Oleh:
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH.
Bunyi pasal tersebut merupakan rambu yang harus diperhatikan oleh suatu
bank bukan saja berkenaan dengan kebijakan portofolio perkreditan bank yang
bersangkutan, tetapi juga berkenaan dengan pemberian kredit kepada setiap nasabah
dari bank tersebut. Dalam hal bank mengambil keputusan baik untuk menolak
maupun untuk menyetujui permohonan kredit dari seorang calon nasabah debitur,
cara-cara apa yang harus ditempuh oleh bank agar keputusan bank tersebut tidak
sampai merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya
kepada bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) tersebut?. Cara-cara
yang dimaksud ternyata ditentukan dalam pasal 8 UU No.7/1992. Pasal 8 tersebut
berbunyi sebagai berikut:
Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dari bunyi pasal 8 UU No. 7/1992 dan penjelasannya tersebut di atas, maka
dapat diketahui bahwa ternyata UU No. 7/1992 menentukan bahwa cara-cara yang
harus dilakukan oleh bank dalam mempertimbangkan permohonan kredit adalah
metode tradisionil The Five C's of Credit. Yang dimaksudkan dengan The Five C's of
Credit ialah lima faktor yang dipertimbangkan oleh bank dalam hal bank melakukan
analisis pemberian kredit sehubungan dengan pengajuan permohonan kredit oleh
calon nasabah debitur.
Kelima faktor tersebut adalah Character, Capacity, Capital, Conditions dan
Collateral. Pada hakikatnya dalam hal bank melakukan analisis atas permohonan
kredit dari seorang calon nasabah debitur dengan menggunakan pendekatan The Five
C's of Credit tujuannya adalah untuk menjajagi Willingness and ability to re-pay atau
kemauan dan kemampuan calon nasabah debitur untuk melunasi kredit yang
dimintanya.
Bila dihubungkan dengan The Five C's of Credit, maka yang dimaksudkan oleh
penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 dengan watak adalah
Character, dengan kemampuan adalah Capacity, dengan modal adalah Capital,
dengan agunan adalah Collateral dan dengan prospek usaha adalah Condition.
Character menentukan hal yang menyangkut pertanyaan: Will he pay?
Sedangkan Capacity menentukan hal yang menyangkut pertanyaan: Can he pay?1
Apabila jawaban dari pertanyaan "Can he pay" adalah "Yes", maka Capital adalah
faktor untuk menjawab pertanyaan "How much can he pay ?" Dikaitkan dengan
uraian terdahulu, maka Character menyangkut penilaian mengenai kemauan nasabah
debitur untuk membayar kembali kreditnya, sedangkan Capacity dan Capital
menyangkut kemampuan nasabah debitur untuk membayar kembali.
Faktor C yang ke-4 adalah Conditions, yaitu kondisi-kondisi eksternal, yang
berada di luar kendali pemohon kredit. Kondisi-kondisi tersebut sangat
mempengaruhi risiko kredit. Kondisi-kondisi yang tidak dapat diperhitungkan
sebelumnya dapat merupakan masalah besar di dalam pemberian kredit. Misalnya
saja, gagalnya panen oleh karena hama wereng. Atau misalnya, kedudukan monopoli
dari nasabah debitur yang semula diperkirakan akan berlanjut lama, yaitu berdasarkan
data yang diketahui pada waktu kredit diberikan, ternyata kemudian tidak lagi
berkedudukan monopoli karena izin baru dikeluarkan oleh pemerintah untuk usaha
yang sama kepada pihak lain setelah kredit diberikan. Atau misalnya, berubahnya
keadaan yang berkaitan dengan tersedianya dan mudahnya untuk mendapatkan
bahan-bahan baku guna menghasilkan barang-barang produk nasabah debitur, atau
berubahnya keadaan berkaitan dengan tersedianya pasar yang cukup untuk
menampung barang-barang produk yang dihasilkan oleh nasabah debitur.
Sekalipun usaha-usaha pencegahan telah dilakukan dengan baik, namun tidak
mustahil bahwa kemacetan kredit terjadi juga karena alasan-alasan tertentu. Untuk
berjaga-jaga terhadap kemungkinan terjadinya hal yang demikian itu, bank perlu
memastikan adanya sumber pengembalian kredit yang lain daripada usaha nasabah
apabila usaha nasabah tersebut tidak lagi dapat diharapkan menjadi sumber pelunasan
1
Richard P. Ettinger & David E. Golieb. Credit and Collection. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, Inc.,
1964, hal. 12.
kredit. Dengan kata lain bahwa bagi bank, tidaklah cukup hanya mengandalkan hasil
analisisnya tentang kemauan dan kemampuan nasabah debitur untuk membayar
kembali kreditnya dalam memutuskan pemberian kredit. Hasil analisis itu, hanya
dapat dipegang apabila segala sesuatunya memang berjalan sesuai dengan hasil
analisis itu. Namun tidak mustahil setelah kredit diberikan, harapan-harapan yang
dibayangkan ternyata tidak terjadi. Dapat saja terjadi bahwa faktor conditions yang
diperhitungkan berubah sama sekali, sehingga menyebabkan usaha nasabah
mengalami kemacetan dan nasabah debitur menjadi tidak mampu membayar kembali
kredit tersebut. Untuk menjaga terhadap terjadinya kemungkinan yang demikian,
maka bank perlu memiliki sesuatu yang lain yang dapat dipakai sebagai tumpuan
terakhir atau sebagai source of last resort. Hal itu dapat diperoleh dengan meminta
kepada nasabah debitur untuk menyediakan agunan atau collateral. Bila nasabah
debitur tidak lagi mampu untuk melunasi kredit dari sumber keuangannya, yang
merupakan first way out bagi bank, maka bank berharap kredit dapat dilunasi dari
eksekusi agunan. Dengan demikian agunan merupakan second way out bagi bank.
Kalau ancaman terhadap pejabat bank yang meminta atau menerima imbalan
atau komisi dari nasabah ditentukan begitu spesifik dan berat oleh UU No. 7/1992,
ternyata terhadap nasabah yang memberikan imbalan atau komisi kepada pejabat bank
sama sekali tidak ditentukan sanksinya. UU No. 7/1992 sebagai undang-undang
perbankan seyogianya tidak hanya mengatur/menentukan sanksi-sanksi bagi pengurus
atau pegawai bank saja, tetapi juga seyogianya mengatur/menentukan sanksi- sanksi
bagi nasabah bank yang melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji yang dapat
membahayakan kesehatan atau eksistensi bank.
4. Sanksi Pidana
Pelanggaran bank terhadap ketentuan Pasal 29 ayat (4) dan Pasal 8 merupakan
tindak pidana yang dapat dikenai sanksi pidana penjara dan denda yang sangat berat
sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b. Bunyi lengkap dari pasal
tersebut adalah:
Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap
ketentuan dalam UU ini dan ketentuan peraturan per-undang-undangan lainnya yang berlaku
bagi bank, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
banyak Rp. 6.000.000.000 (enam milyar rupiah).