Anda di halaman 1dari 8

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH

TANGGA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Pertengkaran yang terjadi dalam rumah tangga sering menyebabkan kekerasan dalam rumah

tangga. Umumnya masyarakat disekitar lingkungan tempat tinggal keluarga yang mengalami

kekerasan dalam rumah tangga tidak memperdulikan karena hal tersebut adalah masalah pribadi.

Mengenai bentuk kekerasan, kekerasan tidak semata-mata bersifat fisik seperti: pemukulan,

penganiayaan atau penyiksaan yang dengan mudah menyisakan bukti yang kasat mata. Dalam

banyak hal kekerasan selalu mengambil banyak bentuk sekaligus banyak dimensi. Kekerasan

psikologis seperti ketakutan secara terus menerus, menerima ancaman, membuat seseorang

dalam perasaan terhina, adalah bentuk lain yang sangat sulit dibuktikan akan tetapi

meninggalkan jejak panjang dalam ingatan setiap orang.

Menghadapi dan mengatasi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tersebut pemerintah

Indonesia telah membuat instrument hukum berupa Undang-undang Nomor 23 tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).

Bila kita melihat tujuan dari Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

dalam pasal 4 disebutkan yaitu:

1. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga,

2. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga,

3. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,

4. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.


Memperhatikan ke 4 (empat) tujuan dari Undang-Undang PKDRT tersebut diatas maka sudah

tepat bila tujuannya adalah mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Akan tetapi

bila kita kaitkan antara tujuan untuk melindungi korban, menindak pelaku KDRT dan

memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera, maka akan terlihat adanya

perbenturan diantara tujuan-tujuan Undang-undang PKDRT tersebut.

Ketika undang-undang PKDRT berupaya untuk memberikan perlindungan bagi korban KDRT

dengan melakukan penindakan terhadap pelaku KDRT dengan penjatuhan pidana berupa penjara

atau denda kepada pelaku maka dalam prakteknya berakibat tidak tercapainya tujuan Undang-

undang PKDRT lainnya yaitu berupa : memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan

sejahtera.

Sepertinya tanpa disadari aparat penegak hukum mempertentangkan tujuan Undang-undang

PKDRT yaitu penindakan pelaku KDRT berupa pemidanaan dengan tujuan dalam Undang-

undang PKDRT lainnya seperti memelihara keutuhan keluarga rumah tangga yang harmonis dan

sejahtera.

Beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berujung dengan pemidanaan akan

menimbulkan masalah baru yaitu menyebabkan perceraian atau ketidak harmonisan diantara

pasangan suami istri. Efek lainnya mengkibatkan efek tidak baik terhadap anak. Anak yang

masih membutuhkan rasa aman akan merasakan ketidaknyamanan. Padahal rasa aman itu

merupakan kebutuhan mendasar bagi anak.


II. Keterlibatan Korban Dalam Penyelesaian Perkara KDRT

Keberadaan dan peran korban dalam suatu proses pemidanaan cenderung dilupakan dan

terabaikan. Oleh karenanya memenuhi perlindungan hukum bagi korban maka upaya yang dapat

dilakukan adalah memberikan kesempatan kepada korban untuk terlibat dalam sistem peradilan

pidana. Namun kenyataannya dalam praktek penanganan perkara KDRT, korban memiliki peran

yang sangat sedikit dalam proses peradilan pidananya.

Ketika korban tidak dilibatkan maka akan tetap memberikan dampak bagi aparat penegak hukum

antara lain : kekurangnya kenyamanan dalam menjalankan tugasnya karena tidak adanya

kerjasama antara APH, Korban kejahatan dan juga saksi.

Tidak dilibatkannya korban secara utuh dalam system peradilan pidana menimbulkan juga

kesulitan bagi korban. Kesulitan yang dihadapi korban KDRT , yaitu korban sulit memiliki akses

terhadap penyelesaian perkaranya, seperti yang disampaikan oleh Syukri Akub dan Baharuddin

Badaru bahwa:

Sebagai pihak yang dirugikan oleh pelaku kejahatan , korban kejahatan selalu mempersoalkan

aktivitas, efisiensi dan efektivitas kerja aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkaranya.

Hal ini disebabkan karena korban kejahatan tidak secara langsung terlibat dalam system

peradilan pidana. Oleh karenanya , korban kejahatan tidak memiliki kesempatan untuk

melakukan negosiasi dengan pelaku atau dengan penegak hukum dalam proses penyelesaian

perkaranya.

Dengan mempertahankan penyelesaian perkara KDRT ini semata-mata berpatokan pada hukum

positip maka sangat sulit mewujudkan perlindungan hukum bagi korban KDRT. Melibatkan

korban dalam penyelesaian perkara KDRT berarti memberikan suatu ruang atau kesempatan bagi
korban untuk terlibat secara langsung dalam system peradilan pidana. Kemudian korban juga

dapat menyampaikan pendapat dan keinginannya terhadap kasus yang dihadapinya, sehingga

pemenuhan hak-haknya sebagai korban akan terwujud.

Sesungguhnya bila hanya mempertahankan hukum positip untuk menyelesaikan perkara KDRT

maka perlindungan bagi korban KDRT tidak dapat sepenuhnya terwujudkan. Hal ini dapat kita

perhatikan dari pendapat Barda Nawai Arie sebagai berikut::

Dalam hukum pidana positif yang berlaku saat ini, perlindungan korban lebih banyak merupakan

“perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya, dengan adanya berbagai

perumusan tindak pidana dalam peraturan Perundang-undangan selama ini, berarti pada

hakikatnya telah ada perlindungan “in abstracto” secara tidak langsung terhadap berbagai

kepentingan hukum dan hak-hak asasi korban. Dikatakan demikian , karena tindak pidana

menurut hukum pidana positif tidak dilihat sebagai perbuatan menyerang/melanggar kepentingan

hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkret, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggaran

“norma/tertib hukum in abstracto”. Akibatnya, perlindungan korbanpun tidak secara langsung

dan “in concreto”, tetapi hanya “in abstracto”. Dengan kata lain, system sanksi dan

pertanggungjawqaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan

konkret, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Jadi

pertanggungjawaban terhadap kerugian/penderitaan korban secara tidak langsung dan konkret,

tetapi lebih tertuju pada pertanggungjawaban yang


III. Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara KDRT

Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh effective remedy atas pelanggaran hak yang

mereka derita, yang diberengi oleh kewajiban Negara untuk memastikan pemenuhan hak-hak

tersebut.. Bagi Kelsen , keadilan adalah masalah ideology yang ideal irrasional. Rasa Keadilan

terkadang hidup di luar undang-undang, yang jelas undang-undang akan sangat sulit untuk

mengimbanginya. Begitu pula sebaliknya undang-undang itu sendiri dirasakan tidak adil.

Menurut Sukarno Aburaera, ketika rakyat mencari hukum, berarti rakyat menuntut supaya hidup

bersama dalam masyarakat diatur secara adil. Rakyat meminta supaya tindakan-tindakan yang

diambil adalah sesuai dengan suatu norma yang lebih tinggi daripada norma hukum dalam

undang-undang. Norma yang lebih tinggi itu dapat disamakan dengan prinsip-prinsip keadilan.

Melihat hal tersebut diatas maka hal yang terpenting adalah adanya keterlibatan korban dalam

penyelesaian tindak pidana KDRT lebih dekat dengan konsep keadilan restorative. Sementara itu

apabila kita perhatikan maka keadilan restorative itu bersumber dari yaitu Pancasila yang

didasarkan pada sila ke 4 (empat) Pancasila. Seperti kita ketahui bersama bahwa Pancasila

adalah Falsafah Negara Indonesia maka bila kita menarik lagi kebelakang maka Keadilan

Restorative itu sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi kita.

Mengapa bukan hal yang baru, hal ini karena dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat , pada

masa dahulu bila terjadi konflik diantara masyaraka maka orang-orang yang berselisih/berkonflik

akan menyelesaikannya dengan hukum yang ada dimasyarakat itu yaitu dengan hukum adat atau

kearifan lokal.
Penutup

1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan perbuatan terhadap seseorang terutama

perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

2. Adanya pertentangan dalam tujuan dibuatnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu tujuan penindakan bagi pelaku KDRT

dengan pemidanaan akan bertentang dengan tujuan lainnya yaitu : terpelihara keutuhan keluarga

rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Akan sulit mencapai tujuan terpeliharanya keutuhan

rumah tangga bila pelaku KDRT dipidana dengan pidana penjara atau denda.

3. Perlindungan korban dengan melibatkan korban dalam system peradilan pidana sangat

memungkin dilakukan mengingat korban dan pelaku KDRT merupakan satu keluarga.

Keterlibatan korban , pelaku bahkan masyarakat bukan hal yang baru di Indonesia karena hal

tersebut sudah berlangsung sejak lama sebagai suatu bentuk kearifan local. Keterlibatan korban

untuk menyelesaikan perkara pidana KDRT merupakan suatu bentuk perwujudan dari keadilan

restorative.

4. Bila pilihan pidana tetap dijatuhkan kepada pelaku KDRT, maka harus memperhatikan pidana

yang dijatuhkan kepada pelaku KDRT tersebut sehingga dapat mencegah atau memperkecil

kerugian/bahaya yang akan timbul.


DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (penyebabnya dan solusinya), Ghalia Indonesia,

Anggota IKAPI, 2002

……………. Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Edisi ke dua, 2011

Aswanto,Hukum dan Kekuasaan, Relasi Hukum, Politik dan Pemilu , republic Institude

Rangkang Education, 2012.

Adler Freda, Gerhard O.W. Muller, William S Laufer, Criminal And The Criminal Justice by

The McGraw – Hill Companies, Inc System, Sixth Edition, 2007.

Aroma Elmina Martham, Proses pembentukan Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan di

Indonesia dan Malaysia ,Aswajam, 2013

Barda Nawawai Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembagan Hukum Pidana,

PT.Citra Adiya Bakti, Bandung 1998

………………….,Penetapan Pidana Penjara dalam Perundang-undangan dalam Rangka Usaha

Penanggulangan Kejahatan, Unpad, Bandung, 1986,

………………….Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

Donald R. Taft dan Ralph W England, Jr, Criminology (fourth edition), The Macmillan

Company New York, 1964

Daniel W.Van Ness dan Kareen Heetderks Strong, Restoring Justice An Introduction to

Restorative Justice, An derson Publishing, Fifth Edition, 2013

Eva Achjani Zullfa, dan Indriyanto Seno Adji, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, CV Lubuk

Agung, 2011

Howard Zehr with Ali Gohar, The Little Book of Restorative Justice, published by Good Books,

October 2003

Anda mungkin juga menyukai