Anda di halaman 1dari 75

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Pembangunan melalui pembiayaan kepada masyarakat merupakan

pembangunan ekonomi sebagai dari tujuan bangsa-bangsa di muka bumi guna

mensejahterahkan warga negaranya. di Indonesia pembangunan ekonomi yang

merupakan salah satu bentuk upaya mencapai masyarakat yang adil dan makmur,

berdasarkan Pancasila dengan Undang-Undang Dasar 1945 Dalam mewujudkan,

memelihara, dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan bagi para

pelaku pemerintah maupun masyarakat, baik seluruh para pihak yang ikut serta

dalam pembangunan perekonomian di Indonesia memerlukan dana yang sangat

besar. Di dalam masa pembangunan ini kehidupan masyarakat tidak terlepas dari

berbagai kebutuhan, karena pada umumnya dalam masyarakat sebagai makluk

sosial tidak dapat hidup sendiri, tetapi sangat membutukan peran orang lain,

sehingga seseorang tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri, ia

memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain. Dalam keadaan demikian

tidak jarang melakukan utang piutang sekedar untuk tambahan dana dalam

mencukupi hidupnya, terlebih diera ekonomi global saat ini.

Pelaku usaha tidak dapat terlepas dari jasa perbankan dan lembaga

pembiayaan yang menjadi mitra dalam perkembangan dan kemajuan usahanya

pola kemitraan antara pengusaha dengan penyedia jasa keuangan dan perbankan

harus tercipta harmonis dengan dilandasi prinsip yang tinggi diantara keduanya.

Untuk membangun prinsip saling percaya antara lembaga keuangan dan

perbankan dengan pelaku usaha perlu didukung oleh peraturan hukum yang pasti,
sehingga akan membentuk sebuah logika hukum diantara lembaga keuangan

dengan nasabahnya. Kegiatan pinjam-meminjam berkaitan dengan persyaratan

dalam memenuhi kelayakan pelaksanaan jaminan (Bahsan, 2015:3).

Unsur utama pemberian kredit adalah kepercayaan. Kepercayaan merupakan

keyakinan kreditur bahwa penerima kredit (debitur) dapat memenuhi segala

sesuatu yang telah disepakati di kemudian hari. Untuk memperoleh keyakinan dan

kepercayaan tersebut harus sampai pada suatu keyakinan sejauh mana konsep

penilaian kredit dapat terpenuhi dengan baik. Bagi seseorang yang memerlukan

dana dari pihak luar akan mengajukan pembiayaan yang disebut dengan debitur ke

lembaga pembiayaan, baik lembaga pembiayaan bank atau lembaga pembiayaan

non bank (yang disebut kreditur). Bagi pihak lembaga pembiayaan bank maupun

non bank ketika menyetujui pembiayaan yang diajukan oleh nasabah pasti

menginginkan adanya jaminan atau agunan.

Utang piutang merupakan suatu perbuatan yang tidak asing lagi bagi

masyarakat kita pada masa sekarang ini. Utang piutang tidak hanya dilakukan

oleh orang-orang yang ekonominya lemah, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang

yang ekonominya relatif mampu. Suatu utang diberikan terutama atas integritas

atau kepribadian debitur, kepribadian yang menimbulkan rasa kepercayaan dalam

diri kreditur, bahwa debitur akan memenuhi kewajiban pelunasannya dengan baik.

Pemberian kredit dari badan pembeeri pinjaman dimungkinkan harus dapat

memberikan jaminan dan kepastian terhadap objek yang dijaminkan oleh

nasabah/costumernya (Anton Suyatno, 2016:77).


Akan tetapi juga suatu ketika nampaknya keadaan keuangan seseorang baik,

belum menjadi jaminan bahwa nanti pada saat jatuh tempo untuk mengembalikan

pinjaman, keadaan keuangannya masih tetap sebaik keadaan semula. Bagi pihak

yang meminjamkan uang (kreditur) dalam melepaskan uangnya itu hanya sekedar

diikuti oleh rasa percaya saja, tetapi juga disertai, dengan adanya jaminan. Oleh

sebab itu dalam perbuatan pinjam meminjam uang tersebut jika hanya didasarkan

pada rasa percaya saja, maka tentunya akan timbul kerugian, khususnya bagi

pihak kreditur sebagai pihak yang memberikan/melepaskan barangnya, apa bila

debitur tersebut cidera janji.

Namun untuk menampung kebutuhan masyarakat, perkembangan ekonomi,

dan perkembangan perkreditan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini

memerlukan bentuk-bentuk jaminan pembiayaan, di mana orang memerlukan

kredit dengan jaminan barang. Seiring berjalannya waktu dengan meningkatnya

aktifitas pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan yang

sebagian besar diperlukan untuk memenuhi kebutuhan primer maupun skunder.

Kegiatan pembangunan nasional tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan kegiatan

pembangunan ekonomi. adanya kegiatan perekonomian dapat diindikasikan

dengan bergeraknya roda perekonomian masyarakat dan dunia usaha (Huru,

2019). Kegiatan perekonomian masyarakat khususnya dalam dunia usaha sangat

erat kaitannya dengan masalah permodalan. kekuatan permodalan masyarakat

sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan masyarakat dan dunia usaha

dalam melakukan kegiatan dalam satu upaya untuk memperoleh modal dengan

cara melalui fasilitas kredit.


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kredit adalah suatu barang

dengan pembayaran secara tidak tunai atau pembayaran di tangguhkan atau di

ansur atas perjanjian dan kesepakatan para pihak tertentu. Bagi pihak yang

meminjamkan uang (kreditur) dalam melepaskan uangnya itu hanya sekedar

diikuti oleh rasa percaya saja, tetapi juga disertai, dengan adanya jaminan. Oleh

sebab itu dalam perbuatan pinjam meminjam uang tersebut jika hanya didasarkan

pada rasa percaya saja, maka tentunya akan timbul kerugian, khususnya bagi

pihak kreditur sebagai pihak yang memberikan/melepaskan barangnya, apa bila

debitur tersebut cidera janji. Selanjutnya untuk menampung kebutuhan

masyarakat, perkembangan ekonomi, dan perkembangan perkreditan dalam

masyarakat Indonesia sekarang ini memerlukan bentuk-bentuk jaminan

pembiayaan, di mana orang memerlukan kredit dengan jaminan barang. maka dari

itu, diperlukan adanya peran pemerintah dalam pembentukan hukum ekonomi

yang kuat (D. Y. Witanto, 2015:44).

Melalui hukum ekonomi yang kuat, diharapkan pasar tidak terjebak dalam

kegagalan. Kegagalan pasar yang disebabkan lemahnya dukungan hukum, maka

pasar tidak dapat bekerja memberikan kesejahteraan bagi rakyat banyak.

Kehadiran berbagai lembaga pembiayaan konsumen membawa pengaruh yang

besar dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi masyarakat khususnya

masyarakat kecil. Untuk menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan

jaminan fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan

guna memberikan kepastian hukum terhadap pihak-pihak yang berkepentingan


Jaminan fidusia digunakan di Indonesi sejak zaman belanda sebagai suatu

bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi. Bentuk jaminan ini digunakan

secara luas dalam transaksi pinjam-meminjam kerena proses pembebanannya di

anggap sederhana, mudah, dan cepat,tetapi tidak menjamin adanya kepastian

hukum. dibukukannya UU fidusia pada tanggal 30 september tahun 1999 di

Indonesia mengatur hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur untuk

menjalankan pemberian pinjaman dengan jaminan fidusia. Fidusia mempunyai

sifat droit de suite yang berarti salah satu ciri hak kebendaan, suatu hak yang terus

mengikuti pemilik bendanya di tangan siapapun hak kebendaan, memberikan hak

didahulukan kepada kreditur.

Memungkinkan pemberi jaminan fidusia untuk tetap menguasai objek

jaminan utang, memberikan kepastian hukum, dan mudah dieksekusi. Dengan

lahir dan diberlakukannya Undang-Undang jaminan fidusia tentunya diharapkan

lembaga jaminan fidusia yang sudah berkembang dan hidup sejak lama itu lebih

memainkan perannya sebagai lembaga jaminan dan tentunya juga dalam rangka

pembaharuan hukum. namun, yang harus menjadi perhatian dalam pembaharuan

hukum itu adalah sarana yang dapat memperlancar jalannya perekonomian.

pembangunan ekonomi melalui usaha sistematis untuk perkembangan ekonomi,

baik untuk pertumbuhan ekonomi maupun perubahan ekonomi yang menyeluruh

(Suadi, 2019:9).

Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan atau accessoir dari perjanjian

pokok bukan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi

sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 Undang-Undang No 42 Tahun 1999


tentang Jaminan Fidusia yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang

Jaminan Fidusia. Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta

notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia,

sebagaimana ketentuan Pasal 5 Undang-Undang no 42 tahun 1999 jaminan

fidusia. Pendaftaran jaminan fidusia merupakan kewajiban kreditur untuk benda

yang dibebani dengan jaminan fidusia, sebagaimana ketentuan Pasal 11 Undang-

Undang Jaminan Fidusia.

Undang-undang Jaminan Fidusia mempunyai beberapa prinsip dimana suatu

Jaminan Fidusia tidak boleh bertentangan dengan prinsip tersebut. Prinsip-prinsip

Jaminan Fidusia yang ada dalam Undang-undang Jaminan fidusia adalah prinsip

spesialitas, prinsip publisitas, prinsip pemegang Jaminan Fidusia hanya sebagai

pemegang jaminan, prinsip eksekusi baru dapat dilaksanakan setelah pemberi

fidusia wanprestasi, prinsip hak yang di dahulukan, prinsip hak Jaminan Fidusia

mengikuti benda, prinsip benda yang dijaminkan merupakan benda bergerak dan

benda tidak bergerak yang tidak dapat di bebani dengan hak tanggungan dan

Hipotek, dan prinsip penerima fidusia tidak dapat memiliki objek Jaminan

Fidusia. Dengan menggunakan title eksekutorial, parate eksekusi, dan penjualan

di bawah tangan Timbulnya lembaga jaminan fidusia dimaksudkan untuk

mewujudkan kehendak masyarakat, yaitu untuk mengatasi kesulitan-kesulitan

yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya dari para pengusaha-pengusaha yang

hendak mendapatkan kredit, dengan jaminan benda atau barang-barang bergerak

yang berwujud dalam bentuk peralatan (Pratama, 2020).


Dalam perkembangan selanjutnya, benda yang menjadi objek fidusia

termasuk juga kekayaan benda bergerak yang tak berwujud, maupun benda tak

bergerak, dan diharapkan bahwa setelah kredit diperoleh ia tetap dapat

menggunakan barang-barangnya itu untuk meneruskan perusahaannya. Jadi

munculnya lembaga fidusia adalah untuk mengatasi kesulitankesulitan masyarakat

dalam memperoleh kredit dengan jaminan benda. Kredit diperoleh, barang

jaminan yang dimaksudkan masih berada dalam tangannya sedangkan usahanya

masih berjalan. Hal ini dikarenakan melalui lembaga fidusia, yang diserahkan

adalah hak milik atas barang berdasarkan kepercayaan yang dijadikan sebagai

jaminan, sedangkan barang jaminan tetap dikuasai pemberi fidusia. Jaminan

adalah sebagai sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan

keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan

uang, yang timbul dari suatu perikatan.

Secara teoritis fidusia mempunyai kekurangan-kekurangan, akan tetapi

secara praktis fidusia telah mendapatkan tempat yang utama dalam dunia

perkreditan di Indonesia. Dan sejalan dengan program pemerintah untuk

“menggalakkan” pemberian kredit kepada golongan ekonomi lemah dan

pengusaha kecil, yang merupakan bagian terbesar dari pembangunan nasional.

Memberikan kredit kepada masyarakat berupa kredit modal kerja dan kredit

konsumsi. Kredit modal kerja diberikan kepada debitur untuk kepentingan usaha

debitur seperti untuk modal awal, modal tambahan ataupun untuk kepentingan

lainnya yang berhubungan dengan usaha debitur, sedangakan kredit konsumsi


diberikan kepada debitur untuk memenuhi kebutuhan barang-barang konsumsi.

Sebagian besar nasabahnya/debiturnya adalah pengusaha kecil hingga menengah

Dalam pemberian kredit angsuran sistem fidusia ini kedudukan kreditur

penerima fidusia itu adalah sebagai pemegang jaminan, sedangkan kewenangan

sebagai pemilik yang dipunyainya ialah kewenangan yang masih berhubungan

dengan jaminan itu sendiri, oleh karena itu, dikatakan pula bahwa kewenangannya

sebagai pemilik terbatas. Selama debitur belum lalai memenuhi kewajibannya

kreditur berkedudukan sebagai penerima jaminan, hanya saja karena yang

dijaminkan itu berupa hak milik maka kreditur dapat melakukan beberapa

tindakan yang dipunyai oleh seorang pemilik, seperti pengawasan atas barang

jaminan, karena kreditur sebagai penerima jaminan hak milik tidak menguasai

sendiri barang jaminan melainkan debiturlah yang menguasainya (Hidayat &

Soegianto, 2019).

Dengan demikian, kreditur sebagai orang yang berkepentingan atas barang

jaminan akan tetapi kewenangan atas barang jaminan itu dikuasakan kepada

debitur, sudah sepatutnya mempunyai hak untuk melakukan pengawasan atas

barang jaminan. Dalam hal ini sebagai kreditur kepada debitur dilakukan dengan

mengadakan perjanjian kredit. Perjanjian kredit tersebut dibuat di bawah tangan

dan format perjanjiannya sudah baku ditentukan oleh kreditur. Dalam perjanjian

tersebut antara lain berisi tentang identitas para pihak, jumlah kredit, jangka waktu

kredit, besarnya bunga dan lain sebagainya. salah satu bentuk jaminan yang

digunakan adalah jaminan fidusia. Penjaminan benda dengan fidusia dituangkan

dalam sebuah perjanjian, sehingga perjanjian kredit harus dibuat terlebih dahulu
baru kemudian perjanjian jaminan fidusianya. Selain jaminan fidusia, juga

menggunakan lembaga jaminan lain yaitu Hak Tanggungan, akan tetapi dalam

perkembangannya jaminan fidusia.

Timbulnya lembaga jaminan fidusia dimaksudkan untuk mewujudkan

kehendak masyarakat, yaitu untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi

oleh masyarakat, khususnya dari para pengusaha-pengusaha yang hendak

mendapatkan kredit, dengan jaminan benda atau barang-barang bergerak yang

berwujud dalam bentuk peralatan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya,

benda yang menjadi objek fidusia termasuk juga kekayaan benda bergerak yang

tak berwujud, maupun benda tak bergerak, dan diharapkan bahwa setelah kredit

diperoleh ia tetap dapat menggunakan barang-barangnya itu untuk meneruskan

perusahaannya (Abdullah, 2016).

Kendala bagi debitur tidak bisa membayar angsuran dalam kredit sistem

fidusia atau cedera janji, misalnya karena usahanya sedang lesu, sengaja tidak

mau bayar, benar-benar tidak mampu bayar, debitur meninggal dunia, barang

jaminan rusak berat atau hilang. Bila ketidaklancaran angsuran disebabkan karena

akibat dari rusak atau hilangnya barang jaminan, maka nasabah diminta

mengganti dengan barang jaminan baru dan tetap diingatkan untuk menyelesaikan

kreditnya sampai dengan lunas. Apabila ketidaklancaran karena nasabah sedang

sakit atau bahkan meninggal dunia, maka keadaan itupun juga tidak

menggugurkan kewajiban yang bersangkutan untuk tetap mengangsur hutang-

hutangnya. Suami/isteri atau ahli warisnya tetap diminta untuk menyelesaikan

hutangnya. Sedang untuk nasabah yang tidak mau mengangsur atau tidak mampu
lagi mengangsur, maka proses penyelesaian kredit melalui eksekusi barang

jaminan.

Dalam Pasal 29 UndangUndang No 42 Tahun 1999, diatur ada 3 (tiga) cara

eksekusi benda jaminan fidusia, yaitu :(1)Apabila debitur atau Pemberi Fidusia

cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat

dilakukan dengan cara: a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagimana dimaksud

dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia; b. Penjualan benda yang menjadi

objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui

pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; c.

Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan

Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang

menguntungkan para pihak. (2) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) huruf c dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak

diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi dan Penerima Fidusia kepada pihak-

pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar

yang beredar di daerah yang bersangkutan.

Konsekuensi dari tidak didaftarkannya jaminan fidusia tersebut adalah

kreditur yang dalam hal ini tidak memperoleh kedudukan sebagai kreditur

preferen karena jaminan fidusia tidak lahir. Oleh sebab itu apabila suatu saat

debitur wanprestasi/cidera janji, maka kreditur tidak mempunyai hak untuk

didahulukan pelunasan atas piutangnya dari hasil penjualan benda jaminan

tersebut, hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren. Pada saat debitur cidera

janji dalam hal ini terjadi kredit macet, dalam rangka eksekusi, melakukan
penyitaan terhadap benda jaminan. Penyitaan tersebut dilakukan langsung oleh

pihak-pihak tertentu melakukan eksekusi pada jaminan yang dijaminkan tanpa

melalui putusan pengadilan. Penyitaan tersebut harusnya didahului dengan

mengajukan gugatan ke Pengadilan terhadap debitur atas dasar wanprestasi karena

jaminan fidusia tidak didaftarkan sehingga tidak dapat menggunakan ketentuan

dalam Pasal 29 Undang-undang Jaminan Fidusia mengenai cara eksekusi terhadap

benda jaminan fidusia.

Jaminan fidusia hakikatnya didasarkan pada kepercayaan diantara para

pihak, hal inilah yang kemudian menyebabkan objek jaminan tetap dikuasai

pemilik barang (debitur). Kreditur percaya meskipun objek fidusia dikuasai oleh

debitur, debitur tidak menyalagunakan objek jaminan ini untuk perbuatan yang

dapat menimbulkan kerugian bagi kreditor. Untuk dapat melindungi kreditor yang

tidak menguasai jaminan fidusia, lahirnya akta jaminan fidusia sangat bergantung

pada pendaftaran akta yang merupakan perwujutan asas publisitas jaminan

fidusia. Dalam hal ini penemukan beberapa fakta di lapangan terkait eksekutorial

yang tidak di sertai akta fidusia sebagaimana ketentuan (Bahsan, 2015:52).

Prinsip pada jaminan fidusia ialah constitutum possessorium, dimana objek

fidusia tetap dikuasai pemberi fidusia. Artinya pemberi fidusia tetap dapat

menikmati objek fidusia meskipun statusnya tidak lagi sebagai eigenaar

melainkan sebagai detentor (houder). Kegiatan pembiayaan konsumen sebenarnya

telah memiliki landasan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang

diharapkan mampu mendukung industri pembiayaan sehingga dapat mencegah

dan mengatasi permasalahan yang terjadi. Permasalahan antara konsumen dan


lembaga pembiayaan seringkali terjadi karena adanya perbedaan pandangan

hukum.

Kedudukan jaminan dalam sebuah hubungan hukum perdata sama

pentingnya dengan prestasi pokok yang diperjanjikan karena jaminan kedudukan

sebagai upaya pemenuhan prestasi pengganti (substitusi) jika kewajiban pokoknya

tidak dilakukan debitur, sehingga selain adanya jaminan atas kewajiban prestasi

dalam praktiknya juga disyaratkan bahwa jaminan itu harus memiliki nilai yang

setidaknya sama atau bahkan lebih tinggi dari nilai kewajiban yang harus

ditunaikan oleh pihak debitur. Pemberian kredit tidak saja dapat dilakukan oleh

bank akan tetapi dapat dilakukan oleh siapapun yang mempunyai kemampuan

untuk itu melalui perjanjian utang-piutang dengan pembayaran secara cicilan

antara kreditur pemberi pinjaman disatu pihak dan debitur penerima pinjaman di

pihak yang lain.

Setelah terjadinya perjanjian itu maka kreditur mempunyai kewajiban untuk

menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada debitur pada waktunya sedangkan

debitur berkewajiban mengembalikan dana yang diberikan itu berikut dengan

buanga yang disepakati oleh para pihak. Jika perjanjian berjalan lancar, maka

akan terasa tidak penting membicarakan jaminan, karena apa yang disepakati

dapat berjalan dengan mulus, namun jika di tengah jalan debitur mengalami

kemacetan dan tidak mempu lagi membayar cicilan sebagaimana yang telah

diperjanjikan, maka barulah terasa penting utuk berpikir tetang jaminan, bahkan

bukan hannya itu jenis dan kedudukan jaminan akan mempengaruhi seberapa
besar kemukinan debitur dapat menarik kembali dana yang telah ia berikan

kepada krebitur.

Suatu jaminan utang yang baik, adalah jaminan yang dapat menempatkan

posisi kreditur sebagai pihak yang dapat mengabil pelunasan terhadap semua

tagihanya dengan mudah dan leluasa tanpa ada gangguan dari kreditur lainnya.

Jaminan utang tidak membebankan kewajiban-kewajiban tertentu bagi debitur

misalnya kewajiban utuk merawat dan memperbaiki barang, membayar pajak dan

sebagainya. Ketika pinjaman macet dan sudah diberi surat peringatan secara patut

maka jaminan utang harus di eksekusi dengan model pengeksekusian yang

mudah.

Untuk mendapatkan jaminan fidusia benda yang bergerak yang menjadi

obyek jaminan harus didaftarkan ke kantor jaminan fidusia untuk mendapatkan

sertifikat jaminan fidusia melalui pendaftaran elektronik. Namun, kadangkala

kreditur yang menerima jaminan fidusia tidak melaksanakan apa yang telah

menjadi kewajibannya untuk mendaftarkan jaminan fidusia tersebut. Bentuk

wanprestasi atau ingkar janji ini bisa berupa tidak membayar hutang kepada

kreditur, membayar tapi terlambat dan lain sebagainya (Hadi, 2020). Tentu

dengan adanya wanprestasi ini, menyebabkan kerugian bagi kreditur, sehingga

membuat kreditur harus mengeksekusi benda yang sudah di fidusiakan.

Pelaksanaan eksekusi yang dilakukan kreditur melalui jasa debt collector

kadangkala menimbulkan masalah baru antara kreditur dengan debitur. Hal ini

dikarenakan cara debt collector dalam mengeksekusi barang jaminan fidusia

dengan cara kekerasan, intimidasi bahkan dengan cara merampas barang jaminan
fidusia dijalan, hal inilah yang menimbulkan perlawanan dari pihak debitur.

Untuk itu agar terhindar dari perseteruan antara kreditor dan debitor yang

berkepanjangan dan menimbulkan rasa ketidaknyamanan dan keamanan antara

kedua belah pihak, kepolisian memberikan solusi berupa pengamanan eksekusi

jaminan fidusia yang tertuang dalam Peraturan Kapolri no 8 Tahun 2011 tentang

pengamanan eksekusi jaminan fidusia. Karena Kepolisian Negara Republik

Indonesia merupakan alat negara yang bertugas dan berfungsi untuk memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Dengan demikian, para pihak yang berkepentingan yang telah mengikatkan

dirinya untuk mengadakan perjanjian dengan adanya system jaminan. Pemberi

jaminan mempunyai kewajiban dalam melaksanakan apa yang menjadi

kewajibannya. Kemudian, pemegang hak jaminan diberi kewenangan dan hak

untuk melindungi serta memelihara jaminan yang dititipkan oleh pemberi

jaminan. Apa bila salah satu diantaranya terdapat perbuatan tercelah yang oleh

pihak lain dirugikan, maka dapat menuntut ganti kerugian yang dialaminya sesuai

ketentuan yang berlaku.

Bilamana proses eksekutorial tidak di sertai akta fidusia maka pihak

eksekutor harus menunjukan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Namun dalam hal eksekutorial tidak didasari akta fidusia atau putusan pengadilan

maka eksekutorial tidak dapat terlaksana sebagai mana mestinya. Dengan

demikian, dalam penelitian ini penulis tertarik mengulas dengan judul “Analisis

Eksekusi Jaminan Fidusia Yang Tidak di Daftarkan”.


1.2. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan apa yang penulis uraikan diatas, terdapat sejumlah

permasalahan yang menjadi, namun disini mengindentifikasi pada persoalan yang

acapkali muncul terjadinya:

1. tindakan main hakim sendiri dalam penyelesaian sengketa jaminan fidusia.

Eksekusi dalam penyelesaian jaminan fidusia menjadi konflik yang sering

timbul mengingat terdapat dilema penafsiran yang bermuara pada

ketidakpastian hukum yang terjadi.

2. Jaminan hukum yang kurang jelas terkait adanya persoalan-persoalan yang

terjadi dalam praktik pelaksanaan jaminan fidusia. Namun dalam faktanya,

masih banyak terjadi persoalan-persoalan dari tindakan main hakim sendiri

yang terjadi apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi.

1.3. Batasan Masalah

Dalam melakukan penelitian ini, penulis tidaklah secara menyeluruh

mengkaji permasalahan secara detail akan tetapi berfokus pada:

1. menyangkut pengaturan pada akibat hukum pelaksanaan eksekutorial yang

tidak didasari oleh akta fidusia. Kajian secara komperhensif terhadap

pelaksanaan jaminan fidusia utamanya pada masalah eksekusi sehingga tidak

menimbulkan masalah.

2. Pendaftaran jaminan fidusia bertujuan untuk menjamin kepastian hukum, salah

satunya kepastian eksekusi objek fidusia apabila debitur melaksanakan

kewajibannya.

1.4. Rumusan Masalah


Dari uraian latar belakang tersebut di atas, penulis merumuskan pokok

permasalahan yang akan di kaji dalam skripsi ini diantaranya :

1. Bagaimana debitor dalam melaksanakan eksekusi jaminan fidusia yang tidak

didaftarkan?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap pelaksanaan eksekutorial objek jaminan

fidusia dibawah tangan?

1.5. Tujuan Penelitian

Berikut tujuan dari penelitian ini sebagai pengetahuan diantaranya yakni:

1. Dalam mengetahui bentuk eksekusi jaminan fidusia yang tidak didaftarkan.

2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap pelaksanaan eksekutorial objek

jaminan fidusia dibawah tangan.

1.6. Manfaat Penelitian

1.6.1. Manfaat Teoritis

Peneliti berharap dapat memperoleh pemahaman serta memberikan manfaat

bagi para pembaca dalam mengetahui pengaturan yang memuat terdaftarnya

jaminan fidusia guna perlaksanaan eksekutorial sesuai hukum yang berlaku

(Soekanto, 2015:110).

1.6.2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis di dalam penelitian ini disampaikan sebagaimana berikut:

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan terhadp Otoritas Jasa

Keuangan dalam menjalankan fungsinya sebagai pengaturan dan pengawas

dari kegiatan jasa keuangan di sector perbankan, sector pasar modal, dan sektor

IKNB (Indutri Keuangan Non Bank).


2. Universitas Putera Batam

Sebagai bagian yang mampu berfungsi untuk lembaga sosial kontrol dengan

sistem pendidikan formal yang berjalan diharapkan dapat memberikan gambaran

dan sumbangsih pemikiran logis yang berkaitan dengan pembahasan pendaftaran

dan pelaksanaan eksekutorial jaminan fidusia. Penelitian inipun diharapkan dapat

memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan yang mendalam bagi mahasiswa.

3. Bagi peneliti

Berharap dapat menjadi bahan masukan dalam bidang hukum perdata serta

dapat dijadikan pedoman bagi praktisi hukum, dosen pengajar, mahasiswa

maupun pihak yang berkepentingan dalam pemberian jaminan fidusia.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teori

Teori diperuntukkan dalam menjelaskan dan menerangkan mengapa gejala

spesifik atau proses tertentu terjadi. Teori, skripsi mengenai sesuatu kasus atau

permasalahan yang menjadi bahan pendapat serta menjadi perbandingan,

pegangan teoritis. Penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka

teori di arahkan secara hukum. Dalam mengkaji dan menganalisis permasalahan

tentang perlindungan hukum bagi kreditur terhadap eksekusi jaminan fidusia yang

tidak di daftarkan yang merupakan perjanjian di bawah tangan sebagaimana

ketentuan dalam aturan hukum.

2.1.1. Kepastian Hukum

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu

pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan

adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang

boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang

didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung

melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut

pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini,

tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum.

Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya
membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum.Sifat umum dari aturan-aturan

hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan

atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.

Berbicara mengenai perlindungan hukum merupakaan salah satu unsur

terpenting dalam suatu negara karena ketika suatu negara terbentuk maka

seiringan dengan terbentuknya pula hukum yang mengatur warga-warganya. Pada

dasarnya setiap manusia terlahir sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

(YME) yang secara kodrati mendapatkan hak dasar yaitu kebebasan, hak hidup,

hak untuk dilindungi, dan hak yang lainnya (Sudikmo Mortokusumo, 2018:79).

Kepastian hukum, digunakan untuk melihat apakah, seperangkat aturan

yang mengatur tentang lembaga perbankan, lembaga jaminan fidusia, dan

keseluruhan undang-undang serta perangkat peraturan turunan lainnya

memberikan kepastian, memberikan ketegasan, memberikan batasan serta

informasi menyeluruh kepada masyarakat umum terutama para pelaku bisnis

dalam menjalankan aktifitas perdagangannya tentang apa boleh dilakukan dan

yang tidak boleh dilakukan. Teori Kepastian Hukum, digunakan untuk melihat

apakah, seperangkat aturan yang mengatur tentang lembaga perbankan, lembaga

jaminan fidusia, dan keseluruhan undang-undang serta perangkat peraturan

turunan lainnya memberikan kepastian, memberikan ketegasan, memberikan

batasan serta informasi menyeluruh kepada masyarakat umum terutama para

pelaku bisnis dalam menjalankan aktifitas perdagangannya tentang apa boleh

dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan tentunya dalam konteks aktifitas bisnis

perdagangan lembaga perbankan.


2.1.2. Perlindungan Hukum

Satjipto Raharjo mengartikan perlindungan hukum merupakan pemberian

pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan oleh orang lain

dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat masyarakat dapat

menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan

untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel,

melainkan juga prediktif dan antisipatif. Salah satu perlindungan hukum yang

diberikan Negara melalui dikeluarkannya UUJF. Pasal 11 ayat (1) bahwa :“Benda

yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan.” Dengan dilakukannya

pendaftaran ke kantor pendaftaran fidusia, maka akan diterbitkan sertifikat

jaminan fidusia yang memiliki kekuatan hukum yaitu kekuatan eksekutorial yang

mengikat bagi para pihak yang mana kekuatan hukum tersebut layaknmya

keputusan pengadilan (Satjipto Raharjo, 2000:53).

Apabila tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi maka proses

pencapaian tujuan tersebut merupakan keberhasilan dalam melaksanakan program

atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi tersebut. Ditinjau dari

bentuk perlindungan, oleh karena masyarakat memiliki keinginan memperoleh

sesuatu sehingga didalamnya tercipta untuk memberikan berupa barang miliknya

dijadikan sebagai jaminan.

2.2. Kerangka Yuridis

Dalam analisis yuridis yang penulis jabarkan mengacu pada kegiatan

menemukan dan memecahkan masalah untuk dilakukan penelitian mendalam

tentangnya, kemudian mengaitkannya dengan hukum, asas hukum, dan norma


hukum untuk menyelesaikan masalah. Analisis yuridis merupakan kegiatan yang

mengambil serta mengumpulkan hukum dan juga mencari dasar-dasar lain yang

relevan dalam mengambil kesimpulan atas jawaban permasalahan.Analisis yuridis

bertujuan agar terbentuknya pola pikir atas pemecahan masalah yang mana sesuai

dengan hukum khususnya mengenai analisi eksekusi jaminan fidusia yang tidak

didaftarkan.

2.2.1. Perjanjian

Perjanjian merupakan salah satu dari sumber perikatan, yang menciptakan

kewajiban pada salah satu pihak atau banyak pihak dalam perjanjian. Kewajiban

yang dibebankan kepada debitur, memberikan hak pada pihak debitur untuk

menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut.

Dalam hal debitur yang tidak melaksanakan isi perjanjian yang telah disepakati

tersebut, maka kreditur berhak menuntut pelaksanaan perjanjian yang belum atau

tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau yang tidak dipenuhi

sesuai dengan yang diperjanjikan atau yang telah dilaksanakan secara

bertentangan, dengan atau tidak disertai dengan penggantian berupa biaya,

kerugian dan bunga yang telah dikeluarkan oleh kreditur.

Beradasarkan Pasal 1313 KUHPerdata bahwa : “Suatu perjanjian adalah

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang lain atau lebih.” Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang

pengertian perjanjian. Perjanjian baru dianggap sah apabila memenuhi kedua

unsur yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur Subjektif mencakup syarat

pertama dan kedua dari syarat-syarat perjanjian di atas. Syarat pertama adalah
adanya kesepakatan. Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari

kehendak antara para pihak dalam perjanjian (Pratama, 2020).

Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan dalam

perjanjian, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut

menyampaikan terlebih dahulu mengenai apa yang di kehendaki oleh pihak

tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan di perkenakan oleh

hukum untuk di sepakati oleh para pihak.10 Kesepakatan tidak boleh terdapat

suatu kekhilafan, paksaan dan penipuan, berdasarkan Pasal 1321 KUH Perdata.

Selain itu, termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata telah memberikan

batasan orang-orang mana saja yang di anggap tidak cakap untuk bertindak dalam

hukum, yang menyatakan bahwa “Tidak cakap untuk membuat perjanjian

diantaranya:

1. Anak yang belum dewasa;

2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;

3. Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang

dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk

membuat perjanjian tertentu.

Pada perikatan dalam hal memberikan seseautu, kebendaan yang akan

diserahkan berdasarkan suatu perjanjian tertentu, haruslah sesuatu benda yang

telah ditentukan secara pasti, paling tidak sudah ditentukan jenisnya, termasuk

juga barang yang baru tersebut dapat ditentukan atau dapat dihitung kemudian,

sehingga tidak akan menimbulkan keraguan mengenai benda yang dimaksud

tersebut dalam perjanjian (Yahya Harahap, 2012:339). Sebagai akibat ketertarikan


antara hukum perjanjian dan hukum kebendaan dimana hubungan hukum

perjanjian yang dibauat, maka dala hal dibuat atau diselenggarakannya perjanjian

yang berhubungan dengan peraliha hak kebendaan dan penciptaan hak kebendaan

dan penciptaan hak kebendaan baru, termasuk penjaminan, pencatatan dan

publikasi menjadi wajib.

Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu

peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang

itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Selanjutnya oleh Wirjono

Prodjodikoro, mengemukakan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum

mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di

anggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu

hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. Oleh Abdulkadir

Muhammad suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih

mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.

Dalam hal debitur tidak dapat melaksanakan prestasi sebagai mana yang telah di

perjanjikan menurut syarat sahnya perjanjian atas somasi yang dilakukan kreditur

namun debitur tidak juga dapat melaksanakan kewajiban maka kreditur dapat

melakukan eksekusi barang yang menjadi jaminan tersebut.

2.2.2. Eksekusi

Pada umunya eksekusi bidang hukum perdata memang dilaksanakan oleh

lembaga Pengadilan, baik karena suatu putusan hakim yang telah memiliki

kekuatan hukum yang tetap, putusan arbitrase yang telah di exequtor oleh

Pengadilan Negeri, atau dokumen-dokumen lain yang memiliki kekuatan


eksekutorial yang dapat dilakukan eksekusi melalui fiat ketua Pengadilan Negeri

seperti sertifikat hak tanggungan dan sertifikat fidusia. Selain eksekusi dapat

dilakukan oleh Pengadilan, eksekusi juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga

lain yang diberikan kewenangan untuk itu oleh Undang-Undang, yaitu PUPN dan

BUPLN berdasarkan Pasal 10 ayat 3 Undang-Undang No 49 Prp Tahun 1960

dapat melakukan eksekusi terhadap piutang-piutang Negara yang macet dan

lembaga parate eksekusi.

Sebagai tindak lanjut dari pengurusan piutang tersebut akan dibuat surat

pernyataan bersama antara debitur dengan PUPN yang mana surat pernyataan

tersebut memiliki kekuatan seperti putusan yang telah memiliki kekuatan hukum

tetap karena diberi titel eksekutorial berupa irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”, 48 sehingga jika debitur tidak melaksanakan

ketentuan-ketentuan dalam surat pernyataan bersama tersebut PUPN dapat

mengeluarkan surat paksa dan melakukan penyitaan atas obyek eksekusi milik

debitur.

Menurut Pasal 195 HIR, eksekusi ialah sebuah proses yang dilakukan

pengadilan terhadap pihak yang kalah dalam suatu perkara. Eksekusi merupakan

bagian atau tata cara lanjutan dari pemeriksaaan perkara. Eksekusi berasal dari

kata executie, yang berarti melaksanakan putusan hakim (tenuitvoerlegging van

vonnissen). Yahya Harahap memberikan defenisi eksekusi merupakan tindakan

hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu

perkara. Menjalankan putusan pengadilan, tiada lain dari melaksanakan isi


putusan pengadilan dengan bantuan kekuasaan umum apabila pihak yang kalah

tidak mau menjalankannya secara sukarela.

Pada dasarnya, pelaksanaan putusan pengadilan atau yang lazimnya disebut

eksekusi ini hanya dapat dilaksanakan apabila putusan Pasal 209 HIR/Pasal 242

RBg. telah mempunyai hukum tetap (inkracht van gewijsde) terhadap putusan

yang bersifat condemnatoir. Proses eksekusi hanya timbul apabila pihak yang

kalah tidak menyerakan secara sukarela. Terkait dengan sumber hukum diatur

dalam Pasal 195 sampai dengan Pasal 224 HIR atau Stb. 1941 no 44 yang berlaku

di pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah di luar pulau Jawa dan

Madura digunakan Pasal 206 sampai dengan Pasal 258 Rbg. atau Stb. 1927 no

227.

Dalam surat Edaran Makahmah Agung (SEMA) no 4 tahun 1975 tentang

penyanderaan (gijzeling) sebagaimana diakui dalam Pasal 209 HIR/Pasal 242

RBg. tidak dibenarkan lagi untuk dilaksanakan di Indonesia karena bertentangan

dengan sila perikemanusiaan yang adil dan beradap. Tetapi kemudian dengan

diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung RI No 1 Tahun 2000 tentang

Lembaga Paksa Badan telah mencabut ketentuan di atas tentang pelarangan

gijzeling di mana terhadap debitur yang beretikad tidak baik dapat diterapkan

peksa badan dengan cara memasukan yang bersangkutan ke dalam rumah tahanan.

Meskipun cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi di

atur mulai Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR/206 sampai Pasal 258 RB., namun

pada saat sekarang tidak semua ketentuan pasal-pasal tadi berlaku secara efektif.

Yang masih benar-benar berlaku efektif terutama Pasal 195 sampai Pasal 208 dan
Pasal 224 HIR. beberapa ketentuan atau sejumlah prinsip dalam pelaksanaan

eksekusi perdata di Indonesia, yaitu:

1. Putusan telah berkekuatan hukum tetap

Tidak semua putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim atau pengadilan dapat

dimintakan eksekusi atau mempunyai kekuatan hukum eksekutorial. Dengan

demikian dapat dipahami bahwa selama putusan belum mempunyai kekuatan

hukum tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi sebagai tindakan

hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak tanggal putusan memperoleh

kekuatan hukum tetap dan pihak tergugat (yang kalah) tidak mau menaati

putusan secara sukarela.

2. Condemnatoir

Sifatnya amar dan putusan didasari pada putusan declatoir dan contitutief tidak

mengandung adanya unsur penghukuman kepada seseorang atau para pihak

yang sedang bersengketa karena didalamnya tidak ada memuat hak-hak suatu

prestasi tertentu dan efeknya tidak diperlukan pelaksanaan putusan sebagai

tindakan lanjutan yaitu eksekusi, sedangkan putusan yang bersifat

condemnatoir artinya mengandung unsur “penghukuman”, dengan demikian

putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman

tidak dapat dieksekusi.

3. Eksekusi

Eksekusi secara nyata dilakukan panitera atau juru sita berdasarkan perintah

jetua pengadilan negeri, yang dituangkan dalam bentuk surat penetapan.

Bahwa tanpa surat penetapan eksekusi belum memadai. Perintah eksekusi


menurut Pasal 197 ayat (1) HIR mestidengan surat penentapan tidak

diperkenankan secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk ini

sangat bsesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum serta

pertanggung jawabannya.

Eksekusi obyek jaminan fidusia didalam Undang-Undang No.42 Tahun

1999 diatur adalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34, Dalam Pasal 26 Undang-

Undang No 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia telah disebutkan secara jelas

mengenai hak-hak eksekutorial secara langsung oleh perusahaan pembiayaan

(Kreditur) apabila pihak konsumen (Debitur ) cidera janji atau wanprestasi.

Eksekusi obyek jaminan fidusia adalah penyitaan dan penjualan obyek

jaminan fidusia oleh penerima fidusia apabila debitur sebagai pemberi fidusia

cidera janji. Eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia oleh perusahaan

pembiayaan bukan merupakan suatu pelanggaran hukum jika telah sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal sejenis juga telah dijelaskan

dalam kitab Undang-Undang hukum perdata pada Pasal 1155 mengatakan bahwa :

“Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka si berpiutang adalah

berhak jika si berutang atau si pemberi gadai cidera janji, setelah tenggang waktu

yang diberikan lampau, atau tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu, maka

kreditur berhak untuk mengambil, menjual barangnya dimuka umum menurut

kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan

maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya

dari pendapatan penjualan tersebut.”


Sedangkan dalam Pasal 29 Undang-Undang No 42 Tahun 1999 Tentang

Jaminan Fidusia mengenai eksekusi obyek jaminan fidusia telah diatur dalam

Pasal 29 yang memberikan batasan 3 (tiga) cara melakukan eksekusi terhadap

obyek jaminan fidusia, yaitu : Pasal 29 ayat 1 Apabila debitur atau pemberi

fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia

dapat dilakukan dengan cara, pelaksanaan titel eksekusi sebagaimana diatur dalam

Pasal 15 ayat (2) yang dilakukan oleh penerima fidusia dalam hal ini adalah pihak

kreditur.

Dalam sertifikat jaminan fidusia yang diterbitkan Kantor Pendaftaran

Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa” sertifikat jaminan fidusia ini memikiki kekuatan eksekutorial

yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Yang dimaksud kekuatan eksekutorial adalah langsung dapat melakukan

penjualan tanpa harus melalui pengadilan.

Dengan demikian pelaksanaan titel eksekusi dapat dilaksanakan apabila

debitur telah cidera janji, dan kreditur memiliki sertifikat jaminan fidusia yang

mencantukan kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Penjualan atas obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri

melalui pelelangan umum. Jadi apabila debitur telah cidera janji dan perusahaan

pembiayaan telah memiliki sertifikat jaminan fidusia maka perusahaan dapat

melakukan penjualan obyek jaminan fidusia melalui pelelangan umum guna

mendapatkan pelunasan atas hutangnya. Penjualan di bawah tangan yang

dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan


cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Adapun syarat penjualan atas obyek jaminan fidusia dengan cara melakukan

penjualan dibawah tangan ini terdapat 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi yaitu:

1. Adanya kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian

dapat diperoleh harga tertinggi,

2. Setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh

pemberi dan atau penerima fidusia kepada pihak pihak berkepentingan.

3. Diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang

bersangkutan.

Berikut ini adalah bunyi dari Pasal 30 sampai 34 Undang-Undang No 42

Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Pasal 30 “Pemberi fidusia wajib

menyerahkan benda yang obyek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan

eksekusi jaminan fidusia”. Penjelasan dalam hal pemberi fidusia tidak

menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia pada waktu eksekusi

dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi obyek

jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.

Pasal 31 “Dalam hal benda yang obyek jaminan fidusia terdiri atas benda

perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa, penjualannya

dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku”. Penjelasan dalam hal benda yang menjadi obyek

jamiman fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di

pasar atau di bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 32 “Setiap janji untuk


melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia

dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 29 dan Pasal 31 maka eksekusi batal demi hukum. Pasal 34 ayat satu

“Dalam hal eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib

mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia”. Ayat 2 “Apabila

hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur tetap bertanggung

jawab atas utang yang belum terbayar”

2.2.3. Fidusia

Pada umumnya, tidak ada utang debitur yang tidak dijamin. Apabila

seseorang khawatir tidak dibayar piutangnya, maka sudah seharusnya diberikan

keyakinan agar apapun yang terjadi dikemudian hari tidak akan merugikan si

pemberi utang sebab adanya jaminan yang telah di sepakati oleh pemberi utang

dan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah

ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan atas

kesepakatan kedua belah pihak. Pasal 1131 KUH Perdata menentukan suatu

kewajiban bagi debitur untuk memberikan jaminan kepada kreditur atas utang

yang telah di terimanya, tanpa adanya jaminan yang ditentukan secara khusus,

maka segala harta kekayaan debitur baik yang telah ada maupun yang akan ada

secara otomatis menjadi jaminan ketika seseorang menbuat perjanjian utang

meskipun hal tersebut tidak dinyatakan secara tegas dalam perjanjian.

Pasal 1 angka 23 Undang-undang No 10 1998 tentang Perbankan

menyebutkan bahwa agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah

(debitur) kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah. Kedudukan jamina dalam perjanjian merupakan

jamian tambahan (accesoir) yang diserahkan oleh debitur kepada bank dengan

tujuan untuk mendapatkan pinjaman dana dari bank. Pasal 1 angka 26 Undang-

Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbanjan Syariah menyebutkan. “agunan

merupakan jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak

bergerak yang diserahkan pemilik Agunan kepada benk guna menjamin pelunasan

utang yang diberikan kepada nasabah”.

Dengan adanya jaminan, seseorang debitur dapat memenuhi segala

utangnya kepada kreditur, jika dikemudian hari ia tidak mampu membayar maka

jaminan yang telah disepakati dapat di jual guna pelunasan utang tersebut

sehingga tidak menimbulkan kerugian kepada kreditur yang dalam hal ini

memberi bantuan berupa dana kepada debitur. Oleh karena itu agunan merupakan

bentuk kemampuan debitur kepada kreditur dalam mangajukan atau pelunasan

piutang kepada kreditur. Jaminan dalam KUH Perdata diatur mengenai:

1. Kedudukan harta pihak peminjam

Pasal 1131 KUH Perdata mengatur kedudukan tentang kedudukan harta hak

pihak peminjam yaitu bahwa harta tersebut sepenuhnya merupakan jaminan

atas utangnya, sehingga pihak pemberi pinjaman dapat menuntut pelunasan

utang dari semua harta pihak peminjam, baik yang ada maupun yang aka nada.

2. Kedudukan pihak yang memberi pinjaman

Pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan bahwa kedudukan pihak pemberi

pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan. Pertama, yang mempunyai

kedudukan yang berimbang sesuai dengan piutang masing-masing; dan kedua,


yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang

lain. Hasil dari penjualan harta jaminan utang dibagi-bagi menurut

keseimbangan namun tetap memperhatikan kedudukan kreditur yang

didahulukan.

3. Larangan memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang oleh pihak pemberi

pinjaman.

Pihak pemberi pinjaman dilarang membuat perjanjian yang menyatakan bahwa

akan memiliki objek jaminan utanng bila pihak peminjam ingkar janji

(wanprestasi). Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1154 KUH Perdata.

Asas-asas hukum jaminan yang pada umumnya juga berlaku di dalam

hukum kebendaan, yaitu.

1. Asas publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak

fidusia,dan hipotek harus didaftarkan. Hal ini dimaksudkan supaya pihak

ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan

pembebanan jaminan.

2. Asas specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hak

hipotekhanya dapat dibebankan atas percil atau atas barang-barang yang sudah

terdaftar atas nama orang-orang tertentu.

3. Asas tidak dapat dibagi-bagi, yaitu asas dapat dibaginya untuk tidak dapat

mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak

gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian.

4. Asas inbezitstelling, yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima

gadai.
5. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan.

Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun

tanah hak milik.

Subjek hukum yang dikenal dalam hukum jaminan tyerbagi menjadi dua,

yaitu debitur dan kreditur, debitur adalah pihak yang memiliki kewajiban utuk

membayar utang kepada kreditur. Dalam istilah lain sebagai pihak yang harus

memenuhi prestasi dan kreditur merupakan pihak yang memiliki hak untuk

menerima pembayaran (berhak menerima pemenuhan prestasi) dari debitur.

Objeknya yaitu benda tetap dan tidak bergerak).

Persoalan yang terjadi pada aspek jaminan hukum akan mempengaruhi

kelancaran system pembiayaan karena para pemilik modal dan jasa perbankan

akan merasa ragu untuk memberikan pinjamannya kepada masyarakat dan pera

pelaku usaha jika di kemudian hari pinjamannya tidak dapat dilunasi atau

setidaknya sulit meminta pelunasan. Hak untuk melakukan eksekusi dengan

kekuasaan sendiri (parate eksekusi) dapat menjadi pilihan dan harapan yang

cukup menjanjikan atau setidaknya akan merubah mindset para pemilik modal

yang selalu beranggapan bahwa pengambilan pelunasan dari penjualan objek

jaminan harus ditempuh dengan prosedur yang rumit dan berbelit-belit karena

kehadiran parate eksekusi bias membuat seakan-akan seorang kreditor selalu

memegang kekuasaan untuk menjual objek jaminan yang berada ditangannya

kapan saja kreditur dapat menjual bilamana debitur tidak dapat melunasi

piutangnya.

2.2.4. Tata Cara Pendaftaran Fidusia


Jaminan fidusia merupakan salah satu pranata lembaga jaminan yang berada

di Indonesia. Jaminan fidusia diperuntukan bagi benda bergerak seperti sepeda

motor maupun mobil. Untuk mendapatkan jaminan fidusia, benda bergerak itu

harus didaftarkan untuk diberikan surat atau akta jaminan fidusia. Permohonan

pendaftaran jaminan fidusia diajukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya

kepada Menteri. Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

menegaskan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib

didafarkan. Pendaftaran jaminan fidusia tersebut untuk memberikan kepastian

hukum kepada para pihak yang berkepentingan.

Tata cara pendaftaran jaminan fidusia diatur didalam Peraturan Pemerintah

No 21 tahun 2015 tentang tata cara pendaftaran jaminan fidusia dan Biaya

Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia

sebagai berikut:

1) Identitas pihak Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia

2) Tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris

yang membuat akta Jaminan Fidusia

3) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia

4)Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia

5)Nilai penjaminan

6)Nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.

Pasal tiga Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2015 permohonan pendaftaran

Jaminan Fidusia diajukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari

terhitung sejak tanggal pembuatan akta jaminan fidusia. Permohonan pendaftaran


Jaminan Fidusia yang telah memenuhi ketentuan atau memenuhi syarat-syarat

memperoleh bukti pendaftaran. Bukti pendaftaran paling sedikit memuat:

1)Nomor pendaftaran

2)Tanggal pengisian aplikasi

3)Nama pemohon

4)Nama Kantor Pendaftaran Fidusia

5)Jenis permohonan

6)Biaya pendaftaran Jaminan Fidusia.

Pemohon melakukan pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia melalui

bank persepsi berdasarkan bukti pendaftaran. Pendaftaran jaminan fidusia dicatat

secara elektronik setelah pemohon melakukan pembayaran biaya pendaftaran

jaminan fidusia.

Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal jaminan

fidusia dicatat, sertifikat jaminan fidusia ditandatangani secara elektronik oleh

pejabat pada kantor pendaftaran fidusia, dengan kemudian sertifikat jaminan

fidusia dapat dicetak pada tanggal yang sama dengan tanggal Jaminan Fidusia

dicatat.

Dalam hal terjadi kesalahan pengisian data dalam permohonan pendaftaran

jaminan fidusia yang diketahui setelah sertifikat jaminan fidusia dicetak, penerima

fidusia, kuasa atau wakilnya harus mengajukan permohonan perbaikan sertifikat

jaminan fidusia kepada menteri. Permohonan perbaikan sertifikat jaminan fidusia

diajukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

tanggal sertifikat jaminan fidusia diterbitkan.


Pembuatan akta jaminan fidusia dikenakan biaya yang besarnya ditentukan

berdasarkan nilai penjaminan, dengan ketentuan sebagai berikut: (1)Nilai

penjaminan sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), biaya

pembuatan akta paling banyak 2,5% (dua koma lima perseratus) (2)Nilai

penjaminan di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan

Rp1.000.000.000,00, (satu miliar rupiah), biaya pembuatan akta paling banyak

1,5% (satu koma lima perseratus) (3)Nilai penjaminan di atas Rp1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah), biaya pembuatan akta berdasarkan kesepakatan antara notaris

dengan para pihak, tetapi tidak melebihi 1% (satu perseratus) dari objek yang

dibuatkan aktanya .(pasal 18 Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2015 ientang Tata

Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia).

Maka sejak tercatatnya jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial

yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, bilamana dikemudian hari debitor cidera janji dan sudah di tergur dengan

patut untuk melaksanakan prestasinya, namun tidak juga terlaksana sebagaimana

keinginan kreditur penerima fidusia maka mempunyai hak untuk menjual benda

yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.

2.3. Penelitian Terdahulu

Untuk memperkaya dan mendukung kajian dalam penelitian ini, maka

penulis mengutip beberapa dari peneliti terdahulu diantaranya:

1. Khifni Kafa Rufaida dan Rian Sacipto “Tinjauan Hukum Terhadap Eksekusi

Objek Jaminan Fidusia Tanpa Titel Eksekutorial Yang Sah”


Membahas pendaftaran fidusia muncul persoalan yang berkaitan dengan

pendaftaran jaminan fidusia yang mana lembaga pembiayaan tidak melakukan

pendaftaran sehingga tidak memiliki sertifikat jaminan fidusia. Bagaimana

pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia tanpa titel eksekutorial yang sah

(Rufaida, 2019).

2. Junaidi Abdullah dengan judul Jaminan Fidusia Di Indonesia (Tata Cara

Pendaftaran Dan Eksekusi)

Pelaksanaan eksekusi yang dilakukan kreditur melalui jasa debt collector

kadangkala menimbulkan masalah baru antara kreditur dengan debitur. Hal ini

dikarenakan cara debt collector dalam mengeksekusi barang jaminan fidusia

dengan cara kekerasan, intimidasi bahkan dengan cara kekerasan dengan cara

merampas barang jaminan fidusia dijalan, hal inilah yang menimbulkan

perlawanan dari pihak debitur. Pengamanan Eksekusi adalah tindakan

kepolisian dalam rangka memberi pengamanan dan perlindungan terhadap

pelaksana eksekusi, pemohon eksekusi, termohon eksekusi (tereksekusi) pada

saat eksekusi dilaksanakan (Abdullah, 2016).

3. Chika Asyifa Riansyah, dkk “Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan Dan

Eksekusinya”

Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang tidak didaftarkan apabila debitur

ingkar janji (wanprestasi), kreditur dalam hal ini lembaga gadai tidak akan

langsung melakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan

fidusia dari debitur. Akan tetapi, pihak lembaga gadai menempuh upaya

persuasif dan lebih mengedepankan musyawarah agar tetap terjalinnya


hubungan yang baik dengan pihak debitur. Kemudian, lembaga gadai

cenderung untuk melakukan penjualan di bawah tangan dengan berdasarkan

pada kesepakatan kedua belah pihak dengan alasan untuk mencari pembeli

yang tepat dengan harapan agar diperoleh harga yang tinggi (Chika Asyifa

Riansyah, 2020).

4. Chintia M. Ponto “Aspek Hukum Eksekusi Jaminan Fidusia Serta Implikasinya

Dalam Praktik Perbankan”

Mengenai halnya eksekusi Jaminan Fidusia, UU Jaminan Fidusia memberikan

kekuasaan kepada penerima Jaminan Fidusia untuk melaksanakan sendiri

penjualan objek jaminan melalui pelelangan umum, serta mengambil pelunasan

piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Apabila terjadi perselisihan, dimana

pihak pemilik agunan tidak bersedia menyerahkan objek Jaminan Fidusia

untuk pelaksanaan eksekusi melalui lelang, maka satu-satunya upaya hukum

yang dapat dilakukan oleh Bank/kreditur penerima Jaminan Fidusia adalah

dengan pelaksanaan titel eksekutorial dari sertifikat Jaminan Fidusia, yaitu

dengan mengajukan permohonan fiat/persetujuan Pengadilan Negeri untuk

dapat dilakukannya eksekusi atas barang jaminan tersebut (Chintia M. Ponto,

2015).

5. Akhmad Yasin tentang “Impact of Fiduciary Guarantee of Motor Vehicles

Credit Which Are Not Registered to Nontax State Revenue”

Lembaga Jaminan Fidusia memberi kemudahan kepada Pemberi Fidusia

untuk tetap dapat menguasai kendaraan bermotor yang dijaminkan untuk

melakukan kegiatan usaha. Jaminan Fidusia memberikan hak kepada pihak


Pemberi Fidusia untuk tetap menguasai kendaraan bermotor yang menjadi

obyek Jaminan Fidusia berdasarkan kepercayaan, karena sistem pendaftaran

yang diatur dalam undangundang dapat memberikan jaminan kepada pihak

Penerima Fidusia dan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap

kendaraan bermotor tersebut (Yasin, 2020).

6. Soegianto “Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Kajian UndangUndang Nomor

42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia”

Pentingnya dilakukan kajian secara komperhensif terhadap pelaksanaan

jaminan fidusia utamanya pada masalah eksekusi sehingga tidak

menimbulkan masalah. Di samping itu tujuan dan manfaat dari kajian ini

akan membuka kelemahan subtansi hukum dan bagaimana nantinya dapat

menyelesaikan masalahmasalah yang ada. bahwa masalah pokok cara debt

collector dalam mengeksekusi barang jaminan fidusia dengan cara kekerasan,

intimidasi bahkan dengan cara merampas barang jaminan fidusia dijalan,

masih menjadi bagian momok tersendiri yang tidak dapat dipisahkan dalam

praktik eksekusi jaminan fidusia (Soegianto, 2019).

7. Alfian berjudul “Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Dalam Kontrak

Pembiayaan Konsumen Di Kota Palu”

bahwa Akibat hukum pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang tidak

didaftarkan dalam hal debitur melakukan wanprestasi maka secara normatif

kreditur tidak sah menggunakan parate executie (eksekusi langsung), dan

proses eksekusinya harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata

ke Pengadilan Negeri melalui proses Hukum Acara Perdata hingga turunnya


putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Eksekusi yang

menggunakan titel eksekutorial berdasarkan sertifikat Jaminan Fidusia, maka

pelaksanaan penjualan benda jaminan tunduk dan patuh pada Hukum Acara

Perdata. Kemudian terkait sanksi terhadap perusahaan pembiayaan yang tidak

mendaftarkan jaminan fidusia, pihak OJK dapat memberikan sanksi yaitu,

suatu pelanggaran jika perusahaan pembiayaan tidak mendaftarkan jaminan

fidusia, dan sebagai akibatnya dikenai sanksi administratif berupa perintah

tertulis maupun pembekuan usaha (Alfian, n.d.).

2.4 Kerangka Pemikiran

Perjanjian

Kreditur Debitur

Pembiayaan/Jasa Keuangan Jaminan/Agunan

Ingkar Janji/Wanprestasi

Penyitaan dan Eksekusi


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Normatif (Yuridis Normatif)

Penelitian Hukum Normatif suatu yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka atau data sekunder disebut juga penelitian doktrinal. Menurut Peter

Mahmud Marzuki, berpendapat bahwa suatu proses untuk menemukan suatu

aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi. Seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa

yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan

sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang

dianggap pantas. Penelitian sering disebut juga Riset yang merupakan fasilitas

yang sering dipergunakan oleh manusia dalam pembinaan, mempergunakan dan

pengembangan terhadap ilmu pengetahuan (Soekanto, 2015:3).

Apabila ditelaah secara umum ada tiga bentuk tujuan dari penenelitian,

antara lain berupa penemuan yang memiliki makna bahwa kumpulan data yang

diperoleh dari sebuah studi adalah sebuah data yang aktual dan belum diketaui

sebelumnya, kemudian yang bersifat pembuktian yang berarti bahwa digunakan

untuk pembuktian dalam menjawab keragu-raguan atas sebuah pengetahuan dan

informasi tertentu, selanjutnya bersifat pengembangan yang merupakan sebuah

penelitian dengan tujuan memperluas dan memperdalam data yang sudah ada

sebelumnya. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu kegiatan

ilmiah yang didasarkan pada analisis dan konstruksi yang dilakukan secara

sistematis, metodologis dan konsisten dan bertujuan untuk mengungkapkan


kebenaran sebagai salah satu manifestasi keinginan manusia untuk mengetahui

apa yang sedang dihadapinya.

Pengelompokan metodelogi sebuah penelitian disusun berlandaskan

tingkatan alamiah (natural seting) yang memiliki tujuan yang digunakan dalam

penelitian ini.Pada akhirnya tujuan dari penelitian memiliki kelompok tersendiri

menjadi, studi dasar, (basic reserach), kemudian dengan penelitian

pengembangan dan penelitian terapan (applied research). Dari beberapa bentuk

studi yang ada, Penulis menggunakan studi yuridis normatif atau dengan kata lain

yaitu kajian kepustakaan. Yang mana lebih difokuskan dalam pendataan hukum

positif, sejarah hukum, serta doktrin dan asas yang ada di dalam hukum,

perbandingan hukum, sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum. Berdasarkan

uraian diatas, penulis menentukan untuk menerapkan metodologi dalam penelitian

studi yang bersifat yuridis normatif dalam menulis serta menganalisa hasil dalam

pembahasan skripsi yang penulis teliti dalam studi ini. Jenis metodologi penelitian

ini dipilih karena ketepatan dalam penggunaan metode penelitian dan penggunaan

teori yang dibutuhkan oleh penulis pada saat penyusunan skripsi ini.

3.2. Metode Pengumpulan Data

3.2.1. Bahan Hukum Primer

Data Primer dalam suatu penelitian diperoleh dengan melakukan dan

memperhatikan dengan seksama akan suatu obyek yang diteliti secara

komprehensif (Marzuki, 2016:181). Ditinjau dari tata cara pelaksanaan eksekusi

dan waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji”. Hal ini

sering menimbulkan adanya perbuatan paksaan dan kekerasan dari orang yang
mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang

debitur. Bahkan dapat juga melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang

dilakukan oleh penerima fidusia (kreditur). Dengan demikian, dalam penelitian

penulis yang menajadi dasar hukum, diantaranya:

1. UUD 1945

2. KUHPerdata

3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

4. Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960

5. Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019.

3.2.2. Bahan Hukum Sekunder

Data yang diperoleh dari kepustakaan yang telah diolah lebih lanjut dan

disajikan. Kegunaannya untuk mencari data awal atau informasi, mendapatkan

landasan teori atau landasan hukum, mendapatkan batasan, defenisi, arti suatu

istilah. Bermaksud bahwa sumber awal data bukanlah menyerahkan data terhadap

penghimpun data secara langsung, melainkan dilakukan melalui dokumen atau

orang lain.

3.2.3. Bahan Hukum Tersier

Memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini diataranya adalah surat kabar,

internet, kamus Hukum,dan KBBI.

3.3. Alat Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan Undang-Undang serta

Putusan Mahkamah Agung yang merupakan alat pengumpulan data berupa studi
dokumen. Studi dokumen tersebut dengan cara memahami bahan-bahan

kepustakaan sehubung dengan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam

penelitian ini, akan diteliti data sekunder. Dengan demikian kegiatan utama yang

dilakukan dalam melaksanakan penelitian ini, yaitu studi kepustakaan. Data yang

diperoleh melalui kepustakaan, dengan mengkaji, menelaah dan mengolah

literatur, peraturan perundangan-undangan, artikel-artikel atau tulisan yang

berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti (Soekanto, 2015:164).

3.4. Metode Analisis Data

Dalam menganalisa data, peneliti mengelolah data dengan membuat

klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis untuk mempermudah penulis

dalam melakukan analisa dikumpulkan dan dijelaskan secara sistematis.

Penejelasan tersebut diuraikan secara logis menurut pemikiran dari penulis.

Terdapat beberapa jenis teknik analisis data, tetapi dalam penelitian ini penulis

menggunakan teknik analisis data secara kualitatif. Data penelitian kualitatif

bersifat deskriptif, metode analisis data dengan cara mengelompokkan dan

menseleksi data yang diperoleh dari pustaka yang menjadi acuan, yang

selanjutnya dikaji dihubungkan dengan teori-teori dari studi kepustakaan,

kemudian dibuat kesimpulan yang berguna untuk menjawab rumusan masalah

dalam penelitian ini (Marzuki, 2016:241). Metode ini digunakan terhadap

penjelasan data yang digunakan terkait eksekusi dalam suatu jaminan.


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Perjanjian pembiayaan pada umumnya dibuat dalam bentuk perjanjian baku

atau juga disebut perjanjian standar, yaitu sebuah perjanjian yang dirumuskan

salah satu pihak, dimana dalam klausula perjanjian yang diberikan kepadanya

dengan cara menandatangani atau menolak. Sebelum menendatangani atau

menolak perjanjian nasabah diberi waktu untuk membaca dan memahami isi dari

perjanjian tersebut, agar perjanjian yang disepakati oleh para pihak sah dan

memiliki kekuatan mengikat secara sempurna. Jika kesempatan itu telah

diberikan, namun pihak konsumen tetap lalai dengan tidak membacanya, maka

secara hukum ia harus dianggap mengerti dan memahami tentang isi dari

perjanjian yang telah ia sepakati dalam hal ini yang telah ia tanda tangani, kecuali

jika di kemudian hari ditemukan bahwa isi dari perjanjian itu melanggar

perundang-undangan yang berlaku, kepatutan dan kesusilaan.

Ditinjau dari segi kepastian hukumnya, bahwa seorang debitur/pemilik

jaminan harus dijamin haknya dalam hal adanya suatu perbuatan yang merugikan

dirinya. Disisi lain, sipemberi pinjaman dalam hal ini adalah kreditur,

memberikan kepastian tentang bagaimana system yang diberlakukan terhadap

perikatan yang ditimbulkan kepada nasabahnya. Sebagai obyek dari jaminan tidak

harus menyerahkan barang secara fisik oleh kreditur. Oleh karena itu

dibutuhkanlah adanya suatu jaminan utang yang obyeknya masih tergolong benda

bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak

kreditur.
Perjanjian pembiayaan konsumen merupakan sebuah perjanjian timbal balik

dimana salah satu pihak (lembaga pembiayaan) memberi prestasinya dalam

bentuk pembiayaan namun sebaliknya (konsumen) melaksanakan kewajibannya

untuk membayar cicilan senilai pembiayaan yang diberikan kepadanya serta

dengan bunga sesuai kesepakatan bersama sampai dengan lunas. Meski perjanjian

pembiayaan konsumen tidak perna dikenal dalam KUH Perdata, namun dengan

mendasari pada asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur ketentuan 1338

KUH Perdata, maka para pihak boleh menentukan sendiri syarat dan bentuk

perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan syarat-syarat sahnya perjanjian

sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 1320 KUH Perdata, sedangkan

perjanjian yang dibuat secara sah demi hukum akan mengikat para pihak

sebagaimana undang-undang.

Dalam hal perlindungan hukum bagi masing-masing pihak, oleh peraturan

perundang-undangan memberi perlindungan yang erat kaitannya hak. Namun,

pada konteksnya bahwa perlindungan demikian hanya sebatas pada perbuatan

sesuai aturan yang berlaku. Jika didalamnya ada perbuatan yang melangggar

aturan, maka perlindungan hukum tidak ada didalamnya, esensinya perlindungan

diperuntukan untuk adanya persamaan dimata hukum. Dengan demikian, suatu

perjanjian yang lahir adanya perpindahan dan berahir/hapusnya bergantung pada

perjanjian pokoknya. Perumusan tersebut memang benar jika tidak dimaknai

bahwa kesepakatan tentang jaminan fidusia itu lahir sebagai akibat dari lahirnya

kesepakatan utang-piutang karena sesungguhnya yang terjadi dalam praktik


adalah kesepakatan jaminan itu selalu mendahului sebelum kemudian disepakati

perjanjian utang-piutangnya.

Pasal 1338 KUH Perdata mangatakan sebagai berikut “semua persetujuan

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.” Bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh meraka secara sah

dengan tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, maka

mempunyai kekuatan mengikat yang sama sebagai undang-undang yang dibuat

oleh penguasa, namun perlu ditegaskan bahwa kekuatan perjanjian yang sah sama

dengan kekuatan mengikat undang-undang bukan berarti perjanjian berlaku secara

umum, namum berlaku bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut

(Yahya Harahap, 2012).

Dimuat dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) tentang UU Jaminan Fidusia,

bahwa hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak

berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat

dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia,

sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. Berdasarkan

ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa jaminan fidusia memberikan

kewenangan bagi debitur untuk tetap menguasai benda yang diikat fidusia

walaupun kepemilikannya telah beralih kepada kreditur setelah dijaminkan.

Selain itu, kreditur juga memiliki hak untuk didahulukan dalam hal

memperoleh pelunasan ketika terjadi wanprestasi dengan menjual objek fidusia

yang telah diperjanjikan, baik itu barang bergerak maupun barang tidak bergerak
yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Sebagai jaminan kebendaan, fidusia

tidak lahir begitu saja melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu dan harus

terdapat perjanjian utang piutang yang menjadi perjanjian pokoknya. Oleh karena

adanya perjanjian utang piutang dan jaminan fidusia tersebut, maka apabila

debitur wanprestasi, yaitu tidak melakukan kewajibannya untuk membayar utang,

maka benda yang menjadi objek fidusia ini lah yang akan dieksekusi. Ketentuan

mengenai eksekusi jaminan fidusia ini diatur dalam Pasal 29  UU Jaminan Fidusia

yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Apabila debitor atau pemberi fidusia

cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat

dilakukan dengan cara:

1. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2)

oleh Penerima Fidusia;

2. Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima

Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan

piutangnya dari hasil penjualan;

3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi

dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga

tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah kurun waktu sebulan sejak

diberitahukan secara tertulis oleh debitur dan kreditur kepada pihak-pibak yang

berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam dua media cetak yang beredar

di daerah yang bersangkutan. Merujuk pada ketentuan tersebut, dalam Pasal 15

ayat (2) UU fidusia ditentukan bahwa dalam sertifikat fidusia terdapat kata “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan

eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap. Atas dasar tersebut maka kreditur/penerima jaminan fidusia mempunyai hak

untuk melakukan eksekusi, yaitu menjual benda yang menjadi objek jaminan

fidusia atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi). Penjualan benda oleh kreditur

tersebut dapat dilakukan melalui pelelangan umum atau di bawah tangan dengan

kesepakatan debitur. Namun pelaksanaannya dilakukan setelah lewat sejak

diberitahukannya pihak yang berkepentingan.

Oleh karena adanya parate eksekusi tersebut, kreditur memperoleh

kemudahan untuk melaksanakan eksekusi jaminan fidusia. Meskipun terdengar,

mudah pada praktiknya eksekusi jaminan fidusia ini seringkali menimbulkan

permasalahan yang berakhir merugikan salah satu pihak. Sebagai contohnya

perkara perbuatan melawan hukum dengan nomor register

345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel. Perkara tersebut diawali dengan adanya Perjanjian

Pembiayaan Multiguna untuk membeli satu unit mobil. Penggugat menyatakan

dirinya telah membayar cicilan tepat waktu, namun suatu ketika tergugat tiba-tiba

mengeksekusi mobil yang menjadi objek jaminan tersebut dengan dalil cidera

janji/wanprestasi. Penggugat kemudian mengajukan surat pengaduan atas

tindakan tersebut, namun tidak ditanggapi hingga bahkan mendapat perlakuan

yang kurang menyenangkan.

Kasus ini kemudian berakhir di meja hijau dengan memenangkan penggugat

dan menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena

melaksanakan eksekusi yang tidak sesuai dengan prosedur hukum. Akan tetapi,
tergugat tidak melaksanakan putusan tersebut dengan dalih bahwa sertifikat

fidusia memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan.

Hingga akhirnya penggugat mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang

(“Judicial Review”) ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 15 ayat (2) dan (3). 

Atas permohonan tersebut Mahkamah Konstitusi memberikan putusan

dengan memberi penafsiran terhadap frasa kekuatan eksekutorial dan frasa sama

dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, serta frasa cidera janji

dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Jaminan Fidusia. Pada pokoknya, putusan

Mahkamah Konstitusi berisi 3 (tiga) hal berikut, yaitu: Terhadap jaminan fidusia

yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur

keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia,

maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi

Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan

eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Johanes

Ibrahim, 2021:35).

Adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan

atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya

hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji. Terhadap jaminan fidusia

yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan

menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala

mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi ertifikat Jaminan

Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.


Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dapat disimpulkan

bahwa eksekusi jaminan fidusia dilakukan saat adanya kesepakatan mengenai

cidera janji dan kerelaan debitur untuk menyerahkan benda yang menjadi objek

fidusia. Apabila tidak terdapat kesepakatan mengenai cidera janji dan debitur

tidak menyerahkan objek jaminan secara sukarela, maka prosedur eksekusi

jaminan fidusia dilakukan sama dengan eksekusi putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap, yaitu dengan mengajukan permohonan eksekusi ke

pengadilan negeri. Selain itu, cidera janji juga tidak dapat ditentukan secara

sepihak, harus ada kesepakatan mengenai cidera janji/wanprestasi yang ditentukan

oleh kedua belah pihak atau atas dasar upaya hukum (gugatan) yang menyatakan

bahwa salah satu pihak telah melakukan wanprestasi. 

Termuat pada Pasal 4 tentang fidusia bahwa perjanjian ikutan dari suatu

perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi

suatu prestasi. Yang dimaksud dengan "prestasi" dalam ketentuan ini adalah

memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat

dinilai dengan uang. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Wajibkah

Debitor Hadir saat Pembuatan Akta Jaminan Fidusia?, karena jaminan fidusia

merupakan perjanjian ikutan, berarti ada perjanjian pokok yang menjadi induk

dari perjanjian jaminan fidusia (Soeparmono, 2018). Sebagai contoh, jika

perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang piutang, maka jaminan fidusia bisa

menjadi perjanjian ikutan dari perjanjian utang piutang tersebut.

Maka menurut hemat Penulis, perjanjian jaminan fidusia tersebut tidak

dapat lahir tanpa perjanjian induknya. Berdasarkan pengertian jaminan fidusia


pada Pasal 1 angka 2 UU 42/1999, jaminan fidusia digunakan sebagai agunan

bagi pelunasan utang tertentu, sehingga jika tidak ada utang piutang yang harus

dilunasi, maka tidak dapat diadakan perjanjian jaminan fidusia. Patut diperhatikan

bahwa pembebanan benda (dalam hal ini mobil) dengan jaminan fidusia dibuat

dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia.

Pembuatan akta jaminan fidusia dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut

dengan peraturan pemerintah.

Objek fidusia pada penguasaan debitur sebagaimana dijelaskan Pasal 1

angka 1 yaitu Fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas

dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya

dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Berkaitan dengan objek

fidusia tetap berada dalam pengusaan pemilik benda ini berdasarkan Pasal 20 UU

42 tahun 1999 berbunyi “Jaminan Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi

objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun Benda tersebut berada, kecuali

pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia”. Dalam

Penjelasan ketentuan ini mengikuti prinsip "droit de suite" yang merupakan

bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak

mutlak atas kebendaan (in rem).

Jadi, benda milik debitur yang dijaminkan secara fidusia tetap ada pada

penguasaan debitur tersebut. Penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual

benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri (Frieda

Husni Hasbullah, 2009:79). Salah satu ciri jaminan fidusia adalah kemudahan

dalam pelaksanaan eksekusinya, yaitu apabila setelah melalui kesepakatan para


pihak, pihak pemberi fidusia cedera janji. Oleh karena itu, dipandang perlu diatur

secara khusus tentang eksekusi jaminan fidusia melalui lembaga parate eksekusi.

Apabila debitur atau pemberi fidusia, setelah disepakati para pihak, dipandang

cedera janji (wanprestasi), eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dapat

dilakukan.

Apabila debitur atau pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda

yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:

1) Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2)

oleh Penerima Fidusia;

2) Penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan

Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan

piutangnya dari hasil penjualan;

3) Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi

dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga

tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka cara-cara eksekusi benda yang

menjadi objek jaminan fidusia, dengan eksekutorial yaitu dengan menjual atas

kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan penjualan dibawah tangan.

Pelaksanaan demikian, memungkinkan pihak yang berkepentingan memperoleh

pengembalian dana yang dikeluarkan dan disisi lain timbul kerugian yang dialami

pemilik barang/jaminan yang dijadikan sebagai objek pada saat adanya kesepakan

lebih awal.

4.2. Pembahasan
4.2.1. Kreditur dalam melaksanakan eksekusi jaminan fidusia yang tidak

Didaftarkan

Pembiayaan konsumen merupakan salah satu lembaga pembiayaan yang

dilakukan oleh suatu perusahaan financial (consumer finance company).

Perusahaan pembiayaan konsumen adalah badan usaha yang melakukan kegiatan

pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan

sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen. Target pasar dari

pembiayaan konsumen ini sudah jelas adalah konsumen, suatu istilah yang

dipakai sebagai lawan dari kata produsen.

Dalam melakukan eksekusi benda jaminan fidusia yang tidak

memperlihatkan sertifikat jaminan fidusia dan juga tidak adanya juru sita ataupun

pelelangan umum sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Jaminan

Fidusia. Pihak kreditur melakukan eksekusi benda jaminan fidusia melalui jasa

collector/tukang tagih, untuk melakukan penarikan terhadap benda yang

dijaminankan tanpa meperlihatkan dokumen/data. Tindakan tersebut dilakukan

semata-mata untuk mengamankan aset tanpa menghiraukan kepastian hukum

terhadap hak konsumen/debitur yang terdapat dalam benda jaminan fidusia berupa

kendaraan mobil. Dalam jaminan berupa kendaraan tersebut terdapat hak kedua

belah pihak baik konsumen ataupun pihak perusahaan, sehingga eksekusi tersebut

harus mempertimbangkan hak masing-masing pihak, serta eksekusi yang

dilakukan oleh pihak berkepntingan dimaksud.

Agar pelaksanaan eksekusi berjalan lancar, perusahaan tidak boleh

melakukan eksekusi jaminan fidusia dengan seenaknya sendiri walaupun


perusahaan leasing tersebut memiliki sertifikat. Memang berdasarkan Pasal 5

Undang-Undang No 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyebutkan

bahwa Benda yang dijaminkan secara fidusia (leasing) diberikan Akta Jiminan

Fidusia. Akta tersebut memiliki hak eksekutorial, artinya perusahaan leasing

(kreditur) berhak mengambil atau mengeksekusi objek tersebut jika debitur

wanprestasi/ingkar janji (Pasal 15 Undang-Undang Fidusia). Selanjutnya Pasal 30

Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan

pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia

dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia.

Namun demikian bila pelaksanaan eksekusi tidak didasarkan akta fidusia

maka harus tetap mengikuti prosedur pelaksanaan suatu keputusan pengadilan.

artinya sesuai dengan pasal 196 ayat (3) HIR (Herzien Indonesia Reglemen)

kreditur harus mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar

dilaksanakan eksekusi atas benda jaminan berdasarkan titel eksekutorial Sertifikat

Jaminan Fidusia tersebut. Kemudian Pengadilan akan memberitahu nasabah yang

bersangkutan agar menyerahkan jaminan fiduasia yang dijadikan jaminan untuk

dieksekusi secara sukarela, jika nasabah tidak mau, maka pengadilan akan

memerintahkan juru sita untuk menyita jaminan fidusia yang merupakan objek

jaminan fidusia tersebut (Anton Suyatno, 2016). Objek yang disita tersebut

kemudian akan dijual dengan cara dilelang di muka umum dan hasilnya

digunakan untuk melunasi utang nasabah kepada perusahaan leasing.

Soal pelelangan di depan umum ini menjadi hak sepenuhnya dari

perusahaan (kreditur) berdasarkan Pasal 29 UU Fidusia. Artinya kreditur


melaksanakan penjualan atau eksekusi berdasarkan kekuasaannya sendiri atau

parate eksekusi dan tidak lagi melibatkan pengadilan maupun jurusita untuk

melakukan penjualan di muka umum atau lelang. Untuk melengkapi

penyelenggaraan eksekusi fidusia ini Menteri Keuangan menerbitkan peraturan

yang melarang perusahaan leasing untuk menarik secara paksa dari nasabah yang

menunggak pembayaran kredit kenderaan yaitu PMK No 130/PMK/010/2012

tentang pendaftaran fidusia bagi perusahaan pembiayaan. Kemudian karena sering

dalam praktek memberikan dampak negatif berupa bantahan, ataupun perlawanan

di lapangan, maka untuk mengamankan pelaksanaan eksekusi jaminan Fidusia

Kepolisian Republik Indonesia mengeluarkan peraturan Kapolri No 8 Tahun 2011

untuk mengawal agar penyelenggaraan pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia

secara aman, tertib, lancar dan dapat dipertanggungjawabkan, melindungi

keselamatan penerima jaminan fidusia, pemberi jaminan fidusia dan/atau

masyarakat dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian harta benda

dan/atau keselamatan jiwa.

Dalam Peraturan Kapolri tersebut, untuk melaksanakan eksekusi atas

jaminan fidusia harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu:

1) ada permintaan dari pemohon;

2) memiliki akta jaminan fidusia;

3) objek jaminan fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia;

4) memiliki setifikat;

5) jaminan fidusia berada di wilayah negara Indonesia.


Untuk mengajukan permohonan pengamanan eksekusi atas jaminan fidusia

ini tercantum dalam Pasal 7 bahwa dimana permohonan pengamanan eksekusi

tersebut harus diajukan secara tertulis oleh penerima jaminan fidusia atau kuasa

hukumnya kepada Kapolda atau Kapolres tempat eksekusi dilaksanakan.

Pemohon wajib melampirkan surat kuasa dari penerima jaminan fidusia bila

permohonan diajukan oleh kuasa hukum penerima jaminan fidusia. Untuk

pengajuan permohonan eksekusi, pihak pemohon eksekusi harus melampirkan

diantaranya:

1. Salinan akta jaminan fidusia;

2. sertifikat jaminan fidusia;

3. Surat peringatan kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya, dalam hal ini

telah diberikan pada Debitor sebanyak 2 kali dibuktikan dengan tanda terima;

4. Identitas pelaksana eksekusi;

5. Surat tugas pelaksanaan eksekusi.

Jadi sebagai kesimpulan dapat disampaikan bahwa Pengusaha punya hak

eksekusi terhadap debitur yang wanprestasi, namun ada prosedur yang harus

dilalui yaitu melalui pengadilan. Setelah itu objek jaminan Fidusia dilelang

didepan umum oleh perusahaan tanpa perlu lagi ada campur tangan pengadilan

ataupun juru sita dan hasil dari pelelangan tersebut digunakan untuk melunasi

utang. Demikian jawaban dari kami atas pertanyaan saudara ke Badan Pembinaan

Hukum Nasional terkait perusahaan leasing yang telah memiliki sertifikat fidusia

apakah bisa melakukan eksekusi jaminan fidusia tanmpa ada putusan pengadilan

apabila nasabah wanprestasi (Frieda Husni Hasbullah, 2009).


Secara umum eksekusi merupakan pelaksanaan dari keputusan pengadilan

atau akta. Eksekusi jaminan fidusia merupakan penyitaan dan penjualan terhadap

benda yang dijadikan senagai objek jaminan fidusia. Pada prinspinya eksekusi

Jaminan Fidusia sifatnya khusus, menimbang sebelumnya benda tersebut sudah

diperjanjikan oleh pihak debitur, maka bagaimanapun keadaan benda Jaminan

Fidusia tersebut walaupun benda tersebut adalah suatu sarana pencarian nafkah

akan tetap dilakukan eksekusi. Tujuan dari dilakukannya eksekusi jaminan fidusia

adalah untuk penjualan jaminan fidusia sebagai pelunasan atas kewajiban debitor

yang belum terpenuhi. Pihak leasing memiliki hak untuk menagih prestasi debitur

termasuk menagih semua cicilan dan biaya-biaya lainnya yang belum dilunasi

oleh debitur, serta memiliki hak untuk mengeksekusi obyek leasing yang

dijadikan jaminan tanpa harus mengembalikan kelebihan harga dari hasil

penjualan obyek tersebut.

Eksekusi jaminan fidusia ini timbul apabila debitur melakukan wanprestasi

(tidak dapat memenuhi prestasinya) atau cidera janji. Apabila dalam

pelaksanaannya terjadi wanprestasi oleh debitur yang menyebabkan kerugian bagi

perusahaan leasing. Apabila dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia terdapat

term (ketentuan) janji seperti diatas maka perjanjian tersebut dianggap tidak ada

atau batal demi hukum. Benda yang dijadikan sebagai jaminan fidusia wajib untuk

didaftarkan, hal ini berdasarkan asas publicitet bahwa setiap hak, baik hak

hipotek, hak tanggungan, maupun hak fidusia harus didaftarkan. Pendaftaran

dilakukan dengan tujuan agar pihak ketiga mengetahui bahwa benda tersebut

sedang dikenakan pembebanan jaminan.


Pemberian jaminan tersebut nantinya akan berguna bagi lembaga

pembiayaan dalam hal eksekusi benda jaminan. Dengan kata lain, apabila

konsumen (debitur) melalaikan kewajibannya atau cidera janji yang berupa

lalainya konsumen memenuhi kewajibannya pada saat pelunasan utangnya sudah

waktunya untuk ditagih, maka dalam peristiwa seperti itu, kreditur dapat

melaksanakan eksekusi atas benda Jaminan Fidusia. Mengenai eksekusi jaminan

fidusia diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia. Undang-

Undang Jaminan Fidusia telah memberikan aturan mengenai pelaksanaan

eksekusi atas objek Jaminan Fidusia, namun faktanya di lapangan pelaksanaan

eksekusi yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan tidak mematuhi aturan

perundang-undangan yang berlaku. Tidak jarang pelaksanaan eksekusi yang

dilakukan oleh lembaga pembiayaan terjadi penyimpangan dan perbuatan-

perbuatan melawan hukum.

Lembaga pembiayaan juga dapat ditemukan tidak melakukan kontrak

pembiayaan dengan debitur dihadapan notaris, sehingga perjanjian tersebut hanya

mempunyai kekuatan pembuktian sebagai perjanjian dibawah tangan karena tidak

ada akta notaris sebagai kekuatan hukum atas perjanjian tersebut. Eksekusi atas

obyek Jaminan Fidusia dalam lembaga pembiayaan sering kali melakukan

eksekusi secara sepihak. Pada awalnya mungkin yang digunakan untuk

melakukan eksekusi atas barang jaminan tersebut adalah karyawan dari lembaga

pembiayaan itu sendiri jika terjadinya suatu kredit macet terhadap konsumen.

Tetapi apabila hal tersebut tidak berhasil lembaga pembiayaan biasanya

menggunakan debt collector untuk mengeksekusi barang jaminan tersebut.


Dalam melakukan kegiatannya debt collector tadi sering ataupun sudah

bertindak seperti preman agar konsumen membayar ataupun menyerahkan

kendaraannya. Dengan tidak didaftarkannya jaminan fidusia sesuai ketentuan dan

aturan pelasananya, maka akta perjanjian fidusia dimaksud masuk ketegori

perjanjian di bawah tangan, dan menyelesaiannyapun membutuhkan campur

tangan pihak peradilan. Oleh karena itu, proses eksekusi harus dilakukan dengan

cara pengajukan kepada pengadilan setelah putusannya mempunyai kekuatan

hukum tetap. Proses eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia

ataupun benda yang menjadi objek diluar jaminan fidusia, para pihak harus

memperhatikan hak debitor yang melekat pada objek benda yang menjadi jaminan

pinjaman dimaksud, karena dalm hal demikian, perlu diperhatikan bahwa terhadap

obyek pembiayaan jaminan fidusia dalam perjalannnya tidak full sesuai nilai

barang, karena debitor sudah melakukan prestasinya yakni telah membayar

beberapa kali angsuran yang menjadi kewajibannya.

Oleh karena itu, benda yang menjadi objek jaminan fidusia ada sebagian

hak yang dimiliki oleh debitor, sebagian lainnya milik kreditor. Apabila eksekusi

tersebut dilakukan secara paksa yakni dengan melalui jasa debt collector atau

tukang tagih, hal ini tentunya akan melanggar hukum. Pelanggaran hukum

tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana dia

atur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sehingga debitor

dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan untuk meminta gati kerugian atas

perbuatan kreditor tersebut. Disamping itu, menurut penulis tindakan sewenang-


wenang yang dilakukan oleh kreditor dengan melalui debt collector atau penagih

hutang tersebut dapat dikategorikan juga melanggar hukum pidana.

Walaupun juga diketahui bahwa barang tersebut sebagai jaminan atas

pemberian pembiayaan kepada debitur, kreditor yang mau mengeksekusi tetapi

tidak didaftarkan di kantor jaminan fidusia, maka perbuatan dimaksud tetap

masuk kategori perbuatan melawan hukum dan melanggar hukum sebagaimana

dijelaskan di atas. Terhadap tindakan kreditor yang secara paksa mengambil

benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, akan tetapi jaminan fidusia tersebut

tidak didaftarkan, maka debitor dapat langsung melaporkan ke kantor Kepolisian

terdekat.

Hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas

kekuasaannya sendiri apabila debitur cidera janji. Mengenai si pembeli mobil

harus dilihat lagi bagaimana jual beli tersebut dilakukan. Jika memang telah

sesuai dengan ketentuan jual beli, dalam hal tidak ada pelanggaran hukum yang

dilakukan, maka pada dasarnya proses jual beli tersebut tidak melanggar

ketentuan hukum yang berlaku. Namun demikian jika ada wanprestasi antara

debitur dengan pihak ke 3 (pembeli mobil over kredit) obyek jaminan tersebut

tetap bisa dieksekusi oleh pihak penerima fidusia. Dasarnya adalah perjanjian

fidusia yang dilakukan oleh pihak debitur kepada kreditur. Dalam prosesnya

fidusia ini didaftarkan dan dikeluarkan sertifikat fidusia. Kekuatan eksekusinya

sama dengan putusan pengadilan. Dengan demikian, setiap perbuatan hukum

seperti halnya perjanjian pembiayaan sudah pasti di dalam naskah perjanjiannya


ada sebuah klausul/isi perjanjian yang mengikat terkait perlindungan terhadap

pelaksanaan perjanjian jika salah satu pihak cidera janji/wanprestasi.

Untuk itu kepada calon debitor sesaat sebelum menandatangani perjanjian

harus membaca dengan cermat dan teliti. Bila perlu mintakan notaris untuk

memberikan penjelasan terhadap pasal jaminan/fidusia sehingga baik kreditor

maupun debitor memahami kedudukan hukumnya (hak dan kewajiban) dalam

perjanjian fidusia. Terhadap permasalahan hukum yang dialami saudara pemohon

konsultasi, yang perlu dilakukan adalah kembali membaca perjanjiannya.

Berikutnya perlu dicek kembali, apakah dalam jual beli/perjanjian jual beli over

kredit dinyatakan bahwa obyek yang dijual merupakan jaminan daripada

perjanjian debitor kepada kreditor sebelumnya.

4.2.2. Akibat hukum terhadap pelaksanaan eksekutorial objek jaminan

fidusia dibawah tangan

Tingginya minat masyarakat untuk melakukan kredit ini menjadi dasar

banyaknya timbul perusahaan pembiayaan atau dapat disebut leasing. Perusahaan

pembiayaan atau leasing ini adalah suatu lembaga yang menyediakan pembiayaan

atau pendanaan untuk pembelian barang atau usaha yang pembayarannya dapat

dilakukan secara berkala atau dicicil. Perkembangan perusahaan leasing cukup

pesat di indonesia, jenis - jenis barang yang dibiayaipun semakin beragam tidak

hanya di bidang transportasi tetapi juga berkembang ke sektor konstruksi, industri,

pertanian dan lain sebagainya. Pembiayaan yang dilakukan oleh pihak leasing

dituangkan dalam perjanjian kredit antara pihak leasing dengan debitur.


Didalam perjanjian pembiayaan tersebut biasanya pihak leasing

mencantumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia, yang artinya bahwa didalam

perjanjian kredit (sebagai perjanjian pokok) menimbulkan adanya perjanjian

jaminan fidusia (sebagai perjanjian assesoir) yang membebani benda yang

dibiayai dijadikan sebagai jaminan pelunasan atas hutang apabila suatu saat nanti

terjadi kredit macet atau wanprestasi. Selain itu Pembebanan benda yang

dijadikan sebagai jaminan fidusia haruslah di daftarkan pada kantor pendaftara

fidusia hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UUJF.

Suatu objek jaminan fidusia tidak didaftarkan maka akan menimbulkan

suatu resiko tertentu, salah satunya adalah eksekusi tidak dapat dilakukan karena

syarat dalam pengeksekusian harus adanya sertifikat jaminan fidusia yang

didapatkan pada saat pendaftaran jaminan fidusia. Hal ini juga melanggar

ketentuan yang tertulis pada Pasal 11 ayat (1) UndangUndang Jaminan Fidusia

yang mengatakan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib

didaftarkan.

Diketahui bahwa dalam pendaftaran jaminan fidusia apabila perusahaan

tidak mendaftarkan benda jaminan fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari

kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen, maka sertifikat

jaminan fidusia tidak dapat dibuatkan dan perjanjian tambahan benda jaminan

fidusia secara hukum batal (Burhan Sidabariba, 2019). Hal ini dikarenakan

perjanjian yang jaminannya atas benda jaminan fidusia wajib didaftarkan, apabila

tidak didaftarkan maka secara tidak langsung perjanjian tersebut bukan perjanjian

fidusia.16 Mengenai pendaftaran jaminan fidusia yang dilakukan oleh lembaga


pembiayaan konsumen, untuk itu penulis melakukan penelitian terhadap

konsumen untuk megetahui apakah konsumen mengetahui bahwa benda jaminan

fidusia yang dibiayai oleh lembaga pembiayaan konsumen wajib didaftarkan.

Dalam konteksnya bahwa konsumen tidak mengetahui apa akibat hukum

apabila benda jaminan fidusia yang tidak didaftarkan, terutama akibat hukum

tidak didaftarkan tersebut berpengaruh terhadap bagaimana eksekusi penarikan

terhadap kendaraan yang menjadi objek perjanjian apabila terjadi wanprestasi.

Akibat hukum dari tidak didaftarkannya perjanjian tersebut adalah tidak bisa

dilakukannya eksekusi, berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor

130/PMK.010/2012 menyebutkan bahwa perusahaan pembiayaan dilarang

melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila

Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan

menyerahkannya kepada perusahaan pembiayaan.

Saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank

umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen

(consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka

umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan

fidusia bagi objek benda jaminan fidusia, namun ironisnya tidak dibuat dalam akta

notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat

sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.

Namun, sesuai dengan amanat UUJF, untuk mendapat perlindungan hukum

sebagaimana diatur dalam UUJF, pembebanan benda dengan akta jaminan fidusia

harus dibuat dengan akta otentik dan dicatatkan dalam Buku Daftar Fidusia. Jika
ketentuan tersebut tidak dipenuhi, hak-hak kreditur tidak mendapat perlindungan

sebagaimana disebutkan dalam UUJF.

Dalam hal debitur meninggal dunia, sedangkan jaminan fidusia belum

didaftarkan, pada dasarnya, terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan

fidusia  di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi langsung. Proses eksekusi

harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri

melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan.

Selain itu, bank sebagai kreditur menjadi tidak memiliki hak didahulukan

(lihat Pasal 27 ayat 1 UUJF) terhadap kreditur lain dalam pengembalian

pinjamannya karena penjaminan secara fidusia dianggap tidak sah jika tidak

didaftarkan (Frieda Husni Hasbullah, 2009).

Praktiknya tidak jarang kreditur langsung melakukan eksekusi terhadap

barang jaminan fidusia. Mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya

tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan

kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan

bahwa di atas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur dan sebagian

milik kreditur. Jika eksekusi terhadap barang objek fidusia tidak dilakukan

melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum, tindakan

tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai

diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH

Perdata”) dan dapat digugat ganti kerugian.

Situasi ini dapat terjadi jika kreditur dalam eksekusi melakukan pemaksaan

dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut
sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa

sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditur yang mau mengeksekusi tetapi

tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia. Bahkan apabila debitur mengalihkan

benda objek fidusia yang dilakukan di bawah tangan kepada pihak lain tidak dapat

dijerat dengan UUJF, karena tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia

yang dibuat.

Memang, mungkin saja debitur yang mengalihkan barang objek jaminan

fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHPidana oleh

kreditur. Baik kreditur maupun debitur bisa saling melaporkan karena sebagian

dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditur dan debitur. Dibutuhkan

putusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukkan porsi

masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak. Suatu perikatan

utang piutang, pada prinsipnya utang tersebut harus dilunasi oleh debitur. Dan

apabila debitur kemudian meninggal sebelum dilunasinya utang tersebut, maka

utang tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya.

Hal ini berdasarkan pada ketentuan hukum perdata Pasal 833 ayat (1)

KUHPerdata. Pasal tersebut menyatakan bahwa para ahli waris, dengan sendirinya

karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua

piutang orang yang meninggal. Sebagaimana dikemukakan pula oleh J. Satrio,

S.H. dalam bukunya “Hukum Waris” (hal. 8), bahwa warisan adalah kekayaan

yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para

ahli waris. Akibat hukum perjanjian dengan jaminan fidusia yang tidak

didaftarkan adalah tidak bisa dilakukan eksekusi. Sertifikat jaminan mempunyai


kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga apabila perjanjian itu tidak

didaftarkan maka sertifikat jaminan fidusia tidak akan terbit dan eksekusi

berdasarkan titel eksekutorial tidak bisa dilaksanakan, karena perjanjian

konsumen ataupun surat kuasa tidak bisa disamakan dengan sertifikat jaminan

fidusia yang mempunyai hukum tetap yang dapat mengeksekusi (Ahmadi Miru,

2019).

Namun dalam prakteknya tetap dilakukan tanpa berdasarkan perjanjian

konsumen dan surat kuasa. Banyak ditemukan perusahaan leasing yang membuat

perjanjian tidak dihadapan notaris (perjanjian dibawah tangan) dan tidak

didaftarkan di Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia untuk memperoleh sertifikat

jamiinan fidusia. Sehingga dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia kerap kali

dilakukan secara paksa tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu kepada

debitor. Kasus ini sering terjadi dalam kredit motor melalui perusahaan

pembiayaan, yang dimana apabila debitor telat membayar angsuran maka

kendaraan akan langsung oleh debt collector langsung dan secara paksa, pada

dasarnya debt collector tidak memiliki hak untuk mengeksekusi benda jika tidak

dilengkapi dengan akta atau sertifikat jaminan fidusia.

Akibat hukum lainnya, dapat pula kreditor mengalihkan objek fidusia yang

dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain, dalam ini debitor juga tidak dapat

dijerat dengan UU No 42 Tahun 1999, karena akta perjanjian di bawah tangan

tidak sah menurut UU dimaksud. Oleh karena itu, mensikapi hal ini kadang kala

kreditor melaporkan debitor kepada kepolisian atas tuduhan penggelapan sesuai


ketentuan Pasal 372 KUHPidana, yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja

dan atau melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian

adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena

kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat

tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Dengan demikian, langkah kreditor pada dasarnya dibenarkan oleh undang-

undang, akan tetapi jikalau kreditor juga melakukan perbuatan sewenang-wenang

untuk mengambil benda jaminan fidusia dan sebaliknya debitor juga bertindak

mengalihkan benda jaminan fidusia, maka hal ini akan terjadi saling melaporkan.

Hal demikian terjadi menandakan sebagian besar lembaga pembiayaan keuangan

belum memahami dan mentaati ketentuan yang diatur dalam UU No 42 Tahun

1999. Padahal jika dicermati dengan adanya jaminan fidusia yang didaftarkan

secara benar akan memberikan perlindungan hukum bagi kreditor. Keengganan

mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud, kemungkinan disebabkan adanya

pembebanan biaya pada pihak kreditor.

Adanya bentuk pengakuan utang, sebagai akibat dari pihak lembaga

pembiayaan telah mengeluarkan dananya untuk membiayai kebutuhan konsumen

akan pengadaan barangnya, maka nilai dan besaran pembiayaan tersebut menjadi

utang yang ditanggung oleh konsumen berikut dengan bunga dan ongkos-ongkos

lain. Kewajiban konsumen pada umunya, membayar uang muka yang ditentukan

pihak lembaga pembiayaan, membayar cicilan setiap bulannya kepada lembaga

pembiayaan sesuai ketentuan yang telah disepakati, menyerahkan bukti-bukti


objek kepemilikan yang dibiayai sekaligus sebagai jaminan, konsumen

berkewajiban untuk memelihara objek yang dibiayai sebagai jaminan.

Namun yang menjadi prinsip didalam perjanjian obligatoir terjadinya

kesepakatan sejak saat itu pula lahir hak dan kewajiban, sedangkan menurut sifat

konsensual disepakatinya sebuah perjanjian sejak saat itu juga perjanjian mengikat

para pihak. Hal ini membawa konsekuensi bahwa kesepakatan ialah titik lahirnya

kontrak, dan sebagai bentuk pemenuhan prestasi yang dilakukan sesuai dengan

waktu yang telah ditentukan dalam kesepakatan kontrak. Perjanjian konsensual

obligatoir akan melahirkan antara kesepakatan dangan pemenuhan prestasi.

Dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak sepakat untuk

melakukan prestasinya sesuai dengan waktu yang ditentukan, hal tersebut

menimbulkan konsekuensi bahwa sebelum waktu pemenuhan itu tiba, maka

kreditur tidak berhak untuk mengih prestasi karena kewajiban itu belum matang

untuk ditagih hal ini sesuai prinsip ketentuan waktu yang dibuat dalam perjanjian.

Jadi, jaminan fidusia merupakn salah satu bentuk jaminan kebendaan sehingga

menimbulkan hak kebendaan, namun terkadang para pelaku kreditor maupun

debitor tidak memahami pada saat kapan jaminan fidusia itu lahir dan berlaku,

sebagaimana Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Fidusia menyebutkan bahwa

“jaminan fidusia lahir pada tanggal dicatatnya ke buku daftar fidusia maka pada

saat itu juga fidusia lahir” jika jamiana fidusia pada saat pencatatan, lalu apa

eksistensi akta autentik tentang jaminan fidusia itu karena ternyata dengan

ditandatanganinya akta perjanjian fidusia tidak kemudian menimbulkan lahirnya

jamian fidusia.
Menyangkut perbedaan antara hak kebendaan dan hak perorangan, dimana

hak kebendaan bersifat absoolut, dapat dipertahankan kepada siapapun dan selalu

mengikuti bendanya kemanapun benda itu beralih, sedangkan hak perorangan

ialah hak yang dapat ditujukan kepada orang-orang tertantu saja, hak perorangan

merupakan hak tagih atau pemenuhan prestasi dari sebuah perjanjian karena hak

perorangan tibul dari perjanjian. Facta sun servanda bahwa semua perjanjian yang

dibuat secara sah akan mengikat seperti undang-undang kepada mereka yang

membuatnya. Dapat dimaknai jika sekedar hanya disepakati dalam perjanjian

maka pihak penerima jamiaan tidak bisa mempertahankan objek yang diserahkan

sebagai jaminan fidusia, karena itu baru berupa janji, dan janji hanya

menimbulkan hak penagihan kepada pihak yang telah memberikan janji untuk

melakukan prestasi sesuai apa yang telah disepakati.

Namun pada saat fidusia itu dicatat dan didaftarkan maka lahirlah hak

kebendaan bagi si penerima fidusia, karena dengan pendaftaran itu telah

memenuhi prinsip publisitas yang kemudian menimbulkan konsekuensi setiap

orang dianggap tahu bahwa objek jaminan tersebut diserahkan kepemilikannya

kepada pihak kreditor bilamana si debitor didapat melaksanakan prestasi

sebagaimana telah di sepakati di dalam perjanjian maka pihak kreditor dapat

melakukan eksekusi jaminan fidusia tersebut.

Kekeliruan memahami akan lahirnya hak-hak kebendaan dalam jaminan

fidusia berdampak pada pelanggaran secara pidana, misalnya ketika kreditor tidak

mendaftarkan jaminan fidusia tersebut lalu pihak debitor wanprestasi, kemudian

pihak lembaga pembiayaan melakukan pengambilan paksa objek jaminan dari si


pemberi fidusia dengan bantuan orang-orang tertentu, kondisi tersebut akan

berdampak terlanggarnya ketentuan hukum pidana karena secara hukum, pihak

kreditor belum memiliki hak untuk mengabil objek jaminan dari debitor

mengingat jaminan jaminan fidusia itu belum lahir. Kreditur hanya berhak untuk

menagih saja dan jika penagihan itu tidak diindahkan oleh pihak debitor, maka

kreditor harus meminta bantuan kepada lembaga peradilan untuk memaksanya

dengan suatu proses gugatan terlebih dahulu.

Sebagai bukti bahwa perjanjian jaminan fidusia merupakan bentuk dari

perjanjian obligatoir yang mengartikan timbulnya hak dan kewajiban setelah

dilukannya pendaftaran jaminan fidusia maka dapat kita lihat dari klausula yang

berbunyi pada akta pemberian fidusia “bahwa antara pemberi fidusia atau debitor

selaku pihak yang menerima fasilitas pembiayaan dan penerima fidusia atau

kreditor telah dibuat dan ditandatangan “bahwa untuk lebih menjamin dan

menanggung terbayarnya segala sesuatu yang terhutang dan harus dibayar debitor

sebagaimana diatur dalam perjanjian pembiayaan tersebut pemberi fidusia

diwajibkan untuk memberikan jaminan fidusia atas sebuah kendaraan bermotor

milik pemberi fidusia untuk kepentingan penerima fidusia sebagaimana yang telah

dilahirkan pada perjanjian para pihak yang mengikatkan antara satu dengan

lainnya.

Sekalipun telah diberlakukan aturan tersebut, dalam praktek masih terdapat

perusahaan-perusahaan pembiayaan yang masih juga belum mendaftarkan akta

jaminan fidusia sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa perjanjian

jaminan fidusia itu sendiri hanya terbatas pada pembebanan akta notaris saja dan
tidak melakukan pendaftaran sebagaimana yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan tersebut. Maka, akibat hukum dari jaminan fidusia yang

tidak didaftarkan adalah tidak melahirkan perjanjian kebendaan bagi jaminan

fidusia tersebut, sehingga karakter kebendaan seperti droit de suite (hak

kebendaan senantiasa mengikuti bendanya ditangan siapa saja benda itu berada)

dan hak prefensi tidak melekat pada kreditor pemberi jaminan fidusia; atau

dengan kata lain jaminan fidusia bersifat persorangan (personlijkezekerheids).

Dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, debitur wajib

menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Apabila debitur tidak

menyerahkan jaminan fidusia tersebut pada waktu eksekusi dilaksanakan, kreditur

berhak mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut dan kalau

perlu meminta bantuan pihak yang berwenang. Dalam hal benda yang menjadi

obyek jaminan fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat

diperjualbelikan dipasar bursa efek, atau penjualannya dapat dilakukan di tempat-

tempat tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku. Seiring dengan adanya

berbagai perubahan dalam dunia fidusia, dan Mengingat betapa pentingnya fungsi

pendaftaran bagi suatu jaminan hutang termasuk jaminan hutang termasuk

jaminan fidusia ini, maka UUJF kemudian mengaturnya dengan mewajibkan

setiap jaminan fidusia untuk didaftarkan pada pejabat yang berwenang.


BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis menyimpulkan bahwa perjanjian

kredit yang dibuat oleh debitor dan kreditor merupakan perjanjian pokok yang

mengacu prinsip-prinsip umum perjanjian, sedangkan pembebanan jaminan

fidusia meruapakan perjanjian ikutan. perjanjian ikutan atau aksesoris, yang

prinsip dasarkan memberikan perlindungan hukum kepada kreditor dari kerugian

yang diakibatkan debitor cidera janji atau wanpresasi. Namun dalam praktiknya

masih ditemukan persoalan-persoalan yang terjadi, baik berasal dari kreditor

sendiri atau dari debitor. Dalam hal ini, kreditor yang menerima hak jaminan

fidusia kadang kala tidak mendaftarkannya, dengan alasan biaya atau karena akta

perjanjian dibuat di bawah tangan. Sedangkan dari pihak debitor, sering terjadi

mengalihan hak benda jaminan fidusia kepada pihak ketiga, bahkan lebih dari itu

lagi debitor melarikan diri dan tidak ditemukan alamatnya.

Apabila jaminan fidusia tidak dibuatkan dibawah tangan dan tidak

didaftarkan sesuai kekentuan perundangundangan, maka tidak memiliki kekuatan

eksekutorial, dan hak hak preferen serta dapat menjadi batal demi hukum. prinsip

utama Jaminan Fidusia diperuntukkan kepada kreditor agar terhindungi dari

kerugian yang diakibatkan oleh terjadinya wanprestasi dari debitor, maka

seharusnya kreditor tidak boleh lalai untuk membuat akta jaminan fidusia dengan

Akta Natariil, dan juga didaftarkan melalui kantor pendaftaran Jaminan Fidusia.
Namun, masih ditemukannya akta jaminan fidusia yang tidak dibuat dengan Akta

Notariil dan juga tidak didaftakannya jaminan fidusia dimaksud, karena Undang-

undang tidak mengatur secara tegas. Oleh karena itu, kedepan perlu adanya revisi

pengaturan jaminan fidusia dalam perundang-undangan dengan klausul

mewajibkan dibuatnya Jaminan Fidusia dan Pendaftaran, apabila dilalaikan pihak

yang bersangkutan mendapatkan sanksi. Dengan demikian, maka akan terjadinya

suatu kepastian hukum.

Dengan adanya pendaftaran tersebut maka setiap orang dapat mengetahui

bahwa benda yang dimaksud adalah benar-benar masih dalam arti tidak digunakan

sebagai jaminan utang, yang dapat dilakukan dengan cara melihat daftar tersebut

di suatu tempat yang diberi wewenang untuk melakukan pendaftaran dimaksud.

Pendaftaran jaminan fidusia akan mempertegas status objek jaminan fidusia,

mengingat melalui pendaftaran jaminan fidusia akan terbit sertifikat jaminan

fidusia yang merupakan alat bukti otentik karena dibuat oleh Notaris dengan akta

notaris. Bagian penting lainnya dari pendaftaran jaminan fidusia dan terbitnya

sertifikat jaminan fidusia, ialah hak eksekutorialnya, mengingat syarat-syarat

formil maupun materiil pembuatan akta jaminan fidusia dan sertifikat jaminan

fidusia telah terpenuhi melalui prosedur yang berlaku.

5.2. Saran

Terhadap pihak-pihak yang terkait dengan proses pendaftaran fidusia,

hendaknya benar-benar konsekuen terhadap jangka waktu pendaftaran fidusia

sebagaimana yang dijadwalkan, sehingga tidak memakan waktu terlalu lama, yang

akan mengakibatkan pihak kreditor selaku penerima fidusia enggan mendaftarkan


obyek jaminan fidusia sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Apabila tidak lahir jaminan fidusia, maka perjanjian tersebut hanya merupakan

perjanjian utang piutang biasa, sehingga kedudukan kreditor hanya sebagai

kreditor konkuren.

Perlindungan hukumnya bagi kreditor, apabila kreditor merasa dirugikan

karena debitor wanprestasi dan ingin menuntut piutangnya kembali. Akibat

hukum dari perjanjian jaminan fidusia yang tidak didaftarkan adalah tidak

melahirkan perjanjian kebendaan bagi jaminan fidusia tersebut. Ketentuan

kewajiban pendaftaran jaminan fidusia merupakan ketentuan yang mengatur dan

memaksa, untuk melindungi para pihak dan kepentingan umum. Sehingga

pendaftaran jaminan fidusia oleh penerima fidusia merupakan kaidah yang wajib

dilakukan, karena dengan demikian para pihak memperoleh kepastian hukum

yang telah diatur dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia. Obyek jaminan fidusia

yang dialihkan sebelum jaminan fidusia didaftarkan akan melemahkan kedudukan

kreditur sebagai penerima fidusia yaitu jaminan fidusia tidak melekat asas

publisitas, asas droit de suite, dan asas droit de preference. Sebagai akibat hukum,

debitur yang mengalihkan obyek jaminan fidusia tersebut tidak dapat dikenai

sanksi pidana, karena dianggap tidak pernah lahir jaminan fidusia.

Anda mungkin juga menyukai