Anda di halaman 1dari 28

Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi

Tata Cara Pengujian Undang-Undang


terhadap Undang-Undang Dasar
FHUI Depok, 24 Februari 2015

Judicial Rewiew

Judicial Review
Pengujian peraturan perundang-undangan tertentu oleh hakim (yudikatif).
Hal ini berarti hak atau kewenangan menguji (toetsingsrecht) dimiliki oleh
hakim. Pengujian tersebut dilakukan atas suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau terhadap konstitusi sebagai hukum tertinggi
Toetsingrecht
Hak uji. Istilah ini digunakan pada saat membicarakan hak atau kewenangan
untuk menguji peraturan perundang-undangan.
Constitutional Review
Pengujian suatu ketentuan perundang-undangan terhadap konstitusi.
Parameter pengujian dalam hal ini adalah konstitusi sebagai hukum tertinggi.
Hal ini berbeda dengan judicial review yang dari lingkup materinya lebih luas
karena menguji suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, jadi tidak terbatas pada konstitusi
sebagai parameter pengujian

Dasar Hukum

Pasal 24, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945

Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman (Pasal 29 ayat (1) huruf a)
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Pasal 10 ayat (1) huruf a)
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (PMK) No. 06/PMK /2005

Pengujian Formil dan


Materil

Formil
Menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, telah
melalui prosedur sebagaiman telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau tidak.
Pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural
dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang
membuatnya .
Materil
Menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan itu
sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
derajatnya,
Menilai apakah suatu kekuasaan tertentu berhak
mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
Pengujian material berkaitan dengan kemungkinan
pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain

Pengujian UU terhadap
UUD

Pasal 50*
Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk
diuji adalah undang-undang yang diundangkan
setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
*Pasal ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-II/2004
mengenai Pengujian UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi & UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang & Industri
terhadap UUD 1945 tanggal 13 Desember 2004.

Legal Standing & Posita

Pasal 51
(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;


b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.

(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam


permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:

a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan


berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; dan/atau
b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-

Hak Konstitusional

MK sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan


Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta
putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat
(1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
a) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b) hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat
spesifik (khusus) dan aktual atau setidak- potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan
tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Pengajuan Permohonan

1.
2.
3.
4.
5.

Ditulis dalam bahasa Indonesia.


Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya.
Diajukan dalam 12 rangkap.
Jenis perkara.
Sistematika:
a. Identitas dan legal standing;
b. Posita;
c. Petitum.
6. Disertai bukti pendukung.
Khusus untuk perkara Perselisihan Hasil Pemilu diajukan paling
lambat 3 X 24 jam sejak KPU mengumumkan hasil pemilu.

Pendaftaran Permohonan

1. Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera.


- Belum lengkap : diberitahukan
- 7 hari sejak diberitahu, wajib dilengkapi
- Lengkap
2. Registrasi sesuai perkara.
3. 7 hari kerja sejak registrasi untuk perkara.
a. Pengujian undang-undang:
- Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan DPR.
- Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung.
b. Sengketa kewenangan lembaga negara:
- Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon.
c. Pembubaran partai politik:
- Salinan permohonan disampaikan kepada partai politik yang
bersangkutan.
d. Pendapat DPR:
- Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden.
Khusus untuk perkara perselisihan hasil pemilu, paling lambat 3 hari kerja sejak
registrasi Salinan Permohonan disampaikan kepada KPU.

Penjadwalan Sidang

Dalam 14 hari kerja setelah registrasi


ditetapkan Hari Sidang Pertama

(kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu).


Para pihak diberitahu/dipanggil.
Diumumkan kepada masyarakat.

Pemeriksaan
Pendahuluan

Dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel


Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim
Konstitusi. (Pasal 10 ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005)
Dilakukan dalam Sidang Pleno yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi. (Pasal 10 ayat (2)
PMK Nomor 06/PMK/2005)
1. Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa:
- Kelengkapan syarat-syarat Permohonan.
- Kejelasan materi Permohonan.

2. Memberi nasehat
- Kelengkapan syarat-syarat Permohonan.
- Perbaikan materi Permohonan.

3. 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.

Pemeriksaan Persidangan

Terbuka untuk umum.


Memeriksa permohonan dan alat bukti.
Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan
keterangan.
Lembaga negara dapat diminta keterangan, Lembaga negara
dimaksud dalam jangka waktu 7 hari wajib memberi keterangan
yang diminta.
Saksi dan/atau ahli memberi keterangan.
Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi kuasa dan orang lain.
Pemeriksaan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945
dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali Rapat
Permusyawaratan Hakim. (Pasal 2 PMK Nomor 06/PMK/2005)

Pemeriksaan Persidangan

Pemeriksaan pokok permohonan;


Pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;
Mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;
Mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;
Mendengarkan keterangan saksi;
Mendengarkan keterangan ahli;
Mendengarkan keterangan Pihak Terkait;
Pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan,
dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain
yang dapat dijadikan petunjuk;
Pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Posisi Pembentuk UndangUndang

Pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2003:


Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang
berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan/atau Presiden.

MK tidak mengadili pembentuk UU.


Kedudukan pembentuk UU sebagai Pihak Terkait untuk memberikan
keterangan (lisan maupun tertulis).
Dapat diwakili oleh wakil atau pun kuasa dari lembaga negara tersebut.
Presiden dapat memberikan kuasa subsitusi kepada Menteri Hukum
dan HAM beserta para menteri, dan/atau pejabat setingkat menteri
yang terkait dengan pokok perkara.
DPR diwakili oleh Pimpinan DPR yang dapat memberi kuasa kepada
pimpinan dan/atau anggota komisi yang membidangi hukum, komisi
terkait dan/atau anggota DPR yang ditunjuk.

Rapat Permusyawaratan
Hakim

a. RPH diikuti oleh seluruh hakim konstitusi dengan kuorum minimal


tujuh orang hakim, Panitera, PP, dan petugas lain yang dibutuhkan;
b. RPH dipimpin oleh Ketua, dalam hal Ketua berhalangan RPH
dipimpin oleh Wakil Ketua, dalam hal Ketua dan Wakil berhalangan,
RPH dipimpin oleh hakim yang tertua usianya;
c. RPH bersifat tertutup;
d. Agenda RPH:

mendengar dan membahas laporan Panel;


membahas perkembangan Sidang Panel/Pleno;
membahas/mendiskusikan dan mengambil putusan;
menunjuk drafter Putusan;
membahas drafter Putusan yang disiapkan oleh Drafter;
lain-lain agenda baik yang terkait perkara (justisial) maupun nonjustisial, seperti
laporan Panitera, laporan Sekjen, dsb.

e. Setiap RPH dibuat catatan oleh Panitera yang dibantu PP Perkara dalam buku
catatan rapat dan/atau Berita Acara Rapat.

Pihak Terkait

Pihak terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung
dengan pokok permohonan.

Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau
kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan.

Dapat diberikan hak-hak yang sama dengan Pemohon dalam persidangan


dalam hal keterangan dan alat bukti yang diajukannya belum cukup terwakili
dalam keterangan dan alat bukti yang diajukan oleh Presiden/Pemerintah, DPR,
dan/atau DPD.

Harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah melalui Panitera.

Apabila disetujui ditetapkan dengan Ketetapan Ketua Mahkamah. Apabila tidak


disetujui, pemberitahuan tertulis disampaikan kepada yang bersangkutan oleh
Panitera atas perintah Ketua Mahkamah Konstitusi. Salinan Ketetapan
disampaikan kepada Pihak Terkait.

Pemeriksaan dilakukan dengan mendengar keterangan yang berkaitan dengan


pokok permohonan. [Pasal 23 ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005]

Diberikan kesempatan untuk:


a. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis;
b. mengajukan pertanyaan kepada ahli dan/atau saksi;
c. mengajukan ahli dan/atau saksi sepanjang berkaitan dengan hal-hal yang
dinilai
belum terwajili dalam keterangan ahli dan/atau saksi yang telah didengar

Pihak Terkait

Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung:


Pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan
fungsinya perlu didengar keterangan; atau
Pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai
ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau
kewenangannya tidak secara langsung
terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena
kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan
dimaksud.
[Pasal 14 ayat (4) PMK Nomor 06/PMK/2005]

Pembuktian

Pembuktian dibebankan kepada Pemohon. (Pasal 18 ayat


(1) PMK Nomor 06/PMK/2005)
Alat bukti ialah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Surat atau tulisan;


Keterangan saksi;
Keterangan ahli;
Keterangan para pihak;
Petunjuk; dan
Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Pengambilan Putusan

Secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno


hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.
Setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap
permohonan.
Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi
tidak menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai
musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya.
Dalam hal musyawarah tidak dapat dicapai mufakat bulat,
putusan diambil dengan suara terbanyak.
Bila tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir
ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.

Isi Putusan

Putusan harus memuat sekurang-kurangnya :


a. kepala putusan yang berbunyi DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA;
b. identitas pemohon;
c. ringkasan permohonon yang telah diperbaiki;
d. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam
persidangan;
e. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. Amar putusan;
g. pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi; dan
i. hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan Hakim
Konstitusi, serta Panitera.
(Pasal 48 ayat (2) UU MK dan Pasal 33 PMK Nomor 06/PMK/2005)

Amar Putusan

Pasal 56
(1)Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2)Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3)Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4)Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan
dikabulkan.
(5)Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai
pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan
menyatakan permohonan ditolak.

21

Amar Putusan

Pasal 57
(1)
Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2)
Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa pembentukan undang-undang
dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(3)
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan
permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
putusan diucapkan.
22

Putusan MK

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian


undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah
Agung.
Putusan mempunyai kekuatan hukum tetap sejak selesai
diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk
umum.
Masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan
putusan Mahkamah Konstitusi.

23

GAMBARAN UMUM PROSES BERACARA DI


MAHKAMAH KONSTITUSI

Ps. 29 ayat (2), Ps. 31 ayat (2)

Ps. 32 ayat (1)

Ps. 32 ayat (2)

PENGAJUAN PERKARA
12 RANGKAP
DISERTAI BUKTI

PEMERIKSAAN
SYARAT
ADMINISTRASI

BELUM LENGKAP
DIBERITAHUKAN
DILENGKAPI DLM 7
HARI KERJA

Ps. 32 ayat (3)

REGISTRASI
BRPK

TELAH LENGKAP

PEMENUHAN
Ps. 32
ayat
(2)
KELENGKAPAN
DALAM 7 HARI KERJA

Ps. 34 ayat (2)

Ps. 34
ayat (1)

PENJADWALAN
14 HARI KERJA
SETELAH REGISTRASI

PEMBERITAHUAN KEPADA PEMOHON

Ps. 34 ayat (2), Ps. 34 ayat (3)

PENGUMUMAN KEPADA
MASYARAKAT
Ps. 35 ayat (1)

PERMOHONAN DAPAT DI TARIK


KEMBALI SELAMA PROSES

Ps. 39 ayat (1)

PEMERIKSAAN PENDAHULUAN
KELENGKAPAN
KEJELASAN PERMOHONAN

Ps. 39 ayat (2)

TIDAK LENGKAP/JELAS
DIBERITAHUKAN
DILENGKAPI 14 HARI
TELAH LENGKAP DAN JELAS

PEMOHON MELENGKAPI
ATAU MEMPERBAIKI
DALAM 14 HARI

PEMERIKSAAN PERBAIKAN
DAN KELENGKAPAN PERMOHONAN

RAPAT PLENO
TERTUTUP

LAPORAN DAN PEMBAHASAN


TINDAK LANJUT

PEMERIKSAAN PERSIDANGAN
PLENO TERBUKA UMUM
KEWENANGAN MK
KEDUDUKAN HUKUM
POKOK PERMOHONAN
PEMBUKTIAN

Ps. 13 ayat (1)


PMK No. 06/PMK/2005

Ps. 45 ayat (5)

RAPAT PLENO
TERTUTUP

Ps. 49

PENGAMBILAN PUTUSAN

SIDANG TERBUKA UMUM


PENGUCAPAN
PUTUSAN
Ps. 28 ayat (5), Ps. 47

PENYAMPAIAN
SALINAN PUTUSAN
KEPADA PIHAK

Permohonan Pengujian
Kembali

Pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003


Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan
pengujian kembali.
Pasal 42 PMK No. 06/PMK/2005
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU
yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian
UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama
dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat
dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat
konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang
bersangkutan berbeda.

27


Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah
Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan
yang menyatakan bahwa undang-undang
tersebut bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

28

Anda mungkin juga menyukai