Anda di halaman 1dari 23

KESIMPULAN PEMOHON

REPUBLIK INDONESIA
ATAS
PERMOHONAN PENGUJIAN MATERIL PASAL 2 AYAT (1) DAN AYAT (2) DAN
PASAL 8 HURUF F UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGERA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

DALAM PERKARA
NOMOR :

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


JAKARTA, NOVEMBER 2022
Dengan Hormat, Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : E. Ramos Petege
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Jl. Merpati IV No.5, Rawa Makmur, Kota Bengkulu

Selanjutnya disebut
sebagai……………………………………………………….PEMOHON

Berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 30 September 2022 memberi kuasa kepada :
1. Silvina, S.H., M.H
2. Apri Utama, S.H., M.H
Yang merupakan pengacara/advokat dari kantor Advokat dan Konsultan Hukum “Dewi
Keadilan” Jl. Wr. Supratman, Pematang Gubernur, Kec. Muara Bangka Hulu, Kota
Bengkulu, TELP/FAX (0346) 765214 Email : dewikeadilan12@gmail.com. Baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama Pemohon.

Selanjutnya disebut sebagai………………………………………………..”PARA


PEMOHON”

Dengan ini mengajukan Kesimpulan Pemohon dalam perkara nomor : 003/PUU-XI/2022


di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, perihal Pengujian Materiil Pasal 5 ayat (4) dan
Pasal 9 Undang-Undang No.3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Adapun kesimpulan ini
akan Pemohon uraikan didalam beberapa bagaian sebagai berikut :

I. DUDUK PEKARA

Sebagaimana telah kami sampaikan pada Permohonan yang kami bacakan sebelumnya,
duduk perkara dalam pengujian Pasal-Pasal A quo terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sungguhnya merupakan upaya guna menjamin adanya
kepastian hukum yang akan menciptakan keadilan dalam masyarakat dikarenakan
penyimpangan interpretasi serta implementasi bagi aparat penegak hukum sehingga
menimbukkan banyak kerugian bagi seluruh masyarakat Indonesia.
I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Bahwa ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Menyatakan :
“ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang -
undang Dasar NRI 1945”
2. Bahwa ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya disebut (UU Kekuasaan
Kehakiman) menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk :
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.”;
3. Bahwa selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut UU MK) menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus tentang hasil perselisihan pemilihan umum.
e. Wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.”;
4. Bahwa lebih lanjut Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah
dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan menegaskan bahwa:
“Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi”
5. Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk memiliki fungsi antara lain sebagai
lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), lembaga
demokrasi pengimbang dan pengarah sistem demokrasi, lembaga penafsir
tertinggi atas ketentuan konstitusi (the sole and the highest interpreter of the
constitution) dan lembaga penjaga hak-hak konstitusional warga negara (the
protector of constitutional rights of the citizens). Maka apabila dalam proses
pembentukan undang-undang terdapat hal-hal yang bertentangan dengan
konstitusi apalagi sampai melanggar hak konstitusional warga negara Indonesia,
maka Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan secara menyeluruh ataupun
bersyarat Pasal dari undang-undang yang diuji;
6. Bahwa dengan demikian Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
Permohonan Pemohon.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang


untuk melakukan pengujian suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
A. LEGAL STANDING
Adapun yang menjadi dasar pijakan serta kedudukan Pemohon sebagai pihak yang
berkepentingan terdapat permohonan a quo, dilandasi :
1. Bahwa menurut Dr. H. Imam Soebechi, S.H., M.H. dalam buku Hak Uji
Materil secara harfiah legal standing dapat diartikan sebagai kedudukan
hukum. Legal standing, standing tu sue, ius standi, locus standi juga dapat
diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk
tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (civil
proceding). Lebih sederhana lagi, legal standing dapat diartikan sebagai “hak
gugat”.
2. Bahwa berdasarkan pendapat Prof. Dr. M. Laica Marzuki legal standing
adalah suatu dasar dari seseorang atau kelompok orang untuk mengajukan
permohonan pengujian undang-undang. pendapat Prof. Dr. M. Laica Marzuki
bergandengan dengan pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi bahwa seorang pemohon ialah pihak yang
merasa dirugikan oleh berlakunya undang-undang tersebut.
3. Bahwa berdasarkan pendapat sudikno mertokusumo,legal standing sebuah
tuntutan haruslah mempunyai kepentingan hukum yang cukup karena itu
merupakan syarat utama untuk dapat diterimanya tuntutan oleh pengadilan
guna untuk dapat diperiksa.
4. Bahwa menurut Harjono dalam bukunya yang berjudul Konstitusi sebagai
Rumah Bangsa, legal standing diartikan sebagai keadaan di mana seseorang
atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai
hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa
atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi.
5. Bahwa berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan definisi dari
legal standing adalah hak seseorang untuk mengajukan permohonan atau
gugatan dalam penyelesaian perselisihan atau sengketa di depan lembaga
peradilan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi.
6. Bahwa dimilikinya kedudukan hukum/legal standing merupakan syarat yang
harus dipenuhi oleh setiap pemohon untuk mengajukan permohonan.
Pasal 51 ayat (1) UU Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo Pasal 3
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau Hak
Konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.”

Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang Undang Mahkamah Konstitusi :


“Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam
UUD NRI 1945.”
A. Bahwa jaminan seseorang untuk dapat mengajukan permohonan telah dijamin oleh
konstitusi tertulis dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dalam Pasal 28D ayat (1) ayat (1) yang mengatur bahwa:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
B. Bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk menjaga supremasi
konstitusi, termasuk dari aturan hukum yang melanggar konstitusi. Oleh karena itu,
sesuai dengan prinsip supremasi konstitusi, hukum yang bertentangan dengan
konstitusi adalah batal. Hal itu secara tegas dinyatakan oleh John Marshall Bahwa
untuk menjamin keadilan diperlukan lembaga yang dapat menguji pemberlakuan
undang-undang di tengah masyarakat, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi.
C. Bahwa dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang - Undang Mahkamah Konstitusi
mengatur sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak - hak yang
diaturpengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur di dalam
Pasal 51 ayat (1) Undang Undang Mahkamah Konstitusi.
D. Bahwa mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi dalam
yurisprudensinya memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian
konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang - undang harus
memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
006/PUU/-III/2005 dan Nomor: 011/PUU-V/2007, sebagai berikut:

1. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang -


Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
2. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh suatu Undang - Undang yang diuji.
3. Bahwa kerugian konstitusional yang dimaksud bersifat spesifik atau
khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang - Undang yang dimohonkan untuk diuji.
5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagiterjadi.
E. Bahwa menurut Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi ada
tiga syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya kedudukan hukum (legal standing)
pemohon dalam perkara pengujian Undang - Undang terhadap Undang - Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 di Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1. Pihak yang bersangkutan haruslah terlebih dahulu membuktikan identitas
dirinya telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51
Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
2. Pihak yang bersangkutan haruslah membuktikan bahwa dirinya memang
mempunyai hak - hak tertentu yang dijamin atau kewenangan - kewenangan
tertentu yang ditentukan dalam Undang - Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945
3. Hak - hak atau kewenangan konstitusional dimaksud memang terbukti telah
dirugikan oleh berlakunya Undang - Undang yang bersangkutan.
A. Bahwa oleh karena itu, Pemohon menguraikan kedudukan hukum (Legal
Standing), Pemohon dalam mengajukan permohonan dalam perkara a quo,
sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia sejak lahir, yang dapat
dibuktikan Kartu Tanda Penduduk bernomor 1719098765432123, sehingga
berdasarkan ketentuan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan, Pemohon merupakan warga negara Indonesia.

B. ALASAN PERMOHONAN UJI MATERIIL (POSITA)


Bahwa pokok permohonan adalah ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) dan Pasal 8 huruf f
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan :
Pasal 2 ayat (1)
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”.
Pasal 2 ayat (2)
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan perundang-undangang yang berlaku.”
Pasal 8 huruf f
“mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin.”

1. Bahwa pemohon mendalilkan Pasal a quo bertentangan dengan pasal 28 B ayat (1) UUD
NRI 1945, Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945, Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI 1945, yang
masing-masing menyatakan sebagai berikut :
Pasal 28 B ayat (1) UUD NRI 1945 :
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah”
Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945 :
“Hak untuk hidup,hak untuk tidak disiksa,hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 :
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.”
2. Bahwa menurut Pemohon Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yang berbunyi “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dianggap bertentangan dengan Pasal 28
B Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Bahwa pemohon menganggap bahwa
hak untuk melangsungkan perkawinan dan hak untuk membentuk keluarga yang dijamin
didalam Pasal 28 B ayat (1) UUD NRI 1945 terlanggar karena Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1
tahun 1974 yang menerapkan pembatasan terhadap perkawinan berdasarkan agama dan
kepercayaan. Artinya, pengaturan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 ini
menyebabkan pembatasan terhadap hak warga indonesia untuk melangsungkan perkawinan
yang merupakan bagian dari hak asasi manusia jika dikaitakan dengan agama dan
kepercayaan.
3. Bahwa menurut pemohon Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yang berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan perundang-
undangang yang berlaku.” Bahwa menurut pemohon untuk mendapatkan pencatatan
perkawinan beda agama sangatlah sulit dilakukan mengingat hal tersebut hanya dapat
dilakukan untuk yang beragama islam dilakukan melalui kantor urusan agama sedangkan
untuk non-muslim dilakukan melalui kantor catatan sipil, sedangkan untuk Pemohon yang
ingin melangsungkan perkawinan beda agama tidak tau dimana ia harus mencatat perkawinan
tersebut apabila berlangsung. hal ini membuktikan bahwa pasal 2 ayat (2) ini bertentangan
dengan Pasal 28 B Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Bahwa Pemohon juga
mempunyai hak yang sama di hadapan hukum untuk mendapat pencatatan perkawinan beda
agama, yang mana pernikahan beda agama tersebut merupakan hak dan pilihan pemohon
untuk dapat membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan.
4. Bahwa menurut Pemohon Pasal 8 huruf f undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yang menyatakan “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.” Pemohon
mengganggap bahwa pasal ini mempunyai hubungan dengan perkawinan yang dilarang
dilaksanakan oleh masing-masing agama dari calon mempelai . Tetapi pasal ini tidak
merincikan dan bisa menimbulkan multi tafsir tentang hubungan perkawinan seperti apa yang
diatur dimasing-masing agama. Bahwa jelas bagi pemohon pasal ini dianggap bertentangan
dengan Pasal 28 B Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Bahwa pemohon merasa
dengan adanya Pasal 8 Huruf f ini membuat pemohon kesulitan untuk memaknainya dan
dengan itu pemohon merasa bahwa haknya untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan
tidak bisa dilaksanakan jika Pasal 8 Huruf f ini tidak ditafsirkan dengan jelas.
5. Bahwa menurut Pemohon Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dianggap bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pemohon merasa bahwa dengan
ditaatinya pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 maka bertentangan dengan Pasal 28 I
ayat (1) UUD NRI 1945 tentang hak beragama. Bila pemohon melangsungkan perkawinan
dengan memilih satu agama dan kepercayaan saja maka pemohon harus tunduk secara
terpaksa untuk memilih agama itu sehingga hak beragama yang dimiliki pemohon tersebut
telah dilanggar.
6. Bahwa menurut Pemohon Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yang berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan perundang-
undangang yang berlaku.” Dianggap bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945
yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pemohon merasa
bahwa hak beragama dan hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum telah dilanggar
oleh Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang perkawinan yang mana pencatatan perkawinan untuk
yang beragama islam dicatatkan di kantor urusan agama sedangkan yang beragama non-
muslim dicatatkan di kantor catatan sipil , sedangkan untuk pemohon yang hendak
melangsungkan perkawinan beda agama tidak dapat diterima oleh kedua kantor tersebut. Hal
ini membuat pemohon merasa dibedakan dihadapan hukum serta negara juga tidak menjamin
hak beragama pemohon.
7. Bahwa menurut Pemohon Pasal 8 huruf f undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yang menyatakan “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.” Dianggap
bertentangan dengan Pasal Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pemohon menganggap jika selalu ingin
mengikuti Pasal 8 huruf f ini maka haruslah terlebih dahulu ditafsirkan dengan jelas karna
dengan ketidak jelasan ini membuat pemohon merasa hak untuk beragamanya
terkesampingkan karena tafsiran dari pasal tersebut tidak jelas batasan-batasan hubungan
seperti apa yang didalam agama membuat tidak bisa berlangsungnya suatu perkawinan. Serta
jika penafsiran Pasal 8 huruf F ini hanya menonjolkan pada satu agama saja maka pemohon
merasa keberatan jika ia menikah karna adanya suatu paksaan untuk menundukan pada salah
satu agama saja.
8. Bahwa menurut Pemohon Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dianggap bertentangan dengan Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.” Pemohon beranggapan bahwa
pemohon telah kehilangan kemerdekaannya dalam memeluk agama dan kepercayaan karena
apabila ingin melakukan perkawinan maka akan ada paksaan salah satunya untuk
menundukkan keyakinan atau memilih salah satu agamanya hal ini dianggap pemohon telah
bertentangan dengan hak beragama yang diatur dalam Pasal 29 ayat (2). Dimana negara
menjamin kemerdekaan untuk memeluk agama dan kepercayaan warga negaranya termasuk
hal dalam menikah. Menurut pemohon pernikahan dengan agama yang berbeda mestinya
merupakan penjaminan kemerdakaan untuk memeluk agama dan kepercayaan yang
diamanatkan dalam pasal 29 ayat (2) UU NRI 1945.
9. Bahwa menurut Pemohon Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan perundang-
undangang yang berlaku.” Dianggap bertentangan dengan Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.” Pemohon menganggap
bahwa pencatatan perkawinan yang hanya dikhusukan untuk yang beragama islam dicatatkan
di Kantor Urusan Agama sedangkan yang beragama Non-Muslim dicatatkan di Kantor
Catatan Sipil sedangkan pemohon yang hendak melangsungkan perkawinan beda agama
tidak tahu kemana ia akan mendaftar, maka dari itu Pemohon merasa bahwa negara tidak
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

2) FAKTA-FAKTA PERSIDANGAN
1. Tahap Jawab Menjawab
2. Surat Permohonan Pemohon tanggal 03 Oktober 2022 yang diterima para pihak pada
tanggal 25 November 2022;
3. Tanggapan DPR RI yang disampaikan di muka persidangan ini pada tanggal 1
November 2022;
4. Tanggapan Presiden RI yang disampaikan di muka persidangan pada tanggal 1
November 2022.

5. TAHAP PEMBUKTIAN
1) Pembuktian Pemohon
Bahwa dalam acara pembuktian di muka persidangan sengketa ini, pihak
Pemohon telah mengajukan pembuktiannya baik berupa surat maupun berupa
saksi yakni sebagai berikut :
a. Barang Bukti

1 P.1 Foto Copy Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan

2 P.2 Foto Copy Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945

3 P.3 Foto Copy 06/PMK/2005 Tentang Pengujian Undang-


Undang

4 P.4 Foto Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) Pemohon

5 P.5 Foto Copy Kartu Advokat / Kuasa Hukum Pemohon

6 P.6 Foto Copy Surat Kuasa Khusus Pemohon dengan Nomor :

b. AAlat
b. Keterangan Ahli
Ahli Bernama Dr. Alif Ravanelli S.H., M.H. menerangkan bahwa :
1. Negara Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini berarti dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, di dalam setiap ruang lingkup kehidupan manusia sebagai
warga negara diperlukan sebuah aturan yang mengatur. Tak terkecuali dalam hal
perkawinan. Di dalam Indonesia, perkawinan diatur di dalam Undang – Undang
Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diganti dengan Undang – Undang Nomor 16 Tahun
2019. Namun di dalam Undang – Undang a quo, tidak terdapat keterangan jelas
mengenai perkawinan beda agama. Di Negara Indonesia, Pemerintah pada masa pasca
Reformasi 1998, melalui Presiden Abdurrahman Wahid yang mencabut instruksi
presiden Nomor 14 Tahun 1967 dan keputusan Mendagri Tahun 1978 sehingga
berdampak pada penegasan enam agama yang diakui negara. Enam agama tersebut
adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Tentu semenjak 24 Tahun setelah Reformasi, telah banyak tercatat perkawinan beda
agama. Hal ini dikarenakan masyarakat dalam bersosialisasi, tidak dilakukan dalam
berkelompok – kelompok yang berbeda agama. Masyarakat bersosialisasi dengan
bercampur dengan masyarakat berbeda agama. Perihal bersosialisasi dalam kelompok
agama masing – masing, hanya dilakukan pada saat memenuhi ibadah masing –
masing agama. Hal ini sudah pasti menyebabkan banyaknya kasus perkawinan beda
agama yang tercatat di Kantor Catatan Sipil. Maka, mengingat bahwa Indonesia
merupakan negara yang multikultural dan multiagama, maka pembentuk peraturan
(DPR & Pemerintah) perlu mengkaji ulang pelarangan perkawinan beda agama.
2. Untuk menaati hak – hak manusia di dalam Pasal 28 Undang – Undang Dasar 1945.
Seringkali dalam perkawinan beda agama dilaksanakan perjanjian di dalam
perkawinan, antara suami dengan istri mengenai pengajaran ajaran agama masing –
masing. Sebagaimana contoh agama Kristen yang memperbolehkan perkawinan beda
agama dengan syarat anak – anak yang lahir dari pasangan beda agama tersebut
haruslah diajarkan dan menaati aturan – aturan agama Kristen. Selain itu, ahli agama
berpendapat senada mengenai perkawinan beda agama. Pendapat mantan Menteri
Agama Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam hubungan jalinan pernikahan,
harus didasari atas persamaan agama dan keyakinan hidup. Namun menurut beliau,
dalam perkawinan berbeda agama harus terdapat suatu bentuk perjanjian yang
berisikan jaminan agar baik suami dan istri bisa menjalankan ibadah sesuai agamanya
masing – masing. Pendapat yang sama juga diutarakan oleh Romo Andang Binawan
SJ., selaku Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya. Bahwa di dalam hukum gereja
Katolik memperbolehkan perkawinan beda agama selama calon mempelai non –
Katolik bersedia serta berjanji untuk tunduk pada hukum perkawinan Katolik,
monogami, tidak bercerai seumur hidup, dan membiarkan pasangannya tetap
memeluk Katolik.
1. Setelah Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 disahkan, terdapat beberapa hal yang
diubah dari Gemengde Huwelijken Regeling (GHR) dan Indische Staatsregeling (IS).
Yaitu definisi Perkawinan Campuran. Di dalam UU Perkawinan baru, definisi
perkawinan campuran telah dipersempit sehingga menjadi “perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan. Selain itu, setelah disahkannya UU Perkawinan baru, terbukti dari
permohonan kasus – kasus kawinan beda agama yang masuk ke Pengadilan Agama
dan Mahkamah Agung. Dikarenakan kenyataan sosial masyarakat yang besifat
“pluralistik dan heterogen” yang menyebabkan tidak sedikit terjadi perkawinan dari
orang – orang yang memeluk agama berbeda. Fenomena hukum ini terjadi disebabkan
suatu bentuk kekosongan hukum (rechtsvacuum) menurut kenyataan dan
yurisprudensi. Dalam perkawinan antar agama terdapat 2 stelsel hukum perkawinan
yang berlaku pada saat yang sama, sehingga harus ditentukan pilihan hukum.
2. Khusus berkaitan dengan peletakan HAM di dalam perkawinan disinggung di dalam
Pasal 16 DUHAM. Dimana menurut Pasal ini, pria dan Wanita yang sudah dewasa,
tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan, agama, berhak untuk menikah dan
membentuk keluarga. Keduanya mempunyai hak yang sama atas perkawinan, selama
masa perkawinan dan pada saat perceraian. Syarat perkawinan hanya dilihat dari
faktor saling setuju tanpa syarat. Jika dilihat berdasarkan uraian diatas, maka dapat
dipahami bahwa HAM merupakan hak yang dimiliki manusia karena martabatnya
sebagai manusia. Dan pengaturan serta pasal – pasal mengenai HAM telah diatur
berdasarkan ICCPR yang hukumnya perlu diikuti oleh setiap negara, karena ICCPR
dibentuk berdasarkan persetujuan semua negara (berjudul Universal). Dan menilik
dari pemikiran HAM dasar yaitu hak kebebasan maka sudah sepatutnya peraturan
perundang – undangan di Indonesia tunduk kepada ICCPR.
3. Negara Indonesia merupakan negara yang dapat disebut negara Pluralisme Hukum.
Pluralisme hukum adalah munculnya suatu ketentuan atau sebuah aturan hukum yang
lebih dari satu di dalam kehidupan sosial. Kemunculan dan lahirnya pluralisme
hukum di indonesia di sebabkan karena faktor historis bangsa indonesia yang
mempunyai perbedaan suku, bahasa, budaya, agama dan ras. Tetapi secara etimologis
bahwa pluralisme memiliki banyak arti, namun pada dasarnya memiliki persamaan
yang sama yaitu mengakui semua perbedaanperbedaan sebagai kenyataan. Dan di
dalam tujuan pluralisme hukum yang terdapat di indonesia memiliki satu cita-cita
yang sama yaitu keadilan dan kemaslahatan bangsa. Negara Indoensia berkewajiban
mengatur perkawinan campuran sesama warga negara Indonesia yang hukum
perkawinannya berlainan yang telah ditunaikan dengan adanya Bab XII bagian ketiga
Perkawinan Campuran dalam Undang-Undang Perkawinan yang dibentuk dan
disusun berdasar Pancasila yang terdapat pluralisme di bidang perkawinan perlu ada
norma hukum perkawinan campuran (antara lain perkawinan campuran antar pemeluk
agama yang berbeda) sebagai norma hatah.

2) Pembuktian Termohon
Bahwa dalam acara pembuktian dimuka persidangan sengketa ini, pihak Pemohon
telah mengajukan pembuktiannya baik berupa alat bukti tertulis maupun berupa
saksi yakni sebagai berikut :

a. Alat bukti tertulis Termohon I (DPR RI) terdiri atas :

1 T.1 Foto Copy Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan

2 T.2 Foto Copy Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945

3 T.3 Foto Copy Foto Copy Surat Kuasa Khusus Termohon DPR
RI
b. Alat bukti tertulis Termohon II (Presiden RI) terdiri atas :

ian Termohon 1 P.1 Foto Copy Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan

2 P.2 Foto Copy Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945

3 P.3 Foto Copy Surat Kuasa Khusus Termohon Presiden RI

4 P.4 Foto Copy Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang


Komplikasi Hukum Islam

c. Alat bukti Termohon (Saksi Ahli)


Nama : Dr. Bariq Dwi Nanda S.H, M.H.
Pekerjaan : Pakar Hukum Tata Negara

Selanjutnya di dalam kesaksiannya dibawah sumpah menerangkan


sebagai berikut :
1. Indonesia sebagai negara hukum sesui dengan ketentuan Pasal 1 Ayat 3 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dapat diketahui bahwa indonesia
disebut sebagai negara hukum sebagaimana disebutkan didalam Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Maksud dari pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut adalah segala aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara harus senantiasa berdasarkan atas hukum. Negara
hukum, atau istilah lainnya yaitu rechtsstaat atau the rule of law, adalah negara yang
setiap tindakannya berdasarkan pada aturan atau sesuai dengan hukum yang telah
ditetapkan. Hukum di suatu negara bertujuan untuk memberikan jaminan ketertiban
dan keamanan bagi masyarakat. Ketertiban tersebut akan terjaga apabila masyarakat
atau warga negara tersebut mentaati hukum yang ada.
2. Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang perkawinan, perkawinan cenderung
menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama masing-masing untuk menentukan
boleh tidaknya perkawinan beda agama. Pada kenyataannya, semua agama di
Indonesia melarang perkawinan beda agama. Sehingga perkawinan beda agama juga
dilarang menurut Undang-Undang perkawinan dan hal tersebut mengakibatkan
perkawinan tersebut tidak sah baik secara hukum agama maupun hukum nasional.
Dengan demikian, perkawinan beda agama dalam hukum positif yang ada dan
mengatur tentang perkawinan di Indonesia yakni, Undang-Undang perkawinan
sebenarnya tidak memberikan pengaturan yang jelas terhadap perkawinan beda
agama. Namun, makna dari ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang perkawinan
yang mengembalikan kepada hukum agama masing-masing. Di Indonesia sendiri
yang menganut pluralisme dalam berkehidupan, bagi agama-agama yang ada di
Indonesia tidak menganut perkawinan beda agama. Sehingga perkawinan beda agama
tersebut merupakan perkawinan yang tidak dapat diperbolehkan menurut Undang-
Undang perkawinan. Perkawinan beda agama juga memiliki akibat hukum terhadap
status anak dan status perkawinan itu sendiri.
3. Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang perkawinan menyatakan bahwa “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut Peraturan perundang-undangan yang berlaku” yang
artinya perkawinan haruslah dicatatkan guna memperoleh status dan perlindungan
oleh negara. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana kali terakhir
diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 (“UU Adminduk”)
menyatakan bahwa perkawinan yang sah wajib dicatatkan. Dan negara hanya dapat
mencatatkan perkawinan apabila perkawinan tersebut sah menurut agamanya masing-
masing. Karena negara hanya sebagai fasilitator yang bersifat administratif yaitu
sebagai pencatat status perkawinan. Negara mempunyai perundangan tentang
perkawinan, mengatur hubungan seorang laki-laki dan perempuan sesuai dengan
Undang-Undang yang berlaku dengan memberi perlindungan dan memberi fasilitas,
misalnya dalam hal warisan, terutama juga menjamin bahwa keluarga yang terbentuk
merupakan ruang sosial, dimana anak kecil menjadi keturunan bisa menjadi besar.
Karena berbeda dengan binatang keturunannya tidak sesudah beberapa minggu bisa
berjalan sendiri, tetapi manusia tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara kultural,
emosional, intelektual, religius memerlukan bimbingan yang disebut pendidikan
informal maupun formal dan kira-kira berumur 18 tahun dia dianggap mampu untuk
berdiri sendiri.
4. Sebagaimana diketahui di dalam ketentuan Pasal 8 Huruf F menyatakan bahwa
“mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.” Artinya hal ini negara serahkan sepenuhnya pada ketentuan hukum
agama serta peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang hal-hal yang dilarang
didalam agama. perkawinan merupakan suatu perintah agama. Salah satunya
diperintahkan oleh agama islam ini adalah sebagai pemenuhan dan pengaturan
kepentingan biologis manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dengan dilaksanakan
perkawinan, berarti telah menjalankan sebagian dari ajaran syari’at Islam. Syari’at ini
diutamakan bagi mereka yang telah dewasadan mampu baik dilihat dari segi
pertumbuhan jasmani maupun dari kesepian mental, dan kemampuan membiayai
kehidupan rumah tangga. Diantara tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan
keturunan, menciptakan rumah tangga bahagia, sejahtera, aman, dan damai, penuh
kasih saying. Dengan kata lain, singkatnya untuk mewujudkan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah, sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 3
kompilasi hukum Islam. Untuk mencapai tujuan tersebut barangkali dapat dicapai
apabila pasangan suami istri seagama, sesuku, seide, dan sebagainya. Sebaliknya
dapat diduga bahwa amatlah sulit untuk mencapai tujuan tersebut apabila berada
dalam keadaan yang tidak bersamaan, terutama tidak seagama.Berdasarkan ajara
Islam, deskripsi kehidupan suami istri yang tentram akan dapat terwujud, apabila
suami istri memiliki keyakinan agama yang sama, sebab keduanya berpegang teguh
untuk melaksanakan satu ajaran agama, yaitu Islam. Tetapi sebaliknya, jika suami istri
berbeda agama, maka akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga,
misalnya dalam hal pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, mengatur tata karma makan
atau minum, pembinaan tradisi agama, dan sebagainya.
5. Pernikahan antara dua mempelai yang berbeda bukanlah hal yang sederhana di
Indonesia. Selain harus melewati gesekan sosial dan budaya, birokrasi yang harus
dilewati pun berbelit. Tak heran jika banyak pasangan dengan perbedaan keyakinan
akhirnya memilih menikah di luar negeri. Pasangan yang memutuskan menikah di
luar negeri nantinya akan mendapatkan akta perkawinan dari negara bersangkutan
atau dari perwakilan Republik Indonesia setempat (KBRI). Sepulangnya ke Indonesia,
mereka dapat mencatatkan perkawinannya di kantor catatan sipil untuk mendapatkan
Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri. Meski begitu, bukan berarti
pernikahan dengan perbedaan agama tak bisa diwujudkan di dalam negeri. Sejatinya,
berdasar putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 para pasangan beda
keyakinan dapat meminta penetapan pengadilan. Yurisprudensi tersebut menyatakan
bahwa kantor catatan sipil boleh melangsungkan perkawinan beda agama, sebab tugas
kantor catatan sipil adalah mencatat, bukan mengesahkan. Hanya saja, tidak semua
kantor catatan sipil mau menerima pernikahan beda agama. Kantor catatan sipil yang
bersedia menerima pernikahan beda agama pun nantinya akan mencatat perkawinan
tersebut sebagai perkawinan non-Islam. Pasangan tetap dapat memilih menikah
dengan ketentuan agama masing-masing. Caranya, mencari pemuka agama yang
memiliki persepsi berbeda dan bersedia menikahkan pasangan sesuai ajaran
agamanya, misalnya akad nikah ala Islam dan pemberkatan Kristen.
6. Negara sangat berkepentingan agar sebuah keluarga menjadi baik. Ada perbedaan
antara negara dan agama. Negara mengatur perkawinan supaya dalam masyarakat
hubungan seksual yang resmi, hubungan kekeluargaan teratur, konflik dihindari dan
menjamin pendidikan. Agama kepercayaannya masing-masing melihat agar
hubungan perkawinan sah di hadapan Tuhan. Bahwa Alinea Keempat Pembukaan
UUD 1945, menyatakan "... yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa". Bahwa ideologi negara Indonesia yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa juga
dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Prinsip Ketuhanan yang diamanatkan
dalam UUD 1945 tersebut merupakan perwujudan dari pengakuan keagamaan.
Sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka tindakan atau
perbuatan yang dilakukan oleh warga negara mempunyai hubungan yang erat dengan
agama. Salah satu tindakan atau perbuatan yang terkait erat dengan negara adalah
perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu bentuk perwujudan hak konstitusional
warga negara yang harus dihormati dan dilindungi oleh setiap orang dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hak konstitusional
perkawinan tersebut terkandung kewajiban penghormatan atas hak konstitusional
orang lain. Oleh karenanya untuk menghindari benturan dalam pelaksanaan hak
konstitusional tersebut diperlukan adanya pengaturan pelaksanaan hak konstitusional
yang dilakukan oleh negara.
3) ANALISIS PEMBUKTIAN
Bahwa setelah mengajukan pembuktian baik yang diajukan oleh Pemohon maupun oleh
Termohon, maka kami Kuasa Hukum Pemohon berpendapat bahwa seluruh dalil-dalil
Termohon dalam tanggapan atau jawaban Termohon tidak dapat dibuktikan kebenarannya
oleh Termohon secara sah dan meyakinkan menurut hukum dengan alasan sebagai berikut :
1. Pembahasan Pembuktian Pemohon
a. Pembuktian alat bukti surat pemohon
Bahwa bukti surat yang diajukan oleh Pemohon sudah beralasan yang
kuat menurut hukum dan dapat diterima karena merupakan pembuktian dari
dalil-dalil di dalam permohonan.

1 P.1 Foto Copy Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan

2 P.2 Foto Copy Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945

3 P.3 Foto Copy 06/PMK/2005 Tentang Pengujian Undang-


Undang

4 P.4 Foto Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) Pemohon

5 P.5 Foto Copy Kartu Advokat / Kuasa Hukum Pemohon

6 P.6 Foto Copy Surat Kuasa Khusus Pemohon dengan Nomor :

A
b. Pembuktian Ahli Pemohon
Bahwa ahli yang telah dihadirkan Pemohon di depan Majelis Hakim
yaitu ahli Bahwa benar Ahli Bernama Dr. Alif Ravanelli S.H., M.H dengan
menunjukan kartu identitas yang di hadirkan karena ahli dari bidang hukum
perkawinan.
2. Pembahasan Pembuktian Termohon
a. Pembahasan Pembuktian Termohon I Bahwa, dalam persidangan ini untuk
membuktikan dalil-dalil Termohon I dalam tanggapan tertulis Termohon I
terhadap surat permohonan Pemohon, maka Termohon I telah mengajukan
pembuktian. Pembuktian alat bukti surat Termohon I Bahwa alat bukti yang
dihadirkan oleh termohon I sejatinya tidaklah berkaitan langsung terhadap
pokok permohonan yang diajukan oleh pemohon sehingga tidak dapat
diterima sebagai alat bukti.
b. Pembahasan Pembuktian Termohon II Bahwa, dalam persidangan sengketa ini
untuk membuktikan dalil-dalil Termohon II dalam tanggapan tertulis
Termohon II terhadap surat permohonan Pemohon, maka Termohon II telah
mengajukan pembuktian. Pembuktian alat bukti surat Termohon II Bahwa
Termohon II mengajukan alat bukti tertulis berupa Peraturan Perundang-
Undangan yang dapat mendukung pembuktian Pemohon dalam perkara ini.
4) KESIMPULAN
Bahwa setelah mengajukan pembuktian baik yang diajukan oleh Pemohon maupun oleh
Termohon, maka kami Kuasa Hukum Pemohon berpendapat bahwa seluruh dalil-dalil
Termohon dalam tanggapan atau jawaban Termohon tidak dapat dibuktikan kebenarannya
oleh Termohon secara sah dan meyakinkan menurut hukum dengan alasan sebagai berikut :
Berdasarkan seluruh uraian sebagiamana yang disebut diatas, Pemohon memohon
kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan (2) dan Pasal 8 Huruf F Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28 B
ayat (1) UUD NRI 1945, Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 29 ayat
(2) UUD NRI 1945;
3. Memerintah amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia yang mengabulkan Permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) dan (2)
dan Pasal 8 Huruf F Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan untuk dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu selambat-
lambatnya tiga puluh (30) hari kerja sejak Putusan diucapkan.

Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon


putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Demikian Kesimpulan Pemohon terhadap Uji Materiil (Judicial Review) ini Pemohon
sampaikan, atas perhatian dan kearifan Majelis Hakim yang mulia Pemohon sampaikan
terima kasih.

JAKARTA, 15 NOVEMBER 2022

HORMAT PEMOHON
Silvina, S.H., M.H
Apri Utama, S.H., M.H

Anda mungkin juga menyukai