Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional,

merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan

makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam

rangka memelihara dan meneruskan pembanguan yang berkesinambungan,

para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik

perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang besar. Seiring

dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan

terhadap pendanaan yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan tersebut yang diperoleh melalui kegiatan pinjam-

meminjam kredit.

Menurut D. Y. Witanto lembaga keuangan, baik bank maupun non bank


memegang peranan strategis dalam lalu lintas transaksi bisnis di era modern saat
ini, hampir tidak ada aktivitas bisnis pada zaman ini yang tidak membutuhkan
jasa lembaga keuangan dan perbankan, karena sistem transaksi yang dilakukan
perlahan-lahan mulai bergeser dari sistem transaksi manual (manual transaction)
ke sistem transaksi digital (digital transaction) dengan menggunakan perangkat
elektronik dan koneksi jaringan internet, kenyataan tersebut dipicu oleh beberapa
alasan, antara lain karena sistem transaksi digital dipandang lebih memberikan
kemudahan, kecepatan dan kepraktisan karena dapat dilakukan kapan saja dan
dimana saja tanpa terbatasi oleh ruang dan waktu.1

Salah satu lembaga pembiayaan yang juga berfungsi menyalurkan kredit

1
D.Y. Witanto, Hukum Jaminan Fidusia dalam Perjanjijan Pembiayaan Konsumen,
(Bandunng : CV. Mandar Maju, 2015), hal. 1.

1
2

misalnya kendaraan bermotor baik roda dua atau roda empat adalah

pembiayaan konsumen. Keputusan Menkeu No. 1251/KMK.013/1988

Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan

memberikan pengertian kepada pembiayaan konsumen sebagai suatu

kegiatan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen

untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran

atau berkala oleh konsumen. Pembiayaan konsumen merupakan salah satu

model pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan finansial, disamping

kegiatan seperti leasing, factoring, kartu kredit dan sebagainya. Target pasar

dari model pembiayaan konsumen ini sudah jelas, bahwa para konsumen.

Suatu istilah yang dipakai sebagai lawan dari kata produsen.

Meningkatnya kebutuhan masyarakat akan peran lembaga keuangan dalam


aktivitas bank (LKNB) yang memberikan fasilitas (jasa) pembiayaan bagi
masyarakat melalui sistem pembayaran secara angsuran (kredit), hal ini
menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan masyarakat terhadap konsumsi barang
dan jasa terus atau semakin meningkat, kondisi tersebut tentunya menjadi
peluang yang cukup menjanjikan bagi para pelaku usaha untuk dapat menarik
keuntungan dengan membuka peluang bisnis di bidang pembiaayaan dan fasilitas
jasa keuangan (finance).2

Di samping itu, besarnya biaya yang diberikan per konsumen relatif kecil,

mengingat barang yang dibidik untuk dibiayai secara pembiayaan konsumen

adalah barang-barang keperluan konsumen yang akan dipakai oleh konsumen

untuk keperluan hidupnya. Namun demikian, tidak berarti bahwa bisnis

pembiayaan konsumen ini tidak mempunyi resiko sama sekali. Sebagai suatu

2
ibid
3

pemberian kredit, risiko tetap ada. Macetnya pembayaran tunggakan oleh

konsumen merupakan hal yang sering terjadi. Karena itu, banyak ketentuan

dan kebijaksanaan perbankan sebenarnya layak diperhatikan, khususnya

dalam hal pemberian kredit, sungguhpun secara yuridis formal ketentuan

perbankan tersebut tidak berlaku bagi transaksi pembiayaan konsumen,

berhubung pembiayaan dengan system ini tidak dilakukan oleh bank, tetapi

oleh lembaga finansial.

Di dalam kegiatan pinjam-meminjam, terdapat beberapa pihak, yaitu pihak

pemberi pinjaman dan pihak peminjam. Pihak pemberi pinjaman yang

mempunyai kelebihan uang bersedia memberikan pinjaman uang kepada yang

memerlukannya. Sebaliknya, pihak peminjam berdasarkan keperluan atau tujuan

tertentu melakukan peminjaman uang tersebut. Umumnya dalam kegiatan

pinjam-meminjam uang yang terjadi dimasyarakat sering dipersyaratkan adanya

penyerahan Jaminan utang.

Meningkatnya kebutuhan modal baik sektor usaha besar maupun kecil di


Indonesia tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang.
Hal ini ditandai dengan banyaknya pengikatan kredit yang dilakukan antara
kreditur dan debitur. Kreditur secara garis besar terdiri dari 3 (tiga) kelompok,
yaitu lembaga keuangan bank, non bank, serta lembaga pembiayaan.3

Sedangkan debitur bisa berasal dari masyarakat, perorangan, atau badan hukum

yang memerlukan modal untuk menjalankan kegiatan perekonomian.

Namun pihak pemberi pinjaman tidak serta merta memberikan pinjaman tanpa

3
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan
Pembiayaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 17-18
4

jaminan, jaminan dipergunakan untuk menciptakan rasa saling percaya, dimana

pemilik uang atau pemberi pinjaman menyerahkan sebagaian uangnya untuk

dipergunakan oleh peminjam, sebagai bentuk saling percaya oleh karenanya si

peminjam biasanya menyerahkan sebuah jaminan untuk pegang oleh pemberi

pinjaman, Jaminan ini biasanya dalam bentuk benda yang memiliki nilai

ekonomis didalamnya. Kewajiban untuk menyerahkan jaminan utang oleh pihak

peminjam biasanya berdasarkan kesepakatan awal antara kedua belahpihak.4

Terkait dengan adanya jaminan dalam transaksi kredit antara kreditur dan

debitur maka diperlukan adanya suatu lembaga jaminan. Salah satu lembaga

jaminan yang sering digunakan adalah lembaga jaminan fidusia. Jaminan

fidusia telah digunakan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sebagai

suatu bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi. Bentuk jaminan ini

digunakan secara luas dalam transaksi pinjam-meminjam karena proses

pembebanannya dianggap sederhana, mudah dan cepat, walau dalam

beberapa hal dianggap kurang menjamin adanya kepastian hukum. Dalam

perjalanannya, fidusia telah mengalami perkembangan yang cukup berarti,

misalnya menyangkut kedudukan para pihak. Pada zaman Romawi dulu,

kedudukan penerima fidusia adalah sebagai pemilik atas barang-barang yang

difidusiakan, akan tetapi sekarang sudah diterima bahwa penerima fidusia

hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan saja. Pasal 1 Undang-

4
M Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit, Perbankan Indonesia, Cetakan ke-1,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.2
5

Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya

disingkat dengan UUJF) memberikan batasan dan pengertian fidusia sebagai

pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan

ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam

penguasaan pemilik benda (pemberi fidusia). Dikatakan berdasarkan

kepercayaan, karena benda yang dijadikan jaminan tersebut tetap berada di

tangan atau di bawah penguasan pemilik benda, yaitu pihak yang berhutang

debitur. Menurut Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH sebagai alasan

timbulnya lembaga fidusia ialah karena ketentuan undang-undang yang

mengatur lembaga gadai mengandung banyak kekurangan, tidak memenuhi

kebutuhan masyarakat dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat.5

Kebutuhan terhadap modal untuk menjalankan suatu usaha dapat diperoleh

melalui kegiatan pinjam-meminjam dan salah satunya melalui jasa lembaga

keuangan, yaitu melalui kredit yang diberikan oleh pihak bank atau melalui jasa

lembaga pembiayaan lainnya. Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem

keuangan setiap negara, bank merupakan tempat bagi orang perorangan, badan

usaha swasta, badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan

untuk menyimpan dana yang dimilikinya. Pengaturan terkait dengan bank diatur

dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut

5
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Beberapa masalah pelaksanaan Lembaga Jaminan
Khususnya Fidusia Di Dalam Praktek Dan Pelaksanaannya Di Indonesia, Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada Bulaksumur, Yogyakarta, 1977, h. 15
6

Undang-Undang Perbankan). Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Perbankan.

Mendefinisikan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat

dalam bentuk kredit untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, serta

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.6 Bank secara yuridis formal

merupakan subjek hukum yang dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga, dan

dalam praktiknya bank diwakili oleh pengurus bank.7 Kredit perbankan adalah

salah satu kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank untuk menggerakkan roda

perekonomian.

Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang Perbankan mendefinisikan Kredit sebagai


penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak peminjam yang
mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.8

Pemberian kredit juga diartikan sebagai pemberian pinjaman uang oleh kreditur

kepada debitur, disertai penyerahan jaminan kredit oleh debitur. Pemberian kredit

perbankan secara umum mensyaratkan jaminan utang untuk menjamin pelunasan

utang. Bank seharusnya mengikat kredit dengan mengikuti ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Bank juga harus menyelesaikan pengikatan

dan penguasaan administratif sebelum kredit disalurkan dananya kepada debitur,

termasuk mengenai pengikatan dan penguasaan terhadap jaminan kreditnya. 9

6
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 8.
7
Ratna Syamsiar, Hukum Perbankan, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2006,hlm. 5.
8
Hermansyah, Op. Cit., hlm. 58.
9
M. Bahsan, Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT.Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2010, hlm. 132.
7

Praktik perbankan berkaitan dengan jaminan kredit biasanya telah diatur oleh

internal perusahaan dengan mengacu pada undang-undang yang mengaturnya.

Peraturan internal tersebut antara lain mengatur tentang objek jaminan kredit

yang dapat diterima, tata cara penilaian, dan cara pengikatannya. Jaminan

mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian kredit, karena jaminan

dapat memberi rasa aman bagi kreditur dan menjamin dipenuhinya tagihan oleh

debitur. Bentuk jaminan yang baik bagi debitur adalah bentuk jaminan yang

tidak mematikan kegiatan usahanya sehari-hari, sedangkan bagi kreditur bentuk

jaminan yang baik adalah bentuk jaminan yang dapat memberikan rasa aman dan

kepastian hukum bahwa kredit yang diberikan dapat dilunasi tepat pada

waktunya. Pemberian kredit perbankan mengenal berbagai jenis jaminan, salah

satu jaminan yang dikenal di Indonesia adalah jaminan fidusia, diatur dalam

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya

disebut Undang-Undang Jaminan Fidusia). Fidusia adalah pengalihan hak

kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda

yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik

benda.10 Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia mendefinisikan jaminan

fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun

tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya yang tidak dapat dibebani

hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai

agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang

10
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
8

diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.11 Jaminan fidusia

mewajibkan adanya suatu jaminan sebagai bentuk pelunasan utang, jaminan

tersebut dapat berupa surat-surat berharga atau yang lebih sering dijadikan

jaminan adalah surat tanda nomor kendaraan bermotor, dengan ketentuan yang

dijadikan jaminan hanya surat berharganya. Sedangkan untuk barang tersebut

masih bisa dinikmati dan dalam penguasaan debitur. Pengalihan hak kepemilikan

dimaksud semata-mata hanya sebagai jaminan bagi pelunasan utang, bukan

untuk seterusnya dimiliki oleh penerima fidusia.

Lembaga jaminan fidusia memungkinkan kepada para pemberi fidusia untuk

menguasai benda yang dijaminkan, untuk melakukan kegiatan usaha yang

dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan jaminan fidusia. Dalam hal ini

yang diserahkan hanyalah hak kepemilikan dari benda tersebut secara yuridis

atau yang dikenal dengan istilah constitutum possesorium. Pada awalnya,

benda yang menjadi objek fidusia hanya terbatas pada kekayaan benda

bergerak yang berwujud dalam bentuk benda-benda dalam persediaan

(inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan

bermotor. Namun dengan menyadari akan makin berkembangnya kebutuhan

dunia usaha serta perlunya kepastian hukum bagi pihak kreditur yang

memberikan pinjaman, maka melalui Undang-Undang Jaminan Fidusia ini

Pemerintah Indonesia mencoba merangkum seluruh kebutuhan akan jaminan

11
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
9

yang tidak ter-cover dan telah diatur dalam hukum positif (sebelum

berlakunya Undang Undang Jaminan Fidusia) ke dalam Undang-Undang

Jaminan Fidusia. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Jaminan

Fidusia dimana objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang sangat luas

yang meliputi tidak hanya benda bergerak yang berwujud maupun tidak

berwujud, melainkan juga benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani

dengan hak tanggungan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No.

4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 1

angka 2 UUJF yang berbunyi : Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas

benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda

tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak

tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi

fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur

lainnya.

Pemberian jaminan fidusia ini merupakan perjanjian yang bersifat accessoir

dari suatu perjanjian pokok sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal

6-huruf b Undang-undang No. 42 Tahun 1999 dan harus dibuat dengan suatu

akta notaris yang disebut sebagai akta Jaminan Fidusia. Namun menurut

Pasal 11 Undang-Undang Jaminan Fidusia dijelaskan bahwa dengan

perjanjian fidusia secara akta notariil tidaklah cukup, tetapi harus didaftarkan,
10

akta notariil merupakan akta otentik dan dapat merupakan utorial akta, untuk

itu bagaimana akibat hukumnya apabila akta jaminan fidusia tidak

didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia, demikian juga tidak ada

pengaturan yang tegas dalam UUJF mengenai siapa yang harus

mengeksekusi benda jaminan fidusia serta bagaimana jika eksekusi jaminan

fidusia tidak didaftarkan, padahal benda jaminan fidusia merupakan benda

bergerak yang sangat riskan perpindahannya, akibatnya penerima fidusia

dalam penerapan di lapangan sulit melaksanakan asas droit de suite.

Kendala - kendala tersebut di atas diperburuk dengan tindakan praktek

penerapan perjanjian fidusia di lapangan, antara lain pihak kreditur hanya

berhenti pada pembuatan perjanjian kredit saja, adapun juga yang lain

berhenti pada pembuatan akta otentik saja dan tidak didaftarkan ke Kantor

Pendaftaran Fidusia, serta sering dilakukannya negosiasi yang memberikan

biaya tambahan bagi penerima fidusia pada saat mengeksekusi benda

jamainan fidusia, sehingga sertifikat fidusia tidak memberikan pendidikan

hukum dalam masyarakat. Untuk itu dalam memberikan suatu kepastian

hukum sebagai bentuk perlindungan hukum diperlukan suatu aturan hukum,

manakala di lapangan sering terjadi pihak kreditur dirugikan ketika pihak

debitur melakukan wanprestasi.12

Seringkali kita jumpai dalam setiap transaksi perkreditan kendaraan bermotor


12
Djarot Pribadi, Wawancara Pribadi, Notaris/PPAT, tanggal 3 April 2012, 11.05
11

khususnya kendaraan roda 2, konsumen hanya disodorkan sebuah perjanjian

kredit berupa perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh konsumen

sebagai pemberi fiducia melalui CMO ( Credit Marketing Officer , bahkan tidak

sedikit konsumen tidak mengerti isi perjanjian tersebut bahkan kadang di baca

pun tidak sama sekali, isi perjanjian tersebut hanya di bacakan pokoknya saja

bahwa konsumen memiliki nilai terhutang dan jangka waktu batas akhir

pelunasan, mengingat kebutuhan masyarakat untuk memiliki kendaraan sangat

tinggi, sehingga konsumen tidak lagi memperhatikan apa isi dari perjanjian yang

mereka tandatangani bahkan banyak kita jumpai konsumen memberikan uang

sogokan agar permohonan pembiayaan mereka disetujui.

Praktik tersebut sering kita jumpai ditengah-tengah masyarakat, sebagian besar

konsumen tidak mengerti dan tahu bahwa perjanjian jaminan fidusia harus di

akta kan melalui notaris, setelah perjanjian di akta notariat kan maka langkah

selanjutnya di daftarkan melalui kantor Pendaftaran Fidusia dan dikeluarkan

sertipikat Fidusia, barulah kendaraan tersebut bisa dikategorikan sebagai objek

jaminan fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama kekuatanya

dengan putusan pengadilan

Eksekusi atas obyek Jaminan Fidusia dalam lembaga pembiayaan sering kali

melakukan eksekusi secara sepihak. Pada awalnya mungkin yang digunakan

untuk melakukan eksekusi atas barang jaminan tersebut adalah karyawan dari

lembaga pembiayaan itu sendiri jika terjadinya suatu kredit macet terhadap
12

konsumen. Tetapi apabila hal tersebut tidak berhasil lembaga pembiayaan

biasanya menggunakan debt collector untuk mengeksekusi barang jaminan

tersebut. Dalam melakukan kegiatannya debt collector tadi sering ataupun sudah

bertindak seperti preman agar konsumen membayar atau pun menyerahkan

kendaraannya.

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan tersebut diatas, maka

dalam penelitian hukum ini penulis menyusun penulisan hukum dengan

judul: “ANALISA YURIDIS PERJANJIAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA

YANG TIDAK DIDAFTARKAN PADA KANTOR PENDAFTARAN

FIDUSIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN

1999 TENTANG FIDUSIA”.

B. Identifikasi Masalah

1. Apakah objek jaminan fiducia selalu harus didaftarkan pada Kantor

Pendaftaran Fidusia?

2. Apakah perjanjian fidusia dibawah tangan mempunyai kekuatan

eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam UUJF

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah status hukum objek jaminan fidusia yang tidak

didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, apa masih bisa disebut


13

sebagai objek jaminan fidusia?

2. Bagaimanakah prosedur menurut hukum positif indonesia dalam

mengeksekusi jaminan fidusia jika tidak didaftarkan pada Kantor

Pendaftaran Fidusia?

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

a. Untuk mengetahui status hukum objek jaminan fidusia jika

penerima fidusia yang melakukan perjanjian fidusia dibawah

tangan atau tidak di aktakan melalui notaris dan tidak didaftarkan

pada Kantor Pendaftaran Fidusia.

b. Untuk mengetahui siapa yan berwenang mengeksekusi jaminan

fidusia jika tidak terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia

2. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak

baik secara teoritis maupun secara praktis

a. Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu

pengetahuan hukum perdata, khususnya hukum Jaminan Fidusia

b. Praktis

1) Untuk memberikan sumbangan saran atau informasi mengenai


14

akibat hukum yang ditimbulkan apabila akta Jaminan Fidusia

tidak didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.

2) Sebagai informasi guna penentuan kebijakan tentang bentuk

perlindungan hukum pemberi fidusia berdasarkan Undang-

Undang Jaminan Fidusia

E. Kerangka Teoritis

Berbicara tentang kerangka teori, sama halnya berbicara tentang hukum,


sesungguhnya tidak ada definisi yang baku dan abadi. Secara umum apabila
membahas teori, maka dihadapkan pada dua macam realitas, yaitu realitas in
abstracto yang ada didalam idea imajinatif dan padanannya yang berupa realitas
in concreto yang berada dalam pengalaman indrawi.13

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh

peneliti.14. Hukum harus menjamin bahwa setiap orang dengan kedudukannya

dimuka hukum dan pengadilan tidak membedakan strata sosial dan tidak ada

prioritas si miskin terhadap sikaya dalam mendapat keadilan, meskipun dalam

praktiknya terjadi diskriminasi.15

Dalam penelitian ini penulis akan mengambil kerangka teoritis dalam asas-asas

13
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, “Teori Hukum ( Mengingat, Mengumpulkan, dan
Membuka Kembali)”, Bandung, PT. Refika Aditama, (2007), hlm.21
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2010, hlm.125 .
15
Abdurrahman Riduan Syahrani, Hukum dan Peradilan, (Bandung: Alumni, 1978), hal. 71.
15

perjanjian, diantaranya adalah :

1. Asas Konsensualisme (concensualism)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer.

Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian

adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan

asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara

formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat

oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum

Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah

asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan

perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan

dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan).

Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan

bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah

tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan

contractus innominat. Artinya, bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi

bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam

KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, syarat sahnya perjanjian sebagaimana


diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dapat dibedakan syarat subjektif, dan
syarat objektif. Dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara syarat
16

subjektif dengan syarat objektif.Syarat subjektif adalah kedua syarat yang


pertama, sedangkan syarat objektif kedua syarat yang terakhir.16

Sedangkan menurut ahli yang lain menjelaskan tafsiran pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, salah satunya Abdul R Saliman.

a. Syarat subjektif dimana syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat
dibatalkan, meliputi:
1) Kecakapan untuk membuat kontrak dimana para pihak diharuskan
dewasa dan tidak sakit ingatan.
2) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Syarat objektif dimana syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya
batal demi hukum meliputi:
1) Suatu hal (objek) tertentu.
2) Sesuatu sebab yang halal (kausa).17
Unsur-unsur subjektif dan objektif sebagaimana tertulis pada pasal 1320

KUHPerdata tidak boleh ada salah satu yang di tinggalkan, karena jjika salah

satu unsure perjanjian tersebut di tinggalkan maka tidak sah suatu perjanjian,

dalam syarat subjektif dijelaskan bahwa cakap hokum yang dimaksud yaitu

sudah dewasa atau tidak berada dalam pengampuan, tidak sakit ingatan

( pikun) atau bisa saja gila, juga bisa membaca dan menulis jika tidak

membaca atau menulis maka harus di bacakan, kemudian sepakat

mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut atau tidak dalam paksaan dan

tekanan, kemudian suatu hal tertentu yaitu ada objek yang jelas dalam isi

perjanjian, dan yang terakhir adalah sebab yang halal, dalam sebuah perjanjian

16
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, (Bandung, Citra
Aditya Bhakti, 1986), hlm. 98.
17
Abdul R. Saliman, et. al. Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, Jakarta:
Prenada, 2004, hlm. 12-13.
17

objek perjanjian tidak boleh yang dilarang oleh undang-undang seperti

perjanjian taruhan, perjanjian prostitusi, perjanjian gratifikasi atau suap.

2. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda

merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt

servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati

substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah

undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi

kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat

disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer. Asas ini pada mulanya

dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa

terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang

melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna

bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan

yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam

perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai

pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan

tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup

dengan kata sepakat saja.

Adanya kata sepakat berarti terdapat suatu persesuaian kehendak diantara para

pihak yang mengadakan perjanjian.Perjanjian sudah lahir pada saat


18

tercapainya kata sepakat diantara para pihak, dikenal dengan asas

konsensualisme yang merupakan asas pokok dalam hukum

perjanjian.Menurut Abdul Kadir Muhammad persetujuan kehendak adalah

kesepakatan seia-sekata. Pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang

dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya.

Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan. 18

Pernyataan kehendak atau persetujuan kehendak harus merupakan perwujudan

kehendak yang bebas, artinya tidak ada paksaan dan tekanan (dwang) dari

pihak manapun juga, harus betul-betul atas kemauan sukarela para

pihak.Dalam pengertian kehendak atau sepakat itu termasuk juga tidak ada

kekhilafan (dwaling) dan tidak ada penipuan (bedrog).Apabila ada

kesepakatan terjadi karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian

tersebut dapat dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalan kepada hakim

(vernietigbaar). Hal ini sesuai dengan Pasal 1321 KUHPerdata yang

bunyinya: “tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena

kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Dikatakan

tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan kegiatan itu tidak berada di

bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya

menakut-takuti, sehingga dengan demikian orang itu tidak terpaksa

menyetujui perjanjian (Pasal 1324 KUHPerdata).Dan dikatakan tidak ada

18
Abdul Kadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. Bandung, Cipta Aditya Bhakti, 1990,
hlm. 228-229.
19

kekhilafan atau kekeliruan mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting

obyek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian

itu.Dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan penipuan menurut

arti Undang-undang (Pasal 1328 KUHPerdata).Penipuan menurut arti

Undang-undang ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat dengan

memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak

lawannya supaya menyetujui.19

F. Metode Penelitian

1. Jenis atau Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis atau tipe penelitian Normatif Empiris,

penelitian Normatif empiris adalah penelitian berdasarkan fakta-fakta yang

ada di tengah masyarakat mengenai banyaknya objek jaminan fidusia yang

tidak di daftarkan pada Kantor Pendaftarana Fidusia, dan banyaknya

ketidaknyamanan dari masyarakat dengan hadirnya pihak ketiga yang

disebut oleh perusahaan pembiayaan dengan sebutan Eksternal atau lebih

dikenal oleh masyarakat dengan sebutan MATEL (Mata Elang) yang

mengeksekusi objek jaminan fidusia secara sewenang-wenang

2. Lokasi Penelitian

Penulis memilih lokasi penelitian tentang ANALISA PERJANJIAN

OBJEK JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN PADA

KANTOR PENDAFTARAN FIDUSIA DITINJAU DARI UNDANG-


19
Mariam Darus Badrulzaman, Op Cit, hal. 123.
20

UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG FIDUSIA pada

perusahaan PT. WOM Finance . Adapun alasan memilih lokasi penelitian

ini karena lebih dekat dengan domisili peneliti dan PT. WOM Finance

adalah salah satu perusahaan Finance terbesar di Indonesia.

3. Jenis dan Sumber Data

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua

kategori, yaitu data primer dan data sekunder.

a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari perusahaan PT.

WOM Finance .

b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan

yaitu menelaah literatur, artikel, liputan, makalah serta peraturan

perundang– undangan yang ada kaitannya dengan Undang-Undang

Jaminan Fidusia.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu :

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Yaitu penulis melakukan pengumpulan data dengan cara

membaca sejumlah literatur yang relevan dengan  bahan-bahan normatif

berupa produk hukum yaitu Undang-Undang Tentang Jaminan Fidusia

b. Penelitian di Lapangan (Field Research)

1) Observasi (Observation)

Yaitu penulis mendatangi lokasi penelitian kemudian melakukan


21

pengamatan secara langsung dan seksama terhadap obyek penelitian

guna mengetahui faktor-faktor yang apa saja yang menjadi hambatan

bagi PT. WOM dalam mendaftarkan objek jaminan fidusia pada

kantor pendaftaran jaminan fidusia .

2) Wawancara (Interview) dan Quisioner  

Yaitu penulis melakukan tanya jawab (interview) kepada sejumlah

nara sumber yang berkompeten seperti Manager PT.WOM Area

Tangerang, Manager Collection PT. WOM area Tangerang.

5. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data harus sesuai dengan keabsahan data. 20 Cara kualitatif

artinya menguraikan data dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis,

tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan pemahaman dan

interpretasi data. Adapun tahapan-tahapan dalam menganalisis data yaitu:

1. Editing/edit

Editing adalah kegiatan yang dilakukan setelah menghimpun data


di lapangan. Proses ini menjadi penting karena kenyataannya
bahwa data yang terhimpun kadangkala belum memenuhi harapan
peneliti, ada di antaranya yang kurang bahkan terlewatkan.21

Oleh karena itu, untuk kelengkapan penelitian ini, maka proses

editing ini sangat diperlukan dalam mengurangi data yang tidak

sesuai dengan tema penelitian ini.

20
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,2012, hal. 236.
21
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rieneka
Cipta, 2002 h.182
22

2. Calssifying

Agar penelitian ini lebih sistematis, maka data hasil wawancara

diklasifikasikan berdasarkan kategori tertentu, yaitu berdasarkan

pertanyaan dalam rumusan masalah, sehingga data yang diperoleh

benar-benar memuat informasi yang dibutuhkan dalam penelitian

ini.

3. Verifikasi

Verifikasi data adalah mengecek kembali dari data-data yang

sudah terkumpul untuk mengetahui keabsahan datanya apakah

benar-benar sudah valid dan sesuai dengan yang diharapkan

peneliti.18 Jadi tahap verifikasi ini merupakan tahap pembuktian

kebenaran data untuk menjamin validitas data yang telah

terkumpul. Verifikasi ini dilakukan dengan cara mendengarkan

dan mencocokkan kembali hasil wawancara yang telah dilakukan

sebelumnya dalam bentuk rekaman dengan tulisan dari hasil

wawancara peneliti ketika wawancara, kemudian menemui

sumber data subyek dan memberikan hasil wawancara dengannya

untuk ditanggapi apakah data tersebut sesuai dengan yang

diinformasikan olehnya atau tidak. Disamping itu, untuk sebagian

data peneliti memverifikasinya dengan cara trianggulasi, yaitu

mencocokkan (cross-check) antara hasil wawancara dengan

subyek yang satu dengan pendapat subyek lainnya, sehingga dapat


23

disimpulkan secara proporsional.

4. Analisis data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan

data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga

dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja.

Jadi dalam analisis data bertujuan untuk mengorganisasikan data-

data yang telah diperoleh. Setelah data dari lapangan tekumpul

dengan metode pengumpulan data yang telah dijelaskan diatas,

maka penulis akan mengelola dan menganalisis data tersebut

dengan menggunakan analisisis deskriptif kualitatif.

Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan

bekerja dengan data, mengorganisasikan data, dan memilah-

milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensikannya,

mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan

apa yang dipelajari, dan menemukan apa yang dapat diceritakan

kepada orang lain.22 Analisis data kualitatif adalah suatu teknik

yang menggambarkan dan menginterpretasikan data-data yang

telah terkumpul, sehingga diperoleh gambaran secara umum dan

menyeluruh tentang keadaan sebenarnya.

G. Sistematika Penulisan
22
Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, ( Bandung : Remaja Rosdakarya,
2002 ), h. 104
24

Sistematika suatu penulisan skripsi bertujuan untuk memberikan suatu gambaran

yang jelas mengenai pembahasan skripsi yang dapat dilihat dari hubungan antara

satu bagian dengan bagian lain dari seluruh isi tulisan dari sebuah skripsi dan

untuk mengetahui serta untuk lebih memudahkan memahami materi yang ada

dalam skripsi ini, maka penulisan meyajikan sistematika penulisan skripsi ini

sebagai berikut :

Bab I PENDAHULUAN, Bab ini merupakan bab pendahuluan yang memuat

tentang latar belakang penulisan, perumusan permasalahan dan ruang lingkup,

tujuan dan kegunaan penulisan, serta sistematika penulisan.

Bab II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS-ASAS PERJANJIAN, Bab ini

merupakan pemahaman ke dalam pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam

uraian bab ini lebih bersifat teoritis tentang asas-asas perjanjian terutama dalam

perjanjian Fiducia.

Bab III TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA, Bab ini

menguraikan tentang jaminan fiducia berdasarkan Undang-Undang

Bab IV ANALISA PERJANJIAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA YANG

TIDAK DIDAFTARKAN PADA KANTOR PENDAFTARAN FIDUSIA,

Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan

masalah dan identifikasi masalah terkait dengan jaminan fidusia yang tidak

didaftarkan pada kantor jaminan fidusia.

Bab V PENUTUP, Merupakan bab penutup dari penulisan skripsi yang berisikan

secara singkat hasil pembahasan dari penelitian dan beberapa saran dari peneliti
25

sehubungan dengan masalah yang dibahas, serta saran-saran yang berhubungan

dengan penulisan dan permasalahan yang akan dibahas.

H. Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai