Perjanjian Kredit Bank merupakan perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang yang bersifat
konsensual riil dan merupakan perjanjian tidak bernama. Namun yang jelas perjanjian kredit bank tersebut
lahir karena ada kesepakatan atau persetujuan pinjam – meminjam antara bank dengan pihak lain yang
merupakan dasar hubungan hukum antara bank dengan nasabah peminjam dana. Dilihat dari jenis
perjanjian, perjanjian kredit bank merupakan perjanjian timbal balik, artinya jika pihak dan nasabah debitur
tidak memenuhi isi perjanjian, maka salah satu dapat menuntut pihak lainnya sesuai jenis prestasinya.
Perjanjian kredit dapat diartikan sebagai perjanjian pinjam-meminjam antara bank sebagai kreditur
dengan pihak lain sebagai debitur yang mewajibkan debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.
Pada umumnya dalam praktek perbankan, perjanjian kredit bank berbentuk perjanjian baku. Isi atau
klausul-klausul perjanjian kredit bank tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir
(blanko), tetapi tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu. Sebelumnya pihak bank telah menyiapkan isi atau
klausulnya. Sementara pihak debitur tidak diberi kesempatan untuk merundingkan isi atau klausulnya.
Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995, bahwa
setiap pemberian kredit harus dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis. Bentuk dan formatnya
diserahkan kepada masing-masing bank untuk menetapkan, akan tetapi dalam perjanjian itu harus minimal
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan bank.
2. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit, serta persyaratan-persyaratan kredit
lainnya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan yang dimaksud.
Susunan sebuah perjanjian kredit bank pada umumnya meliputi:
1. Judul, Judul disini berfungsi nama dari perjanjian tersebut, judul disini untuk memberikan informasi
bahwa perjanjian yang dibuuat itu merupakan perjanjian kredit bank.
2. Komparisi, Komparisi berisikan identitas, dasar hukum, dan kedudukan para pihak yang akan
mengadakan perjanjian kredit.
3. Substantif, Dalam sebuah perjanjian pada bagian substantive berisikan klausula yang merupakan
ketentuan dan syarat-syarat pemberian kredit, minimal harus memuat hal-hal yang berkaitan dengan
batas maksimum kredit, bunga dan denda, jangka waktu kredit, cara pembayaran kredit, agunan kredit,
opeinsbaar clause, dan pilihan hukum serta penyelesaian sengketa.
Dalam ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa tiap-tiap
perikatan dilahirkan baik dari karena perjanjian, baik karena undang-undang. Dengan demikian, perikatan
itu yang melahirkan hubungan hukum lahirnya karena ada perjanjian atau karena ada undang-undang. Dari
perspektif hukum perdata sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menetapkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Dengan merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, anggota masyarakat dapat membuat perja njian apa saja yang
diinginkannya sepanjang memenuhi syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian, sehingga perjanjian
tersebut berlaku sebagai undang-undang, artinya perjanjian yang dibuat sesama anggota masyarakat tadi
mempunyai kekuatan hukum mengikat sama dengan undang-undang. Karenanya para pihak tidak dapat
membatalkan secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain perjanjian yang telah dibuatnya secara sah itu.
Selama ini pemberian kredit selalu diikat dengan akad kredit yang dibuat antara bank selaku kreditor dan
nasabah debiturnya. Lazimnya akad kredit dibuat dalam bentuk perjanjian baku, dimana bank lebih dahulu
menetapkan klausula-klausula yang lebih menguntungkan baginya. Calon nasabah debitur tinggal
menyatakan bersedia atau tidak dalam menerima perjanjian kredit tersebut Dalam hukum perjanjian,
terdapat tolak ukur yang dapat dipergunakan untuk menentukan suatu klausula dalam suatu perjanjian baku
merupakan suatu klausula yang tidak wajar dan sangat memberatkan salah satu pihak, tolak ukur tersebut
dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUHPerdata.
MATERI KELOMPOK 2 “KREDIT BERMASALAH”
Kata “kredit” berasal dari bahasa latin credo yang berarti “saya percaya”, yang merupakan kombinasi
dari bahasa Sanskerta cred yang artinya “kepercayaan”, dan bahasa latin do yang artinya “saya tempatkan”.
Kredit yang diberikan oleh bank didasarkan atas kepercayaan sehingga pemberian kredit merupakan
pemberian kepercayaan terhadap nasabah
Dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan ditentukan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Kredit bermasalah menurut As. Mahmoeddin adalah kredit dimana debiturnya tidak memenuhi
persyaratan yang telah diperjanjikan sebelumnya, misalnya persyaratan mengenai pembayaran bunga,
pengambilan pokok pinjaman, peningkatan margin deposit, pengikatan dan peningkatan agunan dan
sebagainya. Mantayborbir, Suatu kredit dikatakan bermasalah karena debitur wanprestasi atau ingkar janji atau
tidak menyelesaikan kewajibanya sesuai dengan perjanjian baik jumlah maupun waktu, misalnya pembayaran atas
perhitungan bunga maupun utang pokok.
Munculnya kredit bermasalah termasuk di dalamnya kredit macet, pada dasarnya tidak terjadi secara
tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses. Terjadinya kredit macet dapat disebabkan baik oleh pihak kreditur
(bank) maupun debitur. Faktor-faktor penyebab kredit bermasalah yaitu:
1. Faktor Internal (dari pihak bank):
Pelanggaran prinsip-prinsip kredit oleh pimpinan bank yang menyetujui pemberian kredit yang
mengandung resiko yang potensial menjadi kredit yang bermasalah (Compromise of Credit Principle)
Keterbatasan informasi seperti data keuangan dan laporan usaha, di samping informasi lainnya seperti
penggunaan kredit, perencanaan, ataupun keterangan mengenai sumber pelunasan kembali kredit.
(Incomplete Credit Information)
Kurangnya pengawasan yang efektif dan berkesinambungan setelah pemberian kredit, sehingga kondisi
kredit berkembang menjadi kerugian (Lack of Supervising)
Tidak adanya kemampuan teknis dalam menganalisis permohonan kredit dari aspek keuangan maupun
aspek lainnya akan berakibat kegagalan dalam operasi perkreditan suatu bank. Para pejabat kredit harus
senantiasa meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang berkaitan dengan tugasnya dan jangan
memberikan kredit kepada usaha atau sector yang tidak dikenal dengan baik (Technical Incompetence)
Adanya sikap ragu-ragu dalam menentukan tindakan terhadap suatu kewajiban yang telah diperjanjikan
meskipun nasabah pada dasarnya mampu dan wajib membayarnya, juga merupakan penyebab
timbulnya kredit bermasalah bagi bank (Failure to Obtain or Enforce Liquidation Agreements)
Adanya ambisi ataupun nafsu yang berlebihan untuk memperoleh laba bank melalui penerimaan bunga
kredit sering menimbulkan pertimbangan yang tidak sehat dalam pemberian kredit (anxiety for income)
2. Faktor Eksternal (dari pihak nasabah):
Unsur kesengajaan yang dilakukan oleh nasabah
a. Nasabah sengaja untuk tidak melakukan pembayaran angsuran kepada bank, karena nasabah tidak
memiliki kemauan dalam memenuhi kewajibannya
b. Penyelewengan yang dilakukan nasabah dengan menggunakan dana kredit tersebut tidak sesuai
dengan tujuan penggunaan. Misalnya, dalam pengajuan kredit, disebutkan kredit untuk investasi,
ternyata dalam praktiknya setelah dana kredit dicairkan, digunakan untuk modal kerja.
Unsur ketidaksengajaan yang dilakukan oleh nasabah
a. Debitur mau melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian, akan tetapi kemampuan debitur sangat
terbatas, sehingga tidak dapat membayar angsuran;
b. Bencana alam yang dapat menyebabkan kerugian debitur
Cara Mencegah Kemungkinan Kredit Bermasalah
1. Penilaian/Analisis terhadap Permohonan Kredit
Dalam penilaian kredit, ada prinsip-prinsip analisis pembiayaan yang harus diperhatikan yaitu
prinsip 5 C + 1C, yang meliputi:
a) Character, Character atau watak debitur sangat menentukan kemauan untuk membayar kembali kredit
yang telah diterimanya. penilaian atas character debitur perlu dilakukan secara hati-hati dan secermat
mungkin. Untuk mengetahui dan memperoleh gambaran yang jelas tentang watak calon debitur ini,
dapat dilakukan usaha-usaha seperti: melakukan interview langsung terhadap calon debitur; meneliti
daftar riwayat hidupnya, mengetahui reputasi calon debitur berdasarkan informasi dari „lingkungan‟
usahanya, serta meneliti kegiatan dan pengalaman-pengalaman usahanya.
b) Capacity mengandung arti kemampuan calon debitur dalam mengelola usahanya. Dengan demikian,
capacity berkaitan erat dengan kemampuan calon debitur dalam melunasi kreditnya. Unsur-unsur yang
dinilai untuk mengetahui kemampuan calon debitur antara lain meliputi penilaian terhadap: 1) Proyeksi
arus kas; 2) Proyeksi laporan keuangan; 3) Pusat informasi krdit; 4) Kemampuan manajemen; 5)
Kemampuan pemasaran; 6) Kemampuan teknis; 7) Kewajiban – kewajiban pada pihak lainnya.
c) Capital, Informasi mengenai besar kecilnya modal (capital) perusahaan calon debitur adalah sangat
penting bagi bank. Modal yang dimaksudkan disini adalah modal sendiri (networth) atau nilai kekayaan
bersih yang dimiliki perusahaan, yang merupakan selisih antara total aktiva dengan total kewajiban
(utang).
d) Collateral (jaminan kredit) merupakan setiap aktiva atau barang-barang yang diserahkan debitur sebagai
jaminan atas kredit yang diperoleh dari bank. Manfaat jaminan ini bagi bank adalah sangat penting,
sebagai ‘back up’ atas kredit yang diberikan kepada debitur. Tujuannya adalah agar bank dapat
memperoleh pelunasan kembali atas kredit yang diberikan kepada debitur, apabila kelak debitur tidak
mampu melunasi kreditnya atau pun ingkar janji (wanprestasi)
e) Conditions, Yang dimaksud conditions disini adalah keadaan perekonomian secara umum dimana
perusahaan tersebut beroperasi. Oleh karena itu, bank atau dalam hal ini analis kredit, harus
mempertimbangkan keadaan perekonomian, dan proyeksi perekonomian selama jangka waktu kredit
yang diberikan.
f) Constraint, Dalam pemberian kredit, bank perlu juga mengetahui dan mempertimbangkan hambatan
(constraint) yang mungkin muncul di lapangan. Bank perlu mengetahui tanggapan masyarakat setempat
terhadap rencana investasi yang akan dilakukan oleh calon debiturnya, karena bisa saja masyarakat
setempat menolak rencana investasi tersebut.
2. Pemantauan Penggunaan Kredit
Setelah bank memutuskan untuk memberikan kredit kepada debiturnya, bukan berarti bahwa tugas
bank sebagai perantara keuangan selesai sampai di situ, melainkan itulah awal mula tugas bank yang
sesungguhnya dalam penyaluran kredit. Bank senantiasa harus memantau kredit yang telah
disalurkannya. Apakah debitur benar-benar menggunakan kreditnya sesuai dengan permohonan semula,
atau digunakan untuk keperluan lain?
3. Jaminan Kredit
Pengikatan jaminan kredit ini harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini berkaitan
dengan eksekusi jaminan, apabila kelak debitur ingkar janji (wanprestasi) atau tidak mampu melunasi
kreditnya.
Cara yang dilakukan untuk menyelamatkan kredit bermasalah ini adalah melalui Retrukturisasi Kredit.
Upaya restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam kegiatan perkreditan
terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya yang dilakukan melalui:
a. Penurunan suku bunga kredit;
b. Perpanjangan jangka waktu kredit;
c. Pengurangan tunggakan bunga kredit;
d. Pengurangan tunggakan pokok kredit;
e. Penambahan fasilitas kredit; dan atau
f. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Upaya Retrukturisasi Kredit merupakan upaya penyelematan kredit bermasalah melalui beberapa
kebijakan sesuai dengan SEBI No. 23/12/BPPP tanggal 28 Februari 1991 yang meliputi :
a. Melalui Rescheduling (penjadwalan kembali), yaitu suatu upaya untuk melakukan perubahan terhadap
beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali/jangka waktu
kredit termasuk masa tenggang (grace period) termasuk perubahan jumlah angsuran. Bila perlu dengan
penambahan kredit.
b. Melalui Reconditioning (persyaratan kembali), yaitu melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh
syarat-syarat perjanjian yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran dan atau jangka
waktu kredit saja. Namun perubahan kredit tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa
melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan.
c. Melalui Restructuring (penataan kembali), yaitu upaya berupa melakukan perubahan syarat-syarat
perjanjian berupa pemberian tambahan kredit, atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian
kredit menjadi perusahaan, yang dilakukan dengan atau tanpa Rescheduling dan atau tanpa
Reconditioning.
Hal-hal teknis mengenai restrukturisasi kredit, lebih lanjut diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 perihal Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, antara lain
sebagai berikut:
A. Analisis dan Dokumentasi
1) Evaluasi terhadap permasalahan debitur yang meliputi:
a) Evaluasi terhadap penyebab terjadinya tunggakan pokok dan/atau bunga yang didasarkan atas
laporan keuangan, arus kas (cash flow), proyeksi keuangan, kondisi pasar, dan faktor lain
yang berkaitan dengan usaha debitur;
b) Perkiraan pengembalian seluruh pokok dan/atau bunga berdasarkan perjanjian kredit sebelum
dan setelah restrukturisasi kredit.
c) Evaluasi terhadap kinerja manajemen debitur untuk menentukan diperlukannya
restrukturisasi organisasi perusahaan debitur
2) Pendekatan dan asumsi yang digunakan dalam perhitungan proyeksi arus kas (projected cash
flows) dan nilai tunai (present value) dari angsuran pokok dan/atau bunga yang akan diterima.
3) Analisis, kesimpulan, dan rekomendasi dalam melakukan penyesuaian persyaratan kredit seperti
penurunan suku bunga, pengurangan tunggakan pokok dan/atau bunga, perubahan jangka waktu,
dan/atau penambahan fasilitas.
4) Apabila restrukturisasi kredit dilakukan dengan cara pemberian tambahan kredit, tujuan dan
penggunaan tambahan kredit tersebut harus jelas.
5) Penyesuaian atas jadwal pembayaran kembali telah mencerminkan kemampuan membayar
debitur.
6) Rincian yang terkait dengan transparansi persyaratan kredit termasuk kesepakatan keuangan
dalam perjanjian kredit, seperti rencana rekapitalisasi perusahaan debitur atau adanya klausul
bahwa bank dapat meningkatkan suku bunga sejalan dengan kemampuan membayar debitur.
7) Persyaratan bahwa perjanjian kredit dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan
restrukturisasi kredit harus mempunyai kekuatan hukum.
8) Kelengkapan dokumen yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan restrukturisasi kredit.
B. Prosedur Pemantauan
Bank harus memiliki prosedur tertulis untuk memantau kredit yang telah direstrukturisasi
guna memastikan kesanggupan debitur untuk melakukan pembayaran sesuai persyaratan dalam
perjanjian kredit baru. Beberapa langkah yang harus dilakukan bank dalam rangka pemantauan
pelaksanaan restrukturisasi kredit, antara lain:
a) Meminta debitur untuk menyampaikan laporan keuangan yang dilengkapi dengan rasio keuangan
pokok, perkembangan usaha, pelaksanaan rencana tindakan (action plan), yang diperlukan bank
dalam rangka memantau kondisi usaha dan keuangan debitur secara terus menerus.
b) Mengevaluasi kredit yang telah direstrukturisasi setiap triwulan, termasuk apabila terdapat
perbedaan yang signifikan antara proyeksi dan realisas, terutama dari angsuran pokok dan bunga,
jangka waktu, arus kas, tingkat bunga, dan atau nilai taksasi agunan.
c) Menyusun langkah yang akan diambil jika debitur ternyata kembali mengalami kesulitan
membayar setelah restrukturisasi kredit.
Restrukturisasi kredit juga dapat dilakukan melalui penyertaan modal sementara oleh bank sebagaimana
ditentukan dalam ketentuan Pasal 7 Huruf C Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, yang berbunyi : “Bank Umum
dapat pula melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau
kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya,
dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.”
Berdasarkan ketentuan di atas, selain dapat melakukan penyertaan modal dalam bentuk saham pada bank
atau perusahaan di bidang keuangan lainnya, bank juga dapat melakukan penyertaan modal pada perusahaan
debitur untuk mengatasi kegagalan kredit (debt to equity swap), termasuk penanaman dalam bentuk surat
utang konversi (convertible bonds) dengan opsi salah atau jenis transaksi tertentu yang berakibat bank
memiliki saham pada perusahaan debitur. Artinya terdapat dua bentuk penyertaan modal suatu bank, yaitu
pertama, penyertaan modal di bidang keuangan yang berakibat bank memiliki atau akan memiliki saham
pada bank dan/atau perusahaan yang bergerak di bidang keuangan lainnya, dan kedua, penyertaan modal
sementara pada perusahaan nasabah debiturnya.
MATERI KELOMPOK 4 “Penyelesaian Kredit Bermasalah”
1. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)
Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) adalah panitia interdepartemental yang mengurus piutang
negara yang berasal dari instansi pemerintah atau badan-badan yang dikuasai oleh negara. Pada bank milik
negara, kredit merupakan salah satu bentuk yang dikategorikan sebagai piutang negara karena bank milik
negara merupakan salah satu badan yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara (Pasal 8
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang
Negara). Sehingga jika terjadi kredit bermasalah, diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (Pasal
12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan
Piutang Negara). PUPN bertugas dalam membahas pengurusan piutang negara dan Melakukan pengawasan
terhadap piutang-piutang/kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh Negara/Badan-badan Negara.
PUPN dalam mengurus piutang negara secara khusus dengan mekanisme yang berpedoman kepada
Pasal 10 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan
Piutang Negara, diantaranya:
1) Mengadakan suatu perundingan oleh panitia dengan penanggung utang dan diperoleh kata sepakat
tentang jumlah utang yang masih harus dibayar, termasuk bunga uang, denda, serta biaya-biaya yang
bersangkutan dengan piutang ini, yang juga memuat jumlah dan kewajiban penanggung utang untuk
melunasinya.
2) Pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan pelaksanaan, seperti suatu putusan hakim dalam perkara
perdata yang telah berkekuatan hukum pasti, dan pelaksanaannya dijalankan dengan pengeluaran surat
paksa sebagai suatu kewenangan PUPN.
Penetapan surat paksa tersebut sebagai pelaksanaan persiapan tindakan eksekusi yang dapat
dijalankan secara penyitaan, pelelangan dan penyanderaan terhadap penanggung piutang Negara oleh Badan
UPN (sesuai dengan Putusan Presiden No. 11 Tahun 1976 Tentang Panitia Urusan Piutang dan Badan
Urusan Panitia Negara)
c. Objek : Hak Milik, HGB, HGU, Hak Pakai atas Tanah Negara (pasal 4 ayat 1 dan ayat 2)
d. Legalitas: Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan AktaPemberian Hak
Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undanganyang berlaku. (pasal 10 ayat
(2))
e. Eksekusi: Apabila debitor cidera janji, pemegang HakTanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan ataskekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnyadari hasil penjualan tersebut (pasal 6)
f. Sifat benda: Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanahberikut bangunan, tanaman,
dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yangmerupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut,
dan yang merupakan milikpemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan
di dalamAkta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. (pasal 4 ayat (4)) dan Suatu obyek
Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih darisatu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan
lebih dari satu utang (pasal 5 ayat (1))
g. Hapusnya: HakTanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut: a. hapusnya utang yang dijamin
dengan Hak Tanggungan;b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; c.
pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; dan
d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan (pasal 18 ayat 1)
- tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan penerima fidusia
terhadap kreditur lainnya.
- Obyek Fidusia terdiri dari:
a. Benda-benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud;
b. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan
berdasarkan UUHT.
- Sementara subyek yang dapat memberi Fidusia ialah harus merupakan pemilik
benda.Jika Benda tersebut milik Pihak Ketiga, maka pengikatan Jaminan Fidusia tidak boleh
dengan kuasa substitusi, tetapi harus langsung oleh pemilik Benda/Pihak Ketiga yang
bersangkutan.
- Adapun sifat Fidusia antara lain:
d. Asas Droit De Suite --- Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi Obyek
Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada.
e. Asas Hak Preferent
3) Dengan didaftarkannya Jaminan Fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia,
memberikan kedudukan hak yang didahulukan kepada Penerima Fidusia (Kreditur)
terhadap Kreditur lainnya.
4) Kualitas hak didahulukan Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya Kepailitan dan
atau Likuidasi.
f. Cessie Piutang: Cessie merupakan suatu cara pengalihan antara piutang atau hak
kebendaan tak berwujud lainnya dari satu kreditur lainnya.
Perbedaan Gadai, Fidusia, Hak Tanggungan, dan Hipotek
1. Gadai
a. Dasar hukum : 1150-1160Kuhper
b. Definisi, objeknya
c. Legalitas: Perjanjian gadai (pasal 1151 KUHper)
d. Eksekusi: Lelang atau dijual atas izin pengadilan benda yang telah dikuasai kreditur (pasal 1155 dan
1156 KUHPer)
e. Sifat benda: benda telah ada dan diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan atas utangnya (pasal
1150 KUHPer), dan suatu benda dapar dibebani lebih dari satu hak gadai asal kreditur dan
debiturnya adalah seseorang yang sama dengan hutang pertama.
f. Hilangnya hak: debitur telah membayar hutang pokok kepada kreditur termasuk jika ada (bunga,
biaya hutang, biaya penelamatan barang) Pasal 1159 KUHPer, dan hak gadai hapus bila hak itu lepas
dari kekuasaan pemegang gadai Pasal 1152 KUHPer
2. Fiduisia
a. Dasar hukum : UU No. 42 Tahun 2009 Tentang Jaminan Fiduisia
b. Definisi: (pasal 1 angka 2), objek
c. Legalitas: Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam Bahasa
Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia (pasal 5 ayat 1)
d. Eksekusi: Apabila debitor atau Pemberi Fidusia ciderajanji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara : a. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana
dimakasud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia; b. penjualan Benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; c. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga
tertinggi yang menguntungkan para pihak. (pasal 29)
e. Sifat benda: Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis Benda,
termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian
(pasal 9 ayat (1)
f. Hilangnya hak: Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut : a. hapusnya utang yang
dijamin dengan fidusia; b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau c.
musnahnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia (pasal 25 ayat 1)
3. Hipotek
a. Dasar hukum : Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata.
b. Definisi : (pasal 1162), objeknya
c. Objek : benda” yang dihipotekkan dipenjelasan atas (Pasal 1164 KUHPer)
d. Legalitas: Hipotek hanya dapat diberikan dengan akta otentik, kecuali dalam hal yang dengan tegas
ditunjuk oleh undangundang. Juga pemberian kuasa untuk memberikan hipotek harus dibuat dengan
akta otentik. (Pasal 1171)
e. Eksekusi: penjualan (penjualan secara lelang atau biasa) dengan dasar akta hipotek yg telah
didaftarkan ke kantor terkait (pasal 1172)
f. Sifat benda: hipotek hanya dapat diadakan atas benda yang sudah ada. Hipotek atas benda yang
belum ada adalah batal. (pasal 1175)
g. Hapusnya: Hipotek hapus: 1. karena hapusnya perikatan pokoknya 2. karena pe!epasan hipotek itu o!
eh kreditur; 3. karena pengaturan urutan tingkat oleh Pengadilan, dan seterusnya. (pasal 1209)
4. Hak tanggungan
a. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT)
b. Definisi (pasal 1 angka 1)
c. Objek : Hak Milik, HGB, HGU, Hak Pakai atas Tanah Negara (pasal 4 ayat 1 dan ayat 2)
d. Legalitas: Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan AktaPemberian Hak
Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undanganyang berlaku. (pasal 10 ayat
(2))
e. Eksekusi: Apabila debitor cidera janji, pemegang HakTanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan ataskekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnyadari hasil penjualan tersebut (pasal 6)
f. Sifat benda: Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanahberikut bangunan, tanaman,
dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yangmerupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut,
dan yang merupakan milikpemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan
di dalamAkta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. (pasal 4 ayat (4)) dan Suatu obyek
Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih darisatu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan
lebih dari satu utang (pasal 5 ayat (1))
g. Hapusnya: HakTanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut: a. hapusnya utang yang dijamin
dengan Hak Tanggungan;b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; c.
pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; dan
d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan (pasal 18 ayat 1)