Pertengkaran yang terjadi dalam rumah tangga sering menyebabkan kekerasan dalam rumah
tangga. Umumnya masyarakat disekitar lingkungan tempat tinggal keluarga yang mengalami
kekerasan dalam rumah tangga tidak memperdulikan karena hal tersebut adalah masalah pribadi.
Mengenai bentuk kekerasan, kekerasan tidak semata-mata bersifat fisik seperti: pemukulan,
penganiayaan atau penyiksaan yang dengan mudah menyisakan bukti yang kasat mata. Dalam
banyak hal kekerasan selalu mengambil banyak bentuk sekaligus banyak dimensi. Kekerasan
psikologis seperti ketakutan secara terus menerus, menerima ancaman, membuat seseorang
dalam perasaan terhina, adalah bentuk lain yang sangat sulit dibuktikan akan tetapi
Menghadapi dan mengatasi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tersebut pemerintah
Indonesia telah membuat instrument hukum berupa Undang-undang Nomor 23 tahun 2004
Bila kita melihat tujuan dari Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
tepat bila tujuannya adalah mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Akan tetapi
bila kita kaitkan antara tujuan untuk melindungi korban, menindak pelaku KDRT dan
memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera, maka akan terlihat adanya
Ketika undang-undang PKDRT berupaya untuk memberikan perlindungan bagi korban KDRT
dengan melakukan penindakan terhadap pelaku KDRT dengan penjatuhan pidana berupa penjara
atau denda kepada pelaku maka dalam prakteknya berakibat tidak tercapainya tujuan Undang-
undang PKDRT lainnya yaitu berupa : memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan
sejahtera.
PKDRT yaitu penindakan pelaku KDRT berupa pemidanaan dengan tujuan dalam Undang-
undang PKDRT lainnya seperti memelihara keutuhan keluarga rumah tangga yang harmonis dan
sejahtera.
Beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berujung dengan pemidanaan akan
menimbulkan masalah baru yaitu menyebabkan perceraian atau ketidak harmonisan diantara
pasangan suami istri. Efek lainnya mengkibatkan efek tidak baik terhadap anak. Anak yang
masih membutuhkan rasa aman akan merasakan ketidaknyamanan. Padahal rasa aman itu
Keberadaan dan peran korban dalam suatu proses pemidanaan cenderung dilupakan dan
terabaikan. Oleh karenanya memenuhi perlindungan hukum bagi korban maka upaya yang dapat
dilakukan adalah memberikan kesempatan kepada korban untuk terlibat dalam sistem peradilan
pidana. Namun kenyataannya dalam praktek penanganan perkara KDRT, korban memiliki peran
Ketika korban tidak dilibatkan maka akan tetap memberikan dampak bagi aparat penegak hukum
antara lain : kekurangnya kenyamanan dalam menjalankan tugasnya karena tidak adanya
Tidak dilibatkannya korban secara utuh dalam system peradilan pidana menimbulkan juga
kesulitan bagi korban. Kesulitan yang dihadapi korban KDRT , yaitu korban sulit memiliki akses
terhadap penyelesaian perkaranya, seperti yang disampaikan oleh Syukri Akub dan Baharuddin
Badaru bahwa:
Sebagai pihak yang dirugikan oleh pelaku kejahatan , korban kejahatan selalu mempersoalkan
aktivitas, efisiensi dan efektivitas kerja aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkaranya.
Hal ini disebabkan karena korban kejahatan tidak secara langsung terlibat dalam system
peradilan pidana. Oleh karenanya , korban kejahatan tidak memiliki kesempatan untuk
melakukan negosiasi dengan pelaku atau dengan penegak hukum dalam proses penyelesaian
perkaranya.
Dengan mempertahankan penyelesaian perkara KDRT ini semata-mata berpatokan pada hukum
positip maka sangat sulit mewujudkan perlindungan hukum bagi korban KDRT. Melibatkan
korban dalam penyelesaian perkara KDRT berarti memberikan suatu ruang atau kesempatan bagi
korban untuk terlibat secara langsung dalam system peradilan pidana. Kemudian korban juga
dapat menyampaikan pendapat dan keinginannya terhadap kasus yang dihadapinya, sehingga
Sesungguhnya bila hanya mempertahankan hukum positip untuk menyelesaikan perkara KDRT
maka perlindungan bagi korban KDRT tidak dapat sepenuhnya terwujudkan. Hal ini dapat kita
Dalam hukum pidana positif yang berlaku saat ini, perlindungan korban lebih banyak merupakan
“perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya, dengan adanya berbagai
perumusan tindak pidana dalam peraturan Perundang-undangan selama ini, berarti pada
hakikatnya telah ada perlindungan “in abstracto” secara tidak langsung terhadap berbagai
kepentingan hukum dan hak-hak asasi korban. Dikatakan demikian , karena tindak pidana
menurut hukum pidana positif tidak dilihat sebagai perbuatan menyerang/melanggar kepentingan
hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkret, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggaran
dan “in concreto”, tetapi hanya “in abstracto”. Dengan kata lain, system sanksi dan
pertanggungjawqaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan
konkret, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Jadi
Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh effective remedy atas pelanggaran hak yang
mereka derita, yang diberengi oleh kewajiban Negara untuk memastikan pemenuhan hak-hak
tersebut.. Bagi Kelsen , keadilan adalah masalah ideology yang ideal irrasional. Rasa Keadilan
terkadang hidup di luar undang-undang, yang jelas undang-undang akan sangat sulit untuk
mengimbanginya. Begitu pula sebaliknya undang-undang itu sendiri dirasakan tidak adil.
Menurut Sukarno Aburaera, ketika rakyat mencari hukum, berarti rakyat menuntut supaya hidup
bersama dalam masyarakat diatur secara adil. Rakyat meminta supaya tindakan-tindakan yang
diambil adalah sesuai dengan suatu norma yang lebih tinggi daripada norma hukum dalam
undang-undang. Norma yang lebih tinggi itu dapat disamakan dengan prinsip-prinsip keadilan.
Melihat hal tersebut diatas maka hal yang terpenting adalah adanya keterlibatan korban dalam
penyelesaian tindak pidana KDRT lebih dekat dengan konsep keadilan restorative. Sementara itu
apabila kita perhatikan maka keadilan restorative itu bersumber dari yaitu Pancasila yang
didasarkan pada sila ke 4 (empat) Pancasila. Seperti kita ketahui bersama bahwa Pancasila
adalah Falsafah Negara Indonesia maka bila kita menarik lagi kebelakang maka Keadilan
Mengapa bukan hal yang baru, hal ini karena dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat , pada
masa dahulu bila terjadi konflik diantara masyaraka maka orang-orang yang berselisih/berkonflik
akan menyelesaikannya dengan hukum yang ada dimasyarakat itu yaitu dengan hukum adat atau
kearifan lokal.
Penutup
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
2. Adanya pertentangan dalam tujuan dibuatnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu tujuan penindakan bagi pelaku KDRT
dengan pemidanaan akan bertentang dengan tujuan lainnya yaitu : terpelihara keutuhan keluarga
rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Akan sulit mencapai tujuan terpeliharanya keutuhan
rumah tangga bila pelaku KDRT dipidana dengan pidana penjara atau denda.
3. Perlindungan korban dengan melibatkan korban dalam system peradilan pidana sangat
memungkin dilakukan mengingat korban dan pelaku KDRT merupakan satu keluarga.
Keterlibatan korban , pelaku bahkan masyarakat bukan hal yang baru di Indonesia karena hal
tersebut sudah berlangsung sejak lama sebagai suatu bentuk kearifan local. Keterlibatan korban
untuk menyelesaikan perkara pidana KDRT merupakan suatu bentuk perwujudan dari keadilan
restorative.
4. Bila pilihan pidana tetap dijatuhkan kepada pelaku KDRT, maka harus memperhatikan pidana
yang dijatuhkan kepada pelaku KDRT tersebut sehingga dapat mencegah atau memperkecil
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (penyebabnya dan solusinya), Ghalia Indonesia,
Aswanto,Hukum dan Kekuasaan, Relasi Hukum, Politik dan Pemilu , republic Institude
Adler Freda, Gerhard O.W. Muller, William S Laufer, Criminal And The Criminal Justice by
Barda Nawawai Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembagan Hukum Pidana,
………………….Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
Donald R. Taft dan Ralph W England, Jr, Criminology (fourth edition), The Macmillan
Daniel W.Van Ness dan Kareen Heetderks Strong, Restoring Justice An Introduction to
Eva Achjani Zullfa, dan Indriyanto Seno Adji, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, CV Lubuk
Agung, 2011
Howard Zehr with Ali Gohar, The Little Book of Restorative Justice, published by Good Books,
October 2003