IGLAS (Persero)
Kasus
Putusan Pengadilan
o Pengadilan Niaga
Majelis Hakim yang memutuskan perkara tersebut terdiri dari Hj. Rr. Suryadani
(Ketua Majelis), Mulyanto dan H. Ali Makki sebagai hakim anggota, dibantu
panitera pengganti H. Muhammad Isa, pada tanggal 30 Maret 2009 diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh Kuasa Pemohon pailit
dan Kuasa Termohon pailit.
o Mahkamah Agung
Putusan Mahkamah Agung RI dalam Kasasi:
mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon PT. INTERCHEM
PLASAGRO JAYA tersebut;
membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Suarabaya Nomor. 01/pailit/2009/PN. Niaga. Sby, tanggal 31 Maret 2009
Yang menjadi dasar pertimbangan (ratio decidendi) majelis hakim dalam memutuskan perkara
tersebut yaitu karena seluruh asset/harta kekayaan dari Termohon (dalam hal ini PT. IGLAS
(Persero) adalah “milik negara”
Tinjauan atas Masalah dikaitkan dengan keberlakuan pasal-pasal dalam Undang-undang terkait.
Sesuai dengan ketentuan UU No. 37 Tahun 2004 permohonan pailit hanya dapat diajukan
oleh Menteri Keuangan. Karena Pemohon dalam mengajukan permohonan pailit tersebut tidak
memiliki kuasa dari Menteri Keuangan, maka menurut majelis tidak ada dasar hukum dari
Pemohon untuk memohon agar pihak Termohon dinyatakan pailit . Sekalipun permohonan
Pemohon pailit telah nyata dan terbukti memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK dan PKPU 2004 . Selain itu majelis hakim juga
berpedoman pada adanya Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 075 K/Pdt.Sus/2007 tertanggal 22
Oktober 2007.
Majelis Hakim juga menyimpulkan yang alur pikirnya adalah bahwa PT. IGLAS
(Persero) merupakan BUMN yang bergerak di bidang publik, yang berarti sesuai dengan
penjelasan dalam Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU 2004, maka Pemohon pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan dan tidak dapat diajukan oleh pihak lain atau siapapun juga.
Dan kenyataan yang ada melarang adanya penyitaan terhadap aset/harta kekayaan negara
sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Sementara menunjuk kepada UUK dan PKPU Pasal 1 angka 1 bahwa kepailitan semua kekayaan
debitur pailit harus dilakukan sita umum, maka apabila debitor pailit (in cassu/ dalam perkara
ini), maka seluruh harta kekayaannya milik negara akan terbentur pada Pasal 50 UU No. 1 tahun
2004, kecuali permohonan pailit diajukan oleh Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah
dalam otoritas sebagai pemilik kekayaan negara yang dipisahkan dari Bendahara Umum Negara.
Dan kenyataan yang ada melarang adanya penyitaan terhadap aset/harta kekayaan negara
sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara. Sementara menunjuk kepada Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Undang-Undang Kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwa kepailitan
semua kekayaan debitur pailit harus dilakukan sita umum, maka apabila debitor pailit (in cassu/
dalam perkara ini), maka seluruh harta kekayaannya milik negara akan terbentur pada Pasal 50
UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kecuali permohonan pailit diajukan oleh
Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah dalam otoritas sebagai pemilik kekayaan negara
yang dipisahkan dari Bendahara Umum Negara.
Namun saya tidak sependapat dengan dasar pertimbangan yang dipergunakan Majelis
Hakim Pengadilan Niaga Surabaya untuk memutusakan permohonan pailit yang diajukan oleh
PT. INTERCHEM terhadap PT. IGLAS Persero ini. Karena adanya ketidaksinkronan
pemahaman kandungan makna dalam Pasal 2 Ayat (5) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan penjelasannya. Apalagi bila
dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 1 angka 4
yaitu “ Perusahaan Umum yang selanjutnya disebut Perum adalah BUMN yang seluruh
modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham yang bertujuan untuk kemanfaatan umum
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan
berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.”
Kembali kepada kesimpulan majelis hakim yang dijadikan dasar pertimbangan bahwa PT.
IGLAS (Persero) adalah “BUMN yang bergerak di bidang publik”, kesimpulan ini menurut saya
keliru karena PT. IGLAS Persero adalah bukan BUMN yang bergerak di bidang publik.
Alasanya:
1. Merujuk pada penjelasan Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU 2004, bahwa modal PT
IGLAS seluruhnya memang berasal dari kekayaan negara “yang dipisahkan”, namun jelas
terbagi ke dalam saham dan terbukti dimiliki oleh Menteri BUMN negara RI sebesar 63,
82%, dan oleh PT Bank BNI, Tbk. sebesar 36,18%.
2. Karena BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik menurut Pasal 1 angka 4 UU
BUMN jelas menunjuk pada PERUM, sementara PT. IGLAS (Persero) adalah PERSERO
bukan PERUM. Hal ini dapat diketahui dari adanya frase “Perseroan Terbatas” yang
disingkat “PT” didepan nama IGLAS dan kata “Persero” dibelakang nama IGLAS, maka
hal ini telah menunjukkan adanya karakter Pesero sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perusahaan terbatas . Pasal 1
angka 2, Pasal 9 dan Bab II Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
3. Pasal 16 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, menyatakan: “Nama
perseroan harus didahului dengan frase “Perseroan Terbatas” atau disingkat “PT”.
4. Apabila dikaitkan dengan tujuan pendirian BUMN, maka jelas ada perbedaan yang
mendasar, bahwa PERUM bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa barang dan/jasa
yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan
perusahaan (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN),
sementara PERSERO tujuan utamanya mengejar keuntungan (Pasal 1 angka 2 Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN).
Selanjutnya mengenai kesimpulan majelis hakim yang menyatakan bahwa “PT. IGLAS
(Persero) merupakan BUMN yang bergerak di bidang publik, yang berarti sesuai dengan
penjelasan dalam Pasal 2 Ayat (5) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka Pemohon pailit hanya dapat diajukan oleh
Menteri Keuangan dan tidak dapat diajukan oleh pihak lain atau siapapun juga, juga keliru dalam
memahami maksud Pasal 2 Ayat 5 dan penjelasannya.
Maksud dari penjelasan Pasal 2 Ayat (5) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bahwa BUMN yang bergerak dibidang
kepentingan publik adalah BUMN seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas
saham itu maksudnya bukankah itu adalah PERUM. Menurut saya, antara isi Pasal 2 Ayat (5)
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang dengan penjelasannya memang agak kabur (vage norm), karena dalam Pasal 2 Ayat (5)
menyatakan tentang BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik, sementara dalam
penjelasan pasalnya menyebutkan tentang modal BUMN yang dimiliki oleh negara dan tidak
terbagi atas saham. Norma yang kabur/tidak jelas dapat menimbulkan adanya penafsiran yang
berbeda dalam praktik pengadilan kepailitan.
Maka apabila yang mau dimohonkan untuk dipailitkan adalah PERUM harus diajukan
oleh Menteri Keuangan, hal ini oleh Undang-undang dipersamakan dengan BI dan Bapepam
yaitu untuk kepentingan institusi dibawah binaannya. Logikanya ketika bukan BUMN Perum
maka pastilah BUMN Persero. Dan karena Persero yang juga identik dengan PT maka jelas Pasal
2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang berlaku yang menyatakan “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor
dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya” Sehingga untuk mengajukan pailit tidak harus atau
bukanlah oleh Menteri Keuangan, tetapi bisa oleh debitor itu sendiri atau kreditor atau para
kreditor. Maka permohonan pailit yang diajukan oleh Pemohon pailit dalam hal ini PT.
INTERCHEM terhadap PT. IGLAS (Persero) adalah benar dan sudah tepat, bukan harus oleh
Menteri Keuangan, dasar hukumnya jelas yaitu Pasal 2 Ayat (5) . Pasal 2 Ayat (1) sehingga tidak
perlu diinterpretasikan.
Berikutnya, kesimpulan majelis hakim terkait dengan adanya kenyataan yang melarang
untuk “menyita aset milik negara”. Memang benar terhadap aset/harta kekayaan milik negara
tidak dapat dilakukan penyitaan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 50 UU No. 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, sebagai berikut: “Pihak mana pun dilarang melakukan
penyitaan terhadap: (a). uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada
instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga; (b).barang tidak bergerak dan hak kebendaan
lainnya milik negara/daerah”.
Sementara itu kepailitan pada hakekatnya adalah merupakan sita umum (Pasal 1 angka 1
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang). Sehingga terhadap harta kekayaan negara/aset negara tidak bisa di pailitkan. Namun
pertanyaan mendasar yang harus dijawab disini adalah, apakah kekayaan atau aset yang terdapat
pada PT. IGLAS (Persero) merupakan kekayaan negara ataukah kekayaan PT. IGLAS (Persero)
sebagai badan hukum. Merujuk kepada ketentuan Pasal 4 Ayat (1) dan penjelasannnya jis. Pasal
1 angka 2 dan Pasal 11 UU BUMN serta doktrin badan hukum dalam perseroan maka kekayaan
Persero bukanlah merupakan kekayaan negara lagi akan tetapi merupakan kekayaan Perseroan
itu sebagai badan hukum. Sehingga terhadap kekayaan PT. IGLAS (Persero) bukanlah
merupakan kekayaan negara lagi tetapi merupakan kekayaan PT. IGLAS (Persero) itu sebagai
sebuah badan hukum perseroan. Karena terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-
prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas, maka dapat saya katakan bahwa Perseroan itu
identik dengan Perseroan Terbatas (PT). Sehingga semua karakteristik yang ada dalam perseroan
terbatas juga berlaku untuk Persero (BUMN Persero).
Oleh karena Perseroan Terbatas (PT) merupakan badan hukum maka sesuai dengan
adanya doktrin mengenai badan hukum bahwa sebagai sebuah badan hukum melekat atau
mempunyai hak dan kewajiban sendiri. Maka terhadap badan hukum tersebut dalam hal ini
Perseroan juga bisa memiliki harta kekayaan sendiri. Sehingga dalam hal ini, kekayaan yang
terdapat dalam PT. IGLAS (Persero) bukanlah kekayaan atau asset milik negara lagi akan tetapi
merupakan aset atau kekayaan PT. IGLAS (Persero) itu sebagai sebuah badan hukum yang
mandiri.
Yang terakhir, saya tidak sependapat dengan majelis hakim yang berpedoman kepada
Putusan Mahkamah Agung RI No.075 K/Pdt.Sus/2007 tertanggal 22 Oktober 2007. Putusan
tersebut adalah merupakan Putusan Mahkamah Agung yang pada intinya membatalkan Putusan
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atas pailitnya PT. DI (Persero).
Alasannya dikarenakan Putusan Mahkamah Agung RI No. 075 K/Pdt.Sus/2007 tertanggal 22
Oktober 2007, merupakan perkara antara PT. DI (Persero) melawan Heryono, Nugroho, Sayudi
(mantan pekerja PT. DI (Persero), dan pertimbangan hukumnya dikutip dan dijadikan dasar
pertimbangan hukum dalam putusan Judex Factie Perkara No. 01/Pailit/2009/PN. Niaga. Sby.,
tanggal 31 Maret 2009.
Semula PT. DI (Persero) di putus pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, namun
kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam Kasasi yang diajukan oleh PT. DI (Persero)
yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung, sehingga PT. DI (Persero) tidak pailit lagi. Putusan Ma
inilah yang kemudian dijadikan dasar pertimbangan majelis hakim pemutus pada Pengadilan
Niaga pada Pengadilan negeri Surabaya. Yang kemudian dijadikan yurisprudensi dengan
memasukkannya kedalam dasar pertimbangan bahkan dengan tanpa menguraikan substansinya
sama sekali. Sehingga hanya mengutip mudahnya saja tanpa dilandasi dengan ketentuan hukum
yang berlaku sesuai dengan konteks permasalahannya. Antara kepailitan PT. DI (Persero)
dengan PT. IGLAS (Persero) memang ada persamaanya yaitu sama-sama merupakan Badan
Usaha Milik Negara yang berbentuk Persero.Namun meskipun sama-sama Persero tetap ada
perbedaannya. PT. DI (Persero) itu BUMN yang bergerak dalam bidang publik, dalam jasa vital,
untuk kepentingan masyarakat banyak, dan modalnya semua milik negara. Akan tetapi kalau PT.
IGLAS (Pesero) berbeda, modalnya tidak sepenuhnya milik negara karena ada unsur
masyarakat/swastanya dan kegiatan usaha bisnis murni .
Kesimpulan
Terdapat beberapa Kasasi atas keputusan Mahkamah Agung
Analisis/pembahasan terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 397K/Pdt.Sus/2009.
” Bahwa Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 30 Juli 2009, telah mengabulkan
permohonan Kasasi dari Pemohon PT. INTERCHEM PLASAGRO JAYA, dan membatalkan
putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya No. 01/Pailit/2009/PN.”
Dalam memutuskan perkara ini, majelis hakim dalam kasasi pada prinsipnya berpendapat
sama atau membenarkan alasan-alasan yang dikemukakan oleh pemohon pailit dan menyatakan
bahwa Judex Factie/Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya telah salah menerapkan
hukum. Alasan-alasan kasasi atau keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi
itulah yang kemudian menjadi dasar pertimbangan (ratio decidendi) majelis hakim.
1. Termohon Kasasi merupakan BUMN yang modalnya terbagi dalam saham, dimana
kepemilikan sahamnya tidak seluruhnya dikuasai/dimiliki negara, tetapi terbagi dua yaitu:
63, 82% milik Menteri BUMN Negara RI dan 36,18 % milik PT. BNI Tbk. Di mana
saham PT. BNI Tbk. juga sahamnya dimiliki masyarakat/swasta;
2. Tujuan Termohon Kasasi adalah untuk mencari keuntungan; karenanya Pemohon dapat
langsung mengajukan permohonan pailit tanpa harus mendapat izin dan kuasa dari Menteri
Keuangan, karena Termohon bukanlah BUMN sesuai dengan pengertian seperti tercermin
di dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (5) UUK dan PKPU 2004.
3. Selain itu bidang kegiatan Termohon Kasasi tidak secara langsung dimanfaatkan oleh
publik seperti halnya PT. Garuda, PLN, dan Pertamina. Dengan dicantumkannya klausula
“yang bergerak di bidang kepentingan publik”, mengandung arti bahwa tidak semua
BUMN permohonan pailitnya hanya ditujukan oleh Menteri Keuangan.
Berdasarkan putusan Peninjauan kembali ini, saya sependapat terhadap ratio decidendinya.
Namun, apabila terdapat bukti baru yang menyatakan bahwa PT. IGLAS adalah BUMN yang
modalnya 100% milik Negara, kemudian yang awal berdirinya tanggal 4 Agustus 1980 dan
memperoleh status Badan Hukum pada tanggal 28 Januari 19981 seluruh modalnya adalah milik
Negara dan baru pada tahun 2002 ikut penyertaan modal dari BNI karena adanya kegagalan
kredit dari PT. IGLAS dan berdasarkan ketentuan Pasal 7 Huruf C Undang-Undang No 7 Tahun
1992 yang telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
ditentukan bahwa apabila telah berlangsung 5 tahun dan Bank belum berhasil menarik
penyertaan modal tersebut, maka penyertaan modal tersebut wajib dihapus bukukan, akibatnya
modal dari PT. IGLAS yang terdiri dari 63,82% dan Menteri BUMN 36,18% (dari eks modal
BNI) adalah milik negara (100%) oleh karenanya sekarang ini keseluruhan modal PT. IGLAS
adalah miliknya Negara, maka saya sependapat bahwa PT Iglas adalah BUMN yang seluruh
hartanya adalah milik Negara.