Anda di halaman 1dari 3

Kasus Koperasi Simpan Pinjam Indosurya tentang penggelapan dana nasabah hingga Rp 106

Triliun. Hal ini mulai terkuak pada tanggal 24 Februari 2020 ketika pihak Indosurya
mendeklarasikan sebuah surat yang berisi Indosurya gagal membayarkan dana bersama dengan
bunganya pada nasabah yang sudah jatuh tempo. Uang itu baru bisa diambil 6 bulan
sampai 4 tahun tergantung nominal asset under management (AUM). Kemudian
pada 7 Maret, para nasabah mengaku menerima pemberitahuan via WA bahwa
nasabah bisa menarik tabungan mereka mulai 9 maret 2020 dengan batas
pengambilan Rp 1 juta per nasabah.

Setelah itu pada 12 maret 2020 nasabah menerima undangan untuk bertemu
dengan pihak ISP. Pada pertemuan tersebut setiap nasabah diminta memilih
opsi pembayaran yang diinginkan, opsi tersebut tergantung AUM dari setiap
nasabah dengan tempo pembayaran antara 3 tahun hingga 10 tahun. Isu soal
KSP Indosurya pun mereda, namun hanya sesaat. Kisaran Juni 2021, isu KSP
Indosurya kembali menyeruak.

Dari sini terungkap, rupanya KSP Indosurya telah gagal bauar hingga masuk
dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Putusan pertama jatuh pada tanggal 17 Juli 2020. Kemudian ada proses banding
dan PKPU sudah diputuskan akhir Desember 2020.

dalam aturan ISP, untuk menjadi anggota ada simpanan wajib dan simpanan
pokok yang harus dipenuhi. Namun hal itu tidak diberitahukan kepada para
anggota.

Hal itu karena berdasarkan anggaran dasar rumah tangga, disebutkan bahwa
ada simpanan wajib yang setiap bulan disetor Rp 20 juta dan simpanan pokok
Rp 500.000. Hanya saja informasi ini tidak disampaikan

asus gagal bayar KSP Indosurya berujung pada penahanan tiga tersangka.
Ketiganya adalah, Ketua KSP Indosurya Cipta, Henry Surya dan Head Admin
Indosurya, June Indri bebas.

Namun, ketiganya bebas dari penahanan pada pertengahan tahun ini. Alasannya
karena masa penahanan 120 hari sudah habis.

Meski begitu, Henry dan June masih berstatus tersangka. Kasus yang
menjeratnya juga tetap berlanjut.
Koperasi Simpan Pinjam Indosurya yang terdaftar sebagai badan usaha koperasi yang dinaungi
oleh kementrian Koperasi dan UMKM maka OJK dalam hal ini hanya berhak mencabut izin
koperasi dan tidak berwenang membubarkan Koperasi Simpan Pinjam tersebut. Dalam hal ini
perlu dilihat kewenangan yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan dalam memberikan perlindungan
bagi masyarakat terhadap kegiatan investasi ilegal, Praktik moral hazard pada kegiatan investasi
ilegal terjadi karena lemahnya sistem pengawasan lembaga keuangan yang disebabkan beberapa
faktor, yaitu : (a) lemahnya sistem arsitektur pengawasan keuangan di Indonesia; (b) tidak
adanya pertukaran informasi antar lembaga pengawasan keuangan; (c) masih tingginya
egosentris antar lembaga pengawas lembaga keuangan.

Dalam Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan Pelaku usaha jasa keuangan adalah Bank
Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank Kustodian, Dana
Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan
Gadai, dan Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara
konvensional maupun secara syariah. Sedangkan Koperasi Simpan Pinjam Indosurya berbentuk
Koperasi, Koperasi sendiri bukan termaksuk dalam Pelaku Jasa Keungan menurut Peraturan OJK
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan sehingga
nasabah tidak bisa melakukan pengaduan jika mengalami kerugian finansial yang ditimbulkan
oleh Koperasi Simpan Pinjam Indosurya. Disebutkan pada Pasal 41 huruf a Peraturan OJK
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, “Pemberian
fasilitas penyelesaian pengaduan Konsumen oleh Otoritas Jasa Keuangan dilakukan terhadap
pengaduan yang berindikasi sengketa di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (1) dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Konsumen mengalami kerugian finansial yang ditimbulkan oleh:


1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang Perbankan, Pasar Modal, Dana Pensiun,
Asuransi Jiwa, Pembiayaan, Perusahaan Gadai, atau Penjaminan, paling banyak
sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
2. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang asuransi umum paling banyak sebesar
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);”

Dalam pasal tersebut tidak ada menyebutkan Koperasi sebagai pelaku usaha jasa keuangan
sehingga OJK tidak dapat memberikan perlindungan kepada nasabah Koperasi Simpan Pinjam
Indosurya yang mengalami kerugian.

Berdasarkan surat yang diberikan untuk nasabah pada tanggal 18 maret tahun 2020 yang isinya
bahwa Koperasi Simpan Pinjam Indosurya tidak mampu membayar hutang. hal ini yang
membuat nasib para nasabah koperasi dan investor tidak pasti serta membuat karacuhan di
dalamnya sehingga nasib mereka tergantung dari niat etikat baik yang tak kunjung didapatkan
dari Koperasi Simpan Pinjam Indosurya itupun dilakukan harus menempuh jalur hukum yang
rumit dan jangka panjang.dalam penyelesaianya. Dengan kondisi nasabah Koperasi Simpan
Pinjam Indosurya sudah keharusan pemerintah ikut andil mengambil tindakan guna
menyelesaikan kasus tersebut. Dalam melakukan perlindungan konsumen di bidang keuangan
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
ialah untuk melindungi konsumen dan masyarakat, akan tetapi di dalam menjalankan
kewenanganya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri dibatasi oleh Undang-Undang yang khusus
dalam memberikan sanksi administratif terhadap suatu perusahaan yang melakukan pelanggaran
di dalamnya. Selanjutnya bisa dikatakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga
regulator bukan eksekutor. Kondisi hal ini yang membuat para nasabah melakukan protes guna
mendapatkan lagi hak-haknya. Dalam hal permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU
yang diajukan dan diperiksa pada waktu yang bersamaan, maka seharusnya Pengadilan Niaga
wajib memberikan putusan terlebih dahulu atas permohonan PKPU dibandingkan permohonan
pailit yang telah diajukan debitur. Maka permohonan PKPU harus putus terlebih dahulu.
Permohonan PKPU diajukan pada sidang yang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan
pailit, hal ini diatur di dalam Pasal 229 ayat (3) dan ayat (4) Undang – undang 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan.

Anda mungkin juga menyukai