Anda di halaman 1dari 22

Muhammad Verman Bayu Putra

F0313062
Kelas B

Analisis Penyelesaian Sengketa


Divestasi Saham melalui Arbitrase
Internasional (Sengketa Pemerintah
Indonesia dengan PT Newmont
Nusa Tenggara)
Dipublikasi padaFebruari 18, 2013olehNin Yasmine Lisasih

KASUS POSISI

Perselisihan
terjadi
antara
Pemerintah RI dengan
Newmont
terkait
divestasi
saham
perusahaan. PT. NNT
mengoperasikan daerah
tambang emas terbesar
kedua di Indonesia. Setiap tahunnya Newmont membayar pajak dan
royalti tambang kepada pemerintah RI yang nilainya triliunan rupiah.
Akuisisi 7% saham Newmont oleh pemerintah RI yang baru saja
dilakukan beberapa minggu lalu menghabiskan biaya 2,7 triliun rupiah
sehingga nilai perusahaan diperkirakan hampir 40 triliun rupiah.
Dengan nilai aset dan pendapatan yang demikian tinggi, wajar bila
saham Newmont menjadi incaran para pebisnis di bidang tambang.
Salah satu grup bisnis Tambang yang sangat menginginkan dan telah
memiliki saham Newmont adalah PT. Bumi Resources,Tbk milik Grup
Bakrie yang dikenal dengan tambang batu bara besarnya di
Kalimantan.
Sesuai Kontrak Karya tahun 1986 yang ditandatangani
Pemerintah RI dan PT. NNT, ada kesepakatan untuk mendivestasikan
mayoritas saham Newmont kepada bangsa Indonesia (dalam kontrak
disebut sebagai Indonesian Participant) setelah 5 tahun masa operasi
tambang. Divestasi direncanakan bertahap dan dilakukan selama 5

tahun, yang semestinya jatuh pada tahun 2006-2010. Singkat kata


divestasi Newmont gagal dilakukan pada masa awal periode tersebut
dan baru dilakukan setelah Pemerintah RI menang dalam kasus
divestasi saham tersebut di pengadilan arbitrase tahun 2009. Saham
sebesar 31% mesti didivestasikan oleh kepemilikan asing Newmont
(yang 20% telah dimiliki PT. Pukuafu Indah, perusahaan swasta
nasional) sehingga Indonesian Participant bisa memiliki 51% saham
perusahaan tambang ini.
Perselisihan terjadi setelah Pemerintah RI menjatuhkan status
default (lalai) kepada Newmont, 11 Februari 2008, karena tidak
kunjung menjual 3% sahamnya untuk periode 2006 dan 7% saham
periode 2007.
Pemerintah menggugat Newmont ke arbitrase internasional
pada 3 Maret 2008. Di hari yang sama, Newmont juga mengajukan
gugatan atas pemerintah. Pada 11 Juli 2008, Newmont mengajukan
arbitrase tambahan terkait divestasi 7% saham yang diwajibkan
kontrak karya. Proses arbitrase berjalan sejak 15 Juli 2008 melalui
korespondensi sampai digelarnya sidang tertutup 3-8 Desember 2008
di Jakarta. Panel terdiri atas tiga anggota. Dua orang adalah ahli hukum
yang masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia, yaitu M
Sonnarajah, dan pihak Newmont (Stephen Schwebel) dan satu ahli
independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert Briner).
Pemerintah Indonesia mengajukan dua tuntutan, yaitu meminta
panel arbitrase agar memutuskan bahwa pemerintah bisa melakukan
terminasi kontrak karya Newmont dengan alasan karena perusahaan
melakukan kelalaian alias default. Apabila terminasi tidak bisa
dilakukan, pemerintah meminta arbitrase memerintahkan Newmont
untuk menjual saham sesuai isi surat Dirjen Mineral Batu Bara dan
Panas Bumi terkait default. Isi surat Dirjen Minerba Pabum itu diacu
oleh arbitrase dalam menetapkan putusan mereka soal pelaksanaan
divestasi. Sebaliknya, Newmont meminta pihak arbitrase untuk
menyatakan pihaknya tidak melakukan kelalaian yang bisa berakibat
pada terminasi kontrak. Meminta arbitrase menentukan apakah first
right of refusal pemerintah sudah tidak berlaku lagi. Dengan alasan itu,
Newmont bisa menjual sahamnya kepada pihak yang diinginkan.
Jaksa Pengacara Negara (JPN) Joseph Suwardi Sabda mengatakan,
panel arbitrase menilai, kesalahan NNT yang lalai dalam melakukan
divestasi 17 persen sahamnya, belumlah fatal sehingga tidak
sebanding jika harus diganjar terminasi kontrak. Kondisinya akan
berbeda apabila porsi saham yang lalai didivestasi itu 50 persen lebih.
Namun, JPN mengatakan, masih ada kemungkinan kontrak NNT diakhiri
jika tidak sanggup mematuhi putusan arbitrase. Sebab sesuai bunyi

kontrak karya, terminasi dapat dilakukan jika perusahaan tidak


sanggup memperbaiki kesalahan sampai batas waktu yang diberikan.
Pemerintah RI sebelumnya menolak karena menilai pengajuan
arbitrase itu belum memenuhi syarat, karena status lalai belum
dijatuhkan, akhirnya menerima penyatuan arbitrase dan dimulai pada
15 Juli 2008. Melalui proses panjang, akhirnya Majelis Arbitrase
Internasional mengeluarkan lima keputusan final pada 31 Maret 2009
yang memenangkan Pemerintah RI.
Pada 31 Maret 2009, Pemerintah Indonesia akhirnya
memenangkan gugatan atas kasus divestasi PT NNT di arbitrase
internasional. United Nation Commission on International Trade Law
(UNCITRAL) dan Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) yang terdiri dari
panel yang dikenal secara internasional, memerintahkan PT NNT untuk
melaksanakan ketentuan pasal 24.3 Kontrak Karya. Mereka juga
menyatakan bahwa PT NNT telah melakukan default (pelanggaran
perjanjian), memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi
17 persen saham, yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3%
dan 7% tahun 2007 kepada pemerintah daerah sedangkan untuk tahun
2008 sebesar 7% kepada Pemerintah Republik Indonesia. Semua
kewajiban tersebut harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah
tanggal putusan arbitrase. Selain itu, saham yang didivestasikan harus
bebas dari gadai (clean and clear) dan sumber dana untuk pembelian
saham tersebut bukan menjadi urusan PT NNT. Newmont juga harus
mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk
kepentingan arbitrase dan harus dibayar dalam tempo 30 hari sesudah
tanggal putusan arbitrase. Perusahaan tambang yang berkantor pusat
di Denver, Colorado itu wajib membayar biaya yang telah dikeluarkan
pemerintah untuk proses arbitrase sebesar AS$ 1,8 juta.
Divestasi saham pada usaha pertambangan asing yang diartikan
sebagai sejumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual
kepada peserta Indonesia dalam Pasal 24 KK disepakati bahwa PT NNT
berkewajiban mendivestasikan sahamnya pada akhir tahun ke-5
sekurang-sekurangnya 15%, pada akhir tahun ke-6 sekurangkurangnya 23%, pada akhir tahun ke-7 sekurang-kurangnya 30%, pada
akhir tahun ke-8 sekurang-kurangnya 37%, pada akhir tahun ke-9
sekurang-kurangnya 44%, dan pada tahun ke-10 sekurang-kurangnya
51%. Semua kewajiban dari perusahaan menurut Pasal 24 ayat (4) KK
akan dianggap dilaksanakan segera sesudah tidak kurang dari 51%
yang diterbitkan dan yang ada pada waktu ditawarkan kepada dan
dibeli oleh peserta Indonesia.

SUBYEK HUKUM

Subjek hukum ialah pembawa hak dan kewajiban menurut hukum.


Subjek hukum ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan,
organisasi, institusi). Ada dua pihak yang terkait dengan sengketa ini
yaitu:

Pemerintah Republik Indonesia sebagai Penggugat


PT. Newmont Nusa Tenggara sebagai Tergugat.

Serta United Nation Commission on International Trade Law


(UNCITRAL) dan Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) yang juga menjadi
subyek hukum sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak dan
kewajiban

TUNTUTAN PENGGUGAT

Pemerintah Indonesia mengajukan dua tuntutan, yaitu :


Meminta panel arbitrase agar memutuskan bahwa pemerintah
bisa melakukan terminasi kontrak karya Newmont dengan alasan
karena perusahaan melakukan kelalaian alias default.
Apabila terminasi tidak bisa dilakukan, pemerintah meminta
arbitrase memerintahkan Newmont untuk menjual saham sesuai isi
surat Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi terkait default.

PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL


Keputusan Arbitrase Internasional tertanggal 31 Maret 2009
memenangkan Pemerintah RI dan memerintahkan PT NNT untuk:
Melaksanakan ketentuan pasal 24 (3) Kontrak Karya tentang
kewajiban mendivestasikan sahamnya.

PT NNT dinyatakan telah melakukan default (pelanggaran


perjanjian) .
Memerintahkan PT. NNT melakukan divestasi 17% saham dari
tahun 2006 2008 kepada pemerintah daerah dan pemerintah
pusat.
Saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai (clean and
clear) dan sumber dana untuk pembelian saham itu bukan menjadi
urusan PT NNT.
Memerintahkan PT NNT mengganti biaya yang sudah
dikeluarkan pemerintah bagi kepentingan arbitrase perkara ini
dalam tempo 30 hari sesudah tanggal putusan arbitrase

IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik suatu


permasalahan-permasalahan hukum yaitu:
Apakah penyelesaian sengketa antara Pemerintah RI dengan PT
Newmont Nusa Tenggara melalui Arbitrase Internasional telah
sesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 1999?
Apakah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing dalam Kasus PT
Newmont Nusa Tenggara telah memenuhi Syarat-Syarat dalam
Pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999 dan ketentuan dalam Konvensi
New York 1958?

LANDASAN TEORI

Abitrase merupakan alternatif penyelesaian sengketa


perusahaan selain mediasi, negoisasi, dan pengadilan. Menurut
Blacks Law Dictionary arbitrase didefinisikan sebagai:
Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgement of
selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to
establish tribunals of justice, and is intended to avoid the
formalities,
the delay,
the expense and vexation of ordinary
litigation.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun
1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di
luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Dilihat dari bentuknya, arbitrase dapat dibedakan menjadi dua,
pertama, Klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Pactum de
compromitendo). Kedua, suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang
dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta kompromis).
Pendapat hukum lembaga arbitrase bersifat mengikat
(binding), oleh karena pendapat tersebut akan menjadi bagian tidak
terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada
lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan
terhadap pendapat hukum tersebut berarti pelanggaran terhadap
perjanjian (breach of contract wanprestasi). Oleh karena itu
tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum
apapun.
Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat,
berkekuatan hukum tetap, sehingga ketua pengadilan tidak
diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan putusan
arbitrase tersebut.
Dalam
jurisprudensi
(keputusan
hakim
terdahulu yang digunakan sebagai dalil untuk memutuskan kasus
serupa) kita mengetahui ada suatu kasus yaitu Arrest Artist de
Labourer, dimana perkara tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri
padahal sudah memuat klausul arbitrase untuk penyelesaian
sengketanya. Sekalipun dalam praktik, masih kerap dijumpai
pengadilan negeri yang melayani gugatan pihak yang kalah dalam
arbitrase.
Arbitrase baik nasional maupun Internasional mempunyai fungsi

dan peran dalam kerangka proses penyelesaian sengketa khususnya


pada perdagangan. Arbitrase merupakan salah satu model
penyelesaian sengketa yang dapat di pilih di antara penyelesaian
sengketa komersial yang tersedia karena arbitrase merupakan tempat
penyelesaian sebagai forum komersial efektif dan Komersial yang
reliable, efisien dan efektif.
Forum arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa secara privat
di antranya dapat di ketahui sebagai berikut:[1]
Kebebasan Kepercayaan, Keamanan yang Arbitrase menarik
berbagai perusahaan, pedagang untuk memberikan kebebasan dan
otonomi yang sangat luas kepada mereka.
Keahlian (expertise) disini para pihak yang bersengketa memiliki
kepercayaan yang lebih besar pada keahlian arbiter mengenai
keahlian yang di sengketakan melalui pengadilan
Cepat dan hemat biaya proses Arbiter tidak terlalu formal
sehingga mekanisme penyelesaian masalah lebih fleksibel. Di
bandingkan dengan proses litigasi di pengadilan. Dengan demikian
maka proses arbitrase lebih mudah dan efisisen. dan juga pada
Arbitrase tidak ada putusan banding atau upaya hukum lainnya.
Bersifat rahasia arbitrase sifatnya melindungi para pihak dari
publisitas yang merugikan serta segala akbiatnya
Pertimbangan putusan arbitrase lebih bersifat privat oleh sebab
itu para arbiter dalam mempertimbangkan penyelesaian arbiter
lebih bersifat privat dari pada bersifat public.
Kecenderungan yang modern di maksudkan bahwa dalam dunia
perdagangan internasional kecenderungan yang terlihat adalah
Liberalisasi peraturan/perundang-undangan arbitrase untuk lebih
mendoorong penggunaan arbitrase dari pada penyelesaian
sengketa dagang melalui badan peradilan umum.
Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat sesuai dengan
kehendak dan niat dari para pihak pelaku bisnis yang menghendaki
putusan penyelesaian pada forum arbitrase bersifat final dan
mengikat (final and binding) kedua belah pihak. Sedangkan putusan
pengadilan masih terbuka berbagai upaya hukum. Sehingga untuk
memperoleh putusan yang tetap perlu waktu yang lama atau cukup
lama.
Pada Arbitrase dikenal dengan teori Keadilan Rawls adil
merupakan sifat yang harus di miliki oleh manusia dalam rangka
membela kepada siapapun tanpa terkecuali walaupun berdampak akan
merugikan dirinya sendiri adil adalah bahwa mempersamakan sesuatu
dengan yang lain baik dari segi nilai maupun dari segi ukuransehingga
dari sesuatu itu tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain.

[2]
Teori Intuisionisme Rawls berpendapat bahwa teori ini dapat
membantu kita dalam proses problem keadilan. Pedekata intuitif bisa
terjadi sangat problematis terutama pada peragamnya sudut pandang
yang bisa diterapkan pada berbagai macam sudut masalah khususnya
pada suatu masalah. Kususnya masalah keadilan dan pasti bukan jalan
keluar yang memadai.
Keadilan pada konteksnya adalah ukuran yang kita pakai dalam
memberikan perlakuan terhadap obyek diluar diri kita. Persoalan
keadilan merupakan masalah yang cukup rumit dan kompleks sebab
menyangkut hubungan pada manusia atau antar manusia dari dari
segala kehidupannya.[3]
Pada Arbtirase pilihan pada forum arbitrase sebagai fenomena
penyelesaian sengketa ialah seperti Alternatif penyelesaian sengketa
(APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR) karena arbitrase pada
dasarnya tergolong kelompok Adjudicatory methods of settlement atau
adjudication yang terdiri dari dua prototype yakni litigasi di pengadilan
dan arbitrase. Sedangkan metode ADR termasuk dalam kelompok nonadjudicatory methods of settlement yang meliputi mediasi konsoliasi
tapi berbeda dengan arbitrase pada arbitrase putusan mengikat final
tapi pada konsoliasi dan mediasi putusan tidak dapat menghasilkan
putusan yang mengikat yang dapat di laksananakan. [4]
Klausul arbitrase ada stabdar-standanya misalkan klausul arbitrase
ICSIDbentuk standar dari yang sederhanan dari Arbitrase.bentuk
standar pada arbitrase ini menunjuk pda arbitrase ICSID dapat di
modofikasi menurut ke inginan para pihak.[5] Pada standart klausula
Arbitrase menurut UNCITRAL (United Nations Commission On
International Trade Law). Dan di kenal dengan Standart klaususulan
menurut menurut ICC. Sedangkan standart klausull menurut ketentuan
nasional di lingkup nasional di Indonesia di kenal dengan forum
Arbitrase BANI.[6]
Dalam menyelesaikan hukum yang di pakai pada Arbitrase
pertama-tama hukum yang di pilih oleh para pihak yang bersengketa
sebagaimana yang bedasarkan perjanjian kontrak/ dokumen kontrak.
Apabila tidak ada hukum yang tegas di pilih oleh para pihak maka
hukum yang di berlakukan adalah hukum yang di buat para pihak yang
telah di perjanjikan di buat atau hal-hal yang lain memberikan petunjuk
pada hukum yang di pakai.
Persyaratan mengenai kasus-kasus khusus untuk pengadilan
menurut Undang-Undang No 30 Tahun 1999 di undangkan sebagai

pengaturan bagi masyarakat dan para arbiter yang menghadapi


penyelesaian sengketa.
Mengenai penyelesaian sengketa dapat di kategorikan pada tiga 3
golongan yang routine tentunya cara ADR :
Penyelesaian sengketa melalui negosiasi berupa negosiasi
bersifat langsung maupun melalui pernytaaan pihak ketiga (mediasi
dan konsoliasi).
Penyelesaian sengketa dengan cara Litigasi baik yang bersifat
nasional Internasional.
Penyelesaian sengketa melaui arbitrase baik yang bersifat adhoc maupun yang melembaga.
Penyelesaian Arbitrase dipilih untuk sengketa kontraktual baik
yang bersifad sederhana maupun yang kompleks) yang dapat di
golongkan menjadi:
Quality Arbitrationyang menyangkut permasalahan factual
(Question Of Fact) dengan sendirinya memerlukan arbiter dengan
kualifikasi yang tinggi
Tehcnical Arbitraion tidak menyangkut permasalahan factual
(ontruction of document) atau aplikasi ketentuan kontrak.
Mixed Arbitrationsengketa baik mengenai permasalahan factual
maupun hukum (Question of law)
Peranan badan arbitrase komersial dalam menyelesaiakan
sengketa isnis sangat penting untuk sekarang ini khususnya pada
bidang perdagangan internasional maupun internasional dewasa ini
sangatlah pemting. Banyak kontrak Internasional yang memasukan
klausulal arbitrase dsan khusus bagi kalangan bisnis cara penyelesaian
sengketa eperti ini sangatlah penting dan memberi ke untungan
sendiri daripada melalui badan peradilan.
Tahap-tahap Arbitrase adanya Klaususl arbitrase, permulaan ada
pendaftaran, persyaratan umum yang harus di pennuhi, adanya
Konstitusi
majelis
arbitrase
(yaitu
jumlah
arbiter,
kewarganegaraan/keahlian
ariter,pemebritauhuan
oleh
arbiter,
prosedur penunjukkan arbiter, keahlian arbiter), dan Proses arbitrase
seperti adanya penyerahan berkas kepada arbiter pemeriksaan, buktibukti, para ahli, proses persidangan,dan yang terakhir putusan
arbitrase yaitu jangka waktu tempat dan bentuk pemberitahuan dan
akibat dari putusan , penentuan biaya dan juga adanya pembetulan
pututsan dan ketetapan?berakhirnya suatu putusan dan perlindungan
dari suatu putusan

ANALISIS
Penyelesaian
Sengketa
Divestasi
Saham antara
Pemerintah
Republik
Indonesia
dengan PT
Newmont Nusa Tenggara dikaji dari UU Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase.
Di zaman sekarang ini, dalam menyelesaikan sengketa, para pihak
dihadap banyak sekali pilihan. Tidak hanya melalui pengadilan, mereka
juga bisa menyelesaikan sengketanya di luar pengadilan atau sering
disebut dengan model Alternative Dispute Resolution (Alternatif
Penyelesaian Sengketa), yang salah satunya termasuk Arbitrase.
Masing-masing media penyelesaian sengketa mempunyai kelebihan
dan kekurangan. Hal tersebut tergantung pada pada beberapa faktor
misalnya jenis dan sifat transaksi; strategi masing-masing pihak
yang bertransaksi dan pelaksanaannya.
Seperti halnya dalam kasus di atas yaitu perselisihan sengketa
antara Pemerintah RI Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara.
Kedua belah pihak dalam menyelesaikan sengketanya memilih
Arbitrase
sebagai
tempat
mencari
penyelesaian
sengketa.
Pemerintah Indonesia mempermasalahkan kelalaian PT Newmont yang
gagal melaksanakan kewajiban divestasi dan menyatakan bahwa
dapat diakhirinya kontrak karya. Pada Pasal 24 ayat 3 Kontrak karya
antara Pemerintah RI dan PT NNT menyatakan bahwa pemegang
saham asing PT NNT diwajibkan menawarkan saham asing PT NNT
sehingga pada tahun 2010 minimal 51% saham PT NNT akan beralih ke
Pemerintah RI atau peserta Indonesia lainnya. Saat ini 80% saham PT
NNT yang mengeksplitasi tambang tembaga dan emas di Batu Hijau,
Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) dikuasai Nusa
Tenggara Partnership (Newmont 45% dan Sumitono 35%). Sisa 20%
dimiliki PT Pukuafu Indah.
Kasus sengketa antara Pemerintah RI versus PT Newmont NNT
terkait dengan tuduhan wan prestasi (cidera janji) yang dilakukan oleh
perusahaan tambang berbasis Amerika Serikat tersebut
telah
melewati sebuah pergulatan hebat di forum arbitrase internasional,
akhirnya putusan arbitrase international memutus PT Newmont NNT

bersalah dan dibebani kewajiban untuk mendivestasikan saham sesuai


dengan prosentase yang tertera dalam perjanjian kontrak karya yang
telah disepakati.
Dalam sidang arbitrase antara Pemerintah RI dengan PT NNT,
31 Maret 2009, diputuskan perusahaan emas asing ini harus
mendivestasi 17% sahamnya pada pihak Indonesia dalam keadaan
bersih dari gadai. Perusahaan asal Nevada AS itu diberi waktu 180 hari
menuntaskan divestasi tersebut, terhitung sejak putusan.
Arbitrase dilangsungkan dengan komposisi majelis arbitrase yaitu,
panel terdiri atas tiga anggota. Dua orang adalah ahli hukum yang
masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia, yaitu M
Sonnarajah warga negara Indonesia dan pihak Newmont (Stephen
Schwebel) dan satu ahli independen yang sekaligus menjadi ketua
panel (Robert Briner). Proses arbitrase antara Pemerintah RI dan PT
Newmont Nusa Tenggara
berjalan sejak 15 Juli 2008 melalui
korespondensi sampai digelarnya sidang tertutup 3-8 Desember 2008
di Jakarta.
Pengertian putusan arbitrase asing, dirumuskan dalam Pasal 1
ayat (1) Konvensi New York 1958. Dalam Pasal ini dijelaskan, yang
dimaksud dengan putusan arbitrase asing (menurut Konvensi ini) ialah
putusan-putusan arbitrase yang dibuat di wilayah negara lain dari
negara tempat dimana diminta pengakuan dan pelaksanaan eksekusi
atas putusan arbitrase yang bersangkutan (made in the territory of a
states other than the states where the recognition and enforcement of
such awards are sought).
UU 30/1999 tentang Arbitrase tidak memberikan pengertian
apakah yang dimaksud dengan Arbitrase Internasional. Namun dalam
Pasal 1 angka 9 UU tersebut diberikan pengertian mengenai Putusan
Arbitrase Internasional, yaitu:
Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh
suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum
Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia
dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.
Didasarkan atas pengertian tersebut maka putusan arbitrase
antara Pemerintah RI dan PT Newmont Nusa Tenggara adalah Putusan
Arbitrase Internasional karena di bawah prosedur arbitrase United
Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL), Majelis
Arbitrase (Arbitral Tribunal) yang terdiri dari panel yang dikenal secara
internasional sehingga dapat dikatakan pula bahwa arbitrase tersebut

adalah arbitrase internasional. Apabila dilihat dari rules yang dipakai,


yaitu rules dari United Nation Commission on International Trade Law
(UNCITRAL), adanya arbitrator asing, maka menunjukkan adanya unsur
asing (foreign elements) dari arbitrase ini yang menyebabkan arbitrase
ini dapat dikatakan sebagai arbitrase internasional.
Perlu diingat, faktor perbedaan kewarganegaraan tidak mutlak.
Tidak mesti persengketaan terjadi antara dua pihak yang saling
berbeda kewarganegaraan. Bisa juga persengketaan terjadi antara
orang-orang atau badan hukum yang memiliki kewarganegaraan yang
sama, asal mereka sepakat persengketaan diselesaikan oleh badan
arbitrase luar negeri. Dalam kasus yang demikian, putusan arbitrase
yang bersangkutan adalah arbitrase asing.[7]
Dilihat dari
kronologis, putusan arbitrase internasional yang memenangkan pihak
penggugat (Pemerintah RI) itu sudah benar adanya, karena
berdasarkan ketentuan perjanjian yang disepakati oleh para pihak,
tercantum klausula perjanjian yang menegaskan adanya kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh PT Newmont untuk mendivestasikan
sahamnya kepada pemerintah daerah. Tetapi kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan oleh Newmont sehingga pemerintah merasa dirugikan
haknya. Mengacu kepada perjanjian yang ada, bahwa setiap sengketa
yang timbul akibat adanya perjanjian itu, maka para pihak sepakat
untuk menyelesaikan melalui lembaga arbitrase internasional.
Langkah hukum yang ditempuh pemerintah RI dengan menggugat
Newmont NNT ke arbitrase internasional sudah tepat dan sesuai
dengan kesepakatan yang tertuang didalam perjanjian kontrak karya.
Meskipun Newmont berkelit dan membantah tudingan melakukan
pelanggaran dengan menunjukan beberapa bukti, bahwa sahamsaham Newmont sedang berada pada posisi tergadaikan sehingga hal
itu menjadi kendala dan menyebabkan tidak terlaksanakanya
kewajiban divestasi tersebut tetapi arbiter yang memimpin
persidangan arbitrase dalam sengketa Pemerintah RI versus PT
Newmont tersebut tidak mau terjebak dalam skenario hukum yang
didalilkan oleh Newmont sehingga mampu menghasilkan pustusan
yang obyektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh
arbitrase.
Berdasarkan peta kasus terlihat bahwa:
Ada kontrak karya pertambangan antara Pemerintah RI dengan
PT Newmont NNT;
Mereka menyepakati klausula kontrak yang ada, hal itu
dibuktikan dengan penandatanganan persetujuan pelaksanaan

kontrak oleh para pihak;


Newmont telah melakukan eksplorasi di lokasi yang menjadi
salah satu obyek perjanjian;
Newmont tidak melaksanakan kewajiban yang telah disepakati
bersama untuk mendivestasikan sahamnya sesuai besaran yang
telah diperjanjikan;
Dalam jangka waktu tertentu Newmont tidak ada iktikad baik
untuk melaksanakan kewajibannya.
Berdasarkan hal tersebut, secara terang menunjukan bahwa
kesalahan berada pada pihak Newmont NNT, sebab terdapat point
dalam klausula perjanjian yang menyebutkan bahwa Newmont
berkewajiban mendivestasikan saham pertambangan dan itu tidak
dilaksanakan oleh Newmont. Sehingga secara hukum Newmont
dianggap telah melakukan breanch of contract (pelanggaran terhadap
kontrak). Hal tersebut berarti bahwa kemenangan yang diperoleh oleh
pemerintah RI melalui putusan arbitrase itu sesuai dengan kaidah
hukum dan asas keadilan.
Obyektifitas para arbiter yang memimpin persidangan dan
memutus perkara ini patut diapresiasi positif oleh dunia internasional,
khususnya oleh para pelaku bisnis. Hal tersebut menunjukan bahwa
arbitrase merupakan alternative penyelesaian sengketa yang efektif
dan creadible. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam
undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
alternative penyelesaian sengketa. Pesimisme memang seringkali
muncul ketika menghadapi persoalan hukum di lembaga internasional.
Hal tersebut disebabkan oleh lemahnya kemampuan para ahli hukum
kita dalam penguasaan aspek-aspek hukum internasional dan
argumentasi hukum. Dengan adanya putusan arbitrase ini berarti
secara hukum posisi pemerintah sangat kuat untuk menuntut hakhaknya dari PT Newmont NNT. Dasarnya adalah, bahwa berdasarkan
asas yang dianut dalam hukum arbitrase, putusan arbitrase itu sifatnya
final and binding sehingga tidak ada upaya hukum lain yang bisa
ditempuh apabila suatu kasus telah diputus oleh persidangan
arbitrase.
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing dalam Sengketa
Divestasi antara Pemerintah RI dengan PT Newmont Nusa
Tenggara.
Kegagalan divestasi pada periode tahun ke enam dan ke tujuh
menyebabkan tertundanya pelaksanaan divestasi wajib ini. Sehingga
pemerintah Indonesia mengenakan status lalai dan berujung pada
penetapan wanprestasi pada Arbitrase dalam negeri. Sesuai dengan

perjanjian kontrak karya yang di dalamnya terdapat ketentuan


pelaksanaan tempat menurut Pasal 22 ayat 3 akan diadakan di Jakarta
kecuali kedua belah pihak mufakat memilih tempat lain.
Klausula arbitrase bukanlah merupakan suatu perjanjian
bersyarat, oleh karena itu dalam pelaksanaannya tidak digantungkan
kepada suatu kejadian tertentu di masa yang akan datang serta tidak
dipersoalkan mengenai masalah pelaksanaan perjanjian tetapi hanya
mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara para pihak yang
berselisih tersebut. Klausula arbitrase ini merupakan tambahan yang
diletakkan pada perjanjian pokok, itu sebabnya disebut sebagai
perjanjian assesoir yang berisi mengenai persyaratan khusus
mengenai cara penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian
pokok. Dan tidak menyimpangi ketentuan pada Pasal 22 ayat 3 ini,
karena arbitrase yang berdimensi internasional lebih sering dihunakan
oleh kalangan bisnis lintas negara. Maka kondisi ini dapat dipahami
apabila dua pihak dalam perjanjian dari negara yang berbeda akan
merasa penyelesaian sengketa dalam pengadilan di negara salah satu
pihak dapat menimbulkan ketidakpercayaan, maka akan lebih baik
apabila akan diselesaikan oleh badan arbitrase internasional yang
berpusat di negara lain yang dianggap netral.
Karena alasan menggeruk keuntungan sebanyak-banyaknya
perusahaan swata asing di Indonesia berkecenderungan untuk
menghindari adanya pembagian keuntungan apalagi yang dibagikan
cukup besar dengan penjualan sekitar 1,5 milyar dollar lebih pada
tahun 2005. Nilai penjualan tersebut cenderung meningkat seiring
dengan peningkatan harga emas dan tembaga di pasaran
Internasional. Dengan skema divestasi saham sebagaimana yang
diatur pada Pasal 24,4. Perjanjian kontrak pada PT NNT dengan
pemerintah Indonesia, maka dalam tiga tahun ke depan PT NNT, telah
dimiliki oleh mayoritas nasional dengan andil sebesar 51% saham.
Untuk melaksanakan putusan arbitrase ini diperlukan penetapan
melalui Pengadilan Negeri. Untuk pelaksanaan putusan arbitrase dapat
dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri yang telah dilaporkan oleh arbiter
yang menyerahkan putusan arbiter selambat-lambatnya 30 (tiga puluh
hari) sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik
putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau
kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Pendaftaran dan pencatatan ini kegunaannya ialah untuk
kepentingan atas pelaksanaan putusan Arbitrase tersebut, jika salah
satu pihak dalam putusan arbitrase tersebut tidak melaksanakan
putusan arbitrase tersebut secara sukarela. Dalam hal yang demikian

maka atas permohonan dari pihak yang berkepentingan terhadap


pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, Ketua Pengadilan Negeri
dimana putusan tersebut didaftarkan dan dicatat, dapat menjatuhkan
perintah pelaksanaan putusan arbitrase.
Perintah pelaksanaan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan
Negeri, diberikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera
Pengadilan Negeri, sebelum memberikan perintah pelaksanaan,
diberikan hak untuk memeriksa terlebih dahulu apakah putusan
arbitrase tersebut telah diambil dalam suatu proses yang sesuai:[8]
Arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa dan memutuskan
perkara telah diangkat oleh para pihak sesuai dengan kehendak
mereka;
Perkara yang diserahkan untuk diselesaikan oleh arbiter atau
majelis arbitrase tersebut adalah perkara yang menurut hukum
memang dapat diselesaikan dengan arbitrase; dan
Putusan yang dijatuhkan tersebut tidak bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum.
Seperti uraian yang telah dikemukakan di depan, arbitrase
menjanjikan penyelesaian yang cepat serta tidak melibatkan badanbadan Negara dalam mengambil putusan. Sehingga banyak negara
telah menyetujui pemakaian arbitrase dalam menyelesaikan
perselisihan perdagangan antar negara. Terhadap putusan yang telah
dijatuhkan oleh arbiter tersebut, dan kemudian akan dapat
dilaksanakan di negara dimana putusan tersebut seharusnya
dijalankan. Hingga saat ini dikenal beberapa konvensi tingkat
internasional yang berisikan kesepakatan dari para peserta konvensi
tersebut untuk menerima, mengakui dan melaksanakan setiap
keputusan arbitrase di negara peserta konvensi yang telah meratifikasi
konvensi tersebut. Konvensi yang pertama berkaitan dengan
perselisihan dalam bidang penanaman modal yaitu ICSID Convention,
yang kedua berhubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan semua
putusan arbitrase asing di Indonesia yaitu New York Convention 1958.
New York Convention menyatakan adanya pengakuan dan
pelaksanaan dari setiap putusan arbitrase yang di ambil di luar wilayah
negara dimana putusan tersebut akan dilaksanakan. Hal tersebut
tertuang dalam ketentuan Pasal 3 Konvensi New York. Hal ini
merupakan pengakuan pada setiap negara yang telah meratifikasi
Konvensi New York agar memperlakukan semua putusan arbitrase
yang diambil di Negara lain seolah-olah sebagai putusan arbitrase
dalam negeri.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur ketentuan


mengenai arbitrase internasional hanya mengenai aspek putusannya
atau eksekusinya, tetapi sama sekali tidak menyebutkan definisi dari
arbitrase internasional. Menurut Munir Fuady, arbitrase internasional
yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
sebenarnya adalah arbitrase asing.[9]
Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Konvensi New York 1958
yang mempersoalkan putusan eksekusi arbitrase asing (foreign arbitral
award), bukan hanya arbitrase Internasional. Bahkan dalam sejarah
hukum arbitrase di Indonesia, juga yang dikenal adalah eksekusi
putusan arbitrase asing. Hal ini terlihat dengan adanya Keputusan
Presiden Nomor 43 Tahun 1981 yang mengesahkan berlakunya
Konvensi New York 1958 maupun dengan adanya Peraturan Mahkamah
Agung (Perma) Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing. [10]
Dihadapkan kepada badan peradilan di Indonesia yang dianggap
belum mampu dalam permasalahan transaksi bisnis Internasional,
sesuai dengan keputusan pemerintah mengajukan kegagalan divestasi
PT NNT kepada arbitrase internasional maka akan timbul pertanyaan
mengenai keraguan pelaksanaan putusan pengadilan asing di
Indonesia. Sesuai dengan prinsip hukum acara yang berlaku di
Indonesia, keputusan hakim asing tidak dapat serta merta
dilaksanakan di Indonesia. Pengadilan di Indonesia hanya dapat
menggunakan keputusan tersebut sebagai salah satu bahan atau bukti
dalam memberikan keputusannya sendiri dalam suatu perkara baru
yang diajukan ke hadapan pengadilan tersebut. Dalam hubungannya
dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase maka perlu
diperjanjikan bahwa putusan arbitrase tersebut final and binding,
yaitu tidak bisa dimintakan banding ke pengadilan. Walaupun sudah
ditetapkan bahwa penyelesaian sengketa akan dilaksanakan melalui
arbitrase , tidak jarang salah satu pihak tetap mengajukan
perselisihannya ke Pengadilan, namun Mahkamah Agung RI konsisten
dengan kompetensi ablosut yaitu apabila para pihak telah
memperjanjikan arbitrase sebagai tempat sengketa, pengadilan tidak
mempunyai wewenang untuk memeriksa perkara yang diajukan
kepadanya.
Menurut Pasal V Konvensi New York 1958 tentang pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase Luar Negeri, meyatakan bahwa negara
yang diminta untuk melaksanakan putusan arbitrase luar negeri dapat
menolak melaksanakannya karena beberapa alasan. Untuk lebih
jelasnya berikut adalah petikan dari Pasal V Konvensi New York 1958:

Recognition and enforcement of the award may be refused, at

the request of the party against whom it is invoked, only if that


party furnishes to the competent authority where the recognition
and enforcement is sought, proof that:
a)
The parties to the agreement referred to in article II were, under
the law applicable to them, under some incapacity, or the said
agreement is not valid under the law to which the parties have
subjected it or, failing any indication thereon, under the law of the
country where the award was made; or
b)
The party against whom the award is invoked was not given
proper notice of the appointment of the arbitrator or of the arbitration
proceedings or was otherwise unable to present his case; or
c)
The award deals with a difference not contemplated by or not
falling within the terms of the submission to arbitration, or it contains
decisions on matters beyond the scope of the submission to
arbitration, provided that, if the decisions on matters submitted to
arbitration can be separated from those not so submitted, that part of
the award which contains decisions on matters submitted to arbitration
may be recognized and enforced; or
d)
The composition of the arbitral authority or the arbitral procedure
was not in accordance with the agreement of the parties, or, failing
such agreement, was not in accordance with the law of the country
where the arbitration took place; or
e)
The award has not yet become binding on the parties or has been
set aside or suspended by a competent authority of the country in
which, or under the law of which, that award was made.
2. Recognition and enforcement of an arbitral award may also be
refused if the competent authority in the country where recognition
and enforcement is sought finds that:
a)
The subject matter of the difference is not capable of settlement
by arbitration under the law of that country; or
b)
The recognition or enforcement of the award would be contrary to
the public policy of that country.
Selanjutnya Pasal VI Konvensi ini juga menegaskan kembali
mengenai penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal V ayat (1)
huruf e dengan menyatakan bahwa:
If an application for the setting aside or suspension of the award has

been made to a competent authority referred to in article V (1) (e), the


authority before which the award is sought to be relied upon may, if it
considers it proper, adjourn the decision on the enforcement of the
award and may also, on the application of the party claiming
enforcement of the award, order the other party to give suitable
security.
Berdasar ketentuan yang terdapat dalam Konvensi New York Pasal
V tersebut, dapat disimpulkan bahwa putusan arbitrase luar negeri
tidak dengan serta merta dapat dilaksanakan di negara dimana
putusan tersebut dimohonkan untuk dieksekusi sebelum memenuhi
prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam konvensi ini. Dan
putusan arbitrase Internasional dapat merupakan salah satu bahan
yang akan ditindaklanjuti dengan memohonkan penyelesaian perkara
kepada pengadilan di Indonesia.
Indonesia, melalui dikeluarkannya Keppres No. 34 tahun 1981,
telah menjadi anggota dalam Konvensi New York 1958 tentang
Penerimaan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, yang mana atas
dasar artikel 3 konvensi tersebut Indonesia harus menerima dan
melaksanakan putusan arbitrase asing yang akan dilaksanakan atau
dieksekusi di wilayahnya. Dalam kasus di atas eksekusi putusan
arbitrase dapat dilakukan karena alasan untuk melakukan penolakan
sebagaimana yang tercantum Pasal V dan VI Konvensi New York 1958
tidak terpenuhi.
Selain hal tersebut, berdasarkan Pasal 66 UU No. 30 tahun 1999
tentang Arbitrase, maka ada beberapa syarat suatu putusan arbitrase
asing/internasional dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia:
Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau
majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia
terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral,
mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional.
Indonesia dan Swiss, negara dimana putusan dijatuhkan, terikat dalam
perjanjian multilateral yaitu pada konvensi New York 1958, yang mana
Swiss telah meratifikasi konvensi tersebut pada tanggal 1 Juni 1965.
Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dalam huruf a
terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia
termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
Putusan arbitrase dalam kasus ini merupakan putusan atas sengketa

divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara yang dalam klasifikasi


hukum di Indonesia masuk dalam lingkup hukum perdagangan
(commercial law)
Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada
putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Masalah ketertiban umum (Public Order/Public Policy) adalah sesuatu
yang sudah cukup lama diperdebatkan oleh ahli hukum, khususnya
dalam hukum perdata internasional. Tidak adanya ketentuan yang
baku mengenai batas-batas suatu ketertiban umum selalu
menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Pasal 4 ayat (2) Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing secara tidak langsung
memberikan definisi dari ketertiban umum di Indonesia yaitu sebagai
sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di
Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah sendi-sendi asasi
yang dimaksud dan sejauh apakah pelanggaran terhadap sendi-sendi
asasi tersebut.
Beberapa ahli hukum menyatakan bahwa dengan ditabraknya sendisendi asasi di suatu negara maka akan menimbulkan kegoncangan
yang luar biasa hebat dari suatu negara. Adanya putusan dari arbitrase
yang mengharuskan PT Newmont Nusa Tenggara melakukan divestasi
sahamnya tampaknya masih terlalu jauh untuk dikatakan sebagai
putusan yang menggoncangkan sendi-sendi asasi di Indonesia.
Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia
setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah
satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakaan setelah
memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Kasus PT NNT melibatkan langsung Negara Republik
Indonesia karena PT NNT adalah badan usaha yang menjalankan
usahanya di Indonesia.
Atas dasar telah memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 66 UU
30/1999 maka seharusnya putusan arbitrase dalam kasus ini dapat
dilaksanakan dalam wilayah hukum Republik Indonesia

SIMPULAN

Berdasarkan analisis di atas maka dapat disimpulkan sebagai


berikut:
Didasarkan atas pengertian Pasal 1 angka 9 UU N0. 30 Tahun
1999 maka putusan arbitrase antara Pemerintah RI dan PT
Newmont Nusa Tenggara adalah Putusan Arbitrase Internasional
karena di bawah prosedur arbitrase United Nation Commission on
International Trade Law (UNCITRAL), dan Majelis Arbitrase (Arbitral
Tribunal) yang terdiri dari panel yang dikenal secara internasional
sehingga rules yang dipakai ialah rules dari United Nation
Commission on International Trade Law (UNCITRAL), adanya
arbitrator asing, maka menunjukkan adanya unsur asing (foreign
elements) dari arbitrase ini dapat dikatakan pula bahwa arbitrase
tersebut adalah arbitrase internasional.
Indonesia melalui dikeluarkannya Keppres No. 34 tahun 1981,
telah menjadi anggota dalam Konvensi New York 1958 tentang
Penerimaan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, yang mana
atas dasar artikel 3 konvensi tersebut Indonesia harus menerima
dan melaksanakan putusan arbitrase asing yang akan dilaksanakan
atau dieksekusi di wilayahnya. Dalam kasus di atas eksekusi
putusan arbitrase dapat dilakukan karena alasan untuk melakukan
penolakan sebagaimana yang tercantum Pasal V dan VI Konvensi
New York 1958 tidak terpenuhi. Selain hal tersebut, atas dasar
telah memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 66 UU 30/1999 maka
seharusnya putusan arbitrase dalam kasus ini dapat dilaksanakan
dalam wilayah hukum Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Gary Goodpaster, felix, fatma jatim. Tinjauan Terhadap Arbitrase
Dagang secara umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia. Ghalia
Indonesia. Jakarta.1995.
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002
Huala

Adolf.

Arbitrase

Komersial

Internasional.

Raja

Grafindo

Persad.Jakarta. 2005.
Munir Fuady, Arbitrase Internasional : Alternatif Penyelesaian Sengketa
Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000
Priyatna Abdurrasyid. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Fikahati Aneska. JAkarta. 2002.
Satjipto Rahartdjo. Ilmu Hukum, Alumni. Bandung. 1996.
Sajtjipto Rahardjo. Hukum Masyarakat dan Pembangunan. Alumni.
Bandung 1989.
Sofyan Mukhtar. Mekanisme Alternatif Bagi Penyelesaian Sengketa
Perdata Dagang. Varia peradilan No 48.1999.
Sudargo Gautama. Kontrak Dagang Internasional. Alumni Bandung.
1976.
Yahya Harahap, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
Sumber dari Peraturan Perundang-Undangan
Undang Undang No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitase.
Keppres Nomor 43 Tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi New York
1958.
Perma nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing.
Konvensi New York Tahun 1958

[1] Gary Goodpaster, felix, fatma jatim, Tinjauan Terhadap Arbitrase


Dagang secara umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta,1995 , hlm 19-22
[2]Satjipto Rahartdjo, Ilmu Hukum, Alumni. Bandung. 1996, Hal-51
[3] Sajtjipto Rahardjo, Hukum Masyarakat dan Pembangunan, Alumni,
Bandung, 1989, Hal 106

[4] Sofyan Mukhtar, Mekanisme Alternatif Bagi Penyelesaian Sengketa


Perdata Dagang,Varia peradilan No 48.1999. Hal 126
[5] Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Alumni, Bandung,
1976, hal-151.
[6] Huala Adolf, Arbitrase Komersial
Persada, Jakarta, 2005, Hal 21-25

Internasional,Raja

Grafindo

[7] Yahya Harahap, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.21


[8] Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002, hlm. 142
[9] Munir Fuady, Arbitrase Internasional : Alternatif Penyelesaian
Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 183.
[10] Ibid, hlm 184

Anda mungkin juga menyukai