Anda di halaman 1dari 18

RINGKASAN PERMOHONAN

PERKARA Nomor 3/PUU-XX/2022


“Pengaturan Kepala Desa Dan Aparat Desa Dalam Undang-Undang Desa”

I. PEMOHON
1. Endang Kusnandar 7. Agus Supriyono
2. Asyriqin Syarif Wahadi. 8. Akhib Musadad
3. Kahono Wibowo 9. Sahlan
4. Mohamad Abdurrahman 10. Bambang Purwoko
5. Jurianto Bambang Siswantoro 11. Yusran
6. Suhanto 12. Rusmanto
Kuasa Hukum:
Deny Syahrial Simorangkir, S.H., M.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus
bertanggal 16 November 2021.
Selanjutnya disebut sebagai para Pemohon;
II. OBJEK PERMOHONAN
Permohonan Pengujian Materiil Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38 Pasal 39 ayat (1),
Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47,
Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa (UU 6/2014) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Bahwa Para Pemohon mengajukan permohonan uji materiil ini kepada Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
yang mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan
prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang- Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut “Undang-Undang Mahkamah Konstitusi”).
2. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang di bawahnya dan oleh sebuahMahkamah Konstitusi”.
3. Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan:

1
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-•-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”.
4. Bahwa dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang;
5. Bahwa dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
6. Bahwa dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa:
“Dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi.”
7. Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka sebagai
pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi menjaga agar undang-undang yang
berada di bawahhierarki Undang-Undang Dasar 1945 tidak saling bertentangan.
8. Bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, berfungsi antara lain sebagai
“guardian” dari “constitutional rights” setiap warga Negara Republik Indonesia.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan badan yudisial yang
bertugas menjaga hak asasi manusia sebagai hak konstitusional dan hak hukum.
9. Bahwa berdasarkan argumentasi tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian materiil
undang-undang quo pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
finaldan mengikat.

2
IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING)
1. Bahwa pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan
permohonan uji materiil atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945 merupakan salah satu indikator adanya perkembangan keilmuan di bidang
administrasi negara yang positif yang merefleksikan kemajuan bagi penguatan
prinsip-prinsip negara hukum.
2. Bahwa kedudukan hukum (legal standing) merupakan syarat yang harus dipenuhi
oleh setiap pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang
terhadap Undang- Undang Dasar 1945 kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana
diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan:
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau Hak Konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.”
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi:
“Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.”
3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang- Undang Mahkamah
Konstitusi, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk menguji apakah Para
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara pengujian
undang-undang, yaitu :
a. Terpenuhinya kualifikasi untuk bertindak sebagai pemohon, dan
b. Adanya hak dan/atau Hak Konstitusional dari Para Pemohon yang dirugikan
dengan berlakunya suatu undang-undang.
Oleh karena itu, para Pemohon menguraikan kedudukan hukum (Legal Standing)
dalam mengajukan permohonan dalam perkaraa quo, sebagai berikut:
1) Bahwa para Pemohon adalah sebagai perorangan warga negara Indonesia
yang saat ini menjabat sebagai Kepala Desa, sebagai Petinggi dan sebagai
Kuwu.
2) Bahwa Kerugian Konstitusional para Pemohon. Mengenai parameter kerugian
konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan
tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-
undang harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu sebagai berikut
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945;
b. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tersebut
dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang
yang diuji;
c. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon
yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
3
d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkanpengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagiterjadi.
4. Bahwa para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya, hak
untuk mewujudkan pembangunan dan perekonomian berkelanjutan dalam
kesatuan masyarakat hukum, hak untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pasal 18 ayat (1), ayat (2), Pasal 18B
ayat (2), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1), dan ayat (3) Undang- Undang
Dasar 1945.
5. Bahwa kerugian konstitusional bagi para Pemohon dengan diberlakukannya Pasal
25, Pasal 26,dan Pasal 27, Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
tersebut adalah:
a. Undang-Undang Desa belum mengakomodasi kebutuhan desa, tidak aspiratif
karena bertentangandengan kearifan lokal yang berbeda-beda;
b. Warga masyarakat tidak mengetahui jabatan Kepala Desa di tempat tinggalnya,
sebagai salah satu contoh yaitu di Jepara sebutan pimpinan desa disebut
Petinggi,di Cirebon disebut Kuwu;
c. Terindikasi punahnya kearifan lokal;
d. Tergerusnya persatuan dan kesatuan masyarakat desa;
e. Terhambatnya pembangunan di desa;
f. Peraturan yang bertentangan menimbulkan tidak ada kepastian hukum dan
perlindungan hukum.
6. Bahwa kerugian konstitusional bagi para Pemohon dengan diberlakukannya Pasal
31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38 dan
Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tersebut
adalah:
a. Bahwa dengan adanya pemilihan kepala desa yang diatur secara limitatif secara
serentak maka akan membatasi otonomi desa;
b. Bahwa Desa akan kehilangan ciri khasnya dalam hal pemilihan Kepala Desa,
dimana masing-masing daerah mempunyai ciri khasnya dalam model
demokrasi;
c. Masa jabatan yang diatur secara limitatif dalam pasal ini akan mendorong
stabilitas politik masa jabatan terguncang kembali setiap periode. Pengalaman
menunjukkan bahwa pemilihan kepala desa sering menorehkan luka, dendam
berkepanjangan dan menimbulkan konflik horizontal atau vertikal bagi para
pihak terkait yang sulit dihilangkan dalam beberapa tahun.
Acapkali pihak-pihak yang kalah atau dirugikan menghambat program-program
kepala desa terpilih, sehingga terhambatnya kelancaran dalam

4
penyelenggaraan pemerintah desa dan pelaksanaan pembangunan. Apalagi
sesuai Undang-Undang Desa yang baru, adanya pemilihan kepala desa
menjadi beban APBD kabupaten, sehingga dengan periode jabatan yang singkat
tersebut akan membebani APBD dan terindikasi adanya korupsi.
d. Terciptanya money politik, hal ini sekarang telah terjadi dibeberapa daerah.
e. Membuka peluang perilaku korupsi, tindak pidana korupsi DD (Dana Desa) dari
Pemerintah Pusat maupun ADD (Anggaran Dana Desa) dari Kabupaten dan
atau dari Pendapatan Desa (PEADES).
f. Meskipun ada ADD tidak bisa menggunakan untuk pembangunan desa karena
terkendala aturan-aturan penggunaan ADD.
g. Tidak bisa menjalankan otonomi desa;
7. Bahwa kerugian konstitusional bagi para Pemohon dengan diberlakukannya Pasal
40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46,dan Pasal 47,
Undang-UndangNomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yaitu :
1. Bahwa dengan diaturnya pemberhentian Kepala Desa oleh Pemerintah Pusat di
beberapa pasal a quo, hal ini membuka peluang Pemerintah Daerah melakukan
intervensi dalam hal perwujudan pemerintahan di desa;
2. Bahwa unsur Kepala Desa sangatlah sentral dalam pemerintahan desa, yang
mana Kepala Desa bekerja dengan menyatu kepada masyarakat, adat-istiadat
dan Budaya di masing-masing desa, hal tidak akan bisa digantikan baik hanya
sementara waktu oleh aparatur sipil negara;
8. Bahwa kerugian konstitusional bagi para Pemohon dengan diberlakukannya Pasal
48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa, yaitu :
1. Masyarakat tidak mengenal istilah Kaur Kesra dan Sekdes (Sekretaris Desa);
2. Masyarakat lebih mengenal sebutan Pamong Desa daripada Perangkat Desa;
3. Masyarakat lebih mengenal Modin, Bayan, Jogoboyo, Ulu-ulu, Lebe, Raksa
Bumi, Juru Tulis, Carik, Kebayan,Ladu, Kamituwo, Petengan, Bekel;
4. Dalam proses seleksi perangkat desa, banyak terdapat calon pamong desa tidak
mengetahui tugas dan kewajiban atas jabatan yang akan dilamar dikarenakan
perubahan istilah yang dahulu menggunakan istilah jabatan perangkat desa
sesuai kearifan lokal, menjadi diunifikasikan dalam nama atau sebutan
sebagaimana diatur dalam Pasal 48.
9. Bahwa dengan dikabulkannya permohonan ini oleh Mahkamah Konstitusi sebagai
the sole interpreter of the constitution dan pengawal konstitusi, maka kerugian hak
konstitusional paraPemohon tidak akan terjadi lagi.
10. Bahwa dengan demikian, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sebagai pemohon pengujian undang- undang dalam perkara a quo karena
telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia beserta penjelasannya dan 5 (lima) syarat kerugian hak
konstitusional sebagaimana pendapat Mahkamah selama ini yang telah menjadi
yurisprudensi dan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005.

5
11. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945
A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
1. Pasal 25
Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala Desa atau
yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang
disebut dengan nama lain.
2. Pasal 26
ayat 1. Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa
3. Pasal 27
Dalam melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26, Kepala Desa wajib:
a. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir tahun
anggaran kepada Bupati/Walikota;
b. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir masa
jabatan kepada Bupati/Walikota;
c. memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis
kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun anggaran; dan
d. memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan
secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.
4. Pasal 31
(1) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah
Kabupaten/Kota.
(2) Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan
pemilihan Kepala Desa secara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
5. Pasal 32,
Badan Permusyawaratan Desa memberitahukan kepada Kepala Desa mengenai akan
berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis 6 (enam) bulan sebelum masa
jabatannya berakhir. (2) Badan Permusyawaratan Desa membentuk panitia pemilihan
Kepala Desa. (3) Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bersifat mandiri dan tidak memihak. (4) Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur perangkat Desa, lembaga kemasyarakatan,
dan tokoh masyarakat Desa.
6. Pasal 33,
Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal
Ika;
d. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat;
e. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar;
f. bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa;
6
g. terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1
(satu) tahun sebelum pendaftaran;
h. tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara;
i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima)
tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan
terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan
sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang;
j. tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
k. berbadan sehat;
l. tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan
m. syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah.
7. Pasal 34,
(1) Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa.
(2) Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
(3) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan, pemungutan
suara, dan penetapan.
(4) Dalam melaksanakan pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dibentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
(5) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas mengadakan
penjaringan dan penyaringan bakal calon berdasarkan persyaratan yang
ditentukan, melaksanakan pemungutan suara, menetapkan calon Kepala Desa
terpilih, dan melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa.
(6) Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
8. Pasal 35,
Penduduk Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) yang pada hari
pemungutan suara pemilihan Kepala Desa sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau
sudah/pernah menikah ditetapkan sebagai pemilih.
9. Pasal 36
(1) Bakal calon Kepala Desa yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ditetapkan sebagai calon Kepala Desa oleh panitia
pemilihan Kepala Desa.
(2) Calon Kepala Desa yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diumumkan kepada masyarakat Desa di tempat umum sesuai dengan kondisi
sosial budaya masyarakat Desa.
(3) Calon Kepala Desa dapat melakukan kampanye sesuai dengan kondisi sosial
budaya masyarakat Desa dan ketentuan peraturan perundang-undangan
10. Pasal 37
(1) Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh suara
terbanyak.
(2) Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih.
(3) Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih
kepada Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan
calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima laporan
panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada
Bupati/Walikota.

7
(5) Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam
bentuk keputusan Bupati/Walikota.
(6) Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib
menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(5).
11. Pasal 38
(1) Calon Kepala Desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk
paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah penerbitan keputusan Bupati/Walikota.
(2) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Desa terpilih bersumpah/berjanji
(3) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai berikut: “Demi
Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban
saya selaku Kepala Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-
adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan
Pancasila sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan
demokrasi dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
serta melaksanakan segala peraturan perundangundangan dengan selurus-
lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia”
12. Pasal 39
(1),Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal
pelantikan.
13. Pasal 40
(1) Kepala Desa berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan.
(2) Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
a. berakhir masa jabatannya;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap
secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; tidak lagi memenuhi syarat sebagai
calon Kepala Desa; atau
d. melanggar larangan sebagai Kepala Desa.
(3) Pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian Kepala Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
14. Pasal 41
Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan
sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
berdasarkan register perkara di pengadilan.
15. Pasal 42
Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah ditetapkan sebagai
tersangka dalam tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana
terhadap keamanan negara.
16. Pasal 43
Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
dan Pasal 42 diberhentikan oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

8
17. Pasal 44
(1) Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 dan Pasal 42 setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penetapan putusan pengadilan diterima oleh
Kepala Desa, Bupati/Walikota merehabilitasi dan mengaktifkan kembali Kepala
Desa yang bersangkutan sebagai Kepala Desa sampai dengan akhir masa
jabatannya.
(2) Apabila Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah berakhir masa jabatannya, Bupati/Walikota harus merehabilitasi
nama baik Kepala Desa yang bersangkutan.
18. Pasal 45
Dalam hal Kepala Desa diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 dan Pasal 42, sekretaris Desa melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Desa
sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
19. Pasal 46
(1) Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 tidak lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota
mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai
penjabat Kepala Desa sampai dengan terpilihnya Kepala Desa.
(2) Penjabat Kepala Desa melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
20. Pasal 47
(1) Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat
pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai penjabat
Kepala Desa.
(2) Penjabat Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas,
wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 sampai dengan ditetapkannya Kepala Desa.
(3) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih melalui Musyawarah
Desa yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
(4) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lama
6 (enam) bulan sejak Kepala Desa diberhentikan.
(5) Kepala Desa yang dipilih melalui Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) melaksanakan tugas Kepala Desa sampai habis sisa masa jabatan Kepala
Desa yang diberhentikan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
21. Pasal 48
Perangkat Desa terdiri atas: a. sekretariat Desa; b. pelaksana kewilayahan; dan c.
pelaksana teknis.
22. Pasal 49
(1) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 bertugas membantu
Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
(2) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Desa
setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.
(3) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Kepala Desa.

9
23. Pasal 50
(1) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diangkat dari warga
Desa yang memenuhi persyaratan:
a. berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat;
b. berusia 20 (dua puluh) tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun;
c. terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa paling kurang 1
(satu) tahun sebelum pendaftaran; dan
d. syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah.
24. Pasal 51
Perangkat Desa dilarang:
a. merugikan kepentingan umum;
b. membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain,
dan/atau golongan tertentu;
c. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d. melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat
tertentu;
e. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
f. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa
dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan
dilakukannya;
g. menjadi pengurus partai politik;
h. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
i. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa,
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam
peraturan perundangan-undangan;
j. ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan
kepala daerah;
k. melanggar sumpah/janji jabatan; dan
l. meninggalkan tugas selama 60 (enam puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan
yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
25. Pasal 53
(1) Perangkat Desa berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan.
(2) Perangkat Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
karena:
a. usia telah genap 60 (enam puluh) tahun;
b. berhalangan tetap;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai perangkat Desa; atau
d. melanggar larangan sebagai perangkat Desa.
(3) Pemberhentian perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama
Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
10
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945.
1. Pasal 18
ayat (1), “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang”
ayat (2), “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan”
2. Pasal 18B
ayat (2), “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat
hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang”
3. Pasal 28C
ayat (2), “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya”
4. Pasal 28D
ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”
5. Pasal 28D
ayat (3) “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan”
12. ALASAN PERMOHONAN
1. Bahwa terbentuknya desa disebabkan oleh sifat manusia sebagai makhluk sosial,
unsur kejiwaan, alam sekeliling manusia, kepentingan yang sama, dan bahaya
dari luar. Dari kumpulan individu yang mengikatkan diri dengan individu lain inilah
yang nantinya akan membentuk ikatan terkecil yaitu keluarga kemudian membesar
menjadi komunitas, selanjutnya menjadi masyarakat, bangsa, dan negara.
Manusia dalam status naturalisnya sudah memiliki hak-hak dasar. Dalam
perkembangannya ketika manusia semakin banyak, kebutuhan semakin
kompleks, ketersediaan sumber semakin sedikit, keinginan meningkat, dan
semakin spesialisnya keahlian seseorang maka menimbulkan permasalahan yang
semakin kompleks juga terutama berkaitan dengan pemenuhan hak dasarnya.
Dengan demikian akibat dorongan tersebut yaitu untuk memenuhi kebutuhan,
melindungi hak-hak dasarnya, dan sifatnya sebagai makhluk sosial yang saling
memiliki keterbatasan dan ketergantungan maka, antar individu saling
mengikrarkan janji untuk membentuk kesatuan. Kesatuan masyarakat tersebut lah
di menjadi cikal bakal terbentuknya desa.

11
2. Bahwa pada masa pemerintahan kolonial Belanda, asal usul desa diperhatikan
dan diakui sedemikian rupa sehingga tidak mengenal adanya penyeragaman
istilah beserta komponen-komponen yang terdapat di dalamnya. Pada masa ini
desa memiliki otoritas penuh dalam mengelola dan mengatur wilayahnya sendiri
termasuk keterlibatan dan keamanan berupa Kepolisian, bidang perundangan,
hingga pelaksanaan pemerintahan. Selain itu desa juga memiliki hak-hak untuk
mengatur tentang hak ulayat dan hak kewilayahan di masing-masing wilayahnya.
Masuk pada masa penjajan jepang istilah desa dirubah menjadi “Ku”, perubahan ini
selaras dengan perubahan sebutan sebutanbagi satuan pemerintah lebih atasnya.
3. Bahwa Keempat undang-undang tersebut memberikan, konsep desa diberi definisi
secara beragam, meskipun secara subtansial keempat definisi tersebut tidak jauh
berbeda. Konsekuensi perbedaan definisi desa, secara normatif sangat
berpengaruh pada wewenang yang dimiliki oleh desa.
4. Bahwa salah satu kekuatan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
adalah asas rekognisi dan subsidiaritas yang dimiliki desa untuk mengatur dirinya
sendiri berdasar aset dan potensi yang dimilikinya.
5. Bahwa Asas rekognisi adalah desa berhak untuk memanfaatkan, mendukung dan
memperkuat usaha ekonomi desa yang sudah ada dan tidak dilandasi intevensi
dari struktur di atas desa, sedangkan asas subsidiaritas adalah adanya penetapan
kewenangan lokal berskala desa melalui peraturan Bupati/Walikota maupun
peraturan desa tentang kewenangan lokal berskala desa dengan memasukkan
pendirian, penetapan, pengurusan dan pengelolaan BUMDes di dalamnya. Bahwa
asas rekognisi secara umum mengarah kepada daerah-daerah yang memiliki
kekhususan misalnya yang secara nasional diberi previlese melalui Dasar
konstitusional pembentukan daerah- daerah ini adalah Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 18B ayat dan (2): Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa
Aceh, selain Daerah Khusus Ibukota. Sedangkan Undang- Undang (UU) Nomor
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua pasal 34.
6. Bahwa konstruksi hukum dari asas rekognisi dan subsidiaritas ini dapat dilihat
pada Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 18B ayat 2 yang berbunyi:
“Negara mengakui dan menghormati Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”
Pasal ini merupakan hasil amandemen ke-2 Undang-Undang Dasar 1945 yang
memberikan angin segar dalam proses bernegara terkhusus dalam konteks
otonomi yang luas kepada struktur pemerintahan yang ada di daerah hingga desa;
7. Bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan asas
rekognisi dan asas subsidiaritas ternyata belum sepenuhnya memberikan
keleluasaan dalam kewenangan dan pengaturan untuk membangun desa. Namun
demikian ternyata masih ada beberapa pasal-pasal inkonsistensi hukum, sehingga
tidak memberikan kepastian hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945. Untuk itu, para Pemohon hendak mengajukan permohonan uji
materiil untuk mendapatkan kepastian hukum. Asas rekognisi ini penting dalam
mengapresiasi semangat kekhasan lokalitas, di mana asas rekognisi adalah desa
12
berhak untuk memanfaatkan, mendukung dan memperkuat usaha ekonomi desa
yang sudah ada dan tidak lagi dilandasi oleh tindakan intervensi dari para desa
atau struktur di atas desa seperti yang bertahun-tahun terjadi pada desa-desa di
seluruh nusantara. Bukan rahasia lagi, sebelum aspirasi yang kemudianmelahirkan
Undang-Undang Desa lahir, desa-desa diseluruh negeri ini tidak memiliki kekuatan
mengatur diri sendiri, hampir semua kebijakan dan arah pembangunan desa diatur
oleh struktur di atas desa seperti kecamatan, kabupaten, provinsi bahkan
pemerintahan pusat;
8. Bahwa berkaitan dengan Pemerintah Desa dan Kepala Desa yaitu Pasal 25, Pasal
26 dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), (2), Pasal 18B ayat (2), dan Pasal 28D
Undang-Undang Dasar 1945.
9. Bahwa desa merupakan daerah otonom kecil pedesaan yang bersifat istimewa
karena mempunyai susunan asli, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, desa di
artikan sebagai kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang
mempunyai sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang kepala desa),
sedangkan menurut Widjaja (2010) sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa.
kemudian dalam Undang-Undang Desa mengenai desa dibagi 2 (dua), yaitu:
Desa, dan Desa Adat.
- Desa mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia,
sedangkan
- Desa adat mempunyai karakteristik yang berbeda dari desa pada umumnya,
terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal,
pengelolaan sumber daya lokal dan kehidupan sosial budaya masyarakat desa.
10. Berkaitan dengan Pemilihan Kepala Desa, yaitu Pasal 31 Pasal 32, Pasal 33,
Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38 Undang-undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945
11. Bahwa dalam hal pengakuan pemerintah kepada masyarakat hukum adat, asas
pengakuan (recognition) merupakan prinsip tentang bagaimana hubungan antara
pemerintah dengan kesatuan masyarakat hukum adat. Pemerintah mengakui
berarti bahwa keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat sudah ada terlebih
dahulu dan pemerintah menyatakan mengakui keberadaan kesatuan masyarakat
hukum adat dapat diperlakukan sebagai subyek hukum yang menyandang hak
dan kewajibanhukum;
12. Bahwa kepala desa dan perangkat desa pada hakekatnya adalah penyelenggara
negara di tingkat desa. Keberadaannya sangat strategis dalam sistem
penyelenggaraan negara, karena desa adalah muara dari semua program
pemerintahan dan pembangunan, disamping itu desa adalah basis data sebagai
sumber informasi dan pembuatan kebijakan nasional dan daerah, sehingga untuk
kelancaran dan kesuksesan program-program pemerintahan dan pembangunan,
sudah semestinya kalau desa diperkuat baik dari sisi kelembagaan, kapasitas
aparatur dan kewenangannya;

13
13. Bahwa berkaitan dengan Masa Jabatan Kepala Desa Pasal 39 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bertentangan dengan Pasal 18B ayat
(2) dan Pasal 18C ayat (2) UUD 1945.
a. Bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa tidak lepas dari kepala desa,
pemerintahan desa dipimpin oleh kepala desa yang dipilih masyarakat desa
yang sudah mempunyai hak memilih. Pemilihan kepala desa tidak terlepas dari
partisipasi politik masyarakat desa. Partisipasi pada hakikatnya sebagai ukuran
untuk mengetahui kualitas kemampuan warga Negara dalam
menginterprestasikan sejumlah simbol kekuasaan;
b. Bahwa berdasarkan Pasal 39 ayat (1) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa berkaitan dengan pengaturan tentang masa jabatan kepala desa
memegang jabatan selama 6 (enam) tahun;
c. Bahwa meskipun dalam prinsipnya pemilihan kepala desa dilakukan langsung
oleh masyarakat daerah, tetapi bukan berarti jabatan kepala desa dapat
berlangsung terus menerus. Pembatasan suatu jabatan tertentu dalam
pemerintahan, adalah dalam rangka menjamin kebebasan orang lain dalam
suatu tatanan masyarakat demokratis, sebagaimana termaktub dalam Pasal
28J ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
oranglain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis”.
d. Bahwa Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
diformulasikan tanpa terlebih dahulu melakukan riset di desa-desa, penentuan
masa menjabat yang bersumber dari regulasi pusat jelas merupakan waktu
(masa menjabat) bagi Pimpinan Desa tidak mencukupi untuk mewujudkan misi
visinya, selain itu menghambat terwujudnya program kerja membangun desa
yang akan dilaksanakan berdasarkan asas keberlanjutan, di mana proses
perencanaan maupun pelaksanaan program pembangunan desa harus
dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi dan berkesinambungan, maka
dengan adanya keterbatasan masa jabatan tersebut jelas sangat sulit dalam
menjalankan program kerja untuk menciptakan masyarakat yang makmur
gemah ripah loh jinawi, tidak terjaga persatuan dan kesatuan antar warga
masyarakat akibat konflik internal antar pendukung calon pimpinan desa,
waktunya habis terbuang sia-sia untuk menyelesaikan konfilk internal tersebut
dan belum sembuh luka di hati harus terbuka lagi luka lama karena menjelang
pemilihan berikutnya, kemudian mulai terkikisnya bahkan hilangnya kearifan
lokal (local wisdom), terbukanya kesempatan tindak pidana korupsi DD (Dana
Desa) dari Pemerintah Pusat maupun ADD (Anggaran Dana Desa) dari
Kabupatendan atau dari Pendapatan Desa (PEADES);
14. Berkaitan dengan Pemberhentian Kepala Desa Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42,
Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa bertentangan dengan Pasal 18 B Undang-Undang
Dasar 1945
14
15. Bahwa Pasal-pasal a quo mengenai pemberhentian Kepala Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota
mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah/Kota sebagai penjabat
Kepala Desa sampai dengan terpilihnya Kepala Desa;
16. Bahwa Unsur Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal
46, dan Pasal 47 Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
mengabaikan otonomi desa yang memiliki kearifan lokal (local wisdom) dalam
menentukan penjabat Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23, seharusnya untuk penjabat sementara tidak diangkat dari
pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah/Kota akan tetapi diserahkan kepada
Musyawarah Desa untuk memilih salah satu tokoh masyarakat setempat dengan
alasan apabila pegawai negeri sipil tersebut menjadi penjabat Kepala Desa tidak
bisa maksimal dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat, mengingat
Penjabat Kepala Desa yang pegawai negeri sipil tersebut mengacu pada jam kerja
yang terbatas yaitu masuk kantor jam 8.00 pulang kantor jam 17.00, selain itu
tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai kultur desa, tidak
memahami karakteristik desa yang dipimpinnya, tidak memahami kearifan lokal
desa tersebut sehingga pelayanan tidak maksimal. Sedangkan apabila Pejabat
Kepala Desa dipimpin oleh salah satu tokoh masyarakat di desa tersebut, maka
pelayanan selama 24 jam dalam 7 hari (seminggu) terhadap masyarakat desa
terlayani dengan baik.
17. Bahwa seorang pemimpin desa dalam melayani masyarakatnya tidak terbatas oleh
waktu sebagaimana memberlakukan jam kerja Pegawai Negeri Sipil dalam
pelayanannya dan tidak bisa menunggu esok harinya mengingat kedekatan
emosional antara Pemimpin Desa dengan masyarakatnya. Selain itu apabila
Penjabat kepala Desa diberikan kepada pegawai negeri sipil membuka celah jual
beli jabatan, sebagamana yang terjadi di salah satu daerah di Jawa Timur. Perlu
diketahui seorang pemimpin desa selain sebagai Kepala Desa juga sebagai Ketua
Adat yang biasa disebut Danyang Desa.
18. Bahwa sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
dalam Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 53 mengenai Perangkat
Desa yang dalam pelaksanaannya disebut Kaur (Kepala urusan) selaku pelaksana
teknis yang membantu kinerja Pimpinan Desa, sedangkan sebelum
diberlakukannya Undang-Undang Desa untuk Perangkat Desa lebih dikenal
sebagai Pamong Desa, karenanya dalam hal penentuan perangkat desa
seyogyanya mengikuti kearifan lokal (local wisdom) diserahkan kepada desa itu
sendiri yang aturannya diberikan kepada pemangku wilayah sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 18A Undang-Undang Dasar 1945;
19. Bahwa pengertian Perangkat Desa adalah unsur staf yang membantu Kepala
Desa dalam penyusunan kebijakan dan koordinasi yang diwadahi dalam
Sekretariat Desa dan unsur pendukung tugas Kepala Desa dalam pelaksanaan
kebijakan yang diwadahi dalam bentuk pelaksana teknis dan unsur kewilayahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa ternyata nampak keinginan Undang-Undang Desa tersebut
menyeragamkan sebutan Perangkat Desa diberlakukan di daerah-daerah seluruh
15
Indonesia dan menghilangkan kearifan lokal, sejarah, asal-usul wilayah dan
perbedaan bahasa;
20. Bahwa Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang dasar 1945 menyatakan: Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang, formulasi Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 53
Undang-undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan telah menyeragamkan
nama-nama perangkat desa, hal ini telah menimbulkan kebingungan di
masyarakat, dan merugikan konstitusional di mana penyebutan nama perangkat
desa yang telah ada sejak jaman dahulu harus dirubah atas dasar ketentuan
Pasal 48 Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
21. Bahwa desa harus didudukkan berdasarkan pengakuan atas hak asal-usul dan
keanekaragaman kulturalnya masing-masing. Negara mengakui dan menghormati
satuan pemerintahan lokal beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah masing-
masing serta kearifan lokal (local wisdom);
22. Bahwa didalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, hak asal
usul dan hak-hak tradisional dinyatakan dalam asas rekognisi, yaitu negara
memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asal usul dan hak
tradisional. Sehingga desa memiliki kewenangan di bidang hak asal usul, dan adat
istiadat desa, serta kewenangan desa yang bersumberdari hak asal usul;
23. Bahwa melihat sejarah Indonesia, diskursus masalah hubungan pemerintahan
pusat dan pemerintahan daerah, dalam hal ini penguatan kewenangan daerah
seringkali terbelenggu oleh kekhawatiran munculnya kecenderungan terbentuknya
negara federal. Sistem federal yang pernah dipaksakan oleh politik kolonial
Belanda untuk memecah belah kekuatan wilayah Indonesia seperti telah menjadi
trauma sejarah bagi generasi sekarang. Oleh karena itu, konsep Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) tetap menjadi pilihan yang tepat hingga saat ini.
24. Bahwa tujuan dari otonomi daerah sangat mulia yaitu penguatan masyarakat lokal
dalam rangka peningkatan martabat, dan harga diri masyarakat daerah yang
sudah sekian lama dimarjinalkan, bahkan dinafikan oleh Pemerintah di pusat.
Dengan adanya otonomi daerah dapat menghilangkan kesenjangan dan
diskriminasi antara daerah, maka satu-satunya jalan adalah memberikan hak
otonom kepada daerah;
25. Bahwa menurut hemat Para Pemohon dengan dibatalkannya Pasal 25, Pasal 26,
Pasal 27, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37,
Pasal 38 Pasal 39 ayat (1), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44,
Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 53
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pengaturannya dikembalikan
ke pemangku wilayah setempat yang dalam hal ini adalah Gubernur maupun
Bupati selaku pelaksana pembinaan secara langsung sesuai dengan kearifan lokal.
26. Bahwa perlu dipertegas di sini dalam hal pelimpahan wewenang dari Pemerintah
16
Pusat ke Pemerintah Daerah terkait aturan tentang desa khususnya pengaturan
tentang sebutan Kepala Desa, masa jabatan Kepala Desa dan Perangkat Desa
serta pergantian Kepala Desa kepada pegawai negeri sipil sebagai Penjabat
Kepala Desa didasarkan pada kewenangan atribusi.
27. Bahwa seyogyanya Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 disusun sebagai
kerangka umum atas desa mengingat keberadaan desa tersebut memiliki otonomi
tersendiri, sehingga tidak ada penyeragaman nama dan pengebirian masa
menjabat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 39 ayat (1).
28. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, untuk menghindari adanya
inkonsistensi hukum dan untuk memberikan kepastian hukum seyogyanya
pengaturan mengenai sebutan Kepala Desa dan sebutan lainnya, Pemilihan
Kepala Desa, masa jabatan, pergantian penjabat sementara oleh pegawai negeri
sipil dan perangkat desa sebagaimana diatur dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27,
Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38
Pasal 39 ayat (1), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45,
Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 53 Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diserahkan kepada Pemerintah Daerah
selaku pemangku wilayah yang lebih memahami kultur, kearifan lokal dan
keragaman yang berbeda di setiap daerah masing-masing, dengan demikian,
nantinya Pemerintah Daerah masing-masing wilayah yang mengatur dengan tidak
menghilangkan otonomi desa itu sendiri.

13. PETITUM
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34,
Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38 Pasal 39 ayat (1), Pasal 40, Pasal 41, Pasal
42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50,
Pasal 51, dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), ayat (2), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C
ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1), dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
3. Menyatakan Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34,
Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38 Pasal 39 ayat (1), Pasal 40, Pasal 41, Pasal
42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50,
Pasal 51, dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia;
Demikian permohonan uji materiil (Judicial Review) ini kami ajukan, apabila Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono), atas perhatian dan kearifannya dalam memutus permohonan ini kami
menghaturkan terima kasih

17
18

Anda mungkin juga menyukai