Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA PEMERASAN

DENGAN KEKERASAN OLEH DEBT COLECTOR DALAM

MENAGIH KREDIT BERMASALAH

( Analisis Putusan PN Tangerang No : 800 / Pid.B/ 2018 / Pn Tng )

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh

SUPENDI

NIM : 2016020595

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PAMULANG

TANGERANG SELATAN

2019
i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang Penelitian...........................................................1

B. Identifikasi Masalah....................................................................6

C. Rumusan Masalah.......................................................................7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................7

E. Kerangka Teori........................................................................... 9

F. Metode Penelitian..................................................................... 17

G. Sistematika Penulisan............................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................20

ii
1

BAB I BAB I

BAB II PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Indonesia merupaka negara hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 1

ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

yang selanjutnya disebut UUD 1945. secara jelas menyatakan bahwa negara

Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia

mengandalkan hukum untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan

serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu semua

adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga

negara Indonesia. Hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk

tentang tingkah laku dan karena itu pula hukum merupakan norma yang

perlu diikuti. Hukum yang berupa norma dikenal dengan sebutan norma

hukum yang berlaku bagi masyarakat di tempat bekerjanya hukum tersebut.

Manusia dalam kehidupannya membutuhkan jaminan berupa

keamanan untuk hidup tentram dan damai. Jaminan itu harus diatur dalam

kaidah - kaidah hukum dan ditaati oleh anggota masyarakat. Hukum pidana

sebagai kaidah - kaidah yang memberi petunjuk hidup yang memaksa orang

untuk tercapainya tata tertib dalam masyarakat dengan ancaman berupa

sanksi bagi yang tidak menaatinya.

Perubahan kehidupan yang terjadi dalam masyarakat membawa

masyarakat dalam suatu kondisi yang tidak menentu. Persaingan kehidupan

yang ketat, berubahnya pola hidup masyarakat ke arah yang konsumtif serta
adanya benturan - benturan sosial lainnya dalam menghadapi perubahan

zaman yang begitu cepat, menjadi satu faktor yang mendorong dan menjadi

penyebab munculnya berbagai tindakan pelanggaran hukum atau tindak

kejahatan dalam masyarakat. Salah satu diantaranya adalah pemerasan.

Pemerasan pada dasarnya telah diatur di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 368 yang berbunyi:

“ Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya
atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya
membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena
pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun “

Ketentuan Pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku untuk

kejahatan ini

Penjelasan Pasal 368 adalah sebagai berikut,:

1. Kejadian ini dinamakan “pemerasan dengan kekerasan” (afpersing).

Pemeras itu pekerjaannya:

a. memaksa orang lain

b. untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk

kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau

membuat utang atau menghapuskan piutang

c. dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain

dengan melawan hak

1. Memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan

a. Memaksa adalah melakukan tekanan kepada orang, sehingga orang

itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak sendiri.

2
Memaksa orang lain untuk menyerahkan barangnya sendiri itu

masuk pula pemerasan.;

b. Melawan hak adalah sama dengan melawan hukum, tidak berhak

atau bertentangan dengan hukum

c. Kekerasan berdasarkan catatan pada Pasal 89, yaitu jika

memaksanya itu dengan akan menista, membuka rahasia maka hal

ini dikenakan Pasal 369

d. Pemerasan dalam kalangan keluarga adalah delik aduan (Pasal

370), tetapi apabila kekerasan itu demikian rupa sehingga

menimbulkan penganiayaan, maka tentang penganiayaannya ini

senantiasa dapat dituntut (tidak perlu ada pangaduan)

e. Tindak pidana pemerasan sangat mirip dengan pencurian dengan

kekerasan pada Pasal 365 KUHP. Bedanya adalah bahwa dalam hal

pencurian si pelaku sendiri yang mengambil barang yang dicuri,

sedangkan dalam hal pemerasan si korban setelah dipaksa dengan

kekerasan menyerahkan barangnya kepada si pemeras.

Moeljatno juga berpendapat bahwa masalah pencurian yang terdapat

di dalam Pasal 368 KUHP dirumuskan sebagai tindak pidana pemerasan,

penyerahan barang orang lain. Akan tetapi, maksud untuk penyerahan

barang dengan cara paksaan dan ancaman dan melawan hukum. Jika dilihat

pada sifat melawan hukum di dalam Pasal 368, perbuatan tergantung pada

niat orang yang mengambil barang1 . Sedangkan menurut Prof.Simons, ada

sebuah perbedaan antara tindak pidana pencurian dengan tindak pidana

pemerasan (affpersing) terutama terletak pada kenyataan bahwa unsur


1
Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta 1982, hlm.62

3
mengambil tidak terdapat pada tindak pidana pemerasan. Benda yang

menjadi obyek tindak pidana pemerasan itu berada ditangan

pelakunya,bukan karena diambil melainkan karena yang dipaksakan oleh

orang yang menguasai benda kepada pelaku.2

Cara tersebut kurang efektif dan sangat lambat bahkan tidak

memberikan jaminan terlaksananya kewajiban pembayaran hutang. Debt

collector digunakan sebagai solusi yang diharapkan untuk menagih hutang

secara berdaya guna dan berhasil guna dalam waktu relatif singkat dan

melalui prosedur yang tidak birokratif. Pertimbangan untuk menggunakan

jasa organisasi tersebut lebih diorientasikan pada perhitungan yang bersifat

ekonomis praktis sehingga keuntungan yang diharapkan dapat diselesaikan

atau setidak-tidaknya kerugian dapat di tekan seminimal mungkin. Namun

kecenderungan yang terjadi di dalam praktaknya jarang sekali para debt

collector bertindak sesuai dengan norma yang berlaku tetapi justru

melanggar ketentuan hukum seperti melakukan intimidasi, ancaman,

kekerasan nyata baik fisik maupun psikis dan pemerasan kendaraan yang

menjadi objek hutang. Tindakan debt collector yang menyita paksa barang,

misalnya menyita kendaraan sepeda motor maupun mobil pemiliknya

(debitur) yang menunggak kredit karena belum dapat melunasi hutang pada

kreditur, merupakan perbuatan melanggar hukum. Tindakan menyita secara

paksa merupakan langkah penyelesaian pelanggaran hukum dengan

melanggar hukum. Seorang debitur yang belum mampu membayar lunas

hutangnya (misalnya cicilan kredit sepeda motor atau mobil yang sudah

2
P.A.F Laminatang,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung
2011, hlm.180

4
jatuh tempo) adalah suatu pelanggaran hukum, yaitu melanggar perjanjian.

Dalam hal demikian kreditur (dealer sepeda motor atau mobil) mempunyai

hak untuk menyita barang yang telah diserahkan kepada debitur (pembeli

sepeda motor atau mobil) dengan alasan wanprestasi. Atas alasan tersebut

biasanya kreditur mengutus debt collector-nya untuk menyita barang jika

tidak berhasil menagih hutang.

Masalah tindak pidana pemerasan kendaraan yang dilakukan oleh

debt collector ini sudah jelas bertentangan dengan norma-norma hukum

yang ada dan perlu diadakan upaya-upaya penanggulangannya agar jenis

kejahatan ini dapat ditekan tingkat perkembangannya sehingga tidak

meresahkan masyarakat khususnya di wilayah Kecamatan Legok. Upaya-

upaya penanggulangan jenis kejahatan ini dalam hal untuk menegakkan

hukum serta upaya mewujudkan ketertiban sangat erat kaitannya dengan

lembaga-lembaga negara yang mempunyai wewenang dan memegang

peranan penting dalam sistem peradilan hukum di negara Indonesia.

Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah salah satu

lembaga yang mempunyai wewenang dan memegang peranan penting

dalam upaya penegakan hukum dan ketertiban di dalam sistem peradilan

Negara Indonesia. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Polisi Negara Republik Indonesia, Fungsi Polisi adalah salah

satu fungsi pemerintah negara di bidang pemeliharaan keamanan dan

ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat. Aparat Polisi mempunyai tugas dan

wewenang yang menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

5
tentang Polisi Negara Republik Indonesia, tugas pokok Polisi Negara

Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan,

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Oleh karena itu aparat Kepolisian diharapkan peka terhadap

kehidupan masyarakat Indonesia dalam upaya menanggulangi tindak pidana

maupun pelanggaran hukum dan penegakan hukum, guna mewujudkan

keamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat khususnya di

wilayah Kecamatan Legok Kabupaten Tangerang terhadap perilaku pihak

jasa penagih utang atau debt collector dalam menjalankan tugasnya yang

menyalahi peraturan perundang-undangan karena seringkali melakukan

tindak pidana pemerasan kendaraan yang menjadi objek utang sehingga

menimbulkan keresahan dan efek negatif bagi masyarakat, terutama debitur

atau nasabah yang menjadi korban di wilayah Kecamatan Legok.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik

untuk melakukan penelitian dengan judul “ Analisa Yuridis Tindak Pidana

Pemerasan dengan Kekerasan yang Dilakukan oleh Debt Collector dalam

Menagih Kredit Bermasalah”

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, penulis

mengidentifiksikan beberapa masalah yang akan dijadikan bahan penelitian

selanjutnya sebagai berikut.:

1. Adanya penyimpangan dari ketentuan prosedur dalam penagihan kredit

bermasalah oleh debt collector.


6
2. Adanya unsur tindak Pidana Pemerasan dengan kekerasan yang

dilakukan oleh debt collector terhadap debitur.

3. Pentingnya penegakan hukum terhadap debt collektor yang melakukan

perbuatan pidana.

Rumusan Masalah

Berdasarkan Identifikasi masalah tersebut di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap debt collector yang

melakukan tindak pidana pemerasan dengan kekerasan dalam menagih

kredit bermasalah.?

2. Bagaimanakah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh debt collector

yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana ?

3. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan

pidana terhadap pelaku pemerasan dengan kekerasan oleh debt

Collector?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1) Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui dan memahami :

a. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pertanggung

jawaban pidana terhadap pelaku pemerasan dengan kekerasan

b. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur-unsur apa yang di

kategorikan sebagai tindak pidana pemerasan dengan kekerasan.


7
c. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan pidana terhadap para pelaku pemerasan dengan

kekerasan.

2. Manfaat Penelitian

Sejalan dengan tujuan penelitian yang ada, maka hasil penelitian

ini diharapkan dapat bermanfaat baik dari segi teoritis maupun dari segi

praktis.

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan perkembangan

bidang hukum tertentu pada khususnya menanggulangi tindak

pidana pemerasan dengan kekerasan yang dilakukan oleh debt

collector.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1) Untuk menerapkan pengetahuan secara praktis agar

masyarakat mengetahui bagaimana proses penagihan debt

collector terhadap debitur yang kreditnya bermasalah.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan –

bahan pertimbangan bagi instansi yang berwenang dalam

membentuk peraturan yang dapat melindungi nasabah terhadap

tindakan sewenang-wenang pihak bank atau debt collector

dalam melaksanakan penagihan.

8
Kerangka Teori

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi

dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan

untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang

dianggap relevan oleh peneliti3.

Kerangka teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan,

pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis

yang menjadi acuan, landasan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam

penelitian atau penulisan4

Karakteristik hukum adalah memaksa disertai dengan ancaman dan

sanksi. Tetapi hukum bukan dipaksa untuk membenarkan persoalan yang

salah, atau memaksa mereka yang tidak berkedudukan dan tidak beruang.

Agar peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar dipatuhi dan

ditaati sehingga menjadi kaidah hukum, maka peraturan kemasyarakatan

tersebut harus dilengkapi dengan unsur memaksa. Dengan demikian, hukum

mempunyai sifat mengatur dan memaksa setiap orang supaya menaati tata

tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas ( berupa

hukuman ) terhadap siapa saja yang tidak mau mematuhinya.5

Pertanggungjawaban pidana harus didahului dengan penjelasan

tentang perbuatan pidana sebab seseorang tidak bisa dimintai pertanggung

jawaban pidana tanpa terlebih dahulu melakukan perbuatan pidana. Tidak


3
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Press, Jakarta, 1986, hlm. 125
4
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitan Hukum,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, hlm. 73
5
Suharto, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana, Mulai Proses Penyelidikan
Sampai Persidangan, Prestasi Pustaka, Jakarta 2010.hlm.25-26

9
adil jika seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan sedangkan

ia sendiri tidak melakukan tindakan tersebut.6Pertanggungjawaban pidana

diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada

perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk

dapat dipidana karena perbuatannya itu.7

Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan

dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa

pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai

kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang

dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban

pidana.8 Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan

tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan

pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang

dilakukannya.

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang

dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan

perbuatan pidana atau tindak pidana. Dilihat dari sudut kemampuan

bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab

yang dapat di pertanggungjawabkan atas perbuatannya. Untuk dapat

dicelanya perbuatan seorang pelaku tindak pidana harus memenuhi unsur-

unsur kesalahan sebagai berikut :

6
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian
Dasar dalam Hukum pidana, Cetakan Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm,20-23
7
Mahrus Ali , Dasar Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 156
8
Roeslan Saleh, Op.Cit, hlm 75

10
1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat. Artinya

keadaan jiwa si pembuat tindak pidana harus normal.

2) Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang

berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Ini di sebut

bentukbentuk kesalahan.

3) Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan

pemaaaf.

Berbicara tentang penegakkan hukum pidana ada beberapa teori

yang menyertainya antara lain9.:

1. Teori Mutlak (pembalasan)

Teori ini penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl.

Teori ini teori tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar keadilan hukum

itu harus dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang mendapat

hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu melulu untuk

menghukum saja (mutlak) dan untuk membalas pebuatan itu

(pemabalasan).

2. Teori Relative (teori tujuan)

Teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah pembalasan tetapi

lebih kepada maksud/ tujuan hukuman, artinya tujuan ini mencari

manfaat daripada hukuman. Beberapa doktrin mengajarkan yaitu

diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah kejahatan baik

pencegahan umum (Algemene Crime) maupun pencegahan khusus

(Special Crime). Selain itu, terdapat paham lain yaitu tujuan hukuman
9
C.S.T.Kansil, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Cetakan ke.9, Balai Pustaka,
Jakarta 1993, hlm.97

11
adalah untuk membinasakan orang yang melakukan kejahatan dari

pergaulan masyarakat, tujuan pelaksanaaan daripada hukuman terletak

pada tujuan hukuman. Akan tetapi disamping teori relative ini ini masih

dikenal lagi Teori relative modern , penganutnya Frans Von Lizt, Van

Hommel, D. Simons. Teori ini berpendapat dasar hukuman adalah

untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara,

dimana negara melindungi masyarakat dengan cara membuat peraturan

yang mengandung larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/

norma.

3. Teori Gabungan (1 dan 2)

menurut teori ini dasar hukuman adalah terletak pada kejahatan

sendiri yaitu pembalasan atau siksaan (teori mutlak) tetapi disamping

itu diakuinya dasar-dasar tujuan daripada hukuman. Penganut aliran ini

diantaranya adalah Binding.

Berdasarkan pada teori ini sebenarnya tujuan dari pada

penegakkan hukum pidana tidak lain adalah untuk memeberikan

hukuman pidana kepada seseorang tidak semata-mata karena pelakunya

telah melakukan kejahatan, tetapi juga mencegah terjadinya kejahatan

itu sendiri.

Tujuan hukum pidana sebagaimana disebut diatas adalah

merupakan sumber hukum tertulis atau hukum yang sifatnya modern,

namun selain hukum tertulis itu ada sumber hukum tidak tertulis yang

merupakan pedoman hidup masyarakat adalah hukum adat. Dan

12
didalam peraturan perundang-undangan hukum adat diakui dan

dijadikan sumber hukum tidak tertulis.

Teori pertanggungjawaban pidana yang mendasarkan pada

kesalahan, adalah:

a. Mezger : Kesalahan adalah kesuluruhan syarat yang memberi dasar

untuk adanya pencelaan pribadi terhadap pembuat tindak pidana.

b. Pompe : Pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya,

biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya.Yang

bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya,

yang bertalian dengan kehendak si pembuat dalam kesalahan.

c. Simons : Sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum

pidana, ia berupa keadaan psychic dari si pembuat dan

hubungannya terhadap perbuatannya dalam arti bahwa berdasarkan

keadaan physic itu perbuatannya dapat dicelakan kepada si

pembuat.

Mengenai tentang siapa saja yang melakukan tindak pidana

maka ketentuan mengenai turut melakukan dan membantu melakukan

dapat dilihat dalam Pasal 55 (turut melakukan) dan Pasal 56 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (membantu melakukan):

Pasal 55 KUHP:

a. Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana: 1e.

Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut

melakukan perbuatan itu; 2e. Orang yang dengan pemberian,

perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan,

13
ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya

upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan

sesuatu perbuatan.

b. Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh

dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang

dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.

Pasal 56 KUHP: Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan

kejahatan:

a. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;

b. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya,

atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Untuk membahas permasalahan dalam skripsi ini, penulis juga

mendasarkan dalam hukum pidana yang disebut dengan Asas

Kesalahan, yaitu Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straf Zonder

Schuld) yaitu, bahwa seseorang tidak dapat dibebani

pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dengan dijatuhi sanksi

pidana karena telah melakukan suatu tindak pidana apabila dalam

melakukan perbuatan yang menurut undang-undang pidana merupakan

tindak pidana dan melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja

ataupun tidak akibat kelalaiannya

Unsur-unsur Tindak Pidana yaitu :

a. Unsur formal meliputi :

14
1) Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya

tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh

manusia.

1) Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan

dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang

telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat

menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu

peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.

2) Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP

mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak

pidana yang telah dilakukan.

1) Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur

kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan

dari orang yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut

berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar

sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam

arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena

si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak

dikehendaki oleh undang-undang.

2) Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang

tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta

pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban

seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.

15
3) Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan

hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat

sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun

perbuatan itu memenuhi rumusan undangundang, tetapi

apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu

bukan merupakan suatu tindak pidana.

Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan

dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.

a. Unsur objektif

adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana.

Unsur ini meliputi : Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana

perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat

sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal

351 KUHP). Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini

terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara

material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiayaan

(Pasal 351 KUHP), dan lain-lain. Ada unsur melawan hukum.

Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh

peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat

melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas

dalam perumusan.

b. Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana

Ada beberapa tindak pidana yang untuk mendapat sifat

tindak pidanya itu memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya,

16
seperti penghasutan (Pasal 160 KUHP), melanggar kesusilaan

(Pasal 281 KUHP), pengemisan (Pasal 504 KUHP), mabuk (Pasal

561 KUHP). Tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka

umum. 1. Unsur yang memberatkan tindak pidana. Hal ini terdapat

dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu

karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidana diperberat,

contohnya merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP)

diancam dengan pidana 18 penjara paling lama 8 (delapan) tahun,

jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidana

diperberat lagi menjadi pidana penjara paling lama 12 (dua belas)

tahun. 2. Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana.

Misalnya dengan sukarela masuk tentara asing, padahal negara itu

akan berperang dengan Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana

jika terjadi pecah perang (Pasal 123 KUHP).

Metode Penelitian

Metode penelitian yang di gunakan berupa pendekatan yuridis

normatif dengan spesifikasi bersifat deskriftif melalui.:

1. Tahap Penelitian dan Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan bahan kukum primer, bahan hukum

sekunder, bahan hukum tersier dan penelitian lapangan yaitu :

a. Bahan Hukum primer

merupakan bahan penelitian yang berupa fakta-fakta

empiris sebagai perilaku maupun hasil perilaku manusia. Baik

dalam bentuk perilaku verbal perilaku nyata, maupun perilaku yang


17
terdorong dalam barbagai hasil perilaku atau catatan-catatan/

arsip.Data primer diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian

yaitu dengan cara wawancara langsung dan observasi atau

pengamatan secara langsung dilapangan

b. Bahan Hukum Sekunder

merupakan bahan hukum dalam penelitian yang di ambil

dari studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder dan bahan non hukum..Data sekunder diperoleh

dengan studi dokumentasi dan penelusuran literatur yang berkaitan

dengan peneggakkan hukum pidana dan teori yang mendukungnya.

c. Bahan hukum tersier ( non hukum)

adalah bahan hukum yang relevan seperti kamus hukum,

ensiklopedia dan kamus hukum lain yang masih relevan.

d. Penelitian Lapangan

Penelitian ini dilakukan di Wilayah Hukum Polres Tangsel

dan Pengadilan Negeri Tangerang.

Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan dan guna membantu pembaca, maka

penulis menyusun dalam beberapa bab, yaitu :

BAB II. TINJAUAN UMUM

Bab ini berisi uraian teori , konsep konsep asas, norma doktrin yang

relevan dengan masalah hukum yang di teliti baik dari buku, jurnal ilmiah

18
yurisprudensi, maupun perundang-undangan dan sumber data lainya yang

kesemuanya itu penjelasan dari judul skripsi.

BAB III. OBJEK PENELITIAN

Bab ini berisi uraian mengenai gambaran singkat objek penelitian

yang diuraikan secara deskriftif yang didapatkan dilapangan.

BAB IV. ANALISIS YURIDIS

Bab ini memuat tinjauan umum dengan objek penelitian yang di

dalamnya memuat analisis atau pembahasan terhadap identifikasi masalah.

BAB V. PENUTUP

Pada bab ini memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan ini

merupakan jawaban atas identifikasi masalah.saran merupakan usulan yang

menyangkut aspek operasional konkret dan praktis.

DAFTAR PUSTAKA

19
BAB III DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, “Hukum dan Penelitan Hukum”, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004.
C.S.T.Kansil, “Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia”, Ctk.9, Balai
Pustaka, Jakarta 1993
Mahrus Ali , “Dasar Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika”, Jakarta, 2012.
Moeljatno,”Asas-Asas Hukum Pidana”, PT. Bina Aksara, Jakarta 1982.
P.A.F Laminatang,”Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”, Citra Aditya Bakti,
Bandung 2011.
Roeslan Saleh, “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua
Pengertian Dasar dalam Hukum pidana”, Cetakan Ketiga, Aksara Baru,
Jakarta, 1983.
Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, Jakarta: Press, 1986
Suharto, “Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana”, Mulai Proses
Penyelidikan Sampai Persidangan, Prestasi Pustaka, Jakarta 2010.
.
.

.
.

20

Anda mungkin juga menyukai