Pejabat TUN selaku Tergugat dalam hal tidak bersedia
mentaati atau tidak melaksanakan putusan Peratun yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, yaitu : Pembayaran Uang Paksa
(astreinte, dwangsom), Sanksi Administratif, dan Diumumkan di
Media Massa. Namun mengingat bahwa prosedur serta tatacara dari
ketiga jenis upaya paksa tersebut belum diatur dalam UU No.51/2009,
maka untuk penerapannya masih memerlukan peraturan pelaksanaan
lebih lanjut.

X. PERSIDANGAN ELEKRONIK (E’COURT)

Bahwa untuk mengupayakan Peradilan yang sederhana, cepat dan


biaya ringan sebagaimana amanat Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman maka perlu dilakukan pembaruan
administrasi dan persidangan guna mengatasi kendala dan hambatan
dalam proses penyelenggaraan peradilan, dimana ketentuan tersebut
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan layanan bagi Pengguna
Terdaftar untuk Pendaftaran Perkara secara Online, Mendapatkan
tafsiran Panjar Biaya Perkara secara online, Pembayaran secara
online, dan Panggilan yang dilakukan dengan saluran elektronik, serta
persidangan elektronik, yang dikenal dengan istilah e-Filing
(Pendaftaran Perkara Online di Pengadilan), e-Payment (Pembayaran
Panjar Biaya Perkara Online), e-Summons (Pemanggilan Pihak secara
Online), e-Litigasi (persidangan secara elektronik,

Maka yang terbaru berdasarkan Pada Perma RI No. 7 Tahun 2022


Tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun
2019 Tentang Administrasi Perkara Dan Persidangan Di Pengadilan
Secara Elektronik jo. SK KMA RI. No. 363/KMA/SK/XII/2022 Tentang
Petunjuk Teknis Administrasi Dan Persidangan Perkara Perdata,
Perdata Agama, Dan Tata Usaha Negara Di Pengadilan Secara
Elektronik , persidangan elektronik (e-court) diterapkan dengan versi
4.0. yang sudah menerapkan pengajuan upaya hukum banding dan
kasasi secara elektronik.

XII PENUTUP

Demikian uraian sekilas tentang Beberapa Aspek Hukum Acara Peratun


menurut UU No.5/1986 sebagaimana telah diubah dengan UU
No.9/2004 dan UU No.51/2009, serta tinjauan singkat materi UU No. 30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan terkait.
18

Jakarta, 15 Januari 2023

TTD

SUTIYONO, SH., MH.

BAHAN BACAAN :

1. Adriaan W. Bedner : Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia (Administrative Courts in


Indonesia, a Socio-Legal Study), Hu-Ma, Jakarta, 2010.
2. Indroharto :
- Usaha Memahami UU Tentang Peratun, cet.VI, Sinar Harapan, Jakarta, 1996 ;
- Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata , Lembaga
Penelitian & Pengembangan Hukum Administrasi Negara, Bogor-Jkt, 1995.
3. Irfan Fachruddin : Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Peme-
rintah, Alumni-Bandung, 2004.
4. Kuntjoro Purbopranoto : Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi, Alumni, Bandung, 1985.
5. Marianna Sutadi : Batas2 Kewenangan Hakim Dalam Menilai Keputusan Tata Usaha
Negara, makalah studi banding di Rijksuniversiteit Leiden, Bld, 1987.
6. Mahkamah Agung RI :
a. Himpunan PERMA, SEMA dan JUKLAK Peratun, 1996.
b. Hasil Rakernas MARI di Bandung, 2003.
c. Hasil Rakernas MARI di Semarang, 2004.
d. Hasil Rakernas MARI di Denpasar, 2005.
e. Hasil Rumusan Diskusi Temu Ilmiah HUT XII Peratun di Bandung, 2003.
f. Hasil Rumusan Diskusi Temu Ilmiah HUT XIII Peratun di Medan, 2004.
7. Paulus E. Lotulung : Himpunan Masalah Asas2 Umum Pemerintahan Yang Baik, Citra -
Aditya, Bandung, 1994.
8. Philipus M. Hadjon, et.al. :
- Pengantar Hukum Administrasi Indonesia , Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
Cet. Ke 8, 2002.
- Standard Umum Wewenang, makalah Pelatihan Hakim TUN di Malang, 2000.
- Pelaksanaan Otonomi Daerah Berkaitan Dengan Perizinan Yang Rawan Gugatan ,
makalah pada Temu Ilmiah HUT XIII Peratun tgl.12-01-2004 di Medan.
9. Priyatmanto Abdoellah :
- Sengketa TUN Di Bidang Perizinan dan Kepegawaian Di Era Otonomi Daerah, makalah
Dalam Santiaji Politik Bagi Aparatur Pem. Kab. Badung, tgl.3-3-2004 di Denpasar ;
- Beberapa Aspek Tentang Peratun, makalah pada Diklat Calon Advokat DPD-AAI
Denpasar dan DPD-IPHI Denpasar Angkatan I Tahun 2005 ;
- Eksekusi dan Peninjauan Kembali Putusan Peratun , makalah Bimbingan Tehnis
Penyelesaian Sengketa Hukum oleh Pem.Prov.Bali, tgl 23-25 Agustus 2005 di Denpasar ;
- Penanganan Perkara Bidang Pemerintahan di P TUN, makalah Penyuluhan Hukum
Dep. Pekerjaan Umum tgl 21-23 September 2005 di Denpasar.
- Pembatasan Obyek Sengketa di Peratun dan Perkembangannya Menyongsong
Berlakunya RUU Administrasi Pemerintahan (Makalah Rakerda TUN di Makassar, 2009).
19

10. Prins, W.F. : Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Walters-Groningen, Jakarta, 1950.
11. Syachran Basah : Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,
Alumni, Bandung, 1989.
12. S.F. Marbun : Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, 1988.
13. --------------- : Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi Di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1997.
14. Utrecht, E : Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Penerbitan dan Balai Buku
Indonesia, Jakarta, 1957.
15. Van Der Burg dan Burken : Administratieve Rechtspraak in Indonesie ( terj. Indroharto),
dalam Buku Kumpulan Hasil Terjemahan Bidang Peradilan Tata Usaha, Mahkamah
Agung RI, 1995.

BEBERAPA ASPEK HUKUM ACARA


PERADILAN TATA USAHA NEGARA
DAN PERKEMBANGANNYA
MENURUT UU No.5/1986 jo UU No.9/2004 jo UU No.51/2009
SERTA UU-ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

MATERI KULIAH
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Di Fakultas Syariah & Hukum
Universitas Islam Negeri “Sunan Gunung Djati”
Bandung
--- o0o ---

Oleh :
Sutiyono, SH.MH.

BANDUNG
2015
20

JAWABAN TERGUGAT/TERGUGAT II INTERVENSI

Pasal 74 UU.No.5/1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 juga memberi kesempatan kepada
Tergugat untuk mengajukan jawaban atas gugatan berikut memberikan penjelasan
tetang jawabannya tersebut,

Suatu jawaban biasanya berisi 3 (tiga) hal, yaitu:


a. Tentang Eksepsi.
Eksepsi adalah tangkisan hal-hal di luar pokok perkara, sehingga gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima. Eksepsi dalam perkara Tata Usaha Negara diatur
dalam Pasal 77 UU No. 5/1986 Jo. VU No. 9 Tahun 2004 terdiri dari:

1. Kompetensi Absolut.
Yakni eksepsi/tangkisan berkaitan dengan kewenangan pengadilan antar
badan peradilan, dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan berjalan.
bahkan meskipun tidak diajukan, Pengadilan/Hakim karena jabatannya wajib
untuk memeriksanya dan menyatakan tidak berwenang mengadili perkara.
2. Kompetensi Relatif
Yakni eksepsi/tangkisan yang berkaitan dengan kewenangan pengadilan dalam
satu peradilan, diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok perkara.
Eksepsi ini .harus diputus sebelum pokok perkara diperiksa. Jadi untuk itu
pengadilan terlebih dahulu harus mengambil sikap dengan putusan sela.
3. Eksepsi lain-lain
Yakni eksepsi/tangkisan mengenai hal-hal kekurangan/kesalahan formil dalam
pembuatan gugatan, misalnya : : Penggugat tidak berkualitas sebagai
Penggugat, gugatan bukan objek TUN, Identitas para pihak tidak lengkap,
gugatan kabur (abscuur lebelum), Gugatan telah daluwarsa, gugatan Nebis In
Idem dll. Eksepsi relatif ini tidak terbatas, asal merupakan kelemahan dari
gugatan diajukan sebagai eksepsi lain-lain.
21

b. Tentang Jawaban Pokok Perkara.


Setelah mengemukakan eksepsi (tangkisan) selanjutnya disampaikan jawaban
terhadap pokok perkara (Pasal 74 ayat 1 UUNo. 5) 1986 3o VU No. 9 Tahun 2004).
Suatu jawanban biasanya berisikan, antara lain ;

i. Bantahan mengenai pengingkaran terhadap apa yang dikemukakan Penggugat


dalam dalil-dalil gugatannya. Khususnya mengenai kewenangan Tergugat
dalam menerbitkan obyek sengketa. Misalnya dalil gugatan mengatakan
Tergugat tidak berwenang dalam menerbitkan obyek sengketa, maka dalam
jawaban didalilkan sebaliknya bahwa Tergugat berwenang menerbitkan obyek
sengketa, tentunya dengan menunjuk ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
ii. Bantahan mengenai pengingkaran terhadap apa yang dikemukakan
Penggugat dalam dalil-dalil gugatannya. Khususnya mengenai prosedur
penerbitan obyek sengketa. Misalnya dalil gugatan mengatakan Tergugat tidak
prosedural dalam menerbitkan obyek sengketa, maka dalam jawaban Tergugat
didalilkan sebaliknya bahwa Tergugat telah prosedural dalam menerbitkan
obyek sengketa, tentunya dengan menunjuk ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
iii. Bantahan mengenai pengingkaran terhadap apa yang dikemukakan Penggugat
dalam dalil-dalil gugatannya. Khususnya mengenai substansi penerbitan obyek
sengketa. Misalnya dalil gugatan mengatakan Tergugat substansi menerbitkan
obyek sengketa terdapat kekeliruan, maka dalam jawaban Tergugat didalilkan
sebaliknya bahwa Tergugat secara substansial dalam menerbitkan obyek
sengketa, tentunya dengan menunjuk ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

c.Petitum
Hal-hal yang diminta oleh Tergugat, tentunya permintaan yang bertolak belakang
dengan permintaan/petitum Penggugat.

Cara menjawab ini agar mudah dilakukandan dimengeri sebaiknya diuraikan dengan
jalan mengikuti poin-poin gugatan. Adapula dalam menjawab terlebih dahulu
mengulang dalil gugatan yang hendak dijawabnya terlebih dahulu, baru kemudian
memberikan dalil-dalil jawabannya. Namun guna menghemat waktu dan tenaga serta
pikiran lebih baik langsung memberikan poin-poin jawaban saja.
Dalam mengemukakan jawaban harus dipertimbangkan, apakah jawaban tersebut
menguntungkan kedudukan Tergugat atau merugikan. Kalau merugikan tidak perlu
dikemukakan. Jawaban hendaklah disusun secara singkat, jelas dan tidak mendua arti.
Pergunakanlah bahasa hukum yang sederhana, mudah dimengerti dan singkat
(explanent, informatif, dan legal resioning masuk diakal).
Untuk mendukung dalil-dalil bantahan dapat dipergunakan sumber-sumber peraturan
perundang-undangan, Asas-asas umum pemerintahan yang baik, kepustakaan,
yurisprudensi, doktrin, kebiasaan-kebiasaan, dan lain-lain.
22

Anda mungkin juga menyukai