Anda di halaman 1dari 45

HUKUM ACARA

PERADILAN TATA
USAHA NEGARA
DR. H. AJI SUDARMAJI, S.H., M.H.
GUGATAN
A. PENGERTIAN GUGATAN
Secara yuridis formal, gugatan yang berkaitan
dengan sengketa Tata Usaha Negara telah
dirumuskan dalam Pasal 1 angka 11 Undang
Undang No.51/2009 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara yang menyebutkan: Gugatan
adalah permohonan yang berisi tuntutan
terhadap badan atau pejabat tata usaha
negara dan diajukan ke pengadilan untuk
mendapatkan putusan.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut, maka unsur-
unsur suatu gugatan harus memenuhi:
a. Permohonan;
b. Ada tuntutan (petitum) atau hal-hal yang
diminta (diinginkan) untuk diputus;
c. Badan atau Pejabat TUN;
d. Diajukan ke pengadilan (PTUN);
e. Adanya putusan (yang diharapkan).
FORMULASI GUGATAN

DITUJUKAN KEPADA
PENGADILAN

IDENTITAS PARA PIHAK


GUGATAN
POSITA
URAIAN DALIL/PERISTIWA

PETITUM
HAL-HAL YANG
DITUNTUT/DIMOHONKAN
 Pengadilan Yang Dituju
Dialamatkan ke Pengadilan mana yang akan dituju
untuk mengajukan gugatan
Diberi tanggal dan ditandatangani Penggugat/
Pemohon atau kuasanya.

 Identitas Para Pihak


Dalam suatu gugatan pada umumnya diwajibkan
adanya syarat formal untuk mencantumkan identitas
para pihak, baik pihak penggugat/pemohon atau
pihak tergugat/termohon, bila perlu adanya pihak lain
yang diikutkan sebagai tergugat atau turut tergugat
atau adanya tergugat intervensi.
 Posita atau Dalil Gugatan
Dalil gugatan merupakan landasan pemeriksaan dan
penyelesaian perkara. Dalil gugatan tidak cukup hanya
merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar
tuntutan, tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta
yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi
penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut dan
harus dengan jelas memperlihatkan adanya hubungan
hukum yang menjadi dasar tuntutan.
Atau dengan kata lain posita adalah uraian tentang
peristiwa-peristiwa, kejadian-kejadian atau dalil-dalil
yang dikemukakan penggugat yang melatarbelakangi
gugatan yang dijadikan dasar untuk merumuskan
tuntutannya.
 Petitum
Petitum berisi pokok tuntutan penggugat,
berupa deskripsi yang jelas menyebut satu
persatu pada bagian akhir gugatan tentang
hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan
penggugat yang harus dinyatakan dan
dibebankan kepada tergugat. Dengan kata
lain, petituam/tuntutan adalah hal-hal yang
dimohonkan oleh penggugat untuk diputus
oleh pengadilan.
B. BENTUK GUGATAN

TERTULIS
Pasal 53 Ayat (1) UUPTUN

BENTUK
GUGATAN
TIDAK TERTULIS
Penjelasan Pasal 53 Ayat (1)
UUPTUN
Bentuk gugatan akan erat kaitannya dengan langkah
hukum yang dilakukan seseorang di hadapan pengadilan.
Di persidangan pengadilan yang dapat bertindak untuk
melakukan atau mengajukan gugatan adalah orang
(person/prisipal) atau badan hukum perdata (privat recht
person), termasuk di dalam lingkungan Pengadilan Tata
Usaha Negara. Undang-Undang PTUN memberi syarat
untuk dapat mengajukan gugatan, yaitu hanya bagi
mereka yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara yang telah
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara
(beschikking).
Adagium: “tidak ada kepentingan yang dirugikan, tidak
ada gugatan” (point d’interet point de action/no interest
no action).
Mengenai hal gugatan, UU PTUN telah menegaskan di
dalam Pasal 53 Ayat (1): Seseorang atau badan hukum
perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan
gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang
berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah,
dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau
rehabilitasi. Pengertian kepentingan ini dalam hukum
acara PTUN mengandung 2 (dua) arti:
1) Kepentinagn menunjuk kepada nilai yang harus
dilindungi oleh hukum, dan
2) Kepentingan proses, artinya apa yang akan dicapai
dengan mengajukan gugatan.
Pengajuan gugatan ke PTUN harus berbentuk tertulis,
sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 53 Ayat (1)
UUPTUN. Syarat tertulis tersebut dimaksudkan untuk
memudahkan proses pemeriksaan perkara, karena dapat
dipastikan dalam pemeriksaan tersebut akan berjalan
lama. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kekeliruan atau
kesalahan dalam proses pemeriksaan dan dapat dengan
jelas akan semua berkas-berkas yang diajukan ke
pengadilan.
Jika pihak Penggugat tidak dapat menulis, penjelasan
Pasal 53 Ayat (1) UUPTUN menyebutkan: Mereka yang
tidak pandai baca tulis dapat mengutarakan
keinginannya untuk menggugat kepada Panitera
Pengadilan yang akan membantu merumuskan
gugatannya dalam bentuk tertulis.
C. ALASAN MENGAJUKAN GUGATAN
Alasan menggugat (toetsingsgronden) suatu Keputusan
Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 53 Ayat (2) UU
PTUN yang menyebutkan:
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan
adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (onrechtsmatige
overheidsdaad/OOD);
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (algemene beginselen van
behoorlijk bestuur).
Pasal 53 Ayat (2) UU PTUN tersebut, bagi
Penggugat digunakan sebagai dasar untuk
menggugat Pejabat TUN, sedangkan bagi hakim
akan dijadikan sebagai dasar untuk menguji
keabsahan Keputusan TUN (toetsinggronden)
yang digugat. Alasan menggugat yang pertama
tersebut dikenal dengan alasan Onrechtmatige
Overheidsdaad (OOD).
Ukuran suatu tindakan Pejabat TUN dikatakan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
adalah:
1. Bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang bersifat prosedural atau formal. Suatu
Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan secara
prosedural menurut Van der Pot, adalah beschikking
yang tidak sah yang menurut Utrecht disebut dengan
niet rechtsgeldig. Keputusan TUN seperti tersebut
menurut Wicipto Setiadi adalah KTUN yang cacat
mengenai bentuknya (vormgebregen).
2. Bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan secara materiil atau substansiil.
Maksud Keputusan TUN bertentangan secara
materiil dengan peraturan perundang-
undangan adalah melihat isi beschikking
tersebut. Misalnya, suatu Keputusan tentang
Keterangan Kematian, maka secara materiil
bahwa yang bersangkutan dalam keterangan
tersebut memang betul-betul telah meninggal.
Keputusan TUN yang demikian menurut Wicipto
Setiadi adalah Keputusan TUN yang cacat
mengenai isinya (in houdsgebreken).
3. Keputusan TUN tersebut dikeluarkan oleh badan atau
pejabat yang tidak berwenang. Tidak berwenang
kalau kita kaitkan lingkup kompetensi suatu jabatan
kemungkinan ada tiga macam bentuk tidak
berwenang (onbevoegdheid), yaitu:
a. Onbevoegdheids ratione materie (menyangkut
kompetensi absolut);
b. Onbevoegdheids ratione loci (menyangkut
kompetensi relatif);
c. Onbevoegdheids ratione temporis (tidak berwenang
dari segi waktu).
Alasan mengajukan gugatan bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik:
1. Asas kepastian hukum.
2. Asas keterbukaan.
3. Asas tertib penyelenggaraan negara.
4. Akuntabilitas.
5. Asas proporsionalitas/keseimbangan.
6. Asas profesionalitas.
7. Asas Kepentingan umum
8. Asas Kemanfaatan.
9. Asas Persamaan/non diskriminasi.
10. Asas Tidak menyalahgunakan wewenang.
11. Asas Pelayanan yang baik.
12. Asas Kecermatan.
13. Asas keadilan.
Alasan mengajukan gugatan:
 Menurut Pasal 53 Ayat (2) UU No.5/1986 PTUN
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (onrechtsmatig
overheidsdaad/OOD)
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu
mengeluarkan keputusan telah menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud
diberikannya wewenang tersebut (detournement de
pouvoir/DDP)
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
pada waktu mengeluarkan atau tidak
mengeluarkan keputusan setelah
mempertimbangkan semua kepentingan
yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan
atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
(diterbitkan atas dasar kesewenang-
wenangnan/willekeur/kennelijk onredelijk)
 Menurut Pasal 53 Ayat (2) UU No.9/2004 PTUN
a. KeputusanTata Usaha Negara yang digugat
itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat
itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
D. SYARAT-SYARAT MENGAJUKAN GUGATAN
Pasal 56 UU PTUN mengatur syarat-syarat suatu
gugatan:
(1) Gugatan harus memuat :
a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal,
dan pekerjaan penggugat, atau
kuasanya;
b. nama, jabatan, dan tempat kedudukan
tergugat;
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk
diputuskan oleh Pengadilan.
Pasal 56 Para Pihak: Persona
Ayat (1) Penggugat & Standi In
huruf a & b Tergugat Judicio

Persona standi in judicio


(Penggugat & Tergugat)
Pasal 56 Posita/
Ayat (1) fundamentum petendi

Petitum
Pasal 56 Penggugat Dikuasakan – harus
Ayat (2) maju sendiri ada surat kuasa

Dalam
Disertai
pemeriksaan
Keputusan TUN
Pasal 56 persiapan hakim
Ayat (3) Jika Penggugat dapat meminta
tidak memiliki kepada Pejabat
Keputusan TUN TUN atas
Keputusan TUN tsb
F. TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN GUGATAN
Dasar hukum tenggang waktu mengajukan gugatan
diatur dalam Pasal 55 UU PTUN, yang menyebutkan:
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang
waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat
diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengatuan
tenggang waktu untuk menggugat sangat penting
sekali, hal ini bertujuan agar pemerintah dalam
menjalankan tugas publik memiliki kepastian hukum.
Penerapan batasan tenggang waktu mengajukan
gugatan ke pengadilan merupakan hal penting untuk
menghadirkan kepastian hukum terhadap proses
beracara. Tenggang waktu mengajukan gugatan
memberikan batas waktu kepada seseorang atau badan
hukum perdata untuk memperjuangkan hak dan
kepentingan hukumnya dengan cara mengajukan
gugatan ke PTUN, yang dikenal dengan bezwaartermijn
atau klaagtermijn. Perhitungan jangka waktu pengajuan
gugatan ke PTUN diatur secara khusus dalam Pasal 55 UU
PTUN. Adapun tenggang waktu sembilan puluh hari
tersebut dihitung berdasarkan perhitungan hari kalender
dan bukan hari kerja.
Berdasarkan Pasal 55 dari UU PTUN perhitungan
jangka waktu pengajuan gugatan ke PTUN dapat
diterapkan dalam beberapa variabel:
Pertama,
perhitungan jangka waktu pengajuan gugatan ke
PTUN untuk pihak yang dituju langsung dan tidak
adanya upaya administratif maka jangka waktu
pengajuan gugatan ke PTUN untuk variabel ini
adalah 90 (sembilan puluh) hari sejak diterimanya
KTUN atau sejak diumumkannya.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam
bagian penjelasan dari Pasal 55 dari UU PTUN
paragraf 1 yang berbunyi “bagi pihak yang
namanya tersebut dalam Keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat, maka tenggang waktu
sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari
diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat”, dan paragraf 5 yang berbunyi “dalam
hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu
keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang
waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari
pengumuman tersebut”.
Kedua,
perhitungan jangka waktu pengajuan gugatan ke PTUN
adalah untuk pihak yang dituju langsung dan upaya
administratif telah ditempuh namun hasil dari upaya
administratif tersebut tetap tidak memuaskan bagi
pihak tersebut, maka jangka waktu pengajuan gugatan
ke PTUN apabila hanya terdapat upaya administratif
berupa keberatan adalah 90 (sembilan puluh) hari sejak
dikeluarkannya KTUN yang menjadi hasil pemeriksaan
keberatan yang telah dilakukan yang dirasa masih
merugikan pihak yang berkepentingan.
Obyek gugatan disini adalah KTUN hasil
pemeriksaan keberatan yang telah dilakukan.
Sedangkan jangka waktu pengajuan gugatan
apabila terdapat upaya administratif sampai
banding administratif, maka jangka waktu
pengajuan gugatan adalah 90 (sembilan
puluh) hari sejak diterimanya KTUN yang
merupakan hasil pemeriksaan dari banding
aministratif yang diajukan keluar sebagai obyek
gugatan.
Ketiga,
perhitungan jangka waktu pengajuan gugatan ke PTUN
terhadap KTUN yang bersifat “fiktif negatif”. Terhadap
variabel ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 55
paragraf 3 dari UU PTUN yang berbunyi sebagai berikut:
Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan
keputusan menurut ketentuan Pasal 3 ayat (2), maka
tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah
lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam
peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal
diterimanya permohonan yang bersangkutan,
sehingga apabila terdapat peraturan dasar yang
menentukan adanya batas waktu bagi badan atau
pejabat tata usaha negara untuk mengeluarkan
keputusan atau memberikan reaksi atas suatu
permohonan keputusan yang masuk, maka tenggang
waktu dihitung sejak habisnya kesempatan mengambil
suatu KTUN yang bersangkutan. Apabila tidak adanya
peraturan yang membatasi lama badan atau pejabat
tata usaha negara untuk mengeluarkan keputusan atau
memberikan reaksi atas suatu permohonan keputusan
yang masuk. Dalam hal ini, tenggang waktu sembilan
puluh hari dihitung setelah lewat empat bulan sejak
permohonan yang bersangkutan diterima.
Hal ini dijabarkan dalam Penjalasan Pasal 55
paragraf 4 dari UU PTUN yang berbunyi sebagai
berikut:
Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan
keputusan menurut ketentuan Pasal 3 Ayat (3),
maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu
dihitung setelah lewatnya batas waktu empat
bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya
permohonan yang bersangkutan.
Keempat
adalah perhitungan jangka waktu pengajuan gugatan
terhadap pihak ketiga yang memiliki kepentingan
terhadap suatu KTUN yang bahkan tidak ditujukan
untuknya. Melihat kepada rumusan dari Pasal 55 dan
Penjelasannya dari UU PTUN, maka terlihat bahwa
jangka waktu pengajuan gugatan hanya ditujukan
kepada pihak yang namanya dituju oleh suatu KTUN
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh KTUN
tersebut. Yang menjadi polemik kemudian adalah
berapakah jangka waktu pengajuan gugatan oleh
pihak lain selain yang namanya dituju oleh suatu KTUN
yang merasa kepentingannya telah dirugikan oleh KTUN
tersebut dapat mengajukan gugatan ke PTUN?
Hal ini ternyata tidak diatur dalam UU PTUN namun dapat
ditemukan pengaturannya dalam Bab V angka 3 tentang
Tenggat Waktu (Pasal 55) dari SEMA No. 2 Tahun 1991,
tanggal 3 Juli 1991 (SEMA No. 2 Tahun 1991), yang berbunyi
sebagai berikut:
Bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu Keputusan
Tata Usaha Negara tetapi yang merasa
kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung secara
kasuistis sejak saat is merasa kepentingannya dirugikan
oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan mengetahui
adanya Keputusan tersebut.
Hal ini menjadi menarik untuk diperhatikan karena
penentuan jangka waktu pengajuan gugatan ke
PTUN menjadi tidak pasti karena diterapkan
secara kasuistis oleh SEMA No. 2 Tahun 1991. Oleh
karena itu, penentuan jangka waktu pengajuan
gugatan yang ditentukan oleh SEMA No. 2 Tahun
1991 ini memiliki kecenderungan bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang telah terkandung
dalam UU PTUN yang lebih mementingkan
stabilitas pemerintahan dibandingkan dengan
kepentingan individu seseorang.
SEMA No. 2 Tahun 1991 kemudian digantikan
dengan SEMA No. 3 Tahun 2015, tanggal 29
Desember 2015 (untuk selanjutnya disebut
sebagai SEMA No. 3 Tahun 2015) dimana pada
Bagian E. Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha
Negara Nomor 1 tentang tenggang waktu
pengajuan gugatan oleh pihak yang tidak dituju
oleh suatu KTUN namun merasa kepentingannya
dirugikan oleh KTUN tersebut ditentukan sebagai
berikut:
Tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari untuk
mengajukan gugatan bagi pihak ketiga yang tidak dituju
oleh keputusan tata usaha negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang semula
dihitung “sejak yang bersangkutan merasa
kepentingannya dirugikan oleh keputusan tata usaha
negara dan sudah mengetahui adanya keputusan tata
usaha negara tersetbu” diubah menjadi dihitung “sejak
yang bersangkutan pertama kali mengetahui keputusan
tata usaha negara yang merugikan kepentingannya.
Ketentuan SEMA No. 3 Tahun 2015 menggantikan
ketentuan dalam SEMA No. 2 Tahun 1991,
berdasarkan mana jangka waktu pengajuan
gugatan terhadap pihak yang tidak dituju oleh
KTUN adalah 90 (sembilan puluh) hari sejak
pertama kali mengetahui KTUN yang dianggap
merugikan kepentingannya tersebut.
Kelima
terdapat dalam UU No. 30 Tahun 2014
memberikan variabel baru dalam menghitung
jangka waktu pengajuan gugatan ke PTUN yaitu
terhadap KTUN yang bersifat “fiktif positif” dimana
tindakan diam dari pemerintah yang telah
menerima permohonan yang lengkap dianggap
sebagai bentuk pengabulan atas permohonan
tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 ayat
(2) dan (3) dari UU No. 30 Tahun 2014 sebagai
berikut:
(2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak
menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau
melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam
waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah
permohonan diterima secara lengkap oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(3) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan
dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut
dianggap dikabulkan secara penuh.
Dengan dikeluarkannya KTUN yang bersifat “fiktif
positif”, maka pemohon dapat mengajukan
permohonan ke PTUN untuk mendapatkan
putusan penerimaan permohonan yang telah
didapatkannya secara “fiktif positif”. Jangka
waktu untuk mengajukan permohonan ini ke PTUN
adalah 90 (sembilan puluh) hari sejak berakhirnya
batas waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) dari UU No. 30
Tahun 2014.
Perhitungan jangka waktu pengajuan gugatan ke
PTUN diatur secara khusus dalam Pasal 55 UU PTUN
yang menyatakan bahwa “Gugatan dapat
diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan
puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau
diumumkan Keputusan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara”. Gagalnya seseorang memenuhi
ketentuan jangka waktu pengajuan gugatan ke
PTUN ini menyebabkan gugatan yang
diajukannya akan digugurkan dalam prosedur
dismissal atau mendapatkan putusan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Hal ini disatu sisi memberikan kepastian hukum
terhadap KTUN, namun disisi lain merampas hak
seseorang untuk mengajukan gugatan ke PTUN.
Hal inilah yang kemudian mendasari adanya 4
(empat) pengujian terhadap Pasal 55 dari UU
PTUN terhadap UUD NRI 1945 ke Mahkamah
Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi
merupakan putusan final yang tidak bisa diajukan
upaya hukum apapun dalam menetapkan
permohonan pengajuan uji materil Pasal 55 dari
UU PTUN terhadap UUD NRI 1945.
sekian – terima kasih

Anda mungkin juga menyukai