Anda di halaman 1dari 99

PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA

PADA BANK RAKYAT INDONESIA UNIT GEDONGKUNING

YOGYAKARTA

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia merupakan suatu proses

dan perubahan yang saling berkesinambungan guna mencapai masyarakat yang adil

makmur berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mencapai tujuan

tersebut, maka diperlukan keserasian dan keseimbangan dari berbagai bidang

kehidupan. Salah satunya adalah bidang ekonomi dan keuangan.

Lembaga perbankan memegang peranan penting di dalam kegiatan

perekonomian selaku lembaga keuangan yang membantu pemerintah dalam rangka

meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian. Definisi Bank dalam Undang-

Undang Pokok Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 disebutkan bahwa :

“ Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan

atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat”

Perkembangan ekonomi akan diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan kredit

atau pinjaman, baik untuk kegiatan perindustrian, perdagangan, perseroan, maupun

untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Kegiatan-kegiatan tersebut diatas,

pada akhirnya memerlukan fasilitas kredit atau pinjaman dalam usahanya, serta

membutuhkan adanya jaminan bagi pemberi kredit demi keamanan pemberian kredit.
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi, Pemerintah telah menyediakan

berbagai fasilitas kredit atau pinjaman. Bentuk fasilitas kredit atau pinjaman yang

disediakan oleh Pemerintah antara lain melalui Bank-Bank Pemerintah, kemudian

diikuti oleh Bank-Bank Swasta yang ikut berperan besar dalam pelayanan pemberian

kredit kepada masyarakat.

Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) merupakan suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Hal tersebut memberikan konsekuensi

hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu terdapat dua pihak, dimana satu

pihak merupakan pihak yang wajib melaksanakan prestasi (debitur) sedangkan pihak

yang lainnya merupakan pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Dalam

perkembangannya, pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih badan hukum.

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan

pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah

jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Kredit hanya diberikan kepada mereka yang dipercaya mampu mengembalikan

kredit dikemudian hari. Jika dijabarkan kembali, pemenuhan kewajiban pelunasan

pinjaman sama artinya dengan kemampuan memenuhi prestasi.

Dalam setiap pemberian kredit, terkandung suatu risiko yang tidak terduga, yang

tidak dapat dikontrol oleh Bank, sehingga kredit menjadi macet yang disebabkan oleh
wanprestasi debitur, maka dalam memberikan kredit, Bank pada umumnya

mensyaratkan adanya jaminan kredit.

Bank umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan suatu kegiatan

tertentu atau memberikan perhatian khusus kepada kegiatan tertentu tersebut. Sebagai

salah satu mata rantai lalu-lintas pembayaran dalam tata ekonomi modern, Bank

Rakyat Indonesia yang merupakan bagian dari bank umum milik pemerintah adalah

lembaga keuangan yang mempunyai peranan besar dalam memacu perekonomian

masyarakat.

Sesuai dengan fungsi utama perbankan sebagai penghimpun dan penyalur dana

masyarakat, untuk itu salah satu dari sekian banyak usaha bank khususnya bank

umum adalah memberikan kredit pada nasabahnya.

Keberadaan jaminan kredit merupakan salah satu persyaratan guna memperkecil

risiko bank dalam menyalurkan kredit. Pada prinsipnya, tidak selalu suatu penyaluran

kredit harus dengan jaminan kredit. Hanya saja apabila suatu kredit tersebut dilepas

tanpa agunan, maka memiliki risiko yang besar. Jika hal tersebut terjadi maka pihak

bank akan merasa dirugikan, sebab dana yang disalurkan memiliki peluang tidak

dapat dikembalikan oleh nasabah.

Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank

secara sepihak dalam bentuk baku mengenai kredit yang memuat hubungan hukum

antara bank dengan nasabah debitur.

Perjanjian kredit bank selalu terkait dengan pengukatan jaminan. Hal ini

dilakukan oleh pihak bank agar bank mendapatkan kepastian bahwa kredit yang
diberikan kepada nasabahnya dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan dapat

kembali dengan aman. Jadi, dengan adanya jaminan yang diikat dalam bentuk

perjanjian jaminan tertentu akan dapat mengurangi munculnya risiko yang mungkin

terjadi apabila penerima kredit wanprestasi atau tidak dapat mengembalikan kredit

atau pinjamannya. Dengan demikian, jaminan dalam perjanjian kredit ini bertujuan

untuk menjamin bahwa utang debitur akan dibayar lunas.

Berkaitan dengan pemberian kredit kepada calon nasabah (debitur) maka bank

harus mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan pengembalian

pinjaman kredit oleh nasabah (debitur). Dalam penjelasan Pasal 8 Undang-Undang

Pokok Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa dalam memberikan

kredit berdasarkan prinsip syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan

berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad baik dan kemampuan serta

kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya. Hal ini berarti bahwa Bank

harus memperhatikan dan memberikan penilaian berdasarkan analisis yang mendalam

atas iktikad baik terhadap calon penerima kredit. Penilaian itu menyangkut baik

dalam hal watak, kemampuan, modal, serta jaminan dari calon penerima kredit yang

bersangkutan serta prospek usahanya.

Hak-hak jaminan kredit tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan terkait kepada

hak lain, yang menjadi hak utamanya. Oleh karena itu, sifat hak-hak jaminan ini

adalah acccessoir, yaitu mengikuti perikatan utamanya. Hal ini berarti apabila

perikatan utamanya telah musnah hak jaminannya musnah pula. Sifat ini melekat

pada semua hak jaminan kredit.


Dalam praktek perbankan, sifat dari hak jaminan adalah yang bersifat hak

kebendaan maupun bersifat perorangan.1 Yang termasuk jaminan yang bersifat hak

kebendaan adalah gadai, fidusia, hipotik, dan hak tanggungan. Adapun yang termasuk

jaminan yang bersifat hak perorangan adalah perutangan tanggung menanggung,

perjanjian garansi, dan lain-lain. Hak kebendaan memberikan kekuasaan yang

langsung terhadap bendanya, sedangkan hak perorangan menimbulkan hubungan

langsung antara perorangan yang satu dengan yang lainnya.

Tujuan dari jaminan yang bersifat kebendaan adalah untuk memberikan hak

vershaal (hak untuk meminta pemenuhan piutangnya) kepada kreditur, terhadap hasil

penjualan dari benda-benda tertentu dari debitur untuk pemenuhan piutangnya.

Adapun jaminan yang bersifat perorangan bertujuan untuk memberikan hak vershaal

kepada kreditur, terhadap benda keseluruhan dari debitur untuk memperoleh

pemenuhan dari piutangnya.2

Demi kepentingan bank (kreditur) yang mengadakan perutangan, Undang-

Undang memberikan jaminan yang tertuju terhadap semua kredit dan mengenai

semua harta benda nasabah (debitur). Jaminan yang demikian ini disebut sebagai

jaminan umum. Adapun jaminan khusus diadakan antara kreditur dan debitur yang

dapat berupa jaminan yang bersifat perorangan maupun kebendaan.3

1
1 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia : Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1980, hlm.38.
2 ?
Ibid.
3 ?
Ibid., hlm. 45.
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah adanya benda tertentu yang dipakai

sebagai jaminan. Sedangkan jaminan yang bersifat perorangan adalah adanya orang

tertentu yang sanggup membayar atau memenuhi prestasi apabila debitur wanprestasi.

Dari jaminan yang menimbulkan keyakinan atas pemberian kredit tersebut,

agunan atau jaminan kebendaan dianggap yang paling aman dan ideal untuk

mengatasi risiko yang ditanggung oleh pihak bank. Jaminan tersebut dapat berupa

benda bergerak seperti fidusia dan gadai maupun berupa benda tetap seperti hak

tanggungan.

Bank sebagai lembaga keuangan formal dalam memberikan kredit dengan

jaminan materiil menggunakan jaminan fidusia untuk agunan benda bergerak.

Sedangkan hak tanggungan untuk agunan benda tak bergerak.

Bank dalam memberikan kredit yang memerlukan jaminan materiil, disesuaikan

antara besarnya kredit dengan jaminan yang diminta, jaminan biasanya lebih besar

daripada kredit yang diberikan. Pihak bank selalu melakukan penafsiran harga

terhadap benda jaminan tersebut kemudian memberikan pinjaman yang besarnya

dibawah harga tafsiran. Hal ini bertujuan untuk memberikan keyakinan bahwa kredit

akan diangsur dan dilunasi oleh debitur. Apabila terjadi wanprestasi dan agunan

dilelang, maka debitur dirugikan sehingga akan berusaha untuk melunasi hutangnya.

Kredit yang jumlahnya relatif kecil dan bisa diterima oleh bank dengan jaminan

benda bergerak menggunakan lembaga jaminan fidusia. Dalam pelaksanaannya,

jaminan fidusia yang diagunkan dan dikuasai oleh kreditur adalah hak milik atas

suatu benda sedangkan bendanya tetap dikuasai oleh debitur. Salah satu contohnya
benda yang dapat menjadi jaminan fidusia antara lain kendaraan bermotor, mesin-

mesin.

Debitur berhak mengambil manfaat dari benda yang dijaminkan tersebut

sebagaimana fungsinya. Karena jaminan fidusia digunakan untuk membantu pihak

yang lemah secara ekonomi dengan memberikan kredit atau pinjaman yang

berjaminan lunak. Jaminan fidusia berfungsi sebagai jaminan atau keyakinan bagi

kreditur terhadap debitur atas pengembalian pinjaman yang diberikan.

Mengingat dalam setiap pemberian kredit, terkandung suatu resiko yang tak

terduga yang tidak dapat dikontrol oleh Bank, sehingga kredit menjadi macet yang

disebabkan oleh wanprestasi debitur. Maka, dalam memberikan kredit Bank pada

umumnya mensyaratkan adanya jaminan kredit.

Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia yang untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Jaminan Fidusia.

Keberadaan fidusia sebagai lembaga jaminan diakui berdasarkan yurisprudensi.

Konstruksi fidusia berdasarkan yurisprudensi yang ada adalah penyerahan hak milik

secara kepercayaan atas kebendaan atau barang-barang itu tetap pada debitur, dengan

ketentuan bahwa jika debitur melunasi hutangnya sesuai dengan jangka waktu yang

telah ditetapkan, maka kreditur berkewajiban untuk mengembalikan hak milik atas

barang-barang tersebut kepada debitur.

Bentuk jaminan fidusia ini sebenarnya sudah mulai digunakan secara luas dalam

transaksi pinjam-meminjam karena proses pembebanannya dianggap sederhana,

mudah dan cepat. Pranata jaminan fidusia saat ini memang memungkinkan kepada
pemberi fidusia untuk menguasai kebendaan yang dijaminkan, guna menjalankan

atau melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan

jaminan fidusia tersebut. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berdasarkan

penelitian di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1973 di beberapa Kabupaten di

DIY menunjukkan bahwa bentuk jaminan yang paling banyak digunakan oleh

masyarakat yaitu fidusia.

Menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pada

pasal limanya menentukan bahwa perjanjian jaminan fidusia dibuat secara notariil

dan berbahasa Indonesia. Akta perjanjiannya harus didaftarkan di Kantor Pendaftaran

Fidusia (Pasal 11 ayat 1 UU No. 42 Tahun 1999)

Di dalam praktek pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gedongkuning hal

tersebut diatas tidak selalu dilakukan, dikarenakan masih banyak pihak kreditur

penerima fidusia yang tidak mendaftarkan akta jaminannya. Faktor penyebabnya

antara lain jangka waktu kreditnya hanya berlangsung selama tidak lebih dari satu

tahun, nilai pinjaman kecil dan debiturnya sudah dikenal dengan baik oleh bank yang

bersangkutan. Jadi, sangat kecil kemungkinan debitur melakukan wanprestasi.

Berdasarkan uraian diatas maka untuk mengetahui lebih lanjut mengenai

perlindungan hukum terhadap Bank (kreditur) dan penyelesaian yang dilakukan oleh

bank terhadap nasabah (debitur) yang melakukan wanprestasi mendorong penulis

untuk mempelajari dan mengadakan penelitian yang disajikan dalam bentuk skripsi

dengan mengambil judul “PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN


JAMINAN FIDUSIA PADA BANK RAKYAT INDONESIA CABANG

GEDONGKUNING YOGYAKARTA”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perlindungan hukum bagi kreditur apabila benda yang dijaminkan

tidak cukup untuk membayar hutang?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap debitur apabila benda yang

dijaminkan tidak didaftarkan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi Bank Rakyat Indonesia Cabang

Gedongkuning Yogyakarta apabila benda yang dijaminkan tidak cukup untuk

melunasi hutang.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi debitur, apabila benda yang

dijaminkan tidak didaftarkan.

D. Tinjauan Pustaka

Ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam buku III KUHPerdata Bab II,

disebutkan di dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu

perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang mengikatkan dirinya terhadap

satu orang atau lebih.


Dalam pemberian definisi yang tepat terhadap sesuatu hal tidaklah mudah

karena setiap orang di dalam mendefinsikan sesuatu hal tidaklah sama. Dikarenakan

masing-masing orang memiliki sudut pandang yang berbeda. Seperti halnya pada

pendefinisian perjanjian ada berbagai pendapat dari para sarjana ilmu hukum antara

lain :

Menurut Prof. Subekti, SH, bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa

dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling

berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Dalam bentuknya perjanjian berupa suatu

rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan

atau ditulis.4

Menurut Sudikno Mertokusumo, suatu perjanjian adalah hubungan hukum antara

dua orang yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 5 Dalam hal ini kedua

belah pihak sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban

yang mengikat mereka guna ditaati dan dilaksanakan. Kesepakatan tersebut untuk

menimbulkan akibat hukum dari hubungan yang mereka adakan serta menimbulkan

hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Apabila kesepakatan itu dilanggar, maka

pelaksanaannya dapat dilaksanakan oleh pihak yang dirugikan melalui pengadilan.

Dan menurut Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu

orang atau lebih saling mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih.6
4 ?
R. Subekti, S. H., Hukum Perjanjian, Cetakan VII, PT. Intermasa, Jakarta, 1983, hlm. 1.
5 ?
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Edisi Keempat, Cetakan II,
Liberty, Yogya, 1999, hlm. 96.
6 ?
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 49.
Adapun syarat sah perjanjian, diatur dalam KUHPerdata Pasal 1320 mengatur

tentang empat syarat yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, yaitu :

1. Kata sepakat dari kedua belah pihak yang mengikatkan diri

2. Kecakapan untuk membuat perjanjian

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Syarat petama dan kedua disebut syarat subyektif yaitu syarat yang harus

dipenuhi oleh subyek perjanjian. Sedang syarat ketiga dan keempat disebut syarat

obyektif yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian.

Perbedaan syarat tersebut berkaitan dengan akibat yang terjadi bila persyaratan

tidak terpenuhi. Akibat tidak dipenuhinya syarat subyektif adalah dapat dibatalkannya

perjanjian itu. Sedang tidak dipenuhinya syarat obyektif berakibat perjanjian itu batal

demi hukum.

Pengertian pinjam-meminjam menurut Pasal 1754 KUHPerdata yaitu perjanjian

dimana pihak satu memberikan kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang-

barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini

akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam-macam dan keadaan yang

sama pula.

.
Menurut Marhainis Abdul Hay, S. H., ketentuan pasal 1754 KUHPerdata tentang

perjanjian pinjam-meminjam mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian

kredit bank.7

Menurut Prof. R. Wiryono Prodjodikoro, S.H., ketentuan mengenai Pasal 1754

KUHPerdata, ditafsirkan sebagai persetujuan yang bersifat riil, karena dalam Pasal

1754 KUHPerdata tidak menyebutkan bahwa pihak kesatu “ mengikatkan diri untuk

menyerahkan uang” melainkan ia “menyerahkan uang itu kepada pihak lain”.8

Untuk mengetahui lebih lanjut ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian kredit

maka harus dilihat juga model-model perbankan pada perjanjian kredit. Dalam

praktek, perjanjian kredit bank tumbuh sebagai perjanjian standar. Maksudnya setiap

bank telah menyediakan formulir atau blangko perjanjian kredit yang dapat diisi dari

perjanjian tersebut dan telah dipersiapkan terlebih dahulu atau dibakukan. 9 Maksud

dari Bank membuat perjanjian tersebut dibuat secara standar adalah:

1. Untuk melindungi kepentingan umum

2. Untuk memudahkan administrasi atau memperlancar proses

3. Agar terjadi keseragaman peraturan yang akan memudahkan dalam

menyelesaikan masalah yang terjadi

4. Ada kepastian hukum


7 ?
Marhainis Abdul Hay, S.H., Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta,
1975, hlm. 67.
8 ?
R. Wiryono Prodjodikoro, S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata Tentang Persetujuan
Tertentu, Sumur Bandung, Bandung, 1981, hlm. 137.
9 ?
Maryam Darus Badrulzaman, S.H., Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1983, hlm.
28.
Demi memberikan rasa aman dan kepentingan pihak kreditur yang mengadakan

perjanjian dibawah tangan, maka Undang-Undang memberikan jaminan yang

ditujukan kepada kreditur terhadap semua harta benda debitur. Terhadap jaminan

yang demikian disebut jaminan umum.

Mengenai jaminan umum dalam Undang-Undang diatur dalam Pasal 1131 dan

Pasal 132 KUHPerdata. Jaminan umum artinya benda jaminan itu tidak ditunjuk

secara khusus dan tidak diperuntukkan bagi kreditur, sedangkan hasil penjualan

benda jaminan itu dibagi-bagi diantara para kreditur seimbang dengan piutangnya

masing-masing.10

Jaminan yang demikian dalam prakteknya dirasa kurang memberikan rasa aman

dan terjaminnya kredit yang diberikan. Untuk itu diperlukan benda-benda sebagai

jaminan yang dkhususkan sebagai jaminan dalam piutangnya yang hanya berlaku

bagi kreditur tersebut. Dengan kata lain, kreditur atau bank memerlukan adanya

jaminan yang dikhususkan baginya baik yang bersifat kebendaan maupun yang

bersifat perorangan.

Fidusia dianggap sebagai jaminan yang lebih cocok bagi bank maupun

nasabahnya untuk benda bergerak. Karena kreditur tidak merasa kesulitan untuk

menyediakan temat menyimpan dan merawat barangnya. Sedangkan pihak nasabah

tetap dapat memakai barang yang dijaminkan itu.

10 ?
Sri Soedewi, Ny. Prof. Dr. S.H., Hukum Jaminan di Indonesia : Pokok-pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm. 45.
Dalam jaminan ini, barang tidak diserahkan kepada kreditur tetapi masih dalam

kekuasaan debitur. Hanya hak miliknya diserahkan secara kepercayaan. Jadi selama

hutangnya belum dibayarkan secara lunas oleh debitur, hak milik atas barang tersebut

berpindah untuk sementara waktu ke kreditur.

Fidusia (Fidusia Eigendom Ovedracht) adalah pengalihan kepemilikan,

berdasarkan kepercayaan dimana para pihak saling memberikan kepercayaannya,

yakni satu pihak memberikan kepercayaan penuh kepada pihak lain untuk

mengalihkan hak miliknya, tetapi benda-benda yang dijadikan jaminan tersebut

merupakan jaminan hutang. Disamping itu fidusia juga merupakan penyerahan hak

milik atas barang-barang debitur yang dijadikan jaminan itu kepada kreditur atas

dasar kepercayaan saja, sedangkan secara fisik barang-barang yang bersangkutan

masih tetap ada pada debitur.

Fidusia di Indonesia telah berkembang sejak tahun 1931, yang terdapat di dalam

putusan pengadilan. Ini berarti fidusia telah dikenal dalam putusan pengadilan.

Selanjutnya perkembangan fidusia menjadi lebih populer sejak lembaga fidusia

memenuhi kebutuhan dalam praktek. Hal ini dikarenakan fidusia sangat dekat

hubungannya dengan perjanjian kredit bank, ketika debitur ingin meminjam uang

kepada bank untuk memperluas bisnisnya dengan memberikan jaminan benda

bergerak. Karena debitur tidak mempunyai jaminan benda lain. Jaminan benda

bergerak misalnya mesin, kendaraan, atau lainnya yang dapat dijadikan jaminan.
Lembaga fidusia pertama kali ditujukan pada benda bergerak, tetapi kemudian

berkembang kepada benda tidak bergerak. Perjanjian fidusia selama ini menekankan

pendaftaran pada benda bergerak dan benda tidak bergerak dengan menggunakan

format tertentu. Perjanjian fidusia harus didaftarkan atau dicatat dalam sertifikat

kepemilikannya. Tetapi, di dalam praktek harta benda debitur tidak didaftarkan,

dikarenakan mahalnya biaya pendaftaran serta membutuhkan waktu yang lama.

Pengaturan tentang jaminan fidusia diatur dalam Undang-undang Nomor 42

Tahun 1999 tanggal 30 September 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pembebanan benda

dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan

merupakan suatu akta jaminan fidusia.

Oleh karena benda jaminan tetap dikuasai oleh debitur maka apabila terjadi

wanprestasi sehingga jaminan harus dilelang untuk melunasi kredit, maka pihak

kreditur harus mengambil atau menyita barang jaminan tersebut dari debitur. Jika

hasil eksekusi tidak mencukupi untuk dilakukannya pelunasan utang maka debitur

tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.

Adapun risiko yang harus diperhitungkan oleh pihak bank apabila terjadi

wanprestasi. Hal ini mengingat bahwa benda jaminan tetap dikuasai dan

dipergunakan oleh debitur. Karena bagaimanapun juga benda yang dipergunakan

akan mengalami kerusakan atau penurunan nilai ekonomisnya baik disengaja maupun

tidak disengaja.
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia yang untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Jaminan Fidusia, keberadaan

fidusia sebagai lembaga jaminan diakui berdasarkan yurisprudensi. Konstruksi fidusia

berdasarkan yurisprudensi yang ada adalah penyerahan hak milik secara kepercayaan

atas kebendaan atau barang-barang bergerak milik debitur kepada kreditur dengan

penguasaan fisik atas barang-barang itu tetap pada debitur, dengan ketentuan bahwa

jika debitur melunasi hutangnya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan,

maka kreditur berkewajiban untuk mengembalikan hak milik atas barang-barang

tersebut kepada debitur.

Bentuk jaminan fidusia ini sebenarnya sudah mulai digunakan secara luas dalam

transaksi pinjam-meminjam karena proses pembebanannya dianggap sederhana,

mudah, dan cepat. Jaminan fidusia ini memang memungkinkan kepada pemberi

fidusia untuk menguasai kebendaan yang dijaminkan, guna menjalankan atau

melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan jaminan

fidusia tersebut.

Apabila terjadi salah satu atau lebih hal seperti diatas,maka pihak bank dapat

menyelesaikan masalah wanprestasi tersebut dengan cara :

1. Diselesaikan secara intern yaitu diselesaikan antara petugas bank dengan

nasabah (debitur).

2. Diselesaikan dengan jalur hukum yaitu diselesaikan melalui pengadilan


negeri setempat maupun BUPLN (Badan Urusan Piutang dan Lelang

Negara).

Cara kedua ini biasanya ditempuh apabila cara pertama tidak berhasil

menyelesaikan masalah.

Dalam praktik perkreditan di lingkungan bank masih ada perjanjian jaminan

fidusia yang tidak didaftarkan. Demikian pula, terjadi pada perjanjian jaminan fidusia

di lingkungan lembaga pembiayaan bisnis. Akibat hukum dari perjanjian jaminan

fidusia yang tidak didaftarkan adalah tidak melahirkan perjanjian kebendaan bagi

jaminan fidusia tersebut, sehingga karakter kebendaan seperti droit de suite dan hak

preferensi tidak melekat pada kreditur pemberi jaminan fidusia.

Dalam paraktik masih terdapat keraguan mengenai pendaftaran jaminan fidusia.

Keraguan itu adalah kurang tegasnya Undang-Undang Jaminan Fidusia untuk

menentukan hal apakah yang harus didaftarkan. Persoalan ini juga menimbulkan

perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum. Ada yang mengatakan yang

didaftarkan adalah akta jaminan fidusia, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa

bukan hanya akta jaminan yang didaftarkan melainkan bendanya juga turut

didaftarkan.

Jika dianalisis akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris, ditemukan fakta

yuridis bahwa yang didaftarkan adalah akta jaminan fidusia dan benda jaminan

fidusia.
Pendaftaran jaminan fidusia bukan hanya dilakukan terhadap benda jaminan

fidusia yang memiliki bukti kemilikan seperti kendaraan bermotor, mesin produksi

tetapi juga dilakukan terhadap obyek jaminan fidusia berupa benda persediaan seperti

stock barang, beras,dan lain-lain. Mengenai pendaftaran barang jaminan berupa

benda persediaan yang selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu mengenai jumlah

dan lain sebagainya. Makna pendaftaran itu lebih tepat diartikan sebagai pendaftaran

jaminan fidusia. Konsekuensi yuridis setelah akta jaminan fidusia didaftarkan, yang

menjadi pemilik jaminan atas benda fidusia adalah kreditur penerima fidusia,

walaupun secara fisik debitur penerima fidusia tetap menjadi pemilik benda agunan.

Pandangan ini menunjukkan bahwa ada pemisahan hak milik jaminan secara yuridis

dan hak milik secara riil.

E. Metode Penelitian

1. Obyek Penelitian

Pelaksanaan Perjanijian Kredit Dengan Jaminan Fidusia Pada Bank Rakyat

Indonesia Cabang Gedongkuning Yogyakarta.

2. Subyek Penelitian

Kreditur : Kepala bagian kredit Bank Rakyat Indonesia Cabang Gedongkuning

Yogyakarta.

Debitur : Nasabah Bank Rakyat Indonesia Cabang Gedongkuning Yogyakarta.


3. Sumber Data

a. Data Primer, yakni data yang diperoleh peneliti secara langsung dari subjek

peneliti yang dapat berupa hasil wawancara dan atau angket.

b. Data Sekunder, yakni data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung

melalui kepustakaan dan dokumen. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan

data-data sekunder yang diperlukan meliputi:

1. KUH Perdata.

2. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.

3. Hasil penelitian yang relevan

4. Buku yang terkait yang relevan dengan tema skripsi

5. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia

4. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan adalah non random sampling yang

berupa purpossive sampling (menentukan sampel berdasarkan tujuan

penelitian terhadap satu populasi yang homogen), yaitu terhadap nasabah

(debitur) yang termasuk golongan ekonomi menengah ke bawah.

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Data Primer
1. Wawancara langsung dengan subyek penelitian untuk

memperoleh data yang diperlukan.

2. Daftar pertanyaan (Kuisioner) yang bersifat tertutup dan

terbuka.

b. Data Sekunder

Studi kepustakaan yaitu mengkaji berbagai peraturan perundang-

undangan, literatur, jurnal, hasil penelitian yang terdahulu, kamus.

6. Metode Pendekatan

Pendekatan yuridis normatif, yaitu data yang diperoleh kemudian dianalisis dari

sudut pandang atau menurut ketentuan hukum atau peraturan perundang – undangan

yang berlaku. Setelah dianalisis, selanjutnya hasil analisis tersebut akan diwujudkan

dalam bentuk deskripsi dengan ringkas dan jelas sehingga mudah dimengerti dan

dipahami.

6. Analisis Data

Data yang diperoleh dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu data yang disajikan

secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif dengan langkah – langkah sebagai

berikut :

a. Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian.


b. Hasil klasifikasi dan selanjutnya disistematisasikan.

c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar

dalam mengambil keputusan.

F. Kerangka Skripsi

Bab I Pendahuluan

Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan

Pustaka, Metode Penelitian.

Bab II Tinjauan Umum Perjanjian

Pengertian Perjanjian, Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian, Unsur-Unsur

Perjanjian, Asas-Asas hukum dalam Perjanjian, Wanprestasi dan

Akibatnya dalam Perjanjian, Berakhirnya Perjanjian.

Bab III Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit dan Jaminan

Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit, Berakhirnya Perjanjian Kredit,

Pengertian Jaminan, Macam-Macam Jaminan.

Bab IV Tinjauan Umum Tentang Jaminan Fidusia

Pengertian Jaminan Fidusia, Obyek Jaminan Fidusia, Sifat Perjanjian

Jaminan Fidusia, Pendaftaran Fidusia, Eksekusi Benda jaminan Fidusia,

Hapusnya Jaminan Fidusia.

Bab V Penutup
Kesimpulan dan Saran.

Daftar Pustaka

Lampiran

DAFTAR PUSTAKA

R. Wiryono Prodjodikoro, S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata Tentang Persetujuan


Tertentu, Sumur Bandung, Bandung, 1981.
Ny. Prof. Dr. Sri Soedewi, S.H. Hukum Jaminan di Indonesia : Pokok-pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980.
Maryam Darus Badrulzaman, S.H. Perjanjian Kredit Bank, P.T. Alumni, Bandung,
1983.
Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, edisi Keempat,
Ctk. Kedua, Liberty, Yogyakarta, 1999.
R. Subekti, S. H. Hukum Perjanjian, Ctk. Ketujuh, PT. Intermasa, Jakarta, 1983.
Adrian Sutedi, S.H., M.H. Hukum Hak Tanggungan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,
2010.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Jaminan Fidusia, P.T. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007.
Dr. H. Tan Kamelo, S.H., M.S. Hukum Jaminan Fidusia : Suatu Kebutuhan Yang
Didambakan, PT. Alumni, Bandung, 2006.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia.
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN KREDIT

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Menurut pasal 1313 KUHPerdata perjanjian adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

lain atau lebih. Rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak

lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas

karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga

perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.

Sehubungan dengan itu perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai

definisi tersebut, yaitu perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum,

yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum serta

menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313

KUHPerdata.

Sehingga perumusannya menjadi persetujuan adalah suatu perbuatan

hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan diriya atau saling

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Persetujuan selalu

merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Di mana untuk itu
diperlukan kata sepakat para pihak, akan tetapi tidak semua perbuatan hukum

yang bersegi banyak merupakan persetujuan.

Pernyataan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu

perjanjian akan selalu terdapat dua pihak, dimana satu pihak merupakan pihak

yang wajib melaksanakan prestasi (debitur) dan pihak yang lain adalah pihak

yang berhak atas prestasi (kreditur). Dalam perkembangannya pihak tersebut

terdiri dari satu atau lebih badan hukum.11

Karena tidak semua perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum,

kemudian ada pula yang menambahkan bahwa pengertian tersebut kurang

lengkap. Hal ini berkaitan dengan kata “mengikat dirinya” yang terdapat

dalam pengertian perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata.

Menurut mereka kata tersebut tidak mencerminkan adanya timbal balik dari

para pelaku dalam perjanjian itu, tetapi lebih mencerminkan perjanjian yang

sepihak. Seharusnya kata tersebut ditambahkan dengan kata “saling”,

sehingga menjadi “saling mengikatkan dirinya”.

Sehingga pengertian persetujuan atau perjanjian yang dikemukakan dalam

Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan-kelemahan sebagaimana yang

dikemukakan dalam pernyataan berikut :

a. Hanya menyangkut sepihak saja

11
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, hal. 13.
Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah

pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada

konsensus diantara pihak-pihak.

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus

Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas

tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatig daad)

yang tidak mengandung suatu konsensus, seharusnya dipakai kata persetujuan.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas karena

mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam

lapangan hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara

debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang

dikehendaki oleh Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang

bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

d. Tanpa menyebut tujuan

Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan

perjanjian. Sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. 12

12
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal. 78.
Untuk lebih menyempurnakan pengertian perjanjian yang ditentukan dalam

Pasal 1313 KUHPerdata yang dianggap oleh sebagian sarjana mengandung

kelemahan-kelemahan sebagaimana yang telah diuraikan dalam pernyataan di

atas, maka pengertian perjanjian itu sebaiknya sebagai berikut, yaitu : “Perjanjian

adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan

diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.

Mengingat adanya kata sepakat diantara kedua pihak yang mengikatkan diri

tersebut merupakan unsur dan syarat utama dalam suatu perjanjian, maka tidak

salah kalau perjanjian itu merupakan perbuatan dari dua orang atau lebih yang

saling mengikatkan diri dan bukan hanya satu orang atau satu pihak saja yang

harus mengikatkan diri

Ada beberapa sarjana yang mempunyai pendapat lain mengenai definisi

perjanjian tersebut. Diantara para sarjana yang memberikan definisi dari

perjanjian adalah :

a. J. Satrio mengemukakan bahwa yang dimaksud perjanjian adalah sebagai

berikut :

“Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih atau dimana kedua belah

pihak saling mengikatkan dirinya”.13

b. R. Subekti mengemukakan yang dimaksud perjanjian adalah :

13
J. Satrio, S. H., Hukum Perjanjian, 1992, hlm. 20.
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain

atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.14

c. Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian bahwa perjanjian adalah :

“Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang didasarkan kata

sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.15

Dari beberapa pengertian yang diutarakan diatas, dapat disimpulkan

bahwa suatu perjanjian ada apabila ada pihak-pihak yang berperan di

dalamnya paling tidak ada dua pihak. Dan minimal ada satu hak yang dapat

dilakukan dan satu kewajiban yang harus dipenuhi. Dari beberapa pendapat

para ahli tersebut, menurut saya yang sesuai adalah pendapat dari Sudikno

Mertokusumo, karena dalam pendapatnya dijelaskan menurut teori klasik

yang dimaksud dengan perjanjian adalah satu perbuatan hukum yang bersisi

dua (“een tweezijdige overeenkomst”) yang didasarkan atas kata sepakat untuk

menimbulkan akibat hukum. Akan tetapi pandangan klasik tersebut kurang

tepat, karena dari pihak yang satu ada penawaran dan dari pihak lain ada

penerimaan. Maka ada dua perbuatan hukum yang masing-masing bersisi

satu. Dengan demikian perjanjian tidak merupakan satu perbuatan hukum,

melainkan merupakan hubungan hukum antara dua orang yang bersepakat

untuk menimbulkan akibat hukum. Di dalam KUHPerdata sendiri telah

14
Prof. Subekti, S. H., Hukum Perjanjian, hlm. 1.
15
Sudikno Mertokusumo, S. H., Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), hlm. 97.
memuat definisi mengenai perjanjian (Pasal 1313 KUHPerdata), akan tetapi

rumusannya terlalu umum dan tidak jelas. Karena hanya dikatakan sebagai

“perbuatan” saja, sehingga luas pengertiannya karena meliputi baik perbuatan

hukum maupun perbuatan faktual, disamping itu juga kurang jelas.

Perjanjian hendaknya dibedakan dari janji, meskipun janji itu didasarkan

atas kata sepakat namun kata sepakat itu tidak untuk menimbulkan akibat

hukum yang berarti bahwa apabila janji itu dilanggar maka tidak ada akibat

hukumnya, si pelanggar tidak dapat dikenakan sanksi.

2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian yang diadakan para pihak menuntut suatu persyaratan

tertentu untuk sahnya perjanjian, maka diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata

yang menyatakan adanya empat syarat dari sahnya suatu perjanjian.

Keempatnya harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian. Apabila

tidak dipenuhi maka perjanjian yang telah dilakukan diancam dapat dibatalkan

maupun batal demi hukum. Syarat-syarat yang dimaksud adalah :16

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Yang dimaksud dengan sepakat adalah bahwa kedua subyek yang

mengadakan perjanjian harus sepakat, setuju, seia sekata mengenai hal-hal

pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki pihak yang
16
Gunawan Widjaja, Kartini Mulyadi, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung
Menanggung, hal. 14.
satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Pasal 1321 KUHPerdata

mengatakan “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena

kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Dalam Pasal

1324 KUHPerdata paksaan adalah keadaan dimana seseorang melakukan

perbuatan karena takut dengan ancaman, baik diancam dengan paksaan

physik, maupun dengan cara-cara lain seperti akan dibuka rahasianya.

Tidak merupakan persoalan dari mana datangnya ancaman tersebut.

Ancaman harus berupa sesuatu yang dilarang, barangsiapa mengancam

debiturnya dengan upaya-upaya hukum yang diperkenankan, ia melakukan

perbuatan menurut hukum.

Untuk penipuan dalam Pasal 1328 KUHPerdata mensyaratkan adanya

tipu muslihat. Tidak cukup jika hanya kebohongan saja. Setiap penjual

selalu memuji-muji barangnya, sekalipun barangnya kurang baik.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Cakap menurut hukum pada asasnya adalah setiap orang yang dewasa

dan sehati pikirannya, yaitu orang-orang yang mampu melakukan suatu

perbuatan hukum yaitu orang dewasa. Dalam Pasal 1329 KUHPerdata

dikatakan bahwa “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-

perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”.

Sebaliknya dalam Pasal 1330 KUHPerdata dikatakan bahwa “tidak


cakap” untuk bertindak adalah semua orang kepada siapa Undang-Undang

telah melarang untuk membuat perjanjian tertentu.

Kecakapan bertindak menunjuk kepada kewenangan yang umum.

Kewenangan umum untuk menutup perjanjian. Sedangkan kewenangan

bertindak menunjuk kepada yang khusus, kewenangan untuk bertindak

dalam peristiwa yang khusus. Ketidakwenangan hanya menghalang-halangi

untuk melakukan tindakan hukum tertentu. Orang yang dinyatakan tidak

wenang adalah orang yang secara umum cakap untuk bertindak. Adapun

orang yang tidak cakap menurut Pasal 1330 KUHPerdata ialah:

1. Orang-orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-

undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang

telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu

Dalam Pasal 330 KUHPerdata disebutkan belum dewasa adalah mereka

yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih

dahulu telah kawin. Dengan kata lain orang yang tidak cakap, tidak

memenuhi syarat untuk membut perjanjian.

3. Suatu hal tertentu


Dalam Pasal 1333 KUHPerdata dikatakan bahwa suatu persetujuan

harus mempunyai sebagai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit

ditentukan jenisnya.

Yang dimaksud disini adalah bahwa objek perjanjian tidak harus

secara individual tertentu, tetapi cukup bahwa jenisnya ditentukan. Hal itu

tidak berarti bahwa perjanjian sudah memenuhi syarat, apabila jenis objek

perjanjiannya saja yang sudah ditentukan. Ketentuan tersebut harus

ditafsirkan, bahwa objek perjanjian harus tertentu, sekalipun masing-

masing objek tidak harus secara individual tertentu.

Mengenai syarat “objeknya tertentu” dalam Pasal 1333 ayat (2)

dikatakan bahwa jumlahnya semula boleh “belum tertentu”, asal kemudian

dapat ditentukan.

Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang

bersangkutan. Ia merupakan suatu perilaku tertentu, bisa berupa

memberikan sesuatu, melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam

Pasal 1332 dan 1333 KUHPerdata berbicara tentang “Zaak yang menjadi

objek daripada perjanjian” maka “zaak” disana adalah objek perjanjian itu

sendiri. Zaak dalam arti seperti ini hanya mungkin untuk perjanjian yang

prestasinya adalah untuk memberikan sesuatu, bagi perjanjian untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu tidak mungkin. Itulah sebabnya,

bahwa lebih cocok diartikan “objek perjanjian” adalah prestasi yang

menjadi pokok perjanjian. Undang-undang mensyaratkan agar prestasi


yang menjadi objek perjanjian adalah tertentu, karena kalau tidak

bagaimana orang menentukan apakah seseorang telah memenuhi kewajiban

prestasinya atau belum. Perjanjian tanpa “suatu hal tertentu” adalah batal

demi hukum.

4. Suatu sebab yang halal

Mengenai apa yang dimaksud dengan kausa yang halal, undang-undang

tidak memberikan perumusan dan ketentuan-ketentuan. Undang-

undangpun tidak dapat memberikan kepada kita pegangan yang cukup

mengenai apa yang dimaksud dengan kausa.

Dalam hal demikian, adalah menjadi tugas doktrin untuk memberikan

kejelasan mengenai masalah tersebut. Tetapi dalam kenyataannya doktrin pun

belum dapat memberikan jawaban yang memuaskan.

Ketentuan mengenai apa yag disebut sebagai kausa sangat penting, karena

merupakan syarat untuk absahnya perjanjian dan sehubungan dengan itu,

untuk dapat dipakai sebagai pegangan untuk mengontrol perjanjian-perjanjian,

termasuk untuk menentukan kapan perjanjian tidak mengandung kausa, kapan

ada kausa yang palsu, kausa yang bertentangan dengan Undang-Undang,

kesusilaan dan ketertiban umum. Kausa inipun menjadi dasar untuk

membenarkan atau rechtvaardigen keterikatan debitur.

Sekalipun dari Undang-Undang belum mengetahui apa yang dimaksud

dengan kausa, tetapi para sarjana sepakat bahwa kausa ini bukan merupakan

“sebab” dalam arti sebagai lawan dari “akibat”. Kausa dalam arti yuridis tidak
ada sangkut-pautnya dengan ajaran kausa dalam ilmu alam. Hal tersebut

sudah nyata dari ketidakmungkinan adanya pembedaan antara kausa yang

halal dan kausa yang terlarang dalam ilmu alam.

Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif karena mengenai

orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua

syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai

perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dalam hal syarat subyektif, apabila syarat itu tidak dipenuhi, maka

perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai

hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat

meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang

memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi perjanjian

yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas

permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian

nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada

kesediaan suatu pihak yang mentaatinya.

Perjanjian yang demikian dinamakan voidable atau vernietigbaar. Ia selalu

diancam dengan bahaya pembatalan. Yang dapat meminta pembatalan dalam

hal seorang anak yang belum dewasa adalah anak itu sendiri apabila ia sudah

dewasa atau orang tua atau walinya. Dalam hal seorang yang berada di bawah

pengampuan, pengampunya. Dalam hal seorang yang telah memberikan

sepakat atau perizinannya secara tidak bebas, orang itu sendiri. Bahaya
pembatalan itu mengancam selama lima tahun (Pasal 1454 KUHPerdata), jadi

dibatasi juga oleh undang-undang. Memang segala sesuatu yang tidak tentu

itu selalu dibatasi oleh undang-undang demi untuk keamanan dan ketertiban

hukum.

Bahaya pembatalan yang mengancam itu, dapat dihilangkan dengan

penguatan oleh orang tua, wali atau pengampu tersebut. Penguatan yang

demikian itu dapat terjadi secara tegas. Misalnya orang tua, wali atau

pengampu itu menyatakan dengan tegas mengakui atau akan mentaati

perjanjian yang telah diadakan oleh anak yang belum dewasa ataupun dapat

terjadi secara diam-diam. Misalnya orang tua, wali atau pengampu itu

membayar atau memenuhi perjanjian yang telah diadakan oleh anak muda itu.

Ataupun, orang yang dalam suatu perjanjian yang telah memberikan

sepakatnya secara tidak bebas, dapat pula menguatkan perjanjian yang

dibuatnya baik secara tegas maupun diam-diam.

Dalam hal syarat obyektif apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka

perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan

suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang

mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum

adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di

depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang

demikian itu null and void.


3. Unsur-Unsur Perjanjian

Pada dasarnya dalam membuat suatu perjanjian, para pihak menentukan

sendiri bagian-bagian dan isi dari perjanjian itu sendiri. Hal tersebut sesuai

dengan ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dimana dikatakan

bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-

Undang bagi yang membuatnya.

Dari ketentuan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

sebenarnya mengenai unsur-unsur yang ada atau bahkan harus ada dalam

suatu perjanjian itu dapat ditentukan sendiri oleh para pihak yang membuat

perjanjian. Jadi unsur-unsur atau bagian-bagian yang ada dalam suatu

perjanjian yang satu dengan perjanjian yang lain, yang dibuat oleh pihak-

pihak berbeda itu bisa juga berbeda.

Mengenai hal ini KUHPerdata sendiri tidak mengatur secara jelas, namun

pada umumnya suatu perjanjian mempunyai tiga unsur atau bagian di

dalamnya. Seperti yang dikemukakan oleh Oey Hoey Tiong, bahwa suatu

perjanjian dapat terdiri dari tiga unsur atau tiga unsur pembentuk. Adapun

unsur-unsur perjanjian adalah :

1. Unsur Essensialia, merupakan bagian perjanjian yang mutlak harus ada,

tanpa bagian ini tidak mungkin ada perjanjian karena merupakan syarat

perjanjian. Syarat-syarat adanya atau sahnya perjanjian ialah adanya kata


sepakat, kecakapan para pihak, obyek tertentu dan kausa atau dasar yang

halal.

2. Unsur Naturalia, merupakan bagian dari perjanjian yang oleh Undang-

Undang diatur sebagai peraturan tambahan. Dimana unsur ini lazimnya

melekat pada perjanjian, yaitu perjanjian yang tanpa diperjanjikan secara

khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada

dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada

perjanjian.

3. Unsur Accidentalia, merupakan bagian dari perjanjian yang tidak diatur

oleh Undang-Undang tetapi oleh para pihak.17 Unsur ini harus secara tegas

diperjanjikan, misalnya mengenai tempat tinggal yang dipilih.

4. Asas-Asas Hukum dalam Perjanjian

Dalam hukum perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata dapat

dijumpai beberapa asas-asas yang penting, sebagaimana yang tercantum

dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa

semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya. Dan ayat (3) nya menyebutkan bahwa suatu

perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :

17
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), hal. 97.
1. Asas Kebebasan Berkontrak

Dalam Undang-undang Dasar 1945 dan KUHPerdata dan perundang-

undangan lainnya tidak ada ketentuan yang secara tegas menentukan tentang

berlakunya asas kebebasan berkontrak bagi perjanjian-perjanjian yang dibuat

menurut hukum Indonesia. Ada faham yang tidak setuju kebebasan berkontrak

ini diletakkan sebagai asas utama hukum perjanjian, tetapi menurut pendapat

Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, asas kebebasan berkontrak tetap perlu

dipertahankan sebagai asas utama di dalam hukum perjanjian nasional. Dalam

hukum perjanjian, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab yang

mampu memelihara keseimbangan perlu tetap dipertahankan yaitu

“pengembangan kepribadian” untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan

hidup lahir dan batin yang serasi, selaras, dan seimbang dengan kepentingan

masyarakat. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu,

sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu.

Sehingga kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk

berkontrak. Menurut sejarah, Pasal 1338 KUHPerdata yang dijadikan dasar

berlakunya asas kebebasan berkontrak di Indonesia, berpijak pada revolusi

Perancis, bahwa individu sebagai sumber kesejahteraan dan kehendak

individu sebagai dasar kekuasaan melahirkan sistem individualisme dan

kapitalisme. Pada akhir abad XIX, akibat desakan faham-faham etis dan

sosialis, faham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya

perang dunia kedua, faham ini dinilai tidak mencerminkan keadilan.


Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan,

oleh karena itu kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi

arti relatif, dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan isi

perjanjian tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak, akan tetapi perlu

diawasi oleh pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum, menjaga

keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui

penerobosan hukum perjanjian oleh pemerintah terjadi pergeseran hukum

perjanjian ke bidang hukum publik. Melalui campur tangan pemerintah ini

terjadi pemasyarakatan (vermaatschappelijking) hukum perjanjian. Asas

kebebasan berkontrak merupakan asas hukum perjanjian yang pada dasarnya

setiap orang bebas untuk mengadakan dan menentukan isi perjanjian. Buku III

KUHPerdata bersifat terbuka dan oleh karena itu menganut asas kebebasan

berkontrak. Asas kebebasan berkontrak adalah bahwa setiap orang boleh

mengadakan perjanjian apa saja walaupun belum atau tidak diatur dalam

Undang-Undang.

Asas kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 1338 ayat

(1) KUHPerdata yaitu “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku

sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Kata “semua” dalam pasal tersebut menggambarkan adanya kebebasan

berkontrak untuk membuat suatu perjanjian, dalam arti bahwa :

1. Setiap orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian


2. Setiap orang adalah bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun

juga yang dikehendaki

3. Setiap orang bebas untuk menentukan sendiri isi, syarat, dan bentuk

perjanjiannya

4. Setiap orang bebas untuk menentukan perjanjian yang dibuatnya

Bebas disini bukan berarti bebas yang sebebas-bebasnya tetapi juga ada

batasannya, yaitu tidak dilarang Undang-Undang, tidak bertentangan dengan

norma kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketentuan umum.

Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1337 KUHPerdata yaitu “Suatu sebab

adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang atau berlawanan

dengan kesusilaan atau ketertiban umum”.

Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat

disimpulkan melalui pasal 1338 ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu

perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak

tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat

dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik.

Perjanjian yang didasarkan pada iktikad buruk misalnya penipuan mempunyai

akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Sehubungan dengan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak,

hakim berwenang untuk meneliti isi suatu kontrak apabila diperlukan karena

isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam


masyarakat. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam

pasal 1338 tidak lagi bersifat absolut, yang berarti dalam keadaan tertentu

hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta

menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada

dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu

pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.

2. Asas Konsensualisme

Dalam hukum perjanjian berlaku asas konsensualisme berasal dari kata

latin “consensus” yang artinya sepakat berdasarkan asas konsensualisme,

perjanjian lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak

mengenai hal-hal pokok.18

Asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa salah satu syarat untuk sahnya perjanjian adalah kata

sepakat antara pihak yang mengikatkan dirinya. Dengan demikian dengan

adanya persesuaian kehendak telah terjadi suatu perjanjian.

Pembatasan dari asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal

1315, Pasal 1338 ayat (2) dan Pasal 1340 KUHPerdata yang berbunyi :

Pasal 1315 KUHPerdata :

“Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri

atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”

Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata :

18
Oey Hoey Tiong, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, 1985, hlm. 30.
“Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua

belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang

dinyatakan cukup untuk itu”

Pasal 1340 KUHPerdata :

(1) “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang

membuatnya”

(2) “Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ke

tiga, tak dapat pihak-pihak ke tiga mendapat manfaat karenanya,

selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317”

3. Asas Pacta Sunt Servanda (kekuatan mengikat)

Perjanjian yang dibuat secara sah yaitu perjanjian yang memenuhi syarat-

syarat Pasal 1320 KUHPerdata, berarti mempunyai kekuatan mengikat dan

berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.

Pernyataan tersebut diatas sesuai dengan bunyi Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata yaitu “Suatu persetujuan yang dibuatnya secara sah berlaku

sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam Pasal 1340

jo Pasal 1316 dan 1317 KUHPerdata, dimana dalam Pasal 1316 KUHPerdata

berbunyi meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau

menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan

berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi

terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah

berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu, jika


pihak ini menolak memenuhi perikatannya. Dalam Pasal 1317 ayat (1)

KUHPerdata yang berbunyi :

“Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji

guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang

dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang

dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu”

ayat (2) nya berbunyi :

“Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh

menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan

hendak mempergunakannya”

Mengikat perjanjian sebagai undang-undang bagi para pihak mempunyai

arti bahwa para pihak harus mentaati dan melaksanakan perjanjian seperti

yang telah mereka sepakati bersama. Asas ini diadakan dalam suatu perjanjian

guna mendapatkan kepastian bagi para pihak yang membuatnya.

4. Asas Iktikad Baik

Asas iktikad baik mempunyai maksud bahwa perjanjian harus

dilaksanakan dengan iktikad baik. Iktikad baik dapat dalam arti subyektif

maupun dalam arti obyektif.

Iktikad baik dalam arti subyektif adalah sikap batin seseorang pada waktu

akan dimulainya hubungan hukum atau dengan kata lain sikap batin seseorang

pada waktu akan membuat perjanjian.


Iktikad baik dalam arti obyektif adalah sikap batin dari para pihak dalam

melaksanakan perjanjian atau dengan kata lain adalah bagaimana para pihak

melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat hubungan

hukum dalam perjanjian. Asas iktikad baik ditemukan dalam Pasal 1338 ayat

(3) KUHPerdata yang berbunyi “Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan

dengan iktikad baik”.

5. Wanprestasi dan Akibatnya dalam Perjanjian

Wanprestasi mempunyai kata dasar berupa prestasi, secara umum prestasi

dapat dikatakan sebagai sesuatu yang diwajibkan untuk dipenuhi sesuai

dengan kesepakatan yang telah dibentuk dalam suatu perjanjian oleh salah

satu pihak dalam perjanjian.

Di dalam Undang-Undang Hukum Perdata mengatur secara tersendiri

tentang prestasi. Dalam Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan ada tiga hal

bentuk prestasi, diantaranya :

1. Memberikan sesuatu

2. Berbuat sesuatu

3. Tidak berbuat sesuatu

Dalam pelaksanaannya, apabila masing-masing pihak dalam perjanjian

memenuhi semua kewajiban terhadap prestasi yang harus dipenuhi, maka

perjanjian tersebut akan berjalan lancar atau tidak bermasalah, tetapi apabila
ada salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak dapat memenuhi salah satu

prestasi tersebut maka perjanjian itu dapat menimbulkan permasalahan. Hal

tersebut dikatakan bahwa masing-masing pihak telah melakukan wanprestasi.

Menurut R. Subekti, seseorang dikatakan telah wanprestasi atau ingkar

janji apabila :19

1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya

2. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sesuai dengan apa

yang dijanjikan

3. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Berkaitan dengan adanya wanprestasi tersebut, maka akan menimbulkan

beberapa akibat hukum yang dapat dikenakan terhadap siapa yang telah

melakukan wanprestasi tersebut. Wanprestasi itu sendiri sering disebut

sebagai suatu kelalaian.

Terhadap wanprestasi atau kelalaian dapat dikenakan beberapa sanksi

yang menghukum bagi pelakunya. Menurut R. Subekti ada empat macam

sanksi yang dapat diterapkan, yaitu :

a. Ganti rugi

b. Pembatalan perjanjian

19
Subekti, Hukum Perjanjian, hal. 95.
c. Peralihan resiko

d. Membayar biaya perkara 20

Adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, maka pihak lainnya dapat

menuntut pembatalan perjanjian. Bentuk peringatan agar debitur memenuhi

prestasinya dapat dilakukan secara tertulis yaitu dilakukan secara resmi

melalui Pengadilan yang disebut dengan Sommatie atau secara tidak resmi

yaitu melalui surat atau telegram yang disebut dengan Ingebrekestelling.

Mengenai wanprestasi atau kelalaian, dan akibat-akibat hukum yang

dapat ditimbulkan, dalam Undang-Undang Hukum Perdata sendiri mengatur

adanya hal itu. Adapun beberapa pasal yang menjelaskan mengenai hal

tersebut, diantaranya sebagai berikut :

a. Pasal 1238 KUHPerdata

Disebutkan bahwa “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat

perintah atau dengan akta sejenis itu dinyatakan lalai, atau demi

perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus

dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

b. Pasal 1267 KUHPerdata

Disebutkan bahwa “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat

memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan jika memaksa pihak

20
Op.cit., hlm. 45.
yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut

pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga”.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila terjadi wanprestasi atau

kelalaian, maka pihak yang dirugikan akibat adanya hal tersebut dapat

melakuakan beberapa tuntutan terhadapnya, diantaranya :

a. Pemenuhan perjanjian

b. Ganti rugi

c. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi

d. Pembatalan perjanjian

e. Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi

6. Berakhirnya Perjanjian

Berakhirnya perjanjian harus dibedakan dengan berakhirnya perikatan.

Hal ini dikarenakan dengan berakhirnya beberapa perikatan belum berakibat

berakhirnya perjanjian sebagai sumber perikatan. Sebagai contoh dalam jual

beli, dengan dibayarnya harga barang maka perikatan mengenai pembayaran

telah selesai, dan hal ini tidak mengakibatkan perjanjian tersebut telah

berakhir. Akan tetapi perjanjian akan berakhir apabila telah selesainya seluruh

perikatan yang ada di dalam perjanjian tersebut.

Perjanjian dapat berakhir berlaku surut, yaitu perjanjian dapat

menyebabkan berakhirnya suatu perikatan. Sebagai contoh adanya pembatalan

perjanjian sebagai akibat dari wanprestasi (Pasal 1266 KUHPerdata), maka

semua perikatan yang telah terjadi menjadi berakhir dari perikatan yang belum
terjadi, tidak perlu lagi untuk dipenuhi selain itu dapat pula perjanjian sewa

menyewa, dengan diakhirinya perjanjian maka perikatan pembayaran tentang

harga sewa harus tetap dipenuhi.

Dari uraian diatas maka dapat dilihat bahwa dengan berakhirnya

perjanjian, maka dapat mengakibatkan berakhirnya perikatan yang ada di

dalam perjanjian tersebut. Perjanjian berakhir karena beberapa hal, antara lain

sebagai berikut :

1. Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak. Misalnya perjanjian akan

berlaku untuk waktu tertentu

2. Undang-Undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian.

Misalnya ketentuan dalam Pasal 1066 KUHPerdata

3. Para pihak atau Undang Undang dapat menentukan bahwa dengan

terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan akan berakhir. Misalnya

salah satu pihak meninggal, persetujuan akan berakhir

4. Pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging). Opzegging dapat

dilakukan oleh dua belah pihak atau oleh salah satu pihak saja.

Opzegging hanya ada pada persetujuan-persetujuan yang bersifat

sementara. Misalnya persetujuan sewa menyewa

5. Persetujuan berakhir karena putusan hakim

6. Tujuan persetujuan telah tercapai

7. Dengan persetujuan para pihak


Pengertian perjanjian dengan perikatan berbeda, maka berakhirnya juga

berbeda. Sedangkan berakhirnya perikatan yang diatur dalam Pasal 1381

KUHPerdata, yaitu antara lain :

1. Karena pembayaran

2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau

penitipan

3. Karena pembaharuan hutang

4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi

5. Karena percampuran hutang

6. Karena pembebasan hutang

7. Karena musnahnya barang yang terutang

8. Karena pembatalan

9. Karena berlakunya suatu syarat batal

10. Karena lewatnya waktu


B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit

1. Pengertian Kredit

Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu credere yang artinya

percaya. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan berdasarkan

persetujuan pinjam meminjam antara pihak yang meminjamkan dengan

pihak lain dalam hal dimana pihak peminjam berkewajiban melunasi

utangnya setelah jangka waktu tertentu.

Seseorang yang memperoleh kredit berarti memperoleh kepercayaan.

Dengan demikian dasar dari kredit adalah kepercayaan. 21 Dilihat dari sudut

ekonomi, kredit diartikan sebagai penundaan pembayaran karena

pengembalian atas penerimaan uang dan atau suatu barang tidak dilakukan

bersamaan pada saatnya penerimaan, melainkan pengembaliannya

dilakukan pada masa tertentu yang akan datang.

Beberapa pakar mengemukakan mengenai pendapatnya tentang

definisi kredit, yakni H.M.A. Savelberg menyatakan bahwa kredit

merupakan dasar setiap perikatan (verbintenis) dimana seseorang berhak

menuntut sesuatu dari orang lain sebagai jaminan, dimana seseorang

menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh

kembali apa yang diserahkan itu.22 Menurut Mr. J.A. Levy merumuskan

arti hukum dari kredit yakni menyerahkan secara sukarela sejumlah uang

21
Mgs. Edy Putra, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm. 1.
22
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, 1991, hlm. 24.
untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit, penerima kredit

berhak mempergunakan jumlah uang pinjaman itu di belakang hari.23

Sedangkan menurut Muchdarsyah Sinungan memberikan pengertian kredit

yakni suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lainnya dari

prestasi itu akan dikembalikan lagi pada waktu tertentu disertai dengan

suatu kontra prestasi berupa bunga.24

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian

kredit yang diberikan oleh Savelberg dan Muchdarsyah menunjukkan pada

pengertian kredit pada umumnya, yang dapat dilihat pada kata setiap

perikatan dan kata pemberian prestasi yang mengandung pengertian bahwa

perikatan atau prestasi itu dapat terjadi atas uang, barang atau kedua-

duanya. Adapun pengertian kredit yang diberikan oleh Levy sudah

menunjuk pada perjanjian pinjam uang.

Secara yuridis formal, ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan telah ditegaskan pengertian

kredit, yakni penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan

dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam

antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian

bunga.

23
Loc.cit., Mgs. Edy Putra The’aman, 1986.
24
Op.cit., Edy Putra The’aman, hlm. 2.
Adapun persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank

dengan pihak lain (debitur) dengan syarat-syarat dan kewajiban tertentu

yang harus dipenuhi disebut perjanjian kredit. Pada praktiknya, di dalam

perjanjian kredit, penerima kredit tidak bebas untuk menentukan sendiri

tujuan dari penggunaan kredit. Penggunaan kredit juga terikat pada

program pemerintah di dalam pembangunan.

Dewasa ini kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, maka

transaksi kredit mengangkat uang sebagai alat kredit yang menjadi

pembahasan. Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dengan si

penerima kredit. Singkatnya kredit didasarkan atas komponen-komponen

kepercayaan, resiko, dan pertukaran ekonomi dimasa yang akan datang.

2. Pengertian Perjanjian Kredit

Menurut KUHPerdata, perjanjian kredit merupakan salah satu bentuk

perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam buku ketiga KUHPerdata

sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769

KUHPerdata.

Perjanjian pinjam uang menurut M. Yahya Harahap adalah termasuk

pada perjanjian peminjaman pada umumnya. Oleh karena itu, segala

ketentuan yang berkaitan dengan perjanjian pinjam-meminjam barang yang

habis dipakai berlaku juga terhadap perjanjian pinjam-meminjam uang.25

A. Hak dan Kewajiban Peminjam atau Penerima :

25
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, hlm. 45.
1. Hak Peminjam atau Penerima

a. Peminjam berhak menuntut barangnya kembali setelah melunasi

uang pinjaman dan bunga

b. Peminjam berhak menuntut ganti rugi apabila barang jaminan

rusak atau hilang karena kelalaian orang yang meminjamkan

c. Peminjam berhak meminta uang kelebihan dari hasil penjualan

barang

2. Kewajiban Peminjam atau Penerima

a. Peminjam pada waktu yang telah ditentukan berkewajiban

mengembalikan sesuatu yang dipinjamnya kepada pihak yang

meminjamkan sesuai dengan jumlah dan keadaan yang sama

pula (Pasal 1763 KUHPerdata)

b. Peminjam dalam hal tidak mampu mengembalikan barang yang

dipinjamnya dalam jumlah dan keadaan yang sama, maka ia

diwajibkan membayar harganya dalam hal mana harus

diperhatikan waktu dan tempat dimana barangnya menurut

perjanjian harus dikembalikan (Pasal 1764 ayat (1) KUHPerdata)

c. Apabila waktu dan tempat tidak ditentukan, maka peminjam

diwajibkan melakukan pelunasan menurut harga barang

pinjaman pada waktu dan tempat dimana pinjaman telah terjadi

(Pasal 1764 ayat (2) KUHPerdata)

B. Hak dan kewajiban Pemberi atau Orang yang Meminjamkan :


1. Hak Pemberi atau Orang yang Meminjamkan

a. Menerima kembali uang yang dipinjamkan dari pihak peminjam

b. Menuntut pengembalian pinjamannya apabila dalam jangka

waktu yang telah ditentukan peminjam tidak mengembalikan

sejumlah uang yang dipinjamnya

2. Kewajiban Pemberi atau Orang yang Meminjamkan

a. Pemberi pinjaman tidak dapat meminta kembali apa yang telah

diperjanjikannya, sebelum waktu yang ditentukan dalam

perjanjian tersebut berakhir (Pasal 1759 KUHPerdata)

b. Memberikan sekedar kelonggaran kepada si peminjam jika tidak

telah ditetapkan suatu waktu menurut keadaannya menuntut

pengembalian pinjamannya (Pasal 1760 KUHPerdata)

c. Jika telah diadakan perjanjian bahwa pihak yang telah meminjam

suatu barang atau sejumlah uang yang akan mengembalikannya

bila ia mampu untuk itu, maka hakim mengingat keadaan akan

menentukan waktu pengembaliannya (Pasal 1761 KUHPerdata)

Dalam suatu kehidupan masyarakat, hutang atau pinjam uang adalah

suatu hal yang dapat dikatakan juga bahwa setiap orang pernah melakukan

perjanjian pinjam-meminjam uang. Bagi debitur dalam memperoleh

jaminan uang diisyaratkan untuk menyerahkan barang miliknya atau atas

namanya, yang dipakai sebagai jaminan atau tanggungan. Maka dapat

dinyatakan bahwa jaminan adalah suatu yang diberikan kepada kreditur


untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi

kewajibannya yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu

perikatan. 26

Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa perjanjian kredit adalah

perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini

merupakan permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai

hubungan-hubungan hukum antara keduanya.27 Dalam Pasal 1763

KUHPerdata menyatakan bahwa kewajiban pokok pinjaman ialah

mengembalikan pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang sama pada

waktu yang telah ditentukan.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian kredit dapat dibedakan

menjadi dua hal, yaitu :28

a. Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Pendahuluan

Maksudnya bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan

dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil

pemufakatan antara pemberi dan penerima perjanjian mengenai hubungan-

hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil

obligatoir (perjanjian yang timbul atau terbentuk bersifat mengikat)

b. Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Standar

26
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Perikatan dan Hukum Jaminan, hal. 50.
27
Mariam Darus Madrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, hal. 77.
28
Ibid., hal. 32.
Maksudnya bahwa perjanjian yang bentuk dan isinya telah disiapkan

terlebih dahulu oleh kreditur yang kemudian diberikan kepada debitur.

Perjanjian kredit perlu mendapatkan perhatian khusus, karena perjanjian

kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian,

pengelolaan maupun dalam pelaksanaan kredit itu sendiri.

3. Tujuan Perjanjian Kredit

Adapun tujuan perjanjian kredit yaitu :

1. Untuk mencari keuntungan bagi pihak Bank (kreditur) berupa

pemberian bunga imbalan, biaya administrasi, provisi, dan biaya-

biaya lainnya yang dibebankan kepada pihak nasabah (debitur)

2. Untuk meningkatkan usaha nasabah (debitur), bahwa dengan

adanya pemberian kredit tersebut yang berupa pemberian kredit

investasi atau kredit modal kerja bagi debitur, diharapkan dapat

meningkatkan usahanya. Kredit investasi adalah kredit yang

diberikan untuk pengadaan barang modal maupun jasa yang

dimaksudkan untuk menghasilkan barang atau jasa bagi usaha yang

bersangkutan. Sedangkan kredit modak kerja adalah kredit yang

diberikan untuk membiayai kebutuhan usaha-usaha termasuk untuk

menutupi biaya produksi dalam rangka peningkatan produksi

maupun penjualan.
3. Untuk membantu Pemerintah, bahwa dengan adanya pemberian

kredit yang disalurkan oleh Bank-Bank dapat meningkatkan

pembangunan di segala sektor, khususnya di bidang ekonomi.

4. Bentuk Perjanjian Kredit

Adapun bentuk-bentuk dari perjanjian kredit adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan (Akta Bawah Tangan)

Dalam perjanjian ini diartikan bahwa pemberian kredit yang

diberikan oleh bank kepada nasabahnya hanya dibuat diantara mereka

saja yakni antara debitur dengan kreditur tanpa seorang Notaris. Dalam

perjanjian kredit bank, akta di bawah tangan yang dimaksud sudah

dibuat dan disiapkan oleh pihak Bank (kreditur) dan hanya tinggal

disepakati oleh pihak nasabah (debitur) saja. Akta di bawah tangan ini

memiliki kekuatan hukum pembuktian seperti layaknya akta notarill,

bilamana tanda tangan yang terdapat dalam akta tersebut diakui oleh

yang menandatangani. Dalam hal pembuktian dihadapan hakim, jika

salah satu pihak mengajukan bukti akta di bawah tangan dan akta

tersebut dibantah oleh pihak lawan, maka pihak yang telah mengajukan

bukti akta di bawah tangan tersebut harus mencari bukti tambahan,

seperti saksi-saksi.  Dan untuk menghindari penyangkalan tersebut, ada

baiknya akta di bawah tangan tersebut dilakukan legislasi oleh seorang

Notaris, sehingga dengan adanya legislasi tersebut akta di bawah

tangan memiliki kekuatan hukum pembuktian selayaknya akta otentik


atau notarill. Akta di bawah tangan diatur dalam Pasal 1874

KUHPerdata.

2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan seorang Notaris (Akta

Notariil atau Akta Otentik)

Dalam perjanjian ini, pihak yang menyiapkan dan membuat

perjanjian adalah Notaris, akan tetapi dalam prakteknya semua

ketentuan dalam perjanjian kredit disiapkan oleh kreditur itu sendiri,

yang kemudian diberikan kepada Notaris untuk dirumuskan kedalam

akta notarill. Dalam hal pembuktian akta notarill atau otentik ini

memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya bahwa akta

otentik dianggap benar dan sah tanpa perlu membuktikan atau

menyelidiki keabsahan terkait tanda tangan pihak-pihak yang

bersangkutan. Apabila terdapat bantahan dari pihak lawan dalam hal

pembuktian didepan hakim, maka pihak pembantahlah yang harus

melakukan pembuktian terhadap kebenaran atas bantahannya tersebut.

Akta notariil atau akta otentik ini diatur dalam Pasal 1868

KUHPerdata yang menyatakan suatu akta otentik ialah suatu akta yang

didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau

di hadapan pegawai-pehawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat

dimana akta dibuatnya.

5. Syarat Perjanjian Kredit


Syarat sah suatu perjanjian kredit sama halnya dengan syarat sah

perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :

1. Sepakat

2. Kecakapan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

6. Berakhirnya Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit tunduk pada ketentuan hukum perjanjian. Hal ini

didasarkan pada Pasal 1319 KUHPerdata, yaitu bahwa semua perjanjian

baik mempunyai nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan suatu

nama khusus, tunduk pada peraturan-peraturan umum.

Pada umumnya perjanjian dibuat agar tujuan dari perjanjian dapat

berjalan sesuai dengan kesepakatan para pihak. Apabila tujuan dari

perjanjian telah tercapai, maka hal tersebut dapat menjadi alasan

berakhirnya perjanjian kredit. Salah satunya yang menjadi dasar dari

berakhirnya suatu perjanjian kredit adalah karena tujuan dari perjanjian

telah tercapai. Bahwa masing-masing pihak dalam perjanjian kredit telah

melaksanakan kewajiban untuk mendapatkan prestasi sesuai dengan

haknya.

Perjanjian dan perikatan mempunyai hubungan yang sangat erat.

Lahirnya perjanjian menimbulkan perikatan-perikatan, namun terdapat


perikatan yang tidak dilahirkan dari perjanjian, melainkan bersumber pada

Undang-Undang. Didalam perikatan timbul karena perjanjian, maka pada

saat perjanjian itu telah berakhir akan menyebabkan perikatan didalamnya

juga berakhir.

Berdasarkan berbagai macam berakhirnya perikatan dalam Pasal 1381

KUHPerdata tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi sebab

berakhirnya perikatan dalam perjanjian kredit, yaitu :

a. Pembayaran

Pembayaran merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik berupa

pembayaran hutang pokok, bunga, denda, maupun biaya-biaya lainnya

yang wajib dibayar lunas oleh debitur secara sukarela. Dalam arti yang

sangat luas, tidak hanya dari pihak pembeli saja yang membayar uang

harga pembelian, melainkan pihak penjual pun dikatakan “membayar” jika

ia menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya. Yang wajib

membayar suatu utang bukan hanya si berutang (debitur) tetapi juga

seorang kawan berutang dan seorang penaggung utang (“borg”).

Dalam Pasal 1332 KUHPerdata menerangkan bahwa suatu perikatan

dapat dipenuhi juga oleh pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan,

selama pihak ketiga yang bertindak atas nama dan untuk melunasi

utangnya si berutang atau jika ia bertindak atas namanya sendiri, selama ia

tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.


Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau

kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang

dikuasakan oleh hakim atau oleh Undang-undang untuk menerima

pembayaran-pembayaran bagi si berpiutang. Pembayaran yang dilakukan

kepada seorang yang tidak berkuasa menerima bagi si berpiutang adalah

sah, sekedar si berpiutang telah menyetujuinya atau secara nyata telah

mendapat manfaat karenanya.

Pembayaran dengan iktikad baik dilakukan kepada seorang yang

memegang surat piutang yang bersangkutan adalah sah. Dan pembayaran

yang dilakukan kepada si berpiutang, jika ia tidak cakap adalah tidak sah,

melainkan sekedar si berhutang membuktikan bahwa si berpiutang

sungguh-sungguh mendapat manfaat dari pembayaran itu.

Debitur tidak diperkenankan memaksa kreditur untuk menerima

pembayaran utangnya sebagian demi sebagian, meskipun utang itu dapat

dibagi-bagi. Mengenai tempat pembayaran, dalam Pasal 1393 KUHPerdata

menerangkan sebagai berikut :

“Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam


perjanjian. Jika dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat, maka
pembayaran yang mengenai suatu barang tertentu, harus dilakukan di
tempat di mana barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat.
“Di luar kedua hal tersebut, pembayaran harus dilakukan di tempat
tinggal si berpiutang, selama orang itu terus-menerus berdiam dalam
keresidenan di mana ia berdiam sewaktu perjanjian dibuat, dan di dalam
hal-hal lainnya di tempat tinggalnya si berutang.”
Ketentuan dalam ayat pertama, yang menunjuk pada tempat dimana

barang berada sewaktu perjanjian ditutup adalah sama dengan ketentuan

dalam Pasal 1477 KUHPerdata dalam jual beli, dimana tempat tersebut

ditunjuk sebagai tempat dimana barang yang dijual harus diserahkan.

Ketentuan dalam ayat kedua, berlaku juga dalam pembayaran-

pembayaran dimana yang dibayarkan itu bukan suatu barang tertentu, jadi

uang atau barang yang dapat dihabiskan. Ketentuan tersebut adalah penting

untuk pembayaran yang berupa uang. Dengan demikian utang-utang yang

berupa uang pada asasnya harus dibayar di tempat tinggalnya kreditur,

dengan kata lain pembayaran harus diantarkan. Utang-utang yang menurut

Undang-undang harus dipungut di tempat tinggal debitur hanyalah utang

wesel.

b. Subrogasi

Subrogasi merupakan suatu cara peralihan piutang dalam bentuk

penggantian hak-hak kreditur oleh seseorang pihak ketiga, yang dilakukan

dengan cara melakukan pembayaran kepada kreditur yang digantikan

kedudukannya tersebut (Pasal 1400 KUHPerdata). Jadi, setelah utang itu

dibayar muncul kreditur baru yang menggantikan kedudukan kreditur lama,

utang tersebut pun hapus karena pembayaran tadi.

Subrogasi diatur dalam empat pasal perundang-undangan yaitu dari

Pasal 1400 sampai dengan Pasal 1403 KUHPerdata. Subrogasi dapat terjadi
baik dengan perjanjian maupun demi undang-undang. Subrogasi tersebut

terjadi dengan perjanjian apabila :

1. Si berpiutang (kreditur) dengan menerima pembayaran dari seorang

pihak ketiga menetapkan bahwa orang ini akan menggantikan hak-

haknya, gugatan-gugatannya, hak-hak istimewanya dan hipotik

yang dipunyainya terhadap si berutang (debitur). Subrogasi ini

harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan tepat pada waktu

pembayaran.

2. Si berutang meminjam sejumlah uang untuk melunasi utangnya,

dan menetapkan orang yang meminjami uang itu akan

menggantikan hak-hak si berpiutang, maka agar subrogasi itu sah

baik perjanjian pinjam uang maupun tanda pelunasan harus dibuat

dengan akta otentik dan dalam surat perjanjian pinjam uang harus

diterangkan, bahwa uang itu dipinjam untuk melunasi utang

tersebut sedangkan selanjutnya surat tanda pelunasan harus

menerangkan bahwa pembayaran dilakukan dengan uang yang

untuk itu dipinjamkan oleh si berpiutang (kreditur) baru.

c. Novasi

Menurut Pasal 1413 KUHPerdata ada 3 (tiga) macam cara untuk

melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi yaitu :


1. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru

guna orang yang menghutangkannya, yang menggantikan utang

yang lama yang dihapuskan karenanya.

2. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang

berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari

perikatannya.

3. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru

ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si

berutang dibebaskan dari perikatannya.

Novasi yang disebutkan di nomor satu, dinamakan novasi obyektif.

Karena yang diperbaharui adalah obyeknya perjanjian. Sedangkan yang

nomor dua dan tiga dinamakan novasi subyektif. Karena yang diperbaharui

adalah subyek-subyeknya dalam perjanjian. Jika yang diganti debiturnya

pada nomor dua maka novasi itu dinamakan subyektif passif, sedangkan

apabila yang diganti krediturnya pada nomor tiga dinamakan novasi aktif.

d. Kompensasi

Kompensasi adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan

memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik

antara kreditur dan debitur.

Dalam Pasal 1424 KUHPerdata mengatakan bahwa perjumpaan itu

terjadi demi hukum, bahkan dengan tidak setahunya orang-orang yang

bersangkutan dan kedua utang itu yang satu menghapuskan yang lain dan
sebaliknya pada saat utang-utang itu bersama-sama ada bertimbal-balik

untuk suatu jumlah yang sama.

Agar dua utang tersebut dapat diperjumpakan, perlu dua utang itu

seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat

ditagih. Kalau yang satu dapat ditagih sekarang tetapi yang lainnya baru

satu bulan lagi, maka dua utang itu tidak dapat diperjumpakan. Kedua

utang itu harus sama-sama mengenai uang atau barang yang dapat

dihabiskan dari jenis dan kualitas yang sama.

Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber utang-piutang

antara kedua belah pihak itu telah lahir, terkecuali :

1. Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara

berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya

2. Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau

dipinjamkan

3. Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang

telah dinyatakan tidak dapat disita. Dalam Pasal 1429 KUHPerdata

dijelaskan jika kita memperkenankan perjumpaan dalam hal-hal yang

disebutkan di atas, berarti mengesahkan seorang yang main hakim sendiri

atas ketentuan hukum. Dari pasal tersebut di atas mengadakan larangan

kompensasi dalam hal-hal yang demikian. Pada dasarnya kompensasi yang

dimaksud dalam Pasal 1425 KUHPerdata adalah suatu keadaan dimana dua

pihak yang saling berhutang satu sama lain, yang selanjutnya para pihak
sepakat untuk mengkompensasikan hutang piutang tersebut sehingga

perikatan utang menjadi berakhir.

C. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum

Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat berkaitan dengan rumusan

yang ada dalam kepustakaan berbahasa Belanda berbunyi

rechtsbescherming van de burgers tegen de overheid, dan dalam

kepustakaan berbahasa Inggris legal protection of the individual in relation

to acts of administrative authorities.

Pengertian perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan

sebagainya) memperlindungi. Perlindungan yang tertuang dalam Peraturan

Pemerintah No.2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan

Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat adalah suatu

bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum

atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun

mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan

kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Hukum menurut J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto

adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan

tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh

badan-badan resmi yang berwajib. Menurut pendapat R. Soeroso, hukum


adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan

tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri

memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan

menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengertian hukum yang memadai

harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah

dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi

harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk

mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.

Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang

diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik

yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis

maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu

gambaran dari fungsi hukum., yaitu konsep dimana hukum dapat

memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan

kedamaian.

Perlindungan hukum bagi rakyat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang

represif. Pada perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan

kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya

sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.


Dengan demikian, perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk

mencegah terjadinya sengketa. Sedangkan perlindungan hukum yang

represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.

Perlindungan hukum preventif bagi tindak pemerintahan sangatlah

penting artinya karena didasarkan kepada kebebasan bertindak, dengan

adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk

bersikap hati-hati dalam mengambil suatu keputusan yang didasarkan pada

diskresi.

Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan

bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia. Menurut sejarah di Barat, lahirnya

konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi

manusia tersebut diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan

kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.

D. Tinjauan Umum Tentang Jaminan

1. Pengertian Jaminan

Di dalam KUHPerdata tidak memberikan pengertian tentang jaminan

tetapi hanya mengatur ketentuan umum tentang jaminan, yaitu Pasal 1131

sampai dengan Pasal 1138 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata

menyebutkan bahwa segala kebendaan si berhutang, baik bergerak maupun


yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada di

kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

Pengertian jaminan menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah suatu

tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan atau pihak ketiga

kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.

Adapun suyanto, ahli hukum perbankan mendefinisikan jaminan adalah

penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk

menanggung pembayaran kembali suatu utang.29 Di sisi lain, Hartono

Hadisaputro berpendapat jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada

kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa kreditur akan memenuhi

kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu

perikatan.30

Di dalam praktik perbankan masalah jaminan ini sangat penting

artinya, terutama yang berhubungan dengan kredit yang dilepas kepada

nasabahnya. Dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 dinyatakan bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan

berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan

berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta

kesanggupan nasabah (debitur) untuk melunasi utangnya atau

29
Thomas Suyanto, Dasar-Dasar Perkreditan, 1998, hlm.70.
30
Hartono Hadisaputro, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, 1984, hlm. 50.
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang telah

diperjanjikan.

Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut

dikemukakan bahwa berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan

kemampuan serta kesanggupan nasabah (debitur) untuk melunasi utangnya

atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang

diperjanjikan itulah yang diartikan sebagai jaminan kredit. Dalam Pasal 8

Undang-Undang Perbankan tersebut menyatakan bahwa untuk memperoleh

keyakinan sebelum memberikan kredit, Bank harus melakukan penilaian

analisis terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha

dari debitur. Dari pasal tersebut disimpulkan bahwa agunan itu hanya

merupakan salah satu unsur dari jaminan kredit. Bahkan dijelaskan pula

bahwa bila berdasarkan unsur-unsur yang lain, Bank telah memperoleh

keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan utangnya,

agunan yang diserahkan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih

yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.

Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa kredit itu merupakan

perjanjian pinjam-meminjam uang antara Bank (kreditur) dengan nasabah

(debitur). Dalam perjanjian ini, Bank sebagai pemberi kredit percaya

terhadap nasabah dalam jangka waktu yang disepakatinya akan

dikembalikan secara lunas. Tenggang waktu antara pemberian dan


penerimaan kembali prestasi menurut Mgs. Edy Putra The’aman,31

merupakan suatu hal yang abstrak yang sukar diraba karena masa antara

pemberian dan penerimaan prestasi tersebut dapat berjalan dalam beberapa

bulan, tetapi dapat pula berjalan beberapa tahun.

Memang dapat terjadi demikian, karena dalam praktik banyak terjadi

nasabah tidak menepati waktu yang telah diperjanjikan dalam

mengembalikan pinjamannya dengan berbagai alasan. Oleh karena itu,

dalam rumusan pengertian kredit ditegaskan mengenai kewajiban nasabah

untuk melunasi utangnya sesuai dengan jangka waktunya disertai dengan

kewajibannya yang lain yaitu dapat berupa bunga, imbalan, atau

pembagian hasil keuntungan.

Hukum jaminan adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan yang

mengatur tentang jaminan itu terdapat dalam KUHPerdata, Buku 11 titel

XX dan XXI tentang gadai dan hipotek, title XIX tentang piutang-piutang

yang diistimewakan, Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak

tanggungan, Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Jaminan menurut Hasanudin Rahman adalah32

“Yang dimaksud dengan jaminan adalah tanggungan yang diserahkan


oleh debitur (pihak ketiga) kepada kreditur karena mempunyai
kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya suaru
perikatan”

31
Mgs. Edy Putra The’aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, 1989, hlm. 10.
32
Hasanudin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di Indonesia, hlm.
174.
Dari pengertian jaminan diatas dapat disimpulkan bahwa jaminan yang

baik adalah33

1. Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh

pihak yang memerlukannya

2. Yang memberiakan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti

bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi,

yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya

si penerima kredit

3. Yang tidak melemahkan potensi atau kekuatan si pencari kredit

untuk melakukan atau meneruskan usahanya.

Di dalam Pasal 1754 KUHPerdata disebutkan bahwa pinjam-

meminjam uang adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu

memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang

yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang

belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan

keadaan yang sama pula. Atas dasar pinjam-meminjam itu, pihak yang

menerima pinjaman menjadi pemilik dari barang yang dipinjam dan jika

barang itu musnah dengan cara bagaimanapun maka kemusnahan itu

adalah atas tanggungannya.

33
Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, hlm. 84.
Pada umumnya jaminan dapat dibedakan menurut berbagai segi

diantaranya : 34

1. Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh Undang-Undang dan

jaminan yang lahir karena perjanjian

2. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan yang bersifat

perorangan

3. Jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan khusus

4. Jaminan yang menguasai bendanya dan jaminan tanpa menguasai

bendanya

5. Jaminan yang mempunyai obyek benda bergerak dan jaminan atas

benda tidak bergerak

2. Macam-Macam jaminan

a. Jaminan berdasarkan sifatnya, meliputi :

1. Jaminan yang Bersifat Umum

Jaminan yang diberikan oleh debitur kepada setiap kreditur, hak-

hak tagihan mana tidak mempunyai hak saling mendahului (konkuren)

antara kreditur yang satu dengan kreditur lainnya.

Jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan

menyangkut semua harta benda milik debitur. Sebagaimana diatur

dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang menyatakan “Segala harta atau

34
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan
dan Jaminan Perorangan, hlm. 43.
hak kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak

bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di masa

mendatang, menjadi tanggungan untuk semua perikatan perorangan”.

2. Jaminan yang Bersifat Khusus

Jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur, hak-hak

tagihan mana yang mempunyai hak mendahului sehingga ia

berkedudukan sebagai kreditur privilege (hak preverent).

Jaminan yang diberikan dengan penunjukkan atau penyerahan atas

suatu benda atau barang tertentu secara khusus, sebagai jaminan untuk

melunasi utang atau kewajiban debitur, baik secara kebendaan maupun

perorangan, yang hanya berlaku bagi kreditur tertentu saja.

3. Jaminan yang bersifat Kebendaan dan Perorangan

Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak

mutlak atas suatu benda tersebut. Penggolongan jaminan berdasarkan

kebendaan meliputi hipotik, hak tanggungan, gadai, dan fidusia.

Sedangkan jaminan yang bersifat perorangan dapat berupa borgtogh

(personal guarantee) yang pemberi jaminannya adalah pihak ketiga

secara perorangan dan jaminan perusahaan yang pemberi jaminannya

adalah suatu badan usaha yang berbadan hukum. Macam-macam

jaminan kebendaan meliputi : 35

1. Gadai

35
Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, hlm. 17.
Dalam Pasal 1150 KUHPerdata disebutkan bahwa gadai adalah

suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang

diserahkan kepadanya oleh seorang debitur atau oleh orang lain atas

nama debitur, dan yang memberikan kekuasaan kepada kreditur

untuk mengambil keputusan dari barang tersebut serta didahulukan

daripada kreditur lainnya.

Hak gadai ini bersifat accessoir, artinya merupakan tambahan

saja dari perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian utang-piutang

(kredit). Perjanjian gadai ini diadakan dengan maksud untuk

menjaga jangan sampai si berutang (debitur) itu lalai membayar

kembali hutangnya. Di samping itu, hak gadai tidak dapat dibagi-

bagi, artinya sebagian hak gadai itu tidak menjadi hapus dengan

dibayarnya sebagian dari hutang. Gadai tetap mengikat seluruh

benda bergerak, yang terdiri atas :

a. Benda bergerak yang berwujud

b. Benda bergerak yang tidak berwujud, yaitu berupa berbagai hak

untuk mendapatkan pembayaran uang, yaitu yang berwujud surat-

surat piutang yang aan toonder (kepada si pembawa), aan order

(atas tunjuk), serta naam (atas nama).

Pemegang gadai berhak untuk menahan barang gadai sampai

waktu hutang dilunasi, baik hutang pokok atau bunga. Bahwa

pemegang gadai berhak mengambil pelunasan dari pendapatan


penjualan barang gadai apabila debitur tidak menepati

kewajibannya (Pasal 1155 KUHPerdata). Sedangkan kewajiban

pemegang gadai harus mengembalikan barang gadai, apabila hutang

pokok, bunga dan biaya untuk menyelamatkan barang gadai telah

dibayar lunas (Pasal 1159 KUHPerdata).

2. Hipotik

Kata hipotik atau hypotheek berasal dari Hukum Romawi yaitu

hypotheca. Dalam bahasa Belanda terjemahannya adalah

onderzetting, dan dalam bahasa Indonesia adalah pembebanan.36

Menurut Pasal 1162 KUHPerdata, hipotik adalah suatu hak

kebendaan atas benda-benda tidak bergerak untuk mengambil

penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. Hipotik

merupakan suatu hak yang bersifat accessoir karena mengikuti

suatu perikatan pokok yang telah ada antara kreditur dan debitur,

yang berupa hutang-piutang. Obyek dari hipotik harus ada pada saat

hipotik dibebankan. Pembebanan hipotik terhadap benda yang baru

akan ada di kemudian hari adalah batal. Ketentuan mengenai hal ini

diatur dalam Pasal 1175 KUHPerdata.

Menurut Pasal 1171 KUHPerdata, akta perjanjian pembebanan

hipotik harus dibuat oleh pemiliknya dengan pihak kreditur atau

36
Mariam Darus Badurulzaman, Bab-Bab tentang Hypotheek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991,
hlm. 15.
Bank secara autentik. Autentik artinya harus dibuat oleh pejabat

umum negara yang ditunjuk. Hak hipotik baru mengikat setelah

dilakukan pembukuan (pendaftaran) akta hipotik tersebut di Kantor

Pertanahan atau Kantor Syahbandar. Jika pendaftaran yang

demikian tidak dilakukan, akta hipotik yang dibuat tidak

mempunyai kekuatan mengikat kepada pihak ketiga.

3. Hak Tanggungan

Berdasarkan Pasal 12 ayat 1 huruf a dan b serta ayat 2 Undang-

Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dijelaskan

bahwa rumah susun dapat dijaminkan dengan hipotik, namun

setelah berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan maka hipotik

dihapus dan diganti dengan hak tanggungan. Hak tanggungan diatur

dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut

dinyatakan bahwa Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda

yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak

Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas

tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau

tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan

dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang


memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu

terhadap kreditur-kreditur lain.

Jadi, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan

ini, dimungkinkan adanya tanah dan bangunan, ataupun tanaman

atau hasil karya yang terdapat di atas tanah itu untuk dijaminkan

terpisah dari tanahnya. Hal ini terjadi apabila kepemilikan antara

tanah dan bangunan, tanaman atau hasil karya tersebut tidak

dimiliki oleh satu orang.

4. Jaminan Fidusia

Jaminan fidusia diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia. Fidusia adalah pengalihan

kepemilikan, berdasarkan kepercayaan. Dimana para pihak saling

memberikan kepercayaannya yakni satu pihak memberikan

kepercayaan penuh kepada piahak lain untuk mengalihkan hak

miliknya, tetapi benda-benda yang dijadikan jaminan itu merupakan

jaminan utang.

b. Jaminan berdasarkan Obyek atau Bendanya, meliputi :

1. Jaminan dalam bentuk Benda Bergerak

Dikatakan benda bergerak karena sifatnya yang bergerak dan

dapat dipindahkan. Dalam Undang-Undang dinyatakan sebagai benda

bergerak. Misalnya pengikatan hak terhadap benda bergerak. Jaminan

dalam bentuk benda bergerak dibedakan atas benda bergerak yang


berwujud yang pengikatannya dapat berupa gadai dan fidusia. Dan

benda bergerak yang tidak berwujud yang pengikatannya dengan gadai

dan cessie.

2. Jaminan dalam Bentuk Tidak Bergerak

Jaminan yang bersifat tidak bergerak dan tidak dapat dipindah-

pindahkan, sebagaimana yang telah diatur dalam KUHPerdata.

Pengikatan terhadap jaminan dalam bentuk benda tidak bergerak

berupa hak tanggungan.

c. Jaminan berdasarkan Terjadinya, meliputi :

1. Jaminan yang lahir karena Undang-Undang

Jaminan yang ditunjuk keberadaannya oleh Undang-Undang tanpa

adanya perjanjian dari para pihak, sebagaimana yang telah diatur

dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Seperti jaminna umum, hak previlege,

dan hak retensi.

2. Jaminan yang lahir karena Perjanjian

Jaminan yang terjadi karena adanya perjanjian antara para pihak

sebelumnya. Seperti gadai, fidusia, dan hak tanggungan.

3.Sifat Perjanjian Jaminan Kredit

Dalam Hukum Perdata terdapat berbagai pembedaan perjanjian sebagaimana

yang terkait dengan hukum perikatan. Perjanjian dapat dibedakan satu dengan yang

lainnya. Perbedaan yang sering dikemukakan adalah mengenai adanya perjanjian


pokok dan perjanjian accessoir. Kedua jenis perjanjian tersebut terutama ditemukan

dalam suatu kegiatan pinjaman uang.37

1. Perjanjian Pokok

Perjanjian pokok adalah perjanjian yang mendasari atau

mengakibatkan dibuatnya perjanjian lain. Perjanjian tersebut

adalah perjanjian accessoir. Salah satu contoh perjanjian pokok

adalah berupa perjanjian kredit yang dibuat bank bersama debitur

dalam rangka kegiatan usaha pemberian kredit perbankan.

2. Perjanjian Accessoir

Perjanjian Accessoir adalah perjanjian yang dibuat

berdasarkan atau berkaitan dengan perjanjian pokok. Perjanjian

accessoir timbul karena adanya perjanjian pokok yang

mendasarinya. Salah satu perjanjian ini adalah berupa perjanjian

pengikatan obyek jaminan kredit yang dibuat bank bersama

debitur atau pemilik obyek jaminan kredit.

Beberapa hal yang perlu diketahui berkaitan dengan

perjanjian pokok dan perjanjian accessoir adalah sebagai berikut :

1. Tidak ada suatu perjanjian accessoir bila sebelumnya tidak

ada perjanjian pokok. Perjanjian pengikatan jaminan hutang

dibuat karena adanya perjanjian uang. Perjanjian

37
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2007, hlm. 132.
pengikatan obyek jaminan kredit dibuat berdasarkan

perjanjian kredit yang telah ditandatangani oleh bank dan

debitur.

2. Bila perjanjian pokok berakhir maka perjanjian accessoir

harus diakhiri. Perjanjian pengikatan jaminan kredit harus

diakhiri dengan berakhirnya perjanjian kredit karena

pinjaman debitur kepada bank telah dilunasinya dan

perjanjian kredit sudah berakhir.

Dengan adanya dua jenis perjanjian yang timbul dari kegiatan

peminjaman uang, hendaknya bank menyadari pentingnya perbuatan

perjanjian pengikatan jaminan kredit bagi kelengkapan pengamanan

pemberian kreditnya.

Dalam Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku juga terdapat

ketentuan yang menegaskan keterkaitan perjanjian pengikatan jaminan hutang

dengan perjanjian pinjaman uang atau perjanjian pokok. Misalnya dalam

ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah

dan Pasal 4 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Sifat dari accessoir dari hak jaminan dapat menimbulkan akibat hukum

antara lain :

1. Adanya dan hapusnya perjanjian tambahan tergantung pada perjanjian

pokok
2. Jika perjanjian pokok batal maka perjanjian tambahan juga batal

3. Jika perjanjian pokok beralih maka perjanjian tambahan ikut beralih

4. Jika perjanjian pokok beralih karena cessie, subrogasi maka perjanjian

tambahan juga beralih tanpa penyerahan khusus

E. Tinjauan Umum tentang Bank Garansi

1. Pengertian Bank Garansi

Pada dasarnya bank garansi merupakan perjanjian penanggungan yang

diatur dalam Pasal 1820 KUHPerdata. Pemberian garansi dapat dilihat

sebagai suatu jaminan atas hutang atau pekerjaan yang harus dilakukan

oleh sesuatu pihak. Akan tetapi di sisi lain, pemberian garansi tersebut

kebanyakan merupakan salah satu model pembayaran yaitu dengan

memberikan pembayaran apabila ada hutang yang tidak terbayar atau ada

poekerjaan yang tidak terlaksana.


Menjamin atau jaminan dalam perjanjian garansi dimaksudkan sebagai

tindakan dari pihak garantor untuk menjamin bahwa jika seseorang tidak

menunaikan kewajibannya, misalnya tidak membayar hutang. Si garantor

akan melaksanakan atau mengambil alih kewajiban tersebut. Jadi, apabila

pihak Bank yang menjadi garantor, maka Bank yang akan melaksanakan

atau mengambil alih kewajiban tersebut yang biasanya berupa pembayaran

ganti rugi.

Di dalam pemberian jasa-jasa perbankan kepada nasabah, Bank dapat

memberikan jasa-jasa pemberian bank garansi, sepanjang tidak

bertentangan dari peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Bank

Indonesia. Pemberian bank garansi inisudah merupakan produk atau jasa

yang ditawarkan dalam rangka mendapatkan pendapatan (fee). Menurut

Munir Fuady, pemberian garansi oleh Bank sudah merupakan bisnis rutin

dari Bank, di mana Bank akan mendapatkan provisi. Dimana provisi

dihitung dari persentase tertentu dari jumlah yang digaransikan tersebut.

Jadi, bagi Bank telah merupakan salah satu sumber income yang bersifat

fee based. Namun demikian, sebagaimana kita ketahui bahwa bisnis Bank

sangat konservatif. Dalam arti Bank tidak boleh melakukan bisnis yang

mengandung unsure spekulatif yang tinggi, sehingga dipenuhi prinsip

kehati-hatian Bank (prudential banking).

Dalam pemberian bank garansi, Bank bertindak sebagai penanggung

atau penjamin akan mengandung risiko, maka dalam menerbitkan atau


mengeluarkan bank garansi Bank akan meminta kontra garansi atau

jaminan lawan (counter guarantee) kepada pihak yang dijamin berupa

uang tunai, deposito, surat-surat berharga, maupun harta kekayaan.

Apabila di kemudian hari pihak yang dijamin wanprestasi sedangkan

kontra garansi tidak mencukupi untuk membayar klaim atau tuntutan dari

penerima jaminan, maka hubungan antara penjamin (Bank) dan yang

dijamin (nasabah) berubah menjadi hubungan kredit. Dengan demikian,

dapat dikatakan bank garansi tidak lain adalah bentuk kredit yang

wujudnya bergantung pada suatu keadaan tertentudi waktu mendatang.

2. Syarat-syarat Bank Garansi

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam suatu bank garansi, yaitu :

1. Judul “Bank Garansi” atau “Garansi Bank”

2. Nama dan alamat bank pemberi bank garansi

3. Tanggal penerbitan bank garansi

4. Transaksi antara pihak yang dijamin dengan penerima jaminan

5. Jumlah uang yang dijamin oleh Bank

6. Tanggal berlakunya dan berakhirnya bank garansi

7. Penegasan batas waktu pengajuan klaim

8. Dalam Pasal 1831 KUHPerdata, apabila timbul wanprestasi sebelum

melakukan pembayaran, si penjamin (Bank)dapat meminta agar

benda-benda si berhutang disita dan dijual terlebih dahulu untuk

melunasi hutangnya.
3. Jenis-Jenis Bank Garansi

Sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank

Indonesia Nomor 23/KEP/DIR tanggal 18 Maret 1991 tentang Pemberian

Garansi oleh Bank, disebutkan bahwa bank garansi adalah :

1. Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh Bank yang

mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima

garansi apabila pihak yang dijamin wanprestasi

2. Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas

surat-surat berharga seperti aval dan endosemen dengan hak regres

yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi Bank apabila

pihak yang dijamin wanprestasi

3. Garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga

dapat menimbulkan kewajiban finansial bagi Bank

Untuk jenis bank garansi yang diterbitkan dalam bentuk warkat,

terdapat tiga jenis bank garansi yang sering diberikan oleh Bank kepada

nasabahnya, yaitu :

1. Bid Bond

Bid bond yaitu bank garansi yang diterbitkan oleh Bank bagi

nasabahnya agar dapat mengikuti tender atau penawaran atau suatu

proyek.

Terjadi wanprestasi apabila pihak yang dijamin tidak menerima

penunjukan untuk melaksanakan proyek, padahal ia sudah dinyatakan


sebagai pemegangnya oleh bouwheer atau pihak yang dijamin atau

pemberi proyek

2. Performance Bond

Performance Bond yaitu bank garansi yang diterbitkan oleh Bank

untuk menjamin kepatian pengerjaan suatu proyek atau untuk menjamin

performance salah satu pihak dalam suatu transaksi

Terjadi wanprestasi apabila pihak yang dijamin (nasabah) tidak

melakukan pekerjaannya sesuai dengan mutu yang telah diperjanjiakan

atau mengalami keterlambatan dalam penyelesaiannya.

3. (Advance) Payment Bond

(Advance) Payment Bond yaitu bank garansi yang diterbitkan oleh

Bank untuk menjamin pembayaran yang terlebih dahulu telah diterima

oleh pemohon bank garandsi dari pemilik proyek atau pemberi order baik

dalam bentuk uang muka, pembayran termin, maupun keseluruhan nilai

proyek.

Terjadi wanprestasi apabila pihak yang dijamin tidak melaksanakan

kewajibannya untuk melaksanakan atau mengerjakan proyek yang telah

diberikannya, padahal ia telah menerima pembayaran di muka atas

proyek tersebut dari bouwheer.

F. Tinjauan Umum Tentang Jaminan Fidusia

1. Pengertian Jaminan Fidusia


Pengertian fidusia dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 42

Tahun 1999. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas

dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya

dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik berwujud

maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang

tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap

berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima

fidusia terhadap kreditur lainnya.

Dalam Peraturan pemerintah No. 86 Tahun 2000 bahwa dalam Undang-

Undang No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia wajib didaftarkan. Hal

ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hokum kepada para pihak

yang berkepentingan.

2. Obyek Jaminan Fidusia

Benda-benda yang dapat menjadi obyek jaminan fidusia adalah sebagai

berikut : 38

a. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hokum

b. Benda bergerak

c. Benda bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotek

38
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, hlm. 23.
d. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan

e. Benda berwujud

f. Benda tidak berwujud, termasuk piutang

g. Hasil dari benda yang telah menjadi obyek fidusia

h. Hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia

i. Benda persediaan (inventory, stock perdagangan)

3. Sifat Perjanjian Jaminan Fidusia

Sebagai suatu perjanjian accessoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki

sifat sebagai berikut :39

1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok

2. Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah atau tidaknya

perjanjian pokok

3. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika

ketentuan yang dinyatakan dalam perjanjian pokok telah atau tidak

dipenuhi

Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok ini maksudnya adalah

ada atau lahirnya, berpindah dan hapusnya bergantung kepada perikatan

pokoknya, dengan konsekuensinya adalah jika dilunasinya perjanjian pokok

yang dijamin dengan jaminan fidusia maka demi hukum mengakhiri

39
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, hlm. 25.
jaminan fidusia seperti juga beralihnya perjanjian pokok kepada kreditur

baru, demi hukum berakibat turut beralihnya jaminan fidusia.

Sedangkan sebagai perjanjian bersyarat adalah bahwa perjanjian

pinjaman fidusia merupakan perjanjian bersyarat, yaitu dengan syarat batal.

Jika syaratnya dipenuhi (lunasnya perjanjian pokok), maka perjanjian itu

dengan sendirinya menjadi batal. Artinya batal tanpa perlu ada pembatalan

riil suatu keputusan pengadilan.

4. Pendaftaran Fidusia

Mengingat betapa pentingnya fungsi pendaftaran bagi suatu jaminan

hutang termasuk jaminan fidusia ini, maka Undang-Undang tentang Fidusia

yakni Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 kemudian mengaturnya

dengan kewajiban setiap jaminan fidusia untuk didaftarkan pada Kantor

Pendaftaran Fidusia. Adanya kewajiban untuk mendaftarkan fidusia ke

instansi yang berwenang bersumber dari pasal 11 Undang-Undang Nomor

42 Tahun 1999 tentang Fidusia.

Permohonan pendaftaran fidusia disampaikan kepada Kantor

Pendaftaran Fidusia dengan melampirkan pernyataan pendaftaran fidusia.

Dalam pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, Kantor

Pendaftaran Fidusia mencatat jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia

pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan

pendaftaran. Ketentuan lebih lanjut mengenai data cara pendaftaran fidusia

dan biaya pendaftaran diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam Pasal 14


ayat (1) disebutkan bahwa Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan

menyerahkan kepada penerima fidusia berupa Sertifikat Jaminan Fidusia

pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan

pendaftaran.

Menurut Pasal 13 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun

1999, bahwa permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh

penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan

pendaftaran pendaftaran jaminan fidusia. Pernyataan pendaftaran fidusia

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat hal-hal sebagai berikut :

1. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia

2. Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama dan tempat kedudukan

notaris yang membuat akta jaminan fidusia

3. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia

4. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia

5. Nilai penjaminan

6. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia

Kemudian sebagai bukti penerima fidusia memiliki hak fidusia

tersebut, maka kepadanya diserahkan dokumen yang disebut dengan

“Sertifikat Jaminan Fidusia”.

Sertifikat penjaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial, yakni

mempunyai kekuatan yang sama dengan kekuatan dari suatu putusan


pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap. Karena Setifikat Jaminan

Fidusia dikeluarkan oleh instansi yang sah dan berwenang. Dalam hal ini

Kantor Pendaftaran Fidusia, maka sertifikat tersebut mempunyai kekuatan

pembuktian yang kuat sebagai suatu akta otentik dan hanya Kantor

Pendaftaran Fidusia sebagai satu-satunya yang berwenang mengeluarkan

sertifikat penjaminan fidusia tersebut. Karena itu pula, jika ada alat bukti

Sertifikat Jaminan Fidusia dan sertifikat itu dinyatakan sah maka alat bukti

yang lain dalam bentuk apapun harus ditolak.

Para pihak tidak cukup hanya membuktikan adanya fidusia dengan

menunjukkan Akta Jaminan Fidusia yang dibuat oleh notaris.Menurut Pasal

14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, maka

dengan Akta Jaminan Fidusia tersebut lembaga fidusia dianggap belum

lahir. Lahirnya suatu fidusia adalah pada saat didaftarkannya di Kantor

Pendaftaran Fidusia.

Dalam Pasal 15 dan 16 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, bahwa

dalam sertifikat jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat

(1) dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA” . Sertifikat jaminan fidusia

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila debitur cedera


wanprestasi, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang

menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.

Apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam

sertifikat jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),

penerima fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas

perubahan tersebut kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. Kantor Pendaftaran

Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerima permohonan

perubahan, melakukan pencatatan perubahan tersebut dalam Buku Daftar

Fidusia dan menerbitkan pernyataan perubahan yang merupakan bagian

tidak terpisahkan dari sertifikat jaminan fidusia. Setelah akta jaminan fidusia

tersebut didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia, maka sertifikat jaminan

fidusia sebagai bukti bahwa penerima fidusia memiliki hak tersebut.

Sertifikat jaminan fidusia memuat hal-hal sebagai berikut :

1. Diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia

2. Sertifikat tersebut diserahkan kepada penerima fidusia

3. Tanggal dari sertifikat tersebut adalah sama dengan tanggal

penerimaan permohonan fidusia

4. Sertifikat jaminan fidusia merupakan salinan dari buku daftar fidusia


5. Isi dari sertifikat jaminan fidusia antara lain adalah hal-hal yang

disebut dalam pernyataan pendaftaran fidusia

6. Pada setifikat jaminan fidusia dicantumkan tulisan “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Berdasarkan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia, suatu jaminan fidusia lahir pada tanggal dicatatnya

jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia. Karena pendaftaran dalam buku

daftar dilakukan pada hari penerimaan permohonan. Maka tanggal lahir

jaminan fidusia adalah tanggal diterimanya permohonan pendaftaran.

Karena pada prinsipnya tidak bisa dilakukan dua kali atau lebih kepada dua

atau lebih kreditur yang berlainan.

Fidusia yang tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia dalam

tempo 60 hari dianggap tidak pernah ada. Hal tersebut termuat dalam Pasal

18 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya

jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia.

5. Eksekusi Benda Jaminan Fidusia

Eksekusi terhadap benda obyek jaminan fidusia ini, dilakukan sebagai

upaya guna melunasi hutang dari pemberi jaminan fidusia terhadap

penerima fidusia. Akan tetapi eksekusi terhadap benda ibek jaminan fidusia
dapat dilakukan apabila pemberi jaminan fidusia itu sendiri “cidera janji”.

Maksudnya “cidera janji” disini adalah “bahwa jika pemberi jaminan fidusia

tidak dapat memenuhi perikatannya dengan baik dan sebagaimana

mestinya”. Dan jika hal itu tidak terjadi, maka eksekusi terhadap benda

obyek jaminan fidusia itu sendiri tidak dapat dilakukan.40 Untuk adanya

suatu eksekusi terhadap benda obyek tersebut diperlukan adanya proses,

dimana proses yang dapat dilakukan tersebut harus cepat, murah, dan pasti.

Menurut Munir Fuady bahwa salah satu cirri dari jaminan hutang

kebendaan yang baik adalah hak tanggungan tersebut dapat dieksekusi

secara cepat dengan proses yang sederhana, efisien, dan mengandung

kepastian hukum.41

Berkenaan dengan adanya proses eksekusi tersebut, Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia yang mengatur hal itu,

beberapa ketentuan itu adalah sebagai berikut :

a.Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda

yang menjadi obyek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara :

1. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

ayat (2) oleh penerima fidusia.


40
Satrio, S.H., Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, 2002, hlm. 318.
41
Op.cit, hlm.57.
Adapun bunyi Pasal 15 ayat (2) adalah :

“Bahwa sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan

eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Yang dimaksud dengan “kekuatan eksekutorial” adalah langsung

dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta

mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.

2. Penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan

penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum, serta mengambil

pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.

3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan

pemberi dan penerima fidusia kepada pihak-pihak yang

berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam dua surat kabar

yang beredar didaerah yang bersangkutan.

Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, maka

syarat-syarat agar suatu fidusia dapat dieksekusi secara di bawah tangan

adalah sebagai berikut :

1. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dengan penerima

fidusia
2. Jika dengan cara penjualan di bawah tangan tersebut dicapai harga

tinggi yang menguntungkan para pihak

3. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia

kepada pihak-pihak yang berkepentingan

4. Diumumkan dalam sedikit-dikitnya dalam dua surat kabar yang

beredar di daerah yang bersangkutan

5. Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu satu bulan sejak

diberitahukan secara tertulis

b. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, berbunyi :

“Pemberian fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek


fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia”.
Kemudian dijelaskan lebih lanjut ketentuan diatas dalam

penjelasannya bahwa dalam hal pemberi fidusia tidak menyerahkan

benda yang menjadi obyek jaminan fidusia pada waktu eksekusi

dilaksanakan. Penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi

obyek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak

yang berwenang.

c. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, berbunyi :

“Dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusia terdiri atas
benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa,
penjualannya dapat dilakukannya ditempat-tempat tersebut sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
d. Pasal 32 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, berbunyi :

“Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang


menjadi obyek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal demi
hukum”.
e. Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, berbunyi :

“Setiap janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia


untuk memiliki benda yang menjadi obyek jaminan fidusia apabila
debitur cidera janji, batal demi hukum”.
f. Pasal 34 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, berbunyi :

(1)“Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai jaminan, penerima fidusia


wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia”.
(2)”Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang,
debitur tetap bertanggungjawab atas utang yang belum terbayar”.
6. Berakhirnya/Hapusnya Jaminan Fidusia

Di dalam Pasal 25 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa :

a. Jaminan Fidusia berakhir karena hal-hal sebagai berikut :

3. Berakhirnya utang yang dijamin dengan fidusia

2. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia

3. Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia


b. Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tidak

menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf

c. Penerima fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia

mengenai berakhirnya jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) dengan dengan melampirkan pernyataan mengenai berakhirnya utang,

pelepasan hak atau musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia

tersebut.

Sebagai suatu perjanjian yang bersifat accessoir, jaminan fidusia ini

berakhir demi hukum apabila hutang pada perjanjian pokok yang menjadi

sumber lahirnya perjanjian penjaminan fidusia dan utang yang dijamin

dengan jaminan fidusia berakhir. Jaminan fidusia berakhir karena adanya

pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia. Hak jaminan yang

diberikan kepada kreditur penerima fidusia adalah untuk melindungi

kepentingan kreditur, maka diperbolehkan kepada pihak yang mempunyai

hak untuk menggunakan atau tidak hak tersebut.

Selain itu jaminan fidusia juga dapat berakhir dengan musnahnya benda

yang menjadi obyek jaminan fidusia. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal

1444 KUHPerdata yang menyatakan bahwa :

“Jika barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian musnah, tidsak


lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian rupa sehingga sama
sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah
perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya
berhutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya”
Dalam hal hapusnya jaminan fidusia karena utang yang dijamin dengan

fidusia telah hapus, maka tidak perlu dilakukan pengalihan kembali atas hak

kepemilkan oleh penerima fidusia kepada pemberi fidusia. Hal ini

disebabkan karena pengalihan hak kepemilikan atas obyek jaminan fidusia

dilakukan pemberi fidusia kepada penerima fidusia sebagai jaminan atas

kepercayaan bahwa hak kepemilikan tersebut dengan sendirinya akan

kembali bilamana utang tersebut lunas.

Atas hapusnya jaminan fidusia tersebut, maka penerima fidusia harus

memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya

jaminan fidusia. Pada saat pemberitahuan tersebut harus dilampirkan

pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak, atau musnahnya

benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut. Dengan adanya

ketentuan seperti itu akan berguna untuk memberikan kepastian kepada

Kantor Pendaftaran Fidusia untuk menghapus pencatatan jaminan fidusia

dari Buku Daftar Fidusia dan menerbitkan surat keterangan yang

menyatakan Sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak berlaku

lagi.

Anda mungkin juga menyukai