Anda di halaman 1dari 13

PTUN

KOMPETENSI ABSOLUT PERATUN


§ Kompetensi absolut pengadilan adalah kewenangan badan pengadilan dalam memeriksa dan
mengadili jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa dan diadili oleh
badan pengadilan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku..
§ Sedangkan ketentuan Pasal 51, kompetensi absolut Pengadilan Tinggi TUN adalah:
1. Memeriksa dan memutus sengketa TUN ditingkat banding;
2. Memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili
antar Pengadilan TUN di wilayah hukumnya;
3. Memeriksa serta memutus sengketa TUN (dlm Tk. I) sebagaimana dimaksud Pasal 48 UU
Peratun.
KOMPETENSI RELATIF PTUN
ü Kompetensi relatif pengadilan adalah kewenangan mengadili antar pengadilan yang setingkat
dalam satu lingkungan peradilan. Kompetensi relatif ini menunjukkan pada Pengadilan TUN
manakah yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa
TUN.
ü Pada prinsipnya Kompetensi Relatif PTUN didasarkan pada asas actor sequitur forum rei,
pada prinsipnya gugatan diajukan di PTUN tempat kediaman Tergugat dengan pengecualian
diatur dalam Pasal 54.
PERUBAHAN KOMPETENSI PERATUN MENYANGKUT HAL-HAL BERIKUT:
1. Perluasan Pemaknaan Keputusan TUN (Pasal 1 angka 7 UU AP);
2. Kompetensi PERATUN thd tindakan administrasi pemerintahan / tindakan faktual pejabat
TUN (Pasal 1 angka 8 UU AP);
3. Kompetensi PERATUN thd pengujian tentang ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang
dlm Keputusan Tata Usaha Negara (Pasal 21 UU AP);
4. Kompetensi PERATUN untuk mengadili/mengabulkan tuntutan ganti rugi, tanpa pembatasan
jumlah tertentu;
5. Kompetensi PERATUN Tingkat I utk mengadili Gugatan Pasca Upaya Administratif;
6. Kompetensi PERATUN utk memutuskan obyek Keputusan “Fiktif Positif” (Pasal 53 UU
AP).
1. KOMPETENSI PERATUN UTK MEMUTUSKAN THD OBJEK KEPUTUSAN
FIKTIF POSITIF
- Keputusan Fiktif Positif adalah:
keputusan yg merupakan anggapan bhw Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan telah
menerbitkan keputusan yang bersifat mengabulkan permohonan, dikarenakan tdk
ditanggapinya permohonan yg diajukan oleh pemohon smp dgn batas waktu yg
ditentukan atau apabila tidak ditentukan telah lewat 10 hari setelah permohonan yg sudah
lengkap diterima.
- Ketentuan dlm UU AP tersebut berbeda dgn ketentuan psl 3 UU PERATUN yg menganut
rezim “fiktif negatif”, artinya: PERATUN berwenang mengadili gugatan thdp sikap diam
Badan/Pejabat TUN yg tidak menerbitkan keputusan yang dimohonkan atau yg menjadi
kewajibannya, sikap diam mana adalah dipersamakan sebagai Keputusan Penolakan
(Keputusan Fiktif Negatif)
- Brdsrkn Psl 53 UU AP, Apabila dlm batas waktu sbgmn ditentukan Undang-undang, Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan tdk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan atau
tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.
PENUTUP
Pasal 87 UU No.30/2014 ttg Administrasi Pemerintahan:
Dengan berlakunya UU ini, KTUN sebagaimana dimaksud dlm UU 5/1986 ttg Peradilan
Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dgn UU 9/2004 dan UU 51/2009, harus
dimaknai sebagai:
a. Penetapan tertulis yg juga mencakup tindakan faktual
b. Keputusan Bdn dan/atau Pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
penyelenggara lainnya;
c. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan & AUPB
d. Bersifat final dalam artian lebih luas
e. Keputusan yg berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yg berlaku bagi Warga Masyarakat.

INTERVENSI DALAM HUKUM ACARA PERADILAN TUN DAN HUKUM ACARA


PERDATA
- INTERVENSI DALAM PERATUN : (Pasal 83 UU No.5 tahun 1986)
Adalah ikut serta atau diikutsertakan pihak ketiga berupa perorangan atau badan hukum
perdata yang berada di luar pihak berperkara dalam proses pemeriksaan perkara.
Intervensi dimungkinkan sebelum acara pembuktian (paling lambat saat duplik), dengan kata
lain bilamana intervensi diajukan saat duplik maka intervensi dianggap batal
MOTIVASI MASUKNYA PIHAK KETIGA DALAM PROSES PERADILAN TUN
Pasal 83 UU PERATUN memberikan beberapa kemungkinan motivasi masuknya pihak
ketiga dlm Proses PERATUN:
1. Masuknya pihak ketiga atas kemauan pihak ketiga sendiri;
2. Masuknya pihak ketiga atas permintaan salah satu pihak (Penggugat atau Tergugat);
3. Masuknya pihak ketiga atas prakarsa hakim. (Intervensi Khusus)
- INTERVENSI DALAM HUKUM ACARA PERDATA
1. Vrijwaring atau Penjaminan, terjadi apabila di dlm suatu pemeriksaan perkara perdata
oleh pengadilan, di luar kedua belah pihak yg berperkara ada pihak ketiga yang ditarik
masuk dalam perkara tsb. Pihak tergugat dlm jawabannya secara lisan /tertulis mohon
kpd majelis hakim agar diperkenankan utk memanggil seseorang sebagai pihak yang
turut berperkara dlm perkara yang sedang diperiksa untuk melindungi tergugat.
2. Tussenkomt atau pencampuran pihak ketiga atas kemauan sendiri utk ikut dalam proses,
dimana pihak ketiga tersebut tidak memihak penggugat maupun tergugat, melainkan
hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri.
3. Voeging atau penggabungan pihak ketiga yang merasa berkepentingan, lalu mengajukan
permohonan kepada majelis agar diperkenankan mencampuri proses tersebut dan
menyatakan ingin menggabungkan diri kepada salah satu pihak (penggugat atau tergugat)
- PERSAMAAN dan PERBEDAAN INTERVENSI DLM HKM ACARA TUN & HKM
ACARA PERDATA
Sebagaimana tsb diatas tadi bhw Pasal 83 UU PERATUN menegaskan macam-macam
intervensi dlm hukum acara PERATUN:
1. Masuknya pihak ketiga atas kemauan pihak ketiga sendiri;
Dlm hal ini pihak ketiga dengan kemauannnya sendiri dpt mengajukan permohonan kpd
pengadilan untuk ikut serta dlm proses pemeriksaan sengketa TUN yg sedang berjalan,
guna mempertahankan dan atau membela hak & kepentingannya sendiri agar ia jangan
sampai dirugikan oleh putusan pengadilan (Dlm hukum acara perdata hal seperti ini
dinamakan (Tussenkom)
2. Masuknya pihak ketiga atas permintaan salah satu pihak (Penggugat atau Tergugat)
Ikut sertanya pihak ketiga dlm proses pemeriksaan sengketa TUN yg sedang berjalan
adalah atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa. Permohonan diajukan oleh
pihak yang berkepentingan kepeda pengadilan, agar pihak ketiga yang dimaksud
diikutsertakan dalam proses pemeriksaan sengketa TUN yang sedang berjalan utk
bergabung dengan salah satu pihak guna memperkuat posisi pihak yang memohon.
(Dalam hukum acara perdata hal seperti ini dinamakan voeging)
3. Masuknya pihak ketiga atas prakarsa Hakim (Intervensi Khusus)
Masuknya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan sengketa TUN yang sedang berjalan
adalah atas prakarsa Hakim yang memeriksa sengketa tersebut. Sifat khusus dari
intervensi ini adalah karena ikut sertanya pihak ketiga dalam sengketa yang sedang
berjalan adalah atas perintah hakim, guna mempermudah penyelesaian sengketa yang
bersangkutan.
Hal yang seperti ini tidak ada dalam ketentuan hukum acara perdata. Hal inilah yang
memberdakan intervensi di dalam hukum acara TUN dan hukum acara perdata)
KOMPETENSI PTUN mengadili objek sengketa gugatan CLS
Gugatan citizen Lawsuit (ClS)
• Gugatan warga negara (citizen lawsuit) merupakan bentuk gugatan dimana setiap masyarakat
suatu negara diberikan hak untuk mengajukan gugatan, terhadap perbuatan pejabat
pemerintahan yang melanggar hukum publik.
• Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan, objek yang menjadi sengketa gugatan warga negara acap kali diasosiasikan
sebagai kewenengan dari Peradilan Umum karena dasar hukumnya merupakan Perbuatan
Melawan Hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
• Setelah undang-undang AP maka objek sengketa gugatan warga negara, yakni perbuatan
melawan hukum badan dan/atau pejabat pemerintahan menjadi di bawah kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara.
• Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Adminsitrasi
Pemerintahan (UU AP), ketentuan dalam mengadili sengketa tersebut beralih menjadi
kewenangan absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN). Peralihan tersebut
pun ditegaskan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 dan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 (PERMA 2 Tahun 2019).
• Secara umum, dalam PERATUN kedudukan hukum pengajuan gugatan ditentukan
dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Uasaha
Negara (UU PERATUN) sebagaimana telah diubah sebanyak 2 (dua) kali. Pasal tersebut
dapat dikatakan menentukan bahwa penggugat merupakan pihak yang secara langsung
memiliki kepentingan dan terhadapnya timbul kerugikan (poin d’interest poin d’action).
Ketentuan demikian jelas secara teoritis tidak sejalan dengan konsep gugatan warga
negara yang mengharapkan bahwa kedudukan hukum bagi penggugat dapat didasari pada
kepentingan yang lebih bersifat umum atau publik.
Dengan demikian cara seperti apakah yang dapat ditempuh untuk mengelaborasikan
perbedaan konsep kepentingan antara ketentuan di UU PERATUN beserta perubahannya
dengan gugatan warga negara ?
• PERMA 2 Tahun 2019 menentukan mengenai tata beracara terkait penyelesaian
sengketa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan dan/atau pejabat
pemerintahan. Pada PERMA tersebut telah dirumuskan ketentuan mengenai syarat atau
kedudukan hukum seorang penggugat untuk dapat mengajukan gugatan perbuatan
melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
• Pasal 3 PERMA 2 Tahun 2019 yang menentukan bahwa warga masyarakat
dimungkinkan untuk mengajukan gugatan tindakan pemerintah dengan alasan bahwa
tindakan pemerintah yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
dan bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik. Adapun terminologi
‘warga masyarakat’ diartikan sebagai seseorang atau badan hukum perdata yang terkait
dengan tindakan pemerintah, sedangkan terminologi ‘tindakan pemerintah’ diartikan
sebagai perbuatan pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainya untuk
melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaran
pemerintahan.
• Dari ketentuan mengenai kedudukan hukum penguggat dalam Pasal 3 PERMA 2 Tahun
2019 tersebut dapat ditarik benang merah yang menghubungkannya dengan kedudukan
hukum gugatan warga negara. Dalam hal ini frasa ‘warga masyarakat’ memang
dilimitasi hanya kepada pihak yang terkait dengan tindakan pemerintah. Akan tetapi
karena tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai makna dari kata terikat, maka
sepanjang penggugat dapat menghubungkan dan mencari keterkaitan baik secara langsung
ataupun tidak langsung dengan tindakan pemerintah, penggugat telah memiliki
kedudukan hukum.
Subjek dan Objek Sengketa Gugatan Warga Negara (citizen lawsuit)
• PERMA No. 2 Tahun 2019 tentang tata beracara penyelesaian sengketa perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, sebagai berikut:
1. Subjek Sengketa
Pasal 1 angka 6 dan 7 PERMA 2 Tahun 2019 pihak Penggugat diartikan sebagai
warga masyarakat yang kepentingannya dirugikan oleh tindakan pemerintahan,
sedangkan Tergugat merupakan pejabat pemerintah atau penyelenggara negara
yang tindakannya dalam penyelenggaraan negara digugat. (Dalam konsep tersebut
Penggugat hanyalah warga masyarakat yang kepentingannya dirugikan akibat
tindakan pemerintah)
Lalu bagaimana terhadap gugatan warga negara dimungkinkan bagi siapapun untuk
bertindak sebagai penggugat mewakili kepentingan umum (Gugatan Citizen Lawsuit) ?
Pasal 3 PERMA 2 Tahun 2019, yang diberikan kewenangan untuk mengajukan
gugatan adalah warga masyarakat, bukan penggugat. Dalam hal ini term warga
masyarakat dengan penggugat memiliki pengartian yang cukup berbeda. Term warga
masyarakat semata mencakup seseorang atau badan hukum yang terkait tindakan
pemerintah, sedangkan term penggugat termasuk pula cakupan warga masyarakat
namun dengan tambahan memiliki kepentingan yang dirugikan akibat tindakan
pemerintah. Oleh karena itu, maka untuk mengajukan gugatan terhadap tindakan
pemerintah yang bersifat melawan hukum, hanya perlu didasari atas keterkaitan
antara pengaju gugatan dengan tindakan pemerintah tersebut tanpa perlu dilandasi
kepentingan yang dirugikan. Dengan tidak adanya landasan kepentingan yang
dirugikan, menjadikan dimungkinkan bagi siapa saja (orang ataupun badan hukum
perdata) untuk mengajukan gugatan selama dapat menghubungkan keterkaitannya
dengan tindakan pemerintah yang melawan. Bentuk pengajuan yang demikian maka
dapat dikatakan telah sesuai dengan konsep gugatan warga negara (citizen lawsuit)
yang memungkinkan pengajuan gugatan bagi siapa saja, terhadap perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
2. Objek sengketa
Dalam ketentuan UU AP perbuatan melawan hukum badan dan/atau pejabat
pemerintahan termasuk kategori sengketa administrasi pemerintahan. Sengketa
tersebut merupakan sengketa yang timbul dalam ranah administrasi pemerintahaan
yang berkenaan dengan akibat dari dikeluarkannya keputusan dan/atau dilakukannya
tindakan pemerintah berdasarkan hukum publik.
Pasal 3 PERMA 2 Tahun 2019 yang mana menentukan bahwa pengajuan gugatan
tindakan pemerintah haruslah dilandasi oleh tindakan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan dan AUPB. Dari rumusan ketentuan tersebut maka
dapat dipahami antara tindakan pemerintah yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan dan bertentangan dengan AUPB. Dalam hal ini maka penggugat
dalam gugatan warga negara haruslah mampu membuktikan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam rangka penyelenggaraan
negara, telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan juga AUPB.
- KESIMPULAN :
Pengaju gugatan warga negara (cls) atas perbuatan melawan hukum badan dan/atau
pejabat pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara (onrechtmatig overheisdaad)
dapat dikatakan memiliki kedudukan hukum. Dalam hal ini kedudukan hukum gugatan
warga negara tidaklah didasari atas keterkaitan langsung ataupun kerugian langsung yang
dialami oleh pengaju gugatan, melainkan didasari oleh keterkaitan langsung atau kerugian
tidak langsung akibat perbuatan melawan hukum badan badan dan/atau pejabat pemerintah
dalam rangka penyelenggaraan negara. Kedudukan hukum yang demikian didasari atas dasar
penafsiran terhadap frasa ‘warga masyarakat’ dalam PERMA 2 Tahun 2019, yang mana
frasa ‘warga masyarakat’ dipandang sebagai pihak yang terkait dengan tindakan
pemerintah. Bahwa dapat dikatakan dengan PERMA 2 Tahun 2019, pengajuan gugatan
warga negara terhadap perbuatan melawan hukum badan dan/atau pejabat pemerintah telah
memiliki legalitas. Peraturan tersebut merupakan hukum acara yang secara khusus mengatur
mengenai proses peradilan terhadap perbuatan melawan hukum badan dan/atau pejabat
pemerintahan di lingkup PERATUN. Keberadaan PERMA ini pun juga dapat dikatakan
mengakomodasi gugatan warga negara yang mana sebelumnya ketika dibawah lingkup
Peradilan Umum belum memiliki landasan pengajuan yang jelas

PENILAIAN UNSUR PENYALAHGUNAAN WEWENANG DI PENGADILAN TATA


USAHA NEGARA
Dasar Hukum
— Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986;
— Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
— Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa
Informasi Publik di Pengadilan;
OBJEK PERMOHONAN
Keputusan dan/atau tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang diduga terdapat unsur
penyalahgunaan wewenang.
KEWENANGAN PENGADILAN
— Pengadilan berwenang menerima, memeriksa dan memutus permohonan ada atau tidak ada
penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan
sebelum adanya proses pidana.
— Pengadilan baru berwenang menerima, memeriksa dan memutus permohonan ada atau tidak
ada penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan
setelah adanya hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah.
— Permohonan diajukan kepada Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat
kedudukan pejabat pemerintahan yang menerbitkan keputusan dan/atau melakukan tindakan
(kompetensi relatif).
PIHAK DALAM PERMOHONAN
— Pemohon adalah Badan dan/atau Pejabat pemerintahan yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah dan karenanya
mengajukan permohonan kepada pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar keputusan
dan/atau tindakan dinyatakan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang.
— Uraian yang menjadi dasar pemohon, meliputi :
kewenangan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Perma Nomor 4 Tahun
2015;
kedudukan hukum pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Perma Nomor 4 tahun
2015;
alasan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 dan/atau
Pasal 24 UU No. 30 Tahun 2014 diuraikan secara jelas dan rinci
— Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonon:
Dalam hal pemohon badan pemerintahan:
1)  Mengabulkan Permohonan Pemohon seluruhnya;
2)  Menyatakan Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan ada unsur
penyalahgunaan Wewenang;
3)  Menyatakan batal atau tidak sah keputusan dan/atau tindaka pejabat pemerintahan.
Dalam hal pemohon pejabat pemerintahan:
1)  Mengabulkan Permohonan Pemohon seluruhnya ;
2)  Menyatakan Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan tidak ada unsur
penyalahgunaan Wewenang;
3)  Memerintahkan kepada Negara untuk mengembalikan kepada Pemohon uang yang
telah dibayar, dalam hal Pemohon telah mengembalikan kerugian Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 Ayat (4) dan Ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.
3. Dalam hal permohonan diwakili oleh kuasanya, identitas pemohon dalam permohonan
diuraikan terlebih dahulu diikuti identitas kuasanya.
4.  Permohonan ditanda tangani oleh pemohon atau kuasanya.
5. Permohonan yang diajukan kuasa hukum wajib dilampiri surat kuasa khusus bermeterai
cukup, fotokopi kartu advokat, fotokopi berita acara sumpah advokat dan fotokopi kartu tanda
penduduk.

TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN


1. Permohonan dibuat paling sedikit rangkap 5 (lima), salah satu diantaranya asli dan selebihnya
salinan atau fotokopi.
2.Permohonan selain diajukan dalam bentuk tertulis juga diajukan dalam format digital (soft file)
yang disimpan secara elektronik dalam compact disk (CD) atau yang serupa dengan itu.
3.Permohonan diajukan kepada Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan
pejabat pemerintahan yang menerbitkan keputusan dan/atau melakukan tindakan melalui
Kepaniteraan (Meja I).
4.Dalam hal pemohon berkedudukan atau berada di luar negeri, permohonan diajukan kepada
Pengadilan TUN Jakarta.
5.  Panitera wajib melakukan penilitian administrasi permohonan dan memeriksa kelengkapan
alat bukti permohonan yang bermeterai cukup (khusus alat bukti surat), guna mendukung
permohonan, sekurang-kurangnya berupa:
a) Bukti yang berkaitan dengan identitas Pemohon:
Dalam  hal Pemohon badan pemerintahan: fotokopi keputusan dan/atau peraturan perundang-
undangan tentang pembentukan badan pemerintah yang bersangkutan ;
Dalam hal Pemohon pejabat pemerintahan: fotokopi kartu tanda penduduk atau identitas lain
yang sah, keputusan pengangkatan jabatan Pemohon pada saat penerbitan keputusan dan/atau
tindakan yang dinilai
b) Fotokopi keputusan yang dimohonkan penilaian dan hasil pengawasan aparat intern
pemerintah (APIP) serta fotokopi bukti surat atau tulisan lain yang berkaitan dengan alasan
permohonan.
c) Daftar calon saksi dan/atau ahli dalam hal Pemohon bermaksud mengajukan saksi dan/atau
ahli.
d) Bukti-bukti lain yang berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik bila dipandang
perlu.
6.Dalam hal berkas permohonan dinilai lengkap, berkas permohonan dinyatakan diterima dengan
memberikan tanda terima berkas setelah panjar biaya perkara dibayarkan melalui bank yang
ditunjuk untuk itu atau melalui mesin EDC (mesin gesek kartu debit/kredit) yang tersedia;

7.Apabila pemohonan dinilai belum lengkap, Panitera memberitahukan kepada Pemohon tentang
kelengkapan permohonan yang harus dilengkapi dan Pemohon wajib melengkapinya dalam
waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan berkas belum lengkap.
8.Dalam hal kelengkapan permohonan tidak dipenuhi, maka Panitera mengembalikan berkas
permohonan kepada Pemohon dan menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak diregistrasi
dalam buku register perkara disertai dengan pengembalian berkas permohonan.
9.Permohonan dapat diajukan kembali dengan permohonan baru disertai dengan kelengkapan
permohonan.
10.Permohonan yang sudah lengkap dan memenuhi persyaratan dicatat dalam Buku Register
Perkara dan diberi nomor perkara dengan kode penomoran.
11. Panitera memberikan akta sebagai bukti pencatatan permohonan.
12.Dalam permohonan yang telah diregister kemudian dicabut, maka Panitera menerbitkan Akta
Pencabutan Permohonan dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian
berkas.
ALUR PEMERIKSAAN
1.Panggilan sidang pertama disertai dengan :
— Penetapan  Hakim Ketua Majelis yang membuat jadwal persidangan;
— Perintah bagi Pemohon untuk melengkapi bukti-bukti lain;
— Perintah untuk mempersiapkan saksi dan/atau ahli yang akan diajukan dalam persidangan
sesuai jadwal persidangan yang telah ditetapkan, dalam hal pemohon bermaksud mengajukan
saksi dan/atau ahli
2.Pemeriksaan persidangan dilakukan tanpa melalui proses dismissal dan pemeriksaan persiapan.
3.Pemeriksaan sidang terdiri dari: pemeriksaan pokok permohonan; pemeriksaan bukti surat atau
tulisan; mendengar keterangan saksi; mendengar keterangan ahli; pemeriksaan alat-alat bukti lain
yang berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik.
4.Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara dalam tenggang waktu 14 (empat belas hari) kerja setetah putusan dibacakan
atau diberitahukan secara sah.
5. PutusanPengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bersifat final dan mengikat.

SURAT KUASA KHUSUS

Yang bertanda tangan di bawah ini:


ANDY, Kewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan / Jabatan Direktur U-tama dalam hal ini bertindak untuk dan
atas nama dan selaku Direktur Utama dari PT. Asia Jaya berkedudukan di Surabaya,
JI. Thamrin No. 52, RT 12, Kelurahan Surabaya Barat,
maran
Surabaya Barat, Surabaya, Surabaya Barat 20122, bel
Pernyataan Keputusan Direksi PT Avia Jaya No. 73 Tauggal 27 April
z022 dibuat dihadapan Hasnah Narution, 6. H., M. Kn. Notaris di Surabaya dan Ijin Pendivian Nomar 6
tanggal 5 Februari 2022 dibuat di hadapan Awin, s.H., M.kn. Notario di Surabaya yang telah mendapat
pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM No. F. 21843 JT 02.08. TH
88 tanggal 29 Februari 2022 selanjutnya disebut sebagai PEMBERI KUASA

Dalam hal ini telah memilih domisili hukum di kantor kuasanya di bawah ini, dengan ini memberikan kuasa
sepenuhnya baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-cama kepada:
1. Nicole, S.H. M.Hum.
2. Miryam, S.H.

Kewarganegaraan Indonesia, para Advokat dari Kantor Advokat Pengacara NICOLE - MIRYAM, beralamat
Kantor di Tempua No.52, Surabaya 21222, INDONESIA delangutnya didebut sebagni PENERIMA
KUASA

KHUSUS
Bertindak untuk dan atas nama serta mewakili PEMBERI KUASA, sebagai penggugat untuk mengajukan
gugatan dalam perkara Tata Usaha Negara melalui Pengadilan
TUN Surabaya melawan Wali kota Surabaya berkedudukan  di Jalan Beo, Surabaya, Surabaya Barat, sebagni
TERGÜGAT , untuk melakukan pencabutan izin pendirian  Nomor: 27/530 / KP-EP/AGE-V/111/2032 tentang
pemberian kuasa Pertambangan elsploitasi tanggal 10 Maret 2022 atas nama PT
Maju Berani di Wilayah Gurabay- Timur.
Untuk keperluan tsb,  penerima kuasa diberi hak termasuk untuk menyampailan bukti dan saksi sehubungan
dgn perkara yg di maksud menurut UU.

Surabaya. 20 Mel 2022 


Pemberi kuasa
ANDY
Penerima kuasa
Aun
Nicole; 5. H., M.Hum
Miryaw, SH.

UUPTUN
Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara
atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah
ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.

(Pasal 1 angka 7)
Terkandung unsur :
1.  Ketetapan tertulis
2.  Dikeluarkan oleh  Badan dan /atau Pejabat Pemerintahan.
3. Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan.
perluasan makna keputusan tun
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha
negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata
usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pasal 1 butir 1
Kompetensi Peradilan TUN
Kompetensi TUN mengenai penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Pejabat pemerintahan
tidak diatur

UU AP
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.

(Pasal 1 angka 9)
Ketentuan tersebut mengandung unsur :
1. Penetapan tertulis.
2. Diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata usaha Negara
3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara,
4. Bersifat konkrit,
5. Individual dan
6. Final
7. Menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata
Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan adalah
perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan
dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan. Pasal 1 butir 8
Pasal 21 UU AP.

“(1)   Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan     ada


atau    tidak   ada    unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan.
(2)    Badan dan/atau   Pejabat
Pemerintahan   dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada
atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan.”

Anda mungkin juga menyukai