Anda di halaman 1dari 25

BAB IV

PERJANJIAN FIDUSIA DALAM PRAKTEK BANK

A. FUNGSI YURISDIS JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENGAMAN


KREDIT BANK

Dalam rangka untuk menjalankan fungsi perbankan sebagai penyalur dana


kepada masyarakat, bank melakukan secara aktif usahanya yakni memberikan
kredit kepada pihak nasabah debitur. Bank memberikan kredit didasarkan kepada
prinsip kehati-hatian. Prinsip irii terlihat dalam sistem penilaian yang dilakukan
bank yaitu prinsip keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur
untuk melunasi kewajibannya. Sistem penilaian dengan melakukan analisis
terhadap "keyakinan"1) tersebut hanya merupakan suatu paradigma bank dengan
menggunakan beberapa faktor sebagai indikator.

Sebelum dikeluarkannya LJndang-undang Nomor 7 Tahun 1992, faktor-


faktor yang dijadikan sebagai pedoman untuk menilai permintaan kredit adalah
watak, kemampuan, modal, jaminan dan kondisi-kondisi ekonomi.2) Sekarang
terjadi perubahan yakni untuk memperoleh keyakinan, sebelum tnemberikan
kredit, bank harus melakukan penilaian yang saksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitur. Walaupun
ada perbedaan istilah dan substansi yang dipakai, tetapi dalam praktik bank di
Sumatera Utara selalu dipergunakan sistem penilaian dengan menggunakan
prinsip 5 C's yakni Character (watak, kepribadian), Capital (modal), Collateral
(jaminan, agunan), Capacity (kemampuan), dan Conditions of Economic (kondisi
ekonomi).3)

Penilaian watak menyangkut masalah reputasi dari calon nasabah debitur,,


artinya calon nasabah. debitur memper-gunakan kredit sesuai dengan tujuan dan
selalu memenuhi kewajibannya membayar kredit tepat pada waktu yang
diperjanjikan.

Penilaian kemampuan menyangkut kemampuan calon nasabah debitur


dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya sehingga berjalan lancar.
Dengan kondisi usaha yang menguntungkan dan kejelasan pertambahan
pendapatan nasabah debitur pasti mampu membayar hutang pokok dan bunganya.
Penilaian modal menyangkut masalah besarnya modal yang dimiliki calon
nasabah debitur. Semakin besar jumlah modal yang dimiliki oleh nasabah debitur
akan semakin baik karena keterlibatan nasabah debitur terhadap maju dan
mundurnya usaha akan menjadi besar.

1
Kata "keyakinan" tidak dikenal dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 1967, tetapi baru
muncul dan dinyatakan sebagai norma hukum perbankan dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
2
Penjelasan Pasal 24 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967.
3
Hasil wawancara tgl. 8 Oktober 2001 dengan Bank A dan B (bukan nama sebenarnya).
Penilaian jaminan atau agunan menyangkut ten tang harta benda milik
nasabah debitur atau dapat juga milik pihak ketiga yang merupakan jaminan
tambahan dan merupakan jalan terakhir untuk mengamankaan penyelesaian
kredit.
Penilaian kondisi ekonomi menyangkut masalah situasi perekonomian dan
politik secara makro artinya kondisi dan situasi yang memberikan dampak positif
bagi prospek usaha nasabah debitur.

Dari 5 (lima) faktor penilaian yang dilakukan bank, faktor terpenting yang
berfungsi sebagai pengaman yuridis dari kredit yang disalurkan adalah jaminan
kredit. Fungsi yuridis ini berkaitan erat dengan tujuan jaminan yakni sebagaimana
dikatakan bahwa the purpose of a security interest is to confer property rights
upon someone to whom a debt is due.4)

Belum ada pemahaman yang sama mengenai pengertian jaminan kredit.


Sebagian kalangan perbankan menafsirkan jaminan kredit adalah keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai yang
diperjanjikan.5) Sebagian lagi menafsirkan bahwa jaminan kredit yang
dimaksudkan adalah agunan yang diberikan nasabah debitur. Perbedaan
pandangan ini menunjukkan bahwa jaminan kredit dapat diartikan dalam arti luas
dan sempit. Dalam arti luas, jaminan kredit bukan saja persoalan agunan yang
diberikan nasabah debitur tetapi juga meliputi faktor-faktor lain seperti
bonafiditas dan prospek usaha. Dalam arti sempit, jaminan kredit hanya ditujukan
kepada benda agunan yang diberikan nasabah debitur yang lazim disebut dengan
jaminan tambahan berupa harta benda.

Menurut ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998,


meminta jaminan kredit sebagai jaminan tambahan bukanlah suatu kewajiban
bank. Yang wajib dijadikan jaminan adalah yang berkaitan secara langsung
dengan objek yang dibiayai. Pemberian kredit tanpa jaminan tambahan lazim
disebut dengan unsecured loans. Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa
jaminan tambahan itu dapat berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak.
Jaminan tambahan yang merupakan benda tidak bergerak adalah tanah, tanah
beserta rumah/bangunan, kapal laut yang melebihi berat 20 meter kubik.

Pada umumnya, yang diterima bank adalah tanah yang sudah bersertifikat
dengan bentuk perjanjian jaminannya adalah hak tanggungan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996,
pengikatan atas tanah belum bersertifikat dilakukan dengan menggunakan surat
kuasa jual atau perjanjian penyerahan jaminan dan pemberian kuasa. 6) Kedua

4
Adrian J. Bradbrook, Op.cit, h,708
5
Bank BN1, Hukum Pengikatun Agunan dan Penanggungan Hutang, (Jakarta, 1994), h.3
6
Perjanjian Penyerahan Jaminan dan Pemberian Kuasa (PPJPK) adalah produk Bank BNI
untuk mengatasi masalah perjanjian atas tanah yang status haknya tidak atau belum dapat
diikat dengan hipotik (sekarang hak tanggungan).
bentuk pengikatan jaminan baik surat kuasa jual maupun perjanjian penyerahan
jaminan dan pemberian kuasa bukanlah suatu lembaga jaminan yang dapat
memberikan perlindungan hukum bagi bank, tetapi hanya merupakan bentuk
pengikatan jaminan yang berlaku di lingkungan bank masing-masing.
Konsekuensi yuridisnya bagi kreditur adalah hanya sebagai kreditur konkuren.
Bentuk pengikatan jaminan yang demikian dinamakan kuasa jaminan atau
jaminan semu. Setelah keluarnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, kalangan
perbankan di kota Medan tidak menerima lagi tanah yang belum bersertifikat
dijadikan sebagai agunan, padahal tanah belum bersertifikat merupakan objek hak
jaminan. Sebaliknya, di luar kota Medan tanah yang belum bersertifikat seperti
Surat Ganti Rugi Tanah yang dikeluarkan oleh Camat dapat diterima sebagai
agunan kredit bank. Praktik pemberian kredit dengan agunan tanah belum
bersertifikat hanyalah dilaksanakan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI Unit).

Jaminan tambahan yang merupakan benda bergerak adalah mobil, stok


barang dagangan, truk, barang setengah jadi, kapal yang berukuran tidak lebih
dari 20 meter kubik. Bentuk perjanjian jaminannya adalah jaminan fidusia.
Sebagian kalangan perbankan dan notaris mengatakan bahwa jaminan fidusia
hanya merupakan jaminan pelengkap dari jaminan hak tanggungan. Sebagian lagi
berpendapat bahwa jaminan fidusia bukan sebagai pelengkap dari hak tanggungan
melainkan tanpa hak tanggungan pun, pihak bank akan memberikan kredit dengan
jaminan fidusia. Dari hasil penelitian tersebut, terlihat masih ada anggapan bahwa
jaminan fidusia bukanlah hal yang primer, tetapi suatu jaminan yang bersifat
sekunder sebagai pelengkap dari hak tanggungan. Pandangan ini kurang tepat,
karena jika dilihat dari sistem hukum jaminan kebendaan, jaminan fidusia dan hak
tanggungan memiliki kekuatan yuridis yang sama, hanya berbeda dalam hal
objeknya. Jaminan fidusia selalu lebih kecil rtilai pinjaman kreditnya jika
dibandingkan dengan pinjaman kredit yang diberikan lewat pengikatan hak
tanggungan. Namun, menurut kalangan perbankan dan notaris, secara yuridis hak
tanggungan dan jaminan fidusia memiliki fungsi pengaman yang sama dalam
perjanjian kredit yakni sebagai jaminan kebendaan yang diakui dalam hukum
positif.

Jaminan fidusia adalah salah satu sarana perlindungan hukum bagi


keamanan bank yakni sebagai suatu kepastian bahwa nasabah debitur akan
melunasi pinjaman kredit. Perjanjian jaminan fidusia bukan suatu hak jaminan
yang lahir karena undang-undang melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu
antara bank dengan nasabah debitur. Oleh karena itu, fungsi yuridis pengikatan
jaminan fidusia lebih bersifat khusus jika dibandingkan jaminan yang lahir
berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata. Fungsi yuridis pengikatan benda jaminan
fidusia dalam akta jaminan fidusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
perjanjian kredit. Kerterkaitan fungsi yuridis jaminan fidusia sebagai pengaman
kredit bank dapat dilihat dari beberapa model akta jaminan fidusia sebelum dan
sesudah berlakunya UUJF sebagai berikut:
Model pertama berbunyi:
Bahwa untuk kbih menjamin terbayarnya dengan segala sesuatu yang
terutang dan hams dibayar okh Debitur sebagaimam diatur dalam Perjanjian
Kredit Pemberi Fidusia diwajibkan untuk memberikan Jamimn Fidusia atas stock
barang-barang milik Pemberi Fidusia untuk kepentingan Penerima Fidusia
sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini.
Bahiva untuk memenuhi ketentuan tentang pemberian jaminan yang
ditentukan dalam Perjanjian Kredit, Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia telah
semufakat dan setuju, dengan ini mengadakan perjanjian sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 (seribu sembilan ratus
sembilan puluh sembilan), tentang Jaminan Fidusia sebagaimana yang liendak
dinyatakan dalam akta ini.7)
Model kedua berbunyi:
Para pihak nienerangkan terlebih dahulu bahwa antara Bank dengan
penghadap (selanjutnya disebut "Debitur/ Penjamin/Pemberi Fidusia) telah
dibuat dan ditanda tangani Surat Perjanjian Kredit, dibuat di bawah tangan
berrmterai cukup, iertanggal hari ini, nomor 1.137/ 04/PK/SAX/2001
(selanjutnya disebut Perjanjian Kredit).

Bahwa untuk kbih menjamin pembayaran hutang tersebut dengan baik Bank
memerlukan jaminan.
bahwa penjamin bersedia memberikan jaminan sebagaimana ditentukan
dalam Perjanjian Kredit tersebut di atas yaitu atas sebuah kendaraan mobil, roda
empat (4) Merk Dailmtsu/S 89 RPR 1300 CC, akan disebut milik Pemberi Fidusia
untuk kepentingan Bank selaku Penerima Fidusia.8)
Model ketiga berbunyi:
Untuk lebih menjamin pembayaran kembali dengan tertib dan dengan
semestinya pembiayaan berikut margin keuntungan Pemberi Fidusia kepada bank
yang timbul karena Perjanjian Pembiayaan Al Murabaliah yang telah diberikan
berdasarkan Perjanjian Pembiayaan Al Murabahah, tertanggal Iwri ini,
nomornya berturut dengan nomor akta ini, yang telah dibuat antara Bank dan
Pemberi Fidusia, Pemberi Fidusia dengan ini menyerahkan kepada
bank/Penerima Fidusia hak milik secara kepercayaan atas objek jaminan fidusia
yaitu 1 (satu) buah sepeda motor Merk Honda/NF 100, Model Sepeda Motor R2,
tahun 2000 (dua ribu), warm hitam, Nomor rangka MHIKEV21XYK221466,
Nomor Mesin KEVZE1218762, Nomor Polisi BK 6047 FJ, Surat Kendaraan
tersebut terdaftar atas nama pemberi fidusia sebagaimana ternyata pada Buku
Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).9)
7
Dikutip dari Akta Jaminan Fidusia Nomor 2 tanggal 18 September 2001 yang dibuat oleh
notaris Anton (bukan nama sebenarnya) di Medan. Pihak pemberi kredit adalah bank
pemerintah dan nasabah debiturnya adalah Perseroan Terbatas,
8
Dikutip dari Akta Penyerahan Jaminan Secara Fidusia Nomor 65 tanggal 20 September 2001
yang dibuat notaris Linda (bukan nama sebenarnya) di Binjai. Pihak pemberi kredit adalah
Bank Perkreditan Rakyat dan nasabah debiturnya adalah pedagang,

9
Dikutip dari Akta Penyerahan Benda Secara Fidusia Sebagai Jaminan Nomor 11 tanggal 20
November 2000 yang dibuat notaris Budi (bukan nama sebenarnya) di Medan. Pihak pemberi
kredit adalah Bank Muamalat Indonesia dan nasabahnya adalah pegawai swasta.
Dengan fungsi yuridis jaminan fidusia yang dinyatakan dalam akta jaminan
fidusia semakin meneguhkan kedudukan bank sebagai kreditur preferen. Selain
itu, kreditur penerima fidusia akan memperoleh kepastian terhadap pengembalian
hutang debitur. Fungsi yuridis itu juga akan mengurangi tingkat risiko bank dalam
menjalankan usahanya sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang
Perbankan.

A. PERUBAHAN STATUS YURIDIS ATAS KEMILIKAN


BENDA JAMINAN FIDUSIA

Kemilikan benda yang menjadi objek jaminan fidusia masih merupakan


suatu problem hukum yang harus diberikan kejelasannya. Pengertian kemilikan
benda dalam hukum jaminan memiliki makna yang luas yakni mencakup hak
milik atas benda dan hak penguasaan atas benda. Jika seorang debitur
menyerahkan harta benda sebagai jaminan kepada krediturnya berarti sebagian
kekuasaan atas kemilikan benda itu telah beralih kepada kreditur.

Jaminan fidusia sebagai salah satu jaminan kebendaan yang dikenal dalam
hukum positif, memberikan keuntungan secara ekonomis bagi para pelaku usaha
bisnis jika dibandingkan dengan lembaga gadai. Keuntungan tersebut dapat dilihat
dari adanya penguasaan benda jaminan sehingga kegiatan usaha bisnis dapat
berjalan dan pinjaman kredit dapat dikembalikan secara lancar.

Menurut teori fidusia, pemberi fidusia menyerahkan secara kepercayaan hak


miliknya sebagai jaminan hutang kepada penerima fidusia. Penyerahan hak milik
atas benda jaminan fidusia tidaklah sempurna sebagaimana pengalihan hak milik
dalam perjanjian jual beli.10) Yang ditonjolkan dalam penyerahan hak milik secara
kepercayaan itu adalah sifat dinamikanya, overdracht atau levering-nya yaitu
penyerahan yuridis sudah terjadi. Kreditur memiliki sebatas jaminan hutang.11)
Dalam perjanjian jaminan fidusia, pengalihan hak masih bergantung kepada
suatu syarat, yakni apabila pemberi fidusia melakukan wanprestasi. Hal ini berarti
bahwa kreditur penerima jaminan fidusia belum sepenuhnya sebagai pemilik
benda.
Hak miliknya bersifat terbatas sebagai pemilik jaminan. Oleh karena itu,
dalam praktik perkreditan dengan jaminan masih terdapat dua gejala hukum yang
masih belum tuntas pemecahannya yakni pertama, pemberi jaminan fidusia sejak
ditandatangani akta perjanjian fidusia berubah kedudukannya sebagai peminjam
pakai atau peminjam pengganti atau peminjam atau pemakai dan bukan lagi

10
Pasal 1459 KUH Perdata
11
Sumardi Mangunkusumo, Op.cit, h. 5.
sebagai pemilik benda.12) Kedua, pemberi jaminan fidusia bukan pemilik benda
secara yuridis tetapi sebagai pemilik manfaat.13)

Dalam hal yang pertama, pengalihan hak milik atas benda jaminan fidusia
membawa akibat hukum bahwa debitur pemberi jaminan fidusia semula sebagai
pemilik kemudian berubah sebagai peminjam pakai. Sebaliknya, dalam hal yang
kedua pihak debitur pemberi jaminan fidusia tetap merupakan pemilik benda
jaminan yang memanfaatkan barang tesebut sedangkan kreditur penerima jaminan
fidusia hanya menerima penyerahan benda sebagai jaminan hutang dalam arti
yuridis. Konsekuensi pendirian tersebut menciptakan dua aliran. Aliran pertama
berpendapat bahwa dalam perjanjian jaminan fidusia, tidak terjadi pemisahan hak
milik. Aliran kedua berpendapat bahwa dalam perjanjian jaminan fidusia terjadi
pemisahan hak milik. Dalam sistem eropa kontinental, tidak dikenal adanya
konsep pemisahan hak milik, sedangkan dalam sistem anglo saxon penguasaan
atas hak milik benda dapat terpisah seperti pada konsep trust yang dikenal dengan
hak milik secara yuridis dan hak milik secara ekonomis. Konsep pemisahan hak
milik tersebut berlaku juga bagi jaminan fidusia sebagaimana yang dikatakan oleh
O.K. Brahn.

Dalam salah satu model perjanjian jaminan fidusia yang dibuat di bawah
tangan dengan judul "Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan (Fidusia)
Sebagai Jaminan" dikatakan sebagai berikut:
Peminjam menyatakan bahwa mobil tersebut akan dipegang oleh peminjam
sebagai trustee dari bank dan surat-suratnya bila diminta dapat dialihkan
sebagaimana mestinya kepada bank dan untuk maksud tersebut akan disimpan
oleh bank.
Di dalam norma perjanjian yang dibuat oleh pihak bank tersebut, terlihat
bahwa debitur pemberi jaminan fidusia bertindak sebagai trustee dari kreditur
penerima jaminan fidusia. Hal ini menunjukkan adanya perubahan pengertian dari
kemilikan benda jaminan fidusia. Pemahaman mengenai penyerahan kemilikan
benda jaminan fidusia tidak dapat dilepaskan dalam hubungannya dengan karakter
perjanjian jaminan fidusia sebelum dan sesudah UUJF.

Menurut teori kemilikan (title theory), bahwa dalam perjanjian jaminan


fidusia, kreditur adalah sebagai pemilik yang sempurna dari benda yang
dijaminkan. Berdasarkan teori mi perjanjian jaminan fidusia memiliki karakter
perorangan. Teori ini merupakan awal dari perkembangan jaminan fidusia yang
masih bersifat konvensional dan kurang dapat menjawab persoalan hukum
jaminan fidusia secara memuaskan.

12
Istilah peminjam pakai atau peminjam pengganti atau peminjam atau pemakai dijumpai
dalam akta perjanjian jaminan fidusia baik di lingkungan bank maupun lembaga bisnis
pembiayaan, baik sebelum maupun sesudah UUJF.
13
Hasil wawancara dengan notaris Anton, notaris Leni tgl. 2 dan 3 November di Medan, notaris
Ahmad, notaris Ida tgl. 16 September di Deli Serdang, notaris Ayu tgl. 5 Oktober di Kisaran,
notaris Siti tgl. 22 Oktober di Padang Sidempuan
Menurut teori jaminan (liens theory), bahwa perjanjian jaminan fidusia
merupakan analog! dari gadai dan memiliki karakter kebendaan. Kreditur
penerima jaminan fidusia hanya sebagai pemilik yang terbatas dalam arti sebagai
pemilik jaminan.

Setelah lahirnya UUJF, terjadi perubahan pandangan bahwa karakter


jaminan fidusia bukan sebagaimana yang dikenal dalam teori kemilikan dan
bukan pula sebagai analogi dari gadai tetapi merupakan perjanjian kebendaan
yang murni dan diatur secara tersendiri dalam undang-undang sebagai
bagian dari sistem hukum jaminan kebendaan. Dengan karakter kebendaan,
status kreditur penerima jaminan fidusia hanya sebagai pemilik benda jaminan,
Dilihat dari aspek hukum perikatan, hak kreditur sebagai pemilik benda jaminan
baru muncul apabila dipenuhinya syarat tangguh yang tercantum dalam Pasal
1263 KUH Perdata.

Jadi, dengan syarat menangguhkan ini, menyebabkan suatu perikatan belum


lagi mempunyai daya kerja perikatan atau pemenuhan perikatan belum lagi dapat
dilaksanakan.14) Lahirnya kemilikan benda jaminan fidusia bagi kreditur adalah
pada saat dilakukan pendaftaran di kantor pendaftaran fidusia.

Dalam praktik perkreditan, masih dijumpai adanya perjanjian jaminan


fidusia yang tidak didaftarkan.15) Alasannya, perjanjian kredit dengan jaminan
fidusia dibuat untuk jangka waktu yang pendek dan nilai jaminannya kecil.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakter perjanjian jaminan


fidusia berubah dan berkembang sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakatnya.

B. JAMINAN FIDUSIA BUKAN MERUPAKAN PERJANJIAN


YANG BERDIRI SENDIRI

Sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999, para ahli hukum


masih berbeda pendapat mengenai sifat perjanjian jaminan fidusia. Pendapat
pertama mengatakan bahwa perjanjian jaminan fidusia besifat assesor dan
pendapat kedua mengatakan perjanjian jaminan fidusia bersifat berdiri sendiri
(zelfstandig). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian jaminan fidusia
merupakan perjanjian yang lahir dan tidak terpisahkan dari perjanjian kredit bank.
Hal ini berarti bahwa perjanjian jaminan fidusia tidak mungkin ada tanpa
didahului oleh suatu perjanjian lain yang disebut perjanjian pokoknya.

Dalam praktik bank, keterkaitan sifat perjanjian jaminan fidusia dengan


perjanjian kredit dapat dilihat dari isi akta perjanjian jaminan fidusia baik sebelum
dan sesudah lahirnya UJF. Sebelum keluarnya UUJF perjanjian jaminan fidusia
14
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, dalam Rangka Menyambut
Masa Purnabakti Usia 70 Tahun, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), h. 40
15
Hasil wawancara dengan Bank D (bukan nama sebenarnya) di Medan, tgl. 11 Juni2001.
dilakukan dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta notaris. Hasil penelitian ini
masih menunjukkan adanya kesamaan dengan laporan penelitian fidusia tahun
1989 yang mengatakan bahwa dalam praktik pengikatan jaminan fidusia atas
benda bergerak dapat dilakukan dengan akta notaris (58,6%) dan akta di bawah
tangan (41,4%).16)

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa belum ada kepastian tentang bentuk


perjanjian jaminan fidusia. Hal ini karena tidak ada ketentuan yang mengaturnya.
Namun, sudah menjadi kebiasaan di kalangan perbankan bahwa perjanjian
jaminan fidusia harus dibuat secara tertulis. Oleh karena itu, terdapat model-
model perjanjian jaminan fidusia sesuai dengan keinginan masing-masing bank.
Setiap model perjanjian jaminan fidusia memiliki karakteristik tersendiri baik dari
segi bentuk maupun isi perjanjiannya. Munculnya keanekaragaman model
perjanjian jaminan fidusia didasarkan kepada asas kebebasan berkontrak.

Berbeda keadaannya setelah keluarnya UUJF, bentuk perjanjian jaminan


fidusia ditentukan secara tegas yakni dibuat dengan akta notaris. 17) Salah satu
alasan pembentuk undang-undang menetapkan akta notaris adalah bahwa akta
notaris merupakan akta otentik sehingga memiliki kekuatan pembuktian
sempurna.18) Alasan yang sama juga dikemukakan oleh para notaris.19)

Penegasan bentuk perjanjian jaminan fidusia dengan akta notaris oleh


pembentuk UUJF harus ditafsirkan sebagai norma hukum yang memaksa
(imperatif bukan bersifat fakultatif), artinya apabila perjanjian jaminan fidusia
dilakukan selain dalam bentuk akta notaris, secara yuridis perjanjian jaminan
fidusia tersebut tidak pernah ada. Hal ini akan semakin jelas jika dikaitkan dengan
proses terjadinya jaminan fidusia ketika dilakukan pendaftaran di kantor
pendaftaran fidusia. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia harus dilengkapi
dengan salinan akta notaris tentang pembebanan jaminan fidusia.20) Konsekuensi
yuridis selanjutnya adalah merupakan rangkaian yang sangat penting dan
menentukan kelahiran jaminan fidusia.21)

Dalam praktik perkreditan, masih ditemukan bahwa bentuk perjanjian


jaminan fidusia dapat dibuat dengan akta di bawah tangan seperti yang dilakukan
oleh lembaga pembiayaan bisnis leasing di kota Medan. Dari dokumen perjanjian
dapat diketahui bahwa judul perjanjian yang dibuat antara lembaga bisnis leasing
16
Laporan Penelitian Fidusia, Tim Peneliti Hukum Jaminan Kerjasama Bidang Hukum Belanda
dengan Indonesia, (Medan, 1989), h. 10.
17
Pasal 5 ayat (1) UUJF.
18
Ratnawati W. Prasodjo, Pokok-Pokok Undang-undang Nomor 42 Tabun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia, Majalah Hukum Trisakti, Nomor 33/Tahun XXIV/ Oktpber/1999,h.l6.
19
Hasil wawancara dengan notaris Anton, Budi, Leni di Medan, notaris Ahmad, Ida di Deb
Serdang, notaris Ayu di Kisaran, notaris Siti di Padang Sidempuan.
20
Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000.
21
Pasal 14 ayat (3) UUJF.
sebagai kreditur dengan konsumen sebagai debitur adalah perjanjian pembiayaan
dengan penyerahan hak milik secara fidusia.
Salah satu syarat perjanjian itu berbunyi sebagai berikut:
Kreditur dengan ini memberikan fasilitas pembiayaan kepada debitur
sebagaimana debitor telah menerima pemberian fasilitas
pembiayaan dari kreditur dalam bentuk penyediaan dana guna pembelian
kendaraan bermotor (sdanjutnya disebut barang) yang dibutuhkan debitur dari
pihak penjual.
Selanjutnya, dibuat surat pernyataan bersama antara penjual dengan
debitor, antara lain isinya adalah:
Pihak penjual mengakui dan membenarkan telah menjual secara tunai dan
menyerahkan satu unit kendaraan bermotor kepada debitur dengan spesifikasi
tertentu, yang dananya didapat dari fasilitas pembiayaan yang diberikan okh
lembaga bisnis leasing sebagaimana yang tersebut dalam perjanjian pembiayaan
dengan penyerahan hak milik secara fidusia kepada debitur sebagaimana debitur
mengakui dan membenarkan telah membeli dan menerima satu unit kendaraan
bermotor dari pihak penjual.
Pihak debitur telah mengikatkan diri menyerahkan hak milik atas
kendaraan bermotor tersebut kepada lembaga bisnis leasing sesuai dengan
perjanjian pembiayaan.
Pihak penjual memiliki kewajiban:
a. bagi kendaraan baru, mengurus pembuatan dokumen kendaraan
bermotor (STNK dan BPKB) sampai selesai dan selanjutnya menyerahkan BPKB,
salinan fakur dan fotocopi STNK kepada lembaga bisnis leasing.
b. bagi kendaraan bekas pakai, menyerahkan fotocopi, salinan faktur,
blanko kwitansi, fotocopi KTP atas nama pemilik terakhir BPKB dan BPKB asli
kepada lembaga bisnis leasing dan dokumen pelengkapnya pada saat
pemndatanganan perjanjian pembiayaan.
Perbuatan hukum dari lembaga pembiayaan bisnis tersebut tidak sesuai
dengan maksud dari UUJF yang bertujuan untuk memperlakukan setiap perjanjian
yang membebani benda dengan jaminan fidusia berlaku UUJF.22) Oleh karena itu,
perjanjiaan yang dimaksud dalam UUJF tersebut bukan hanya yang berkaitan
dengan perjanjian kredit di lingkungan perbankan, tetapi juga mencakup
perjanjian kredit di lingkungan lembaga pembiayaan bisnis lainnya yang membuat
perjanjian jaminan fidusia.

Dari kalangan praktisi hukum seperti pengacara, notaris, bank dan kalangan
akademik masih belum memiliki persepsi yang sama tentang apakah perjanjian
jaminan fidusia yang dibuat dengan akta di bawah tangan di lingkungan lembaga
bisnis bukan bank harus tunduk pada ketentuan UUJF. Faktor penyebab
perbedaan pandangan tersebut adalah karena pembentuk UUJF tidak memberikan
penjelasan yang tegas dalam penjelasan umum dan penjelasan pasalnya, sehingga
22
Pasal 2 UUJF,
dapat menimbukan penafsiran. Penafsiran itu muncul sehubungan dengan adanya
kata-kata "setiap perjanjian" yang tercantum dalam Pasal 2 UUJF.

Penafsiran yang membawa makna dubius dapat diselesaikan jika dilakukan


dengan pendekatan sistem. Melalui pendekatan sistem, Pasal 2 UUJF harus
diartikan sebagai elemen yang mempunyai makna penting dalam kaitannya
dengan pasal-pasal lain dari UUJF secara keseluruhan. Bahkan, kaitan Pasal 2
tersebut akan menjadi lebih penting lagi jika dihubungkan dengan perbuatan
hukum yang berkenaan dengan perjanjian jaminan fidusia di luar UUJF.

Dengan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa keraguan tentang sifat
perjanjian jaminan fidusia tidak pada tempatnya lagi dipermasalahkan karena
fakta yuridis empiris telah mendukung pendapat bahwa perjanjian jaminan fidusia
merupakan perjanjian yang bukan perjanjian yang bersifat berdiri sendiri.

C. OBJEK JAMINAN FIDUSIA TIDAK DAPAT DIMILIKI


OLEH BANK
Dalam hukum jaminan fidusia, persoalan yang sering menimbulkan masalah
yuridis adalah ketika debitur pemberi jaminan fidusia tidak melaksanakan suatu
kewajiban yang telah diperjanjikan. Kelalaian debitur tersebut merupakan bukti
adanya wanprestasi.

Hasil penelitian menggambarkan bahwa dari isi akta jaminan fidusia,


pengaturan tentang wanprestasi debitur pada prinsipnya dapat dikategorikan
dalam 3 (tiga) hal yakni pertama, debitur pemberi jaminan fidusia dikatakan
wanprestasi apabila tidak membayar jumlah hutang kepada bank berdasarkan
perjanjian kredit sesuai waktu yang ditentukan. Dalam hal ini tidak ditentukan
apakah wanpestasi tersebut didahului oleh pernyataan lalai dengan cara peneguran
kepada debitur. Kedua, debitur pemberi jaminan fidusia dikatakan wanprestasi
apabila lalai dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang kepada bank
dan cukup dibuktikan dengan lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian
kredit tanpa perlu adanya surat teguran dari juru sita atau surat sejenis lainnya.
Ketiga, masalah wanprestasi tidak ada diatur sama sekali dalam akta perjanjian
jaminan fidusia tetapi cukup diatur dalam perjanjian pokoknya.

Dari fakta yuridis tersebut, wanprestasi menimbulkan akibat hukum dengan


melahirkan hak kepada kreditur penerima fidusia. Permasalahannya terletak
apakah hak yang lahir dari wanprestasi tersebut mengakibatkan benda yang
rnenjadi objek jaminan fidusia dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan
fidusia. Dalam praktik terdapat kecen-derungan bahwa bank akan menguasai
benda jaminan kalau debiturnya macet, padahal secara normatif hal ini tidak
dibenarkan oleh UU Perbankan.

Sebelum diuraikan lebih lanjut, perlu digambarkan bahwa berdasarkan hasil


penelitian dari analisis isi akta jaminan fidusia sebelum dan sesudah UUJF, objek
jaminan fidusia lazim disebut dengan istilah barang.
Sebagian para kreditur menjelaskan bahwa jaminan yang diserahkan adalah
barang bergerak. Pada umumnya, yang diserahkan debitur sebagai objek jaminan
fidusia adalah mobil kendaraan roda empat, kendaraan roda dua, truk, mesin-
mesin, stock barang dagangan dan stock bahan baku seperti kayu olahan,
persediaan biji kopi, beras, barang setengah jadi dan siap pakai, inventaris
perusahaan, meubel berupa meja dan kursi, minuman kaleng dan minuman botol.

Hasil wawancara dari pihak bank dan notaris bahwa dimungkinkan


pengikatan jaminan fidusia atas rumah terlepas dari tanahnya atau bangunan yang
tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan, hak sewa kios dan tagihan/piutang.
Namun, dalam penelitian ini belum ditemukan adanya pengikatan jaminan seperti
itu.
Mengenai benda yang akan ada, dalam praktik lazim dilakukan terhadap
barang inventaris atau barang persediaan/ bahan baku seperti barang setengah jadi,
barang jadi.
Contoh isi akta jaminan fidusia untuk benda yang akan ada berbunyi:
Pemberi fidusia menerangkan dengan ini memberikan jaminan fidusia
kepada penerima fidusia atas objek jaminan fidusia berupa semua inventaris
kantor/bahan baku (bahan dasar, setengah jadi, barang jadi) yang sekarang ada
maupun yang akan ada di kemudian had, yang disimpan/berada dimanapun juga,
antara lain yang diuraikan dalam daftar terlampir yang ditandatangani oleh
pemberi fidusia yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari akta
ini.

Mengenai objek jaminan fidusia berupa stock barang dagangan ditentukan


apabila sebagian dari benda jaminan fidusia itu sudah terpakai atau terjual,
pemberi fidusia diwajibkan untuk menggantikan barang tersebut dengan barang
sejenis dan nilainya setara serta harus mendapat persetujuan dari penerima fidusia.

Mengenai objek jaminan fidusia berupa mesin-mesin ditentukan bahwa


penerima fidusia mempunyai hak untuk menempatkan tanda-tanda identifikasi
pada objek jaminan fidusia, yang memperlihatkan bahwa penerima fidusia adalah
pemilik objek jaminan fidusia dan pemberi fidusia ber-kewajiban memelihara
tanda tersebut,

Dari hasil analisis isi akta jaminan fidusia dapat diketahui bahwa kreditur
penerima jaminan fidusia tidak dapat menjadi pemilik dari benda yang menjadi
objek jaminan fidusia. Kreditur penerima jaminan fidusia hanyalah berhak
menjual objek jaminan fidusia baik atas dasar titel eksekutorial, lelang atau
penjualan di bawah tangan. Dalam rangka pelaksanaan eksekusi atas objek
jaminan fidusia, pemberi jaminan fidusia berkewajiban untuk menyerahkannya
kepada kreditur penerima jaminan fidusia.23)
Contoh yang memuat hak kreditur penerima jaminan fidusia dalam akta
jaminan fidusia setelah UUJF berbunyi:

23
Pasal 30 UUJF.
Atas kekuasaannya sendiri penerima fidusia berhak untuk menjual objek
jaminan fidusia tersebut atas dasar titel eksekutorial atau melalui pelelangan di
muka umum atau melalui penjualan di bawah tangan yang dilakukan
berdasarkan kesepakatan Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia jika dengan
cara demikian diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak,24)
Contoh lain hak kreditur jaminan fidusia sebelum UUJF berbunyi:
Bank berhak dan dengan ini diberi kuasa oleh Debitur/ Penjamin tanpa
perantaraan Pengadilan dan dengan mengenyampingkan ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 1266 dan 1267 Kitab llndang-Undang Hukum Perdata untuk
langsung menjual kenderaaan baik di bawah tangan maupun di muka umum
(secara lelang) dengan harga dan syarat-syarat yang dianggap baik oleh Bank.25)

Apabila kreditur penerima jaminan fidusia memper-gunakan haknya


tersebut, debitur pemberi jaminan fidusia wajib menyerahkan barang jaminan
tersebut dalam keadaan baik dan terpelihara. Apabila barang jaminan tidak
diserahkan oleh debitur sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan (biasanya 7
hari setelah peneguran pertama), kreditur dapat meminta bantuan dari pihak yang
berwajib seperti kepolisian baik barang tersebut berada dalam penguasaan debitur
ataupun penguasaan pihak ketiga.26 Meminta bantuan pihak yang berwenang
untuk mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidaklah dilarang
oleh UUJF.27)

Dari hasil penjualan barang jaminan, apabila terdapat sisa harga penjualan
setelah dibayar hutang pokok, bunga dan biaya lain-lain dikembalikan kepada
debitur pemberi jaminan fidusia. Sebaliknya, apabila hasil penjualan dari barang
jaminan tidak mencukupi untuk melunasi hutang, debitur pemberi jaminan fidusia
tetap terikat atau bertanggung jawab untuk membayar hutang kepada kreditur
penerima jaminan fidusia.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, ditentukan bahwa bank


dalam menjalankan usahanya, antara lain membeli barang jaminan melalui lelang
jika debitur tidak memenuhi kewajibannya.28) Jika bank membeli barang agunan,
bank mempunyai kewajiban untuk melakukan pencairan secepatnya atas agunan
yang dibeli tersebut sehingga bank dapat merealisasi hutang debitur.

Kalau ada sisa dari penjualan tersebut akan dikembalikan kepada debitur.
Dalam Undang-undang Perbankan tersebut tidak ditentukan, apakah bank dapat
24
Salah satu bunyi pasal dalam akta jaminan fidusia dari bank pemerintah yang dibuat oleh
notaris di Medan, tgl. 5 April 2001.
25
Salah satu bunyi pasal dalam perjanjian penyerahan hak milik secara kepercayaan sebagai
aimnan/Fidiicwir Eigendoms Overdacht dari bank swasta yang dibuat dengan akta di bawah
tangan.
26
Jangka waktu penyerahan benda jaminan fidusia oleh debitur pemberi fidusia kepada kreditur
penerima jaminan fidusia selama 7 hari adalah ketentuan yang sudah diperjanjikan dalam akta
jaminan fidusia yang dibuat secara di bawah tangan oleh bank swasta.
27
Penjelasan Pasal 30 UUJF.
28
Pasal 6 huruf k Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992.
memiliki benda jaminan yang dibeli tersebut. Oleh karena itu, dengan keluarnya
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6
huruf k Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tersebut dihapus, dan selanjutnya
menetapkan ketentuan:
Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan baik melalui
pelelangan maupun di luar peklangan berdasarkan penyerahan secara sukarela
oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari
pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada
bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan
secepatnya.29)

Dalam Undang-undangNomor 10Tahun 1998secara tegas dikatakan bahwa


bank tidak diperbolehkan memiliki barang agunan yang dibelinya.30) Prinsip
pelarangan pemilikan barang agunan tersebut sejalan dengan hukum jaminan
fidusia. Bahkan, pemilikan benda jaminan fidusia yang dibuat dengan kesepakatan
antara kreditur penerima jaminan fidusia dengan debitur pemberi jaminan fidusia
tidak dibenarkan. Janji yang demikian adalah batal demi hukum. 31) Berdasarkan
prinsip larangan pemilikan benda jaminan fidusia walaupun debitur pemberi
jaminan fidusia sudah wanprestasi, yang berarti syarat menangguhkan sudah
terjadi, tidak juga dapat merealisir kemilikan hak yang telah diserahkan secara
kepercayaan kepada kreditur jaminan fidusia. Hal irii membuktikan bahwa
penyerahan hak niilik secara fidusia bukanlah sesuatu peralihan hak milik secara
sempurna.

D. PENERAPAN ASAS PEMISAHAN HORISONTAL


DALAM UUJF

Dalam sistem hukum pertanahan dikenal dua asas yakni asas assesi vertikal
dan asas pemisahan horisontal. Kedua asas ini memiliki pengertian yuridis yang
berbeda satu sama lain. Asas assesi vertikal adalah asas yang mendasarkan
pemilikan tanah dan benda-benda yang ada di atasnya merupakan suatu kesatuan
yang tidak terpisah, sedangkan asas pemisahan horisontal adalah asas yang
mendasarkan bahwa pemilikan tanah terpisah dari pemilikan benda-benda yang
ada di atasnya.
Kedua asas tersebut berada dalam sistem hukum yang berbeda. Asas assesi
vertikal dianut dalam KUH Perdata dan asas pemisahan horisontal dianut dalam
hukum adat. Konsekuensi asas assesi vertikal adalah bahwa apabila seorang
pembeli tanah yang di atasnya berdiri bangunan/rumah, pembeli tanah dengan
sendirinya menjadi pemilik atas bangunan/rumah tersebut. Lebih luas lagi, dapat
dikatakan bahwa sifat mengikuti dari benda bangunan/rumah tersebut adalah
sesuai dengan kedudukan hukum dari tanah sebagai benda pokoknya. Kalau tanah
dalam sistem KUH Perdata dikategorikan sebagai benda tidak bergerak,
bangunan/rumah yang di atasnya juga merupakan benda tidak bergerak. Asas
29
Pasal 12 A ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
30
Penjelasan Pasal 12 A ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
31
Pasal 33 UUJF.
assesi vertikal terlihat dalam pola berpikir kehidupan masyarakat perkotaan.
Masyarakat kota sudah memiliki anggapan bahwa kepemilikan sebidang tanah
meliputi kepemilikan atas segala sesuatu yang berada di atas tanah tersebut,
misalnya bangunan/rumah atau pohon-pohon.
Tidak demikian halnya dengan asas pemisahan horisontal. Dalam asas ini,
kalau seorang membeli sebidang tanah tidak berati bahwa pembeli sekaligus
menjadi pemilik atas bangunan/rumah atau tanaman yang ada di atasnya.
Konsekuensinya bahwa bangunan/rumah atau tanaman tersebut merupakan benda
tersendiri terlepas dari status hukum benda tanah; Apabila tanah merupakan benda
tidak bergerak, bangunan/rumah atau tanaman tersebut tidak otomatis merupakan
benda tidak bergerak melainkan dianggap sebagai benda bergerak. Secara fisik,
bangunan/rumah adalah benda tidak bergerak, tetapi karena adanya asas
pemisahan horisontal berarti bangunan/rumah tersebut teoretis yuridis tidak dapat
dikategorikan sebagai benda tidak bergerak. Pengaruh asas pemisahan horisontal
terlihat dalam kehidupan masyarakat pedesaan.

Dari sudut pandang yang lain dapat dikemukakan bahwa jika para ahli
hukum konsisten menganut asas hukum pertanahan yang didasarkan pada hukum
adat, berarti bangunan/rumah adalah merupakan benda bukan tanah. Pemikiran ini
lebih praktis dan mudah untuk dipahami dibandingkan dengan pembagian benda
menurut KUH Perdata.

Yang menjadi persoalan dalam praktik perkreditan adalah asas hukum yang
mana harus diikuti oleh pihak pemberi kredit dalam penerapannya di bidang
hukum jaminan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persoalannya terletak pada
ketidakjelasan pengaturan hukum benda dan objek benda yang dijadikan jaminan
hutang. Melalui penelitian tersebut dapat dikelompokkan tiga pendapat yakni
pertama, menghendaki bahwa pembentukan hukum benda harus sesuai dengan
iukum bangsa sendiri. Kedua, menghendaki adanya per-naduan antara hukum adat
dengan KUH Perdata. Ketiga, 'iienghendaki bahwa pembentukan hukum benda
harus memperhatikan aspek globalisasi.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian tersebut adalah perlu
segera dibentuk hukum benda nasional, yang elemennya adalah hukum bangsa
sendiri (hukum adat) sebagai asasnya dan dilengkapi dengan perpaduan antara
hukum negara lain sesuai dengan era globalisasi. Dengan demikian, hukum benda
dapat menampung kebutuhan hukum yang terus berkembang dalam menunjang
pembangunan.

Membentuk hukum jaminan tidak boleh bertentangan dengan hukum benda


karena hukum jaminan merupakan sub sistem dari hukum benda. Dewasa ini,
pembentukan hukum
lebih banyak dilakukan secara parsial dengan tujuan bahwa kebutuhan
hukum jaminan yang mendesak disegerakan untuk menampung kegiatan
perdagangan dan perkreditan.
Produk hukum jaminan yang berkaitan dengan asas pemisahan horisontai
setelah UUPA adalah Undang-undang Rumah Susun, Undang-undang
Pemukiman dan Perumahan, dan Undang-undang Jaminan Fidusia.

Berdasarkan ketiga undang-undang tersebut, secara normatif


bangunan/rumah yang terpisah dari hak atas tanahnya dapat dijadikan jaminan
hutang dengan lembaga jaminan fidusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
belum ada nasabah debitur yang meminjam kredit dengan memberikan jaminan
hak milik satuan rumah susun, Berdasarkan hasil wawancara dengan para notaris,
setelah diperlakukannya UUHT, terhadap pembebanan rumah susun atau satuan
rumah susun harus dibuat dengan hak tanggungan, sehingga lembaga fidusia tidak
dimungkinkan lagi untuk itu.

Mengenai rumah di kawasan pemukiman dan komplek perumahan yang


dibeli dari Bank Tabungan Negara, pihak kreditur tidak menggunakan lembaga
jaminan fidusia, tetapi dengan akta pengakuan hutang dan kuasa untuk menjual
yang dibuat di hadapan notaris.32) Di sini pihak BIN memberikan kredit rumah
yang didirikan di atas tanah hak pengelolaan. Jadi objek jaminannya adalah rumah
dan hak atas tanah yang belum jelas statusnya apakah hak milik atau hak guna
bangunan. Setelah keluarnya UUHT, pengikatan atas pembelian rumah yang
dibiayai oleh BIN dilakukan dengan surat kuasa memasang hak tanggungan.33)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan lembaga fidusia


belum terlaksana walaupun asasnya sudah menampung aspirasi masyarakat dan
norma hukumnya sudah tercantum dalam hukum positif.

Peluang untuk mengukuhkan lembaga jaminan fidusia dalam kerangka asas


pemisahan horisontal semakin mendapat tempat dalam UUJF. Dalam UUJF
dinyatakan bahwa bangunan di atas tanah orang lain yang tidak dapat dibebani
dengan hak tanggungan dapat dijadikan objek jaminan fidusia.34) Secara normatif
dan ekonomis, ketentuan tersebut sangat memberikan manfaat bagi pembangunan,
khususnya bagi pelaku-pelaku usaha yang tidak memiliki tanah tetapi dapat
memperoleh dana dari pemberi kredit dengan menjaminkan bangunan/ rumah
terlepas dari hak atas tanahnya. Penerapan asas pemisahan horisontal dalam
UUJF harus segera ditindaklanjuti secara konsisten sesuai dengan prinsip dan
tujuan hukum tanah yang dianut UUPA, yang salah satunya adalah
melakukan penserrifikatan hak atas tanah. Kenyataan yang ada bahwa keadaan
dan status tanah di Indonesia khususnya di Sumatera Utara masih relatif kecil
yang sudah disertifikatkan. Pada umumnya, tanah tersebut belum memiliki
sertifikat. Hal ini berarti peluang mendapatkan dana dengan menjaminkan tanah
belum bersertifikat sebagai objek lebih besar dibandingkan dengan tanah
yang sudah bersertifikat.
32
Disimpulkan dari akta pengakuan hutang dan kuasa untuk menjual No. 297 tgl. 15 Juli 1996
yang dibuat oleh notaris Martin Roestamy di Medan.
33
Hasil wawancara dengan staf BTN Cabang Medan, tanggal 25 Juni 2001.
34
Penjelasan Pasal3 huruf a UUJF.
Keadaan dualisme kemilikan hak atas tanah membawa persoalan yuridis
bagi hukum jaminan. UUHT telah menentukan bahwa objek hak tanggungan
adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah
negara yang sudah terdaftar.35) Bahkan, objek hak tanggungan diperluas kepada
bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah dan merupakan milik dari pemegang hak atas tanah. 36)
Terhadap tanah yang belum didaftar atau belum bersertifikat, UUHT memberikan
jalan keluar dengan menggunakan surat kuasa memasang hak tanggungan.37)

Dilihat dari sistem hukum jaminan kebendaan, lembaga surat kuasa


memasang hak tanggungan bukanlah merupakan hak jaminan yang memberikan
perlindungan hukum yang kuat bagi kreditur. Mahkamah Agung dalam
putusannya pada tahun 1986 menetapkan bahwa tanah berikut rumah yang ada di
atasnya yang belum jelas status haknya dapat dibebani dengan jaminan fidusia.
Secara teori, putusan ini bersifat normatif sehingga dapat diambil alih sebagai
norma hukum positif untuk menggantikan lembaga surat kuasa memasang hak
tanggungan yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (4) UUHT. Perubahan norma
hukum untuk penyempurnaan UUJF, secara yuridis akan memberikan
perlindungan hukum yang kuat kepada kreditur.

Terhadap rumah/bangunan yang berada di atas tanah yang telah bersertifikat


harus diberikan kedudukan yuridis tersendiri yang sama kekuatannya dengan
kedudukan hukum tanah bersertifikat. Pemberian status yuridis terhadap rumah/
bangunan adalah dengan mengeluarkan sertifikat atas rumah/bangunan oleh
instansi tertentu. Dari hasil penelitian di kalangan perbankan dan notaris,
belum ditemukan kasus adanya pengikatan rumah yang terpisah dari hak atas
tanah baik yang sudah bersertifikat maupun tanah yang belum belum bersertifikat.
Demikian pula, belum ditemukan adanya pembebanan lewat jaminan fidusia
terhadap hak sewa atas kios.38)
E. KEWENANGAN PEMBERI FIDUSIA TERHADAP
BARANG JAMINAN

Dalam perjanjian jaminan fidusia, masalah kewenangan hukum perlu


diberikan kejelasannya karena hal tersebut berkaitan dengan prinsip penyerahan
benda dan asas nemo plus iuris in ahum transferre poest quam ipse habet atau no
one can transfer more right to another than he has himself. Dalam praktik

35
Penjelasan Pasal 3 huruf a UUHT
36
Pasal 4 UUHT.
37
Pasal 15 ayat (4) UUHT.
38
Berdasarkan hasil wawancara dengan A. Harahap dari Pemerintah Kota Medan, bahwa Pasar
tempat berdagang misalnya Pasar Petisah Medan, hak atas tanahnya adalah milik Pemerintah
Daerah dan berdasarkan perjanjian EOT dengan pihak developer, jangka waktunya adalah 30
tahun. Selanjutnya, developer menjual kios tersebut kepada para pedagang. Pedagang dapat
meminjam kredit bank dengan menjaminkan kiosnya. Secara teoretis hak jaminan atas kios ini
adalah jaminan fidusia.
jaminan perkreditan selalu dikacaukan istilah berwenang untuk bertindak dan
berwenang untuk menguasai.

Dalam KUH Perdata dianut ajaran bahwa untuk sahnya suatu penyerahan
diperlukan persyaratan, antara lain harus dilakukan oleh orang yang wenang
menguasai bendanya (beschikkingsbevoegdheid). Biasanya orang tersebut adalah
pe-milik benda. Jadi, yang dimaksud dalam KUH Perdata adalah wenang
menguasai bukan wenang untuk bertindak, Realisasi dari ketenruan KUH Perdata
itu dapat diambil alih dalam bidang hukum jaminan fidusia, sehingga jaminan
fidusia hanya dapat diberikan oleh pemilik yang mempunyai kewe-nangan
menguasai benda jaminan fidusia. Secara yuridis, prinsip ini akan membawa
konsekuensi bahwa apabila debitur pemberi jaminan fidusia bukan orang yang
mempunyai kewenangan mengusai terhadap benda jaminan fidusia, berarti
perjanjian jaminan fidusia yang dilahirkan adalah cacat hukum.

Oleh karena itu, sebelum mengikat perjanjian jaminan fidusia, harus


diselidiki terlebih dahulu apakah pihak pemberi jaminan fidusia adalah pemilik
yang wenang menguasai bendanya atau hanya sebagai pemegang saja. Hal ini
harus pula dinyatakan secara tegas dalam akta jaminaan fidusia.

Dari hasil penelitian dokumen perjanjian jaminan fidusia sebelum dan


sesudah UUJF, bahwa dalam pasal-pasal perjanjian baik yang dibuat dengan akta
di bawah tangan maupun dengan akta notaris oleh bank swasta dan bank
pemerintah diperoleh gambaran sebagai berikut:

Pertama, objek jaminan fidusia adalah milik/hak pemberi fidusia dan tidak
ada orang/pihak lain yang turut memiliki atau mempunyai hak apapun. Oleh
karena itu, pemberi fidusia mempunyai kewenangan hukum untuk mengalihkan
dan memindahkan hak atas objek jaminan fidusia.39)

Kedua, debitur dengan ini menyerahkan hak milik debitur secara fidusia
kepada Bank atas semua barang persediaan berupa bahan baku (raw material).40)

Ketiga, debitur adalah pemilik atas barang jaminan dan menurut keterangan
debitur, kendaraan bermotor tersebut telah dibelinya tetapi pada saat akta ini
ditandatangani belum dibalik nama ke atas nama debitur.41)
Keempat, barang-barang tersebut adalah benar-benar hak milik dari pemberi
fidusia sendiri, tidak ada pihak lain yang ikut memiliki atau mempunyai hak

39
Pasal 5 Akta Jaminan Fidusia, akta notaris tanpa No. dan tanggal model Bank Central Asia.
40
Pasal 2 Perjanjian Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia, akta di bawah tangan Juli 2001
model Bank Central Asia.

41
Bagian dari isi akta Penyerahan Jaminan Secara Fiduciaire Eigendom Overdracht, akta di
bawah tangan tanggal 20 Maret 1996 model Bank Dagang Negara Indonesia.
berupa apapun, tidak dijadikan jaminan dengan cara bagaimanapun kepada pihak
lain.42)

Kelima, di samping Debitur/Penjamin wajib menyerahkan kepada Bank


bukti pemilikan atas kendaraan termasuk Buku Pemilik Kendaraan Bermotor
(BPKB), Debitur/Penjamin menjamin Bank bahwa kendaraan tersebut adalah
benar dan hak Debitur/Penjamin, tidak tersangkut suatu perkara atau sengketa,
bebas dari sitaan dan tidak dijaminkan dengan cara atau bentuk apapun juga
kepada pihak lain kecuali Bank.43)

Keenam, nasabah menjamin bank bahwa barang-barang tersebut benar-benar


hak/milik nasabah sepenuhnya, tidak tersangkut sesuatu perkara atau sengketa,
tidak dikenakan sesuatu sitaan dan tidak dipertanggungkan secara apapun kepada
pihak lain.44)

Ketujuh, pemberi jaminan menjamin kepada bank tentang mesin-mesin


tersebut betul adalah hak dan miliknya sendiri, baik sekarang maupun di
kemudian hari tidak ada pihak lain yang menyatakan mempunyai hak terlebiih
dahulu/atau turut mempunyai hak atasnya, mempunyai hak sewa/atau hak
memakai atas mesin-mesin tersebut baik seluruhnya maupun sebagian, tidak
dipakai sebagai jaminan hutang/atau diberati oleh ikatan lain, tidak ada sengketa
dan bebas dari sitaan.45)

Kedelapan, menurut keterangan debitur, mobil tersebut telah dibelinya,


tetapi pada saat akta ini ditandatangani belum dibalik nama ke atas nama
debitur.46)

Kesembilan, pemberi fidusia dengan ini menjamin Penerima Fidusia atau


kuasanya bahwa objek jaminan fidusia yang diberikan sebagai jaminan fidusia
kepada Penerima Fidusia dalam akta ini benar ada dan adalah hak penuh/
kepunyaan Pemberi Fidusia sendiri, tidak ada orang lain/pihak lain yaag turut
mempunyai hak apapun juga, tidak tersangkut dalam perkara/sengketa dan tidak
berada dalam sesuatu sitaan serta belum pernah diberikan sebagai jaminan fidusia

42
Pasal 1 angka 2 Perjanjian Penyerahan Hak dan Milik dalam Kepercayaan Atas Barang-
barang (Fiduciaire Eigendoms Overdracht), akta di bawah tangan No. 089 / MIN - FDC / IX /
99 tgl. 9 Oktober 1999 model Bank Putera,
43
Pasal 2 Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan Sebagai Jaminan/ Fiduciair Eigendoms
Overdracht, akta di bawah tangan No. 051/cl/0129/06/ 97 tgl. 5 Juni 1997 model Bank Bira.
44
Pasal 2 Perjanjian Pemberian Jaminan dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fiduciaire, akta
di bawah tangan tgl. 10 Maret 1999 model Bank Umum Servitia.
45
Bagjan dari isi akta Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa Pengikatan
Jaminan Secara Fiducia, akta notaris No. 170 tgl. 24 November 1995 model Bank Utama.
46
Pasal 1 akta Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa Penyerahan Hak Milik
Secara Fidusia, akta notaris No. 468 tgl. 30 November 1995 model Bank Surya Nusantara.
atau dijadikan jaminan pembayaran utang dengan cara bagaimanapun juga dan
kepada siapapun juga.47)

Kesepuhth, barang-barang yang diserahkan oleh Pemberi Fidusia secara


fidusia tersebut adalah benar-benar hak milik Pemberi Fidusia sendiri, tidak ada
pihak lain yang ikut memiliki atau mempunyai hak berupa apapun, tidak dijadikan
sebagai jaminan dengan cara bagaimanapun kepada pihak lain, tidak tersangkut
dalam perkara maupun sengketa, serta bebas dari sitaan.48)

Kesebelas, debitur/pemberi fidusia dengan ini menyerahkan kepada bank


secara kepercayaan harta benda yang menurut keterangan debitur/pemberi fidusia
adalah sungguh dan benar dan kepunyaannya sendiri dan sama sekali tidak
menjadi pertanggungan pada atau bersangkutan dengan orang lain siapapun
juga.49)
Keduabelas, penjamin menyerahkan jaminan secara fidusia kepada bank
hak miliknya, sehingga penjamin benar-benar berhak melakukan penyerahan
jaminan.50)

Ketigabelsas, pihak debitur dengan ini menyerahkan kepada bank secara


kepercayaan atas mobil yang masih tercatat atau terdaftar atas nama pemiliknya
yang lama.51)

Dari pernyataan para debitur pemberi fidusia tersebut di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa pengertian kewenangan menguasai terhadap benda jaminan
fidusia meliputi dua hal yakni pertama debitur pemberi jaminan fidusia adalah
pemilik hak atas benda yang diikuti dengan bukri adanya hak tersebut. Kedua,
debitur pemberi jaminan fidusia adalah pemilik benda secara fisik, tetapi hak atas
benda tersebut masih milik orang ain.
Yang menjadi permasalahan adalah pada saat yang manakah diperlukan
kewenangan menguasai terhadap benda jaminan fidusia, apakah momentum itu
diperlukan pada saat memberikan jaminan fidusia atau pada momentum ketika
akta iaminan fidusia tersebut didaftarkan pada kantor pendaftaran tidusia. Di
samping itu, perlu pula dipertanyakan, dapatkah "rang yang bukan sebagai
pemilik benda jaminan membebankan benda tersebut. Pertanyaan ini

47
Pasal 2 angka 1 Akta Jaminan Fidusia, akta notaris model Bank B (bukan nama sebenarnya).
48
Pasal 1 angka 2 Perjanjian Fidusia, akta di bawah tangan No. 093/FEO tgl. 18 Juni 1997
model BN1 Cabang Tanjung Balai.
49
Pasal 1 Pemberian Jaminan Secara Fidusia, akta notaris tgl. 30 Desember 2000 model Bank
Perkreditan Rakyat Tanjung Morawa di Deli Serdang.
50
Bagian isi akta Pemberian Jaminan Secara Fidusia, akta notaris tanpa nomor dan tangggal
model BPDSU Cabang Binjai,
51
Bagian isi akta Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa Perjanjian Kredit
dan Penyerahan. Jaminan dengan Fiduciare Eigendom Overdracht (F.E.O), akta notaris No.l
tgl. 11 April 1996 model Bank Bukopin.
menghendaki jawaban yuridis yang dapat melindungi kepenringan hukum kreditur
penerima jaminan fidusia atau pihak ketiga.

Oleh karena itu, perlu kejelasan mengenai penyerahan hak milik secara
kepercayaan kaitannya dengan syarat wenang menguasai bendanya dan bukan
wenang untuk berbuat terhadap benda itu. Di sinilah letak pentingnya hubungan
hukum antara penyerahan yang dilakukan dengan alas hak atas benda
jaminan yang akan diserahkan.

F. PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DI DAFTAR

Suatu perubahan yang cukup mendasar dari per-kembangan jaminan fidusia


adalah mengenai pendaftaran. Sebelum terbitnya UUJF, masalah pendaftaran
jaminan fidusia bukanlah menjadi suatu kewajiban, tetapi setelah keluarnya
UUJF, masalah pendaftaran jaminan fidusia semakin krusial. Pendaftaran tersebut
memiliki arti yuridis sebagai suatu rangkaian yang tidak terpisah dari proses
terjadinya perjanjian jaminan fidusia. Selain itu, pendaftaran jaminan fidusia
merupakan perwujudan dari asas publisitas dan kepastian hukum.

Walaupun pendaftaran jaminan fidusia sedemikian penting, dalam praktik


perkreditan di lingkungan bank masih ada perjanjian jaminan fidusia yang tidak
didaftarkan.52) Demikian pula, terjadi pada perjanjian jaminan fidusia di
lingkungan lembaga pembiayaan bisnis. Akibat hukum dari perjanjian jaminan
fidusia yang tidak didaftarkan adalah tidak melahirkan perjanjian kebendaan bagi
jaminan fidusia tersebut, sehingga karakter kebendaan seperti droit de suite dan
hak preferensi tidak melekat pada kreditur pemberi jaminan fidusia.

Dalam praktik masih ada keraguan mengenai pendafaran jaminan fidusia.


Keraguan itu adalah kurang tegasnya UUJF menentukan hal apakah yang harus
didaftarkan. Persoalan ini juga masih menimbulkan perbedaan pendapat di
kalangan para ahli hukum. Ada yang mengatakan yang didaftarkan adalah akta
jaminan fidusia, tetapi ada yang berpendapat bahwa bukan hanya akta jaminan
fidusia yang didaftar melainkan bendanya juga turut didaftarkan.

Jika dianalisis akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris, ditemukan
fakta yuridis bahwa yang daftarkan adalah akta jaminan fidusia dan benda
jaminan fidusia.
Contoh pendaftaran jaminan fidusia yang dituangkan dalam akta jaminan
fidusia berbunyi sebagai berikut:
Pemberi Fidusia dengan ini memberikan kuasa kepada Penerima Fidusia
yang menyatakan menerima kuasa dari Pemberi Fidusia untuk melaksanakan
Pendaftaran Jaminan Fidusia tersebut, untuk keperluan tersebut menghadap di
hadapan Pejabat atau instansi yang berwenang (termasuk Kantor Pendaftaran
Fidusia), memberikan keterangan, menandatangani surat/formulir, mendaftar-
52
Hasil wawancara dengan Bank F (bukan nama sebenarnya) di Medan tgl. 10 Agustus2001.
kan jaminan fidusia atau objek jaminan fidusia tersebut dengan melampirkan
Pernyataan Pendaftaran Jaminan Fidusia serta untuk mengajukan permohonan
pendaftaran atas perubahan dalam hal terjadi perubahan atas data yang
tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia, selanjutnya menerima Sertifikat
Jaminan Fidusia dan/atau Pernyataan perubahan Sertifikat dokumen-dokumen
lain yang bertalian untuk keperluan itu, membayar semua biaya dan menerima
kivitansi segala pembayaran serta selanjutnya melakukan segala tindakan yang
perlu dan berguna untuk melaksanakan ketentuan dari akta ini.53)
Pendafataran jaminan fidusia tersebut bukan saja dilakukan terhadap benda
jaminan fidusia yang memiliki bukti kemilikan seperti kendaraan bermotor, mesin
produksi tetapi juga dilakukan terhadap objek jaminan fidusia berupa benda
persediaan seperti stock barang, beras, dan lain-lain. Mengenai pendaftaran
barang jaminan berupa benda persediaan yang selalu berubah-ubah dari waktu ke
waktu mengenai jumlah dan lain sebagainya, makna pendaftaran itu lebih tepat
diartikan sebagai pendaftaran jaminan fidusia.

Pendaftaran jaminan fidusia dalam praktik bank di Sumatera Utara


dilakukan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia di Medan, yang wilayah kerjanya
mencakup seluruh daerah kabupaten dan kota.54) Berdasarkan data, akta jaminan
fidusia yang didaftar sejak Juli 2001 sampai dengan Februari 2002 berjumlah 289
akta. Dari hasil pendaftaran jaminan fidusia diketahui bahwa pihak kreditur
penerima fidusia yang mendaftarkan akta jaminannya yang berada di luar kota
Medan adalah Bank Rakyat Indonesia Cabang Lubuk Pakam dan Kisaran. Pihak
kreditur penerima fidusia yang mendaftarkan akta jaminan yang berada di luar
Sumatera Utara tetapi objek jaminan fidusia terletak di Sumatera Utara adalah
Bank Mega Jakarta, Bank Agro Niaga Jakarta. Selain pihak bank sebagai kreditur
fidusia, juga lembaga keuangan bukan bank yang mengikat perjanjian jaminan
fidusia seperti perusahaan leasing antara lain P.T. Astra Sedaya Finance, P.T. Orix
Finance mendaftarkan akta jaminan fidusia. Hal ini membuktikan bahwa setiap
perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia harus
tunduk pada UUJF sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 UUJF.
Konsekuensi yuridis setelah akta jaminan fidusia didaftarkan, yang menjadi
pemilik jaminan atas benda fidusia adalah kreditur penerima fidusia walaupun

53
Dikutip dari Pasal 10 Akta Jaminan Fidusia No. 25 tgl. 5 April 2001, akta notaris model Bank
Pemerintah dan Pasal 12 Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa
Penyerahan Benda Secara Fidusia Sebagai Jaminan No. 19 tgl. 9 April 2001, akta notaris
model Bank Swasta.
54
Menurut B. Tagor Naibaho, Seksi Pelayanan Bidang Hukum Kanwil Kehakiman dan HAM,
sebelum aktif menerima pendaftaran terlebih dahulu diselenggarakan sosialisasi UUJF tanggal
15 Februari 2001 dengan peserta pihak perbankan, notaris, kehakiman dan Perguruan Tinggi.
Menurut peraturan dimulai tanggal 1 April 2001, tetapi surat dari Jakarta baru diterima
tanggal 25 April 2001. Pada bulan Mei 2001, personil Kanwil berangkat ke Jakarta untuk
mempersiapkan sesuatu yang berhubungan dengan pendaftaran jaminan fidusia, misalnya
formulir dan perangkat lainnya. Bulan Juni persiapan itu selesai. Sejak tanggal 1 Juli 2001,
Kanwil secara aktif menerima pendaftaran jaminan fidusia. Wawancara tanggal 16 Maret
2002.
secara fisik debitur penerima fidusia tetap menjadi pemilik benda agunan. 55)
Pandangan ini menunjukkan bahwa ada pemisahan hak milik jaminan secara
yuridis dan hak milik secara riil.

Dengan melihat data tersebut, masih banyak pihak kreditur


penerima fidusia yang tidak mendaftarkan akta jaminannya. Faktor
penyebabnya antara lain jangka waktu kreditnya hanya berlangsung selama tidak
lebih dari satu tahun, nilai pinjaman kecil dan debiturnya sudah dikenal dengan
baik oleh bank yang bersangkutan. Jadi, sangat kecil kemungkinan debitur
melakukan wanprestasi. Salah satu syarat untuk mendaftarkan akta jaminan
fidusia adalah bahwa akta itu harus dibuat dalarn bentuk akta notaris. 56)
Konsekuensi yuridis bagi kreditur yang tidak mendaftarkan akta jaminan fidusia
tidak mendapat perlindungan hukum sesuai dengan UUJF.57) Keberadaan Kantor
Pendaftaran Fidusia yang hanya terletak di ibukota propinsi Sumatera Utara
tersebut dapat menimbulkan masalah bagi kalangan perbankan dan notaris
terutama yang berada di daerah kabupaten dan kota yang sangat berjauhan dengan
kota Medan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan kalangan notaris, sebaiknya Kantor


Pendaftaran Fidusia segera diadakan di daerah kabupaten dan kota untuk
memudahkan proses pen-daftaran jaminan fidusia. Alternatif Kantor Pendaftaran
Fidusia dapat saja merupakan bagian dari Departemen Kehakiman dalam hal ini
berada di Pengadilan Negeri setempat atau dapat juga ditempatkan di lingkungan
kantor Bupati/Walikota, yang disesuaikan dengan peraturan otonomi daerah.

Permasalahan yang muncul dalam proses pendaftaran jaminan fidusia pada


saat ini adalah masih kurang kondusifnya budaya hukum yang diciptakan oleh
petugas Kantor Pendaftaran Fidusia. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran
hukum relatif masih rendah untuk menegakkan sistem UUJF.

G. PENGARUH LIKUIDASI BANK DAN KEPAILITAN NASABAH


DEBITUR TERHADAP OBJEK JAMINAN FIDUSIA

Persoalan hukum yang menghendaki kejelasan adalah persoalan likuidasi


bank dan kepailitan. Likuidasi bank adalah tindakan pemberesan berupa
penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat pembubaran badan
hukum bank.58 Kepailitan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
55
Wawancara dengan B. Tagor Naibaho, tanggal 26 Februari 2002; Wawancara dengan Notaris
Budi tanggal 19 Februari 2002, Wawancara dengan Bank X Medan tanggal 19 Februari 2002.
56
Kanwil Kehakiman dan HAM, Seksi Pelayanan tidak menerima pendaftaran jaminan fidusia
yang dibuat dengan akta di bawah tangan. Dengan demikian, akta notaris merupakan syarat
mutlak pendaftaran jaminan fidusia.
57
Wawancara dengan B. Tagor Naibaho, tanggaJ 16 Maret 2002.
58
Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1997 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan
Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank.
peristiwa dimana orang yang berhutang (debitur) memiliki dua atau lebih
kreditur yang berada dalam keadaan berhenti membayar sedikitnya hutang secara
penuh pada saat hutang tersebut telah dapat ditagih tepat pada waktunya.59)

Ada 2 (dua) cara melakukan likuidasi bank yaitu pertama, melakukan


pencairan harta dan/atau penagihan piutang kepada para debitur dan diikuti
dengan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan
dan/atau penagihan tersebut. Kedua, melakukan penjualan seluruh harta dan
pengalihan kewajiban kepada pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.

Sebelum bank dilikuidasi, tindakan yang dilakukan terhadap bank tersebut


adalah dengan cara mencabut izin usaha bank dan membubarkan badan hukum
bank tersebut. Pencabutan izin usaha bank karena bank yang bersangkutan
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya. Faktor yang
menjadi indikator dalam hal kesulitan tersebut didasarkan atas penilaian Bank
Indonesia yakni kondisi bank tersebut semakin memburuk, antara lain
menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas serta pengelolaan
bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan
yang sehat.60)

Dalam kondisi yang demikian, berdasarkan Pasal 37 UU No. 10 Tahun


1998, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar pertama, pemegang saham
menambah modal; Kedua, pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan
atau Direksi bank; Ketiga, bank menghapus bukukan kredit atas pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkaan keuangan bank
dengan modalnya; Keempat, bank melakukan merger atau konsolidasi dengan
bank lain; Kelima, bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih
seluruh kewajiban; Keenatn, bank menyerah-kan pengelolaan selu.ruh atau
sebagian kegiatan bank kepada pihak lain; Ketujuh, bank menjual sebagian atau
seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.

Apabila usaha Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud di atas belum


mencukupi untuk mengatasi kesulitan bank tersebut, dan menurut penilaian Bank
Indonesia dapat membahayakan sistem perbankan nasional, izin usaha bank
tersebut dapat dicabut. Selanjutnya, pimpinan Bank Indonesia memerintahkan
direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.
Jika direksi tidak menyelenggarakan RUPS, pembubaran badan hukum bank yang
bersangkutan dilakukan dengan penetapan pengadilan.

59
Mariam Darus Badrulzaman, Peraturan Kepailitan (Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998), Makalah pada Pelatihan Perpu Kepailitan Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi dan Ilmu Hukum Graha Kirana, Medan, 1998, h. 1; Lihat Pasal 1 UU
No. 4 Tahun 1998.
60
Penjelasan Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Dalam kaitannya dengan perjanjian jaminan kredit seperti jaminan fidusia,
segala piutang bank terhadap nasabah debitur diambil alih oleh tim likuidasi. Hal
ini berarti tim likuidasi yang menggantikan kedudukan bank tersebut sebagai
pemilik benda jaminan fidusia. Penagihan piutang terhadap nasabah debitur
dilakukan sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan dalam perjanjian
kreditnya. Tim likuidasi tidak dapat menjual benda jaminan fidusia apabila
debitur pemberi fidusia tetap melaksanakan kewajibannya dengan baik.

Jadi, apabila bank jatuh failit, berdasarkan teori hukum jaminan (liens
theory), benda jaminan fidusia yang merupakan boedel kepailitan masuk dalam
harta bank. Hal ini sebagai konsekuensi dari perjanjian jaminan fidusia bahwa
kreditur penerima fidusia adalah pemilik benda jaminan fiidusia.

Sebaliknya, bagaimana kalau yang terjadi adalah debitur pemberi fidusia


mengalami kepailitan. Menurut teori hukum jaminan tersebut, benda jaminan
fidusia berada di luar boedel kepailitan. Teori hukum jaminan (liens theory)
adalah merupakan teori moderen jika dibandingkan dengan teori kemilikan (title
theory).61) Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, tidak ada diatur
secara eksplisit yang menetapkan kreditur pemegang jaminan fidusia sebagai
kreditur separatis. Yang dinyatakan secara tegas sebagai kreditur separatis adalah
kreditur hak tanggungan dan kreditur hak gadai.62) Namun, dalam ketentuan
undang-undang tersebut dikatakan bahwa yang termasuk juga sebagai kreditur
separatis adalah kreditur hak agunan atau kebendaan lainnya. Karena jaminan
fidusia adalah salah satu jaminan kebendaan, kreditur penerima jaminan fidusia juga
termasuk dalam kreditur separatis,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bank sebagai kreditur penerima


jaminan fidusia jika debiturnya pailit, kedudukan bank yang bersangkutan adalah
menjadi kreditur separatis. Kedudukan separatis dari bank seharusnya
dicantumkan dalam akta jaminan fidusia sebagai penegasan dari hak kreditur
penerima jaminan fidusia. Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998
ditentukan bahwa hak separatis kreditur pemegang hak jaminan kebendaan
ditangguhkan jangka waktunya selama 90 hari sejak putusan pailit ditetapkan.
Ratio pembentuk undang-undang menetapkan adanya tenggang waktu itu adalah
untuk memberikan perlindungan ekonomis terhadap hak kurator kepailitan
menjual barang jaminan. Persoalannya adalah apakah hal itu tidak melanggar hak
separatis pemegang jaminan fidusia. Apabila secara yuridis terjadi pelanggaran
hak separatis, dapat dilakukan penyimpangan terhadap norma hukum yang
tercantum dalam Pasal 56 A Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 dengan
61
Hal ini berkaitan dengan uraian mengenai sifat luas hak milik dari pemilik fidusia. Menurut
paham kuno bahwa hak milik fidusia adalah sempurna, berdasarkan perjanjian fidusia itu
merupakan perjanjian obligatoir, sedangkan paham modern mengatakan bahwa perjanjian
fidusia sebagai jaminan merupakan hak milik terbatas. Jadi menurut paham modern, tujuan
bank dan debitur mengadakan perjanjian jaminan fidusia adalah bukan untuk menciptakan hak
milik melainkan hanya sebagai jaminan saja. Lihat Mariam Darus, Op.cit, h 96-97.
62
Pasal 56 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998.
membuat klausul dalam akta jaminan fidusia yang telah diperjanjikan terlebih
dahulu oleh para pihak. Dalam praktik penjarninan fidusia, klausul yang demikian
belum pernah ditemukan dalam rangka melindungi hak separatis kreditur
penerima jaminan fidusia.

Anda mungkin juga menyukai