Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada era globalisasi sekarang ini, bank telah menjadi bagian dari sistem
keuangan dan sistem pembayaran dunia. Mengingat hal yang demikian itu,
begitu suatu bank yang memperoleh izin berdiri dan beroperasi dari otoritas
moneter dari negara yang bersangkutan, bank tersebut menjadi milik
masyarakat. Oleh karena itu eksistensinya bukan saja hanya harus dijaga oleh
para pemilik bank itu sendiri dan pengurusnya, tetapi juga oleh masyarakat
nasional dan global.
Bank sebagai suatu lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung
mutlak pada kepercayaan dari para nasabahnya yang mempercayakan dana
simpanan mereka pada bank. Oleh karena itu bank sangat berkepentingan agar
kadar kepercayaan masyarakat, yang telah maupun yang akan menyimpan
dananya, terpelihara dengan baik dalam tingkat yang tinggi. Mengingat bank
merupakan bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran, sedangkan
kepercayaan masyarakat kepada bank merupakan unsur paling pokok dari
eksistensi suatu bank, maka terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada
perbankan adalah juga kepentingan masyarakat banyak.
Berkembangnya sistem perekonomian dan sistem keuangan
internasional yang terjadi di era globalisasi ini, telah mengalami perkembangan
yang luas tak terkecuali Indonesia. Hal ini tampak pada semakin banyaknya
variasi instrumen keuangan yang beredar dalam sistem keuangan.
Perkembangan instrumen keuangan ini sejalan dengan perkembangan dari
lembaga-lembaga keuangan itu sendiri. Indonesia sebagai bagian dari
komunitas internasional, juga terlibat didalam perkembangan tersebut.
Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi dan gerak pembangunan
suatu bangsa, lembaga keuangan tumbuh dengan berbagai alternatif jasa yang
ditawarkan. Lembaga keuangan yang merupakan lembaga perantara dari pihak

Kerahasiaan Bank | 1
yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana sebagai
perantara keuangan masyarakat.
Perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang
senantiasa bergerak cepat disertai tantangannya yang semakin luas, perlu
diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional dalam menjalankan fungsi dan
tanggung jawabnya, sehingga memerlukan landasan yuridis yang sesuai
dengan hal tersebut di Indonesia.
Kegiatan perbankan yang berkembang yang lahir pada dasarnya lebih
banyak untuk kepentingan bank itu sendiri, hingga dengan seperti itu adanya
prinsip kerahasiaan yang dikenal dengan istilah rahasia bank. Hal ini
dikarenakan sebagai lembaga keuangan, kegiatan perbankan harus
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat yang akan terlahir apabila semua
data yang berhubungan antara masyarakat dengan bank tersebut dapat
tersimpan secara tertutup dan diarahasiakan. Hal demikian membawa
konsekuensi kepada bank, yaitu bank memikul kewajiban untuk menjaga
rahasia tersebut, sebagai timbal balik dari kepercayaan yang diberikan
msyarakat kepada bank sebagai lembaga keuangan pengelola keuangan atau
sumber dana masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan di atas, salah satu faktor untuk dapat
memelihara dan meningkatkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap suatu
bank pada khususnya dan perbankan pada umumnya ialah kepatuhan bank
terhadap kewajiban rahasia bank.

B. Rumusan Masalah
Pada penulisan ini kami mencoba mengemukakan beberapa masalah,
sebagai berikut:
1. Dasar pemikiran ketentuan rahasia bank.
2. Sejarah kemunculan konsep rahasia bank dalam kegiatan usaha perbankan.
3. Dasar hukum ketentuan rahasia bank.
4. Teori rahasia bank.
5. Pengertian dan ruang lingkup rahasia bank.

Kerahasiaan Bank | 2
6. Para pihak yang berkewajiban menjaga kerahasiaan bank.
7. Perkecualian dalam rahasia bank.
8. Sanksi atas pelanggaran rahasia bank.
9. Contoh kasus.

C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan dasar pemikiran ketentuan rahasia bank.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan sejarah kemunculan konsep rahasia
bank dalam kegiatan usaha perbankan.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan dasar hukum ketentuan rahasia bank.
4. Untuk mengetahui dan menjelaskan teori rahasia bank.
5. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengertian dan ruang lingkup rahasia
bank.
6. Untuk mengetahui dan menjelaskan para pihak yang berkewajiban menjaga
kerahasiaan bank.
7. Untuk mengetahui dan menjelaskan perkecualian dalam rahasia bank.
8. Untuk mengetahui dan menjelaskan sanksi atas pelanggaran rahasia bank.
9. Untuk dapat memberikan contoh kasus.

Kerahasiaan Bank | 3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar Pemikiran Ketentuan Rahasia Bank


Bank adalah suatu lembaga keuangan yang eksistensinya mutlak
bergantung pada kepercayaan dari para nasabahnya yang bergantung pada
kepercayaan dari para nasabahnya yang mempercayakan dana dan jasa-jasa
lain yang dilakukan mereka melakui bank pada khususnya dan dari masyarakat
luas pada umumnya. Oleh karena itu, bank sangat berkepentingan agar kadar
kepercayaan masyarakat, yang sudah ataupun yang akan menyimpan dananya,
ataupun yang telah atau yang akan menggunakan jasa-jasa bank lainnya
terpelihara dengan baik dalam tingkat tinggi. Mengingat bank adalah bagian
dari sistem keuangan dan sistem pembayaran, masyarakat luas berkepentingan
atas kesehatan dari sistem-sistem tersebut. Adapun kepercayaan masyarakat
kepada bank merupakan unsur paling pokok dari eksistensi suatu bank
sehingga terpelihara kepercayaan masyarakat kepada perbankan juga
kepentingan masyarakat banyak.
Salah satu faktor untuk dapat memelihara dan meningkatkan kadar
kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank pada khususnya dan perbankan
pada umumnya ialah kepatuhan terhadap kewajiban rahasia bank. Maksudnya
ialah menyangkut dapat atau tidaknya bank dipercaya oleh nasabah yang
menyimpan dananya atau menggunakan jasa-jasa lainnya dari bank tersebut
untuk tidak mengungkapkan keadaan keuangan dan transaksi nasabah serta
keadaan lain dari nasabahnya yang bersangkutan kepada pihak lain. Dengan
kta lain, bergantung pada kemampuan bank itu sendiri untuk menjunjung tinggi
dan mematuhi dengan teguh rahasia bank.
Adanya ketentuan mengenai rahasia bank ini menimbulkan kesan bagi
masyarakat, bahwa bank sengaja untuk menyembunyikan keadaan keuangan
yang tidak dari nasabah debitur, baik orang perorangan, atau perusahaan yang
sedang menjadi sorotan masyarakat. Selama ini timbul kesan bahwa dunia
perbankan bersembunyi di balik ketentuan rahasia bank untuk melindungi

Kerahasiaan Bank | 4
kepentingan nasabahnya yang belum tentu benar. Akan tetapi, apabila bank
sungguh-sungguh melindungi kepentingan nasabahnya yang jujur dan bersih,
maka hal itu merupakan suatu keharusan dan kepatuhan.
Ketentuan mengenai rahasia bank merupakan suatu hal yang sangat
penting bagi nasabahnya dan simpanannya ataupun bagi kepentingan dari bank
itu sendiri, sebab apabila nasabah penyimpanan ini tidak memercayai bank
dimana ia menyimpanan simpanannya tentu ia tidak akan mau menjadi
nasabahnya. Oleh karena itu, sebagi suatu lembaga keuangan yang berfungsi
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, sudah sepatutnya
bank menerapkan ketentuan rahasia bank tersebut secara konsisten dan
bertanggung jawab sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
melindungi kepentingan nasabahnya.
Dengan demikian, kerahasiaan bank sendiri yang memerlukan
kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Masyarakat hanya
akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila
dari bank ada jaminan, bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan
keadaan keuangan nasabah tidak disalahgunakan. Adanya ketentuan rahasia
bank ini ditegaskan bahwa bank harus memegang teguh mengenai rahasia
bank.
Berdasarkan sejarahnya, pada mulanya bank berkembang dari kegiatan
tukar-menukar yang dikenal sejak purbakala di Athena dan Romawi. Kegiaan
tukar-menukar uang dikenal dengan istilah trapezites (orang di hadapan meja)
atau orgentarius di Romawi. Selain melakukan kegiatan tukar-menukar,
mereka juga melakukukan kegiatan lain untuk menyimpan serta meminjamkan
uang bagi mereka yang memerlukannya. Usaha tukar-menukar dan simpan
pinjam ini memnjadi lebih berkembang paada abad pertengahan. Hal ini
disebabkan perkembangan usaha-usaha perdagangan di eropa serta timbulnya
berbagai mata uang yang dimiliki oleh beberapa negara. Khusus dalam tugas
peminjaman uang yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, kemudian diikuti
oleh orang-orang Italia yang berasal dari Lombardia.

Kerahasiaan Bank | 5
Sejak 4000 tahun di Babylonia, kerahasiaan bank sebagai suatu
kelaziman telah dipraktikan sebagaimana tercantum dalam code of hamurabi.
Begitu juga pada Romawi kuno, hal yang menyangkut, hubungan antar
nasabah dan perbankan sudah diatur, termasuk didalamya kerahasiaan bank.
Sejarah mencatat pula tentang pelanggaran-pelangggaran yang berkaitan
tentang bank. Rahasia bank ini dalam perkembangnnya diakui sebagi hak asasi
manusia untuk melindungi rahasia pribadinya (right of privacy), terutama
berkaitan dengan rahasia miliknya atau keuangannya ( financial privacy).
Pada abad pertengahan, rahasia bank semacam itu telah diatur oleh
peraturan prundang-undangan, bahkan di kerajaan Jerman pada saat itu telah
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan berkembangnya
perdagangan dan ambruknya feodalisme dalam pertarungan yang semakin
sengit untuk memperjuangkan hak-hak individu, kepercayaan pada
kebijakanaan lembaga perbankan untuk merahasiakan keterangan-keterangan
mengenai soal-soal keuangan dan pribadi nasabah-nasabahnya menjadi suatu
kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi perlindungan hak milik
pribadi dan bagi kelangsungan praktik perdagangan. Menjelang pertengahan
abad 19, boleh dikatakan semua pemerintahan di eropa barat telah
mengesahkan asas kerahasiaan perbankan. Sejak saat itu, undang-undang
serupa telah diberlakukan di setiap negara yang menghendaki sistem perbankan
yang tertib. Mengenai rahasia bank ini diberbagai negara telah masuk dalam
konstitusi atau undang-undang. Tujuan diadakannya undang-undang rahasia
bank adalah untuk menciptakan kepercayaan masyarakat yang menyimpan
uangnya di bank.
Secara filosofi, adanya kewajiban bank menjaga rahasia keuangan
nasabah atau perlindungan atas kerahasian keuangan nasabah didasari oleh
beberapa alasan, yaitu:
1. Hak setiap orang atau badan untuk tidak dicampuri atas nasabah yang
bersifat pribadi (personal privacy);

Kerahasiaan Bank | 6
2. Hak yang timbul dari hubungan perikatan antar bank dan nasabahnya.
Dalam ikatan ini, bank berfungsi sebagai kuasa dari nasabahnya dan dengan
itikad baik waajib melindungi kepentingan nasabah;
3. Atas dasar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menegaskan bahwa
berdasarkan fungsi utama, dalam menghimpun dana dari masyarakat, bank
bekerja berdasarkan kepercayaan dari masyarakat. Dengan demikian,
pengetahuan bank tentang keadaan keuangan nasabah tidak disalahgunakan
dan dijaga kerahasiaannya oleh setiap bank;
4. Kebiasaan dan kelaziman dalam dunia perbankan; serta
5. Karakteristik kegiatan usaha bank.
Hal-hal yang mendasari perlunya pemikiran tentang kerahasaiaan bank
diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
menjadi Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Pelanggaran terhadap kerahasiaan bank merupakan suatu tindak pidana dan
pihak-pihak yang tidak memegang teguh ketentuan kerahasiaan bank dapat
dikenakan sanksi pidana. Adapun pasal-pasal yang mengatur mengenai
ketentuan kerahasiaan bank tersebut terdapat dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi menjadi Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu pasal-pasal 40, 41A, 42, 42A,
43, 44, 44A, 45, 47, 47A, 50, 50A, 51, 52, dan 53.

B. Sejarah Kemunculan Konsep Rahasia Bank Dalam Kegiatan Usaha


Perbankan
Berkembangnya lembaga perbankan karena adanya prinsip kerahasiaan
yang dikenal dengan istilah rahasia bank (secrecy). Asas rahasia
(konfidensialitas) dalam soal-soal keuangan sudah dikenal sejak lama, tepatnya
pada Zaman Pertengahan dan telah diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata di Kerajaan Jerman dan kota-kota di Italia bagian Utara. Dengan
berkembangnya perdagangan dan ambruknya feodalisme dalam pertarungan

Kerahasiaan Bank | 7
yang semakin sengit untuk memperjuangkan hak-hak individu, kepercayaan
pada kebijaksanaan bank untuk merahasiakan keterangan-keterangan mengenai
soal-soal keuangan dan para pribadi nasabahnya menjadi suatu kebutuhan yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi perlindungan hak milik pribadi dan bagi
kelangsungan praktek perdagangan.
Menjelang pertengahan abad ke-19, dapat dikatakan semua pemerintah
eropa barat telah mengesahkan asas kerahasiaan perbankan dan sejak itu
undang-undang serupa telah diberlakukan disetiap negara yang menghendaki
sistem perbankan yang tertib.
Timbulnya pemikiran untuk perlunya merahasiakan keadaan keuangan
nasabah bank sehingga melahirkan ketentuan hukum mengenai kewajiban
rahasia bank, adalah semula bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah
secara individual. Ketentuan rahasia bank di Swiss, yaitu suatu negara yang
dikenal mempunyai ketentuan rahasia bank yang dahulunya paling ketat di
dunia, adalah juga semula bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah
bank secara individual. Pada waktu itu ketentuan rahasia bank bersifat mutlak;
artinya tidak dapat dikecualikan karena alasan apapun juga. Ketentuan rahasia
bank di Swiss lahir mula-mula sehubungan dengan kedudukan Swiss sebagai
negara yang netral secara tradisional. Alasan pertama, dalam abad ke-17,
ribuan kaum Huguenots dari Perancis melarikan diri ke Swiss oleh karena
mereka dikejar-kejar atau dilakukan penyiksaan-penyiksaan terhadap mereka
sehubungan dengan agama yang mereka anut. Diantara mereka itu kemudian
ada yang menjadi bankir, dan menginginkan agar supaya kerahasiaan dari
nasabah-nasabah mereka untuk urusan-urusan keuangannya di negara asalnya
dirahasiakan. Alasan kedua adalah sehubungan dengan dikejar-kejarnya orang-
orang yahudi di waktu rezim nazi berkuasa di Jerman di tahun 1930-an dan
1940-an.
Namun perkembangan sehubungan dengan keadaan politik dalam
negeri, keadaan sosial, terutama yang menyangkut timbulnya kejahatan-
kejahatan di bidang money laundering, dan kebutuhan akan adanya stabilitas
ekonomi, terutama stabilitas moneter, telah menimbulkan kebutuhan akan

Kerahasiaan Bank | 8
perlunya pelonggaran terhadap kewajiban rahasia bank yang mutlak itu.
Artinya, apabila kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum harus
didahulukan daripada kepentingan nasabah secara pribadi, maka kewajiban
bank untuk melindungi kepentingan nasabah secara individual itu (dalam arti
tidak boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah) harus dapat
dikesampingkan. Contoh yang konkrit mengenai hal ini adalah berkaitan
dengan kepentingan negara untuk menghitung memungut: 1) pajak nasabah
yang bersangkutan, 2) penindakan korupsi, dan 3) pemberantasan money
laundering.
Merupakan hal yang kontradiktif bahwa dalam hal-hal tertentu, justru
demi kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum, dikehendaki agar
kewajiban rahasia bank diperketat. Kepentingan negara yang dimaksud adalah
pengerahan dana perbankan untuk keperluan pembangunan. Kepentingan
negara, bangsa dan masyarakat umum itu dilandasi oleh alasan bahwa
dijunjung tingginya dan dipegang teguhnya kewajiban rahasia bank merupakan
faktor terpenting bagi keberhasilan bank dalam upaya bank itu mengerahkan
tabungan masyarakat. Selain itu terganggunya stabilitas moneter adalah antara
lain dapat diakibatkan oleh runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan karena terlalu longgarnya rahasia bank. Dalam kaitan itu, undang-
undang yang mengatur mengenai rahasia bank harus tidak memungkinkan
kewajiban rahasia bank secara mudah dapat dikesampingkan dengan dalih
karena kepentingan umum menghendaki demikian.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban rahasia
bank yang harus dipegang teguh oleh bank adalah bukan semata-mata bagi: (1)
kepentingan nasabah sendiri, tetapi juga (2) bagi bank yang bersangkutan dan
(3) bagi kepentingan masyarakat umum sendiri.
Dalam kerangka hukum perbankan di Indonesia, pengertian rahasia
bank selalu dicantumkan dalam setiap undang-undang yang mengatur lembaga
perbankan.

Kerahasiaan Bank | 9
Pada periode Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-
Pokok Perbankan, pengertian mengenai rahasia bank juga mendapatkan
penafsiran resmi yang diberikan oleh Bank Indonesia yang tercantum dalam
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/337.UPPB/PpB perihal Penafsiran
tentang Pengertian Rahasia Bank, tanggal 11 September 1969.
Penafsiran resmi mengenai rahasia bank tersebut memberikan
gambaran bahwa hal-hal yang dirahasiakan tersebut meliputi:
1. Keadaan keuangan nasabah yang tercatat padanya ialah keadaan mengenai
keuangan yang terdapat pada bank yang meliputi segala simpanannya yang
tercantum dalam semua pos pasiva dan segala pos aktiva yang merupakan
pemberian kredit dalam berbagai macam bentuk kepada yang bersangkutan.
2. Hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh Bank menurut kelaziman dalam
dunia perbankan ialah segala keterangan orang dan badan yang diketahui
oleh bank karena kegiatan usahanya, yaitu:
a. Pemberian pelayanan dan jasa dalam lalu lintas uang, baik dalam maupun
luar negeri.
b. Pendiskontoan dan jual beli surat berharga.
c. Pemberian kredit.

C. Dasar Hukum Ketentuan Rahasia Bank di Indonesia


Ketentuan rahasia bank dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan diatur pada Pasal 40-45 dan dalam Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 mengalami perubahan dan penambahan. Adapun prinsip atau
teori yang mendasari ketentuan rahasia bank di Indonesia, yaitu prinsip atau
teori nisbi. Dengan demikian, pemberian data dan informasi yang menyangkut
kerahasiaan bank kepada pihak lain yang dimungkinkan, berbeda dengan
Sistem di Swiss yang hanya memungkinkan pembukaan rahasia bank apabila
ada putusan pengadilan. Menyangkut mengenai pihak yang harus menyimpan
rahasia karena profesi dan pekerjaannya hampir sama ketentuannya dengan di
Swiss, yaitu menyangkut semua pihak yang berhubungan dengan kegiatan
bank (pihak-pihak terafiliasi).

Kerahasiaan Bank | 10
Dengan sifatnya yang demikian maka dalam memahami ketentuan-
ketentuan rahasia bank tidak perlu dipahami sebagai strict law. Jadi, ketentuan
tersebut janganlah dipahami apa adanya sebagaimana tertulis dalam pasal yang
tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jika terlalu kaku memahami
ketentuan yang ada, ketentuan tersebut akan membelenggu karena disadari
bahwa pengertian rahasia bank yang tercantum pada Pasal 40 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (sebelum diubah) mempunyai sifat
yang sangat luas ruang lingkupnya dan sifatnya terlalu umum. Karenanya
cukup membingungkan serta terlalu tertutup.
Namun, ketentuan rahasia bank yang ada telah mengatur mengenai hal-
hal pengecualian tertentu yang memungkinkan untuk dapat diketahuinya suatu
rahasia bank dari seseorang. Adapun mengenai kemungkinan pembukaan
kerahasiaan bank dapat dilakukan apabila adanya suatu kepentingan umum
berupa kepentingan:
1. Perpajakan.
2. Penyelesaian piutang yang ditangani oleh Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (BUPLN/PUPN).
3. Peradilan, baik untuk perkara pidana maupun perdata.
4. Kepentingan kelancaran dan keamanan kegiatan usaha bank, termasuk di
dalamnya permintaan pembukaan rahasia berdasarkan kuasa dari nasabah
penyimpan itu sendiri atau permintaan ahli waris yang sah.
Suatu hal menarik bagi siapapun yang berhubungan dengan bank adalah
terjadinya jati diri nasabah. Hal ini dapat dimaklumi, sebab bisnis perbankan
adalah bisnis kepercayaan. Dengan kata lain, nasabah berhubungan dengan
bank sebab nasabah percaya, bahwa bank akan tetap memegang teguh norma-
norma dalam usaha perbankan satu diantara norma yang dimaksud adalah
rahasia bank.
Menurut Yunus Husein, kerahasiaan bank merupakan dari jiwa sistem
perbankan yang berdasarkan pada kelaziman dalam praktik perbankan,
perjanjian atau kontrak antara bank dan nasabah, serta peraturan tertulis yang
ditetapkan oleh negara. Rahasia bank (bank secrecy, financial privacy

Kerahasiaan Bank | 11
dianggap sebagai hak asasi manusia yang harus dilindingi dari campur tangan
negara dan orang lain. Adanya ketentuan rahasia bank ditujukan untuk
kepentingan nasabah agar terlindungi kerahasiaan yang menyangkut keadaan
keuangannya. Di samping itu, ketentuan rahasia bank itu diperuntukan bagi
kepentingan bank agar bank dapat dipercaya dan kelangsungan hidupnya
terjaga. Di beberapa negara, baik yang menganut sistem common law maupun
civil law mengatur rahasia bank dengan titik tolak untuk melindungi rahasia
bank (financial privacy) dari nasabah agar tidak mudah diakses oleh pihak-
pihak yang tidak berhak.

D. Teori Rahasia Bank


Terdapat dua teori berkenaan dengan rahasia bank, yaitu teori rahasia
bank yang bersifat mutlak (absolute theory) dan teori rahasia bank yang
bersifat relatif atau nisbi (relative theory). Berikut ini adalah uraian dari kedua
teori tersebut:
1. Teori Mutlak (Absolute Theory)
Menurut teori ini, rahasia bank bersifat mutlak. Semua keterangan
mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat di bank wajib
dirahasiakan tanpa pengecualian dan pembatasan. Dengan alasan apapun
dan oleh siapapun, kerahasiaan mengenai nasabah dan keuangannya tidak
boleh dibuka (diungkapkan). Apabila terjadi pelanggaran terhadap
kerahasiaan tersebut, bank yang bersangkutan harus bertanggung jawab atas
segala akibat yang ditimbulkannya.
Keberatan terhadap teori mutlak ini adalah terlalu individualis,
artinya hanya mementingkan hak individu (perseorangan). Disamping
kepentingan negara atau masyarakat banyak dikesampingkan oleh
kepentingan individu yang merugikan negara atau masyarakat banyak.
Berdasarkan teori ini, sifat mutlak rahasia bank sangat sukar untuk
diterobos dengan alasan apapun oleh hukum dan undang-undang sekalipun.
Teori mutlak ini banyak dianut oleh bank-bank yang ada di negara Swiss.

Kerahasiaan Bank | 12
Menurut teori ini, bank mempunyai kewajiban untuk menyimpan
rahasia atau keterangan-keterangan mengenai nasabahnya yang diketahui
bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan apapun, dalam keadaan biasa
atau luar biasa. Teori ini sangat menonjolkan kepentingan individu sehingga
kepentingan negara dan masyarakat sering terabaikan.
2. Teori Relatif/Nisbi (Relative Theory)
Menurut teori ini, rahasia bank bersifat relatif (terbatas). Semua
keterangan mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat di bank wajib
dirahasiakan. Namun, bila ada alasan yang dapat dibenarkan oleh undang-
undang, rahasia bank mengenai keuangan nasabah yang bersangkutan boleh
dibuka (diungkapkan) kepada pejabat yang berwenang. Keterbatasan
terhadap teori ini adalah rahasia bank masih dapat dijadikan perlindungan
bagi pemilik dana yang tidak halal, yang secara kebetulan tidak terjangkau
oleh aparat penegak hukum karena tidak terkena penyidikan. Dengan
demikian, dananya tetap aman.
Namun, teori relatif ini sesuai dengan rasa keadilan (sense of justice)
artinya kepentingan negara atau kepentingan masyarakat banyak tidak
dikesampingkan begitu saja. Apabila ada alasan yang sesuai dengan
prosedur hukum maka rahasia keuangan nasabah boleh dibuka
(diungkapkan). Dengan demikian, teori relatif ini melindungi kepentingan
semua pihak, baik individu, masyarakat, maupun negara. Teori ini dianut
oleh bank-bank yang ada di Amerika Serikat, Belanda, Malaysia, Singapura,
dan lndonesia. Di indonesia, teori relatif ini diatur dalam Pasal 40 Undang-
undang Nomor 7 Tahun l992 jo. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan,
(1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan
dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 , Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi
Pihak Terafiliasi.

Kerahasiaan Bank | 13
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa menurut teori relatif,
bank diperbolehkan membuka rahasia atau memberi keterangan mengenai
nasabahnya, jika untuk kepentingan yang mendesak, misalnya untuk
kepentingan negara atau kepentingan hukum. Adanya pengecualian dalam
ketentuan rahasia bank memungkinkan untuk kepentingan tertentu suatu
badan atau instansi diperbolehkan meminta keterangan atau data tentang
keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.

E. Pengertian Dan Ruang Lingkup Rahasia Bank


Definisi rahasia bank menurut para ahli:
1. Menurut Munir Fuady, rahasia bank adalah :
“Hubungan antara nasabah dan banknya mirip dengan hubungan antara
lawyer dan kliennya atau hubungan antara dokter dan pasiennya. Semuanya
sama-sama mengandung kewajiban untuk merahasiakan data dari
klien/nasabah/pasiennya. Sering juga untuk rahasia yang terbit dari
hubungan seperti ini disebut dengan istilah rahasia jabatan”.
2. Menurut Kasmir, rahasia bank adalah:
”Dikarenakan kegiatan dunia perbankan mengelola uang masyarakat, maka
bank wajib menjaga kepercayaan yang diberikan masyarakat. Bank wajib
menjaga keamanan uang tersebut agar benar-benar aman. Agar keamanan
uang nasabahnya terjamin, pihak perbankan dilarang untuk memberikan
keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal -hal
lain dari nasabahnya. Dengan kata lain, bank harus menjaga rahasia tentang
keadaan keuangan nasabah dan apabila melanggar kerahasiaan ini
perbankan akan dikenakan sanksi”.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, yaitu “rahasia bank adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang
menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan”.

Kerahasiaan Bank | 14
Berkaitan dengan itu, ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menentukan, bahwa “bank dilarang
memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan
hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut
kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dikemukakan bahwa makna yang
terkandung dalam pengertian rahasia bank adalah larangan-larangan bagi
perbankan untuk memberikan keterangan atau informasi kepada siapa pun
mengenai keadaan keuangan dan hal-hal lain yang patut dirahasiakan dari
nasabahnya untuk kepentingan nasabah maupun untuk kepentingan bank itu
sendiri.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan telah diubah menjadi Pasal 1 angka 28 Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyatakan bahwa
“rahasia bank adalah segala sesuatu yang dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya”.
Adapun Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan diubah menjadi Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, yang mengemukakan bahwa “bank wajib
merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya,
kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 , Pasal 41A, Pasal 42,
Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A”.
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pengertian dan ruang lingkup
mengenai rahasia bank yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah
berbeda. Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, rahasia bank tersebut
lebih luas cakupannya karena berlaku bagi setiap nasabah dengan tidak
membedakan antara nasabah penyimpan dan nasabah peminjam. Sedangkan
ketentuan rahasia bank yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 10

Kerahasiaan Bank | 15
Tahun 1998 lebih sempit karena hanya berlaku bagi nasabah penyimpan dan
simpanannya saja.
Simpanan nasabah penyimpan adalah sumber dana bagi bank. Oleh
karena itu, wajar apabila undang-undang mengatur agar bank melindungi
nasabahnya. Akan tetapi di sisi lain, tentu ada juga nasabah penyimpan yang
berstatus debitur beritikad jahat (bad faith), dengan berlindung di balik rahasia
bank melakukan perbuatan tercela terhadap mitra bisnisnya, misalnya
membayar dengan cek atau bilyet giro kosong. Mitra bisnis yang menerima cek
atau bilyet giro kosong sudah tentu tidak mungkin mengetahui saldo simpanan
nasabah penyimpan yang berstatus debitur itu karena dilindungi oleh rahasia
bank. Hal semacam ini tentu akan memengaruhi citra kepercayaan masyarakat
terhadap bank. Oleh karena itu, menghadapi nasabah penyimpan yang beritikad
jahat, bank tidak perlu ragu melakukan tindakan black list dan kepada Bank
Indonesia selaku pengawas dan pembina perbankan. Penegakan hukum yang
tegas justru meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank.
Dalam keadaan tertentu, rahasia bank dapat diterobos sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 41 , Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal
44A Undang-undang Perbankan. Adapun tata cara untuk menerobos rahasia
bank dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Bank lndonesia Nomor:
2/19/PBI/2000 tanggal 7 September 2000 tentang Persyaratan Dan Tata Cara
Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Dalam Pasal 1
angka 6 Peraturan Bank lndonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 bahwa “rahasia bank
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanan nasabah”.
Pengertian nasabah penyimpan dijabarkan dalam Pasal 1 angka 4
Peraturan Bank lndonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 bahwa “nasabah penyimpan
adalah nasabah yang menempatkan dananya dalam bentuk simpanan
berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”. Pengertian
simpanan dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Bank lndonesia Nomor:
2/19/PBI/2000 bahwa “simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh
masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam

Kerahasiaan Bank | 16
bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu”. Dan dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank
lndonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 dikemukakan, nasabah debitur adalah
nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank
dengan nasabah yang bersangkutan.
Dalam ketentuan tersebut tampak bahwa hubungan antara bank dan
nasabah terikat dalam suatu perjanjian. Oleh karena itu, pihak-pihak yang
terikat dalam suatu perjanjian tersebut wajib menghormati yang telah menjadi
kesepakatan bersama. Di sisi lain, dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank
didasarkan pada kepercayaan. Untuk itu, salah satu hal yang wajib dijaga oleh
bank adalah kerahasiaan yang menjadi ciri utama dalam industri perbankan.
Hal hal yang wajib dirahasiakan dalam Pasal 2 Peraturan Bank lndonesia
Nomor: 2/19/PBI/2000 dikemukakan sebagai berikut:
(1) Bank wajib merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanan nasabah.
(2) Keterangan mengenai nasabah selain nasabah penyimpan bukan
merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak
terafiliasi.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku untuk :
a. kepentingan perpajakan;
b. penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara;
c. kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
d. kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara bank dengan
nasabahnya;
e. tukar menukar informasi antar bank;
f. permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang
dibuat secara tertulis;

Kerahasiaan Bank | 17
g. permintaan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang telah
meninggal dunia.
Berdasarkan ketentuan tersebut, baik yang dijabarkan dalam Undang-
undang Perbankan maupun Peraturan Bank lndonesia, tampak bahwa dalam
batas-batas tertentu rahasia bank dapat diterobos. Namun untuk melakukan
pembukaan rahasia bank sebagaimana dijabarkan tersebut harus ada izin
tertulis dari pimpinan Bank lndonesia. Hal ini dengan tegas dikemukakan
dalam Pasal 3 Peraturan Bank lndonesia Nomor: 2/19/PBI/2000:
(1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
huruf a, huruf b, dan huruf c, wajib terlebih dahulu memperoleh perintah
atau izin tertulis untuk membuka Rahasia Bank dari Pimpinan Bank
Indonesia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf d, huruf e,
huruf f, dan huruf g, tidak memerlukan perintah atau izin tertulis untuk
membuka Rahasia Bank dari Pimpinan Bank Indonesia.
Lebih konkret dalam Pasal 8 Peraturan Bank lndonesia Nomor:
2/19/PBI/2000 dikemukakan “bank dilarang memberikan keterangan tentang
keadaan keuangan nasabah penyimpan selain yang disebutkan dalam perintah
atau izin tertulis dari Bank Indonesia. Sementara itu dalam Pasal 12 Peraturan
Bank lndonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 dikemukakan:
(1) Pemblokiran dan atau penyitaan simpanan atas nama seorang nasabah
penyimpan yang telah dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa oleh
polisi, jaksa, atau hakim, dapat dilakukan sesuai peraturan
perundangundangan yang berlaku tanpa memerlukan izin dari Pimpinan
Bank Indonesia.
(2) Dalam hal polisi, jaksa, atau hakim bermaksud memperoleh keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanan nasabah yang diblokir dan
atau disita pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berlaku
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.

Kerahasiaan Bank | 18
F. Para Pihak Yang Berkewajiban Menjaga Kerahasian Bank
Para pihak yang berkewajiban menjaga kerahasiaan bank menurut Pasal
40 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, adalah :
(1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan
simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ,
Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak
Terafiliasi.
Di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 40
ayat (1) dikemukakan bahwa apabila nasabah bank adalah Nasabah Penyimpan
yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank wajib tetap merahasiakan
keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan.
Keterangan mengenai nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan, bukan
merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan bank. Bagi bank yang
melakukan kegiatan sebagai lembaga penunjang pasar modal, misalnya bank
selaku kustodian dan atau Wali Amanat, tunduk pada ketentuan perundang-
undangan di bidang pasar modal.
Kemudian dijabarkan menurut Pasal 47 ayat (2) Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998, para pihak yang berkewajiban menjaga kerahasiaan
bank: “Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak
Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib
dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang
kurangnya Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah”, yang berkewajiban memegang
teguh rahasia bank ialah:
1. Anggota Dewan Komisaris Bank
2. Anggota Direksi Bank
3. Pegawai Bank
4. Pihak terafiliasi lainnya dari bank.

Kerahasiaan Bank | 19
Menurut penjelasan dari Pasal 47 ayat (2) Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 yang dimaksud dengan pegawai bank adalah semua pejabat dan
karyawan bank. Menurut penjelasan dari Pasal 48 ayat (1) Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 yang dimaksud dengan pegawai bank adalah pejabat
bank yang diberi wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas
operasional bank, dan karyawan yang mempunyai akses terhadap informasi
mengenai keadaan bank.
Lalu, istilah pejabat bank juga ditemui dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan
Bank Indonesia Nomor: 11/19/PBI/2009 Tahun 2009 tentang Sertifikasi
Manajemen Resiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum (sebagaimana
telah diubah oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor: 12/7/PBI/2010 Tahun
2010) yang mendefinisikan: Pejabat Bank adalah pegawai Bank yang
menduduki jabatan di bawah Direksi sesuai dengan ukuran dan kompleksitas
usaha, termasuk pegawai Bank yang mempunyai pengaruh atas kebijakan dan
atau operasional Bank.
Dari pengaturan tersebut dapat kita simpulkan bahwa tidak semua
karyawan bank merupakan pejabat bank. Pegawai bank yang tidak mempunyai
pengaruh atas kebijakan dan atau operasional bank bukanlah seorang pejabat
bank, maka ia termasuk kategori sebagai karyawan bank. Terkait dengan sanksi
pidana dalam Undang-undang Perbankan dimana dijelaskan dalam Penjelasan
Undang-undang Perbankan bahwa yang dimaksud dengan pegawai bank adalah
pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tentang hal
yang berkaitan dengan usaha bank yang bersangkutan. Maka jelas bahwa yang
dimaksud dengan pegawai bank dalam Undang-undang Perbankan adalah
terbatas pada pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab
tentang hal yang berkaitan dengan usaha bank.
Menurut Pasal I Angka 1 “Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998, ialah:
Pihak Terafiliasi adalah:
a. anggota Dewan Komisaris, pengawas, Direksi atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan bank;

Kerahasiaan Bank | 20
b. anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik,
penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya;
d. pihak yang menurut perdamaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi
pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga
Komisaris, keluarga pengawas, keluarga Direksi. keluarga Pengurus.
Jadi yang dimaksudkan dengan pihak terafiliasi lainnya ialah selain
anggota dewan komisaris, direksi dan pegawai bank adalah siapapun yang
memberikan jasanya kepada bank (seperti akuntan publik dan konsultan dan
pemegang saham dan keluarganya serta keluarga pengurus bank).

G. Perkecualian Dalam Rahasia Bank


Dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang
mengemukakan bahwa “bank wajib merahasiakan keterangan mengenai
Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal
44A”.
Kata “kecuali” diartikan sebagi pembatasan terhadap berlakunya
rahasia bank. Mengenai keterangan yang disebut dalam pasal-pasal tadi, bank
tidak boleh merahasiakannya (boleh mengungkapkannya) dalam hal sebagai
berikut,
1. Untuk Kepentingan Perpajakan
Untuk pembukaan rahasia bank dalam hal untuk kepentingan
perpajakan, dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998,
bahwa “untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas
permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis
kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti
tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan

Kerahasiaan Bank | 21
tertentu kepada pejabat pajak”, dalam pasal tersebut menetapkan unsur-
unsur yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut.
a. Pembukaan kerahasiaan bank untuk kepentingan perpajakan.
b. Pembukaan kerahasiaan bank atas permintaan tertulis menteri keuangan.
c. Pembukaan kerahasiaan bank atas perintah tertulis pimpinan Bank
Indonesia.
d. Pembukaan kerahasiaan bank dilakukan oleh bank dengan memberikan
keterangan dam memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat
mengenai keadaaan keuangan nasabah penyimpanan yang namanya
disebutkan dalam permintaan mentri keuangan.
e. Keterangan dengan bukti-bukti tertulis mengenai keadaan keuang
nasabah penyimpanan diberikan kepada pejabat pajak yang namanya
disebutkan dalam perintah pimpinan Bank Indonesia.
2. Untuk Kepentingan Penyelesaian Piutang Bank
Penyelesaian piutang bank diatur dalam Pasal 41A Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998, bahwa
(1) Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara Panitia Urusan Piutang Negara,
Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara
untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan Nasabah
Debitur.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas
permintaan tertulis dari Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara/Ketua Panitia Urusan Piutang Negara.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan
nama dan jabatan pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, nama Nasabah Debitur yang
bersangkutan dan alasan diperlukannya keterangan.

Kerahasiaan Bank | 22
3. Untuk Kepentingan Peradilan Pidana
Dalam Pasal 42 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 bahwa
(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank
Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk
memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau
terdakwa pada bank.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas
permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa
Agung, atau Ketua Mahkamah Agung.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan
nama dan jabatan polisi, jaksa, atau hakim, nama tersangka atau
terdakwa, alasan diperlukannya keterangan dan hubungan perkara
pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.
Dalam bagian penjelasan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
dijelaskan bahwa kata dapat dimaksudkan untuk memberikan penegasan
bahwa izin oleh Pimpinan Bank Indonesia akan diberikan sepanjang
permintaan tersebut telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), dan Pemberian izin oleh Bank Indonesia harus dilakukan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah dokumen permintaan
diterima secara lengkap.
4. Untuk Kepentingan Peradilan Perdata
Pasal 43 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992:
“Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang
bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan
keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang
relevan dengan perkara tersebut”.
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa bank dapat menginformasikan
keadaan keuangan nasabah yang dalam perkara serta keterangan lain yang
berkaitan dengan perkara tersebut, tanpa izin dari menteri, karena yang
membreri izin adalah pimpinan Bank Indonesia.

Kerahasiaan Bank | 23
5. Untuk Keperluan Tukar Menukar Informasi Antar Bank
Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, bahwa,
“Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, direksi bank dapat
memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain”.
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa tukar menukar informasi antar bank
dimaksudkan untuk memperlancar dan mengamankan kegiatan usaha bank,
antara lain guna mencegah kredit rangkap serta mengetahui keadaan dan
status dari suatu bank yang lain. Dengan demikian bank dapat menilai
tingkat risiko yang dihadapi, sebelum melakukan suatu transaksi dengan
nasabah atau dengan bank lain.
6. Pemberian Keterangan atas Persetujuan Nasabah
Dalam Pasal 44A Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa,
(1) Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpanan
yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan
mengenai simpanan Nasabah Penyimpan pada bank yang bersangkutan
kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan tersebut.
(2) Dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang
sah dari Nasabah Penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh
keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 44A Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998, dapat dijelaskan bahwa:
a. Bank wajib membeikan keterangan mengenai simpanan nasabah kepada
pihak penyimpanan yang ditunjuknya, asal ada permintaaan, atau
persetujuan, atau kuasa tertulis dari nasabah penyimpanan yang
bersangkutan, misalnya kepada penasihat hukum mengenai perkara
nasabah penyimpanan.
b. Ahli waris yang sah berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan
nasabah penyimpan bila nasabah penyimpan yang bersangkutan telah
meninggal dunia. Untuk memperoleh keterangan, ahli waris harus
membuktikan sebagai ahli waris yang sah.

Kerahasiaan Bank | 24
7. Pengecualian Terhadap Ketentuan Rahasia Bank di Luar Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan
Selain pengecualian-pengecualian yang telah diuraikan tersebut,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diberikan kewenangan dalam
membuka rahasia bank. Kewenangan tersebut didasarkan pada surat
Mahkamah Agung Nomor KMA/694/RHS/XII/2004 tertanggal 2 Desember
2004 yang ditandatangani oleh Ketua MA Bagir Manan dan ditujukan
kepada Gubernur Bank Indonesia perihal pertimbangan hukum atas
pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait
dengan ketentuan rahasia. Surat keputusan Mahkamah Agung RI tersebut
diterbitkan sebagai jawaban atas Surat Gubernur Bank Indonesia Nomor
6/2GBI/DHk/Rahasia, tanggal 8 Agustus 2004 yang meminta pertimbangan
hukum dari Mahkamah Agung untuk menjawab persoalan kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam membuka rahasia bank.
Dalam Surat Keputusan tersebut, memuat penegasan hukum,
bahwa Pasal 12 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan ketentuan khusus (lex
specialis) yang memberi kewenangan kepada KPK dalam melaksanakan
tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Berdasarkan ketentuan
tersebut, prosedur izin membuka rahasia bank sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 42 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998, tidak berlaku bagi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam maksud bahwa sebagai lex specialis, ketentuan Pasal 12 dapat
mengenyampingkan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang
bersifat umum.
Bahwa oleh karena Pasal 12 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur
secara khusus kewenangan KPK, khususnya Pasal 12 huruf c dan d, dan
pula dengan berpedoman pada asas bahwa ketentuan undang-undang yang

Kerahasiaan Bank | 25
baru mengenyampingkan undang-undang yang lama, maka prosedur izin
membuka rahasia bank sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) dan (3)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo Pasal 42 Undang-undang Perbankan tidak berlaku bagi
KPK.
Pemberian kewenangan untuk menerobos rahasia bank Ketua
Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) adalah suatu terobosan hukum yang
tepat dalam upaya mencegah dan menindak tindak pidana di bidang
perbankan.

H. Sanksi Atas Pelanggaran Rahasia Bank


Pelanggaran rahasia bank adalah perbuatan memberikan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, secara melawan hukum
(bertentangan dengan undang-undang perbankan) atau tanpa persetujuan
nasabah penyimpan yang bersangkutan. Pelanggaran rahasia bank dapat
dilakukan karena paksaan pihak ketiga atau karena kesengajaan anggota dewan
komisaris, direksi pegawai bank, atau pihak terafiliasi lainnya.
1. Paksaan Pihak Ketiga
Paksaan pihak ketiga diatur dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bahwa
“Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan
Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk
memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4
(empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus
miliar rupiah)”.
Ancaman hukuman tersebut mulai dari yang paling rendah sampai
yang paling tinggi. Dengan demikian, apabila terbukti bahwa pihak ketiga
itu secara melawan hukum telah melakukan pemaksaan agar nasabah

Kerahasiaan Bank | 26
penyimpan dan simpanannya, dia tidak akan luput dari hukuman, setidak-
tidaknya hukuman pidana dan denda minimum, yang lama dan jumlahnya
sudah ditetapkan oleh undang-undang.
2. Kesengajaan Pihak Bank atau Pihak Terafiliasi
Kesengajaan pihak bank dilakukan oleh anggota dewan komisaris,
direkis, pegawai bank, atau pihak terafiliasi diatur dalam Pasal 47 ayat (2)
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bahwa
“Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi
lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib
dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda
sekurang kurangnya Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.
Ketentuan mengenai rahasia bank sebagaimana telah diuraikan tersebut
merupakan suatu ketentuan yang menempatkan bank sebagai pihak yang
berkewajiban untuk menjaga segala keterangan yang berhubungan dengan
nasabah penyimpan dan simpanannya.
Pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank tersebut telah diatur
sedemikian rupa dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan berupa ancaman pidana dan denda secara kumulatif.
Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan telah
ditentukan rambu-rambu yang berkenaan dengan pelanggaran rahasia
perbankan sebagaimana tertuang dalam Pasal 47.
Berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan (2) tersebut, menunjukkan
banwa sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda dikenakan kepada siapa
saja yang memaksa bank atau pihak-pihak terafiliasi untuk memberikan
keterangan sebagaimana dimaksud Pasal 40. Sanksi tersebut dikenakan juga
kepada Anggota Dewan Komisaris, direksi, pegawai bank, atau pihak terafiliasi
yang sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut
ketentuan Pasal 40.

Kerahasiaan Bank | 27
Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah, bahwa ketentuan pidana
tersebut bersifat intern ataupun ekstern, yaitu bank ditujukan kepada kalangan
perbankan (komisaris, direksi, seluruh staf, dan terafiliasi) ataupun kepada
pihak luar perbankan.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 47A Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 bahwa “anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang
dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.
Ketentuan Pasal 47A tersebut mengatur mengenai sanksi yang
dikenakan kepada Anggota Dewan Komisaris, direksi, pegawai bank, dan
pihak terafiliasi yang telah mengabaikan kewajibannya untuk memberikan
keterangan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 42A dan Pasal 44A.

I. Contoh Kasus
Sanksi bagi pegawai bank yang memberikan atau menyerahkan
informasi mengenai identitas nasabah penyimpan maupun simpanannya kepada
pihak yang tidak berhak telah diatur oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998. Namun ternyata undang-undang belum mengatur sanksi bagi pihak yang
menggunakan informasi rahasia bank yang perolehan informasi itu dilakukan
secara ilegal. Mungkin saja pengguna informasi rahasia bank itu tidak
memperoleh informasi itu dengan paksa atau dengan cara ilegal, dengan kata
lain diberi secara baik-baik oleh pihak pemberi informasi. Bahkan dapat
diperoleh sebagai hasil laporan masyarakat kepada pihak pengguna informasi
rahasia bank itu dalam rangka pemberantasan KKN di Indonesia. Tetapi yang
jelas, (1) tidak mungkin informasi rahasia bank dapat diperoleh apabila tidak
dibocorkan oleh orang dalam bank (termasuk pihak-pihak terafiliasi lainnya,
seperti misalnya auditor yang melakukan pemeriksaan terhadap bank) atau (2)
sebagai hasil pencurian atas informasi tersebut oleh bukan orang dalam.

Kerahasiaan Bank | 28
Misalnya, apabila ada suatu LSM atau media cetak atau media elektronik yang
menggunakan atau menyiarkan informasi mengenai identitas atau simpanan
suatu nasabah bank yang dilindungi oleh ketentuan rahasia bank yang
diperoleh oleh LSM atau media cetak atau media elektronik itu dari sumber
orang dalam. Bagi orang dalam tersebut jelas dapat dikenai sanksi pidana
karena telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank.
Kita pernah menghadapi 2 (dua) kasus penggunaan informasi rahasia
bank oleh pihak di luar bank yang bukan pihak-pihak yang ditentukan oleh
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai pihak-pihak yang dapat
memperoleh informasi rahasia bank berdasarkan ketentuan pengecualian
(bukan pejabat pajak, pejabat kepolisian, pejabat kejaksaan, hakim, bank lain
dalam rangka informasi antar bank, dan lain-lain).
Kasus yang pertama adalah kasus yang berkaitan dengan rekening
Andi M.Ghalib, Jaksa Agung Non-Aktif, pada Bank LIPPO Cabang Melawai,
yaitu sehubungan dengan kecurigaan telah melakukan tindak pidana korupsi
oleh Andi M. Ghalib. Indonesian Corruption Watch (ICW) telah membeberkan
rekening Andi M. Ghalib, yang belakangan diakui oleh Andi M. Ghalib
sebagai rekening Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI), kepada publik
yang kemudian telah dikutip oleh media cetak dan elektronik. ICW telah
menegaskan bahwa data tersebut diperoleh dari masyarakat. Dengan
pernyataannya itu, ICW tersebut ingin menegaskan bahwa data itu tidak
diperoleh dari pembocoran rahasia bank oleh orang dalam Bank LIPPO.
Kasus kedua bersangkutan dengan apa yang oleh media cetak dan
media elektronik disebut sebagai skandal Bank Bali yang telah melibatkan
Satya Novanto (Wakil Bendahara GOLKAR), Djoko S. Chandra (Pemilik
Mulia Group yang antara lain memiliki Hotel Mulia Jakarta), dan Pande Lubis
(Wakil Ketua BPPN) yang telah diungkapkan oleh Sdr. Prajoto, pakar hukum
perbankan. Dalam kasus kedua tersebut telah terungkap bahwa orang dalam
PT. Bank Negara Indonesia (Persero) telah mengungkapkan adanya
penerimaan uang sebesar Rp.120 miliar untuk rekening atas nama Satya
Novanto pada private banking PT. Bank Negara Indonesia (Persero).

Kerahasiaan Bank | 29
Dari kedua kasus tersebut, terdapat penggunaan informasi rahasia bank
oleh pihak diluar bank yang bukan pihak-pihak yang ditentukan oleh Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai pihak-pihak yang dapat memperoleh
informasi rahasia bank berdasarkan ketentuan pengecualian.
Pada kasus yang pertama, informasi itu mungkin merupakan, (1) hasil
pencurian atas informasi rahasia bank oleh bukan orang dalam bank, sekalipun
tidak menutup kemungkinan, (2) ada orang dalam bank yang memang telah
membocorkan rahasia bank itu. Dari berita-berita di media cetak, informasi
rahasia bank kemungkinan bocornya dari auditor Bank Indonesia yang belum
lama sebelum kejadian pengungkapan oleh ICW atas rekening Andi M. Ghalib
itu, telah melakukan pemeriksaan setempat terhadap Bank LIPPO.
Pada kasus yang kedua informasi rahasia bank itu besar kemungkinan
diperoleh dari orang dalam PT. Bank Negara Indonesia (Persero). Dengan kata
lain, kemungkinan informasi rahasia bank itu diperoleh dari hasil pembocoran
rahasia bank oleh orang dalam PT. Bank Negara Indonesia (Persero) yang
terhadapnya dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 47 ayat (2)
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Kriminalisasi pelanggaran terhadap penggunaan informasi rahasia bank
yang ilegal itu sangat diperlukan sebagai kelengkapan dari pengaturan
kewajiban rahasia bank. Tidak diaturnya secara khusus dan tegas mengenai
sanksi pidana atas penggunaan informasi rahasia bank yang ilegal itu akan
dapat menghambat tercapainya tujuan diadakannya ketentuan mengenai
kewajiban rahasia bank.

Kerahasiaan Bank | 30
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ketentuan Pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 telah
diubah menjadi Pasal 1 angka 28 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan rahasia
bank adalah adalah segala sesuatu yang dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya.
Adapun Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang
mengemukakan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai
Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal
44A.
Namun, ketentuan rahasia bank yang ada telah mengatur mengenai hal-
hal pengecualian tertentu yang memungkinkan untuk dapat diketahuinya suatu
rahasia bank dari seseorang. Adapun mengenai kemungkinan pembukaan
kerahasiaan bank dapat dilakukan apabila adanya suatu kepentingan umum
berupa kepentingan:
1. Perpajakan.
2. Penyelesaian piutang yang ditangani oleh Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (BUMN/PUN).
3. Peradilan, baik untuk perkara pidana maupun perdata.
4. Kepentingan kelancaran dan keamanan kegiatan usaha bank, termasuk di
dalamnya permintaan pembukaan rahasia berdasarkan kuasa dari nasabah
penyimpan itu sendiri atau permintaan ahli waris yang sah.

B. Saran
Walaupun dalam prakteknya sangat jarang ditemukan mengenai kasus
tindak pidana rahasia bank, agar tindakan pencegahan lebih diutamakan agar
rahasia bank tersebut tidak dilanggar. Sebab rahasia bank merupakan suatu hal

Kerahasiaan Bank | 31
yang sangat sensitif baik bagi masyarakat banyak maupun pihak-pihak yang
terlibat.
Pengecualian yang ditegaskan oleh undang-undang membuat beberapa
lembaga berhak mengetahui rahasia bank tersebut. Apabila ada oknum-oknum
yang melakukan tindakan di luar wewenangnya kemudian menyalahgunakan
rahasia bank tersebut, agar lembaga yang diberi wewenang ini melakukannya
dengan professional dan sesuai dengan wewenang masing-masing.

Kerahasiaan Bank | 32

Anda mungkin juga menyukai