TENTANG
LEASING
Editor
Tana Mantiri, S.H., M.H.
KATA PENGANTAR
Leasing merupakan pranata hukum yang mirip sewa-menyewa, tetapi
mengandung unsur-unsur jual-beli dan perjanjian pinjam-meminjam. Meskipun
masih relatif baru namun sudah cukup populer dalam dunia bisnis dewasa
ini. Melalui leasing, perusahaan dapat memperoleh barang modal dengan
mudah tanpa adanya jaminan. Dibandingkan dengan pranata hukum lain
yang sejenis, leasing memberikan beberapa kemudahan yaitu: fleksibel,
biaya relatif murah, menghemat pajak, prosesnya sederhana dan banyak
kelonggaran bagi lesse.
Dalam upaya pembinaan hukum nasional, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, mengganggap perlu untuk melakukan Kompilasi bidang hukum
tentang Leasing. Maksud dari kegiatan ini adalah untuk mengumpulkan
atau mengkompilasi berbagai hukum tertulis dan hukum kebiasaan yang
berkaitan dengan leasing dalam tujuan untuk menyediakan bahan guna
membentuk hukum nasional khususnya tentang Leasing.
Penerbitan hasil kompilasi ini dilaksanakan, di samping untuk menambah
jumlah referensi hukum tentang leasing yang masih relatif sedikit, juga
agar dapat tersebarluaskan kepada Anggota Jaringan Dokumentasi dan
Informasi Hukum (JDIH) di seluruh wilayah nusantara. Dengan demikian,
dapat dicari dan ditemukan dengan mudah untuk digunakan, ditanggapi
dan dikembangkan lebih lanjut oleh berbagai kalangan khususnya kalangan
hukum.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada tim yang dipimpin oleh
Sdr. Dr. Nurwidiatmo, S.H., M.M., M.H., dan semua pihak yang berperan
aktif sehingga buku ini dapat diterbitkan.
iii
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................
A. Latar Belakang ........................................................
B. Maksud dan Tujuan .................................................
C. Ruang Lingkup .........................................................
D. Metode Pendekatan .................................................
1
1
4
5
5
7
7
12
13
17
17
24
29
29
41
BAB V
53
53
57
59
LAMPIRAN ..................................................................................
67
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku,
sasaran bidang hukum dalam rencana pembangunan jangka menengah
nasional tahun 2004-2009, telah ditetapkan sasarannya, yaitu: Terciptanya
sistem hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif,
terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat
pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegakkan
hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan
kembali kepercayaan hukum masyarakat.
Dalam kemajemukan tatanan hukum itu, peranan hukum tertulis dan
hukum kebiasaan, khususnya hukum kebiasaan yang berkaitan dengan
Leasing mempunyai peranan yang cukup besar pula dalam pembentukan
hukum nasional.
Oleh karena itu, sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk menciptakan
sistem hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif, maka
dengan meningkatnya hasil produksi dewasa ini kiranya perlu ditingkatkan
pula perdagangan dalam negeri maupun luar negeri, antara lain dengan
menyempurnakan lembaga-lembaga perdagangan dan penyediaan bahan
kebutuhan pokok serta bahan penting lainnya sehingga lebih menjamin
penyebarannya secara merata dan terjangkau oleh masyarakat.
Perkembangan masyarakat yang sedang membangun ini membawa
tendensi timbulnya macam-macam perjanjian yang biasanya mempunyai
korelasi yang erat dengan keadaan masyarakat maupun situasi-situasi
yang kurang menguntungkan bagi pihak produsen. Realita inilah yang
menuntut manusia untuk tidak henti-hentinya mencari jalan lain supaya
dapat mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya. Demikian halnya sehingga
timbul perjanjian seperti perjanjian sewa beli (leasing/huur koop) atau
sewa guna usaha agar golongan ekonomi lemah dapat memiliki barang
dengan harga cicilan. Tetapi sesungguhnya sewa beli dengan sewa guna
usaha adalah kedua transaksi yang berbeda. Sewa beli ada didomain jual
beli dan sewa, sementara leasing ada didomain pembiayaan. Sewa beli,
peralihan terjadi demi hukum setelah masa sewa selesai. Sementara
pada leasing, peralihan hanya terjadi manakala lessee menggunakan hak
opsinya.
Salah satu sebab yang mengakibatkan timbulnya perjanjian sewa
beli (leasing) atau sewa guna usaha belakangan ini banyak diresahkan
oleh para pengusaha, karena pasaran barang hasil industri semakin
menyempit, hal ini disebabkan karena daya saing semakin ketat antara
perusahaan-perusahaan yang sejenis, sedangkan daya beli masyarakat
secara kontan semakin berkurang, untuk menjaga kontinuitas hasil
produksinya maka para pengusaha berusaha mencari jalan keluar, yakni
melalui lembaga sewa beli atau sewa guna usaha.
Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 bahwa segala
badan negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku selama belum
diadakan yang baru, oleh karena itu hukum perjanjian dalam KUHPerdata
yang menganut sistem hukum terbuka masih tetap dipakai dengan asas
kebebasan berkontrak.
Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menyatakan bahwa: Semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya, artinya: setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian
apa saja baik yang sudah diatur dalam undang-undang maupun yang
belum diatur dalam undang-undang, sehingga banyak bermunculan perjanjianperjanjian bentuk baru yang menggambarkan maksud dan kehendak
masyarakat yang selalu dinamis, hal ini tidak mengherankan karena manusia
selalu mencari kepuasan dengan berbagai cara.
Maksud dan kehendak perjanjian sewa beli atau sewa guna usaha
ini tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa: suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh
undang-undang atau ketertiban umum, jadi kalau isi dan tujuan dari perjanjian
bertentangan dengan undang-undang atau ketertiban umum, maka perjanjian
apapun juga tidak diperbolehkan. Begitu pula perjanjian sewa beli
(leasing/huur koop) atau sewa guna usaha sejauh mana isinya tidak
berlawanan dengan undang-undang dan ketertiban umum, maka perjanjian
sewa beli (leasing/huur koop) atau sewa guna usaha tetap di perbolehkan.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari pada kegiatan kompilasi ini lebih menekankan
pada kajian hukum tertulis dan hukum kebiasaan dan permasalahanpermasalahan hukum yang berkaitan dengan praktik leasing.
D. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan dalam penyusunan kompilasi ini adalah melalui
pengumpulan data sekunder, yaitu dengan melakukan pengumpulan peraturan
perundang-undangan, hasil-hasil penelitian, analisis dan evaluasi hukum,
pengkajian, karya ilmiah, hasil pertemuan ilmiah, hukum kebiasaan serta
hasil diskusi para anggota tim.
BAB II
PENGERTIAN DAN SEJARAH
PERKEMBANGAN LEASING
Pengertian Leasing
Istilah Leasing berasal dari kata lease yang berarti sewa
menyewa. Jadi leasing merupakan bentuk derivatif dari sewa
menyewa. Akan tetapi kemudian dalam dunia bisnis berkembang
sewa menyewa dalam bentuk yang lebih spesifik yang disebut
leasing dan telah berubah fungsinya menjadi salah satu jenis pembiayaan.
Leasing tidak dapat dipisahkan dengan aktivitas lembaga pembiayaan,
dan leasing adalah salah satu bentuk dari sekian bentuk bidang usaha
yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan, yaitu modal ventura,
perdagangan surat berharga, usaha kartu kredit dan pembiayaan
konsumen. Sedangkan lembaga pembiayaan itu sendiri suatu badan
usaha yang di dalam melakukan kegiatan pembiayaan modal bentuk
penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana
secara langsung dari masyarakat.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan Presiden No. 61 Tahun
1988, memang benar masih digabungkannya leasing dengan modal
ventura sebagai salah satu bidang usaha dari lembaga pembiayaan,
namun dalam Pasal 2 Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 lembaga
pembiayaan meliputi 3 perusahaan, yaitu:
1. Perusahaan Pembiayaan;
2. Perusahaan Modal Ventura; dan
3. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.
Di mana dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa leasing merupakan salah
satu kegiatan usaha dari perusahaan pembiayaan.
Dalam beberapa peraturan terkait dirumuskan pengertian
leasing sebagai berikut:
1.
2.
b.
c.
Pembiayaan perusahaan
Awalnya memang leasing dimaksudkan sebagai usaha memberikan
kemudahan pembiayaan kepada perusahaan tertentu yang
memerlukannya, dalam perkembangannya, leasing dapat juga
diberikan kepada perorangan;
b.
c.
d.
2.
Nilai sisa
Sisa merupakan besarnya jumlah uang yang harus dibayar kembali
kepada lessor di akhir masa berlakunya leasing atau pada saat
lessee mempunyai hak opsi. Nilai sisa biasanya sudah lebih
dahulu ditentukan dalam kontrak leasing.
10
11
12
13
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
14
15
16
BAB III
PRAKTIK LEASING DI INDONESIA
A. Perjanjian Leasing
Leasing, sebagai salah satu alternatif pembiayaan memberikan
kemudahan-kemudahan dibandingkan pembiayaan melalui pinjaman dari
bank. Dalam praktik bisnis para pengusaha sering mengadakan perjanjian
hanya berdasarkan kepercayaan saja, secara lisan dan/atau dengan perjanjian
di bawah tangan saja. Dan penggunaan jaminan dalam suatu perjanjian
financial lease merupakan suatu hal yang sangat penting.
Perjanjian financial lease adalah tidak sama dengan perjanjian sewamenyewa, perjanjian barang dengan menyicil. Penggunaan jaminan dalam
perjanjian leasing merupakan hal yang penting, karena merupakan
pengamanan (security) dan perjanjian itu sendiri dibuat dalam bentuk
akta otentik.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memberikan
asas-asas untuk digunakan sebagai pedoman dan menjadi rambu-rambu
dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat. Salah satu
asas tersebut adalah asas konsensualitas. Pada dasarnya suatu perjanjian
yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih telah mengikat telah
melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih, dalam perjanjian tersebut.
Berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam
KUHPerdata, maka para pihak yang mengadakan perjanjian sesuai
kehendak masing-masing, dengan syarat tidak bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Dalam ranah hukum, sewa menyewa atau sewa guna usaha (leasing) merupakan perbuatan perdata yang dapat dilakukan oleh suatu subjek
hukum (orang dan badan hukum). Jadi tidak menjadi unsur penting apakah
badan hukum tersebut BUMN (Badan Usaha Milik Negara) atau swasta;
Hal yang paling penting adalah subjek hukumnya sudah berbadan hukum.
Pengertian dari sewa guna usaha atau leasing itu sendiri adalah kegiatan
17
18
2.
3.
2.
2.
3.
4.
5.
19
6.
7.
8.
20
2.
3.
2.
21
Bentuk
Perusahaan
Pemilik
Barang
Jangka
Waktu
Besarnya
Pembiayaan
Biaya Bunga
Leasing
Barang
bergerak &
tidak bergerak
Badan Hukum
Sewa beli
Sewa menyewa
Barang
Barang bergerak
bergerak
perlu
pemeliharaan
Supplier
Supplier
Kredit bank
Semua jenis
investasi
Perusahaan
Leasing
Menengah
Pemilik
Barang
Pendek
Debitur
100%
80%
Bunga+
Margin
Akhir kontrak Menggunakan
hak opsi untuk
membeli
seharga nilai
kreditor sisa;
Memperpanjang kontrak;
Mengembalikan kepada
lessor
Tinggi
Barang
menjadi
milik
penyewa
Pemilik Barang
Bank
Menengah/Pendek Pendek/Mene
/Panjang
ngah
Lebih rendah
80%
Bunga+Margin
Spread
Barang kembali
kepada pemilik
Interbank rate
+
Kredit lunas;
Jaminan
kembali
22
Pembiayaan penuh
Transaksi leasing sering dilakukan tanpa uang muka dan dapat diberikan
sampai 100% (seratus persen);
2.
Lebih fleksibel
Perjanjian leasing lebih luwes karena perjanjian leasing mudah
menyesuaikan keadaan keuangan lessee dibandingkan perbankan.
3.
4.
5.
Arus dana
Persyaratan pembayaran uang muka yang relatif kecil dan keluwesan
pengaturan pembayaran sewa berpengaruh positif pada arus dana,
terlebih apabila ada pertimbangan kelambatan menghasilkan laba
dalam investasi.
6.
7.
8.
Kapitalisasi biaya
Adanya biaya-biaya tambahan selain harga perolehan seperti biaya
penyerahan, instalasi pemeriksaan, konsultan, percobaan dan sebagainya
yang masuk ke dalam biaya modal dapat dibiayai dalam leasing dan
dapat disusutkan berdasarkan lamanya masa leasing.
9.
Risiko keusangan
Melalui sistem operating lease yang memerlukan jangka waktu
yang relatif pendek dapat Lessee dapat terhindar dari risiko keusangan.
23
24
ekonomis barang tersebut, atau barang niaga tahan lama, baik yang baru
maupun yang bekas tetapi tidak mengalami perubahan teknis.
Di Indonesia leasing atau usaha jasa sewa beli sudah dikenal sejak
tahun 1980. Pada saat ini kegiatan usaha tersebut telah berkembang dan
meningkat dengan pesat terutama objek leasingnya sejalan dengan
perkembangan di sektor industri khususnya kendaraan bermotor roda
dua dan empat, rumah tinggal dan peralatan kantor. Begitu juga dengan
barang-barang elektonik, dan perabot rumah tangga. Produk industri/
barang-barang tersebut sangat berkembang dan bervariasi sesuai dengan
perkembangan zaman.
Dalam perjanjian leasing barang-barang yang menjadi objek leasing
ialah barang-barang modal/alat-alat produksi, antara lain terdiri atas:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Mobil;
Pesawat terbang;
Motor;
Bus;
Peralatan pengeboran;
Peralatan listrik;
Forklit dan truk;
Pembangkit tenaga listrik;
Peralatan telpon;
Perkakas tenun/tekstil;
Peralatan bengkel;
Peralatan kantor;
Komputer;
Mesin-mesin percetakan;
Mesin-mesin untuk pertambangan;
Peralatan rumah sakit;
Peralatan untuk industri baja;
Peralatan untuk industri perkayuan;
Peralatan pesawat terbang (piere prevot, 1984:8).
25
2.
3.
2.
Dalam hal barang-barang yang dilease itu didatangkan dari luar negeri,
apabila dianggap perlu, maka barang tersebut oleh perusahaan
leasing yang bersangkutan dapat diekspor kembali setelah jangka
waktu berakhir dengan syarat-syarat tersendiri.
26
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10. Lessee membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal
yang telah disepakati.
27
28
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA LEASING
Budi Rachmad, Multi Finance. (Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2002), Hlm. 23.
29
30
31
dan diduga telah dijual atau digelapkan oleh VBM (dalam hal ini
Slamet Riadi), yaitu barang-barang berupa: Lift katrol, steam
boiler, alat pembuka baut, alat cek tekanan ban, charger battery
dan battery tester, pompa ban dan alat penyemprot angin serta
satu buah mobil Mitsubishi L300 Pick Up.
Pada saat dilakukan inventarisir itupun diketahui hampir semua
barang-barang yang disewagunausahakan oleh VBM kepada
BISF nilainya tidak sesuai (lebih tinggi dari nilai sebenarnya)
berdasarkan taksiran dari pihak appraisal yang ditunjuk oleh
BISF.
Sementara itu pihak Pengadilan Negeri (PN) Kota Kediri
atas permohonan kuasa hukum Slamet Riadi alias Sie Ping Tjing
telah mengeluarkan izin untuk melakukan penyitaan paksa terhadap
aset VBM, terhadap itu Kejaksaan Negeri (Kejari) Kediri
memprotes izin Pengadilan Negeri (PN) Kota Kediri tersebut
karena aset tersebut dinilai masih berstatus dalam sengketa.
Menurut Kepala Kejari Kediri Arifin Sahibu, di Kediri, upaya
penyitaan paksa itu menyalahi aturan karena barang-barang bukti
itu seharusnya terkait dengan persoalan pidana terdakwa Slamet
Riadi alias Sie Ping Tjing dalam kasus korupsi yang sudah dalam
proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Kediri
Protes keras itu disampaikan Arifin menyusul upaya paksa
penyitaan oleh PN Kota Kediri atas permohonan kuasa hukum
Slamet Riadi, Ari Purwanto SH,. Mengapa PN kota berani seperti
itu, padahal kasusnya sudah dilimpahkan ke PN Kabupaten.
Barang-barang yang disita itu statusnya leasing milik PT Bringin
Indotama Sejahtera Finance (BISF). Upaya sita paksa tersebut
akhirnya dibatalkan karena pihak PT Bringin Indotama Sejahtera
Finance keberatan dan mengajukan surat ke Kejaksaan Agung.
Menurut Kepala Kejari Kediri Arifin Sahibu, saat penyitaan
bulan Mei 2002, istri Slamet dan perwakilan dari PT Bringin
Indotama Sejahtera Finance hadir. PT Bringin Indotama Sejahtera
Finance, juga sudah menawarkan jika Slamet ingin menguasai
barang-barang itu, ia harus melunasi utang-utangnya. Namun
tawaran tersebut tidak dapat disanggupi, dan PT Bringin Indotama
32
33
34
35
36
37
Jika dilihat dari tujuan hukum pidana adalah untuk menakutnakuti setiap orang yang melakukan tindak pidana. Artinya, setiap
38
orang yang akan melakukan tindak pidana maka orang itu akan
berpikir untuk melakukannya.2 Antara lain adalah:
1.
2.
39
8.
9.
40
41
42
43
44
3.
4.
5.
6.
7.
Pengadilan Negeri:
Hakim Pertama yang mengadili perkara ini, memberikan
pertimbangan yuridis sebagai berikut:
1. Dalam eksepsinya, Tergugat II, mengemukakan bahwa Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang memeriksa perkara ini,
45
2.
2.
3.
Penyelesaian Kasus
46
Negosiasi
Upaya penyelesaian di luar pengadilan di mana para pihak
yang bersengketa melakukan perundingan dan pembahasan
tentang permasalahan yang dihadapi dengan memberikan
47
Konsiliasi
Pihak yang bersengketa memanfaatkan bantuan pihak ketiga
yang independen untuk bertindak sebagai konsiliator
(penengah) dengan menggunakan berbagai prosedur, teknik,
dan keterampilan untuk membantu para pihak dalam
menyelesaikan sengketa mereka melalui perundingan.
Konsiliator mempunyai kewenangan untuk membuat
keputusan yang bersifat anjuran. Oleh karena itu bentuk
penyelesaiannya adalah putusan yang bersifat anjuran.
d.
Pendapat ahli
Meminta pendapat ahli dalam hal terjadinya perbedaan
penafsiran terhadap maksud, isi dan pelaksanaan perjanjian,
yang mana pendapat ahli tersebut dijadikan acuan untuk
penyelesaian perkara.
Ahli yang dimintakan pendapat merupakan kesepakatan
para pihak, dipandang memiliki pengetahuan dan pengalaman
48
Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Arbitrase merupakan proses penyelesaian
perselisihan yang diakui oleh undang-undang dimana salah
satu pihak atau lebih menyerahkan sengketanya dengan satu
pihak lain atau lebih kepada satu orang arbiter atau lebih
dalam bentuk majelis arbiter ahli yang profesional yang akan
bertindak sebagai hakim/wasit yang akan menerapkan tata
cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata
cara hukum perdamaian yang telah disepakati bersama oleh
para pihak terdahulu untuk sampai pada putusan yang terakhir
dan mengikat.
Langkah-langkah lainnya yang dapat dilakukan oleh lessor dalam
penanganan leasing bermasalah yaitu:
49
50
C. Analisis
Umumnya kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi memicu
lahirnya perbuatan-perbuatan melawan hukum baru, yang penyelesaiannya
tidak hanya menuntut diberlakukan sanksi pidana saja tetapi juga bisa
sanksi administrasi dan perdata. Inilah yang merupakan pemicu (triger)
lahirnya beberapa undang-undang baru, seperti Undang-Undang Perbankan,
Perseroan Terbatas, Hak Atas Kekayaan Intelektual dan Undang-Undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kesemua undang-undang baru tersebut
dikenal sebagai hukum fungsional (functioneel rechtsgebeid). Artinya
undang-undang seperti ini memiliki tiga macam aspek hukum dan sekaligus
tiga macam sanksi, yaitu administrasi, perdata dan pidana. Dengan demikian,
pelaku perbuatan melawan hukum dalam hukum fungsional dapat dikenakan
sanksi administrasi, perdata dan pidana. Tetapi karena hukum fungsional
tidak diiringi dengan hukum acara, maka proses gugatan dan penuntutan
mempergunakan hukum acara dari hukum konvensional. Artinya bila
pelaku perbuatan melawan hukum dalam hukum fungsional hendak digugat
secara perdata, maka gugatan dan prosesnya harus merujuk kepada
HIR dan Rbg. Sedangkan bila dituntut secara pidana, maka penuntutan
pelaku harus berpedoman kepada KUHAP.
Pertanyaan yang timbul di sini adalah apakah pelaku perbuatan melawan
hukum dalam hukum fungsional dapat dikenakan ketiga sanksi sekaligus?
Kalau jawabannya boleh, maka timbul pertanyaan susulan: Apakah
penjatuhan tiga sanksi sekaligus (administrasi, perdata dan pidana) tidak
melanggar asas nebis in idem (dalam hukum pidana, seseorang tidak
boleh dihukum dua kali karena perbuatan melawan hukum yang sama).
Untuk pertanyaan pertama, jawabannya adalah bahwa pelaku perbuatan
melawan hukum undang-undang fungsional dapat dikenakan ketiga macam
sanksi sekaligus karena bentuk hukumannya berbeda satu sama lainnya.
Sanksi administrasi dapat berupa sanksi ringan berupa teguran, denda
administrasi dan terberat pencabutan izin. Sedangkan sanksi perdata dapat
berupa tindakan pemulihan dan ganti rugi, yang diberikan berdasarkan
gugatan perdata dari korban yang dirugikan. Sedangkan sanksi pidana
dapat berupa penjara dan denda, yang dijatuhkan berdasarkan tuntutan
jaksa.
51
52
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1.
2.
3.
53
rumah tinggal dan peralatan kantor (perabotan rumah tangga; barangbarang elektronik).
4.
5.
b.
54
55
56
Saat ini sewa guna usaha merupakan salah satu cara perusahaan
memperoleh aset atau kepemilikan atas barang modal tanpa harus
melalui proses yang berkepanjangan. Semuanya telah diatur oleh
lembaga pembiayaan yang disediakan oleh berbagai perusahaan, namun
satu hal yang perlu menjadi perhatian khusus, agar dalam pencatatan
atau pencantuman nama pemilik dalam surat-surat bukti kepemilikan
benda bergerak yang dijadikan jaminan sewa guna usaha tidaklah
diatasnamakan lessee terlebih dahulu sebelum terjadi pelunasan
pembayaran nilai angsuran sewa. Pengertian ini tidak sejalan dengan
pengertian leasing secara keseluruhan, di mana dalam leasing tidak
terjadi pelunasan pembayaran nilai angsuran sewa yang terjadi di
mana terjadi peralihan hak kepemilikan adalah manakala lessee
mengambil opsi beli pada financial lease.
2.
57
3.
4.
58
DAFTAR PUSTAKA
59
Subrata Suparto Wignya, Perkembangan dan Tantangan Usaha Leasing di Indonesia, Bandung: Intermasa, 1986.
Suyatmi Sri dan J. Sidarta, Problematika Leasing di Indonesia, Jakarta:
Artika Media Cipta, 1992.
Subroto Thomas, Tanya Jawab Hukum Jaminan, Semarang: Dahara
Prize, 1995.
Trandanu Sigit, Bank dan Lembaga Keuangan, Jakarta: Salemba Empat,
2000.
Tunggal Amin Wijaya dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis Dalam
Leasing, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Usman Marzuki, Industri Leasing di Indonesia dan Peranannya Dalam
Pembangunan Nasional, Jakarta, Varia Peradilan Nomor 16, IKAHI,
1987.
________________, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta:
Bumi Aksara, 2005.
________________, Inventarisasi Perundang-undangan Mengenai
Leasing, Jakarta: Ind Hill Co, 1986.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Pokok Perbankan.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan.
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang
Kegiatan Sewa Guna Usaha atau Leasing.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/KMK.03/2002 tentang Perubahan
Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 448/KMK.017/2000 tentang
Perusahaan Pembiayaan.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 448/KMK.017/2000 tentang
Perusahaan Pembiayaan.
60
61
62
PERSONALIA TIM
63
64
LAMPIRAN
65
66
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Mengingat
67
2.
3.
4.
68
6.
Perusahaan Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance Company) adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan
barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran
atau berkala;
7.
8.
9.
69
BAB II
BIDANG USAHA DAN PENDIRIAN LEMBAGA
PEMBIAYAAN
Pasal 2
(1) Lembaga Pembiayaan melakukan kegiatan yang meliputi antara lain
bidang usaha:
a. Sewa Guna Usaha;
b. Modal Ventura;
c. Perdagangan Surat Berharga;
d. Anjak Piutang;
e. Usaha Kartu Kredit;
f. Pembiayaan Konsumen.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan dan tata cara pendirian
perusahaan, serta kegiatan dalam bidang-bidang usaha sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 3
(1) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat dilakukan
oleh:
a. Bank;
b. Lembaga Keuangan Bukan Bank;
c. Perusahaan Pembiayaan.
(2) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
c berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.
(3) Saham Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk Perseroan Terbatas
dapat dimiliki oleh:
a.
b.
70
Pasal 4
(1) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat
melalukan satu atau lebih kegiatan Usaha Lembaga Pembiayaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur oleh Menteri
BAB III
PEMBATASAN
Pasal 5
(1) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf c dilarang menarik dana secara langsung dari masyarakat
dalam bentuk:
a. Giro;
b. Deposito;
c. Tabungan;
d. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note).
(2) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf c dapat menerbitkan Surat Sanggup Bayar hanya sebagai
jaminan atas utang kepada Bank yang menjadi krediturnya.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 6
Menteri melakukan pengawasan dan pembinaan atas usaha Perusahaan
Pembiayaan.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 7
Dengan ditetapkannya Keputusan Presiden ini, Bank, Lembaga Keuangan
Bukan Bank, dan Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin
usaha dari Menteri atau telah melaksanakan kegiatan usaha pembiayaan
tetap dapat melanjutkan kegiatannya dengan mengadakan penyesuaian
terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.
71
BAB VI
KETENTUA
N PENUTUP
Pasal 8
Dengan ditetapkannya Keputusan Presiden ini, segala peraturan mengenai
Sewa Guna Usaha yang telah ada, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan
Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 1988
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 1988
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
72
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Mengingat
73
2.
3.
4.
5.
74
dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa
hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna
Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran
secara angsuran.
6.
7.
8.
9.
75
Pasal 4
Kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura meliputi:
a. Penyertaan saham (equity participation);
b. Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity participation); dan/atau
c. Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/
revenue sharing).
Pasal 5
(1) Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi:
a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk Pembiayaan
Infrastruktur;
b. Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain;
dan/atau
c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang
berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur.
(2) Untuk mendukung kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat pula melakukan:
a. Pemberian dukungan kredit (credit enhancement), termasuk
penjaminan untuk Pembiayaan Infrastruktur;
b. Pemberian jasa konsultasi (advisory services);
c. Penyertaan modal (equity investmen);
d. Upaya mencarikan swap market yang berkaitan dengan
Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau
e. Kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan
Pembiayaan Infrastruktur setelah memperoleh persetujuan dari
Menteri.
Pasal 6
Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.
Pasal 7
(1) Saham Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang berbentuk Perseroan
Terbatas dapat dimiliki oleh:
76
a.
b.
77
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 12
Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini, Perusahaan Pembiayaan
dan Perusahaan Modal Ventura yang telah memperoleh izin usaha dari
Menteri tetap dapat melanjutkan kegiatannya dengan melakukan penyesuaian
terhadap Peraturan Presiden ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan
Presiden ini ditetapkan.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini:
a.
b.
78
79