Anda di halaman 1dari 18

Pihak-pihak yang

Bersengketa dan
Terkait dalam
Persidangan di MK
KELOMPOK 3:

1. Kiasnabila Mulyawan (11190480000004)


2. Eko Budi Cahyono (11190480000023)
3. Yasmine Shafa (11190480000048)
4. Syifa Fauziah (11190480000079)
5. Ainaya Zalsadilla (11190480000106)
Permohonan Legal Standing
01 Sengketa di MK 02 Pemohon

Pihak-pihak Terkait
03 dalam Persidangan di
MK
01.
Permohonan Sengketa di MK
Prosedur Permohonan Sengketa di Mahkamah Konstitusi

1. Pengajuan Permohonan

Merupakan tahap awal dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi (MK).


Permohonan yang diajukan harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. ditulis dalam Bahasa Indonesia;
b. ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya;
c. dalam 12 (duabelas) rangkap;
d. memuat uraian yang jelas mengenai permohonannya:
e. sistematika uraian
f. dilampiri alat-alat bukti pendukung
2. Pendaftaran dan Penjadwalan Sidang

Permohonan yang diajukan harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diuraikan di


muka. Untuk itu panitera melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan administrasi permohonan
itu. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada pemohon.

Dalam hal permohonan belum lengkap, pemohon diberi kesempatan untuk melengkapi dalam
tenggat waktu 7 (tujuh) hari kerja. Bila permohonan itu telah lengkap maka segera dicatat dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) dan pemohon diberikan Akta Registrasi Perkara. BRPK
itu memuat catatan tentang kelengkapan administrasi, nomor perkara, tanggal penerimaan berkas,
nama pemohon dan pokok perkara.

Setelah permohonan dicatat dalam BPRK, dalam waktu paling lambat 14 (empatbelas) hari kerja,
hari sidang pertama harus telah ditetapkan.
3. Alat Bukti

Pasal 36 UU MK menguraikan alat bukti yang digunakan para pihak untuk


membuktikan dalilnya. Alat bukti ini disesuaikan dengan sifat hukum acara MK
sehingga agak berbeda dengan alat-alat bukti yang dikenal dalam hukum acara
perdata, hukum acara pidana maupun hukum acara peratun.

Macam-macam alat bukti yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi adalah:


a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
4. Pemeriksaan Pendahuluan

Pemeriksaan Pendahuluan Sidang pertama harus ditetapkan dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari setelah permohonan dicatat dalam buku register sebagaimana diatur dalam Pasal 34
UU MK.

Sidang pertama ini adalah sidang untuk pemeriksaan pendahuluan. Sidang ini merupakan
sidang sebelum memeriksa pokok perkara. Dalam sidang pertama ini MK mengadakan
pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.

5. Pemeriksaan Persidangan

Pemeriksaan permohonan atau perkara konstitusi dilakukan dalam sidang MK terbuka untuk
umum, hanya Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dilakukan dalam sidang tertutup.
Dalam pemeriksaan persidangan Hakim Konstitusi memeriksa permohonan yang meliputi
kewenangan MK terkait dengan permohonan, kedudukan hukum (legal standing) pemohon, dan
pokok permohonan beserta alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Untuk kepentingan
pemeriksaan itu MK wajib memanggil para pihak, saksi dan ahli dan lembaga negara dimaksud.
Para pihak yang berperkara, saksi serta ahli memberikan keterangan yang dibutuhkan.
6. Putusan

Dasar hukum putusan perkara konstitusi adalah UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis negara
Republik Indonesia. Untuk putusan yang mengabulkan harus didasarkan pada sekurang-
kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa permohonan itu memenuhi
alasan dan syarat-syarat konstitusional sebagaimana dimaksud dalam konstitusi.

Putusan MK harus memuat hal-hal sebagai berikut:


a. kepala putusan berbunyi: ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
b. identitas pihak;
c. ringkasan permohonan;
d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan, dan
g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
02.
Legal Standing Pemohon
Legal standing adalah keadaan dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan
memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan
perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahmakah Konstitusi.

Menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK:


“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau hak konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum public atau privat; atau
d. Lembaga negara.”
Syarat umum Legal Standing Pemohon terdapat 2 macam:

Pemohon selanjutnya wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya. Sehingga untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi
pemohon harus dengan jelas mengkualifikasikan dirinya apakah bertindak sebagai perorangan
warga negara Indonesia, sebagai badan hukum publik atau privat atau sebagai lembaga negara.

Selanjutnya menunjukkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan akibat


keberlakuan undang- undang.

Kedua hal ini merupakan syarat terpenuhinya kedudukan hukum (legal standing)
Pemohon. Jika kedua hal itu tidak terpenuhi, maka Pemohon dianggap tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan perkara di depan Mahkamah
Konstitusi.
Dari beberapa konsep mengenai legal standing maka dapat
diketahui bahwa syarat mutlak untuk dapat berperkara di
Mahkamah Konstitusi adalah:

1. Adanya kerugian dari pemohon yang timbul karena berlakunya suatu undang-
undang.
2. Adanya kepentingan nyata yang dilindungi oleh hukum. Adanya kepentingan
hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata maupun hukum
acara tata usaha negara tidak dapat dijadikan dasar. Dalam hukum acara perdata
dikenal adagium point d'interet point d' action yaitu apabila ada kepentingan
hukum boleh mengajukan gugatan.
3. Adanya hubungan sebab akibat (causa verband) antara kerugian dan
berlakunya suatu undang-undang. Artinya dengan berlakunya suatu undang-
undang maka menimbulkan kerugian bagi pemohon.
4. Dengan diberikannya putusan diharapkan kerugian dapat dihindarkan atau
dipulihkan. Sehingga dibatalkannya suatu undang-undang atau pasal dalam
undang-undang atau ayat dalam undang-undang dapat berakibat bahwa kerugian
dapat dihindarkan atau dipulihkan.
03.
Pihak-pihak Terkait dalam
Persidangan di MK
PERATURAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 06/PMK/2005
TENTANG PEDOMAN BERACARA
DALAM PERKARA PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG

PASAL 14
(1) Pihak Terkait yang dimaksud Pasal 13 ayat (1) huruf g adalah pihak yang berkepentingan langsung atau
tidak langsung dengan pokok permohonan.

(2) Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hakdan/atau kewenangannya
terpengaruh oleh pokok permohonan.

(3) Pihak Terkait sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan hak-hak yang sama dengan Pemohon
dalam persidangan dalam hal keterangan dan alat bukti yang diajukannya belum cukup terwakili dalam
keterangan dan alat bukti yang diajukan oleh Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD.

(4) Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah:


a. pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya; atau
b. pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau
kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya
yang tinggi terhadap permohonan dimaksud

(5) Pihak Terkait sebagaimana dimaksud ayat (1) harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah melalui
Panitera, yang selanjutnya apabila disetujui ditetapkan dengan Ketetapan Ketua Mahkamah, yang
salinannya disampaikan kepada yang bersangkutan.

(6) Dalam hal permohonan Pihak Terkait tidak disetujui, pemberitahuantertulis disampaikan kepada yang
bersangkutan oleh Panitera atasperintah Ketua Mahkamah.
Pihak Terkait dalam Pemeriksaan Persidangan
Mahkamah Konstitusi
Tidak hanya pihak terkait yang
berkepentingan langsung, berkepentingan
Dalam hukum acara judicial review di tidak langsung juga dapat dikatagorikan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sebagai Pihak Terkait dalam hukum acara
dikenal juga dengan konsep serupa hanya Mahkamah Konstitusi.
saja disebut dengan istilah “Pihak Terkait
yang Berkepentingan” atas objek uji materiil Pihak Terkait juga bisa dibagi dua katagori,
yang dimohokan pengujiannya kehadapan pertama pihak yang karena kewenangan
Mahkamah. Atas inisiatif pribadi, pihak yang atau kedudukanya berkaitan dengan pokok
berkempentingan/Terkait ini dapat tampil acara dari materi yang sedang dimohonkan
dengan legal standing-nya sendiri, entah pengujiannya, yang kedua adalah pihak
untuk membantah ataupun menguatkan dalil- yang akan terpengaruh hak konstitusi,
dalil Pemohon Uji Materiil. kewenangan ataupun kedudukanya apabila
permohonan uji materi tersebut dikabulkan
oleh Mahkamah Konstitusi.
Implikasi dari Kekaburan Norma Pihak Terkait dalam
Pemeriksaan Persidangan Peradilan Konstitusi
• Kekaburan pengaturan berdampak atas kepastian hukum bagi para
pihak terkait untuk berkomitmen penuh atas permohonannya yang
secara inisiatif pribadi mengajuka diri sebagai pihak terkait.

• Apabila pihak yang telah dikabulkan permohonannya sebagai pihak


terkait tidak berkomitmen untuk menuntaskan perannya dalam
persidangan, maka untuk mengatasi hal tersebut harusnya ada aturan
yang jelas mengatur apakah ada sanksi tertentu bagi pihak yang telah
dikabulkan permohonanya yang kemudian tidak menyelesaikan proses
persidangan hingga akhir.

• Kepastian hukum untuk para pihak yang berkepentingan baik secara


langsung maupun tidak langsung harus diatur secara jelas dan
mengikat agar persidangan di peradilan konstitusi dapat berjalan
dengan sebagaimana mestinya dan tidak ada pihak yang seolah tidak
menghormati proses yang sedang berlangsung di peradilan konstitusi.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai