Anda di halaman 1dari 88

KOMPILASI BIDANG HUKUM

TENTANG
LEASING

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL


KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
JAKARTA, 2011

KOMPILASI BIDANG HUKUM TENTANG LEASING

Kompilasi Bidang Hukum Tentang Leasing

Dikerjakan Oleh Tim Kompilasi


Di bawah Pimpinan
Dr. Nurwidiatmo, S.H., M.H., M.M.

Editor
Tana Mantiri, S.H., M.H.

Terbit Tahun 2011


Diterbitkan Oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
Jalan Mayjen Sutoyo - Cililitan
Telepon (021) 8091908, 8002192
Faksimile (021) 80871742
Jakarta Timur 13640

KATA PENGANTAR
Leasing merupakan pranata hukum yang mirip sewa-menyewa, tetapi
mengandung unsur-unsur jual-beli dan perjanjian pinjam-meminjam. Meskipun
masih relatif baru namun sudah cukup populer dalam dunia bisnis dewasa
ini. Melalui leasing, perusahaan dapat memperoleh barang modal dengan
mudah tanpa adanya jaminan. Dibandingkan dengan pranata hukum lain
yang sejenis, leasing memberikan beberapa kemudahan yaitu: fleksibel,
biaya relatif murah, menghemat pajak, prosesnya sederhana dan banyak
kelonggaran bagi lesse.
Dalam upaya pembinaan hukum nasional, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, mengganggap perlu untuk melakukan Kompilasi bidang hukum
tentang Leasing. Maksud dari kegiatan ini adalah untuk mengumpulkan
atau mengkompilasi berbagai hukum tertulis dan hukum kebiasaan yang
berkaitan dengan leasing dalam tujuan untuk menyediakan bahan guna
membentuk hukum nasional khususnya tentang Leasing.
Penerbitan hasil kompilasi ini dilaksanakan, di samping untuk menambah
jumlah referensi hukum tentang leasing yang masih relatif sedikit, juga
agar dapat tersebarluaskan kepada Anggota Jaringan Dokumentasi dan
Informasi Hukum (JDIH) di seluruh wilayah nusantara. Dengan demikian,
dapat dicari dan ditemukan dengan mudah untuk digunakan, ditanggapi
dan dikembangkan lebih lanjut oleh berbagai kalangan khususnya kalangan
hukum.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada tim yang dipimpin oleh
Sdr. Dr. Nurwidiatmo, S.H., M.M., M.H., dan semua pihak yang berperan
aktif sehingga buku ini dapat diterbitkan.

iii

iv

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................

iii

DAFTAR ISI ..................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN ........................................................
A. Latar Belakang ........................................................
B. Maksud dan Tujuan .................................................
C. Ruang Lingkup .........................................................
D. Metode Pendekatan .................................................

1
1
4
5
5

BAB II PENGERTIAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN LEASING ..................................................


A. Pengertian dan Sejarah Perkembangannya ...........
B. Jenis-Jenis Leasing ..................................................
C. Landasan Hukum Leasing ......................................

7
7
12
13

BAB III PRAKTIK LEASING DI INDONESIA ..................


A. Perjanjian Leasing ...................................................
B. Objek Leasing ..........................................................

17
17
24

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA LEASING ............


A. Penyelesaian Menurut Pendekatan Hukum Pidana
B. Penyelesaian Menurut Pendekatan Hukum Perdata

29
29
41

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN..................................


A. Kesimpulan ...............................................................
B. Saran .........................................................................

53
53
57

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................

59

LAMPIRAN ..................................................................................

67

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku,
sasaran bidang hukum dalam rencana pembangunan jangka menengah
nasional tahun 2004-2009, telah ditetapkan sasarannya, yaitu: Terciptanya
sistem hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif,
terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat
pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegakkan
hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan
kembali kepercayaan hukum masyarakat.
Dalam kemajemukan tatanan hukum itu, peranan hukum tertulis dan
hukum kebiasaan, khususnya hukum kebiasaan yang berkaitan dengan
Leasing mempunyai peranan yang cukup besar pula dalam pembentukan
hukum nasional.
Oleh karena itu, sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk menciptakan
sistem hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif, maka
dengan meningkatnya hasil produksi dewasa ini kiranya perlu ditingkatkan
pula perdagangan dalam negeri maupun luar negeri, antara lain dengan
menyempurnakan lembaga-lembaga perdagangan dan penyediaan bahan
kebutuhan pokok serta bahan penting lainnya sehingga lebih menjamin
penyebarannya secara merata dan terjangkau oleh masyarakat.
Perkembangan masyarakat yang sedang membangun ini membawa
tendensi timbulnya macam-macam perjanjian yang biasanya mempunyai
korelasi yang erat dengan keadaan masyarakat maupun situasi-situasi
yang kurang menguntungkan bagi pihak produsen. Realita inilah yang
menuntut manusia untuk tidak henti-hentinya mencari jalan lain supaya
dapat mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya. Demikian halnya sehingga
timbul perjanjian seperti perjanjian sewa beli (leasing/huur koop) atau
sewa guna usaha agar golongan ekonomi lemah dapat memiliki barang

dengan harga cicilan. Tetapi sesungguhnya sewa beli dengan sewa guna
usaha adalah kedua transaksi yang berbeda. Sewa beli ada didomain jual
beli dan sewa, sementara leasing ada didomain pembiayaan. Sewa beli,
peralihan terjadi demi hukum setelah masa sewa selesai. Sementara
pada leasing, peralihan hanya terjadi manakala lessee menggunakan hak
opsinya.
Salah satu sebab yang mengakibatkan timbulnya perjanjian sewa
beli (leasing) atau sewa guna usaha belakangan ini banyak diresahkan
oleh para pengusaha, karena pasaran barang hasil industri semakin
menyempit, hal ini disebabkan karena daya saing semakin ketat antara
perusahaan-perusahaan yang sejenis, sedangkan daya beli masyarakat
secara kontan semakin berkurang, untuk menjaga kontinuitas hasil
produksinya maka para pengusaha berusaha mencari jalan keluar, yakni
melalui lembaga sewa beli atau sewa guna usaha.
Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 bahwa segala
badan negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku selama belum
diadakan yang baru, oleh karena itu hukum perjanjian dalam KUHPerdata
yang menganut sistem hukum terbuka masih tetap dipakai dengan asas
kebebasan berkontrak.
Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menyatakan bahwa: Semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya, artinya: setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian
apa saja baik yang sudah diatur dalam undang-undang maupun yang
belum diatur dalam undang-undang, sehingga banyak bermunculan perjanjianperjanjian bentuk baru yang menggambarkan maksud dan kehendak
masyarakat yang selalu dinamis, hal ini tidak mengherankan karena manusia
selalu mencari kepuasan dengan berbagai cara.
Maksud dan kehendak perjanjian sewa beli atau sewa guna usaha
ini tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa: suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh
undang-undang atau ketertiban umum, jadi kalau isi dan tujuan dari perjanjian
bertentangan dengan undang-undang atau ketertiban umum, maka perjanjian
apapun juga tidak diperbolehkan. Begitu pula perjanjian sewa beli
(leasing/huur koop) atau sewa guna usaha sejauh mana isinya tidak
berlawanan dengan undang-undang dan ketertiban umum, maka perjanjian
sewa beli (leasing/huur koop) atau sewa guna usaha tetap di perbolehkan.

Sewa beli (leasing/huur koop) atau sewa guna usaha merupakan


bentuk khusus dari koop en verkoop op afbetaling (jual beli dengan
pembayaran angsuran/cicilan), menunjukkan kekhususannya pada masalah:
pemilikan dari pada objek barang yang diperjualbelikan tetap pada penjual
sampai pembayaran harga lunas, berarti bahwa pihak pembeli hanya
berstatus sebagai penyewa saja sebelum pembayaran lunas, si penyewa
tidak mungkin menjadikan barang tersebut dialihkan haknya kepada orang lain dan si penyewa harus terjamin bahwa barang yang disewanya
dalam keadaan sempurna, bebas dari segala bentuk tuntutan dari pihak
ketiga.
Keberadaan Leasing pertama kali diatur oleh keluarnya Surat
Keputusan Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri
Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI Nomor Kep-122/MK/IV/2/
1974, 32/M/SK/2/1974, 30/Kpb/i/1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang
Perizinan Usaha Leasing; Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi
Nomor 34/KP/II/1980 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire
Purchase), Jual Beli dengan Angsuran, dan Sewa (renting); Pengumuman
Direktur Jenderal Moneter Nomor Peng-307/DJM/III.1/7/1974 tentang
Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing dan diikuti dengan keluarnya
beberapa peraturan lain, yaitu Surat Keputusan Menteri Keuangan RI
Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha atau
Leasing; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/KMK.03/2002 tentang
Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 448/KMK.017/
2000 tentang Perusahaan Pembiayaan dan diperkuat dengan keluarnya
Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 dan Peraturan Presiden Nomor
9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan serta Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Kegiatan Usaha Perusahaan
Pembiayaan.
Leasing sebelumnya merupakan perjanjian tidak bernama disebabkan
tidak diatur dalam KUHPerdata, Leasing hanya diakibatkan oleh adanya
pasal 1338 KUHPerdata.
Untuk mengatasi perkembangan dan perubahan khususnya Leasing,
perkembangan sosial masyarakat dan ilmu pengetahuan serta teknologi
menyebabkan pula berkembangnya hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan
memang merupakan hukum yang hidup di masyarakat. Sehingga dalam

langkah-langkah pembangunan selanjutnya, selain dapat mengisi bagian


dalam sistem hukum nasional juga dapat menjadi embrio dari hukum
tertulis.
Dalam rangka pembentukan sistem hukum nasional, hukum tertulis
dan hukum kebiasaan terutama yang berkaitan dengan Leasing, terlebih
dahulu harus mengalami proses penyaringan dan penyesuaian, sehingga
pada gilirannya nanti hanya hukum tertulis dan hukum kebiasaan yang
sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 serta dapat mengantisipasi
perkembangan dalam segala bidang itulah yang dapat diangkat menjadi
bahan masukan bagi pembentukan hukum nasional.
Untuk mengetahui hukum tertulis dan hukum kebiasan yang berkaitan
dengan Leasing yang ideal dan dapat dijadikan bagian dari sistem hukum
nasional, maka perlu diadakan kegiatan kompilasi (pengumpulan bahanbahan hukum tertulis, hukum kebiasan, dan permasalahan hukum yang
berkaitan dengan leasing).
Kompilasi yang dimaksud, selain akan merupakan bagian dari acuan
atau referensi hukum bagi masyarakat luas pengguna hukum, juga sebagai
pendukung guna terbentuknya sistem hukum nasional yang mampu menjamin
kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan serta mengamankan
dan mendukung pembangunan nasional.
Mengingat hal ini penting dilakukan, BPHN Departemen Hukum
dan HAM RI memandang perlu mengadakan kompilasi hukum tertulis
dan hukum kebiasaan yang berkaitan dengan Leasing dengan membentuk
suatu tim kerja.
B . Maksud dan Tujuan
Maksud kegiatan kompilasi ini adalah untuk mengumpulkan atau
mengkompilasi berbagai hukum tertulis dan hukum kebiasaan yang berkaitan
dengan masalah leasing.
Tujuannya, di samping untuk membuat suatu kumpulan berbagai hukum
tertulis dan hukum kebiasaan yang berkaitan dengan leasing, juga secara
sistemik adalah dalam rangka mengisi butir-butir dalam mendukung
terwujudnya sistem hukum nasional, terutama dapat direkomendasikan
dari segi hukum yang bermanfaat bagi pengaturan hukum tentang
leasing.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari pada kegiatan kompilasi ini lebih menekankan
pada kajian hukum tertulis dan hukum kebiasaan dan permasalahanpermasalahan hukum yang berkaitan dengan praktik leasing.
D. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan dalam penyusunan kompilasi ini adalah melalui
pengumpulan data sekunder, yaitu dengan melakukan pengumpulan peraturan
perundang-undangan, hasil-hasil penelitian, analisis dan evaluasi hukum,
pengkajian, karya ilmiah, hasil pertemuan ilmiah, hukum kebiasaan serta
hasil diskusi para anggota tim.

BAB II
PENGERTIAN DAN SEJARAH
PERKEMBANGAN LEASING

A. Pengertian Dan Sejarah Perkembangannya


1.

Pengertian Leasing
Istilah Leasing berasal dari kata lease yang berarti sewa
menyewa. Jadi leasing merupakan bentuk derivatif dari sewa
menyewa. Akan tetapi kemudian dalam dunia bisnis berkembang
sewa menyewa dalam bentuk yang lebih spesifik yang disebut
leasing dan telah berubah fungsinya menjadi salah satu jenis pembiayaan.
Leasing tidak dapat dipisahkan dengan aktivitas lembaga pembiayaan,
dan leasing adalah salah satu bentuk dari sekian bentuk bidang usaha
yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan, yaitu modal ventura,
perdagangan surat berharga, usaha kartu kredit dan pembiayaan
konsumen. Sedangkan lembaga pembiayaan itu sendiri suatu badan
usaha yang di dalam melakukan kegiatan pembiayaan modal bentuk
penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana
secara langsung dari masyarakat.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan Presiden No. 61 Tahun
1988, memang benar masih digabungkannya leasing dengan modal
ventura sebagai salah satu bidang usaha dari lembaga pembiayaan,
namun dalam Pasal 2 Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 lembaga
pembiayaan meliputi 3 perusahaan, yaitu:
1. Perusahaan Pembiayaan;
2. Perusahaan Modal Ventura; dan
3. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.
Di mana dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa leasing merupakan salah
satu kegiatan usaha dari perusahaan pembiayaan.
Dalam beberapa peraturan terkait dirumuskan pengertian
leasing sebagai berikut:

1.

Dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri


Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.
Kep-122/MK/iv/2/1974; No. 32/M/SK/2/1974; No. 30/Kpb/I/1974
tentang Perizinan Usaha Leasing, Pasal 1 menyebutkan
bahwa,...leasing ialah setiap kegiatan pembiyaan perusahaan
dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan
oleh suatu perusahaan untuk satu jangka waktu tertentu,
berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai
dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli
barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang
jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati
bersama.

2.

Dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.


1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha Pasal
1 jo. Keputusan Menteri Keuangan No. 48/KMK.013/1991, bahwa
Sewa Guna Usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha
dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha
tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
berkala.

Dari kedua rumusan pengertian tentang leasing, dapat diperinci


menjadi dua kategori, yaitu (1) subjek atau para pihak, dan (2)
mekanisme. Dari segi subjeknya, dalam leasing terdapat pihak-pihak:
a. Lessor, yaitu pihak yang memberikan pembiayaan dengan cara
leasing kepada pihak yang membutuhkannya. Dalam hal ini lessor
dapat berupa perusahaan pembiayaan bersifat multi finance.
Siapakah sebenarnya pemilik barang modal? Menilik dari transaksi
leasing yang sebenarnya tidak lain pengembangan dari sewa
menyewa konvensional, maka yang menjadi pemilik secara yuridis
dari objek sewa adalah pihak yang menyewakan, bukan hak
penyewa. Penyewa hanya diberikan hak untuk menguasai dan
menikmati hasil dengan batasan-batasan tertentu sesuai kontrak.
Dalam leasing, ketentuan tentang kepemilikan dalam sewa menyewa
masih diterapkan. Hanya saja dalam leasing diberikan kemungkinan

b.
c.

kepada lessee untuk memiliki barang modal sepanjang lessee


menggunakan hak opsi untuk membeli;
Lessee, yaitu pihak yang memerlukan barang modal yang dibiayai
oleh lessor dan diperuntukan bagi lessee;
Supplier, yaitu pihak yang menyediakan barang modal yang
menjadi objek leasing, barang modal dibayar oleh lessor kepada
supplier untuk kepentingan lessee.

Sedangkan dari segi mekanismenya, terdapat unsur-unsur dalam


kegiatan leasing, yaitu:
a.

Pembiayaan perusahaan
Awalnya memang leasing dimaksudkan sebagai usaha memberikan
kemudahan pembiayaan kepada perusahaan tertentu yang
memerlukannya, dalam perkembangannya, leasing dapat juga
diberikan kepada perorangan;

b.

Penyediaan barang modal


Barang modal biasanya disediakan oleh supplier atas biaya
lessor. Selanjutnya barang modal dipergunakan oleh lessee untuk
kegiatan usahanya;

c.

Jangka waktu tertentu


Unsur jangka waktu ini penting dalam leasing. Dalam kontrak
leasing ditentukan jangka waktu leasing, yang selanjutnya setelah
waktu berakhir, maka ditentukan pula bagaimana status
kepemilikan dari barang tersebut;

d.

Pembayaran secara berkala


Karena lessor telah membayar lunas harga barang kepada penjual/
supplier, maka adalah kewajiban lessee untuk mengangsur
pembayaran harga barang kepada lessor. Jumlah dan lamanya
angsuran sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak leasing;

Hak Opsi untuk membeli barang modal


Hak opsi yang dimiliki oleh lessee untuk membeli barang modal
pada saat tertentu, merupakan salah satu unsur penting dalam
leasing. Di akhir masa leasing diberikan hak kepada lessee

untuk membeli barang modal dengan harga tertentu atau akan


memperpanjang masa kontrak leasing.
f.

2.

Nilai sisa
Sisa merupakan besarnya jumlah uang yang harus dibayar kembali
kepada lessor di akhir masa berlakunya leasing atau pada saat
lessee mempunyai hak opsi. Nilai sisa biasanya sudah lebih
dahulu ditentukan dalam kontrak leasing.

Sejarah Perkembangan Leasing


Jika dilihat dari subjek dan unsur-unsur dari mekanisme di atas,
nampak bahwa leasing merupakan pranata hukum yang cukup fleksibel,
karena di satu pihak mirip sewa menyewa, akan tetapi di lain pihak
mengandung juga unsur-unsur jual beli, bahkan di dalamnya terdapat
pula unsur perjanjian pinjam meminjam.
Meskipun leasing masih relatif baru, akan tetapi sudah cukup
populer dalam dunia bisnis dewasa ini. Mulai dari leasing barang
modal yang berharga sampai kepada barang-barang keperluan kantor
dan keperluan rumah tangga serta leasing kendaraan bermotor yang
notabene tidak terkait langsung dengan kegiatan usaha. Dari segi
cakupan wilayah, kegiatan leasing sudah banyak beroperasi di berbagai
kota besar di Indonesia. Dampak positifnya memang sangat dirasakan
oleh masyarakat, terutama bila masyarakat dihadapkan pada rumitnya
birokrasi untuk memperoleh fasilitas kredit bank, sehingga leasing
dapat dijadikan alternatif pilihan.
Dengan kegiatan leasing perusahaan dapat memperoleh barangbarang modal operasional dengan mudah bila dibandingkan dengan
pengajuan proses kredit pada bank yang memerlukan persyaratan
serta jaminan. Sehingga bagi perusahaan yang modalnya tidak terlalu
besar, dengan melakukan perjanjian leasing akan dapat membantu
perusahaan dalam menjalankan usahanya, dan dengan leasing akan
lebih menghemat biaya dan waktu. Munculnya lembaga leasing
merupakan alternatif yang menarik bagi para pengusaha karena saat
ini mereka cenderung menggunakan dana rupiah secara tunai untuk
kegiatan operasional perusahaan. Melalui leasing dapat memperoleh
dana untuk membiayai pembelian barang-barang modal dengan jangka

10

waktu pengembalian, dan keuntungan-keuntungan lainnya seperti


kemudahan dalam prosesnya. Ada beberapa kemudahan leasing
dibandingkan dengan bentuk/pranata hukum lainnya, yaitu (1) fleksibilitas,
(2) biaya relatif murah, (3) penghematan pajak, (4) prosesnya sederhana,
dan (5) banyak kelonggaran bagi lessee.
Melihat bentuknya, leasing adalah pranata hukum yang merupakan
improvisasi dari pranata hukum yang konvensional yang disebut sewa
menyewa yang telah lama dikenal oleh masyarakat. Sementara
leasing dalam arti modern pertama kali berkembang di Amerika
Serikat kemudian menyebar ke Eropa. Bahkan pada tahun 1850
tercatat adanya leasing pertama di Amerika yang beroperasi di bidang
leasing kereta api.
Di Indonesia, leasing baru dikenal mulai tahun 1974 yang kemudian
diterbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri
Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. Kep122/MK/IV/2)/1974; No. 32/M/SK/2/1974; No. 30/Kpb/I/1974 tentang
Perizinan Usaha Leasing. Seiring dengan perkembangan waktu dan
perekonomian Indonesia, semakin banyak dan kompleks permasalahan
yang muncul mengenai leasing.
Perkembangan berikutnya di tanah air tidak dapat dipisahkan
dari dinamika kehidupan perekonomian nasional, yang secara gradual
perkembangannya dapat dilihat dari fase-fase sebagai berikut:
1. Fase Pengenalan
Fase ini terjadi antara tahun 1974 sampai dengan 1983. Diawali
dengan diterbitkannya beberapa peraturan pada tahun 1974 yang
mengatur tentang pranata hukum leasing. Sampai dengan tahun
1980 perusahaan leasing jumlahnya tidak lebih dari 6 perusahaan
dan mengalami penambahan di tahun 1984 menjadi 48 perusahaan
leasing;
2. Fase Perkembangan
Fase ini antara tahun 1984 sampai dengan tahun 1990, di mana
pertumbuhan leasing cukup pesat. Tahun 1986 telah mencapai
jumlah 89 perusahaan leasing dan terus berkembang menjadi
122 perusahaan leasing di tahun 1990. Beberapa segi

11

operasionalisasi ataupun mekanisme leasing juga turut berubah,


misalnya dalam hal metode penghitungan aset untuk kepentingan
pajak berkenaan dengan diundangkannya ketentuan pajak di tahun
1984.
3. Fase Konsolidasi
Fase ini terjadi sejak tahun 1991 hingga dewasa ini. Pada fase
ini proses perizinan dipermudah sehingga semakin banyak
bermunculan perusahaan leasing dan juga perusahaan-perusahaan
multi finance. Perubahan yang terjadi pada fase ini adalah diubahnya
sistem perpajakan, dari operating method berubah menjadi
financial method berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan
No. 1169/KMK.I/1991.
B . Jenis-Jenis Leasing
Terdapat beberapa jenis leasing, tetapi secara mendasar leasing dapat
dibedakan menjadi:
1. Capital lease
Perusahaan leasing jenis ini berlaku sebagai lembaga keuangan. Lessee
yang membutuhkan barang modal menentukan sendiri jenis serta
spesifikasinya dari barang yang dibutuhkan. Lessee juga dapat
mengadakan negoisasi langsung dengan supplier mengenai harga
barang. Lessor akan mengeluarkan dana untuk pembelian barang
tersebut kepada supplier dan barangnya diserahkan kepada lessee.
Lessee akan membayar secara berkala kepada lessor sejumlah uang
untuk jangka waktu tertentu. Capital lease ini dapat dibedakan ke
dalam 2 (dua) kategori yaitu:
a.

Direct finance lease. Transaksi ini terjadi jika lessee sebelumnya


belum pernah memiliki barang yang dijadikan objek lease,
Lessee mengidentifikasi aset yang sebelumnya telah dilakukan
negoisasi harga dan menghubungi lessor untuk membelinya dari
pabrik atau dari pemilik sebelumnya untuk disewakan kepada
lessee;

b. Sale-and lease atau purchase leaseback, yaitu lessee menjual


barang yang sebelumnya dimiliki lessee. Terhadap barang yang

12

sama kemudian dilakukan suatu kontrak leasing antara lesssee


dan lessor. Dalam hal ini lessee membutuhkan dana tunai untuk
dipergunakan sebagai tambahan modal kerja. Dengan cara ini
memungkinkan lessor memberikan dananya untuk keperluan
lessee sesuai nilai objek leasing.
2. Operating lease
Dalam bentuk ini, lessor membeli barang dan kemudian
menyewakan kepada lessee untuk jangka waktu tertentu. Dalam
praktik lessee membayar sewa yang jumlahnya secara keseluruhan
tidak meliputi harga barang serta biaya yang telah dikeluarkan
oleh lessor. Dalam menentukan besarnya biaya lease, lessor
tidak memperhitungkan biaya-biaya tersebut karena setelah masa
lease berakhir diharapkan harga barang masih cukup stabil.
3. Sales type lease
Lease penjualan biasanya dilakukan oleh perusahaan industri
yang menjual secara leasing hasil produksinya. Dalam kontrak
disebutkan adanya pendapatan perusahaan yang diperoleh dari
penjualan barang dan bunga atas jasa pembelanjaan semasa
jangka waktu leasing.
4. Leverage lease
Dalam bentuk ini dapat melibatkan pihak ketiga, yang disebut
credit provider. Lessor tidak membiayai objek leasing sepenuhnya,
melainkan hanya sekitar 20-40% dan sisa dari harga barang
akan dibiayai oleh pihak ketiga, yaitu credit provider.
C. Landasan Hukum Leasing
Sebagaimana halnya bentuk-bentuk perjanjian pada umumnya, asas
hukum yang pokok dalam leasing adalah asas kebebasan berkontrak
seperti diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.
Eksistensi pranata hukum leasing di Indonesia yang baru terjadi di
awal dasawarsa 1970, baru diatur kemudian dan diterbitkan beberapa
peraturan, yaitu:
1. Keputusan Menteri Keuangan No. 38/MK/IV/1972 tentang Lembaga
Keuangan, yang kemudian diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan
No. 562/KMK.011/1982;

13

2.

Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian


dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. Kep-122/MK/IV/
2/1974, No. 32/M/SK/2/1974; No. 30/Kpb/1/1974 tentang Perizinan
Usaha Leasing;

3.

Keputusan Menteri Keuangan No. 649/MK/IV/5/1974 tentang Perizinan


Usaha Leasing;

4.

Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/1980


tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purchase), Jual
Beli dengan Angsuran, dan Sewa (renting);

5.

Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang


Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, yang
diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1256/KMK.00/
89;

6.

Keputusan Menteri Keuangan No. 634/KMK.013/90 tentang Pengadaan


Barang Modal dengan Fasilitas Perusahaan Leasing;

7.

Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/91 tentang Kegiatan


Sewa Guna Usaha atau Leasing;

8.

Peraturan Menteri Keuangan No. 172/KMK.03/2002 tentang Perubahan


Atas Keputusan Menteri Keuangan No. 448/KMK.017/2000 tentang
Perusahaan Pembiayaan;

9.

Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Kegiatan


Usaha Perusahaan Pembiayaan;

10. Pengumuman Direktur Jenderal Moneter No. Peng-307/DJM/III.1/


7/1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing;
11. Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 dan Peraturan Presiden
No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
Dari beberapa peraturan di atas, landasan hukum leasing terdapat
dalam Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang Perusahaan
Pembiayaan. Dengan regulasi ini menjadi dasar dari aktivitas perusahaan
pembiayaan, perusahaan modal ventura, perusahaan pembiayaan
infrastruktur yang terdiri dari leasing, factoring, pembiayaan konsumen,
kartu kredit dan modal ventura. Namun 10 tahun kemudian telah terbit
pula Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan

14

yang meliputi 3 (tiga) perusahaan, yaitu: (1) Perusahaan pembiayaan; (2)


Perusahaan modal ventura; dan (3) Perusahaan pembiayaan infrastruktur,
dimana Leasing merupakan salah satu kegiatan usaha dari perusahaan
pembiayaan (pasal 3).
Atas dasar regulasi di atas, perusahaan pembiayaan dapat melakukan
salah satu dari aktivitas pembiayaan, yang kemudian disempurnakan dengan
Keputusan Menteri Keuangan No. 606/KMK.017/1995. Setelah masa
krisis, regulasi di sektor keuangan disempurnakan kembali secara lebih
komprehensif. Saat ini regulasi tentang perusahaan pembiayaan adalah
Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 448/KMK.017/2000. Peraturan
Menteri Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
Yang penting untuk dipahami, bahwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan dan Peraturan Menteri Keuangan di atas, bahwa sumber
dana dari perusahaan pembiayaan hanya boleh dari saham dan kredit
bank. Perusahaan pembiayaan tidak dapat melakukan mobilisasi dana
langsung dari masyarakat, baik dalam bentuk tabungan, giro, deposito,
termasuk dana dari perusahaan dana pensiun dan pasar modal. Perusahaan
pembiayaan juga tidak diperkenankan mengeluarkan promissory notes,
commercial papers (CP) ataupun menyediakan garansi kepada pihak
lain.

15

16

BAB III
PRAKTIK LEASING DI INDONESIA

A. Perjanjian Leasing
Leasing, sebagai salah satu alternatif pembiayaan memberikan
kemudahan-kemudahan dibandingkan pembiayaan melalui pinjaman dari
bank. Dalam praktik bisnis para pengusaha sering mengadakan perjanjian
hanya berdasarkan kepercayaan saja, secara lisan dan/atau dengan perjanjian
di bawah tangan saja. Dan penggunaan jaminan dalam suatu perjanjian
financial lease merupakan suatu hal yang sangat penting.
Perjanjian financial lease adalah tidak sama dengan perjanjian sewamenyewa, perjanjian barang dengan menyicil. Penggunaan jaminan dalam
perjanjian leasing merupakan hal yang penting, karena merupakan
pengamanan (security) dan perjanjian itu sendiri dibuat dalam bentuk
akta otentik.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memberikan
asas-asas untuk digunakan sebagai pedoman dan menjadi rambu-rambu
dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat. Salah satu
asas tersebut adalah asas konsensualitas. Pada dasarnya suatu perjanjian
yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih telah mengikat telah
melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih, dalam perjanjian tersebut.
Berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam
KUHPerdata, maka para pihak yang mengadakan perjanjian sesuai
kehendak masing-masing, dengan syarat tidak bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Dalam ranah hukum, sewa menyewa atau sewa guna usaha (leasing) merupakan perbuatan perdata yang dapat dilakukan oleh suatu subjek
hukum (orang dan badan hukum). Jadi tidak menjadi unsur penting apakah
badan hukum tersebut BUMN (Badan Usaha Milik Negara) atau swasta;
Hal yang paling penting adalah subjek hukumnya sudah berbadan hukum.
Pengertian dari sewa guna usaha atau leasing itu sendiri adalah kegiatan

17

pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa


guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa-guna-usaha
tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama
jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
Pengertian Leasing dari Equipment Leasing Association di London, sebagai berikut: Leasing adalah perjanjian antara lessor dan
lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih/
ditentukan oleh lessee. Hak pemilikan atas barang modal tersebut ada
pada lessor sedangkan lessee menggunakan barang modal tersebut
berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu
jangka waktu tertentu.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas setiap perjanjian harus
memenuhi beberapa unsur sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata, yaitu:
1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian (agreement);
2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian (capacity);
3. Mengenai suatu hal tertentu (certainty of terms);
4. Sebab yang halal (considerations).
Selain itu dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi yang membuatnya. Kata semua dalam pasal KUHPerdata tersebut
menyatakan bahwa diperbolehkan membuat perjanjian berupa apa saja
dan berisi apa saja sepanjang isi perjanjian tersebut tidak melanggar
Kausa yang halal dan ketentuan undang-undang yang ada. Dalam Pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata ditentukan bahwa suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik Ketentuan ini menghendaki bahwa suatu
perjanjian dilaksanakan secara jujur, yakni sesuai norma-norma kepatutan
dan kesusilaan.
Transaksi antara Lessor dan Leese wajib dibuat dalam bahasa
Indonesia, apabila dipandang perlu dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
asing, dalam bentuk tertulis, baik dituangkan ke dalam akte bawah tangan
ataupun otentik, dinamakan perjanjian sewa-guna-usaha (lease agreement).

18

Perjanjian Leasing secara umum dapat dibedakan menjadi 2 (dua)


kategori yakni perjanjian leasing dengan hak opsi (financial lease) dan
perjanjian leasing tanpa hak opsi (operating lease). Perjanjian leasing
dengan hak opsi memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.

Jumlah pembayaran sewa guna usaha (leasing) selama masa sewa


guna usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus
dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan
lessor;

2.

Masa perjanjian ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk


barang modal golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal II dan
III, dan 7 (tujuh) tahun untuk golongan bangunan. (Penggolongan
barang modal ditetapkan berdasarkan Pasal 11 UU No. 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan);

3.

Perjanjian leasing memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Sedangkan perjanjian leasing tanpa hak opsi apabila memenuhi kriteria


sebagai berikut:
1.

Jumlah pembayaran leasing selama masa sewa guna usaha pertama


tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewaguna-usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh
lessor;

2.

Perjanjian leasing tidak memuat ketentuan mengenai opsi lessee.

Berdasarkan Pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/


1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing), Perjanjian sewa
guna usaha sekurang-kurangnya harus memuat hal-hal sebagai berikut:
1.

Jenis transaksi sewa guna usaha;

2.

Nama dan alamat masing-masing pihak;

3.

Nama, jenis, tipe dan lokasi penggunaan barang modal;

4.

Harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran sewa guna usaha,


angsuran pokok pembiayaan, imbalan jasa sewa guna usaha, nilai
sisa, simpanan jaminan, dan ketentuan asuransi atas barang modal
yang disewaguna usahakan;

5.

Masa sewa menyewa;

19

6.

7.
8.

Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa guna usaha yang


dipercepat, dan penetapan kerugian yang harus ditanggung lessee
dalam hal barang modal yang disewagunausahakan dengan hak opsi
hilang, rusak atau tidak berfungsi karena sebab apapun;
Opsi bagi penyewa guna usaha dalam hal transaksi sewa guna usaha
dengan hak opsi;
Tanggung jawab para pihak atas barang modal yang disewa guna
usaha.

Jadi, suatu perjanjian leasing sekurang-kurangnya haruslah berisikan


materi-materi di atas, dan bila hal-hal tersebut dipenuhi barulah perjanjian
sewa guna usaha menjadi sah dan lessor dan lessee dapat menandatangani
kontrak leasing itu dengan baik. Dalam praktik subtansi dalam perjanjian
leasing dapat ditambahkan dengan memuat hal-hal seperti wanprestasi,
asuransi, bunga tunggakan utang, dan lain-lain.
Perjanjian sewa guna usaha memiliki maksud komersial yang tercermin
dari kenyataan penyusunan bahasa dan kemungkinan-kemungkinan potensial
yang akan terjadi di kemudian hari menjadi persoalan. Agar terhindar
dari dalam situasi faktual di kemudian hari menjadi persoalan, penyusunan
perjanjian leasing harus berusaha memberikan pemecahan yang preventif
dalam bentuk pengaturan ke dalam perjanjian, dengan pertimbangan rasa
keadilan, kepentingan para pihak, dan/atau pertimbangan bisnis/pemasaran.
Dalam perjanjian leasing dengan hak opsi pada masa berakhirnya
sewa guna usaha lessee dapat melaksanakan opsi yang telah disetujui
bersama pada permulaan masa sewa menyewa. Perjanjian yang berisikan
opsi untuk membeli dilakukan dengan melunasi pembayaran nilai sisa
barang modal yang disewagunausaha sebagai dasar penyusutannya. Lessee
yang memilih opsi untuk memperpanjang jangka waktu perjanjian
sewagunausaha, maka nilai sisa barang modal yang disewa guna usahakan
digunakan sebagai dasar dalam menetapkan piutang sewa guna usaha.
Pembiayaan barang modal hanya dapat diberikan oleh Lessor kepada
Lessee yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), mempunyai
kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas. Terhadap barang modal yang
disewa guna usahakan harus ditempel plakat atau etiket dengan
mencantumkan nama dan alamat lessor serta pernyataan bahwa barangbarang modal dimaksud terikat dalam perjanjian sewa-guna-usaha.

20

Dalam perjanjian Leasing dapat mencantumkan larangan bagi


Lessee untuk menyewa-guna-usahakan kembali barang modal yang disewaguna-usaha kepada pihak lain.
Jangka waktu perjanjian leasing ditentukan berdasarkan umur kegunaan
(nilai guna) barang yang menjadi objek leasing dengan imbalan jasa
berdasarkan kesepakatan para pihak yang disesuaikan dengan hasil usaha
lessee yang diperkirakan pihak lessor.
Perusahaan leasing dilihat dari jalannya kegiatan usaha tergolong ke
dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu:
1.

Independent Leasing Company, yakni perusahaan Leasing yang


berdiri sendiri atau independent (tidak terikat) dengan supplier tertentu
untuk memenuhi kebutuhan barang modal nasabahnya (lessee), mungkin
dapat sekaligus sebagai produsen;

2.

Captive Lessor, yakni pendirian perusahaan leasing oleh supplier


atau produsen untuk membiayai produk-produknya. Supplier dengan
menyediakan pembiayaan leasing sendiri berpendapat akan dapat
meningkatkan kemampuan penjualan melebihi tingkat penjualan dengan
menggunakan pembiayaan tradisional;

3.

Lease broker atau packager, yakni perusahaan perantara yang


mempertemukan antara calon lessee dengan calon lessor yang
membutuhkan suatu barang modal dengan cara leasing. Biasanya
tidak memiliki barang atau peralatan untuk menangani transaksi leasing
untuk atas namanya.

Ketentuan pendirian perusahaan yang melakukan kegiatan usaha


dalam sewa guna usaha saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Perusahaan
pembiayaan yang melakukan transaksi leasing didirikan dalam bentuk
Perseroan Terbatas atau Koperasi oleh:
1.

Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau

2.

Badan usaha asing dan warga negara Indonesia dan/atau badan


hukum Indonesia (usaha patungan).

Modal pendirian Perusahaan Leasing yang terdiri dari modal disektor


atau simpanan pokok dan simpanan wajib sekurang-kurangnya sebesar

21

Rp 100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah) bagi perusahaan swasta


nasional atau perusahaan patungan, dan Rp 50.000.000.000,- (lima puluh
miliar rupiah) bagi perusahaan leasing yang berbentuk koperasi.
Pembiayaan melalui perjanjian leasing memiliki perbedaan pokok dengan
metode pembiayaan yang diberikan melalui lembaga-lembaga keuangan
lainnya, semisal bank atau teknik pembiayaan lainnya seperti sewa-menyewa
dan sewa beli. Berikut tabel perbedaan pokok antara Perjanjian Leasing
dengan jenis perjanjian pembiayaan lainnya.
Penjelasan
Jenis barang

Bentuk
Perusahaan
Pemilik
Barang
Jangka
Waktu
Besarnya
Pembiayaan
Biaya Bunga

Leasing
Barang
bergerak &
tidak bergerak
Badan Hukum

Sewa beli
Sewa menyewa
Barang
Barang bergerak
bergerak
perlu
pemeliharaan
Supplier
Supplier

Kredit bank
Semua jenis
investasi

Perusahaan
Leasing
Menengah

Pemilik
Barang
Pendek

Debitur

100%

80%

Bunga+
Margin
Akhir kontrak Menggunakan
hak opsi untuk
membeli
seharga nilai
kreditor sisa;
Memperpanjang kontrak;
Mengembalikan kepada
lessor

Tinggi
Barang
menjadi
milik
penyewa

Pemilik Barang

Bank

Menengah/Pendek Pendek/Mene
/Panjang
ngah
Lebih rendah
80%
Bunga+Margin
Spread
Barang kembali
kepada pemilik

Interbank rate
+
Kredit lunas;
Jaminan
kembali

Perjanjian Leasing sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi pelaku


usaha memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan sumber sumber
pembiayaan lainnya, yakni:
1.

22

Pembiayaan penuh
Transaksi leasing sering dilakukan tanpa uang muka dan dapat diberikan
sampai 100% (seratus persen);

2.

Lebih fleksibel
Perjanjian leasing lebih luwes karena perjanjian leasing mudah
menyesuaikan keadaan keuangan lessee dibandingkan perbankan.

3.

Sumber pembiayaan alternatif


Perjanjian leasing merupakan sumber pembiayaan lain bagi perusahaan
tanpa mengganggu fasilitas kredit yang telah dimiliki.

4.

Off balance sheet


Transaksi yang dilakukan dalam Perjanjian leasing tidak mengharuskan
pencantuman transaksi leasing dalam neraca keuangan, sehingga
berdampak positif pada kondisi rasio keuangan perusahaan lessee
karena transaksi leasing tersebut tidak akan terlihat dalam neraca
lessee sebagai kewajiban utang.

5.

Arus dana
Persyaratan pembayaran uang muka yang relatif kecil dan keluwesan
pengaturan pembayaran sewa berpengaruh positif pada arus dana,
terlebih apabila ada pertimbangan kelambatan menghasilkan laba
dalam investasi.

6.

Perlindungan akibat kemajuan teknologi


Lessee dapat terhindar dari kerugian akibat barang yang disewa
mengalami ketinggalan model dan teknologi.

7.

Sumber pelunasan kewajiban


Pembayaran angsuran hampir selalu diperkirakan berasal dari modal
kerja yang dihasilkan oleh adanya barang yang dilease.

8.

Kapitalisasi biaya
Adanya biaya-biaya tambahan selain harga perolehan seperti biaya
penyerahan, instalasi pemeriksaan, konsultan, percobaan dan sebagainya
yang masuk ke dalam biaya modal dapat dibiayai dalam leasing dan
dapat disusutkan berdasarkan lamanya masa leasing.

9.

Risiko keusangan
Melalui sistem operating lease yang memerlukan jangka waktu
yang relatif pendek dapat Lessee dapat terhindar dari risiko keusangan.

23

10. Kemudahan penyusunan anggaran


Pembayaran sewa yang relatif tetap akan memberikan kemudahan
dalam penyusunan anggaran tahunan lessee.
11. Pembiayaan proyek skala besar
Adanya keengganan memikul risiko investasi dalam proyek besar
dapat diatasi melalui perjanjian leasing sepanjang tersedianya suatu
jaminan penuh yang dapat diterima dan serta kemudahan untuk
menguasai barang yang dibiayai apabila terjadi kelalaian.
12. Meningkatkan debt capacity
Adanya kerja sama antara perusahaan pembiayaan dengan produsen
akan memberi keuntungan yang dapat dinikmati oleh semua pihak.
Saat ini perjanjian leasing menjadi salah satu sarana pemasaran yang
efektif, di mana calon pembeli dapat memperoleh barang modal
tanpa kesulitan sementara produsen dapat menjual produksinya secara
tunai dan perusahaan leasing dapat menyalurkan/memberikan
pembiayaan bagi calon lessee.
B . Objek Leasing
Pada prinsipnya ada 2 (dua) pihak yang terkait dalam perjanjian
leasing, yaitu pihak lessor dan lessee, namun tidak menutup kemungkinan
adanya pihak terkait lainnya. Pihak ketiga tersebut adalah supplier yaitu
penjual dan pemilik barang yang disewagunausaha, dan kreditur yaitu
orang atau lembaga yang mendukung kegiatan pembiayaan di bidang
leasing. Pihak-pihak tersebut adalah subjek yang terkait dengan perjanjian
leasing.
Pada awalnya transaksi leasing dilakukan oleh orang-orang pada
zaman sumeria, dan yang menjadi objek leasing dimulai dari peralatan
pertanian, hak-hak penggunaan tanah dan air sampai binatang ternak.
Kemudian seiring dengan perkembangan industri, manufaktur dan
transportasi menjadi semakin bertambah objek leasingnya, terutama barangbarang modal atau alat-alat produksi.
Objek leasing dapat berupa barang yang bergerak maupun yang
tidak bergerak, yang memiliki umur maksimum sama dengan masa kegunaan

24

ekonomis barang tersebut, atau barang niaga tahan lama, baik yang baru
maupun yang bekas tetapi tidak mengalami perubahan teknis.
Di Indonesia leasing atau usaha jasa sewa beli sudah dikenal sejak
tahun 1980. Pada saat ini kegiatan usaha tersebut telah berkembang dan
meningkat dengan pesat terutama objek leasingnya sejalan dengan
perkembangan di sektor industri khususnya kendaraan bermotor roda
dua dan empat, rumah tinggal dan peralatan kantor. Begitu juga dengan
barang-barang elektonik, dan perabot rumah tangga. Produk industri/
barang-barang tersebut sangat berkembang dan bervariasi sesuai dengan
perkembangan zaman.
Dalam perjanjian leasing barang-barang yang menjadi objek leasing
ialah barang-barang modal/alat-alat produksi, antara lain terdiri atas:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.

Mobil;
Pesawat terbang;
Motor;
Bus;
Peralatan pengeboran;
Peralatan listrik;
Forklit dan truk;
Pembangkit tenaga listrik;
Peralatan telpon;
Perkakas tenun/tekstil;
Peralatan bengkel;
Peralatan kantor;
Komputer;
Mesin-mesin percetakan;
Mesin-mesin untuk pertambangan;
Peralatan rumah sakit;
Peralatan untuk industri baja;
Peralatan untuk industri perkayuan;
Peralatan pesawat terbang (piere prevot, 1984:8).

25

Pemerintah memberikan pembatasan terhadap barang-barang yang


dapat menjadi objek perjanjian leasing melalui Keputusan Menteri
Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/1980 tentang Perizinan Kegiatan
Usaha Sewa Beli (Hire Purchase), Jual Beli dengan Angsuran, dan
Sewa (Renting), pada Pasal 2 dinyatakan:
1.

Barang-barang yang boleh disewabelikan (hire purchase) dan


dijualbelikan dengan angsuran adalah semua barang niaga tahan lama
yang baru dan tidak mengalami perubahan teknis, baik berasal dari
produksi sendiri ataupun perakitan (assembling) lainnya di dalam
negeri kecuali apabila produksi dalam negeri belum memungkinkan
untuk itu.

2.

Barang-barang yang boleh disewakan (renting) adalah semua barang


niaga tahan lama dan yang tidak mengalami perubahan teknis, baik
yang berasal dari produksi sendiri maupun hasil perakitan (assembling) lainnya di dalam negeri, kecuali apabila produksi dalam negeri
belum memungkinkan untuk itu.

3.

Pengecualian hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri


atau pejabat yang ditunjuk olehnya.

Tidak jauh berbeda dengan ketentuan sebelumnya melalui Pengumuman


Direktur Jenderal Moneter No. Peng-307/DJM/III.1/7/1974 tentang
Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing memberikan pembatasan terhadap
barang-barang yang dapat dijadikan objek leasing yaitu:
1.

Barang yang dapat dilease pada prinsipnya harus dimiliki oleh


perusahaan leasing di Indonesia dan diambil dari produksi dalam
negeri, pengecualian hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri
Keuangan setelah mendengar pertimbangan Departemen Teknis yang
bersangkutan.

2.

Dalam hal barang-barang yang dilease itu didatangkan dari luar negeri,
apabila dianggap perlu, maka barang tersebut oleh perusahaan
leasing yang bersangkutan dapat diekspor kembali setelah jangka
waktu berakhir dengan syarat-syarat tersendiri.

Secara umum dalam pelaksanaan perjanjian leasing, tahapan prosedur


dan mekanisme yang dijalankan sebelum objek leasing digunakan atau
dimanfaatkan oleh lessee dapat diuraikan sebagai berikut:

26

1.

Lessee memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan


penawaran dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksud.

2.

Lessee mengisi formulir permohonan lessee disertai dokumen-dokumen/


bukti legalitas secara lengkap.

3.

Evaluasi kelayakan kredit oleh lessor untuk memutuskan pemberian


fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui oleh para
pihak, setelah itu diikuti dengan penandatanganan perjanjian leasing.

4.

Pada saat yang bersamaan dapat disepakati penandatanganan perjanjian


penanggungan risiko kerugian (asuransi) akibat kehilangan, kerusakan,
atau kecelakaan objek leasing.

5.

Pembelian peralatan (objek leasing) oleh lessor kepada supplier.

6.

Pengiriman barang kepada lessee oleh perusahaan leasing atau supplier


ke lokasi lessee. Untuk mempertahankan dan memelihara kondisi
peralatan tersebut, supplier akan menandatangani perjanjian purna
jual dengan lessor.

7.

Penerimaan barang (objek leasing) oleh lessee disertai penandatangan


serah terima barang yang diserahkan kepada supplier.

8.

Supplier menyerahkan tanda terima (yang diterima dari lessee), bukti


kepemilikan dan pemindahan pemilikan kepada lessor.

9.

Pembayaran harga peralatan (objek leasing) yang dilease oleh


Lessor kepada supplier.

10. Lessee membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal
yang telah disepakati.

27

28

BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA LEASING

A. Penyelesaian Menurut Pendekatan Hukum Pidana


1. Contoh Kasus-Kasus Tindak Pidana Penggelapan Dalam
Perjanjian Sewa Guna Usaha di PT Bringin Indotama Sejahtera
Finance
PT Bringin Indotama Sejahtera Finance adalah perusahaan swasta
nasional yang bergerak dalam bidang Pembiayaan (Perusahaan
Pembiayaan) berupa Sewa Guna Usaha dan Pembiayaan Konsumen.
Tetapi fokus utama kegiatan perusahaan ini dalam bidang pemberian
fasilitas Sewa Guna Usaha yaitu Pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi maupun
sewa guna usaha tanpa hak opsi.
Selaku perusahaan swasta nasional, maka perusahaan ini didirikan
dan dibiayai oleh warga negara Indonesia dan menggunakan hukum
yang berlaku di Indonesia. Menurut data dari perkembangan jumlah
pembiayaan sewa guna tahun 1993 sampai dengan tahun 1998,
menunjukkan bahwa perusahaan pembiayaan patungan lebih
mendominasi pembiayaan sewa guna usaha dibandingkan dengan
perusahaan nasional.1
Dengan demikian keberadaan PT Bringin Indotama Sejahtera
Finance selaku perusahaan swasta nasional yang memfokuskan diri
pada bidang sewa guna usaha dan masih bertahan sampai saat ini
walaupun dilanda krisis ekonomi dan termasuk 5 besar perusahaan
pembiayaan di Indonesia, layak untuk dijadikan tempat penelitian
menyangkut kegiatan sewa guna usaha.
Barang modal yang dibiayai oleh PT Bringin Indotama Sejahtera
Finance dalam bidang sewa guna usaha adalah barang modal yang
1

Budi Rachmad, Multi Finance. (Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2002), Hlm. 23.

29

digunakan untuk alat produksi atau alat untuk usaha menambah


pendapatan seperti: mesin-mesin, alat-alat berat, kendaraan angkutan
penumpang dan sejenisnya.
Bahkan dalam pengembangan perusahaan, akan lebih difokuskan
pada kegiatan pembiayaan konsumen untuk otomotif, baik kendaraan
beroda empat maupun beroda dua untuk jenis kendaraan angkutan
umum (penumpang atau barang), kendaraan pribadi ataupun kendaraan
perusahaan atau dinas.
Pemilihan untuk mengutamakan pembiayaan dalam benda bergerak
didasarkan pada pertimbangan kemampuan perusahaan pembiayaan,
apalagi salah satu pemegang saham perusahaan adalah perusahaan
yang bergerak dalam bidang produsen dan agen kendaraan bermotor.
Di samping itu, berdasarkan pengalaman yang menunjukkan bahwa
pembiayaan otomotif berjalan lancar dan prospek pasarnya masih
cukup baik. Dengan demikian barang modal yang dibiayai oleh
perusahaan adalah barang modal yang digolongkan sebagai benda
bergerak.
a. Kronologis Kasus PT Vulkanisir Ban Maju Kediri pada PT
Bringin Indotama Sejahtera Finance
PT Bringin Indotama Sejahtera Finance, untuk selanjutnya
disebut BISF, memberikan fasilitas pembiayaan pada PT Vulkanisir
Ban Maju, untuk selanjutnya disebut VBM pada bulan Desember
1993 dengan nilai kontrak sebesar Rp 37.486.655.592,- (tiga
puluh tujuh miliar empat ratus delapan puluh enam juta enam
ratus lima puluh lima ribu lima ratus sembilan puluh dua rupiah).
Objek pembiayaan berupa mesin-mesin vulkanisir ban, alat-alat
berat dan kendaraan berupa truk-truk dan mobil VW Caravel.
Pada bulan Maret 1996 VBM mulai menunggak angsuran,
sehingga pada bulan Juni 1996 dilakukan Rescheduling atau
penjadwalan kembali pembayaran kredit, akan tetapi pada bulan
April 1997, Slamet Riadi selaku pemilik VBM telah mulai sulit
ditemui.
Mulai bulan Mei 1997 sampai dengan Februari 1998, BISF
terus berusahan untuk menghubungi Slamet Riadi namun yang

30

bersangkutan tetap menghindari, sedangkan terhitung sejak bulan


Juli 1996 VBM sudah tidak melakukan pembayaran angsurannya
lagi kepada BISF.
BISF menerima laporan dari petugasnya yang melakukan
kunjungan ke VBM pada sekitar Desember 1999, bahwa terhadap
VBM sedang dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh
Kejaksaan Negeri Kediri dengan dakwaan Tindak Pidana Korupsi
dengan pelapor BRI cabang Kediri.
Dalam kaitan penyelidikan dan penyidikan itu terhadap
beberapa aset milik BISF telah ikut tersita oleh Kejaksaan Negeri
Kediri. Karena hal seperti tersebut di atas, BISF lalu menyurati
Kejaksaan Negeri Kediri untuk meminta konfirmasi dan
perlindungan hukum atas haknya yang ikut tersita. (lihat surat
BISF Nomor. Dir/237/US/X/00 tanggal 19 Oktober 2000)
Sebagai tanggapan atas surat BISF di atas pihak Kejaksaan
memberikan copy Surat Penetapan PN Kediri Nomor. 15/Pen.Pid/
2000/PN.Kdr tanggal 7 November 2000 dan Surat Penetapan
Nomor. 258/Pen.Pid/2000/PN.Kdr tanggal 7 November 2000
tentang Penetapan Penggeledahan dan Penyitaan barang yang
dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kediri.
Dari daftar barang yang dilakukan penyitaan oleh Kejaksaan
Negeri Kediri tersebut ternyata sebagian besar barang-barang
itu adalah milik BISF. Berdasarkan surat BISF di atas, maka
terhadap BISF lalu dilakukan pemanggilan oleh Kejaksaan Negeri
Kediri untuk dimintakan keterangannya sebagai saksi.
Dengan surat Nomor.Dir/020/SBH/I/01 tanggal 5 Februari
2001 BISF mengajukan permohonan kepada Kejaksaan Negeri
Kediri untuk menyerahkan asetnya yang ikut tersita dan diserah
terimakan kepada BISF, karena status aset tersebut berdasarkan
perjanjian sewa guna usaha (leasing) adalah milik BISF walaupun
dalam penguasaan VBM.
Menanggapi surat BISF di atas, pihak Kejaksaan Negeri
Kediri memberikan kesempatan kepada BISF untuk melakukan
inventarisir aset-aset miliknya yang ikut tersita dari tanggal 19
sampai dengan 22 Februari 2001, pada waktu itu diketahui
beberapa barang milik BISF tidak diketahui lagi keberadaannya

31

dan diduga telah dijual atau digelapkan oleh VBM (dalam hal ini
Slamet Riadi), yaitu barang-barang berupa: Lift katrol, steam
boiler, alat pembuka baut, alat cek tekanan ban, charger battery
dan battery tester, pompa ban dan alat penyemprot angin serta
satu buah mobil Mitsubishi L300 Pick Up.
Pada saat dilakukan inventarisir itupun diketahui hampir semua
barang-barang yang disewagunausahakan oleh VBM kepada
BISF nilainya tidak sesuai (lebih tinggi dari nilai sebenarnya)
berdasarkan taksiran dari pihak appraisal yang ditunjuk oleh
BISF.
Sementara itu pihak Pengadilan Negeri (PN) Kota Kediri
atas permohonan kuasa hukum Slamet Riadi alias Sie Ping Tjing
telah mengeluarkan izin untuk melakukan penyitaan paksa terhadap
aset VBM, terhadap itu Kejaksaan Negeri (Kejari) Kediri
memprotes izin Pengadilan Negeri (PN) Kota Kediri tersebut
karena aset tersebut dinilai masih berstatus dalam sengketa.
Menurut Kepala Kejari Kediri Arifin Sahibu, di Kediri, upaya
penyitaan paksa itu menyalahi aturan karena barang-barang bukti
itu seharusnya terkait dengan persoalan pidana terdakwa Slamet
Riadi alias Sie Ping Tjing dalam kasus korupsi yang sudah dalam
proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Kediri
Protes keras itu disampaikan Arifin menyusul upaya paksa
penyitaan oleh PN Kota Kediri atas permohonan kuasa hukum
Slamet Riadi, Ari Purwanto SH,. Mengapa PN kota berani seperti
itu, padahal kasusnya sudah dilimpahkan ke PN Kabupaten.
Barang-barang yang disita itu statusnya leasing milik PT Bringin
Indotama Sejahtera Finance (BISF). Upaya sita paksa tersebut
akhirnya dibatalkan karena pihak PT Bringin Indotama Sejahtera
Finance keberatan dan mengajukan surat ke Kejaksaan Agung.
Menurut Kepala Kejari Kediri Arifin Sahibu, saat penyitaan
bulan Mei 2002, istri Slamet dan perwakilan dari PT Bringin
Indotama Sejahtera Finance hadir. PT Bringin Indotama Sejahtera
Finance, juga sudah menawarkan jika Slamet ingin menguasai
barang-barang itu, ia harus melunasi utang-utangnya. Namun
tawaran tersebut tidak dapat disanggupi, dan PT Bringin Indotama

32

Sejahtera Finance mengambil kembali aset mereka itu. Saat


disita, Slamet masih buron. Baru bulan Juni 2002 dia tertangkap.
Pernyataan Arifin itu menjawab tuduhan kuasa hukum Slamet
bahwa pihaknya bertanggung jawab atas hilangnya 11 mobil dan
truk serta 57 alat mekanik pabrik saat upaya penyitaan paksa
dilakukan pagi harinya. Bersama beberapa staf PN Kota Kediri
dan beberapa anggota Musyawarah Pimpinan Kecamatan
(Muspika) setempat, pintu gudang tempat menyimpan barang
sitaan itu dibuka paksa.
Hal itu dilakukan karena dinilai penyitaan oleh Kejari
sebelumnya tidak cukup bukti. Kejari Kediri menyita aset VBM
berdasarkan surat perintah penyitaan bernomor Print-38/P.S.12/
FPK.1/04/2000 tertanggal 11 April 2000 dan surat Ketua PN
Kota Kediri bernomor 03/Pen.Pid/2000/PN Kediri tertanggal 24
Februari 2000 menurut Arifin, PN Kota Kediri tidak menghormati
upaya penolakan (verzet) yang saat ini masih ditempuh pihaknya.
Menurut Arifin Sahibu, memang kasus perdatanya ditangani
PN Kota, akan tetapi kasus pidananya masih ditangani PN
Kabupaten. Jadi pembongkaran paksa tersebut patut disayangkan
karena proses verzet-nya saja belum ada hasil.
Dalam kasus tersebut, Slamet didakwa merugikan keuangan
negara dengan menyelewengkan dana kredit modal kerja (KMK)
melalui BRI sebesar Rp 1,26 milyar. Berdasarkan hasil audit
saksi ahli Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) Jawa Timur tanggal 13 Agustus 2002, perinciannya
antara lain kredit pokok sebesar Rp 978.942.411,- bunga kredit
sebesar Rp 142.237.135,- dan denda Rp 171.013.997,-.
b. Kasus-kasus Tindak Pidana Penggelapan Yang Lain
Kredit macet di perusahaan pembiayaan konsumen tidak
hanya dipengaruhi oleh kondisi ekonomi makro seperti naiknya
harga BBM, tingginya harga bahan pokok, sehingga menurunnya
daya bayar konsumen, tetapi juga dipengaruhi oleh antara lain:
1) Masyarakat (konsumen) belum memahami transaksi
pembiayaan konsumen dengan benar.
2) Lemahnya penerapan prinsip mengenal nasabah.

33

Ketidakpahaman masyarakat dalam transaksi pembiayaan


konsumen, sering kali menyebabkan perusahaan pembiayaan
terjebak oleh kredit macet. Caranya, dengan memberikan tawaran
yang menggiurkan cukup dengan membayar 50% dari total harga,
konsumen bisa langsung membawa kendaraan. Sedangkan, sisanya
dibayarkan dua atau tiga tahun kemudian. Nasabah juga tidak
dikenakan bunga sama sekali.
Kenyataannya tidak demikian, uang muka tersebut digunakan
untuk membayar DP (down payment) kepada pihak perusahaan
pembiayaan, itu pun diperkirakan hanya 10% dari uang muka
yang dibayar oleh nasabah. Nasabah baru menyadari tertipu
setelah sepeda motor atau mobilnya diambil paksa oleh perusahaan
pembiayaan karena dianggap tidak lagi mengangsur.
Kali ini polisi bertindak cepat, pimpinan dealer yang menipu
tersebut dapat ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Tentu
saja, bagi perusahaan pembiayaan konsumen (consumer finance
company) tidak semudah membalikkan tangan mengambil
kendaraan di konsumen yang merasa tertipu oleh dealer.
Di zaman reformasi ini, yang sangat tidak dibenarkan
melakukan tindakan represif dalam menyelesaikan masalah dengan
konsumen (debitur), yang berakibat kredit macet. Meskipun bagi
perusahaan pembiayaan kasus seperti ini bukan kasus yang baru,
banyak kasus yang serupa tapi tak sama, yang mengakibatkan
kredit macet di perusahaan pembiayaan.
Sebenarnya pada transaksi pembiayaan konsumen kendaraan
bermotor (motor, mobil) melibatkan tiga pihak, yaitu pihak kreditur/
perseroan/si berpiutang selaku badan usaha yang melakukan
pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen (motor,
mobil) dengan sistem pembayaran atau angsuran atau berkala.
Debitur/peminjam/nasabah si berutang selaku orang yang menerima
fasilitas pembiayaan dari kreditur guna pembelian kendaraan
bermotor. Dealer/showroom adalah perusahaan yang menyediakan
barang kebutuhan konsumen (motor, mobil) dalam rangka
pembiayaan konsumen.

34

Pihak perusahaan pembiayaan konsumen dapat memperoleh


nasabah dengan dua cara yaitu cara tidak langsung dan cara
langsung. Cara tidak langsung adalah perusahaan pembiayaan
memperoleh nasabah dari pihak dealer. Ini biasanya, karena
konsumen yang berkeinginan membeli kendaraan secara kredit
tidak langsung mengajukan permohonannya kepada pihak
perusahaan, melainkan melalui media dealer. Sedangkan cara
langsung adalah pihak perusahaan memperoleh nasabahnya tanpa
media dealer. Namun, dari kedua cara tersebut di atas, pihak
perusahaan/perseroan memperoleh nasabah sangat bergantung
kepada cara pertama.
Oleh karena itu, perusahaan pembiayaan mengadakan kerja
sama dengan pihak dealer. Bahkan karena persaingan yang
sangat ketat di antara perusahaan pembiayaan konsumen, banyak
perusahaan pembiayaan yang mengadakan kerja sama dengan
pihak-pihak dealer, dengan mengadakan program yang menarik,
seperti pemberian insentif bahkan ada yang berani memberikan
insentif di muka kepada pihak dealer dan lain-lain.
Sedangkan perusahaan memperoleh langsung nasabah tanpa
media dealer jumlahnya sangatlah relatif kecil. Biasanya konsumen
yang mengajukan langsung kepada pihak perusahaan, sudah menjadi
nasabah sebelumnya. Dalam istilah di lingkungan perusahaan
pembiayaan konsumen disebutnya RO (repeat order). Cara
tidak langsung inilah yang biasanya dimanfaatkan oleh dealer
nakal untuk melakukan penipuan terhadap konsumen yang
imbasnya kredit macet bagi perusahaan pembiayaan konsumen.
Selain itu pihak konsumen kurang memahami bahwa hubungan
antara dirinya dengan pihak dealer hanyalah hubungan jual beli
bersyarat, yaitu pihak dealer selaku penjual yang menjual
barangnya kepada pihak konsumen selaku pembeli, dengan syarat
bahwa harga akan dibayar oleh pihak ketiga yaitu pihak perusahaan
pembiayaan konsumen.
Sedangkan hubungan pihak konsumen dengan pihak
perusahaan pembiayaan terjadi dikarenakan adanya undang-undang
yang dibuat oleh pihak perusahaan dan pihak konsumen yang
dituangkan dalam surat perjanjian utang-piutang, yakni perjanjian

35

pembiayaan konsumen dengan cara penyerahan hak milik secara


fiducia. Sementara hubungan antara pihak perusahaan pembiayaan
dan dealer, tidak memiliki hubungan hukum yang khusus, kecuali
pihak perusahaan pembiayaan konsumen hanya sebagai pihak
ketiga yang diisyaratkan untuk menyediakan dana untuk digunakan
dalam perjanjian jual beli antara pihak dealer dan pihak konsumen.
Ini penting diketahui oleh pihak konsumen, sebab sering kali
pada kasus seperti di atas, yang banyak dirugikan adalah pihak
konsumen (masyarakat) dan juga perusahaan pembiayaan
konsumen.
Tidak dilakukan metode analisis yang komprehensif dalam
pemberian kredit, penyebab kredit macet di perusahaan
pembiayaan. Standar yang digunakan oleh perusahaan pembiayaan
konsumen dalam mengenal calon nasabahnya, tidak semendetail
bank, kalaupun digunakan hanyalah metode analisis 5 C yakni
character, capacity, capital, collateral, dan condition. Itu
pun minus C keempat yakni collateral, karena perusahaan
pembiayaan konsumen tidak berorientasi pada jaminan.
Sebenarnya hal ini bukan tidak disadari oleh para pelaku
usaha di bidang ini, namun inilah yang menjadi ciri khas dari
perusahaan pembiayaan konsumen yakni kecepatan dalam
pelayanan, proses yang sederhana, mudah, dan cepat. Maka,
tak heran ada perusahaan pembiayaan langsung kirim barang
ke konsumen, tanpa melalui survei, meskipun dengan risiko bisnis
yang besar, yaitu kredit macet.
Juga, kredit macet di perusahaan pembiayaan konsumen,
karena adanya kecurangan orang dalam (insider fraud).
Kecurangannya, yaitu berkolusi dengan pihak dealer nakal.
Surveyor (account officer) yang curang, tidak bekerja sesuai
standar operasional prosedur (SOP), antara lain: tidak melakukan
kunjungan ke tempat calon konsumen (plant visit), memanipulasi
data calon konsumen, tidak memastikan keberadaan debitur dengan
baik, menirukan tanda tangan konsumen di akta perjanjiaan.
Bahkan kecurangan yang dilakukan oleh surveyor bisa
mengakibatkan perjanjian kredit antara pihak perusahaan dan
konsumen menjadi tidak sah, yang merugikan pihak perusahaan

36

jika di kemudian hari timbul suatu masalah (sengketa), karena


hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal
yang berakibat kredit macet.
Kasus yang lain terjadi pada perusahaan Leasing di Surabaya.
Polisi terus mengusut kasus penggelapan mobil sewaan milik
rental yang dilakukan oleh Heny Dwijayanti (33) warga Gayungan,
Surabaya. Untuk itu polisi berencana memeriksa mantan Staf
Sekretaris DPRD Jatim Sri Kiswati yang saat ini masih mendekam
di Lapas Medaeng untuk dimintai keterangan seputar aksi tersebut.
Heny Dwijayanti sendiri ditangkap, karena diduga melakukan
penggelapan dan penipuan terhadap perusahaan leasing dan
rent car di wilayah Surabaya, Sidoarjo serta sebuah mobil Toyota
Avanza L 1568 EN milik persewaan Cahaya di Jln. Menur.
Penyidik terus mengembangkan kasus ini, dan rencananya akan
memerika Sri Kiswati Staf Sekretaris DPRD Jawa Timur yang
ditangkap dengan kasus penggelapan dan penipuan mobil. Diduga
keduanya termasuk dalam satu jaringan penipuan dan penggelapan
mobil perusahaan leasing maupun rent car. Sementara itu, polisi
masih mengejar tersangka lain yang diduga sebagai otak pembobolan
mobil mewah perusahaan leasing mobil dan rent car.
Tersangka menggunakan identitas seperti kartu keluarga (KK)
dan kartu tanda penduduk (KTP), menyaru sebagai pasangan
suami istri dan mengkontrak rumah mewah untuk meyakinkan
karyawan leasing.
Kasus yang lain adalah Polisi menangkap Kuspramawati,
Direktur PT Tri Prama Mandiri, tersangka kasus penipuan
penjualan mobil leasing dengan modus menawarkan mobil hadiah
untuk pejabat dengan harga murah. Hasil penjualan digunakan
sebagai modal pembelian pampers (pembalut) yang didistribusikan
ke sejumlah rumah sakit di Jakarta
Dalam aksinya, tersangka mengaku telah menjual sedikitnya
25 unit mobil dengan harga lebih murah dari harga showroom.
Setiap penjualan satu unit mobil tersangka dapat meraih keuntungan
hingga ratusan juta rupiah. Modus yang digunakan tersangka
dalam setiap aksinya adalah dengan cara menawarkan mobil
hadiah untuk pejabat yang berada di sebuah showroom dengan

37

harga lebih murah.


Setelah terjadi kesepakatan soal harga antara pelaku dan
korbannya, pelaku kemudian membeli mobil secara leasing dengan
uang muka sebesar Rp 30 juta hingga Rp 50 juta, sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh sebuah showroom mobil.
Selanjutnya mobil tersebut diserahkan kepada korban berikut
kelengkapan surat-surat kendaraannya. Sebaliknya, korban
menyerahkan sejumlah uang seperti yang telah ditetapkan dalam
kesepakatan harga mobil sebelumnya.
Setelah membayar uang muka, tersangka kemudian menghilang
untuk seterusnya membawa sisa uang ratusan juta yang seharusnya
dibayarkan kepada showroom mobil. Kasus ini terungkap ketika
beberapa showroom mobil menyadari pelaku tidak pernah lagi
membayar angsuran mobil setiap bulannya. Atas dasar itu pula
korban dan pihak showroom melaporkan kasus ini ke pihak
berwajib. Dari hasil penyelidikan aparat kepolisian akhirnya dapat
meringkus tersangka. Bersama tersangka juga disita barang bukti
empat unit mobil, yakni masing-masing satu unit Kijang Innova,
Honda CRV dan sedan Honda City yang diduga merupakan
hasil aksi dari tersangka yang belum berhasil dijual.
2.

Penyelesaian Kasus Dengan Menerapkan Sanksi Pidana Secara


Ultimum Remedium
Fungsi Umum Hukum Pidana sama dengan fungsi hukum pada
umumnya yaitu untuk menjaga ketertiban dan keamaan serta keadilan
dalam masyarakat
a.
b.
c.

Sedangkan Fungsi Khusus Hukum Pidana adalah:


Melindungi seseorang dari perbuatan yang hendak memperkosa
kepentingan hukum orang itu.
Sebagai obat terakhir (ultimum remedium).
Sebagai pedang bermata dua yang bersifat tragis artinya di satu
sisi hukum pidana melukai kepentingan hukum orang itu dan di
sisi lain hukum pidana melindungi kepentingan hukum orang itu.

Jika dilihat dari tujuan hukum pidana adalah untuk menakutnakuti setiap orang yang melakukan tindak pidana. Artinya, setiap

38

orang yang akan melakukan tindak pidana maka orang itu akan
berpikir untuk melakukannya.2 Antara lain adalah:
1.

Menakut-nakuti/pencegahan (bersifat preventif), yaitu melakuan


pencegahan terlebih dahulu.

2.

Menjatuhi hukuman (bersifat represif), yaitu menghukum pelaku


yang telah melakukan perbuatan pidana dengan hukuman yang
dijatuhkan oleh hakim.

Tidaklah mudah membuat hukum pidana, karena meliputi 3 aspek


kehidupan manusia, manusia sebagai individu (kita harus menghormati
hak-hak asasi manusia), manusia sebagai makhluk sosial (bagaimana
manusia berinteraksi dengan sesamanya) dan manusia sebagai makhluk
budaya (yang menghasilkan karya-karya kebudayaan yang harus
dilindungi oleh hukum). Profesor Muladi pernah mengutarakan bahwa
dalam mempidana atau mengkriminalisasi harus sangat memperhatikan
syarat-syarat yang banyak dan sifatnya limitatif. Ini karena hukum
pidana sifatnya adalah Ultimum Remedium. Syarat-syarat limitatif
itu adalah:
1. Jangan menggunakan hukum pidana untuk membalas dendam
semata-mata;
2. Jangan menggunakan hukum pidana jika korbannya tidak jelas;
3. Jangan menggunakan hukum pidana jika ada cara-cara lain yang
lebih efektif;
4. Jangan menggunakan hukum pidana jika kerugian pembiayaan
akibat dari pemidanaan lebih besar daripada kerugian pembiayaan
akibat tindak pidana itu sendiri;
5. Jangan menggunakan hukum pidana jika efek sampingnya lebih
besar dari perbuatan yang dikriminalisasikan;
6. Jangan menggunakan hukum pidana jika tidak mendapat dukungan
masyarakat luas;
7. Jangan menggunakan hukum pidana apabila hukum tersebut
diperkirakan tidak bisa berlaku secara efektif;
2. C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PN. Balai
Pustaka, 1979. Hlm. 66

39

8.
9.

Hukum pidana harus bisa menjaga kepentingan negara, individu


dan masyarakat;
Dan harus selaras dengan pencegahan yang sifatnya non-penal.

Hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam


keadaan cara melakukan pengendalian sosial tidak (belum) dapat
diharapkan keefektifannya. Ini berarti hukum pidana sebagai ultimum
remedium. Hukum pidana sebagai ultimum remedium itu hendaknya
diperhatikan, karena hukum acara pidana juga memberikan wewenang
yang luas kepada polisi dan kejaksaan. Itu berarti apakah hukum
pidana sebagai ultimum remedium pada akhirnya akan ditentukan
oleh keputusan pihak penyidik polisi dan jaksa selaku penuntut dan
hakim. Tanpa adanya rambu-rambu yang jelas dan kontrol masyarakat
prinsip ultimum remedium itu dapat disalahgunakan. Karena itu dalil
remedium harus dipandang tidak semata-mata sebagai sarana, untuk
perbaikan pelanggaran hukum yang dilakukan atau sebagai pengganti
kerugian akan tetapi sebagai sarana menenangkan kerusuhan yang
timbul dalam masyarakat, karena jika pelanggaran hukum dibiarkan
saja akan terjadi tindakan sewenang-wenang. Guna mencegah
terjadi penyimpangan dalam menerapkan konsep hukum pidana sebagai
ultimum remedium diperlukan aturan Acara Pidana yang jelas dan
secara ketat mengatur kewenangan polisi. Selain itu diperlukan pula
kontrol dari parlemen dan masyarakat.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 448/KMK.017/2000 yang
telah diperbaharui dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/
KMK.03/2002 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan
hanya mengatur mengenai kegiatan usaha dan tata cara pendirian
perusahaan pembiayaan. Selain itu juga dibahas mengenai kepemilikan
dan kepengurusan perusahaan pembiayaan.Tetapi untuk melengkapi
Peraturan Menteri Keuangan tersebut telah terbit pula peraturan
yang baru, yaitu Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.012/
2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Sedangkan apabila terjadi
kasus-kasus yang terjadi dalam proses pembiayaan yang dilakukan
oleh perusahaan leasing belum diatur dalam suatu perundang-undangan.
Hal ini menimbulkan celah yang dapat dipergunakan oleh para
pelaku kejahatan di bidang kendaraan bermotor baik mobil maupun

40

motor. Masyarakat yang belum mengetahui seluk beluk jasa pembiayaan


mudah tergiur oleh janji-janji dealer yang kadang berkerja sama dengan
perusahaan pembiayaan atau leasing untuk memperdaya konsumennya.
Atau konsumen tersebut mempunyai niat jahat untuk melakukan
penggelapan dengan melarikan kendaraan yang masih dalam proses
pelunasan dan tidak ketahuan lagi rimbanya. Sebenarnya pengertian
di atas tidak dapat digunakan pengertian perusahaan pembiayaan
atau leasing, karena leasing yang dimaksud dalam kajian ini adalah
merupakan salah satu kegiatan dari perusahaan pembiayaan. Dan
kasus yang terjadi pun adalah akibat dari kesalahan oknum perorangan
baik dealer maupun perusahaan pembiayaan dan sangat tidak mungkin
dilakukan keduanya secara kelembagaan, karena bisnis yang dinginkan
adalah bisnis yang memberdayakan konsumen bukan memperdayakan
konsumen.
Salah satu bukti rendahnya kecerdasan ini dalam kasus-kasus
tersebut di atas adalah mudahnya mereka untuk tergiur mendapatkan
kredit dengan harga yang murah. Ini jelas tidak masuk akal dan
memiliki risiko yang tinggi. Mereka malah lebih percaya pada kekuatan
finansial dan perencanaan sendiri. Para nasabah harus mempertanyakan
ketika itu ada kredit murah yang harus dilunasi tanpa bunga. Sebagai
nasabah yang cerdas, nereka harus meneliti proposal bisnis atau
kredit yang dirawarkan kepada mereka. Begitu juga institusi yang
terlibat dalam perkreditan itu harus diketahui reputasinya. Memang
masyarakat konsumtif yang suka jalan pintas paling mudah menjadi
korban penipuan. Mereka tidak menghargai proses berinvestasi dan
menggandakan uang secara benar. Sebuah akar yang sama yang
bisa menjelaskan mengapa negara ini menjadi sarang koruptor dan
para pembohong publik.
B . Penyelesaian Menurut Pendekatan Hukum Perdata
1.

Contoh Kasus: Hakim Putuskan Perusahaan Leasing


Wanprestasi
a. Putusan Perkara Perdata Pekanbaru
Majelis hakim dalam amar putusan perkara perdata antara
pihak Penggugat PT Sedayu Citra Mobil (PT SCM) melawan

41

pihak Tergugat PT Kembang 88 menyatakan pihak tergugat PT


Kembang 88 terbukti secara hukum melakukan perbuatan
wanprestasi kepada pihak penggugat. Putusan tersebut berlangsung
dalam sidang perkara tersebut di Pengadilan Negeri Pekanbaru,
Selasa (19/1). Usai sidang, kuasa hukum PT SCM Abubakar
Sidik mengatakan, majelis hakim yang diketuai Ratna Mintarsih
didampingi hakim anggota Pandu Budiono dan Miani Silitonga
itu juga memutuskan menghukum tergugat untuk membayar kepada
penggugat terhadap 10 unit kendaraan bermotor jenis niaga merek
Hyundai yang belum dibayar tergugat senilai Rp2,244 miliar.
Majelis hakim juga memutuskan agar pihak Tergugat membayar
kerugian pihak Penggugat dengan nilai Rp1,024 miliar yang
diakibatkan keterlambatan Tergugat membayar pelunasan terhadap
103 unit yang sudah diaplikasi. Selain itu juga menghukum Tergugat
untuk membayar kepada Penggugat terhadap denda keterlambatan
sebesar Rp1,024 miliar lebih. Abubakar yang juga didampingi
Direktur PT SCM Benyamin menyatakan, jika putusan pengadilan
tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkrach) nantinya maka
pihaknya meminta PN Pekanbaru untuk melayangkan surat teguran
(aanmaning) apabila pihak PT Kembang 88 tidak mengindahkan
putusan pengadilan itu. Namun setelah putusan ini dibacakan
ada tenggang waktu bagi pihak lawan untuk melakukan
banding, jelas Abubakar. Terhadap putusan PN Pekanbaru tersebut
Benyamin menyatakan putusan itu sudah cukup adil dan sudah
sesuai dengan rasa keadilan. Saya menyambut baik putusan
hakim. Mungkin ke depan saya lebih berhati-hati lagi terhadap
pihak leasing dalam menjalin kerja sama dalam bisnis, katanya.
Namun demikian, setelah putusan atas perkara perdata yang
memenangkan pihaknya itu, Abubakar dan Benyamin senada
mengatakan juga akan menempuh jalur pidana atas dugaan penipuan
yang dilakukan Kacab PT Kembang 88 Pekanbaru, terkait
perkara ini, pihak kami sudah melaporkan Kacab PT Kembang
88 ke Poltabes untuk kasus pidana dugaan penipuan dan atau
penggelapan, ujar Abubakar seraya menyatakan laporan ke
Poltabes itu bernomor No. Pol.: LP/65/I/2010/KA-SPK tertanggal
13 Januari 2010.

42

b. Kasus Sengketa Kontrak Leasing


Kasus Posisi
Eddy adalah Direktur CV Grafel Offset di Surabaya, suatu
perusahaan di bidang percetakan. Pada 1984 berkeinginan
menambah kemampuan cetak perusahaannya. Untuk itu, Eddy
memesan sebuah mesin offset Miller TP.295 melalui jasa leasing
dari PT Pamor Cipta Inti Leasing yang dipimpin Ir. Wilson
Tjugiarto. Sebagai penjamin adalah PT Baginda Putera, yang
dikelola Baginda Batangtaris. Maka di antara ketiganya terjadi
hubungan bisnis.
PT Pamor Cipta Inti Leasing adalah Lessor. Pemasok
barang (supplier) dan penerima jaminan dari CV Grafel Offset
dan PT Baginda Putera.
CV Grafel Offset adalah Lessee, yang menerima barang
dari Lessor dan pemberi jaminan pada lessor untuk pembayaran
ganti rugi jika terjadi kegagalan pelaksanaan perjanjian.
Sedangkan PT Baginda Putra adalah Supplier atau Importir
yang memasok barang kepada Lessee; sekaligus pemberi jaminan
kepada PT Pamor Cipta Inti Leasing untuk membeli kembali
barang tersebut, jika Lessee gagal melaksanakan perjanjian.
Tanggal 18 November 1983, dibuatlah Perjanjian Leasing
di hadapan Notaris di Jakarta, Samsul Hadi, S.H., yang
ditandatangani Wilson sebagai pimpinan PT Pamor Cipta Inti
Leasing. Eddy mewakili CV Grafel Offset. Pada saat yang
sama ditandatangani pula surat garansi (jaminan) dan ganti kerugian
oleh Eddy (CV Grafel Offset) serta surat garansi untuk pembelian
kembali yang ditandatangani pihak PT Baginda Putra.
Dari perjanjian yang dibuat, maka masing-masing pihak
mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan
yang diperjanjikan.
Cara pembayaran yang disepakati:
CV Grafel Offset harus mendepositokan uang pada PT
Pamor Cipta Inti Leasing sebesar Rp 25.650.000,-

43

Lease Period (masa produktif mesin) selama 3 tahun


Lessee diwajibkan membayar harga mesin secara bertahap.
Lease Rent yang harus dibayar tiap bulan Rp 6.021.370,Residual Value sebesar 20% = Rp 34.200.000,Dalam perkembangannya, setelah mesin yang dipesan telah
diterima CV Grafel Offset, Eddy tidak mampu membayar
kewajibannya. Tanggal 12/9/1984, Eddy menyatakan diri tidak
mampu lagi mengangsur harga mesin dan meminta agar mesin
itu diangkat. Sebagaimana disepakati, adalah kewajiban PT Baginda
Putra, sebagai penjamin yang harus membeli kembali mesin
tersebut (guarantee to buy back). Jumlah yang harus dibayar
PT Baginda Putera sebagai penjamin adalah Rp 220.352.367,-.
Namun demikian, meski telah dihubungi persurat berkali-kali,
PT Baginda Putera tidak memberikan tanggapan untuk
melaksanakan kewajibannya.
Mesin yang kemudian disimpan di gudang PT Pamor Cipta
Inti tersebut, tidak dapat lagi dioperasikan, apalagi dipasarkan
karena bagian-bagian penting dari mesin offset itu (Electronic
Monitoring System WEKO TYPE 7309 dan spare parts MILLER
TP 29 S TYPE WL 230/59), diambil oleh Baginda Batang Taris
tanpa sepengetahuan Wilson.
Perjanjian Leasing antar PT Pamor Cipta Inti - CV Grafel
Offset - PT Baginda Putera, pada dasarnya tidak dapat dibatalkan,
karena Eddy telah membayar Residual Value sebesar 15% =
Rp 25.650.000,- ini berarti Eddy telah menggunakan hak opsi,
yakni akan membeli barang, modal jika harga sewa telah dibayar
seluruhnya.
Oleh karena merasa dirugikan, Ir. Wilson Tjugiarto, membawa
masalah ini ke persidangan perdata pengadilan negeri Jakarta
Selatan untuk menggugat Eddy (CV Grafel Offset) sebagai
Tergugat I dan Baginda Batang Taris (PT Baginda Putera)
sebagai Tergugat II. Kepada Majelis Hakim Wilson sebagai
Penggugat memohon putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan seluruh gugatan;
2. Menyatakan para Tergugat telah melakukan ingkar janji;

44

3.
4.

Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas harta benda


para Tergugat;
Menyatakan satu Perjanjian Leasing tanggal 18 November 1983 yang ditandatangani oleh Penggugat (PT Pamor
Cipta Inti Leasing) dengan Tergugat I (CV Grafel Offset)
beserta lampirannya:
a. Surat garansi dan ganti kerugian yang ditandatangani
oleh Tergugat I (CV Grafel Offset).
b. Surat garansi untuk pembelian kembali yang ditandatangani oleh Tergugat II (PT Baginda Putera).

5.

Menghukum para Tergugat secara tanggung renteng membeli


kembali mesin offset merk Miller PT.29.S yang perinciannya
sebagi berikut:
- Total Lease Receivable:
36 x Rp. 6.021.370
Rp 216.769.320,- Residual Value 5%
Rp 8.550.000,- Overdue interested
(Juli-Agustus 1984)
Rp
547.342,- Biaya perjalanan ke Surabaya 2x Rp
507.075,- +
Jumlah
Rp 226.373.737,- Cicilan I (Juni 1984)
Rp 6.021.370,- +
Jumlah
Rp 232.395.107,-

6.

Menghukum para Tergugat secara tanggung renteng membayar


bunga 5% per bulan dari jumlah yang harus dibayar kembali
oleh para Tergugat kepada Penggugat sampai dengan mesin
tersebut dibeli kembali oleh Tergugat dari Penggugat.

7.

Menghukum para Tergugat membayar uang denda dst

Pengadilan Negeri:
Hakim Pertama yang mengadili perkara ini, memberikan
pertimbangan yuridis sebagai berikut:
1. Dalam eksepsinya, Tergugat II, mengemukakan bahwa Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang memeriksa perkara ini,

45

karena Tergugat I berdomisili di Surabaya. Dan hal ini bertentangan


dengan Pasal 118 (2) HIR. Selain itu, gugatan terhadap Tergugat
I dan II secara pribadi adalah keliru, sebab Tergugat I dan II,
tidak mempunyai hubungan hukum dengan Penggugat.

2.

2.

Mengenai hal itu, Majelis merujuk pada pasal 25 Perjanjian


(bukti P-IV), yang bersepakat menunjuk Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, sebagai Pengadilan yang memeriksa perkara. Jika terjadi
sengketa. Oleh karenanya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
tetap berwenang memeriksa perkara ini. Sehingga Eksepsi Tergugat
II, harus ditolak.

3.

Sedangkan tentang error in persona, Penggugat telah jelas


menyebutkan nama Tergugat I sebagai pribadi, maupun selaku
Direktur CV Grafel Offset dan Tergugat II sebagai pribadi dan
atau Managing Director dan atas nama PT Baginda Putera.
Hal ini jelas bahwa para Tergugat, digugat sebagai pribadi dan
dalam hubungan sebagai Direktur dari perusahaannya masingmasing. Karenanya, gugatan Penggugat telah tepat dan Eksepsi
Tergugat II, harus pula ditolak.

Penyelesaian Kasus

Perdata (dalam Sengketa Leasing)

Seperti lazimnya pada perjanjian-perjanjian lain, terdapat


kemungkinan timbulnya perselisihan antara para pihak, antara lain
bisa berupa perbedaan penafsiran terhadap isi perjanjian, wanprestasi,
dan overmacht. Perbedaan penafsiran dapat timbul dari berbedanya
penafsiran terhadap kata-kata atau bahasa dalam perjanjian setelah
perjanjian berlaku efektif yang belakangan baru diketahui/disadari
oleh salah satu pihak atau pihak lainnya. Wanprestasi timbul karena
maksud dan isi perjanjian tidak terlaksana sebagaimana yang telah
diperjanjikan. Ada 4 (empat) bentuk wanprestasi yang dikenal dalam
KUHPerdata yakni:
1. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan;
2. Melaksanakan perjanjian tapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Terlambat melaksanakan apa yang dijanjikan;
4. Melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian.

46

Dalam hal adanya pihak yang wanprestasi maka pihak yang


menderita kerugian dapat meminta pertanggungjawaban kepada pihak
yang lainnya dengan pengenaan sanksi atau hukuman. Hukuman
yang dikenakan dapat berupa:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau ganti rugi
(Pasal 1234 KUHPerdata);
2. Pembatalan perjanjian melalui hakim (1266 KUH Perdata);
3. Peralihan resiko kepada debitur sejak terjadinya wanprestasi
(Pasal 1237 ayat 2 KUH Perdata)
4. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka Pengadilan
(Pasal 181 ayat 1 HIR)
Berdasarkan Pasal 1267 KUHPerdata dalam penerapannya dapat
ditetapkan bahwa kreditur dapat memilih apakah ia menuntut
pemenuhan perjanjian, pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi, ganti
rugi saja, pembatalan perjanjian saja, dan atau pembatalan perjanjian
disertai dengan ganti rugi.
Overmacht ialah keadaan di luar kehendak para pihak yang
mengakibatkan tidak dapat terlaksananya perjanjian sebagaimana yang
telah disepakati, antara lain bisa disebakan bencana alam, peperangan,
wabah penyakit, kebakaran, dan lain sebagainya.
Dalam perselihan tersebut para pihak dimungkinkan untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul melalui jalur:
1. Di luar Pengadilan
Dilakukan melalui upaya-upaya yang sah yang tidak
menggunakan pendekatan hukum secara legal formil untuk
merundingkan penyelesaian. Lebih mengedepankan ukuran-ukuran
kepatutan dan moral. Dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terdapat beberapa
alternatif sarana penyelesaian sengketa yakni dapat melalui:
a.

Negosiasi
Upaya penyelesaian di luar pengadilan di mana para pihak
yang bersengketa melakukan perundingan dan pembahasan
tentang permasalahan yang dihadapi dengan memberikan

47

penawaran-penawaran sebagai penyelesaian. Negosiasi adalah


suatu proses berkomunikasi satu sama lain yang dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan kita ketika pihak lain menguasai
yang kita inginkan.
b. Mediasi
Upaya penyelesaian di luar pengadilan di mana para pihak
yang bersengketa melakukan perundingan dan pembahasan
tentang permasalahan yang dihadapi dengan menghadirkan
pihak ketiga yang dianggap netral untuk menengahi. Pihak
yang bersengketa memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang
independen untuk bertindak sebagai mediator (penengah)
dengan menggunakan berbagai prosedur, teknik, dan
keterampilan untuk membantu para pihak dalam menyelesaikan
sengketa mereka melalui perundingan. Mediator tidak
mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan yang
mengikat, tetapi para pihaklah yang didorong untuk membuat
keputusan. Oleh karena itu bentuk penyelesaiannya adalah
akta perdamaian antara para pihak yang berselisih.
c.

Konsiliasi
Pihak yang bersengketa memanfaatkan bantuan pihak ketiga
yang independen untuk bertindak sebagai konsiliator
(penengah) dengan menggunakan berbagai prosedur, teknik,
dan keterampilan untuk membantu para pihak dalam
menyelesaikan sengketa mereka melalui perundingan.
Konsiliator mempunyai kewenangan untuk membuat
keputusan yang bersifat anjuran. Oleh karena itu bentuk
penyelesaiannya adalah putusan yang bersifat anjuran.

d.

Pendapat ahli
Meminta pendapat ahli dalam hal terjadinya perbedaan
penafsiran terhadap maksud, isi dan pelaksanaan perjanjian,
yang mana pendapat ahli tersebut dijadikan acuan untuk
penyelesaian perkara.
Ahli yang dimintakan pendapat merupakan kesepakatan
para pihak, dipandang memiliki pengetahuan dan pengalaman

48

di bidangnya sehingga dianggap mampu memberikan pendapat


dan saran yang objektif, akuntabel dan profesional.
e.

Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Arbitrase merupakan proses penyelesaian
perselisihan yang diakui oleh undang-undang dimana salah
satu pihak atau lebih menyerahkan sengketanya dengan satu
pihak lain atau lebih kepada satu orang arbiter atau lebih
dalam bentuk majelis arbiter ahli yang profesional yang akan
bertindak sebagai hakim/wasit yang akan menerapkan tata
cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata
cara hukum perdamaian yang telah disepakati bersama oleh
para pihak terdahulu untuk sampai pada putusan yang terakhir
dan mengikat.
Langkah-langkah lainnya yang dapat dilakukan oleh lessor dalam
penanganan leasing bermasalah yaitu:

Surat-menyurat: surat pemberitahuan, surat peringatan


(somasi);

Penjadwalan ulang (Reschedulling) pembayaran sewa, atau


penyerahan objek leasing;

Reposision, yaitu pengambilalihan objek leasing secara paksa


dari lessor apabila semua usaha telah ditempuh, dengan
memperhatikan: salinan seluruh data dan dokumen perjanjian,
persiapan teknisi dan peralatan khusus (jika diperlukan),
dan koordinasi dengan pihak berwajib dan perangkat
masyarakat setempat agar terhindar dari permasalahan lainnya.
2. Melalui Pengadilan
Upaya penyelesaian melalui lembaga hukum negara
merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh apabila tidak
ditemukan cara lain dalam penyelesaian perjanjian leasing
bermasalah. Cara ini dapat dikatakan kurang begitu populer
para lessor karena memiliki beberapa kelemahan, yakni: proses

49

yang relatif panjang sehingga memakan waktu yang lama dan


berjenjang (mulai dari tahapan Pengadilan Negeri, Banding di
Pengadilan Tinggi, dan Kasasi di Mahkamah Agung), biaya yang
mahal, dan masih terdapat kemungkinan pemeriksaan kembali
terhadap putusan yang sudah inckraht (final) melalui upaya
peninjauan kembali.
Salah satu cara penyelesian melalui pendekatan hukum perdata
ialah pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Negeri disertai dengan alasan-alasan dan tuntutan/
permohonan terhadap pihak yang digugat.
Untuk memperbaiki atau memulihkan hak-hak lessor yang
telah menderita kerugian akibat ingkar janji dari pihak lessee
sebagaimana yang telah diperjanjikan dan juga akibat dari perbuatan
pihak lessee yang melawan hukum, maka pihak lessor dapat
menuntut ke Pengadilan agar:

Meletakkan sita revindikator (revindicatoir beslag) atas


barang-barang yang menjadi objek perjanjian lease itu, dengan
maksud untuk mengambil kembali barang-barang milik
lessor yang berada dalam kekuasaaan lessee.

Menghukum lessee untuk membayar ganti rugi kepada pihak


lessor atas kerugian yang dideritanya sebagai akibat dari
tindakan ingkar janji dan/atau perbuatan melawan hukum
lessee.

Meletakkan sita jaminan atas harta-harta milik lessee untuk


menjamin pembayaran ganti rugi dan lain-lain.

Mengalihkan risiko kepada lessee.

Menghukum lessee membayar perkara yang diajukan ke


Pengadilan.

Pembatalan perjanjian leasing akibat adanya wanprestasi.


Upaya lain ialah melalui penyelesaian hukum pidana apabila
ditemukan adanya perbuatan lessee yang melanggar ketentuan
hukum pidana, misalnya ada penipuan, penggelapan, pengrusakan,
atau perbuatan pidana lain terhadap objek leasing. Lessor membuat
laporan Polisi tentang adanya dugaan tindak pidana ke Kepolisian
setempat untuk segera dapat diproses.

50

C. Analisis
Umumnya kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi memicu
lahirnya perbuatan-perbuatan melawan hukum baru, yang penyelesaiannya
tidak hanya menuntut diberlakukan sanksi pidana saja tetapi juga bisa
sanksi administrasi dan perdata. Inilah yang merupakan pemicu (triger)
lahirnya beberapa undang-undang baru, seperti Undang-Undang Perbankan,
Perseroan Terbatas, Hak Atas Kekayaan Intelektual dan Undang-Undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kesemua undang-undang baru tersebut
dikenal sebagai hukum fungsional (functioneel rechtsgebeid). Artinya
undang-undang seperti ini memiliki tiga macam aspek hukum dan sekaligus
tiga macam sanksi, yaitu administrasi, perdata dan pidana. Dengan demikian,
pelaku perbuatan melawan hukum dalam hukum fungsional dapat dikenakan
sanksi administrasi, perdata dan pidana. Tetapi karena hukum fungsional
tidak diiringi dengan hukum acara, maka proses gugatan dan penuntutan
mempergunakan hukum acara dari hukum konvensional. Artinya bila
pelaku perbuatan melawan hukum dalam hukum fungsional hendak digugat
secara perdata, maka gugatan dan prosesnya harus merujuk kepada
HIR dan Rbg. Sedangkan bila dituntut secara pidana, maka penuntutan
pelaku harus berpedoman kepada KUHAP.
Pertanyaan yang timbul di sini adalah apakah pelaku perbuatan melawan
hukum dalam hukum fungsional dapat dikenakan ketiga sanksi sekaligus?
Kalau jawabannya boleh, maka timbul pertanyaan susulan: Apakah
penjatuhan tiga sanksi sekaligus (administrasi, perdata dan pidana) tidak
melanggar asas nebis in idem (dalam hukum pidana, seseorang tidak
boleh dihukum dua kali karena perbuatan melawan hukum yang sama).
Untuk pertanyaan pertama, jawabannya adalah bahwa pelaku perbuatan
melawan hukum undang-undang fungsional dapat dikenakan ketiga macam
sanksi sekaligus karena bentuk hukumannya berbeda satu sama lainnya.
Sanksi administrasi dapat berupa sanksi ringan berupa teguran, denda
administrasi dan terberat pencabutan izin. Sedangkan sanksi perdata dapat
berupa tindakan pemulihan dan ganti rugi, yang diberikan berdasarkan
gugatan perdata dari korban yang dirugikan. Sedangkan sanksi pidana
dapat berupa penjara dan denda, yang dijatuhkan berdasarkan tuntutan
jaksa.

51

Penjatuhan ketiga macam sanksi sebagaimana diuraikan di atas tidak


terkategori sebagai pelanggaran terhadap asas nebis in idem. Kenapa
demikian? Karena penjatuhan sanksi baru dianggap pelanggaran asas
nebis bila seseorang dijatuhi dua sanksi pidana atas suatu perbuatan
melawan hukum yang sama. Sehubungan dengan pelaksanaan hukum
fungsional, ada lagi pertanyaan lain, yaitu sanksi apakah yang harus
didahulukan atau diutamakan untuk pemulihan (primum remedium)
Normalnya, sanksi administrasi merupakan primum remedium. Ini disebabkan
karena pelanggaran yang lebih parah bisa dicegah dan dihalangi secara
efisien dengan mempergunakan sanksi administrasi, yang tidak membutuhkan
proses persidangan (ajudikasi). Tambahan pula, hukum fungsional umumnya
lebih berat ke arah hukum administrasi.
Ini ditandai dengan dominannya pengaturan instrumen hukum
administrasi, seperti cara pendaftaran, pemberian dan pencabutan izin.
Sanksi pidana dalam hukum fungsional dianggap atau selalu dijadikan
sebagai upaya hukum terakhir dalam memberikan pemulihan kepada korban
dari perbuatan melawan hukum. Hal inilah yang dikenal sebagai ultimum
remedium, artinya penegakan hukum pidana dapat dilakukan setelah upaya
hukum administrasi dan perdata ternyata tidak berhasil menimbulkan efek
penjeraan (deterrant effect) kepada pelaku perbuatan melawan hukum.
Sebagai ilustrasi kita gunakan contoh penegakan hukum lingkungan.
Dalam hukum lingkungan, pelaku perbuatan melawan hukum dianjurkan
untuk tidak dituntut secara pidana terlebih dahulu. Upaya hukum administrasi
harus diutamakan (primum remedium). Tujuan penerapan hukum administrasi
adalah supaya kegiatan ekonomi tetap jalan dan kesalahan bisa segera
diperbaiki. Bahkan dalam hal ini, Pemerintah dianjurkan untuk memberikan
bantuan teknologi dan finansial kepada pelanggar hukum agar dia bisa
mematuhi hukum untuk mencegah perbuatan melawan hukum lebih parah.
Sekalipun hukum pidana merupakan upaya remedi terakhir (ultimum
remedium) dalam penegakan hukum, dia bisa berubah menjadi upaya
remedium pertama (primum remedium) berdasarkan asas subsidiaritas.
Artinya berdasarkan asas ini, penegakan hukum pidana bisa langsung
dijadikan primum remedium walaupun penegakan hukum administrasi
dan upaya perdata belum dilakukan.

52

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1.

Leasing sebagai salah satu alternatif pembiayaan yang memberikan


kemudahan-kemudahan dibandingkan pembiayaan melalui pinjaman
dari Bank dan penggunaan jaminan dalam perjanjian leasing merupakan
hal yang penting, karena merupakan pengamanan, dan perjanjian itu
sendiri dibuat dalam bentuk akta otentik; Dan leasing juga berarti
perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang
modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee. Hak pemilikan
atas barang modal ada pada lessor, sedangkan lessee menggunakan
barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang
telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu. Setiap perjanjian
harus memenuhi beberapa unsur yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata, yaitu: (a) Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
(agreement); (b) Kecakapan para pihak dalam perjanjian
(capacity); (c) Mengenai suatu hal tertentu (certainty of terms);
dan (d) Sebab yang halal (considerations).

2.

Selain itu dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan


bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU
bagi yang membuatnya. Kata semua dalam pasal ini menyatakan
bahwa diperbolehkan membuat perjanjian berupa apa saja dan berisi
apa saja sepanjang isi perjanjian tersebut tidak melanggar kausa
yang halal dan ketentuan UU yang ada.

3.

Objek leasing dapat berupa barang bergerak dan tidak bergerak


yang memiliki unsur sama dengan masa kegunaan ekonomis barang
tersebut atau barang niaga tahan lama, baik yang baru maupun yang
bekas tetapi tidak mengalami perubahan teknis. Kegiatan usaha leasing
atau usaha jasa sewa beli telah berkembang dan meningkat dengan
pesat terutama objek leasingnya sejalan dengan perkembangan di
sektor industri khususnya kendaraan bermotor roda dua dan empat,

53

rumah tinggal dan peralatan kantor (perabotan rumah tangga; barangbarang elektronik).
4.

5.

Penyelesaian sengketa leasing bisa dilakukan melalui jalur:


a.

Di luar pengadilan dengan cara: (1) Negosiasi; (2) Mediasi; (3)


Konsiliasi; (4) Pendapat ahli; dan (5) Arbitrase atau dengan
langkah lain, yaitu dengan surat menyurat; penjadwalan ulang
dan reposision, yaitu pengambilalihan objek leasing secara paksa
dari lessor apabila semua usaha telah ditempuh.

b.

Melalui pengadilan, yaitu penyelesaian melalui hukum pidana


apabila ditemukan adanya perbuatan lessee yang melanggar
ketentuan pidana misalnya ada penipuan, penggelapan, pengrusakan
atau perbuatan pidana lain terhadap objek leasing.

Seiring dengan maraknya produk-produk yang ditawarkan oleh


perusahaan multifinance, di antaranya perjanjian dengan model sewa
guna usaha atas barang modal berupa benda bergerak baik berupa
kendaraan roda dua maupun roda empat. Akan tetapi tidak semua
perjanjian sewa guna usaha tersebut berjalan dengan lancar, sering
kali terjadi tindak kejahatan yang apabila dilihat dari unsur-unsurnya
telah terpenuhi pasal tindak pidana penggelapan terhadap barang
modal yang menjadi barang jaminan sewa guna usaha itu.
Namun terhadap tindak pidana penggelapan yang terjadi pada
kasus-kasus perjanjian sewa guna usaha oleh para pelaku bisnis
sewa guna usaha/lessor lebih banyak diselesaikan sesuai dengan
prosedur yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Seperti melakukan
penagihan melalui divisi penagihan atau melalui debt collector yang
disewa oleh perusahaan untuk melakukan penarikan secara paksa
terhadap barang jaminan. Hal ini dilakukan agar perusahaan pembiayaan
tidak perlu mengeluarkan biaya yang terlampau besar apabila harus
melaporkan tindak pidana penggelapan tersebut ke Kepolisian, yang
apabila berlanjut pada proses persidangan di pengadilan akan terjadi
perdebatan mengenai status kepemilikan atas barang modal yang
menjadi jaminan sewa guna usaha, oleh karena tidak adanya undangundang yang menjamin kepastian kepemilikan lessor atas barang
modal jaminan sewa guna usaha itu, belum lagi perhitungan masalah
waktu penyelesaian yang akan sangat berlarut-larut.

54

Upaya penarikan paksa barang modal jaminan sewa guna usaha


dan penagihan melalui divisi penagihan ini adalah sebagai langkah
awal yang akan berujung pada perdamaian antara lessee dengan
lessor supaya tidak terjadi kerugian yang semakin besar. Langkah
lebih lanjut dengan melaporkan kepada pihak kepolisian apabila upaya
damai tidak berhasil dan telah terjadi kerugian yang terlampau besar
bagi perusahaan. Kepolisian akan bertindak berdasarkan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dengan menerapkan Pasal 372
mengenai penggelapan yang dalam hal ini berlaku sebagai ultimum
remedium.
Dalam kasus-kasus tindak pidana penggelapan terhadap barang
modal yang menjadi jaminan sewa guna usaha, upaya/kebijakan
ultimum remedium ini seringkali mendapat hasil yang cukup memuaskan
bagi perusahaan pembiayaan, berbeda dengan kasus-kasus penggelapan
dalam perjanjian sewa guna usaha untuk benda bergerak, yang
penggunaan upaya ultimum remedium dengan cara penyelesaian di
luar ketentuan hukum pidana pada umumnya dapat berhasil dengan
memuaskan, akan tetapi khusus dalam kejahatan terhadap lingkungan
dalam undang-undang lingkungan hidup, upaya/kebijakan ultimum
remedium ini tidak dapat bekerja secara maksimal, oleh karena dengan
penggunaan Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan
Hukum terdapat kelemahan dalam hukum acaranya yang akan
memakan waktu berlarut-larut di semua tingkat peradilan, dengan
adanya kelemahan tersebut tidak ada efek jera bagi pelaku kejahatan
lingkungan, sementara dengan lamanya waktu penyelesaian secara
perdata kerusakan lingkungan yang terjadi akan semakin parah,
karenanya berdasarkan asas subsidiaritas upaya ultimum remedium
(remedi terakhir) dalam hal ini penerapan sanksi pasal pidana dapat
berubah menjadi upaya/kebijakan primum remedium (remedi pertama),
di mana dengan penggunaan pasal-pasal pidana terhadap pelaku
kejahatan lingkungan dapat dilakukan sanksi pidana terlebih dahulu
kemudian setelahnya baru dilakukan penuntutan secara perdata.
6.

Hambatan yang ditemui dalam penyelesaian kasus tindak pidana


penggelapan dalam perjanjian sewa guna usaha adalah lamanya waktu
proses penyelesaian kasus tindak pidana penggelapan itu dan sudah
barang tentu karenanya akan memakan biaya yang cukup besar

55

yang seringkali tidak sebanding dengan harga/nilai barang modal


yang menjadi jaminan sewa guna usaha serta kurangnya perangkat
hukum seperti undang-undang yang mengatur apabila terjadi tindak
pidana penggelapan yang berhubungan dengan perusahaan pembiayaan
yang di dalamnya terdapat perjanjian sewa guna usaha.
7.

Keberadaan leasing pertama kali diatur oleh keluarnya Surat Keputusan


Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian
dan Menteri Perdagangan RI No. Kep-122/MK/IV/2/1974, 32/M/
SK/2/1974, 30/Kpb/i/1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan
Usaha Leasing; Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.
34/KP/II/1980 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire
Purchase), Jual Beli dengan Angsuran, dan Sewa (renting);
Pengumuman Direktur Jenderal Moneter No. Peng-307/DJM/III.1/
7/1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing dan diikuti
dengan keluarnya beberapa peraturan lain, yaitu Surat Keputusan
Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan
Sewa Guna Usaha atau Leasing; Peraturan Menteri Keuangan Nomor
172/KMK.03/2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan
dan diperkuat dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 61 Tahun
1988 dan Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/
2006 tentang Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan.
Leasing sebelumnya merupakan perjanjian tidak bernama
disebabkan tidak diatur dalam KUHPerdata, leasing hanya diakibatkan
oleh adanya Pasal 3338 KUHPerdata.
Dengan demikian baik dari segi juridis formal dalam hal ini
perjanjian sewa guna usaha maupun kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat khususnya kalangan dunia usaha, telah diakui dan diterima
bahwa barang modal termasuk benda bergerak yang didanai oleh
lessor adalah milik lessor walaupun secara fisik benda bergerak itu
berada dan dikuasai oleh lessee serta data-data dokumen kepemilikan
atas benda bergerak yang dijadikan jaminan sewa guna usaha itu
atas nama lessee. Lessee dalam hal ini hanya berhak menggunakan
dan menikmati benda bergerak tersebut dengan kewajiban membayar
angsuran sewa secara berkala sesuai dengan kesepakatan.

56

Jadi sudah saatnya pemerintah membuat undang-undang yang


khusus membahas tentang perusahaan pembiayaan termasuk di
dalamnya mengenai sewa guna usaha, anjak piutang dan consumer
finance, supaya apabila terdapat tindak pidana dalam perjanjian sewa
guna usaha dapat dikenakan hukuman yang sesuai agar dapat membuat
jera pelaku yang sering melakukan kejahatan tersebut. Selama ini
peraturan yang mengatur tentang Perusahaan Pembiayaan adalah
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 dan hanya
mengatur mengenai kegiatan usaha perusahaan pembiayaan.
B . Saran
1.

Saat ini sewa guna usaha merupakan salah satu cara perusahaan
memperoleh aset atau kepemilikan atas barang modal tanpa harus
melalui proses yang berkepanjangan. Semuanya telah diatur oleh
lembaga pembiayaan yang disediakan oleh berbagai perusahaan, namun
satu hal yang perlu menjadi perhatian khusus, agar dalam pencatatan
atau pencantuman nama pemilik dalam surat-surat bukti kepemilikan
benda bergerak yang dijadikan jaminan sewa guna usaha tidaklah
diatasnamakan lessee terlebih dahulu sebelum terjadi pelunasan
pembayaran nilai angsuran sewa. Pengertian ini tidak sejalan dengan
pengertian leasing secara keseluruhan, di mana dalam leasing tidak
terjadi pelunasan pembayaran nilai angsuran sewa yang terjadi di
mana terjadi peralihan hak kepemilikan adalah manakala lessee
mengambil opsi beli pada financial lease.

2.

Perlu dibentuk peraturan hukum yang lebih kuat untuk melindungi


kegiatan lembaga pembiayaan dengan undang-undang lembaga
pembiayaan sehingga dapat mengatasi segala permasalahan yang
timbul dalam kegiatan pembiayaan. Jadi sudah saatnya pemerintah
membuat undang-undang yang khusus membahas tentang perusahaan
pembiayaan termasuk di dalamnya mengenai sewa guna usaha, anjak
piutang dan consumer finance. Lebih khusus di dalam perjanjian
pembiayaan sewa guna usaha lebih dipertegas dalam hal status
kepemilikan benda bergerak yang dijadikan jaminan sewa guna usaha,
sehingga apabila terdapat tindak pidana penggelapan dalam perjanjian
sewa guna usaha dapat dikenakan hukuman yang sesuai dan yang
dapat membuat jera pelaku yang sering melakukan kejahatan tersebut.

57

3.

Sebelum memberikan pembiayaan dalam bentuk perjanjian sewa guna


usaha, hendaknya perusahaan pembiayaan lebih memperketat lagi
proses pencairan dana tersebut. Walaupun pembiayaan dalam bentuk
sewa guna usaha pada perusahaan pembiayaan tidak seketat pemberian
kredit pada perbankan, tidak ada salahnya tetap memperhatikan prinsip
5c character, capital, capacity, collateral dan condition of economy
pada pihak/perusahaan yang akan mendapat pembiayaan, sehingga
wanprestasi dalam pembayaran angsuran sewa tidak terjadi, karena
dapat merugikan perusahaan dalam jumlah yang besar.

4.

Perlu dibentuk adanya lembaga arbitrase khusus untuk menangani


masalah angsuran sewa yang macet dalam pembiayaan barang modal
oleh perusahaan pembiayaan, sehingga dapat turut membantu
menyelesaikan kasus wanprestasi dengan waktu yang tidak berlarutlarut atau kasus pidana baik berupa penggelapan dan penipuan pada
perusahaan pembiayaan.

58

DAFTAR PUSTAKA

Andasasmita Komar, Leasing; Teori dan Praktek, Bandung, Ikatan


Notaris Indonesia Komisaris Jawa Barat, 1983.
Anwar Achmad, Leasing Di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987.
Fuady Munir, Hukum Pembiayaan Dalam Teori dan Praktik, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1995.
Hatta Sri Gambir Melati, Beli Sewa sebagai Perjanjian Tak Bernama;
Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Bandung: Alumni, 2000.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum, dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PN, Balai Pustaka 1979.
Muhammad Abdulkadir dan Rilda Murniati, Lembaga Keuangan dan
Pembiayaan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004.
Marpaung Charles Dulles, Pemahaman Dasar Atas Usaha Leasing,
Jakarta: Integritas Press, 1985.
Mulyadi Kartini, Perjanjian Leasing, Varia Peradilan, Januari, 1987.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana,
Bandung: Alumni, 1992.
Purnomo Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Seri Hukum Pidana I,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993.
Rachmat Budi, Multi Finance, Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2002.
Soekardi Eddy P., Mekanisme Leasing, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990.
Soemitro, Leasing Ditinjau Dari Segi Hukum Perpajakan Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1986.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita,
1994.
Soebekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1990.

59

Subrata Suparto Wignya, Perkembangan dan Tantangan Usaha Leasing di Indonesia, Bandung: Intermasa, 1986.
Suyatmi Sri dan J. Sidarta, Problematika Leasing di Indonesia, Jakarta:
Artika Media Cipta, 1992.
Subroto Thomas, Tanya Jawab Hukum Jaminan, Semarang: Dahara
Prize, 1995.
Trandanu Sigit, Bank dan Lembaga Keuangan, Jakarta: Salemba Empat,
2000.
Tunggal Amin Wijaya dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis Dalam
Leasing, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Usman Marzuki, Industri Leasing di Indonesia dan Peranannya Dalam
Pembangunan Nasional, Jakarta, Varia Peradilan Nomor 16, IKAHI,
1987.
________________, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta:
Bumi Aksara, 2005.
________________, Inventarisasi Perundang-undangan Mengenai
Leasing, Jakarta: Ind Hill Co, 1986.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Pokok Perbankan.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan.
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang
Kegiatan Sewa Guna Usaha atau Leasing.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/KMK.03/2002 tentang Perubahan
Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 448/KMK.017/2000 tentang
Perusahaan Pembiayaan.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 448/KMK.017/2000 tentang
Perusahaan Pembiayaan.

60

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan


Pembiayaan.
Adji Indriyanto Seno, Korupsi dan Hukum Pidana, Jakarta: Kantor
Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oeman Seno Adji, SH. dan
Rekan, 2002.
Bakti Yudha A, Cause Materials Hukum Bisnis; Tinjauan Perjanjian
Baku dalam Hukum Perjanjian Indonesia, Makalah; disampaikan
sebagai bahan ceramah kuliah Hukum Bisnis pada Program
Pascasarjana Universitas Jayabaya Jakarta, 2005.
Bank Indonesia, Evaluasi Perkembangan Moneter, Perbankan dan
sistem Pembayaran Triwulan III Tahun 2000 serta Arah Kebijakan
Bank Indonesia Mendatang, Kompas, 21 Oktober 2002.
Kartanegara Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Jakarta, Balai
Lektur Mahasiswa, 2000.
Moleong Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosda
Karja, 2000.
Sinungan Muchdarsyah, Dasar-dasar dan Teknik Manajemen Kredit,
Jakarta: Bina Aksara, 1989.
Saleh Roeslan, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Hukum Pidana,
Jakarta: Aksara Baru, 1987.
Soekanto Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Waelan Sam A, Rmk & Wiraswasla Bank & Entrepreneur, Jakarta:
Bank & Wiraswasta, 1990.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 terhadap Uji
Materiil Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 beserta penjelasannya, dan Pasal
15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Manan Bagir, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta:
Ind-Hill. Co, 1992.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.
Arief Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994.

61

Badrulzaman Mariam Darus, Bab-bab Tentang Credit Verband, Gadai


dan Fidusia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Sofyan Masjcoen, Sri Soedewi, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokokpokok Jaminan dan Jaminan Perorangan, Jakarta: BPHN, 1997.
Hasan Djuhaendah, Aspek Hukum Jaminan Kebendaan Dan Perorangan,
Jurnal Hukum Bisnis, Volume 11, 2001.
_________________, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum
Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
_________________, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum
Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
________________, Suatu Reorientasi Dalam Hukum Pidana, Jakarta:
Aksara Baru, 1978.
_________________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

62

PERSONALIA TIM

Kegiatan kompilasi bidang hukum tentang Leasing dibentuk


berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor
PHN.54.HN.01.04 Tahun 2009, tertanggal 8 Januari 2009, dengan susunan
personalia sebagai berikut:
Ketua

: Dr. Nurwidiatmo, S.H., M.H.

Sekretaris/Anggota : Ismail, S.H.


Anggota

: 1. Chaerudin, S.H., M.H.


2. Yuni Hadiati, S.H.
3. Eko Budisiswanto, S.H.
4. Subianta Mandala, S.H., LL.M.
5. Jamilus, S.H., M.H.
6. Henry Donald, S.H., M.H.
7. Melok Karyandani, S.H.
8. Tuyono, S.H.

63

64

LAMPIRAN

65

66

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR: 61 TAHUN 1988
TENTANG
LEMBAGA PEMBIAYAAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

a. bahwa dalam rangka menunjang pertumbuhan


ekonomi maka sarana penyediaan dana yang
dibutuhkan masyarakat perlu lebih diperluas sehingga
peranannya sebagai sumber dana pembangunan
makin meningkat;
b. bahwa untuk maksud tersebut peranan Lembaga
Pembiayaan sebagai salah satu sumber pembiayaan
pembangunan perlu lebih ditingkatkan;
c. bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan tentang Lembaga
Pembiayaan dalam Keputusan Presiden;

Mengingat

: 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Undang


Dasar 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad
1847 Nomor 23);
3. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Staatsblad
1847 Nomor 23) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4

67

Tahun 1971 (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor


20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2959);
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang
Pokok-pokok Perkoperasian (Lembaran Negara
Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2832);
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Pokok-pokok Perbankan (Lembaran Negara Tahun
1967 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2842)
MEMUTUSKAN :
Dengan mencabut Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun
1988 tentang Lembaga Pembiayaan.
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1.

Menteri adalah Menteri Keuangan;

2.

Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan


pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan
tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat;

3.

Bank adalah Bank Umum, Bank Tabungan dan Bank Pembangunan


sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967
tentang Pokok-Pokok Perbankan;

4.

Lembaga Keuangan Bukan Bank adalah badan usaha yang melakukan


kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung
menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan

68

menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai investasi


perusahaan-perusahaan;
5.

Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga


Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan
yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan;

6.

Perusahaan Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance Company) adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan
barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran
atau berkala;

7.

Perusahaan Kartu Kredit (Credit Card Company) adalah badan


usaha yang melakukan usaha pembiayaan untuk membeli barang
dan jasa dengan menggunakan kartu kredit;

8.

Perusahaan Anjak Piutang (Factoring Company) adalah badan usaha


yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/
atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek
suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri;

9.

Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing Company) adalah badan


usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang modal baik secara Finance Lease maupun Operating
Lease untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha selama jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala;

10. Perusahaan Perdagangan Surat Berharga (Securities Company)


adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk
perdagangan surat berharga;
11. Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) adalah badan
usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyertaan
modal ke dalam suatu Perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan
(Investee Company) untuk jangka waktu tertentu;
12. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernyataan
kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu
kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada
penggantinya.

69

BAB II
BIDANG USAHA DAN PENDIRIAN LEMBAGA
PEMBIAYAAN
Pasal 2
(1) Lembaga Pembiayaan melakukan kegiatan yang meliputi antara lain
bidang usaha:
a. Sewa Guna Usaha;
b. Modal Ventura;
c. Perdagangan Surat Berharga;
d. Anjak Piutang;
e. Usaha Kartu Kredit;
f. Pembiayaan Konsumen.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan dan tata cara pendirian
perusahaan, serta kegiatan dalam bidang-bidang usaha sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 3
(1) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat dilakukan
oleh:
a. Bank;
b. Lembaga Keuangan Bukan Bank;
c. Perusahaan Pembiayaan.
(2) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
c berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.
(3) Saham Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk Perseroan Terbatas
dapat dimiliki oleh:
a.

Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum Indonesia;

b.

Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan


Hukum Indonesia (Usaha Patungan).

(4) Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing sebagaimana dimaksud


dalam ayat (3) huruf b ditentukan sebesar-besarnya 85% (delapan
puluh lima persen) dari Modal Disetor.

70

Pasal 4
(1) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat
melalukan satu atau lebih kegiatan Usaha Lembaga Pembiayaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur oleh Menteri
BAB III
PEMBATASAN
Pasal 5
(1) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf c dilarang menarik dana secara langsung dari masyarakat
dalam bentuk:
a. Giro;
b. Deposito;
c. Tabungan;
d. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note).
(2) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf c dapat menerbitkan Surat Sanggup Bayar hanya sebagai
jaminan atas utang kepada Bank yang menjadi krediturnya.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 6
Menteri melakukan pengawasan dan pembinaan atas usaha Perusahaan
Pembiayaan.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 7
Dengan ditetapkannya Keputusan Presiden ini, Bank, Lembaga Keuangan
Bukan Bank, dan Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin
usaha dari Menteri atau telah melaksanakan kegiatan usaha pembiayaan
tetap dapat melanjutkan kegiatannya dengan mengadakan penyesuaian
terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.

71

BAB VI
KETENTUA
N PENUTUP
Pasal 8
Dengan ditetapkannya Keputusan Presiden ini, segala peraturan mengenai
Sewa Guna Usaha yang telah ada, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan
Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 1988
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 1988
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1988


NOMOR 53

72

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 9 TAHUN 2009
TENTANG
LEMBAGA PEMBIAYAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

a. bahwa dalam rangka upaya meningkatkan peran


Lembaga Pembiayaan dalam proses pembangunan
nasional, perlu didukung oleh ketentuan mengenai
Lembaga Pembiayaan yang memadai;
b. bahwa untuk dapat meningkatkan peran sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, Keputusan Presiden Nomor
61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan perlu
disempurnakan dengan mengganti Keputusan
Presiden dimaksud dengan Peraturan Presiden yang
baru;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Presiden tentang Lembaga
Pembiayaan;

Mengingat

1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad
1847 Nomor 23);

73

3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang


Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaga
Negara Republik Indonesia Nomor 3502);
4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan
Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan

PERATURAN PRESIDEN TENTANG LEMBAGA


PEMBIAYAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:


1.

Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan


pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.

2.

Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang khusus didirikan


untuk melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan
Konsumen, dan/atau usaha Kartu Kredit.

3.

Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) adalah badan


usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam
suatu Perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (investee
Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan
saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi, dan/atau
pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha.

4.

Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan usaha yang didirikan


khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana
pada proyek infrastruktur.

5.

Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam


bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha

74

dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa
hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna
Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran
secara angsuran.
6.

Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk


pembelian piutang dagang jangka pendek suatu Perusahaan berikut
pengurusan atas piutang tersebut.

7.

Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan


pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen
dengan pembayaran secara angsuran.

8.

Usaha Kartu Kredit (Credit Card) adalah kegiatan pembiayaan untuk


pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit.

9.

Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernyataan


kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu
kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada
penggantinya.

10. Menteri adalah Menteri Keuangan.


BAB II
JENIS, KEGIATAN USAHA, DAN PENDIRIAN
LEMBAGA PEMBIAYAAN
Pasal 2
Lembaga Pembiayaan meliputi:
a. Perusahaan Pembiayaan;
b. Perusahaan Modal Ventura; dan
c. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.
Pasal 3
Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi:
a. Sewa Guna Usaha;
b. Anjak Piutang;
c. Usaha Kartu Kredit; dan/atau
d. Pembiayaan Konsumen.

75

Pasal 4
Kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura meliputi:
a. Penyertaan saham (equity participation);
b. Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity participation); dan/atau
c. Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/
revenue sharing).
Pasal 5
(1) Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi:
a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk Pembiayaan
Infrastruktur;
b. Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain;
dan/atau
c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang
berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur.
(2) Untuk mendukung kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat pula melakukan:
a. Pemberian dukungan kredit (credit enhancement), termasuk
penjaminan untuk Pembiayaan Infrastruktur;
b. Pemberian jasa konsultasi (advisory services);
c. Penyertaan modal (equity investmen);
d. Upaya mencarikan swap market yang berkaitan dengan
Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau
e. Kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan
Pembiayaan Infrastruktur setelah memperoleh persetujuan dari
Menteri.
Pasal 6
Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.
Pasal 7
(1) Saham Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang berbentuk Perseroan
Terbatas dapat dimiliki oleh:

76

a.
b.

Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum Indonesia;


Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan
Hukum Indonesia (usaha patungan).

(2) Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf b ditentukan paling besar 85% (delapan puluh
lima per seratus) dari Modal Disetor.
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan, tata cara pendirian perusahaan
dan pelaksanaan kegiatan usaha diatur oleh Menteri.
BAB III
PEMBATASAN
Pasal 9
Lembaga Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilarang
menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk:
a. Giro;
b. Deposito;
c. Tabungan.
Pasal 10
(1) Lembaga Pembiayaan dapat menerbitkan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) dengan memenuhi prinsip kehati-hatian (prudential principles).
(2) Penerbitan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 11
Menteri melakukan pengawasan dan pembinaan atas Lembaga Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

77

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 12
Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini, Perusahaan Pembiayaan
dan Perusahaan Modal Ventura yang telah memperoleh izin usaha dari
Menteri tetap dapat melanjutkan kegiatannya dengan melakukan penyesuaian
terhadap Peraturan Presiden ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan
Presiden ini ditetapkan.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini:
a.

Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga


Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor
53) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

b.

Semua peraturan perundangan-undangan yang merupakan peraturan


pelaksanaan dari Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang
Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1988 Nomor 53) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden ini.
Pasal 14

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Maret 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

78

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum
ttd.
Dr. M. Iman Santoso

79

Anda mungkin juga menyukai