BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mengamati kegiatan bisnis yang jumlah transaksinya ratusan setiap hari tidak mungkin
dihindari terjadinya sengketa antar pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu
menutut pemecahan dan penyelsaian yang cepat.
Makin banyak dan luas kegiatan perdagangan frekuensi terjadi sengketa makin tinggi. Ini berarti
makin banyak sengketa harus diselsaikan.
Membiarkan sengketa dagang terlambat diselsaikan akan mengakibatkan perkembangan
pembangunan tidak efisien, produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami kemandulan dan
biaya produksi meningkat. Konsumen adalah pihak yang paling dirugikan, disamping itu
peningkatan kesejahteraan dan kemajuan sosial kaum pekerja juga terhambat
Kalaupun akhirnya hubungan bisnis ternyata menimbulkan sengketa di antara para pihak
yang terlibat, peranan penasihat hukum dalam menyelsaikan sengketa itu dihadapkan pada
alternative.
Secara konvensional, penyelsaian sengketa biasanya dilakukan secara litigasi atau
penyelsaian sengketa dimuka pengadilan. Dalam keadaan demikian, posisi para pihak yang
bersengketa sangat antagonistis (saling berlawanan satu sama lain). Penyelsaian sengketa bisnis
model ini tidak direkomendasikan. Kalaupun akhirnya ditempuh, penyelesaian itu semata-
matasebagai jalan terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain diniali tidak
membuahkan hasil. Proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu yang lama
mengakibatkan perusahaan atau para pihak yang bersengketa mengalami ketidakpastian. Cara
penyelsaian seperti itu tidak diterima dunia binis melalui lembaga peradilan tidak selalu
menguntungkan secara adil bagi kepentingan para pihak yang bersengketa.
Sehubungan dengan itu perlu dicari dan dipikirkan cara dan sistem penyelsaian sengketa
yang cepat, efektif dan efisien. Untuk itu harus dibina dan diwujudkan suatu sistem penyelesaian
sengketa yang dapat menyesuaikan diri dengan laju perkembangan perekonomian dan
perdagangan di masa datang. Dalam menghadapi liberalisasi perdagangan harus ada lembaga
yang dapat diterima dunia bisnis dan memiliki kemampuan sistem menyelsaikan sengketa
dengan cepat dan biaya murah.
Di samping model penyelesaian sengketa konvensional secara konvensional melalui
litigasi sistem peradilan, dalam praktik di Indonesia dikenalkan pula model yang relatif baru.
Model ini cukup populer di Amerika Serikat dan Eropa yang dikenal dengan nama ADR
(alternative dispute resolution) yang diantaranya meliputi negoisasi, mediasi dan arbitrase.
Penggunaan model ADR dalam penyelesaian sengketa secara non-litigasi tidak menutup peluang
penyelesaian makalahadedidiikirawan deperkara tersebut secara litigasi. Penyelesaian sengketa
secara litigasi tetap dipergunakan manakala penyelesaian secara nonlitigasi tersebut tidak
membuahkan hasil. Jadi penggunaan ADR adalah sebagai salah satu mekanisme penyelesaian
sengketa diluar pengadilan dengan mepertimbangkan segala bentuk efesiensinya dan untuk
tujuan masa yang akan datang sekaligus menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa.
1.2 Rmusan Masalah
Dalam makalah ini akan membahas beberapa hal terkait latar belakang di atas
diantaranya :
1. Apa pengertian dari sengketa bisnis?
2. Bagaimana urgensi alternatif penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia, dan prosedur apa saja
yang digunakan dalam penyelesaian sengketa bisnis tersebut?
3. Bagaimana model-model penyelesaian sengketa bisnis?
1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui apa itu sengketa bisnis.
2. Untuk Mengetahui bagaimana urgensi alternatif penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia, dan
prosedur yang di gunakan dalam penyelesaian sengketa bisnis
3. Untuk Mengetahui bagaimana model-model penyelesaian sengketa bisnis.
1.4 Manfaat
Manfaat yang didapat dari makalah ini adalah:
1. Mahasiswa dapat menambah pengetahuan tentang Sengketa dalam bisnis.
2. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana cara penyelesaian dari sngketa bisnis, dan
prosedur apa saja yang digunakan.
3. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana model-model penyelesaian sengketa bisnis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sengketa Bisnis
Pengertian sengketa bisnis menurut Maxwell J. Fulton “a commercial disputes is one
which arises during the course of the exchange or transaction process is central to market
economy”. Dalam kamus bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik
berarti adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau organisasi terhadap satu objek
permasalahan.
Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu – individu atau
kelompok – kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek
kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dngan yang lain.
Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang
berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat
menimbulkan akibat hukum antara keduanya.
Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku pertentangan
antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan
karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku pertentangan
antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan
karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk
kerja sama bisnis. mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat, maka tidak mungkin
dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan
berbagai alasan dna masalah yang melatar belakanginya, terutama karena adanya conflict of
interest diantara para pihak. Sengketa yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam
berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis. Secara rinci
sengketa bisnis. Secara rinci sengketa bisnis dapat berupa sengketa sebagai berikut :
1. Sengketa perniagaan
2. Sengketa perbankan
3. Sengketa Keuangan
4. Sengketa Penanaman Modal
5. Sengketa Perindustrian
6. Sengketa HKI
7. Sengketa Konsumen
8. Sengketa Kontrak
9. Sengketa pekerjaan
10. Sengketa perburuhan
11. Sengketa perusahaan
12. Sengketa hak
13. Sengketa property
14. Sengketa Pembangunan konstruksi
b. Non Litigasi
merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan tidak menggunakan
pendekatan hukum formal. Lembaga penyelesaiannya melalui mekanisme :
1) Arbitrase : merupakan cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (pasal 1
angka 1 UU No.30 Tahun 1999). Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin)
yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
Yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata yang bersifat
swasta di luar pengadilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa, di mana pihak penyelesai sengketa (arbiter) tersebut
dipilih oleh para pihak yang bersangkutan. Yang terdiri dari orang-orang yang tidak
berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan, orang-orang mana akan memeriksa dan
memberi putusan terhadap sengketa tersebut.
Orang yang bertindak untuk menjadi penyelesai sengketa dalam arbitrase disebut dengan
“arbiter” =. Arbiter ini, baik tunggal mauoun majelis yang jika majelis biasanya terdiri dari 3
(tiga) orang. Di Indonesia syarat-syarat untuk menjadi arbiter adalah sebagai berikut :
1. Cakap dalam melakukan tindakan hukum.
2. Berumur minimal 35 (tiga puluh lima) tahun.
3. Tidak mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah
satu pihak yang bersengketa.
4. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase.
5. Mempunyai pengalaman atau mengusai secara aktif dalam bidangnya paling sedikit selama 15
(lima belas) tahun.
6. Hakim, jaksa, paniteran, dan pejabat peradilan lainnya tidak boleh menjadi arbiter.
Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk
menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para
pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil,Tanpa adanya formalitas atau
prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.
Selain itu Pengertian arbitrase juga termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang
Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999: “Lembaga Arbitrase
adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat
mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa: ”Sengketa yang
dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang
menurut hukum makalahadedidiikirawandan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup
hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi
pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa
sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan
penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat
mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut makalahadedidiikirawanakan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada
lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang
diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract -
wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum
apapun.
Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa
alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.
Sejarah Arbitrase :
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa
makalahadedidiikirawansebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan.
Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de
Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement
Buiten Govesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of
de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan
diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14
tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat
dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di
luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetapmakalahadedidiikirawan
diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah
memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.
Objek Arbitrase :
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui
lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5
ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yangmakalahadedidiikirawan menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan,
keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU
Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketamakalahadedidiikirawan
yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam
KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan
permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja
dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase
ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta
prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu
disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan
arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai
aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The
International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The
International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan
tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai
berikut:
"Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase
BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,sebagai keputusan
dalam tingkat pertama dan terakhir".
Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade
Law) adalah sebagai berikut:
"Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini,
atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase
sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul
arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan
apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa
saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.
2) Negosiasi : sebuah interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling
menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan untuk mendapatkan solusi dari yang
dipertentangkan.
Pola Perilaku dalam Negosiasi:
Moving against (pushing): menjelaskan, menghakimi, menantang, tak menyetujui, menunjukkan
kelemahan pihak lain.
Moving with (pulling): memperhatikan, mengajukan gagasan, menyetujui, membangkitkan
motivasi, mengembangkan interaksi.
Moving away (with drawing): menghindari konfrontasi, menarik kembali isi pembicaraan,
berdiam diri, tak menanggapi pertanyaan.
Not moving (letting be): mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian pada “here and
now”, mengikuti arus, fleksibel, beradaptasi dengan situasi.
Ketrampilan Negosiasi:
Mampu melakukan empati dan mengambil kejadian seperti pihak lain mengamatinya.
Mampu menunjukkan faedah dari usulan pihak lain sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam
negosiasi bersedia mengubah pendiriannya.
Mampu mengatasi stres dan menyesuaikan diri dengan situasi yang tak pasti dan tuntutan di luar
perhitungan.
Mampu mengungkapkan gagasan sedemikian rupa sehingga pihak lain akan memahami
sepenuhnya gagasan yang diajukan.
memahami latar belakang budaya pihak lain dan berusaha menyesuaikan diri dengan keinginan
pihak lain untuk mengurangi kendala.
Teknik Negoisasi
Secara umum terdapat beberapa cara teknik negoisasi yang dikenal dapat dibagi kedalam:
1) tahap negoisasi kompetitip
2) tahap negoisasi koperatif
3) tahap negoisasi lunak dan keras
4) tahap negoisasi interest based
3) Mediasi : Negosiasi dengan bantuan pihak ketiga. Dalam mediasi yang memainkan peran utama
adalah pihak-pihak yang bertikai. Pihak ketiga (mediator) berperan sebagai
pendamping,pemangkin dan penasihat.
Prosedur Untuk Mediasi :
Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis hakim
membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator berikut
pihak-pihak yang berperkara tersebut.
Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini
diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak yang
berperkara.
Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22 harus
menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan. Jika terdapat perdamaian,
penetapan perdamaian tetap dibuat oleh majelis.
Mediator :
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri-ciri penting dari mediator adalah :
1) Netral
2) Membantu para pihak
3) Tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian
Jadi, peran mediator hanyalah membantu para pihak dengan cara tidak memutus atau
memaksakan pandangan atau penilaiannya atas masalah-masalah selama proses mediasi
berlangsung kepada para pihak.
Tugas Mediator :
1) Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihakuntuk
dibahas dan disepakati.
2) Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan terpisah selama
proses mediasi berlangsung.
4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan
mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak
Daftar Mediator
Demi kenyamanan para pihak dalam menempuh proses mediasi, mereka berhak untuk
memilih mediator yang akan membantu menyelesaikan sengketa.
1) Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua Pengadilan menyediakan daftar
mediator yang sekurang-kurangnya memuat 5(lima) nama dan disertai dengan latar belakang
pendidikan atau pengalaman dari para mediator.
2) Ketua Pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah memiliki sertifikat dalam daftar
mediator.
3) Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada hakim dan bukan hakim yang
bersertifikat, semua hakim pada pengadilanyang bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar
mediator.
4) Kalangan bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan agar namanya ditempatkan dalam daftar mediator pada pengadilan yang
bersangkutan.
5) Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan menempatkan nama
pemohon dalam daftar mediator.
6) Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui daftar mediator.
7) Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama mediator dari daftar mediator berdasarkan
alasan-alasan objektif, antara lain karena mutasi tugas, berhalangan tetap, ketidakaktifan setelah
penugasan dan pelanggaran atas pedoman perilaku.
Honorarium Mediator :
1) Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya.
2) Uang jasa mediator bukan Hakim ditanggung bersama oleh para pihak berdasarkan kesepakatan
para pihak.
4) Konsiliasi : Usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai
persetujuan dan menyelesaikan perselisihan tersebut.
5) Konsultasi
6) Penilaian Ahli
Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi:
a. bertujuan mencapai kompromi yang maksimal,
b. pada kompromi, para pihak sama-sama menang atau win-win,
c. oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang mutlak.
c. Sistem Concilition
Konsolidasi (conciliation), dapat diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai.
Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada
hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
a. pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai conciliator
atau majelis pendamai,
b. setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan
mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan
yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang
ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim.
Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific
seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat
menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melelui konsiliasi daripada
mengajukan ke pengadilan.
Di negara-negara yang dikemukakan di atas, lembaga konsiliasi merupakan rangkaian
mata rantai dari sistem penyelesaian sengketa dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. pertama; penyelesaian diajukan dulu pada mediasi
b. kedua; bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian melalui minirial
c. ketiga; apabila upaya ini gagal, disepakati untuk mencari penyelesaian melalui kosolidasi,
d. keempat; bila konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan ke arbitrase.
Memang, setiap kegagalan pada satu sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung
diajukan perkaranya ke pengadilan (ordinary court). Misalnya, mediasi gagal. Para pihak
langsung mencari penyelesaian melalui proses berperkara di pengadilan. Akan tetapi pada saat
sekarang jarang hal itu ditempuh. Mereka lebih suka mencari penyelesaian melalui sistem
alternatif, daripada langsung mengajukan ke pengadilan. Jadi di negara-negara yang disebut di
atas, benar-benar menempatkan kedudukan dan keberadaan pengadilan sebagai the last resort,
bukan lagi sebagai the first resort.
Biasanya lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian kegiatan lembaga arbitrase,
arbitrase institusional, bertindak juga sebagai conciliation yang bertindak sebagai conciliator
adalah panel yang terdaftar pada Arbitrase Institusional yang bersangkutan:
a. sengketa yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada umumnya meliputi sengketa bisnis,
b. hasil penyelesaian yang diambil berbentuk resolution, bukan putusan atau award (verdict),
c. oleh karena itu, hasil penyelesaian yang berbentuk resolusi tidak dapat diminta eksekusi ke
pengadilan,
d. dengan demikian, walaupun resolusi memeng itu bersifat binding (mengikat) kepada para pihak,
apabila salah satu pihak tidak menaati dengan sukarela tidak dapat diminta eksekusi ke
pengadilan. Dalam hal yang seperti itu penyelesaian selanjutnya harus mengajukan gugatan ke
pengadilan.
d. Sistem Adjudication
Sistem Adjudication merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang
baru berkembang di beberapa negara. Sistem ini sudah mulai populer di Amerika dan Hongkong.
Secara harafiah, pengertian “ajuddication” adalah putusan. Dan memang demikian
halnya. Para pihak yang bersengketa sepakat meminta kepada seseorang untuk menjatuhkan
putusan atas sengketa yang timbul diantara mereka:
a. orang yang diminta bertindak dalam adjudication disebut adjudicator
b. dan dia berperan dan berfungsi seolah-olah sebagai HAIM (act as judge),
c. oleh karena itu, dia diberi hak mengambil putusan (give decision).
Pada prinsipnya, sengketa yang diselesaikan melalui sistem adjudication adalah sengketa
yang sangat khusus dan kompleks (complicated). Tidak sembarangan orang dapat
menyelesaiakan, karena untuk itu diperlukan keahlian yang khusus oleh seorang spesialis
profesional. Sengketa konstruksi misalnya. Tidak semua orang dapat menyelesaikan. Diperlukan
seorang insinyur profesional. Di Hongkong misalnya. Sengketa mengenai pembangunan
lapangan terbang ditempuh melalui lembaga adjudication oleh seorang adjudicator yang benar-
benar ahli mengenai kontruksi lapangan terbang.
Proses penyelesaian sengketa meleui sistem ini, sangat sederhana. Apabila timbul
sengketa:
a. para pihak membuat kesepakatan penyelesaian melaui adjudication,
b. berdasar persetujuan ini, mereka menunjuk seorang adjudicator yang benar-benar profesional,
c. dalam kesepakatan itu, kedua belah pihak diberi kewenangan (authority) kepada adjudicator
untuk mengabil keputusan (decision) yang mengikat kepada kedua belah pihak (binding to each
party),
d. sebelum mengambil keputusan, adjudicator dapat meminta informasi dari kedua belah pihak,
baik secara terpisah maupun secara bersama-sama.
e. Sistem Arbitrase
Mengenai arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada
tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai salah satu
sistem alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam adua abad.Sekarang semua
negara di dunia telah memiliki Undang-undang arbitrase.
Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian,
umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh karena itu, aturan
yang terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika dibandingkan dengan perkembangan
kebutuhan.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain
tadi, seperti:
a. sederhana dan cepat (informal dan quick),
b. prinsip konfidensial,
c. diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental,
sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication.
Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai
berikut:
a. Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian
arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya
yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus
dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari: (a)
Biaya administrasi (b) Honor arbitrator. (c) Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator (d)
Biaya saksi dan ahli. Komponen biaya yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial.
Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan
tanpa biaya atau nominal cost.
b. Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa
melalui arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion quickly. Jadi prinsipnya
informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya
sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula
penyelesaian yang memakan waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan
tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang
disepakati atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian
bertambah rumit dan panjang.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan
dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
a. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation
simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
b. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
c. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang
terlembaga.
Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun
perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan
sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
a. Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan
sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
b. Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan
masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-
ketentuan kontrak.
c. Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact and
law).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang
menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu
diantara keduanya.
2. tembok-tembok yuridis yang sukar ditembusi oleh para pencari keadilan, khususnya jika pencari
keadilan tersebut adalah pelaku bisnis dengan sengketa yang menyangkut dengan bisnis. Maka
mulailah dipikirkan alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan sengketa, diantaranya adalah
lewat badan arbitrase.
3. Model-model penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut:
a. Sistem Mediation
b. Sistem Minitrial
c. Sistem Concilition
d. Sistem Adjudication
e. Sistem Arbitrase
3.2 Saran
Perlu ditekankan dalam melakukan perikatan dengan kontrak atau perjanjian harus dibuat
secara matang dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan resiko yang terjadi. Dalam
pembuatannya pun perlu melibatkan pihak hukum yang ahli sehingga jika terjadi hal di luar
perjanjian dapat langsung diselesaikan.
Dalam penyelesaian sengketa, sebaiknya mengutamakan musyawarah atau negosiasi
yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Selain lebih murah, efisien waktu,
kerahasiaan tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
1. `http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/penyelesaian-sengketa-ekonomi-makalah-aspek-
hukum-dalam-ekonomi/, (diakses pada tanggal 15/12/2014, pukul 20.25 WIB).
2. http://sepengetahuan-ku.blogspot.com/2012/11/penyelesaian-sengketa-bisnis.html, (diakses pada
tanggal 15/12/2014, pukul 20.30 WIB)
3. http://edwinpatimoeraya.blogspot.com/2012/04/penyelesaian-sengketa-ekonomi.html, (diakses
pada tanggal 15/12/2014, pukul 20.55 WIB)
4. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/penyelesaian-sengketa-ekonomi-makalah-aspek-
hukum-dalam-ekonomi/
5. Silondae, Arus Akbar. Aspek hukum dalam ekonomi dan bisnis. mitra wacana media. 2010
6. http://www.ekomarwanto.com/2011/05/arbitrase-dan-alternatif-penyelesaian.html
http://artikelterbaru.com/hukum/penyelesaian-sengketa-20111263.html