Konstitusi
1. Persidangan Terbuka untuk Umum
Pasal 40 ayat (1) UU MK menentukan secara khusus bahwa sidang MK terbuka
untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim (“RPH”). Keterbukaan
sidang ini merupakan salah satu bentuk social control dan juga bentuk
akuntabilitas hakim. Tetapi menurut Maruarar, meskipun tidak diatur, MK dapat
mengatur sidang pemeriksaan bila yang dilakukan tertutup, jika dipandang ada
alasan yang sangat penting, yang fakta-faktanya belum dapat diungkapkan secara
terbuka, terutama menghindari tekanan yang merugikan independensi dan
imparsial MK dalam memutus.
2. Independen dan Imparsial
Pasal 2 UU MK menyatakan bahwa MK merupakan salah satu lembaga negara
yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU
Kekuasaan Kehakiman”) menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
Independensi atau kemandirian tersebut sangat berkaitan erat dengan sikap
imparsial atau tidak memihak hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam
pengambilan keputusan.
3. Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana, dan Murah
Dalam Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa peradilan
dilakukan dengan:
Sederhana (pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan
cara efesien dan efektif).
cepat, dan
biaya ringan (biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat).
Namun demikian, asas tersebut tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan
dalam mencari kebenaran dan keadilan.
4. Hak untuk Didengar Secara Seimbang (Audi et Alteram Partem)
Pada perkara pengujian undang-undang, maka pemohon dan pemerintah serta
Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) maupun pihak yang berkaitan langsung
dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji juga diberi hak yang sama
untuk didengar.