Anda di halaman 1dari 12

Sengketa Bank Garansi Bodong Pemerintah vs Bank Mandiri

Uang jaminan tak bisa dicairkan, Departemen PU akan gugat Bank Mandiri. Sementara bank
pelat merah itu mengelak untuk membayar dengan alasan bank garansi yang diterbitkan
bodong.
Sut
Dibaca: 4522 Tanggapan: 0

Perseteruan antara Departemen Pekerjaan Umum (PU) dengan PT Bank Mandiri Tbk dalam
kasus bank garansi bodong nampaknya semakin hangat. Setelah uang jaminan pelaksanaan
atau perfomance bond senilai Rp26 miliar tidak bisa dicairkan, Departemen PU berencana
menggugat bank BUMN terbesar di Indonesia itu. Kita gugat, karena Bank Mandiri
sepertinya ingin lepas tangan dari kasus ini, cetus Tjindra Parma, Kepala Biro Hukum
Departemen PU kepada hukumonline usai rapat di ruang kerjanya, Kantor Departemen PU,
Jakarta, Selasa (18/9).
Seperti diketahui, kasus bank garansi bodong terungkap setelah Departemen PU memutus
kontrak Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) dengan PT Setdco Intrinsic Nusantara
(Setdco) untuk ruas jalan tol Pandaan-Malang. Alasannya, perusahaan patungan itu tidak
memiliki modal proyek sebesar AS$350 juta sepeti yang disyaratkan Departemen PU.
Setdco merupakan perusahaan gabungan yang sahamnya dimiliki oleh PT Setdco Graha
Nusantara (SGN) sebesar 35%, PT Intrinsic Resources Indonesia Mutu Andan (Intrinstic)
sebesar 34 persen, dan Hwan Ho Construction Co.Ltd (HHC) sebesar 31%. Setdco
menggunakan jasa arranger PT Amindo Investment Nusantara (Amindo) untuk mendapatkan
bank garansi senilai Rp26 miliar dari Bank Mandiri.
Ketika kasus bank garansi bodong ini mencuat, Intrinsic mengadukan Direktur Utama
Amindo, Sudirdjo Sudjatmiko atas tuduhan penipuan ke Markas Besar Polri pada 26 Juni
2007.
Perkara ini pun berlanjut. Saat Departemen PU akan mencairkan uang jaminan di Bank
Mandiri, ternyata surat garansi tak terdaftar di bank pelat merah tersebut. Padahal surat
garansi itu terbit dari Bank Mandiri Cabang Gambir, Jakarta. Surat itu ditandatangani oleh
Momon Suhilman, staf general affair dengan nomor karyawan M.275, pada 3 Juli 2006.
Akibat kasus ini, Momon pun telah dilaporkan ke Kepolisan Polda Metro Jakarta Raya pada
pertengahan Juli 2007 oleh Bank Mandiri.
Meski dalam proses, Departemen PU nampaknya sudah tidak sabar menuntut pengembalian
uangnya. Alasannya sederhana. Itu uang negara, kata Tjindra. Namun, dia masih memberi
kesempatan kepada Bank Mandiri untuk mencairkan dana sebesar Rp 26 miliar tersebut.
Kalau mereka (Bank Mandiri, red) mau bayar it's oke, selesai urusannya. Tapi kalau tidak,
maka lanjut ke pengadilan, ancamnya.
Tidak tercatat
Namun nampaknya, perkara ini bakal lanjut ke pengadilan. Pasalnya, Bank Mandiri tetap
bersikeras bahwa pihaknya tidak bisa mencairkan dana Rp26 miliar tersebut. Senior Vice
President Corporate Secretary Bank Mandiri, Mansyur S Nasution menegaskan, ketika
diselidiki ternyata bank garansi atas nama Departemen PU itu tidak tercantum dalam
administrasi Bank Mandiri Cabang Gambir.
Apalagi katanya, walaupun bekas karyawan Bank Mandiri, Momon bukan orang yang
berwenang untuk meneken bank garansi yang kabarnya diterbitkan di Pasar Pramuka, Jakarta
Pusat, tersebut. Dia bukan orang berwenang karena bukan pimpinan cabang. Jadi, memang

ada oknum Bank Mandiri yang berkerjasama dengan orang luar, imbuhnya. Sejak kasus itu
mencuat, lanjutnya, Momon telah dipecat dari Bank Mandiri.
Mansyur juga sempat menjelaskan tentang prosedur penerbitan bank garansi. Menurutnya,
prosedur penerbitan bank garansi dimulai dengan pengajuan permohonan dari pihak yang
berkepentingan plus mencantumkan proyek yang akan dijamin. Jika pemohon adalah nasabah
Mandiri, bank hanya akan melihat track record pemohon. Jika bukan nasabah, maka bank
akan menganalisa lebih dulu. Ini sama halnya dengan pemberian fasilitas kredit. Kami hanya
melayani pihak yang berwenang atas surat tersebut, jelasnya.
Pernyataan lebih lantang dikemukakan oleh Direktur Bank Mandiri, Budi Gunadi Sadikin.
Dia menegaskan, bank garansi yang digunakan oleh Setdco bertujuan untuk memenuhi
kontrak proyek palsu. Maka dari itu, tegasnya, Mandiri tak akan menyerahkan dana Rp 26
miliar ke Departemen PU.
Mangenai rencana gugatan Departmen PU itu sendiri, baik Mansyur maupun Budi mengaku
belum mengetahuinya.
Tak ada konfirmasi
Timbulnya kasus ini ternyata menyita perhatian pengamat perbankan Pradjoto. Pria yang juga
menjabat sebagai Komisaris Independen di Bank Mandiri ini mengatakan, kasus bank garansi
bodong di Bank Mandiri tak akan terjadi kalau Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Departemen
PU meminta konfirmasi kepada bank penerbit surat garansi sejak awal.
Memang waktu itu, Kepala BPJT Hisnu Pawenang mengakui tidak mengecek ke Bank
Mandiri saat menerima bank garansi dari Setdco. Ia beralasan yang menerima surat bank
garansi dari perwakilan Setdco adalah stafnya sendiri. Pasalnya, ia sudah kadung percaya
kepada Setdco. Apalagi, lanjutnya, ia tak akan mungkin memeriksa semua jaminan
pelaksanaan atau performance bond dari berbagai proyek ke bank penerbit.
Menurut Pradjoto, ada beberapa kemungkinan penyebab terjadinya kasus ini. Pertama, BPJT
lalai tidak melakukan pengecekan ke Bank Mandiri. Kedua, Setdco memalsukan surat bank
garansi berikut tanda tangan petugas bank. Ketiga, petugas Bank Mandiri yang
menandatangani surat bank garansi tak mencatatkan dalam pembukuan. Tindak pidana
perbankan memang cenderung melibatkan staf bank, ungkapnya.
Kasus itu sendiri, kata Pradjoto, telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Alasannya,
negara dalam hal ini Departemen PU telah dirugikan sebesar Rp26 miliar akibat bank garansi
bodong tersebut.
Secara terpisah, kuasa hukum Intrinsic, Umar Husin mengungkapkan, kliennya tidak pernah
berhubungan dengan Bank Mandiri. Seperti dilansir Tempo Interaktif, Umar mengatakan,
penerbitan bank garansi lewat perantara sudah lazim dalam bisnis.
Dia memaparkan, semula Bank Mandiri menyepakati akan mengucurkan dana talangan Rp26
miliar agar bank garansi terbit. Jika uangnya cair, maka Intrinsic akan menggantinya. Hanya
saja, Intrinsic tak dimintai jaminan atas dana talangan itu. Umar menduga Amindo yang
memberikan jaminan kepada Bank Mandiri. Maka dari itu, dia berkeyakinan bahwa tak ada
masalah dengan surat jaminan dari Mandiri. Bahkan, menurutnya, Momon, petugas yang
meneken surat itu, memang berwenang melakukannya.

Sengketa investor melalui BANI


Tidak puas mengugat dananya di Bank Mandiri, Departemen PU juga memperkarakan
Setdoc, selaku operator proyek jalan tol tersebut, ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI). Menurut Tjindra, salah satu klausul dalam PPJT menyebutkan, jika terjadi sengketa
antara operator dengan regulator, maka diselesaikan lewat BANI. Sebelumnya, Hisnu
Pawenang berupaya menarik kembali dana dari Setdco lewat jalur hukum. Hal ini dilakukan
melalui somasi yang dilayangkan mulai Juni lalu.

PT Metro Batavia salah satu perusahaan pesawat terkemuka tersandung masalah dengan PT
Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia. Kasus ini muncul saat keduanya menjalin
kerjasama pada juli 2006. Kala itu, Batavia membeli mesin ESN 857854 dan ESN 724662
dari Debisin Air Supply Pte. Ltd. Singapura. Lalu dimasukkan ke GMF untuk memenuhi
standar nasional. Kemudian, pada 12 September 2007 mesin selesai diperbaiki dan digunakan
untuk pesawat rute Jakarta-Balikpapan. Tak berselang lama dari itu, tepatnya tanggal 23
Oktober 2007 mesin ESN 857854 rusak setelah terbang 300 jam terbang. Batavia menuding
anak perusahaan PT Garuda Indonesia ini mengingkari kontrak perbaikan mesin pesawat
mereka yang menurut perjanjian memiliki garansi perbaikan hingga 1.000 jam terbang. Saat
itu Batavia meminta mesin tersebut diservis kembali lantaran baru dipakai 300 jam sudah
ngadat, akan tetapi GMF menolak. Alasannya, kerusakan itu di luar yang diperjanjikan.
Dalam kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena kesalahan pengerjaan. Ini yang
membuat pihak Batavia naik pitam. Pada April 2007 Batavia pun menggugat GMF US$ 5
juta (Rp 76 miliar) ke Pengadilan Negeri Tangerang. Mediasi memang sempat dilakukan, tapi
menemui jalan buntu. Dengan dasar hasil itu, pada Agustus 2008 Batavia mengalihkan
gugatannya ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi ternyata gugatan
itu ditolak oleh pengadilan. Padahal di sisi lain, Batavia memiliki hutang perawatan pesawat
milik GMF sejak Agustus 2006, dan tiba-tiba di tengah transaksi perjanjian tersebut Batavia
memutuskan secara sepihak beberapa kontrak perjanjian perbaikan dan pembelian pesawat,
padahal pesawat sudah sudah siap untuk diserahkan sehingga kerugian di pihak GMF
mencapai ratusan juta rupiah disebabkan pengingkaran atas perjanjian secara sepihak tersebut
dan atas ini yang kemudian masuk hutangnya, dan sudah jatuh tempo sejak awal 2007. Tapi
tak kunjung dilunasi oleh Batavia hingga pertengahan tahun 2008.
Pada mulanya pihak GMF tidak ingin memperkeruh permasalahan ini mengingat hubungan
antara GMF dan Batavia sangat baik, namun setelah dilakukan melalui cara kekeluargaan
oleh pihak GMF dengan cara mendatangi pihak Batavia di kantor Batavia, tetap saja tidak
ada respon timbal-balik dari Batavia. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang dilakukan oleh
Batavia dengan membawa perkara mesin itu ke pengadilan bisa yang berbanding terbalik
dengan perlakuan GMF yang ingin menyelesaikan perkara hutang Batavia dengan cara
kekeluargaan tanpa di bawa ke pengadilan. Setelah pihak GMF bertenggang rasa selama tiga
bulan, akhirnya permasalahan ini diserahkan kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H.
Menurut Sugeng Batavia sebagai salah satu perusahaan pesawat telah melakukan transaksi
hutang yang semena-mena dengan didasarkan itikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi
dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan
olrh pihak GMF terhadap Batavia pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak GMF,
dengan dasar ini pula Sugeng selaku kuasa hukum GMF akan menggugat Batavia ke
pengadilan. Begitulah, Batavia benar-benar dalam keadaan siaga satu.
B. Perikatan dalam Konsep Hukum Perdata
1. Pengertian Perikatan
Hukum perikatan diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang terdiri
dari 18 bab, 631 pasal dimulai dari pasal 1233 KUH Perdata dan masing-masing bab dibagi
dalam beberapa bagian.
Istilah hukum perikatan merupakan terjemahan dari kata Verbintenissenrecht (Belanda) yaitu

keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara subjek hukum yang
satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum
yang satu berhak atas suatu prestasi. Prestasi tersebut menurut KUHPerdata, sebagaimana
yang tercantum dalam Bab 1 Pasal 1234 dapt berupa menyerahkan suatu barang, melakukan
suatu perbuatan dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Dari pengertian yang telah dipaparkan diatas, dapat ditarik kesimpulan mengenai beberapa
unsur yang wajib dipenuhi agar terciptanya hubungan antara dua subjek hukum itu dapat
menimbukan perikatan yaitu antara lain:
a. Adanya kaidah hukum
Baik kaidah hukum tertulis (traktat dan yurisprudensi) maupun yang tidak tertulis yang
meliputi kaidah hukum perikatan yang timbul, tumbuh dan hidup dalam praktek kehidupan
masyarakat.
b. Adanya subjek hukum
Yaitu kreditor (orang yang berhak atas suatu prestasi) dan debitor (badan yang berkewajiban
memenuhi prestasi).
c. Adanya prestasi
Yaitu apa yang menjadi hak kreditor dan debitor
d. Bersifat harta kekayaan
Yaitu menyangkut hak dan kewajiban yang mempunyai niali uang baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud.
2. Sistem Peraturan Hukum Perikatan
Peraturan Hukum Perikatan terdapat dalam Buku III KUHPerdata yakni ada yang bersifat
Umum dan Khusus. Bersifat umum karena memuat peraturan-peraturan yang berlaku pada
perikatan pada umumnya, sedang untuk yang bersifat khusus memuat peraturan-peraturan
mengenai perjanjian bernama yang banyak dipakai di masyarakat.
Dari dua indikator itulah dapat disimpulkan bahwa pengaturannya bersifat terbuka, yakni
menurut pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dari ketentuan pasal ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak
membuat suatu perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi
perjanjian dan bebas menentukan bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Akan
tetapi keterbukaan dalam pengaturan hukum perikatan dibatasi oleh tiga hal yaitu:
a. Tidak dilarang oleh undang-undang
b. Tidak bertentangan dengan kesusilaan
c. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
3. Macam-macam Perikatan
Berdasarkan KUH Perdata, macam-macam perikatan diuraikan sebagai berikut:
a. Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian
dikemudian hari, yang masih belum tentu akan terjadi. Perikatan bersyrat ini dapat dilihat

dalam bagian kelima tentang perikatan-perikatan bersyarat, pasal 1253 yang berbunyi: Suatu
perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan
datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga
terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau
tidak terjadinya peristiwa tersebut.
b. Perikatan dengan ketetapan waktu
Dalam perikatan ini suatu ketetapan waktu tidak menagguhkan perikatan, melainkan hanya
menangguhkan pelaksanaannya. Diatur dalam pasal 1268 sampai dengan pasal 1271 KUH
Perdata, yaitu suatu perikatan yang pelaksanannya ditangguhkan sampai pada waktu yang
telah ditentukan. Sehingga segala kewajiban oleh pihak yang tidak terikat dapat ditagih
sebelum waktu yang telah ditentukan itu tiba.
c. Perikatan alternatif (manasuka)
Dalam perikatan alternatif objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan manasuka karena
debitur boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang diajdikan
objek perikatan. Tetapi debitur tidak boleh memaksa kreditur untuk menerima sebagian benda
yang satu dan sebagian benda yang lain. Jika debitur telah memenuhi slah satu dari dua benda
yang disebutkan dalam perikatan, ia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi
ada pada debitur, jika hak ini diberikan tidak secara tegas diberikan secara tegas pada
kreditur.
d. Perikatan tanggung menanggung (hoofdelijk / solidair)
Perikatan ini adalah perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang
berhutang berhadapan pada satu pihak yang menghutangkan atau sebaliknya. Beberapa orang
sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang.
e. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Diatur dalam pasal 1296 sampai dengan pasal 1303 KUH Perdata, yaitu suatu perikatan
dimana setiap debitor hanya bertanggung jawab sebesar bagiannya terhadap pemenuhan
prestasinya.
f. Perikatan dengan ancaman hukuman
Diatur dalam pasal 1304 sampai dengan pasal 1312 KUH Perdata, yaitu suatu perikatan
dimana seseorang untuk jaminan pelaksanaan diwajibkan melakukan sesuatu jika perikatan
itu tidak dipenuhi.
4. Asas-asas Hukum Perikatan
Di dalam hukum perikatan dikenal tiga asas penting yaitu:
a. Asas konsesualisme
Arti asas konsesualisme adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul
karenanya itu sudaj dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Sedangkan asas
konsesualisme sebagaimana yang disimpulkan dalam pasal 1320 ayat 1 KUH Perdata
berbunyi: Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3) Suatu hal tertentu
4) Suatu sebab yang halal
b. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas Pacta Sunt Servanda berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan

dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi :Perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang. Dalam perkembangannya Asas Pacta Sunt Servanda diberi
arti Pactum yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan
formalitas lainnya, sedangkan modus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.
c. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan suatu kebebasan kepada para
pihak untuk:
1) Membuat atau tidak membuat suatu perjanjian
2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun
3) Menentukan sisi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya
4) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan
5. Sumber-sumber Perikatan
Sumber perikatan yang timbul atau lahir karena undang-undang, menurut pasal 1352 KUH
Perdata perikatan ini dibagi menjadi dua yaitu:
a. Perikatan yang dilahirkan berdasarkan undang-undang
Berdasarkan pasal 1352 sampai dengan pasal 1380 KUH Perdata, perikatan ini dibagi
menjadi dua yaitu:
1) Perikatan yang lahir dai undang-undang saja, yaitu perikatan yang timbul karena adanya
hubungan kekeluargaan, seperti pemberian nafkah dari anak kepada bapaknya yang sudah
tidak mampu.
2) Perikatan yang lahir karena perbuatau manusia, baik menyangkut perbuatan yang
dibolehkan maupun yang melanggar hukum.
b. Perikatan yang bersumber dari perjanjian
Dalam pasal 1313 KUH Perdata dijelaskan bahwa perikatan yang dilahirkan dari perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih, baik perjanjian itu dibuat secara cuma-cuma atau pun dilahirkan atas beban
yaitu perjanjian yang mewajibkan kepada masing-masing pihak untuk saling memberikan atu
berbuat sesuatu.
Adapun syarat sahnya suatu perjanjia, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1320 KUH
Perdata adalah sebagai berikut:
1) Adanya kata sepakat di antara para pihak untuk mengikatkan diri ke dalam perikatan yang
dilahirkannya.
2) Kecakapan masing-masing dari para pihak untuk membuat suatu perikatan.
3) Materi perikatan yang disepakati adalah tentang suatu hal tertentu, yang memiliki
kejelasan mengenai apa, maksud dan batasan-batasannya.
4) Materi perikatan mengenai sebab yang halal yakni tidak memiliki atau mengandung
maksud-maksud yang melanggar undang-undang.
Pada umumnya perjanjian tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan persetujuan kedua
belah pihak atau berdasarkan alasan-alasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam
pasal itu juga ditetapkan suatu aturan bahwa semua perjanjian harus dilaksankan dengan
itikad baik. Demikian juga berdasar pada 1341 yang mana seseorang dapat membatalkan
perjanjian yang dilakukan jika setelah dibuktikan ternyata salah satu pihak melakukan

sesuatu yang tidak diwajibkan sedang perbuatan itu merugikan orang lain. Pembatalan itu
harus disertai bukti yang menguatkan.
6. Somasi
Istilah pernyataan lalai atau somasi merupakan terjemahan dari ingekbrekestelling. Soamasi
ini diatur dalam pasal 1238 dan pasal 1243 KUH Perdata. Somasi adalah teguran dari si
berpiutang kepada si berutang agar dapat memenuhi prestasinya sesuai dengan isi perjanjian
yang telah disepakati keduanya. Ajaran tentang somasi ini sebagai instrumen hukum guna
mendorong debitur untuk memenuhi prestasinya. Bila prestasi tidak dilaksanakan maka sudah
tentu tidak dapat diharapkan prestasi. Momentum adanya somasi ini apabila prestasi tidak
dilakukan pada waktu yang telah diperjanjikan antara kreditur dan debitur. Adapun bentuk
soamsi yang harus disampaikan oleh kreditur kepada debitur adalah dalam bentuk surat
perintah atau sebuah akta yang sejenis. Isi yang harus dimuat dalam surat somasi yaitu: apa
yang dituntut oleh kreditur kepada debitur, dasar tuntutan yang diajukannya, dan tanggal
paing lambat untuk memenuhi prestasi.
7. Wanprestasi
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi. Wanprestasi adalah tidak
memenuhi atau lalai dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam
perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.seorang debitur baru dikatakan wanprestasi
apabila ia telah diberi somasi oleh kreditur sebanyak tiga kali. Apabila itu tidak diindahkan,
maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan, dan pengadilan lah yang akan
memutuskan apakah debitur wanprestasi atau tidak. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh
debitur karena disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yang pertama adalah karena
kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun kareana kelalaian.
Yang kedua karena keadaan memaksa (overmacht), jadi diluar kemampuan debitur. Debitur
tidak bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur
dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:
a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali
b. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru
c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat
Adapun beberapa akibat hukum bagi Debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah
hukuman atau sanksi hukum sebaimana berikut:
a. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH
Perdata)
b. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan atau pembatalan
perikatan melalui hakim (pasal 1266 KUH Perdata)
c. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada Debitur sejak terjadi
wanprestasi (pasal 1273 ayat 2 KUH Perdata)
d. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan
disertai pembayaran ganti-kerugian (pasal 1267 KUH Perdata)
e. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan dimuka pengadilan negeri dan
Debitur dinyatakan bersalah
8. Berakhirnya Perikatan
Undang-undang menyebutkan ada sepuluh macam cara terhapusnya perikatan, yaitu antara

lain: karena pembayaran, pembaharuan hutang, penawaran pembayaran tunai, diikuti oleh
penitipan, kompensasi atau perjumpaan hutang, percampuran hutang, pembebasan hutang,
hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, pembatalan perjanjian, akibat
berlakunya syarat pembatalan dan sudah lewat waktu.
C. Analisis Kasus
Perseteruan yang terjadi antara PT Metro Batavia, milik perusahaan ternama di bidang
pesawat dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia tidak kunjung usai, hal
ini disebabkan karena:
1. Kerjasama yang dilakukan oleh pihak Batavia dengan GMF dilakukan dengan transaksi
bisnis berlandaskan itikad buruk.
2. Pihak Batavia tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini Batavia sebagai
debitur dinyatakan ingkar janji (wanprestassi).
3. Pihak Batavia telah mengadakan pembatalan pembelian atas pemesanan pesawat, padahal
pesawat sudah selesai dikerjakan dan siap untuk diserahkan, hal ini menyebabkan kerugian
ratusan juta (tak terhingga) oleh GMF.
4. Pembayaran hutang perawatan oleh pihak Batavia yang melampaui tempo ayng
diperjanjikan.
Sebelum menganalisis poin-poin di atas yang akan dihubungkan dengan pasal-pasal dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akan dipaparkan mengenai pengertian perjanjian yang
sesuai dengan Pasal 1313 B.W, yang berbunyi : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lani atau lebih.
Dalam Pasal 1313 B.W dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pasal ini menurut pakar
hukum perdata (pada umumnya) bahwa definisi perjanjian terdapat di dalam ketentuan di atas
tidak lengkap karena hanya bersifat sepihak saja, kata perbuatan mencakup juga tanpa
konsensus, pengertian perjanjian terlalu luas, dan tanpa menyebut tujuan, akan tetapi
berdasarkan alasan tersebut perjanjian dapat dirumuskan, yaitu perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan
suatu hal mengenai harta kekayaan.
Pada poin pertama di atas disebutkan bahwa, Kerjasama yang dilakukan oleh pihak Batavia
dengan GMF dilakukan dengan transaksi bisnis berlandaskan itikad buruk. Pada dasarnya,
sebelum mengadakan perjanjian diwajibkan atas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
untuk mengetahui dengan seksama akan pentingnya asas-asas perjanjian, yang mana hal ini
dapat mencegah adanya permasalahan yang akan terjadi diantara kedua belah pihak. Asasasas tersebut antara lain:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
b. Asas Pacta Sunt Servanda
c. Asas Konsesualisme
Asas ketiga diatas merupakan sektor utama yang harus ditonjolkan. Karena asas ini
merupakan syarat mutlak bagi hukum perjanjian yang modern dan bagi terciptanya kepastian
hukum.
Ketentuan yang mengharuskan orang dapat dipegang adalah ucapannya, adalah suatu
tuntutan kesusilaan dan memanglah benar bahwa kalau orang ingi dihormati sebagai manusia,
ia harus dapat dipegang perkataannyam namun hukum yang harus menyelenggarakan
ketertiban dan menegakkan keadilan dalam masyarakat, memerlukan asas konsesualisme itu

demi tercapainya Kepastian Hukum. Asas konsesulaisme tersebut dapat dikatakan sudak
merupakan asas universil, dalam B.W disimpulkan dari Pasal 1320 jo Pasal 1338 (1):Semua
perjajian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Dengan istilah semua maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa
perjanjian yang dimaksudkan bukanlah hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga
perjanjian yang tidak bernama. Dengan istilah secara sah pembentuk undang-undang
menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut. Semua persetujuan yang dibuta
menurut hukum atau secara sah adalah mengikat, maksudnya secara sah disini ialah bahwa
pembuatan perjanjian (pasal 1320) KUH Perdata harus diikuti, perjanjian yang telah dibuat
secara sah mempunyai kekuatan atau mengikat pihak-pihak sebagai undang-undang, disini
juag akan tersimpul bahwa asas yang tercantum adalah asas kepastian hukum. Disebutkan
dalam Pasal 1320 B.W : Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjectif, karena kedua syarat tersebut
mengenai subjek pejanjian, sedangkan kedua syarat yang terakhir disebutkan syarat objectif,
karena mengenai objek dari perjanjian akan tetapi dalam analisis ini terfokus pada subjek
perjanjian.
Sebagaimana pernyataan kuasa hukum GMF, Sugeng Riyono S.H, Batavia sebagai salah
satu perusahaan pesawat telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan
didasarkan itikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak
bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak GMF terhadap Batavia
pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak GMF. Itikad baik diwaktu membuat
perjanjian berarti kejujuran. Orang yang beritikad baik akan menaruh kepercayaan
sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu
yang buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. Itikad baik
diwaktu membuat perjanjian berarti kejujuran, maka itikad baik ketika dalam tahap
pelaksanaan perjanjian adalah kepatuhan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tidak-tanduk
suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang telah diperjanjikan, pernyataan ini sesuai Pasal
1338 B.W yang berbunyi : Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan i;tikad baik. Maka,
sesuai dengan isi pasal diatas, diperintahkan supaya pejanjian dilaksanakan dengan itikad
baik, bertujuan mencegah kelakuan yang tidak patut atau sewenang-wenang dalam hal
pelaksanaan tersebut.
Pihak Batavia tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini Batavia sebagai
debitur dinyatakan ingkar janji (wanprestasi). Wanprestasi yang dilakukan Batavia
merupakan sesuatu yang disebabkan dengan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat,
sebagaimana Subekti, Wanprestasi berarti kelalaian seorang debitor, dalam hal:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
c. Melakukan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Kelalaian Batavia terhadap GMF menjadikan terhambatnya kinerja produksi lain yang akan

dibuat oleh GMF. Sesuai dengan Pasal 1243 B.W yang berbunyi: Penggantian biaya, rugi dan
bunga karena tak dipenuhinya perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang,
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang
harus diberikan atas dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu
yang telah dilampaukannya. Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah
seperti dalam Pasal 1243 B.W yaitu:
1. Memberikan sesuatu
2. Berbuat sesuatu
3. Tidak berbuat sesuatu
Tindakan wanprestasi membawa konsekwensi terhadap timbulnya hak yang dirugikan untuk
menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi dan bunga,
sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena
wanprestasi tersebut. Tindakan-tindakan tersebut terjadi karena:
a. Kesengajaan
b. Kelalaian
c. Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)
Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undang-undang menentukan bahwa
debitur harus terlebih dahulu dinyatakan dalam keadaan lalai (ingebrekestelling). Lembaga
pernyataan lalai ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase,
dimana debitur dinyatakan ingkar janji wanprestasi. Jadi maksudnya adalah peringatan atau
pernyataan dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memebuhi prestasi.
Dalam Pasal 1238 B.W disebutkan bahwa : Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat
perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa ai berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yan gtelah ditentukan. Bahwasanya peryataan lalai diperlukan dalam hal orang
meminta ganti rugi atau meminta pemutusan perikatan dengan membuktikan adanya ingkar
janji. Hal ini digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan agar debitur tidak merugikan
kreditur.
Disebutkan dalam poin ketiga adala pihak Batavia telah mengadakan pembatalan sepihak
hutang perawatan dan pembelian pesawat sehari setelah pesawat selesai dibuat, hal ini
menyebabkan produksi yang akan dibuat oleh GMF menjadi terbengkalai. Pembatalan ini
tanpa ada alasan yang jelas dari Batavia. Disebutkan dalam Pasal 1338 (2) B.W :Suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali selai dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Pasal ini menjelaskan
bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali dengan sepakat antara
keduanya. Di samping itu, apabila seseorang telah tidak melaksanakan prestasinya sesuai
ketentuan dalam kontrak, maka pada umunya (dengan beberapa pengecualian) tidak dapat
dengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan lain dalam
kontrak atau undang-undang maka wanprestasinya si debitor dinyatakan lalai oleh kreditor
(ingebrekestelling) yakni dengan dikeluarkannya akta lalai (somasi) oleh pihak kreditor
(pasal 1238 B.W). dikeluarkannya akta ini berdasarkan mekanisme yang telah ditentukan
oleh undang-undang.
Dalam hal ketentuan di atas maka Batavia dikenakan beberapa pasal, antara lain:
1. Pasal 1243 B.W : Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya perikatan

barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi


perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atas dibuatnya,
hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
2. Pasal 1246 B.W : Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan
penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang
sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta
perubahan-perubahan yang akan disebut dibawah ini.
3. Pasal 1247 B.W : Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga yang
nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dialahirkannya, kecuali
jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya yang dialakukan
olehnya.
4. Pasal 1249 B.W : Jika dalam perikatan ditentukannya, bahwa si yang lalai memenuhinya,
sebagai ganti rugi harus membayar suatu jumlh uang tertentu, maka kepada pihak yang lain
tak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun kurang daripada jumlah itu.
5. Pasal 1250 B.W : Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan denga
pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar disebabkan
terlambatnya pelaksanaannya, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan undang-undang,
denga tidak mengurangi peraturan undang-undang khusus. Penggantian biaya, rugi dan bunga
tersebut wajib dibayar dengan tidak usah dibuktikannya sesuatu kerugian oleh si berpiutang.
Ganti rugi yang diterima dari hitungan materiil yakni berupa penyitaan tujuh pesawat milik
Batavia sendiri, bukan lea asing, yang bernilai Rp18,3 milliar mugkin sudah memadai
kerugian yang diderita si berpiutang akibat tidak dipenuhinya perjanjian oleh si berutang,
namun rasa kecewa tidak mungkin dapat ditebus, sebagaimana Batavia yang tidak merespon
baik ketika pihak GMF datang menemui Batavia di kantornya untuk menagih utang Batavia
yang tersendat menimbulkan dampak pada produksi lain, mengingat hubungan baik BataviaGMF mengundang rasa kecewa dikarenakan akhir cerita kerjasama yang dilakukannya
mengalami permasalahan hukum. Dengan demikian, ganti rugi hanyalah merupakan obat
atas derita yang dialami karena apa yang diinginkan itu tidak datang atau diberikan oleh
pihak lawan.
D. Kesimpulan
Dari uraian analisis diatas, tampaklah hubungan antara perjanjian dan perikatan yang
dilakukan oleh PT. Metro Batavia dan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia
yang mana hubungan diantara keduanya berawal dari Batavia membeli mesin ESN 857854
dan ESN 724662 dari Debisin Air Supply Pte. Ltd. Singapura. Lalu dimasukkan ke GMF
untuk memenuhi standar nasional. Seterusnya Batavia memiliki hutang perawatan dan
pembelian pesawat yang kala itu penyerahannya sudah siap seratus persen sehari sebelumnya,
akan teatpi ada berakhir menjadi suatu permasalahan hukum, dikarenakan Batavia melakukan
wanprestasi terhadap GMF.
Di sini debitor melakukan kesalahan dengan tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan
maka dikatakan wanprestasi ingkar janji. Dan kreditur dapat menunutut debitor yang telah
melakukan ini (wanprestasi) melalui mekanisme, yakni somasi dengan bertujuan mendorong
debitor untuk segera memenuhi prestasinya, tanpa melalaikannya atau meninggalkannya.

Anda mungkin juga menyukai