Anda di halaman 1dari 3

HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Syarat-Syarat pembubaran Partai Politik adalah Beberapa alasan yang dapat dijadikan
dasar untuk membubarkan partai politik oleh MK adalah sebagaimana diatur dalam
Pasal 68 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi jo. Pasal Pasal 40 ayat (2) dan ayat (5) jo.
Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik, di antaranya:

 Mempunyai ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan dari partai politik yang
bersangkutan bertentangan dengan UUD NRI 1945;
 Menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham
komunisme/Marxisme-Leninisme.
 Melakukan kegiatan atau akibat yang ditimbulkan bertentangan dengan UUD NRI
1945 dan peraturan perundang-undangan; atau
 Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

2. Yang memiliki Legal Standing dalam membubarkan Partai Politik adalah Pemerintah
Pembubaran Partai Politik menyebutkan: (1) Pemohon adalah Pemerintah, (2)
Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi,
asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap
bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, pembubaran partai politik dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
atas permohonan pemerintah, atau dalam hal ini lembaga eksekutif. Dalam
permohonannya pemerintah harus memaparkan alasan seputar pembubaran tersebut,
berdasarkan indikator-indikator diatas, yaitu Ideologi Partai, Asas Partai, Tujuan
Partai, Program Partai, Kegiatan Partai Politik yang bersangkutan. Sehingga sesuai
dengan hukum yang mengatur tentang mekanisme pembubaran partai oleh Mahkamah
Konstitusi.

3. Prosedur pembubaran Partai Politik dapat merujuk pada Peraturan Mahkamah


Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran
Partai politik. Proseduralnya adalah sebagai berikut :
- Pemohon (pemerintah) yang diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau Menteri yang
ditugasi Presiden untuk itu.
- Pemohon Mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa indonesia
atau kuasanya kepada Mahkamah
- Permohonan ditandatangani 12 (dua belas) rangkap
- Permohonan diregistrasi di Kepaniteraan, apabila dinyatakan lengkap maka
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK).
- Pemeriksaan didepan persidangan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk
umum yang sekurang-kurangnya dihadiri oleh 7 orang hakim konstitusi.
- Sidang pertama adalah pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa
kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
- Dalam sidang Pemohon dan Termohon diberi kesempatan yang sama untuk
menyampaikan dalil-dalilnya baik secara lisan maupun tertulis
- Menghadirkan alat-alat bukti dari masing-masing pihak
- Lalu setelah itu Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) diselenggarakan untuk
mengambil putusan pemeriksaan persidangan
- Putusan dijatuhkan
4. Prosedurnya merujuk pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006
tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga
Negara, adalah sebagai berikut :
- Permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia, yang memuat identitas lembaga
negara yang menjadi pemohon, dan uraian yang jelas mengenai kewenangan
yang dipersengketakan
- Permohonan dibuat dalam rangkap 12 (dua belas)
- Permohonan selain dibuat dalam bentuk tertulis, harus pula dibuat dalam
bentuk digital
- Permohonan diajukan kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi.
- Permohonan harus disertai alat-alat bukti pendukung, apabila akan
mengajukan saksi dan/atau ahli, maka pihak tersebut harus menyertakan daftar
ahli dan/atau saksi.
- Setelah berkas dinilai lengkap maka persidangan dapat dilakukan oleh
Mahkamah
5. Contoh kasus penyelesaian sengketa antar lembaga negara yang diselesaikan oleh
Mahkamah Konstitusi Ketika Rezim Pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) lewat Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin dan Menteri
Keuangan Agus Martowardjojo “menggugat” DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Gugatan dilakukan melalui Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN)
terkait pembelian divestasi 7 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) oleh
pemerintah. kebijakan pembelian saham 7 persen yang dilepas PT NNT itu murni
kewenangan konstitusional pemerintah sesuai kewenangan yang diberikan Pasal 4 ayat
(1), Pasal 17, Pasal 23C, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Jadi, bukan kewenangan DPR, akan tetapi Presiden melalui
menteri keuangan mengklaim bahwa investasi pemerintah lewat pembelian 7 persen
saham divestasi PT NNT Tahun 2010 dengan pemegang saham asing seharusnya tanpa
perlu persetujuan termohon I (DPR), dikarenakan adanya persoalan ini menimbulkan
perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR. DPR menganggap bahwa pemerintah
hanya dapat membeli 7 persen saham divestasi PT NNT setelah mendapat persetujuan
DPR. Hal itu dituangkan dalam surat No. PW.01/9333/DPR-RI/X/2011 dan No.
AG/9314/DPR-RI/X/2011 tertanggal 28 Oktober 2011. Berdasarkan sengketa antar
lembaga negara tersebut maka diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dan MK
menyatakan pemohon memiliki kewenangan konstitusional sesuai Pasal 4 ayat (1), Pasal
17 ayat (1), Pasal 23C, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berupa pembelian 7 persen
divestasi PT NNT tanpa memerlukan persetujuan DPR.

Anda mungkin juga menyukai