Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM PERDATA INTERNASIOAL

A. Istilah dan Pengertian


Isitlah Hukum Perdata International disingkat HPI yang di gunakan di Indonesia ialah Privat
International Law. Isitlah HPI juga di terjemahkan oleh pakar hukum perdata seperti Mochtar
Kusumatatmaja, HPI merupakan keseluruhan kaidah asas hukum yang mengatur hubungan hukum
yang mengatur hubungan perdata yang melintas batas negara. Dengan kata lain, HPI adalah hukum
yang mengatur hubungan hukum keperdataan antara pelaku hukum yang masing masing tunduk
pada hukum perdata ( nasional ) yang berbeda beda.

Berbeda pula dengan hukum internatinoal Publik adalah keseluruhan kaidah dan asa yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintas batas begara ( Hubungan Internatonal ) yang
bersifat bukan perdata / lebih kepada hukum publick.

Dari kedua pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan ada kesamaan di dalam HPI dan HI
yaitu masing masing mengatur hubungan atau persoalan yang melintas batas negara ( International
). Perbedaannya terletak pada sifat nya hubungan nya atau persoalan yang diatur ( Obyeknya ).

Dari segi sumber HI dan HPI sangatlah berbeda ketika kita berbicara HI dia lebih mempelajari
kepada hubungan antar negara satu dengan yang lain sumbernya hukum nya seperti, Pasal 38
statuta Mahkamah International . Ketika kita berbicara sumber Hukum HPI sangantlah berbeda
karna sumbernya nya hanyalah hukum nasional saja (domestic law). Oleh karna itu sumber HPI
bukanlah hukum iternational, terkadang istilah HPI di anggap kurang tepat, karena masih banyak
titik snggung dengan bidang hukum lain atau dengan pendekatan ilmu maka banyak ahli yang
menggunakan nya.

Menurut R.H. Graveson, HPI menrupakan bidnag hukum yang berkatan dengan perkara-
perkara yang di dalamnya mengandung fakta yang relevan yang berhubungan dengan suatu sitem
hukum lain. Faktor tersebut bisa kita tarik kesimpulan bahwa di sebabkan karna personalitasnya
maupun teritorialnya yang dapat menimbulkan pemberlakuan hukum tersendii atau menimbulkan
yurisdiksi pengadilan itu sendiri.
Dari beberapa pendapat para ahli kata international dalam HPI ini bukan lah melulu merujuk
pada sumber international, melainkan merujuk pad keadaan fakta atau materinya, hanyalah
hubungan atau peristiwa yang bersifat international. Yang bersifat international obyeknya jadi
yang bersifat international itu hanyalah hubunganya saja, sedangkan kaidah hukum nya masih
tunduk pada hukum perdata nasional. Dari peristiwa atau hubungan hukum tersebut haruslah ada
unsur asing (foreign elments) di dalam nya. Unsur Asing yang terkandung di dalam HPI tidak
hanya pada faktor personalnya subjek yang melakukan peruatan hukum atau subjek yang
melakukan perbuatan hukum yang beda negara, sedangkan faktor teritorial merujuk pada tempat
kejadiannya hubungan hukum atau perbuatan terjadi nya peritiwa hukum tersebut di luar negri.
Sudah jelas HPI adlah bagian Hukum Perdata nasional

B. Hukum Perselisihan
Kata selain HPI kadang juga di pakai seperti istilah perselisihan yang merupakan padanan
dari istilah Conflict of law atau Conflictten Recht atau Conflict des Status. Sebagai fariasi dari
istilah Conflicttenrecht digunakan juga istilah Collisiereccht yang di artikan dengan istilah
hukum kolisi atau hukum perselisihan. Istilah inpin pada akhirnya juga menimbulkan sejumlah
kritik, diantaranya
Isutilah hukum perselsihan mempunyai makna seolah olah dalam HPI terdapat
perselisihan, atau pertentangan di antara berbagai sistem hukum. Padahal bukan itu yang
dimaksut justru HPI berfungsi untuk menghindari bentrokan atau perselisihan di antara berbagai
bidang hukum yang bersangkutan untuk diberlakukan dalam suatu peristiwa hukum tertentu. Jika
suatu hal tertentu digunakan oleh hakim, ini semata mata karena ditentukan oleh hukum nasional
hakim tersbut (Lex Fory).
Pemaknaan lain pun timbul istilah ini juga ada kesa seolah olah kedaulatan negara sedang
berkonflik sehingga hakim dalam memilih hukum harus dipakainya (Lex Causa) terpengaruhnya
untuk memakai hukum sendiri (Lex fori).
C. Hukum Antar Tata Hukum
Berdasarkan pengertian HATAH Interen tersebut, HATAH Interen dapat dibagi dalam tiga
golongan, yakni:
1. Hukum Antar Waktu;
2. Hukum Antar Tempat; dan
3. Hukum Antar Golongan, termasuk Hukum Antar Agama.
Pada zaman Hindia Belanda, Hukum Antar Golongan (HAG) pernah menunjukkan perannya.
Hal ini disebabkan berlakunya Pasal 131 Wet op de Staats Inrichting van Nederland Indie yang
biasa disebut sebagai Indische Staats Regeling (IS) yang membagi penduduk Hindia Belanda
dalam tiga golongan, yakni:
1. Golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa;
2. Golongan Timur Asing; dan
3. Golongan bumiputera.
D. Masalah Pokok Hukum Perdata International
Permasalan di dalam HPI sebagai berikut :
1. Hakim atau pengadilan manakah yang berwenang untuk menuyelesaikan persoalan
hukum yang mengandung unsur asing.
2. Penerapan hukum negera mana yang harus di berlakukan untuk mengatur dan
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang mengandung unsur asing.
3. Bilamana dan sejauhmana suatu pengadilan harus memperhatikan dan mengakui putusan
putusn pengadilan asing dan atau mengakui hak hak atau kewajiban-kewajiban hukum
yang berdasarkan hukum atau putusan pengadilan asing.
Hal yangsama di ungkapkan oleh Dvid D. Siegel dan P.M. North J.J. Fawcett, seperti
berikut
1. Kewenangan pengadilan yang mengadili perkara tersebut (jurisdiction)
2. Hukum yang harus di terapkan dalam suatu perkara yang mengandung unsur asing
(choice of law)
3. Pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing (recodnition and enforcement of
foreign judgment)
E. Ruang Lingkup Hukum Perdata Internasional
Sudargo Gautama mengemukakan ada berbagai pendapat atau pandangan tentang ruang lingkup
HPI, yaitu:
1. HPI sama dengan Rechtstoepassingrecht
HPI yang terbatas pada masalah hukum yang diberlakukan (rechtstoepassing). Disini yang
dibahas hanyalah masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum yang harus diberlakukan. Hal
lain yang berkenaan dengan kompetensi pengadilan, status orang asing, dan kewarganegaraan
tidak termasuk bidang HPI.
2. HPI sama dengan Choice of Law dan Choice of Jurisdiction
Menurut konsep ini, HPI tidak hanya terbatas pada persoalan conflict of law (tepatnya choice
of law), tetapi termasuk juga termasuk conflict of jurisdiction (tepatnya choice of jurisdiction),
yakni permasalahan yang berkaitan dengan kompetensi pengadilan. Jadi HPI tidak hanya
mencakup masalah hukum yang harus diberlakukan, tetapi juga menyangkut pengadilan mana
yang berwenang.Konsep semacam ini dianut Inggris, Amerika, dan negara-negara common law
lainnya.
3. HPI sama dengan Choice of Law ditambah Choice of Jurisdiction dan Condition des
Etrangers
Dalam konsep ini, HPI tidak hanya menyangkut persoalan pilihan hukum, pilihan jurisdiksi,
tetapi juga status orang asing (condition des etrangers). Konsep semacam ini dianut Italia,
Spanyol, dan negara-negara Amerika Selatan.
4. HPI sama dengan Choice of Law ditambah dengan Choice of Jurisdiction, Condition des
Etrangers, dan Nationalite
Menurut konsep ini, HPI menyangkut persoalan pilihan hukum, pilihan jurisdiksi, status
orang asing, kewarganegaraan. Masalah kewarganegaraan ini menyangkut persoalan cara
memperoleh dan hilangnya kewarganegaraan. Konsep HPI yang paling luas ini dianut oleh HPI
Perancis.
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
A. Awal perkembangan hukum perdata internasional
Pada zaman romawi kuno, semua persoalan yang timbul sebagai akibat hubungan antara orang
romawi dan pedagang asing diselesaikan oleh hakim pengadilan khusus yang disebut praetor
peregrines. Hukum yang digunakan yakni ius civile yang disesuaikan dengan pergaulan
internasional. Ius civile yang telah diapdatasi untu hubungan internasional tersebut berkembang
menjadi ius gentium berkembang menjadi ius gentium.
Sebagaimana halnya ius civile, ius gentium juga memuat kaidah-kaidah yang dapat
dikategorikan ke dalam ius privatum dan ius publicium. Pada masa Romawi itu, berkembang asas
asas HPI yang dilandasi asas teritorial, yang sampai sekarang masih dianggap sebagai asas HPI
yang penting, yakni :
1. Asas Lex Rei sitae (Lex Situs), yang menyatakan bahwa hukum harus diberlakukan atas
suatu benda adalah hukum di mana benda berada atau terletak.
2. Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa terhadap kontrak (yang bersifat HPI)
adalah hukum di mana kontrak itu dibuat atau ditandatangani.
3. Asas Lex Domicilii, yang menyatakan bahwa hukum yang mengatur hak dan kewajiban
perorangan adalah hukum di mana seseorang berkediaman tetap.
Di dalam prinsip teritorial, hukum yang berlaku bersifat teritorial setiap wilayah (teritorial)
memiliki hukumnya sendiri. Hanya ada satu hukum yang berlaku terhadap semua orang benda
yang berada di wilayah itu, dan perbuatan hukum yang diberlakukan di wilayah itu.
B. Masa Pertumbuhan Asas Personal (Abad 6-10 M)
Pada akhir abad 6 M, kekaisaran Romawi ditaklukkan bangsa "Barbar" dari Eropa, Bekas
wilayah kekaisaran Romawi diduduki oleh berbagai bangsa yang saling berlainan secara
geneologis. Kedudukan ius civile menjadi kurang penting karena masing-masing suku bangsa
tersebut tetap memberlakukan hukum personal, hukum keluarga, dan hukum agamanya masing-
masing di daerah yang didudukinya. Dengan demikian prinsip teritorial berubah menjadi prinsip
personal.
Dalam menyelesaikan sengketa yang menyangkut dua suku bangsa yang berbeda itu biasanya
ditentukan lebih dulu kaidah- kaidah hukum (adat) masing-masing suku, barulah ditetapkan
hukum mana yang akan diberlakukan.
Beberapa asas HPI yang tumbuh pada era ini dapat dikategorikan sebagai asas HPI yang
berasaskan personal misalnya:
1. Asas yang menetapkan bahwa hukum yang berlaku dalam suatu perkara adalah hukum personal
pihak tergugat;
2. Asas yang menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum seseorang
ditentukan oleh hukum personal orang yang bersangkutan. Kapasitas hukum para pihak dalam
perianjian harus ditentukan oleh hukum personal masing- masing pihak;
3. Asas yang menyatakan bahwa masalah pewarisan harus diatur berdasarkan hukum personal si
pewaris; dan
4. Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum personal suami.
C. Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad 11-12 M)
Dikawasan Eropa utara terjadi peralihan struktur geneologis ke arah masyarakat feodalistis,
khususnya di wilayah Inggris, Perancis, dan Jerman.Makin banyak tuan tanah (landlords) yang
berkuasa. Mereka memberlakukan hukum mereka sendiri terhadap semua orang dan semua
hubungan hukum yang berlangsung di wilayahnya.
Di kawasan Eropa bagian selatan, terjadi transfonmasi dari asas personalitas geneologiske arah
asas territorial Transformasi tersebut berlangsung bersamaan dengan pertumbuhan pusat-pusat
perdagangan, khususnya di Italia. Dasar ikatan antar manusia di sini bukan lagi geneologis atau
feodalisme, melainkan tempat tinggal yang sama." Kota-kota perdagangan yang tumbuh pesat itu
antara lain Florence, Pisa, Venecia, Milan, Padua, dan Genoa. Kota-kota perdagangan tersebut
merupakan kota otonom dengan:
1. batas-batas teritorial sendiri; dan
2. sistem hukum lokal yang berlainan satu dengan lainnya dan berbeda pula dengan hukum
Romawi dan Lombardi yang berlaku umum di seluruh Italia.
Keanekaragaman (diversity) sistem hukum lokal (municipal law) ditambah dengan tingginya
intensitas perdagangan antar kota seringkali menimbulkan permasalahan pengakuan terhadap
hukum dan hak-hak asing (kota lain) di suatu wilayah kota. Baik secara langsung atau tidak,
kondisi ini mendorong pertumbuhan kaidah-kaidah hukum perdata internasional.
D. Perkembangan Teori Statuta di Italia (Abad 13 15 M)
Dengan makin berkembangnya perdagangan antar (warga) kota-kota di Italia tersebut di atas,
penerapan asas teritorial tidak dapat dipertahankan lagi dan perlu peninjauan kembali. Situasi
tersebut mendorong para ahli hukum universitas-universitas di Italia mencari asas-asas hukum
yang dianggap lebih adil dan wajar (fair and reasonable). Usaha-usaha yang dilakukan adalah
dengan membuat tafsiran baru dan menyempurnakan kaidah-kaidah yang tertulis dalam hukum
Romawi. Mereka inilah yang termasuk dalam golongan postglossatoren."
Dalam mencari dasar hukum yang baru untuk mengatur hubungan-hubungan di antara para
pihak yang tunduk padasistem yang berbeda tersebut, kelompok ini mengacu kepada corpus iuris
dari Justianus. Mereka menemukan suatu kaidah dimulai dengan kata: cuntos popules ques
Clamentiae Nostrae regit imperium" (semua bangsa di bawah kekuasaan kami).
Di dalam teks Codex Justianus ditemukan glossea Accurrius (1128) yang pada pokoknya
menyatakan:" Apabila seorang warga Bologna digugat di Modena, maka ia jangan diadili menurut
statuta Modena dari kota mana ia bukan merupakan warga, oleh karena dalam Undang-Undang
Conctus popolos telah ditentukan ...quos nostrae clemen tiae regit imperium".
Doktrin yang diintroduksikan Accursius tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh
Batolus De Sassoferrato (314-1357). Dia berusaha mengembangkan asas-asas untuk menentukan
wilayah berlakunya setiap aturan hukum yang berlaku dengan mengajukan pertanyaan hubungan
hukum seperti apakah yang diatur oleh suatu kaidah hukum tertentu.
Bartolus menghubungkan statuta personalia dengan lex originis dan statuta realia dengan
kekuasaan territorial hukum. Dia membedakan statuta ke dalam statuta yang mengizinkan sesuatu
(earlubend, vervoorloren) dan yang melarang sesuatu.
Berdasarkan doktrin statuta di atas, kemudian dikembangkan metode berpikir HPI sebagai
berikut:
1. Apabila persoalan HPI yang dihadapi menyangkut persoalan berlaku status suatu benda,
maka kedudukan hukum benda itu harus diatur berdasarkan statuta realia dari tempat di mana
benda itu berada. Dalam perkembangannya, cara berpikir realia semacam ini hanya berlaku
bagi benda tetap (benda tidak bergerak) saja, sedangkan terhadap benda bergerak berlaku asas
mobilia sequntuur personam;
2. Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan status personal maka status personal
orang tersebut harus diatur berdasarkan statuta personalia dari tempat di mana orang tersebut
berdomisi (lex domicilii; dan
3. Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan bentuk atau akibat suatu perbuatan
hukum, bentuk dan akibat hukum tersebut harus tunduk pada kaidah-kaidah mixta dari tempat
di mana perbuatan tersebut dilakukan. Cara berpikir atau asas ini diadopsi oleh Pasal 18 AB
yang menyebutkan : Bentuk dari setiap perbuatan ditentukan oleh undang-undang dari negara
atau tempat di mana perbuatan itu dilakukan
E. Teori Statuta di Perancls (Abad 16 M)
Pada abad 16 propinsi propinsi di Perancis memiliki system sendiri-sendiri yang
disebutcoutume, yang pada hakikatnya sama dengan statuta. Karena adanya keragaman coutume
tersebut dan makin meningkatnya perdagangan antar propinsi, maka konflik hukum antar propinsi
makin meningkat pula. Dalam keadaan demikian beberapa ahli hukum Perancis seperti Charles
Dumoulin dan Bertrand D'Argentre berusaha mendalami teori statuta dan menerapakannya dengan
beberapa modifikasi
Bertrand D'Argentre menggunakan teori statute dan Bartolus dan Domoulin, namun pada
akhirnya ia mengemukakan teori yang jauh berbeda dengan asas-asas teori statuta di Italia dan
teori Domoulin. Menurut Bertrand DArgentre yang harus diperluas itu adalah statuta realia,
sehingga yang diutamakan bukanlah otonomi (kebebasan) para pihak, tetapi otonomi propinsi.
Bertrand D'Argentre tetap mengakui adanya statuta personalia, tetapi perlu adanya
pengecualian Dengan Bahasa yang lain, Bayu Seto menjelaskan bahwa Bertrand D Argentre
mengakui ada statuta yang benar-benar merupakan starata personalia, misalnya kaidah yang
menyangkut kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (legal capacitaes), tetapi
ada juga:
1. statuta yang dimaksudkan untuk mengatur orang, tetapi berkaitan dengan hak milik orang itu
terhadap suatu benda (realia); atau
2. statuta yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum (statute mixta) yang dilakukan di tempat
tertentu. Statuta semacam itu harus dianggap sebagai statuta realia, karena isinya berkaitan
dengan wilayah penguasa yang memberlakukan statuta itu.
F. Teori Statuta di Belanda (Abad 17 M)
Teori D'Argentre ternyata diikuti para sarjana hukum Belanda setelah pembebasan dari
penjajahan Spanyol. Pada saat itu segi kedaulatan sangat ditekankan. Hukum yang dibuat negara
berlaku secara mutlak di wilayah negara tersebut. Hukum asing tidak berlaku di wilayah negara
tersebut. Prinsip dasar yang digunakan penganut teori statuta di Belanda adalah kedaulatan
eksklusif negara.
Berdasarkan doktrin D'Argentre, Ulrik Huver mengajukan tiga prinsip yang dapat digunakan
untuk menyelesaikan perkara- perkara HPI sebagai berikut:
1. Hukum dari suatu negara memiliki daya berlaku yang mutlak hanya dalam batas-batas
wilayah kedaulatannya;
2. Semua orang baik yang menetap selamanya maupun sementara, yang berada di wilayah suatu
negara berdaulat menjadi subjek hukum dari negara itu dan terikat pada hukum negara itu; dan
3 Berdasarkan alasan sopan santun antar negara (asas komitas atau comity), diakui bahwa
hukum yang sudah berlaku di negara asalnya akan tetap memiliki kekuatan berlaku dimana saja
sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan subjek hukum dari negara yang memberikan
pengakuan itu. Namun demikian, hakim yang berpedoman pada asas komitas ini tidak dapat
bertindak sewenang-wenang. Hakim seharusnya juga memperhatikan hukum asing demi
kepentingan negara negara yang bersangkutan secara timbal balik.
G. Teori-Teori Modern
Menurut Manchini, hukum personal seseorang ditentukan oleh nasionalitasnya. Pendapat
Manchini ini menjadi dasar mazhab Italia yang berkembang kemudian. Menurut mazhab Italia,
ada dua macam kaidah dalam setiap sistem hukum:
1. Kaidah hukum yang menyangkut kepentingan perorangan; dan
2. Kaidah hukum yang melindungi dan menjaga ketertiban umum (public order).
Berdasarkan pembagian tersebut dikemukakan tiga asas HPI sebagai berikut:
1. Kaidah hukum untuk kepentingan perorangan berlaku bagi setiap warganegara di mana pun
dan kapan pun juga prinsip personal);
2. Kaidah untuk menjaga kepentingan umum bersifat territorial dan berlaku bagi setiap orang
yang berada di wilayah kekuasaan suatu negara (prinsip territorial); dan
3. Asas kebebasan yang menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan boleh memilih hukum
manakah yang akan diberlakukan terhadap transaksi di antara mereka (pilihan hukum).
Manchini mencitakan terciptanya unifikasi HPI melalui Perjanjian-perjanjian internasional,
sedangkan Von Savigny menghendaki terwujudnya suatu HPI yang bersifat supranasional.
Dalam kenyataannya hingga kini, belum dapat diciptakan suatu HPI yang berlaku umum. Setiap
hubungan hukum harus diselesaikan menurut caranya sendiri. Ini pun bergantung pada kebiasaan,
undang-undang, dan putusan pengadilan (yurisprudensi) masing-masing masyarakat hukum.
Namun demikian, dari waktu ke waktu, perianjian internasional yang berusaha menyeragamkan
kaidah HPI makin bertambah terus.
BAB III
TITIK-TITIK PERTALIAN DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

A. Pengertian dan Macam-Macam Titik Pertalian


Titik-titik pertalian (connecting factors atau point of contacts atau aanknopingspunten)
merupakan suatu hal atau keadaan yang menyebabkan berlakunya suatu sistem hukum tertentu
(feiten omstandigheden die voor toepassing in aanmerking doen komen he teen of andere
rechtstelsel).
Di dalam ilmu hukum perdata internasional dikenal dua macam titik pertalian, yakni titik
pertalian primer (titik taut pembeda) dan titik pertalian sekunder (titik taut penentu).
B. Titik Pertalian Primer (Titik Taut Pembeda)
Titik pertalian primer adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan atau sekumpulan fakta yang
melahirkan atau menciptakan hubungan HPI. Dengan titik taut pembeda dimaksudkan bahwa
dengan faktor-faktor atau keadaan-keadaan atau fakta-fakta itu dapat dibedakan apakah suatu
peristiwa atau hubungan tertentu termasuk kategori HPI atau bukan. Adapun faktor-faktor yang
tergolong titik pertalian primer adalah sebagai berikut:
1. kewarganegaraan;
2. bendera kapal atau pesawat udara;
3. domisili
4. tempat kediaman
5. tempat kedudukan badan hukum; dan
6. pilihan hukum dalam hubungan hukum intern.
1. Kewarganegaraan
Perbedaan kewarganegaraan (nasionalitas) pihak-pihak yang melakukan suatu perbuatan
hukum atau hubungan hukum akan melahirkan permasalahan HPI. Misalnya seorang pria
berkebangsaan Indonesia menikah dengan seorang wanita yang berkebangsaan Singapura.
Seorang warganegara Belanda melakukan transaksi jual beli barang tertentu dengan seorang
warganegara Indonesia juga termasuk kategori permasalahan HPI.
2. Bendera Kapal dan Pesawat Udara
Dalam arti luas, kapal bermakna sebagai kendaraan air dan jenis apapun yang digerakkan
dengan tenaga mekanik, tenaga angin atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung
dinamis, kendaraan di bawah permukaan air serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak
berpindah-pindah.
3. Domisili
Faktor perbedaan domisili (domicile) subjek hukum yang melakukan suatu hubungan hukum
dapat pula menimbulkan suatu hubungan hukum yang memiliki unsur hukum perdata
internasional. Misalnya, Caroline Hanson, seorang warganegara Inggris yang berdomisili di
Colorado, Amerika Serikat menikah dengan John Denver yang juga warganegara Inggris, tetapi
berdomisili di London akan melahirkan hubungan hukum perdata internasional.
4. Tempat Kediaman
Dalam sistem common law, berkaitan dengan kediaman dibedakan antara
domisili dan tempat kediaman (residence). Kediaman lebih mengacu kepada tempat
kediaman sehari-hari. Misalnya dua orang warganegara Inggris yang sementara waktu
bekerja di Texas, Amerika Serikat dan memiliki kediaman di Texas melakukan
pernikahan di Texas juga akan melahirkan hubungan hukum perdata internasional.
5. Kebangsaan Badan Hukum
Di dalam hukum terdapat dua subjek hukum, yakni manusia (natuurpersoon) dan badan hukum
(rechtspersoon atau legal entity atau legal person). Badan hukum sebagai subjek hukum juga harus
memiliki kebangsaan (nasionalitas). Kebangsaan ini akan menentukan tunduk kepada hukum
negara badan hukum yang bersangkutan. Jika badan hukum tersebut berkebangsaan Indonesia,
maka status badan hukum itu tunduk kepada hukum Indonesia.
6. Pilihan Hukum Intern
Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan pilihan hukum intern dapat dikemukakan
contoh sebagai berikut: Dua perusahaan yang memiliki kebangsaan Indonesia, di Jakarta
mengadakan perjanjian jual beli minyak sawit mentah (crude palm oil) yang penyerahannya
memakan jangka waktu yang panjang. Penyerahan barang tersebut akan dilakukan di Rotterdam,
Belanda. Di dalam perjanjian jual beli tersebut ditentukan bahwa perjanjian ini tunduk pada hukum
Belanda. Disebabkan adanya pilihan hukum yang merujuk kepada hukum asing yang berlainan
dengan kebangsaan perseroan tersebut, maka lahir hubungan hukum perdata internasional.
Selain keenam titik taut pembeda atau titik pertalian primer di atas, hubungan hukum perdata
internasional dapat pula terjadi karena faktor tempat dilaksanakannya perbuatan hukum. Jika ada
dua orang warganegara Indonesia yang melaksanakan pernikahan di luar negeri, melahirkan
hubungan hukum perdata internasional pula. Banyak warganegara Indonesia melakukan
pernikahan di luar negeri dengan maksud untuk menghindari hukum Indonesia yang mengatur
masalah perkawinan. Ada kesulitan untuk melakukan pernikahan bagi warganegara Indonesia
yang berbeda agama. Untuk mengatasi hal tersebut mereka melaksanakan pernikahan di negara-
negara yang memungkinkan terlaksananya pernikahan tersebut.
C. Titik Pertalian Sekunder (Titik Taut Penentu)
Titik pertalian sekunder (TPS) adalah faktor-faktor atau sekumpulan fakta yang menentukan
hukum manakah yang harus digunakan atau berlaku dalam hubungan HPI (lex causae). Termasuk
dalam TPS ini adalah sebagai berikut:
1. Tempat terletaknya benda (lex situs = lex rei sitae);
2. Tempat dilangsungkannya perbuatan hukum (lex loci actus);
3. Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (lex loci delicti commisi);
4. Tempat diresmikannya pernikahan (lex loci celebrationis);
5. Tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus);
6. Tempat dilaksanakannya kontrak (lex loci solutionis = lex loci exccutionis);
7. Pilihan hukum (choice of law);
8. Kewarganegaraan (lex patriae);
9. Domisili (lex domicilii);
10. Bendera kapal atau pesawat udara;
11. Tempat kediaman; dan
12. Tempat kedudukan atau kebangsaan badan hukum.
Sehubungan dengan titik taut penentu atau TPS ini, di dalam sistem hukum Indonesia terdapat
tiga kaidah utama HPI yang diatur dalam Pasal 16, 17, dan 18 AB.
Berkaitan dengan status personal, menurut Pasal 16 AB harus diatur menurut hukum kebangsaan
atau kewarganegaraannya. Jika berkaitan dengan benda tetap atau tidak bergerak, menurut Pasal
17 AB harus diatur berdasarkan hukum negara tempat terletaknya benda tersebut. Kemudian jika
berkaitan dengan suatu perbuatan hukum, berdasarkan Pasal 18 AB harus diatur berdasarkan
tempat dilaksanakannya perbuatan hukum itu.
Menurut R.H.Graveson, dalam menyelesaikan suatu perkara atau kasus HPI
ada tiga hal yang perlu diperhatikan:
1. Titik taut apa sajakah yang dipilih sistem HPI tertentu yang dapat diterapkan pada
sekumpulan fakta yang bersangkutan;
2. Berdasar sistem hukum manakah diantara berbagai sistem hukum yang relevan dengan
perkara, titik taut akan ditentukan. Hal ini perlu diperhatikan karena faktor- faktor yang sama
mungkin secara teoritis diberi interpretasi yang berbeda dalam berbagai sistem hukum; dan
3. Setelah kedua masalah tadi ditetapkan barulah ditetapkan bagaimana pertautan itu dibatasi
oleh sistem hukum yang akan diberlakukan (lex causae).
Berkaitan dengan fungsionalisasi titik taut penentu tersebut di dalam suatu perkara HPI dapat
dijelaskan tahap-tahap penyelesaiannya:
1. Pertama-tama harus ditentukan dulu titik pertalian primer atau titik taut pembedanya untuk
menentukan apakah peristiwa hukum yang dihadapi, peristiwa hukum ataukah bukan. Di sini
akan dicari unsur-unsur dalam sekumpulan fakta yang dihadapi;
2. Setelah hal tersebut ditentukan, langkah berikutnya adalah melakukan kualifikasi fakta
berdasarkan lex fori. Kualifikasi fakta ini dilakukan untuk menetapkan kategori yuridis perkara
yang dihadapi;
3. Setelah kategori yuridis ditentukan, langkah berikutnya adalah menentukan kaidah HPI mana
dari lex fori yang harus digunakan untuk menentukan lex causae. Pada tahap ini sebenarnya
orang menentukan TPS atau titik taut penentu yang bersifatmenentukan (decisive) berdasarkan
kaidah HPI lex fori;
4. Setelah lex causae ditentukan, maka dengan menggunakan titik-titik taut yang dikenal lex
causae, hakim berusaha menetapkan kaidah-kaidah hukum internal apa yang akan digunakan
untuk menyelesaikan perkara;
5. Apabila berdasarkan titik dari lex causae hakim telah dapat menentukan kaidah hukum
internal atau hukum materiil apa yang harus diberlakukan, barulah perkara dapat diputus oleh
hakim.

Anda mungkin juga menyukai