KATA PENGANTAR
Disadari
bahwa
banyak
sekali
kelemahan
yang
ditemukan
dalam
pelaksanaan Undang-Undang Hak Cipta ini, mulai dari masalah masih tingginya
pelanggaran hukum di bidang Hak Cipta, penegakan hukum yang kurang optimal,
pengaturan legislasi yang masih banyak kekurangan dan menimbulkan interprestasi
yang beragam di kalangan aparat penegak hukum, hingga ke masalah pengaturan
teknologi informasi dalam penyebaran hak cipta di era digital saat ini khususnya
bagaimana batas-batas pertanggungjawaban dari para provider
(ISP = Internet
Service Provider).
Mengingat Perlindungan terhadap pelanggaran hak cipta melalui internet
yaitu berupa
tersebut secara umum telah diatur dalam ketentuan internasional di bidang hak
cipta. Maka Rancangan Undang-Undang Hak Cipta mencoba Memperkuat
ketentuan hukum nasional yang dapat mengefektifkan penegakan hukum di bidang
hak cipta khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran hukum dengan
i
menggunakan sarana digital dan melalui internet, melelui Rancangan UndangUndang Hak Cipta ini Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bekerja sama
dengan Kementrian Komunikasi dan Informasi Untuk melakukan pencegahan
pelanggaran Hak Cipta melalui Sarana Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Pemerintah menerapkan Langkah langkah penyelesaian masalah pembajakan hak
cipta secara digital dan melalui internet dengan Melakukan pengawasan terhadap
pembuatan, penyebarluasan konten pelanggaran hak cipta, Melakukan kerja sama
dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri,
dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan konten pelanggaran hak cipta,
menutup atau menghentikan secara keseluruhan atau sebagian layanan sistem
elektronik atau konten tertentu dengan menggunakan sarana Kontrol Teknologi dan
Informasi atau bentuk lainnya, dan Melakukan pengawasan terhadap tindakan
perekaman dengan menggunakan media apapun terhadap karya hak cipta dan
karya hak terkait di tempat pertunjukan.
Mengingat Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hak Cipta ini
merupakan landasan dan pertanggungjawaban akademik dan ilmiah untuk setiap
asas dan norma yang dituangkan dalam rancangan Undang-Undang Hak Cipta,
maka dengan telah disusunnya Naskah Akademik ini, diharapkan proses
harmonisasi dan keterkaitannya Rancangan Undang-Undang Hak Cipta dengan
peraturan lain sudah dapat dilakukan sejak dini, sehingga dapat menghindari atau
mengurangi terjadinya tumpang-tindih atau konflik pengaturan di kemudian hari.
Naskah akademik Rancangan Undang-Undang Hak Cipta ini diharapkan dapat
menjadikan
landasan
agar
Rancangan
Undang-Undang
Hak
Cipta
dapat
ii
Tangerang,
Juli 2013
iii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Identifikasi Masalah ....................................................................
C. Metode .......................................................................................... 9
BAB II
12
14
28
28
33
35
iv
39
76
A. Kesimpulan .................................................................................. 76
B. Saran ............................................................................................
79
80
81
BAB I. PENDAHULUAN
Pada zaman modern saat ini dapat dipahami bahwa globalisasi ekonomi dan
perdagangan bebas telah mempengaruhi perubahan yang sangat besar terhadap
bidang hukum. Negara-negara di dunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi
dan perdagangan bebas, baik negara maju maupun sedang berkembang bahkan
negara yang terbelakang harus membuat standarisasi hukum dalam kegiatan
ekonominya. Globalisasi ekonomi semakin dikembangkan berdasarkan prinsip
liberalisasi perdagangan (trade liberalization) atau perdagangan bebas (free trade)
lainnya yang telah membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat
dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Arus globalisasi
ekonomi dan perdagangan bebas sulit untuk ditolak dan harus diikuti karena
globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut berkembang melalui
1
Tepatlah
1 John Braithwaite dan Peter Drahos, Global Business Regulation, (New York: Cambridge University Press,
2000), hal. 24-23.
2
Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan
Pembangunan Hukum Indonesia, pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara Ke-44, Medan 20
Nopember 2001, hal. 4.
Lawrence M. Friedman, Legal Culture and the Welfare State: Law and Society-An Introduction, (Cambridge,
Massachusetts, London: Harvard University Press, 1990), hal. 89.
Isu di bidang Hak Cipta merupakan isu yang sangat penting karena berkaitan
dengan perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Untuk
memahami bagaimana prinsip-prinsip Hak Cipta diimplementasikan menurut
tujuannya, perlu terlebih dahulu diketahui latar belakang pembentukan doktrindoktrin yang digunakan dalam implementasi prinsip-prinsip Hak Cipta tersebut.
Pemikiran-pemikiran yang dikembangkan sebagai doktrin bagi pengaturan normanorma Hak Cipta memiliki beberapa sifat khusus yang berkaitan dengan filsafat
hukum dan teori ekonomi. Sebagai contoh, sumbangan pemikiran Thomas Aquinas
yang membahas teori hukum alam, dan John Locke yang membahas hak individual
atas benda, dapat dijadikan landasan terhadap bagaimana doktrin dipergunakan
dalam kerangka implementasi prinsip-prinsip Hak Cipta, untuk selanjutnya
memberikan jaminan kepastian hukum melalui penentuan hak-hak yang melekat
pada bagian-bagian obyek hukum yang dianggap material maupun immaterial.
6
Disamping itu, teori ekonomi yang dikenal dengan the Theory of Bargaining dapat
dijadikan materi pembahasan yang diperlukan dalam urgensi praktik pengaturan Hak
Cipta demi tercapainya keseimbangan antara kepentingan ekonomi individual dan
pemegang Hak Cipta, maupun keseimbangan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
nasional yang diakibatkan oleh implementasi atau eksploitasi dari Hak Cipta itu
sendiri.
Selain itu, dalam Labour Theory juga telah dikemukakan tentang pentingnya
perlindungan Hak Cipta, yaitu:
W. Friedmann, Legal Theory, Fifth Edition Columbia University Press (Columbia, 1967), hal. 108.
Ibid. hal. 122.
6
Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics Third Edition, Addison-Wesley, (USA, 2000), hal. 75.
Sebagaimana dikutip: To develop an economic theory of property, we must first develop the economic theory
of bargaining games. At first you may not see the relevance of this theory to property law, but later you will
recognize that it is the very foundation of the economic theory of property. The elements of bargaining theory
can be developed through an example of a familiar exchange-selling a used car.
5
Patent and other types of intellectual property rights are intended to prevent people
from commercially eHak Ciptaploiting ideas or inventions without fair compensation
to the originators. The concept comprises two competing social objectives: the need
to encourage technical innovations and the need to disperse the benefits of that
7
innovation throughout society.
Dari uraian tersebut terlihat adanya pemikiran bahwa suatu karya intelektual yang
dihasilkan oleh seseorang atas dasar intelektualitasnya, baik berupa invensi maupun
karya intelektual lainnya khususnya Hak Cipta perlu memperoleh perlindungan guna
mencegah segala bentuk eksploitasi secara komersial oleh pihak lain tanpa
kompensasi yang adil kepada pihak yang menghasilkan karya cipta tersebut.
Konsep tersebut juga mengandung makna untuk mendukung dua tujuan sosial yang
saling berkompetisi, yaitu adanya kebutuhan untuk merangsang kreatifitas
penciptaan karya baru di satu sisi dan di sisi lain yaitu kebutuhan untuk
menyebarluaskan karya cipta tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan
masyarakat.
Untuk menghindari perbedaan penafsiran mengenai istilah-istilah yang
digunakan dalam Naskah Akademik ini, berikut adalah definisi operasional dari
istilah-istilah tersebut:
1.
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.
3.
Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan
sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan,
Justin Hughes, The Philosophy of Intellectual Property, 77 Geo.L.J.287 1988, hal. 21.
Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang
menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima
lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.
5.
Hak yang Berkaitan dengan Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pelaku
pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga penyiaran.
6.
7.
Produser Fonogram adalah orang atau badan hukum yang pertama kali
merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara
atau perekaman bunyi, baik perekaman pertunjukan maupun perekaman suara
atau bunyi lain.
8.
9.
10. Potret adalah gambar wajah orang yang digambarkan, baik bersama bagian
tubuh lainnya maupun tidak, yang diciptakan dengan cara dan menggunakan
alat apa pun.
11. Publikasi adalah penyebarluasan suatu salinan Ciptaan atau fonogram agar
tersedia untuk publik dalam jumlah tertentu, baik untuk dijual, disewakan
maupun dialihkan kepemilikannya.
12. Penggandaan adalah proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan
Ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apa pun,
secara permanen atau temporer.
13. Fonogram adalah fiksasi suara pertunjukan atau suara lainnya, atau
representasi suara, yang tidak termasuk bentuk fiksasi yang tergabung dalam
sinematografi atau Ciptaan audiovisual lainnya.
14. Pengomunikasian kepada Publik yang selanjutnya disebut Pengomunikasian
adalah proses transmisi suatu Ciptaan, pertunjukan, Fonogram, atau siaran
melalui kabel atau tanpa kabel dengan cara demikian rupa sehingga dapat
diterima oleh semua orang di lokasi yang jauh dari tempat transmisi berasal,
termasuk penyediaan suatu Ciptaan atau karya lain, agar dapat diakses publik
dari tempat dan waktu yang dipilihnya.
15. Pendistribusian kepada Publik yang selanjutnya disebut Pendistribusian adalah
pendistribusian Ciptaan asli atau salinannya, fiksasi pertunjukan, atau Fonogram
melalui penjualan atau pengalihan kepemilikan, dengan tujuan mengedarkan,
menjual kepada masyarakat, atau pengalihan kepemilikan atas Ciptaan asli atau
salinannya, fiksasi pertunjukan, atau Fonogram.
16. Fiksasi adalah perekaman suara yang dapat didengar, perekaman gambar atau
keduanya, yang dapat dilihat, didengar, digandakan, atau dikomunikasikan
melalui perangkat apa pun.
17. Kuasa adalah konsultan hak kekayaan intelektual.
18. Permohonan adalah permohonan pendaftaran Ciptaan oleh pemohon kepada
Menteri.
19. Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau
Pemilik Hak yang Berkaitan dengan Hak Cipta kepada pihak lain untuk
melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak yang Berkaitan
dengan Hak Cipta dengan syarat tertentu.
20. Lembaga Manajemen Kolektif adalah organisasi non pemerintah yang
berbentuk badan hukum yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta,
atau Pemilik Hak Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta guna mengelola sebagian
hak ekonominya untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.
21. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum.
22. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
23. Hari adalah hari kerja.
Pada Naskah Akademik ini, regulasi yang hendak disusun adalah Rancangan
Undang-Undang Tentang Hak Cipta yang akan mencabut Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Hal ini adalah sebagai tindak lanjut atas Instruksi
Presiden Nomor 11 Tahun 2011 yang mengamanahkan Kementerian Hukum dan
HAM bertanggung jawab atas pengembangan ekonomi khusus di bidang Hak Cipta.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka Badan
Pembinaan Hukum Nasional dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memandang perlu untuk melakukan
kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Hak
Cipta dalam rangka untuk mempersiapkan materi Rancangan Undang-Undang
tentang Hak Cipta.
6
A. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, bahwa Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta yang berlaku masih terdapat kendalakendala dan hambatan dalam implementasinya, sehingga undang-undang tersebut
perlu diganti dengan yang baru.
Untuk melakukan perubahan tersebut dan dalam rangka memberikan landasan
ilmiah bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta, maka
dalam Naskah Akademik ini dilakukan pengkajian dan penelitian yang mendalam
mengenai, yaitu sebagai berikut:
1. Apakah pengaturan tentang Hak Cipta dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2002 Tentang Hak Cipta dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif dan
efisien serta lebih meningkatkan perekonomian Indonesia.
2. Hal-hal apa saja yang dapat dijadikan masukan Hak Cipta menjadi materi
muatan Rancangan Undang-Undang Hak Cipta yang baru.
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta.
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan
arah pengaturan pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta.
2.
3.
4.
Undang-Undang
tentang Hak Cipta ini adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan
pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta.
C.
Metode
Metode penelitian dalam Penyusunan Naskah Akademik tentang Rancangan
Undang-Undang tentang Hak Cipta menggunakan metode pendekatan deskriptifanalitis, yaitu menggambarkan berbagai permasalahan secara utuh dan menyeluruh,
selanjutnya dilakukan analisis yang menjadi bagian-bagian sebagai sistem yang
terbagi atas sub sistem-sub sistem dari suatu ekosistem sebagai suatu kesatuan
Persetujuan
TRIPs
dan
konvensi-konvensi
atau
traktrat-traktat
ini
menggunakan
pendekatan
secara
interdisipliner
dan
Penelusuran kepustakaan, dengan mengkaji berbagai peraturan perundangundangan yang sudah ada dan berlaku di Indonesia termasuk Persetujuan
TRIPs, konvensi dan traktat internasional yang terkait dengan Hak Cipta;
2.
3.
4.
10
Ketiga teori ini pada intinya memiliki visi yang sama berupa pemberian
penghargaan kepada para Pencipta atas karya Cipta yang telah dihasilkan. Dalam
perkembangannya pemberian penghargaan tersebut harus dikaitkan dengan upaya
untuk menciptakan iklim kondusif agar masyarakat tetap kreatif, sebab penghargaan
yang tidak memadai akan membunuh kreativitas masyarakat itu sendiri. Dengan
demikian,
teori-teori
tersebut
perlu
disempurnakan
dengan
memasukkan
Robert M. Sherwood, Intellectual Property and EconomicDevelopment: Westview Special Studies in Science
Technology and Public Policy, (San Fransisco: Westview Press Inc., 1990), hal. 39.
11
Makro.
Dr. Ranti Fauza Mayana, S.H., Perlindungan Desain Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas,
(Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), hal. 45.
12
statuta-statuta.
Sehingga
seringkali
dilewatkan
peran
hakim
dalam
10
Antony Allott, The Effectiveness of Law, Valparaiso University Law Review Volume 15, 1981, hal. 229 242.
13
Peran hakim dan pembuat undang-undang dalam hal ini adalah untuk
menyelaraskan undang-undang yang dibuat dan diterapkan pada keadaan yang
sudah berlangsung serta bentuk perilaku mendasar masyarakat yang menjadi
subyek dari undang-undang tersebut. Sehingga ketika undang-undang menjadi satu
dari tiga bentuk penerapan di atas, undang-undang menjadi panduan dari norma
hukum yang telah dikenal secara jelas oleh masyarakat.
Tidak efektifnya sebuah undang-undang menurut Allott adalah:
1. Penyampaian maksud dari undang-undang tersebut yang tidak berhasil. Bentuk
dari undang-undang umumnya berupa peraturan-peraturan berbahasa baku
yang sulit dimengerti oleh masyarakat awam serta kurangnya badan
pengawasan dari penerimaan dan penerapan undang-undang tersebut.
2. Terdapat pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat undangundang dengan sifat dasar dari masyarakat.
3. Kurangnya instrumen pendukung undang-undang seperti peraturan pelaksana,
institusi-institusi atau proses yang berkaitan dengan pelaksanaan dan
penerapan undang-undang tersebut.
Asas reward theory/incentive theory/recovery theory yakni diberikannya hak
eksklusif berupa perlindungan hukum dengan jangka waktu tertentu agar pencipta
14
norma
bahwa
adalah
pelanggaran
hukum
apabila
15
pertumbuhan ekonomi. Teori risk dalam penerapan norma peraturan bidang Hak
Cipta khususnya pemberian perlindungan hukum bahkan penegakan hukum yang
lebih baik karena menyadari karya-karya intelektual ini memiliki potensi ekonomi
yang besar sehingga rentan bagi para pelanggar hukum untuk melakukan peniruan
demi memperoleh keuntungan dengan cara yang singkat.
11
Dengan keikutsertaan
Pemerintah
Indonesia
telah
melakukan
upaya
meratifikasi
11
12
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods.
Indonesia sebagai Negara berkembang telah diberi waktu transisi 5 tahun sejak berlakunya Agreement on
Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs (tanggal 1 Januari 1995) untuk
mengimplementasikan Persetujuan TRIPs/WTO, yaitu sampai tahun 2000. Persetujuan TRIPs/WTO mulai
berlaku efektif di Indonesia pada tanggal 1 Januari 2001.
16
13
Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Selain itu pada Undang-Undang Hak
Cipta tersebut terdapat ketentuan yang memberikan upaya kepada Pencipta dan
pemegang Hak untuk memohon kepada Pengadilan Niaga diterbitkan Penetapan
Sementara Pengadilan untuk mencegah kerugian yang lebih besar terhadap pemilik
Hak Cipta. Penetapan Sementara Pengadilan ini merupakan hal yang baru dalam
sistem hukum Indonesia, yaitu penetapan yang diberikan oleh hakim sebelum ada
perkara pokok, hal ini untuk memenuhi standar ketentuan yang terdapat dalam
Persetujuan TRIPs, khususnya Pasal 44. Dalam praktiknya belum ada Pemegang
Hak Cipta yang mempergunakan mekanisme ini dan pihak Pengadilan juga
menyatakan tidak dapat menjalankan ketentuan ini dikarenakan belum ada
ketentuan pelaksanaannya.
13
Pada tanggal 21 April 2011 telah dibentuk suatu Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual
17
Awal abad ke-21 yang ditandai dengan kemajuan teknologi di bidang digital,
informasi, telekomunikasi, transportasi, dan perekonomian yang sangat pesat, telah
mendorong arus globalisasi di bidang industri dan perdagangan serta investasi. Hal
ini
menjadikan
dunia
mengarah
sebagai
satu
pasar
tunggal
bersama.
Indonesia, hingga saat ini Lembaga Manajemen Kolektif telah memungut secara
blanket license dari setiap pengumuman karya musikal dari berbagai pengguna yang
termasuk hak mengumumkan atas karya rekaman suara.
Permasalahan lainnya adalah tentang kurangnya penghormatan terhadap Hak
Moral. Adapun Pasal 24 perihal Hak Moral yang memuat antara lain tentang tidak
boleh diubahnya suatu ciptaan berkaitan dengan bila ciptaan diserahkan kepada
pihak lain. Kalaupun juga ada proteksi, hal itu hanya berkaitan dengan sisi hak
ekonomi yaitu apabila ciptaan diumumkan atau diperbanyak dengan sengaja dan
tanpa hak (Pasal 72). Sebagai contoh pengambilan sebuah judul lagu di masa lalu
yang dijadikan untuk lagu yang berbeda yang diciptakan beberapa tahun kemudian.
Contoh yang dimaksud adalah judul lagu Sabda Alam (Ismail Marzuki) dan lagu
yang lain yaitu Sabda Alam (Chrisye). Tampaknya itu hanyalah sebuah judul, tetapi
tidak sesederhana yang diperkirakan karena kalau pencantumannya cuma satu kata
Sabda atau Alam saja maka tidak menjadi istimewa. Hal tersebut menjadi daya
pembeda karena paduan kedua kata yakni Sabda Alam adalah merupakan upaya
pemikiran sehingga sampai kepada suatu style untuk mempersonifikasikan alam.
Dengan demikian, judul-judul yang dibuat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1
angka 2 dianggap sebagai ciptaan yang harus dilindungi dari usaha mereka yang
hanya ingin mengutip tanpa menyebut sumber.
Permasalahan lain adalah tidak terincinya hak-hak yang dimiliki Pencipta dan
Pemegang Hak sehingga membingungkan dalam praktiknya. Penjelasan Pasal 2
ayat (1) mencantumkan kata mengumumkan atau memperbanyak dalam satu
kalimat dapat menimbulkan persepsi bahwa semua kegiatan yang seharusnya
merupakan kegiatan memperbanyak dianggap menjadi kegiatan mengumumkan
demikian pula sebaliknya. Hal ini sangat potensial menimbulkan kesalahpahaman
20
antara hak mengumumkan dan hak memperbanyak dari suatu ciptaan sehingga
menimbulkan konflik di antara sesama industri yang berkaitan dengan Hak Cipta,
seperti industri musik.
Pengertian kata mengumumkan dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan hak
eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak untuk memberi izin atau melarang orang
lain untuk mendengarkan, memperlihatkan, mempertunjukkan kepada publik melalui
sarana apapun. Pengertian hak eksklusif ini hanya khusus berlaku atas Ciptaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002, tetapi
belum mengatur mengenai pengumuman atas produk rekaman suara. Pengertian
mengenai hak mengumumkan harus diartikan secara sendiri-sendiri antara Hak
mengumumkan atas suara Ciptaan dan Hak Mengumumkan atas Karya Rekaman
Suara. Dengan demikian tidak ada dua hak mengumumkan atas suara ciptaan atau
karya Rekaman Suara.
Masalah lain yang menimbulkan benturan di lapangan adalah dengan pesatnya
teknologi digital untuk pengumuman yaitu misalnya pengumuman ciptaan lagu atau
musik yang merupakan kesatuan karya cipta sehingga tidak bisa diubah atau
dimutilasi tanpa izin Penciptanya. Sering terjadi suatu lagu atau musik tidak
diumumkan dan diperbanyak secara full song untuk penggunaan ring back tone.
Persoalan perbanyakan tanpa izin seperti ini dapat diselesaikan apabila klausula
untuk itu terakomodasi dalam undang-undang, karena pada hakikatnya suatu
ciptaan bidang seni dengan menjadikan suatu ciptaan yang dilindungi dimanipulasi
sehingga suatu ciptaan dilanggar hak eksklusifnya dengan cara pemutilasian
misalnya teknologi digital sangat memungkinkan. Pengembangan open source
software (OSS) di Indonesia sesungguhnya telah banyak dilakukan secara mandiri
oleh kelompok masyarakat. Sejarah mencatat, bahwa jauh sebelum program
21
Hal ini sangat terbuka dengan munculnya model lisensi publik (General Public
License-GPL) yang diperkenalkan oleh Richard M. Stallman melalui Project GNU
(1983) yang berupaya mengembangkan Program Komputer Bebas (Free Software),
sebagai jawaban atas makin komersialnya pengembangan teknologi informasi,
terutama perangkat lunak dengan lisensi (Close Source Software). Perbedaan
utama antara program komputer bebas dengan program komputer proprietary
adalah prinsip kebebasan (freedom) yang diberikan oleh pencipta kepada publik.
Prinsip kebebasan tersebut diformulasikan dan dituangkan dalam General Public
License (GPL). Dalam lisensi GPL dijelaskan bahwa setiap sofware yang dibuat
berdasarkan GPL, harus menyertakan kode program (source code) dari program
tersebut yang bertujuan untuk mendistribusikan program-program yang termasuk
dalam setiap lisensi secara gratis dan terbuka.
tersebut,
C. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam
RUU Hak Cipta terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya
terhadap aspek beban keuangan Negara
Dalam praktik hak-hak Pencipta belum sepenuhnya dijamin dalam UndangUndang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, di sini hak-hak Pencipta
dirumuskan secara global, yaitu hak untuk mengumumkan dan memperbanyak,
sehingga hak-hak Pencipta yang lainnya tidak secara ekspresis verbis dinyatakan
dalam rumusan Pasal 2 ayat (1). Padahal hak menyewakan, mengomunikasikan
kepada Publik, mendistribusikan, menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen,
meminjamkan, menjual, dan menyiarkan seharusnya dirumuskan dalam norma
Pasal dan bukan dalam Penjelasan karena maknanya menjadi sangat berbeda.
Dampak ketentuan ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat
24
berada di luar negeri. Dukungan terhadap delik biasa didasarkan pada alasan
perlunya institusi kepolisian memiliki kewenangan untuk proaktif melakukan
penindakan terhadap pelanggaran Hak Cipta. Meski ada ekses dan kelemahan,
tetapi dirasa tetap lebih baik dan prospektif mengatasi situasi dan kondisi
pelanggaran Hak Cipta di Indonesia seperti yang berlangsung saat ini. Industri
software, film, dan buku yang masih menggunakan medium konvensional,
membutuhkan dukungan negara dalam perlindungan Hak Cipta yang diwujudkan
dalam kebijakan yang menjadikan pelanggran Hak Cipta sebagai delik biasa.
Kemudian dalam hal dampak terhadap beban keuangan negara, pelanggaran
Hak Cipta di bidang software, film, musik, seni, dan ciptaan bermedia cakram optik
25
26
Ketentuan
mengenai
Lembaga
Manajemen
Kolektif
sehingga
praktik
pengelolaan atau pemanfaatan Hak Cipta dan Hak Yang Berkaitan Dengan Hak
Cipta oleh masyarakat pengguna dapat betul-betul dilakukan sesuai dengan
norma/koridor hukum yang berlaku.
g. Dimungkinkannya dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam sengketa Hak
Cipta.
h. Ketentuan mengenai pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
i.
Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi Bern
tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) melalui Keputusan Presiden Nomor 18
Tahun 1997 dan World Intellectual Property Organization Copyright Treaty
(Perjanjian Hak Cipta WIPO) yang selanjutnya disebut WCT, melalui Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1997, serta World Intellectual
Property Organization Performances and Phonograms Treaty (Perjanjian Karyakarya Pertunjukan dan Karya-karya Fonogram WIPO) yang selanjutnya disebut
WPPT, melalui Keputusan Presiden RI Nomor 74 Tahun 2004.
Indonesia saat ini telah memiliki Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun
2002 Tentang Hak Cipta yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang
Hak Cipta sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak
Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan
terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997. Walaupun
perubahan-perubahan itu telah memuat beberapa penyesuaian Pasal yang sesuai
dengan TRIPs, dan telah mengakomodasikan ketentuan-ketentuan perjanjian
internasional lainnya di bidang Hak Cipta dan Hak Yang Berkaitan Dengan Hak
Cipta, masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk lebih memberi
perlindungan dan memajukan perkembangan bagi karya-karya intelektual di bidang
Hak Cipta dan Hak Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta. Dari beberapa konvensi di
bidang Hak Kekayaan Intelektual tersebut, masih terdapat beberapa ketentuan yang
sudah sepatutnya dimanfaatkan sebagai materi muatan. Di samping itu, harus diakui
bahwa dalam penerapannya masih ada beberapa hambatan maupun kendala yang
dialami tidak saja oleh Kementerian sebagai institusi pengelola pengadministrasian
Hak Cipta, tetapi juga oleh para Pencipta, praktisi, para penegak hukum, dan piHak
Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta lainnya.
29
Perlindungan hukum Hak Cipta dan Hak Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta
yang kuat dan sesuai dengan standar perlindungan dalam konvensi internasional,
tentu akan sangat mendukung peningkatan investasi di dalam negeri dan prospek
perdagangan produk Indonesia di tingkat internasional. Kondisi ini diharapkan dapat
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat secara luas, terutama
bagi mereka yang bergerak di sektor industri kreatif, seperti: industri musik, film,
entertainment, media massa, perbukuan, arsitektur, dan piranti lunak.
Ketidaksempurnaan suatu Undang-undang Hak Cipta bukanlah berarti akan
menimbulkan ketidak-adilan, ketidak-pastian hukum bagi masyarakat, namun
demikian masyarakat suatu bangsa senantiasa bersifat dinamis, berkembang akibat
dari interaksi di bidang sosial, budaya dan perekonomian, sehingga system hukum
pun akan mengalami perubahan.Dan pada saat ini, ketergantungan suatu bangsa
dengan bangsa yang lain dalam bidang perdagangan merupakan hal yang tidak
dapat dihindarkan, dan mempengaruhi system hukum nasional termasuk Undangundang Hak Cipta baik secara langsung maupun tidak langsung.
Meskipun Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002 telah diberlakukan di
Indonesia sejak tangggal 29 Juli 2003, tetapi dalam rentang waktu 7 tahun terakhir
keberadaan Undang Undang Hak Cipta tersebut, saat ini dan masa mendatang
dirasakan kurang mampu lagi mengayomi permasalahan-permasalahan tentang Hak
Cipta yang timbul di masyarakat.
Salah satu obyek ciptaan yang baru diatur dalam Rancangan Undang-Undang
ini adalah video game yang diatur secara khusus, mengingat tingginya pelanggaran
penggunaan video game. Namun demikian terdapat kendala dalam penegakan
hukumnya disebabkan ketidakjelasan dalam menentukan obyek video game sebagai
30
ciptaan software. Hingga kini belum ada perjanjian internasional yang mengatur
secara jelas perlindungan hukum mengenai video game. Dengan diakomodasinya
pengaturan video game sebagai obyek ciptaan, maka akan memberikan kepastian
hukum terhadap ciptaan video game baik karya anak bangsa maupun karya dari
bangsa lain.
Perubahan atau Revisi Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002 sangat penting
dilakukan terutama karena Indonesia telah meratifikasi WIPO Performances and
Phonograms Treaty, 1966 melalui Keputusan Presiden Nomor 74 tahun 2004,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 93 pada tanggal 10
September 2004. Hasil ratifikasi WPPT Tahun 1996 harus diadaptasi ke dalam
Undang-Undang Hak Cipta agar lebih sempurna, sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, serta dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi yang
sedemikian pesat di abad yang serba digital pada masa dewasa ini.
31
A. Filosofis
Hukum nasional adalah kesatuan hukum yang dibangun untuk mencapai
tujuan Negara yang bersumber dari falsafah dan konstitusi Negara, di dalam kedua
hal itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum Negara Indonesia. Oleh karena
itu semua hukum yang hendak dibangun haruslah merujuk kepada keduanya.
Secara umum, tujuan bangsa Indonesia adalah membentuk masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila. Tujuan Negara tersebut secara definitif
tertuang di dalam alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 yang meliputi: (1) melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan
kehidupan
bangsa;
(4)
ikut
melaksanakan
ketertiban
dunia,
berdasarkan
seluruh
rakyat
Indonesia
menjadi
landasan
politik
hukum
dalam
hidup
bermasyarakat yang berkeadilan sosial sehingga mereka yang lemah secara sosial
dan ekonomi tidak ditindas oleh mereka yang kuat secara sewenang-wenang.
Nilai-nilai prismatic tersebut menjadi pilihan dan ciri khas bagi Negara hukum
Pancasila yang kemudian melahirkan system hukum nasional Indonesia, yang
antara lain memberikan jalan tengah nilai kepentingan antara individualism dan
kolektivisme. Artinya Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 mengakui hak-hak (termasuk hak milik) dan kebebasan individu
sebagai hak asasi, tetapi sekaligus meletakkan kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi.
Sebagai implementasi dari nilai-nilai di atas, maka Undang-Undang tentang
Hak Cipta yang akan dibentuk nanti sebagai revisi terhadap Undang-Undang yang
lama,
harus
mengabdi
kepada
kepentingan
nasional
untuk
tercapainya
33
maka
sudah
sewajarnya
apabila
negara
menjamin
sepenuhnya
B. Sosiologis
Adanya pengakuan secara universal tersebut, tidak diragukan lagi bahwa suatu
ciptaan mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia (life worthy) dan mempunyai
nilai ekonomi sehingga menimbulkan adanya tiga macam konsepsi, yaitu (1)
konsepsi kekayaan; (2) konsepsi hak; dan (3) konsepsi perlindungan hukum.
Kehadiran
tiga
konsepsi
ini
lebih
lanjut
menimbulkan
34
kebutuhan
adanya
tidak
terakomodasikannya
lagi
perubahan-perubahan
35
yang
C. Yuridis
Secara konstitusional, telah dipahami secara baik bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum14 dan karena itu setiap orang tunduk pada ketentuan
konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang telah empat kali diubah sebagai
bentuk reformasi hukum yang paling esensial. Konsekuansi selanjutnya adalah
keharusan akan kesesuaian semua perundang-undangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 beserta implementasinya, dengan
memperhatikan ketentuan hukum yang bersifat internasional.
Pengaturan tentang Hak Cipta di Indonesia telah berlangsung lama. Pada
tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi
Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan
karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti.
Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang Hak
Cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan
menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang
merupakan undang-undang Hak Cipta yang pertama di Indonesia. Undang-undang
tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undangundang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor
19 Tahun 2002 yang kini berlaku. Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas
dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah
14
UUD 1945, Pasal 1 ayat (3). Unsur negara berdasarkan hukum, menurut Von Munich, ialah adanya:(a) hakhak asasi manusia; (b) pembagian kekuasaan; (c) keterikatan semua organ negara pada undang-undang
dasar dan keterikatan pemerintah dan peradilan pada undang-undang dan hukum; (d) aturan dasar tentang
proporsionalitas (verhaltnismassingkeit); (e) pengawasanperadilan terhadap keputusan-keputusan
(penetapan-penetapan) kekuasaan umum; (f) jaminan peradilan dan hak-hak dasar dalam proses peradilan;
dan (g) pembatasan terhadap berlaku suratnya undang-undang. (lhat A. Hamid at-Tamimi, Peranan
Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, (disertasi), (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1990), hal. 312
36
meratifikasi
pembentukan
Organisasi
Perdagangan
Dunia
(World
Trade
37
1. Sinkronisasi.
Undang-Undang ini hanya mencantumkan hak mengumumkan dan hak
memperbanyak sebagai induk dari hak yang lain.
38
mengimport,
memamerkan,
mempertunjukkan,
menual,
39
orang
lain
untuk
mendengarkan,
memperlihatkan,
40
41
dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Ketentuan ini sering
menimbulkan perbedaan persepsi mengenai keabsahan badan hukum
sebagai pencipta sebagaimana diatur dalam Pasal 9 tersebut.
h. Tidak dimuatnya ketentuan mengenai perlindungan ciptaan dalam satu
pasal
Perihal proteksi memang telah terakomodasi pada Pasal-pasal yang telah
memuat baik definisi, fungsi dan sifat, ciptaan yang dilindungi, ciptaan yang
penciptanya tidak diketahui (nomen nescio), pembatasan Hak Cipta, masa
berlaku, pendaftaran, maupun Hak Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta,
namun proteksi sebagaimana dimaksud tidak diletakkan tersendiri sebagai
satu Pasal. Adapun Pasal 24 perihal Hak Moral yang memuat antara lain
tentang tidak boleh diubahnya suatu ciptaan berkaitan dengan bila ciptaan
diserahkan kepada pihak lain. Kalaupun juga ada proteksi, hal itu hanya
berkaitan dengan sisi hak ekonomi yaitu apabila ciptaan diumumkan atau
diperbanyak dengan sengaja dan tanpa hak (Pasal 72). Sebagai contoh
pengambilan sebuah judul lagu dimasa lalu yang dijadikan untuk lagu yang
berbeda yang diciptakan beberapa tahun kemudian. Contoh yang dimaksud
adalah judul lagu Sabda Alam (Ismail Marzuki) dan lagu yang lain yaitu
Sabda Alam (Chrisye). Tampaknya itu hanyalah sebuah judul, tetapi tidak
sesederhana yang diperkirakan karena kalau pencantumannya cuma satu
kata Sabda atau Alam saja maka tidak menjadi istimewa. Hal tersebut
menjadi daya pembeda karena paduan kedua kata yakni Sabda Alam
adalah merupakan upaya pemikiran sehingga sampai kepada suatu style
untuk mempersonifikasikan alam. Dengan demikian, judul-judul yang dibuat
sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 2 seyogianya dianggap
43
sebagai ciptaan yang harus dilindungi dari usaha mereka yang hanya ingin
mengutip tanpa menyebut sumber.
i. Batasan hak mengumumkan
Hak mengumumkan diistilahkan juga dengan Performing Right yang ketika
ditinjau dari aspek kebahasaan menjadi agak kurang tepat, namun tetaplah
memadai manakala ia diterapkan dengan dunia entertainment yakni Hak
yang diperoleh Pencipta dalam hal karya ciptanya digunakan sebagai modal
usaha bisnisnya atau pun digunakan untuk menopang kegiatan komersial
utamanya (Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 57). Hak
tersebut menjadi begitu atraktif untuk dibincangkan karena kepadanya
melekat unsur yang akan mendatangkan royalti, terlebih lagi imbalan
tersebut melegalisasikan kepada Pemegang Hak Cipta untuk memberi
lisensi kepada pihak lain (Pasal 45 ayat 1) yang tetap dalam bingkai using
for the commercial purposes.
j.
lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, tetapi hal tersebut tidak berlaku
untuk program komputer, karena sudah termasuk kategori pelanggaran Hak
Cipta. Menyangkut program komputer. Undang-Undang Hak Cipta hanya
membolehkan pembuatan salinan cadangan suatu program komputer yang
dilakaukan semata-mata untuk digunakan sendiri (Pasal 15 huruf g).
Dalam konteks Hak Cipta, klausul dalam Pasal 15 Undang-Undang Hak
Cipta lazim dikenal dengan fair use. Istilah ini dalam Bahasa Indonesia
sering diterjemahkan dengan penggunaan yang adil atau penggunaan
yang
wajar.
Ketentuan
ini
merupakan
lingkup
pembatasan
dan
Demikian halnya
menegaskan:
dengan
article
(2)
Berne
Convention
yang
terjadi
pengecualian
terhadap
pengecualian.
Artinya
kalau
45
mungkin
diperbanyak,
apalagi
untuk
kepentingan
ilmu
15
15
Sabartua Tampubolon, Program Komputer dan Perlindungan Hak Cipta, Sinar Harapan, 18/5/2007.
46
suatu kode program komputer, tetapi bisa juga hanya peluang untuk
menggandakan (copy) program komputer yang diperoleh dalam jumlah
lisensi yang terbatas. Karena bila kita merujuk pada ketentuan umum
Pasal 1 angka 6, maka yang disebut perbanyakan adalah penambahan
jumlah suatu ciptaan, baik keseluruhan maupun bagian yang sangat
substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak
sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
Sayangnya, kita tidak dapat melihat keterangan yang lebih detail terhadap
klausul ini, karena dalam bagian penjelasan hanya disebut cukup jelas.
Kalau mengikuti logika hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Hak
Cipta, sepanjang penggandaan suatu program komputer bukan bersifat
komersial apalagi untuk kepentingan lembaga ilmu pengetahuan dan
pendidikan, seyogianya masih merupakan lingkup fair use dan tidak
dapaat dipidana. Interpretasi seperti ini sebenarnya telah sesuai dengan
ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 72 ayat (3) Undang-Undang
Hak Cipta, yang menegaskan bahwa pelanggaran Hak Cipta yang dapat
dipidana adalah apabila memperbanyak penggunaan suatu program
komputer untuk kepentingan komersial.
Oleh karena itu, dalam revisi Undang-Undang Hak Cipta yang akan
dilakukan,
hendaknya
pengecualian
terhadap
program
komputer
ditiadakan atau paling tidak direvisi untuk memberikan ruang yang lebih
luas kepada masyarakat untuk mengakses pengetahuan terhadap suatu
ciptaan sebagai salah satu syarat proses alih ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek), tanpa harus dihantui oleh bayang-bayang pelanggaran
Hak Cipta. Hal ini relevan dengan semangat pengembangan open source
47
48
l.
50
51
keserasian
hubungan
antar
susunan
pemerintahan.
Sementara itu Pasal 12 ayat (1)nya lebih mempertegas lagi bahwa urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber
pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai
dengan urusan yang didesentralisasikan. Sebagai pelaksanaan dari UU
terseebut di atas, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.
38
tahun
2007
tentang
Pembagian
Urusan
Pemerintahan
Antara
53
A.2. Penambahan
1. Lembaga Manajemen Kolektif (Collective Management Organization)
Meskipun Pasal 45, 46, 47 yang berkaitan dengan License mengatur
tentang mekanisme legal maupun teknis antara Copyright Owner dan
Copyright Holder disatu sisi dengan user disisi lain perlu pula ditambahkan
satu pasal yang mencantumkan tentang CMO (Collective Management
Organization) yang merupakan organisasi dengan aktivitas mengelola
secara kolektif atas pungutan royalti yang berkaitan dengan hak
mengumumkan sekaligus sistem penentuan tarif yang diatur melalui
Peraturan Pemerintah (PP).
2. Definisi Royalti
54
A.3. Penghapusan
1. Ketentuan tentang kewajiban Mencatatkan Lisensi
dapat
mengurangi
minat
kreativitasnya.
55
seseorang
untuk
meningkatkan
a. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan sebagaimana telah disampaikan
di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Rancangan
Undang-Undang
Hak
Cipta,
materi
muatannya
telah
57
58
kepada
kepentingan
nasional
untuk
tercapainya
59
perundang-undangan
terakhir,
kiranya
juga
perlu
60
b. Saran
1. Kebutuhan yang sangat mendesak dalam mengakomodasi perlindungan
terhadap hak-hak pencipta perlu segera direalisasikan dalam UndangUndang Hak Cipta yang baru.
2. Perlunya pengaturan materi muatan dalam revisi Undang-Undang Hak
Cipta
dengan
mengakomodasi
semua
hak-hak
Pencipta
dan
(Akhir)
61
DAFTAR PUSTAKA
Antony Allott, The Effectiveness of Law, Valparaiso University Law Review Volume
15, 1981.
Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi
Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia, pidato pada Dies
Natalis Universitas Sumatera Utara Ke-44, Medan 20 Nopember 2001.
John Braithwaite dan Peter Drahos, Global Business Regulation, (New York:
Cambridge University Press, 2000).
Justin Hughes, The Philosophy of Intellectual Property, 77 Geo.L.J.287 1988
Lawrence M. Friedman, Legal Culture and the Welfare State: Law and Society-An
Introduction, (Cambridge, Massachusetts, London: Harvard University Press,
1990).
Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia Dalam Era
Perdagangan Bebas, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004).
Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics Third Edition, AddisonWesley, (USA, 2000).
Robert M. Sherwood, Intellectual Property and EconomicDevelopment: Westview
Special Studies in Science Technology and Public Policy, (San Fransisco:
Westview Press Inc., 1990).
Sabartua Tampubolon, Program Komputer dan Perlindungan Hak Cipta, Sinar
Harapan, 18/5/2007.
W. Friedmann, Legal Theory, Fifth Edition Columbia University Press (Columbia,
1967).
62