Anda di halaman 1dari 4

Asas-Asas Mah .

Konstitusi

Mendasarkan dari tulisan Maruarar Siahaan dalam bukunya Hukum Acara


Mahkamah Konstitusi (hal. 44-57), sebagaimana yang kami sarikan terdapat asas-
asas yang telah diakui secara universal yang harus dipatuhi oleh MK, antara lain:

 
1. Persidangan Terbuka untuk Umum
Pasal 40 ayat (1) UU MK menentukan secara khusus bahwa sidang MK terbuka
untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim (“RPH”). Keterbukaan
sidang ini merupakan salah satu bentuk social control dan juga bentuk
akuntabilitas hakim. Tetapi menurut Maruarar, meskipun tidak diatur, MK dapat
mengatur sidang pemeriksaan bila yang dilakukan tertutup, jika dipandang ada
alasan yang sangat penting, yang fakta-faktanya belum dapat diungkapkan secara
terbuka, terutama menghindari tekanan yang merugikan independensi dan
imparsial MK dalam memutus.
 
2. Independen dan Imparsial
Pasal 2 UU MK menyatakan bahwa MK merupakan salah satu lembaga negara
yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU
Kekuasaan Kehakiman”) menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
Independensi atau kemandirian tersebut sangat berkaitan erat dengan sikap
imparsial atau tidak memihak hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam
pengambilan keputusan.
 
3. Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana, dan Murah
Dalam Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa peradilan
dilakukan dengan:
 Sederhana (pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan
cara efesien dan efektif).
 cepat, dan
 biaya ringan (biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat).
Namun demikian, asas tersebut tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan
dalam mencari kebenaran dan keadilan.
 
4. Hak untuk Didengar Secara Seimbang (Audi et Alteram Partem)
Pada perkara pengujian undang-undang, maka pemohon dan pemerintah serta
Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) maupun pihak yang berkaitan langsung
dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji juga diberi hak yang sama
untuk didengar.

Dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara, sengketa hasil pemilihan


umum (“pemilu”), dan pembubaran partai politik, yang secara eksplisit disebut
adanya pihak termohon, asas ini akan tampak lebih tegas dalam pelaksanaannya.
Termohon harus didengar keterangannya dalam persidangan, dan hal itu
merupakan hak prosesual yang tidak dapat dikesampingkan.
 
5. Hakim Aktif dan Juga Pasif dalam Proses Persidangan
Maruarar mengatakan bahwa sesungguhnya dapat dilihat paradoksal, karena sikap
pasif sekaligus aktif harus dianut hakim. Akan tetapi, adanya karakteristik khusus
perkara konstitusi yang kental dengan kepentingan umum ketimbang kepentingan
perorangan telah menyebabkan proses persidangan tidak dapat diserahkan melalui
inisiatif pihak-pihak. Mekanisme constitutional control harus digerakkan pemohon
dengan satu permohonan dan dalam hal demikian, hakim bersifat pasif dan tidak
boleh secara aktif melakukan inisiatif untuk menggerakkan mekanisme MK
memeriksa perkara tanpa diajukan dengan satu permohonan. Maka sekali
permohonan didaftar dan mulai diperiksa, disebabkan adanya kepentingan umum
yang termuat di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung akan memaksa
hakim untuk bersikap aktif dalam proses dan tidak menggantungkan proses hanya
pada inisiatif pihak-pihak, baik dalam rangka menggali keterangan maupun bukti-
bukti yang dianggap perlu untuk membuat jelas dan terang hal yang diajukan
dalam permohonan tersebut.
 
6. Ius Curia Novit
Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
 
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
 
Asas ius curio novit ditafsirkan secara luas, yaitu memberikan wewenang kepada
pengadilan (hakim) untuk menemukan hukum (rechts vinding) untuk mengadili
perkara yang diajukan kepadanya. Penemuan hukum itu dimaksudkan agar para
pencari keadilan (justitiabelen) tetap terjamin haknya untuk memperoleh keadilan,
walaupun hukum tertulis belum mengaturnya.
 Wewenang MK/Jenis Sengketa
Berkaitan dengan wewenang dari MK atau jenis sengketa yang dapat diajukan
permohonannya ke MK telah diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU
MK sebagai berikut:
 
1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
 
Siapa yang Boleh Mengajukan Permohonan?
Untuk mempersingkat jawaban, akan kami uraikan pihak yang boleh mengajukan
permohonan dalam perkara pengujian undang-undang dan perselisihan hasil
pemilihan umum.
 
Dalam perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945 (“UUD 1945”), yang boleh mengajukan permohonan ditentukan dalam Pasal
51 ayat (1) UU MK jo Pasal 3 PMK 06/2005 sebagai berikut:
 
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
 
Simak juga artikel Pengertian Legal Standing Terkait Permohonan ke
Mahkamah Konstitusi.
 Sementara itu, untuk perselisihan hasil pemilihan umum, dalam Pasal 74 ayat (1)
UU MK jo. Pasal 3 PMK 04/2004 disebutkan bahwa:
 
Pemohon adalah:
a. perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
b. pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden; dan
c. partai politik peserta pemilihan umum.
 
Sebagai informasi, menurut Maruarar dalam buku yang sama (hal. 63), hukum
acara MK tidak mengenal adanya intervensi baik dengan menggabungkan diri
dengan pemohon atau termohon. Dalam hukum acara perdata intervensi ini
disebut voeging sehingga gugatan intervensi tidak dikenal. Alasannya adalah
karena pengujian undang-undang maupun sengketa kewenangan
dan impeachment sesungguhnya tidak mewakili kepentingan pribadi yang bersifat
individiual melainkan menyangkut kepentingan umum.
 
Beban Pembuktian
Menurut Maruarar dalam buku yang sama (hal. 108-109), bahwa pemohon yang
mendalilkan adanya undang-undang yang melanggar konstitusi atau kesalahan
perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pemilu atau kewenangan
berdasar UUD 1945 yang diambil satu lembaga negara lain maupun pelanggaran
hukum yang dilakukan Presiden, wajib meyakinkan hakim akan kebenaran dalil
tersebut dengan alat-alat bukti yang sah sebagaimana disebut di dalam undang-
undang.
 Namun apabila pembuktian yang diajukan dipandang tidak mencukupi atau tidak
meyakinkan, maka hakim MK karena jabatannya dapat memerintahkan saksi
dan/atau ahli tertentu untuk hadir guna didengar keteranganya di depan MK
sehubungan dengan permohonan pemohon. Berdasarkan keadaan ini, kita dapat
mengatakan bahwa hukum acara MK menganut teori pembuktian bebas karena
baik luas maupun beban pembuktian diserahkan pada hakim konstitusi. Lebih
lanjut Maruarar mengutip pendapat Indroharto yang menyebutkan hal yang
demikian sebagai ajaran pembuktian bebas yang terbatas karena alat bukti yang
boleh digunakan dalam membuktikan sesuatu sudah ditentukan secara limitatif
dalam undang-undang.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai