Anda di halaman 1dari 7

TUGAS ANALISIS PUTUSAN MK NO.

33/PUU-XIV/2016
TERKAIT PENGUJIAN UU NO. 8 TAHUN 1981 TERHADAP
UUD 1945
Dr. I Gede Yusa, SH.,MH

OLEH:

I Putu Gede Yoga Pramana 1303005192

Tarsisius Maxmilian Tambunan 1303005238

Arya Bagus Khrisna Budi Santosa P. 1303005239

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR NOMOR 33/PUU-
XIV/2016 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

A. OBJEK DAN SUBJEK PERKARA


1. Objek Perkara
Objek perkara yang dimaksud di sini adalah terkait perkara apa yang dimohonkan
oleh pihak Pemohon ke Mahkamah Konstitusi. Objek perkara konstitusi yang menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat
(2) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi, diantaranya
adalah:
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik;dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pada contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 tersebut
terlihat jelas bahwasanya objek dari perkara yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi
tersebut adalah terkait pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, khususnya rumusan Pasal 263 undang-undang tersebut, yaitu berbunyi:
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya
dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

2. Subjek Hukum ( Para Pihak )


Pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi tentu ada para pihak atau subjek hukum
yang mengajukan permohonan perkara tersebut. Para pihak dalam perkara di Mahkamah
Konstitusi tersebut tidak mengenal yang namanya Penggugat dan Tergugat, akan tetapi
memakai istilah pihak Pemohon sebagai pihak yang mutlak harus ada dan jelas tercantumkan
di dalam suatu surat permohonan, kemudian adanya pihak Termohon atau Pihak Terkait.
Syarat-syarat dari para pihak yang dapat dikatakan sebagai Pemohon dalam pengajuan
perkara ke Mahkamah Konstitusi adalah tergantung pada 4 (empat) bentuk permohonan
perkara (objek perkara) yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi itu sendiri, dimana
masing-masing tersebut telah diatur di dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi,
diantaranya :
a. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
 Merupakan pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
b. Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar.
 Merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan
langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan
c. Pembubaran partai politik
 Pemohon adalah Pemerintah.
d. Perselisihan hasil pemilihan umum
 Merupakan perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah peserta pemilihan umum;
 Merupakan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden; dan
 Merupakan partai politik peserta pemilihan umum.
Pada contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 tentang
pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pihak yang berperkara
adalah :
a. Pemohon
Nama : Anna Boentaran
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jalan Simprug Golf I Kavling 89 RT 003 RW 008, Grogol
Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 28 Januari 2016 memberi kuasa kepada
1) Muhammad Ainul Syamsu, S.H., M.H., 2) Syaefullah Hamid, S.H., 3) Hafisullah Amin
Nasution, S.H., 4) Teuku Mahdar Ardian, S.HI., Advokat/Pengacara, yang tergabung dalam
Kantor Hukum Syamsu Hamid & Partner.

b. Termohon atau Pihak Terkait


Secara Eksplisit yang disebut dengan pihak Termohon hanyalah untuk sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara, sedangkan untuk pembubaran partai politik,
perselisihan hasil pemilu, dan impeachment adanya pihak Termohon bersifat implisit, dan
bahkan untuk pengujian konstitusionalitas undang-undang tidak ada pihak Termohon, DPR
dan Pemerintah (Presiden) hanya pemberi keterangan sebagai pembentuk undang-undang
(Abdul Mukthie Fadjar, 2006: 131).
Berdasarkan hal di atas, maka perkara dalam contoh Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 33/PUU-XIV/2016 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tersebut tidak ada yang namanya Pihak Termohon, akan tetapi dalam perkara
tersebut Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanyalah sebagai pemberi keterangan
atas dasar permintaan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 54 UU Mahkamah Konstitusi, bahwa “Mahkamah Konstitusi dapat meminta
keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau
Presiden”.
Hal demikian berlaku karena berkaitan erat dengan amanat konstitusi yang
menyebutkan bahwa Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat dapat membentuk Undang-
undang, sehingga beralasanlah kalau Mahkamah Konstitusi meminta keterangan dan/atau
risalah rapat terkait pembentukan UU yang merupakan permohonan yang sedang diperiksa.

B…………………………………..
C…………………………………..

D. ANALISIS
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 UUD 1945 setelah perubahan, Mahkamah Konstitusi
adalah salah satu kekuasaan kehakiman yang ada di Indonesia, merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang
memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final,
artinya tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan dan karenanya Putusan tersebut
akan mengikat para pihak secara umum dimana para pihak tersebut harus tunduk dan taat
melaksanakan putusan tersebut.
Oleh karena putusan bersifat final tersebut, maka jelaslah bahwasanya Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya segala hal
menyangkut perkara yang diajukan oleh Pemohon sebagai salah satu bentuk usaha untuk
tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi.
Secara keseluruhan jika sudah berada pada penganalisaan suatu Putusan Mahkamah
Konstitusi maka secara tidak langsung hal tersebut telah menunjukkan bahwa prosedur
sebelum perkara dapat diadili di Mahkamah Konstitusi sudah terpenuhi dan telah melalui
tahap-tahap atau proses pemeriksaan di persidangan Mahkamah Konstitusi, seperti syarat-
syarat dari pengajuan suatu permohonan perkara yang didaftarkan , baik itu syarat-syarat
yang melekat pada diri para pihak maupun pada objek yang dimohonkan , sebagaimana yang
telah diuraikan sebelumnya.
Maka untuk selanjutnya Penulis akan mencoba menjelaskan dan menguraikan satu per
satu dari hal-hal yang perlu untuk disoroti lebih jauh lagi terkait penganalisaan terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
1. Isi / Bagian Putusan
Secara umum yang menjadi Isi atau Bagian dari suatu Putusan Mahkamah Konstitusi
adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi :
a. Kepala Putusan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”;
b. Identitas para pihak;
c. Ringkasan permohonan;
d. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
e. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar Putusan;
f. Amar putusan;
g. Hari, tanggal putusan, nama Hakim Konstitusi, dan Panitera.
Menurut hemat Penulis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016
terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara keseluruhan
sudah memenuhi syarat dari Isi atau Bagian-bagian yang harus termuat dalam suatu Putusan
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 48 UU MK tersebut di
atas.

2. Kompetensi Mengadili
Perkara yang diajukan oleh Pihak Pemohon Anna Boentaran ke Mahkamah
Konstitusi, jika mengacu kepada ketentuan Pasal 10 UU MK, maka perkara yang diajukan
tersebut adalah termasuk kedalam salah satu dari wewenang Mahkamah Konstitusi, yaitu
menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Akan tetapi hal tersebut belumlah serta merta
menunjukkan kewenangan Mahkamah Konstitusi, karena selain dari pada itu yang perlu
diperhatikan dalam pengujian UU terhadap UUD 1945, juga harus memperhatikan ketentuan
Pasal 50 UU MK bahwa “ Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah
Undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945”.
Jika dilihat dan dibandingkan antara tahun perubahan terakhir UUD 1945 dengan
tahun diundangkannya Undang-undang yang diajukan untuk di uji di Mahkamah Konstitusi
yaitu UU Nomor 8 Tahun 1981, maka UU yang diujikan oleh Pemohon Anna Boentaran ke
MK sudah memenuhi ketentuan dari Pasal 50 UU MK tersebut, karena UU tersebut dibuat
dan disahkan setelah terjadinya perubahan UUD 1945.

3. Kedudukan Hukum (Legal Standing)


Ketentuan Pasal 51 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemohon yang dapat mengajukan
permohonan perkara pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-undang.
Dalam hal ini yang dikatakan hak dan kewenangan konstitusinya dirugikan oleh
Undang-undang adalah sebagaimana yang diatur lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 006/PUU-III/25 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor II/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 adalah bahwasanya kerugian
konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan actual atau setidak-tidaknya
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Dalam contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 dimana
Anna Boentaran sebagai Pihak Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan perkaranya ke Peradilan Mahkamah Konstitusi.

4. Pertimbangan Hukum
Secara garis besar pendapat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap
pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 terkait
Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 terhadap UUD 1945 tersebut Penulis
sependapat dengan dengan pertimbangan tersebut.

5. Amar Putusan
Setelah semua pemeriksaan di persidangan dilakukan, selanjutnya adalah tahap
penjatuhan putusan akhir. Amar putusan adalah apa yang diputuskan secara final oleh
Mahkamah Konstitusi.
Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim setelah dilakukannya
pemeriksaan perkara di persidangan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 56 Undang-undang Mahkamah Konstitusi, bentuk-bentuk Putusan
Mahkamah Konstitusi dapat berupa :
a. Menyatakan permohonan tidak dapat diterima, jika dalam hal Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa Pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat
dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU MK.

b. Menyatakan permohonan dikabulkan, jika dalam hal Mahkamah Konstitusi


berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan
dikabulkan.

c. Menyatakan permohonan dikabulkan, jika dalam hal pembentukan Undang-undang


dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-undang berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

d. Menyatakan permohonan ditolak, jika dalam hal undang-undang dimaksud tidak


bertentangan dengan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagaian atau keseluruhan.
Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang menjadi Amar
Putusan/Putusan akhir Majelis Hakim terhadap perkara yang diajukan Pemohon sebagaimana
yang telah diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim tanggal 13 April 2016,
yaitu mengadili “MENGABULKAN PERMOHONAN PEMOHON”
Dengan dinyatakannya permohonan Pemohon dikabulkan, maka Pasal 263 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diperkarakan oleh
Pemohon tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang
dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo, dimana dalam hal ini
Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwasanya Undang-undang tersebut bertentangan
dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara
eksplisit tersurat dalam norma a quo, dimana bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang dijadikan acuan oleh Pemohon
dalam mengajukan perkaranya ke Mahkamah Konstitusi.

Anda mungkin juga menyukai