Anda di halaman 1dari 9

NAMA:SAFRINA YANTI

NIM:210510077

MK:PKH ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Pengenalan Konsep Dasar Membuat Surat Kuasa Khusus yang secara khusus
membahas kewenangan MK
Surat kuasa khusus adalah pemberian kuasa (power of attorney/lastgeving) yang dilakukan
hanya untuk satu kepentingan tertentu atau lebih (vide Pasal 1795 KUHPerdata). Dalam surat
kuasa khusus, di dalamnya dijelaskan tindakan-tindakan (handelingen) apa saja yang boleh
dilakukan oleh penerima kuasa (lasthebber). Jadi, karena ada tindakan-tindakan
(handelingen) yang dirinci dalam surat kuasa (power of attorney letter) tersebut, maka surat
kuasa (power of attorney letter) tersebut menjadi surat kuasa khusus.
Surat Kuasa Khusus dalam kaitannya dengan dokumen beracara di Mahkamah Konstitusi
(constitutional court), maka dapat diartikan sebagai surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pemberi kuasa (lastgever) dan penerima kuasa (lasthebber) yang berisi tentang pemberian
wewenang (bevoegdheid) kepada penerima kuasa (lasthebber) untuk melakukan suatu
tindakan yang dilakukan untuk dan/atau untuk mewakili kepentingan pemberi kuasa
(lastgever)khususnya dalam perkara ketatanegaraan, menurut ketentuan hukum
yang berlaku.
 Unsur-Unsur Surat Kuasa Khusus
1) Judul (Surat Kuasa Khusus);
2) Identitas pemberi kuasa (lastgever), di antaranya seperti: nama
lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, agama dan alamat
lengkap;
3) Pernyataan pemberian kuasa; (dengan ini menyatakan dengan
sesungguhnya memberikan kuasa kepada);
4) Identitas penerima kuasa (lasthebber), di antaranya seperti: nama lengkap, umur atau
tanggal lahir, pekerjaan dan alamat lengkap);
5) Kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa (lastgever) kepada penerima kuasa
(lasthebber) disebutkan secara rinci danjelas;
6) Wewenang substitusi dari penerima kuasa (lasthebber) kepada
orang lain;
7) Tempat dan tanggal pembuatan dan penandatanganan surat kuasa
(power of attorney letter);
8) Tanda tangan pemberi kuasa (lastgever) dan penerima kuasa
(lasthebber) dengan dibubuhi materai cukup.

2. Pengenalan Konsep Dasar Membuat dokumen Permohonan Pengujian Undang-


undang
PERMOHONAN (Pasal 1 UU MK, Pasal 2 PMK 2/2021)
❑ Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah
Konstitusi mengenai Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 atau pengujian Perppu
terhadap UUD 1945
❑ Permohonan pengujian undang-undang dan Perppu meliputi pengujian formil dan/atau
pengujian materiil
❑ Pengujian materiil adalah pengujian yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat,
pasal, dan/atau bagian Undang-Undang atau Perppu yang dianggap bertentangan dengan
UUD 1945
❑ Pengujian formil adalah pengujian yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-
undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau
Perppu .

PENGAJUAN PERMOHONAN [Pasal 29, 30, 31 UU MK dan Pasal 9, 10 PMK 2/2021]


1. Permohonan dapat diajukan secara luring atau daring;
2.Berkas permohonan sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. Permohonan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia sebanyak 1 eksemplar asli
yang ditandatangani oleh Pemohon/Kuasa Hukum;
b. Fotokopi identitas Pemohon/kuasa hukum dan surat kuasa;
c. AD/ART;
3. Permohonan sekurang-kurangnya memuat:
a. Identitas Pemohon dan/atau kuasa hukum;
b. Kewenangan Mahkamah;
c. Kedudukan hukum Pemohon;
d. Alasan permohonan; dan
e. Petitum.
IDENTITAS PEMOHON [Pasal 10 PMK 2/2021]
1. Nama Pemohon dan/atau kuasa hukum;
2. Pekerjaan;
3. Kewarganegaraan;
4. Alamat rumah/kantor;
5. Alamat surat elektronik
POSITA [Pasal 10 PMK 2/2021]
• Penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945; atau
• Penjelasan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang atau
Perppu bertentangan dengan UUD 1945.
Uraikan secara detail dalil Pemohon disertai dengan dasar hukum dan argumentasi yuridis
mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 atau pertentangan materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian dari Undang-Undang dengan UUD 1945, disertai buktibukti yang
berkaitan dengan dalil permohonan.
PETITUM [Pasal 10 PMK 2/2021]
Hal-hal yang diminta untuk diputus (petitum):
Pengujian Formil, meliputi:
a. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
b. Menyatakan bahwa pembentukan undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian
tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
c. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.

Pengujian Materiil, meliputi:


a. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;
b. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau
Perppu yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
c. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya. Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Atau Petitum inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional)
1.Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2.Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau
Perppu yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai …;
3.Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya. Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono )

3. membuat dokumen Permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.

PERMOHONAN DAN TATA CARA PENGAjUAN

Dalam jenis perkara SKLN ini, harus disebutkan dalam permohonan pemohon, lembaga
mana yang menjadi termohon yang merugikan kewenangannya yang diperoleh dari UUD
1945. Hal ini jelas diatur dalam Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU MK, yang menggariskan:

(1) Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (subjectum litis) yang mempunyai
kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan (objectum litis).
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan
langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan
dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon. Jadi alasan permohonan (fundamentum
petendi) harus jelas untuk dapat diajukan di depan Mahkamah Konstitusi.

Kedua hal ini merupakan syarat terpenuhinya kedudukan hukum (legal standing)
Pemohon. Jika kedua hal itu tidak terpenuhi, maka Pemohon dianggap tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan perkara SKLN ini di depan Mahkamah
Konstitusi.
Dalam Hukum Acara SKLN, apabila dalam permohonan Pemohon tidak terpenuhi syarat
subjectum litis (subjek perkara) dan objectum litis (objek perkara), maka permohonannya
tidak termasuk dalam ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili dan memutusnya. Terhadap permohonan yang demikian ini, lazimnya Mahkamah
Konstitusi memutus: permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
Jimly Asshiddiqie terkait dengan objek sengketa (objectum litis) mengemukakan,
bahwa yang menjadi objek sengketa antarlembaga negara adalah persengketaan (dispute)
mengenai kewenangan konstitusional antarlembaga negara. Isu pokoknya bukan terletak pada
kelembagaan lembaga negaranya, melainkan terletak pada soal kewenangan konstitusional,
yang dalam pelaksanaannya, apabila timbul sengketa penafsiran antara satu sama lain, maka
yang berwenang memutuskan lembaga mana yang sebenarnya memiliki kewenangan yang
dipersengketakan tersebut adalah Mahkamah Konstitusi.445 Jadi, sengketa kewenangan
adalah perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan
antara dua atau lebih lembaga negara.446
Dalam pengertian sengketa kewenangan konstitusional itu terdapat dua unsur yang harus
dipenuhi, yaitu (i) adanya kewenangan konstitusional yang ditentukan dalam UUD; dan (ii)
timbulnya sengketa dalam pelaksananaan kewenangan konstitusional tersebut sebagai akibat
perbedaan penafsiran di antara dua atau lebih lembaga negara yang terkait.447 Oleh karena
itu, di samping mendekati perkara SKLN ini dari segi subjek lembaga negaranya, kita juga
dapat mendekatinya dari segi objek kewenangan konstitusional yang dipersengketakan di
antara lembaga negara yang bersangkutan. Yang menjadi pokok persoalannya adalah
kewenangan apakah yang diatur dan ditentukan dalam UUD yang dinisbatkan sebagai fungsi
sesuatu organ yang disebut dalam UUD, dan apakah untuk melaksanakan kewenangannya itu
terhambat atau terganggu karena adanya keputusan tertentu dari lembaga negara lainnya.
Apabila keduanya dapat dijawab dengan jelas, maka kemungkinan semacam ini
memang dapat menjadi objek sengketa kewenangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi.
Yang penting dapat dibuktikan dengan jelas apakah lembaga negara pemohon memang
memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD, dan apakah kewenangan konstitusional
yang dimaksudkan itu memang ternyata dirugikan oleh keputusan tertentu dari lembaga
negara termohon.
Dalam Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), ketentuan
tentang permohonan dan tata cara pengajuannya kepada Mahkamah Konstitusi diatur dalam
Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 08/PMK/2006. Dalam PMK tersebut
diatur, bahwa permohonan harus ditulis dalam bahasa Indonesia, dan materi permohonan
harus memuat beberapa hal sebagai berikut:
a. Identitas lembaga negara yang menjadi pemohon, seperti nama lembaga negara, nama
ketua lembaga, dan alamat lengkap lembaga negara;
b. Nama dan alamat lembaga negara yang menjadi termohon;
c. Uraian yang jelas tentang:
1. kewenangan yang dipersengketakan;
2. kepentingan langsung pemohon atas kewenangan tersebut;
3. hal-hal yang diminta untuk diputuskan.
Permohonan yang diajukan tersebut, dibuat dalam 12 (dua belas)
rangkap dan ditandatangani oleh Presiden atau Pimpinan lembaga negara yang mengajukan
permohonan atau kuasanya.
Selain dibuat dalam bentuk tertulis, dalam Hukum Acara SKLN juga terdapat
ketentuan yang mengatur, bahwa permohonan dapat pula dibuat dalam format digital yang
tersimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram padat (compact
disk), atau yang sejenisnya.449
Permohonan tertulis dan/atau format digitalnya (soft copy) diajukan kepada
Mahkamah melalui Kepaniteraan. Permohonan tersebut harus disertai alat-alat bukti
pendukung, misalnya dasar hukum keberadaan lembaga negara atau surat/dokumen
pendukung. Alat-alat bukti tertulis yang diajukan, seluruhnya dibuat dalam 12 (dua belas)
rangkap dengan bukti yang asli diberi materai secukupnya.
Apabila pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi, pemohon harus
menyertakan daftar ahli dan/atau saksi yang akan memberi keterangan yang berisi identitas,
keahlian, kesaksian dan pokok-pokok keterangan yang akan diberikan. Dalam hal pemohon
belum mengajukan ahli dan/ atau saksi, pemohon masih dapat mengajukan ahli dan/atau saksi
selama dalam pemeriksaan persidangan.
4. Membuat dokumen Permohonan Perkara Hasil Pemilihan Umum legislative atau
eksekutif ke MK

 Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu DPR dan DPRD

Pasal 74 ayat (1) UU MK menjelaskan siapa saja yang dapat menjadi Pemohon dalam
perkara PHPU DPR, DPD, dan DPRD. Dalam hal Pemilu DPR dan DPRD para Pemohon
adalah partai politik peserta pemilihan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1)
huruf c UU MK.Permohonan yang diajukan didasari kepada ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (PHPU Legislatif). Selengkapnya pasal tersebut berbunyi sebagai
berikut;

”Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya
kepada Mahkamah dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh;

a. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan pusat atau nama yang
sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu atau kuasanya;

b. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan atau nama yang sejenisnya dari
partai politik lokal atau kuasanya.

Sehingga para Pemohon yang merupakan anggota partai politik atau pengurus daerah dari
partai politik tertentu tidak dapat secara langsung mengajukan permohonan tanpa melalui
pimpinan pusat partainya. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi maka legal standing Pemohon
akan dipertanyakan dan MK dapat memutuskan permohonan tidak dapat diterima,
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 77 ayat (1) UU MK.

Walaupun mengenai ketentuan permohonan ditandatangani oleh pimpinan pusat


partai politik tersebut tidak terdapat dalam ketentuan Pasal 74 juncto Pasal 77 ayat (1) UU
MK yang terkait dengan sebab tidak diterimanya permohonan, namun ketentuan Pasal 6 ayat
(2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 harus dianggap satu bagian tidak terpisah dari ketentuan UU
a quo. Sehingga apabila ketentuan yang diatur Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009
dalam hal tidak terdapat tanda tangan pimpinan partai politik bersangkutan, maka MK akan
memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

Persyaratan yang tidak diatur dalam UU MK tersebut perlu secara teknis diatur MK
dikarenakan apabila seluruh anggota partai dan/atau pimpinan partai politik di daerah
diperbolehkan untuk mendaftarkan permohonan maka akan terjadi kerumitan perkara di MK.
Bayangkan apabila 3 orang anggota partai politik yang sama namun berbeda pendapat dalam
hal melihat hasil Pemilu, maka di MK terkesan akan menyelesaikan sengketa internal partai
politik dalam hasil Pemilu, sehingga terjadi penumpukan perkara yang tidak perlu dibatasi
dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009. Namun apabila terdapat
sesama anggota partai politik tertentu yang juga mempertanyakan hasil Pemilu yang
diperoleh rekan partainya, maka ia dapat masuk sebagai Pihak Terkait sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka 16 PMK Nomor 16 Tahun 2009.

5. Penyelesaian kasus dan tata cara membuat dokumen Permohonan Perkara Hasil
Pemilihan Kepala Daerah

kewenangan dan prosedur yang dimiliki MK saat ini, MK mampu menyelesaikan sengketa
hasil pemilukada, namun penyelesaian sengketa pemilukada tersebut berjalan tidak efektif
baik dari sisi manajemen kelembagaan MK maupun dari sisi para pihak yang berperkara di
MK. Tidak efektifnya penyelesaian sengketa hasil pemilukada oleh MK disebabkan oleh dua
faktor utama yaitu pertama, aspek struktur kelembagaan MK yang sentralistik (di Jakarta),
jumlah hakim yang terbatas ( hanya sembilan orang), waktu penyelesaian sengketa hasil
pemilukada yang pendek (hanya 14 hari). Kedua, aspek jumlah perkara sengketa hasil
pemilukada yang sangat banyak dan luasnya geografis wilayah Indonesia dengan
karakteristik wilayah yang luas, memanjang dan berpulau-pulau.

Berdasarkan kendala-kendala yang dihadapi MK dalam penyelesaian sengketa hasil


pemilukada sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka ada beberapa rekomendasi
model penyelesaian sengketa pemilukada yang dapat dipertimbangkan oleh MK dan
pemangku kebijakan lainnya seperti DPR, pemerintah, bawaslu, KPUD, kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan. Berikut ini rekomendasi alternatif model penyelesaian sengketa
hasil pemilukada

*Prosedur dan proses

Menurut Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020, sejumlah tahapan dalam sengketa Pilkada
yang diajukan ke MK. Tahapan pengajuan permohonan sengketa ke MK adalah sebagai
berikut:

1. Pemohon mengajukan permohonan ke MK. Pengajuan bisa dilakukan melalui dua cara,
yakni luring dan daring.

2. Permohonan diajukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan
penetapan perolehan suara hasil Pilkada.

3. Pengajuan permohonan terdiri atas:

-Surat permohonan.

-Fotokopi Surat Keputusan tentang Penetapan sebagai Pasangan calon atau akreditasi
KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten/Kota untuk Pemantau Pemilihan.

-Fotokopi KTP atau identitas pemohon.

-Fotokopi kartu tanda anggota bagi advokat sebagai kuasa hukum.


4. Permohonan, baik secara luring maupun daring, hanya dapat diajukan satu kali selama
tenggang waktu pengajuan permohonan.

5. Kepaniteraan mencatat permohonan yang diajukan ke MK dalam e-BP3 yang selanjutnya


diterbitkan AP3.

Tahapan selanjutnya adalah penyelesaian sengketa. Ini merupakan tahapan usai permohonan
sengketa yang diajukan memenuhi syarat.MK kemudian menggelar persidangan untuk
menyelesaikan sengketa. Persidangan perkara perselisihan hasil pemilihan dilaksanakan
dengan urutan:

-Pemeriksaan pendahuluan.

-Pemeriksaan persidangan.

-Pengucapan putusan.

-Persidangan perkara dilaksanakan dalam sidang panel atau sidang pleno terbuka untuk
umum.

Tahap selanjutnya ialah penetapan hasil persidangan. Perkara perselisihan hasil suara diputus
MK dalam tenggang waktu paling lama 45 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam e-
BRPK.

-Putusan MK dapat berupa putusan atau ketetapan.

-Amar putusan Mahkamah dapat menyatakan:

-Permohonan tidak dapat diterima, apabila Pemohon dan/atau permohonannya tidak


memenuhi syarat formil permohonan

-Permohonan ditolak, apabila permohonan memenuhi syarat formil dan pokok permohonan
tidak beralasan menurut hukum

-Permohonan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, apabila permohonan memenuhi syarat


formil dan pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian atau seluruhnya

-Pengucapan putusan atau ketetapan MK dilaksanakan dalam sidang pleno yang terbuka
untuk umum.

6. Landasan Hukum membuat dokumen Permohonan Pembubaran Partai politik

Partai politik yang dapat dimohonkan pembubaran ke MK meliputi baik partai politik lokal
maupun partai politik nasional. Di dalam UU MK tidak disebutkan kedudukan partai politik
yang dimohonkan pembubarannya. Namun dalam PMK Nomor 12 Tahun 2008 dalam Pasal 3
ayat (2) dinyatakan bahwa Termohon adalah partai politik yang diwakili oleh pimpinan partai
politik yang dimohonkan untuk dibubarkan. Dengan demikian kedudukan partai politik yang
dimohonkan pembubaran adalah sebagai termohon. Partai politik tersebut dapat didampingi
atau diwakili oleh kuasa hukumnya.
-Pasal 1 Angka 1 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik

-Pasal 41 UU NO.2 Tahun 2008

-Pasal 44 UU NO.2 Tahun 2008

- Pasal 45 UU NO.2 Tahun 2011

7. Tata cara membuat dokumen membuat dokumen Putusan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki tiga jenis putusan, yakni permohonan tidak
dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak. Dalam praktiknya, ada
jenis putusan lain yakni putusan konstitusional bersyarat dan inkonstitusional bersyarat.
Jenis-jenis putusan MK tersebut terdapat dalam Undang-Undang (UU).

 Tahapan tahapan yang dilakukan dalam permohonan beracara di Mahkamah


Konstitusi

-Pengajuan Permohonan. Pemeriksaan Kelengkapan. Perbaikan Permohonan.

-Registrasi. Penyampaian Salinan Permohonan dan Pemberitahuan Sidang Pertama.


Pemeriksaan Pendahuluan. Pemeriksaan Persidangan.

-Penyerahan Perbaikan Jawaban dan Keterangan. RPH. Sidang Pengucapan Putusan.


Penyerahan Salinan Putusan.

 PROSEDUR PERMOHONAN ONLINE


TAHAPAN PERKARA
 PENGAJUAN PERMOHONAN
 PEMERIKSAAN KELENGKAPAN
 PERBAIKAN PERMOHONAN
 REGISTRASI
 PENYAMPAIAN SALINAN PERMOHONAN DAN PEMBERITAHUAN SIDANG
PERTAMA
 PEMERIKSAAN PENDAHULUAN
 PEMERIKSAAN PERSIDANGAN
 SIDANG PENGUCAPAN PUTUSAN
 PENYERAHAN SALINAN PUTUSAN
 PERSIDANGAN:
JADWAL SIDANG
RISALAH
ANOTASI

Anda mungkin juga menyukai