Anda di halaman 1dari 93

BAB V

JAMINAN FIDUSIA DALAM PUTUSAN PENGADILAN


DI SUMATRA UTARA

A. OBJEK JAMINAN FIDUSA

Menurut sejarah hukum jaminan fidusia dan pendapat para ahli hukum
antara lain Pitlo dan A. Veenhoven bahwa pada prinsipnya semua benda baik
benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang dapat diserahkan I hak
miliknya kepada orang lain dapat pula diserahkan hak miliknya secara
kepercayaan sebagai jaminan hutang melalui / lembaga fidusia. Namun, karena
benda tidak bergerak sudah ada lembaga jaminannya tersendiri yaitu hipotik atau
hak tanggungan, hal tersebut tidak dimungkinkan dijaminkan melalui
lembaga fidusia. Pertanyaan yang muncul adalah apakah pendapat tersebut
rnasih dapat dipertahankan sampai sekarang? Secara teoretis, pandangan tersebut
sampai saat ini masih relevan serta mendapat dukungan dari Mahkamah
Agang dan hukurrt positif. Ada alasan untuk memperkuat pendapat tersebut
yakni: pertama, setiap benda tanah dan bukan tanah karena sifatnya bergerak atau
tidak bergerak yang secara yuridis dapat diserahkan kemiltkannya kepada orang
lain dapat juga diserahkan sebagai jaminan hutang melalui jaminan fidusia. Jadi,
yang ditekankan di sini adalah segi karakter penyerahan benda itu. Kedua, karena
tanah sudah mendapat pengaturan hak jaminannya lewat lembaga hak
tanggungan, lembaga jaminan fidusia tidak dimungkinkan untuk itu. Pengikatan
tanah sebagai objek hak tanggungan memiliki pembatasan yaitu tanah-tanah yang
sudah memiliki buktr hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak
pakai1) Terhadap tanah yang belum bersertifikat atau belum terdaftar, oleh
pembentuk undang-undang dilakukan dengan surat kuasa memasang hak
tanggungan. Ketiga, putusan Mahkamah Agung No. 3216/K/Perd/1984 tanggal
28 Juli 1986 telah menetapkan bahwa tanah berikut rumah yang ada di atasnya
yang belum jelas status haknya dapat difidusiakan. Yang menjadi pertanyaan,
mengapa putusan Mahkamah Agung tersebut tidak diambil alih oleh
pembentuk UUHT untuk dijadikan sebagai norma hukum. Bukankah peranan
Mahkamah Agung memiliki arti yang penting dalam pembentukan norma
hukum yang bertujuan untuk meniptakan kepastian hukum. Lagi pula asas
hukum mengatakan bahwa Res judicata pro veritate habetur artinya, putusan
hakim harus dianggap benar.2) Di sini terlihat adanya kontradiksi Uukum antara
putusan Mahkamah Agung dengan pembentuk undang-undang. Keempat, undang-
undang Jaminan Fidusia menyebutkan dengan tegas bahwa bangunan yang tidak
1
Pasal 4 UUHT. Sebelum UUHT ditindangkan, hak pakai tidak dapat dijadikan sebagai objek
jaminan hipotik. UUPA juga hanya menentukan bahwa objek hak tanggungan adalah hak
milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha. Para ahli hukum menyepakati sebagai jalan
keluar untuk mengatasi hak pakai sebagai jaminan hutang adalah dengan lembaga fidusia.
Dalam perkembangannya dan sesuai dengan tuntutan masyarakat terjadi perubahan pemikiran
bagi pembentuk undang-undang bahwa hak pakai menurut sifat dan kenyataannya dapat
dipindah tangankan, dapat juga dibebani hak tanggungan.
2
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2000),
h. 8.
dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah termasuk objek jaminan
fidusia.3)
Dalam praktik pengadilan di Sumatera Utara, diperoleh hasil penelitian
mengenai benda yang dijadikan objek jaminan fidusia sebagai berikut: Pertama,
putusan PN Pematang Siantar dalam perkara Sejahtera Bank Umum v. Timbul
Saragih No. 26/Pdt.G/1991, tanggal 11 Oktober 1991, bahwa objek jaminan
fidusia adalah mobil. Kedua, putusan PN Pematang Siantar dalam perkara
Sejahtera Bank Umum v. Lo Tjin Kuang dan Lo Ah Lian, No. 80/Pdt.G/1992,
tanggal 2 Februari 1992, bahwa objek jaminan fidusia adalah mesin forklif dan
mobil. Ketiga, putusan PN Medan dalam perkara United City Bank v. Herman
Kostan dan P.T. Sumatera Berlian Motors, No. 334/Pdt.G/1991, tanggal 29
Februari 1992, bahwa objek jaminan fidusia adalah mobil. Keempat, putusan PN
Medan dalam perkara Bank Internasional Indonesia v. Kwafi Pok Keng, Liaw
Tjai Hoa dan Ng Tjin San, No. 462/Pdt.G/ 1992, tanggal 23 Juni 1992, bahwa
objek jaminan fidusia adalah traktor dan eksavator. Kelima, putusan PN Medan
dalam perkara Bank Bali v. Lau Kie Ling dan P.T. Sumatera Bambo Binatama,
No. 569/Pdt.G/1991, tanggal 19 September 1992, bahwa objek jaminan fidusia
adalah mesin. Keenam, putusan PN Medan dalam perkara Sejahtera Bank Umum
v. P.T. Sumatera Bambo Binatama, Lai The Ning, Piter Kornelis dan Hai Peng
Tjang, No. 572/Pdt.G/1991, tanggal 12 Desember 1992, bahwa objek jaminan
fidusia adalah mesin dan barang dagangan berupa lidi penyangga bunga, gagang
gaharu dan sumpit. Ketujuh, putusan PN Medan dalam perkara Bank Bali v.
Lucyana dan Pulung Sukatendel, No. 32/Pdt.G/1992, tanggal 31 Oktober 1992,
bahwa objek jaminan fidusia adalah mobil. Kedelapan, putusan PN Medan dalam
perkara Bank Internasional Indonesia v. Harianto, No. 43/Pdt.G/1992, tanggal 14
Januari 1993, bahwa objek jaminan fidusia adalah barang-barang persediaan.
Kesembilan, putusan PN Medan dalam perkara Bank Dagang Nasional Indonesia
v, Soekarsa dan Joeskawati, No. 375/Pdt.G/1992, tanggal 31 Januari 1993, bahwa
objek jaminan fidusia adalah mesin. Kesepuluh, putusan ;PN Medan dalam
perkara Bank Buana Indonesia v. Ivvan Santoso dan Halim, No. 386/Pdt.G/1992,
tanggal 14 Januari 1993, bahwa objek jaminan fidusia adalah mesin. Kesebelas,
putusan PN Medan dalam perkara Bank Bali v. Abdullah Mahmud, No.
385/Pdt.G/1992, tanggal 18 Januari 1993, bahwa objek jaminan fidusia adalah alat
berat (traktor). Keduabelas, putusan PN Medan dalam perkara Bank
Pembangunan Daerah Sumatera Utara v. Paulus Usman, No. 471/Pdt.G/1992,
tanggal 19 Januari 1993, bahwa objek jaminan fidusia adalah barang-barang
dagangan, peralatan, mesin, perlengkapan, inventaris dan mobil. Ketigabelas,
putusan PN Medan dalam perkara Bank Duta v. Arifin Aminah, No.
468/Pdt.G/1992, tanggal 2 Februari 1993, bahwa objek jaminan fidusia adalah
stock barang pakaian. Keempatbelas, putusan PN Medan dalam perkara Bank
Duta v. P.T. Darsa Putra, No. 488/Pdt.G/1992, tanggal 31 Maret 1993, bahwa
objek jaminan fidusia adalah stock barang berupa biji kopi. Kelimabelas, putusan
PN Medan dalam perkara Bank Dharmala Nugraha v. CV Barumun Jaya dan
Ridwan, No. 558/Pdt.G/1992, tanggal 26 April 1993, bahwa objek jaminan fidusia
3
Pasal 1 angka 2 jo Penjelasan Pasal 3 UUJF.
adalah mobil. Keenambelas, putusan PN Medan dalam perkara Bank Surya
Nusantara v. Mangasi Simbolon, Junaidi, Fauzie Yusuf Hasibuan, Amir
Syarifuddin dan Yusnidar Mariaty, No. 71/Pdt,Plw/1992, tanggal 13 April 1994,
bahwa objek jaminan fidusia adalah mobil. Ketiijuhbelas, putusan PN Medan
dalam perkara Sejahtera Bank Umum v. P.T. Mitra Megah Cattleefeed Perdana,
Budiono Wiro Suparto, Gunawan Chandra, Kasim Yus, Tan Sri Chandra, dan
Wagimun, No, 332/Pdt.G/1993, tanggal 23 September 1994, bahwa objek jaminan
fidusia adalah barang dagangan berupa makanan ternak. Kedelapanbelas, putusan
PN Medan dalam perkara Bank Duta v. Bambang Sunandar, No. 414/Pdt.G/1993,
tanggal 19 Februari 1994, bahwa objek jaminan fidusia adalah eksavator.
Kesembilanbelas, putusan PN Medan dalam perkara Bank Bumi Daya v. Kantor
Pelayanan Pajak Medan Barat dan P.T. Mahogani Indah Industri, No.
40/Pdt.Plw/1994, tanggal 17 November 1994, bahwa objek jaminan fidusia adalah
mesin (genset, saw mill, forklif, generator). Keduapuluh, putusan PN Medan
dalam perkara Sejahtera Bank Umum v. Chairul Azhari Siregar, No.
105/Pdt.G/1994, tanggal.30 Agustus 1994, bahwa objek jaminan fidusia adalah
mobil. Keduapuluh satu, putusan PN Medan dalam perkara Reny Helena
Hutagalung v. P.T. Sumatera Berlian Motors dan Bank Bali, No.l07/Pdt.G/1994,
tanggal 3 Agustus 1994, bahwa objek jaminan fidusia adalah mobil. Terhadap
putusan tersebut dimintakan banding dengan putusan PT Medan dalam perkara
P.T. Sumatera Berlian Motors v. Maruli HTT Pardede, Bank Bali dan Reny
Helena Hutagalung, No. 396/Pdt/1995, tanggal 20 Juni 1996. Selanjutnya,
perkaranya dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung dengan putusan MA dalam
perkara P.T. Sumatera Berlian Motors v. Maruli HTT Pardede, Bank Bali dan
Reny Helena Hutagalung, No. 3935 K/Pdt/1996, tanggal 14 Maret 2000.
Keduapuluh dua, putusan PN Medan dalam perkara Sejahtera Bank Umum v.
Arvin Pawitra, No. 178/Pdt.G/1994, tanggal 30 Juli 1994, bahwa objek jaminan
fidusia adalah alat berat (eksavator). Keduapuluh tiga, putusan PN Medan dalam
perkara Sejahtera Bank Umum v. Sri Harum dan Heru Baskoro Syarif,
No.l87/Pdt.G/1994, tanggal 12 September 1994, bahwa objek jaminan fidusia
adalah mobil. Keduapuluh empat, putusan PN Medan dalam perkara Bank
Danamon Indonesia v. Sudarli, No. 220/Pdt.G/1994, tanggal 21 September 1994,
bahwa objek jaminan fidusia adalah mobil. Keduapuluh lima, putusan PN Medan
dalam perkara Prima Ekspress Bank v. Guntur P. Napitupulu, No.
308/Pdt.G/1994, tanggal 28 Maret 1995, bahwa objek jaminan fidu sia adalah
mobil. Keduapuluh enam, putusan PN Medan dalam perkara Sejahtera Bank
Umum v. Rotua Martinus, No. 55/Pdt.G/1995, tanggal 20 Juni 1995, bahwa
objek jaminan fidusia adalah mobil. Keduapuluh tujuh, putusan PN Medan
dalam perkara Standar Chartered Bank v. Native Prima, Djoesianto, Sindy
Lawina, No. 132/ Pdt.G/1996, tanggal 17 September 1997, bahwa objek jaminan
fidusia adalah stock barang dagangan berupa bahan mentah dan bahan
pendukung serta bahan siap pakai. Terhadap putusan dimintakan banding
dengan putusan PT Medan dalam perkara Native Prima, Djoesianto, Sindy
Lawina v. Standar Chartered Bank, No. 21/Pdt/1998, tanggal 25 Maret 1998.
Keduapuluh delapan, putusan PN Medan dalam perkara Syafril v. Bank
Pembangunan Daerah Sumatera Utara, Armyn, BUPLN, No. 407/Pdt.G/1997,
tanggal 20 Mei 1998, bahwa objek jaminan fidusia adalah bus penumpang dan
mobil. Keduapuluh sembilan, putusan PN Medan dalam perkara Zainal Abidin v.
Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara, Armyn, KP3N, No. 408/Pdt.G/1997,
tanggal 12 Agustus 1998, bahwa objek jaminan fidusia adalah bus penumpang
dan mobil. Ketigapuluh,, putusan PN Medan dalam perkara Prima Ekspress Bank
v. Lim Bun long, No. 176/Pdt.G/1998, tanggal 17 September 1998, bahwa objek
jaminan fidusia adalah mobil truk, Ketigapuluh satu, putusan PN Medan dalam
perkara Bank Mestika Dharma v. Darma Silan, No. 226/Pdt.G/1998, tanggal 13
Oktober 1998, bahwa objek jaminan fidusia adalah mobil truk. Ketigapuluh dua,
putusan PN Medan dalam perkara Bank Mestika Dharma v. Norin Yushiwarti dan
P.T. Indo Prima Tour & Travel Service, No. 424/Pdt.G/1998, tanggal 16
Desember 1998, bahwa objek jaminan fidusia adalah mobil.

Sebagai bahan perbandingan mengenai objek jaminan fidusia yang


diputuskan pada pengadilan negeri di luar propinsi Sumatera Utara dapat
dikemukakan putusan PN Yogyakarta dalam perkara Bank Buana Indonesia v.
Eddy Hartono dan Veronica Lidya, No. 3/Pdt.G/1999, tanggal 17 April 1999,
bahwa objek jaminan fidusia adalah mobil. Selain itu, juga dapat dilihat putusan
PN Jakarta Pusat dalam perkara Bank Mulya Artha Sentosa v. Herman Wiryadi,
No. 273/Pdt.G/2000, tanggal 14 November 2000, bahwa objek jaminan fidusia
adalah mobil dan spare part motor Honda. Putusan lainnya dapat pula dilihat pada
putusan PN Jakarta Pusat dalam perkara Frans Putratex v. Bank Rakyat Indonesia
dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, No. 51/Pdt.G/ 2001, tanggal 7
Agustus 2001, bahwa jaminan fidusia adalah mesin dan peralatan pabrik.

Dari tiga puluh dua perkara perjanjian kredit bank dengan objek jaminan
fidusia yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri di propinsi Sumatera Utara dan
tiga perkara perjanjian kredit bank dengan objek jaminan fidusia yang diputuskan
oleh Pengadilan Negeri di luar propinsi Sumatera Utara yaitu Pengadilan
Negeri Yogyakarta dan Jakarta Pusat, diperoleh secara deskriptif bahwa objek
jaminan fidusia adalah benda bergerak. Pada umumnya, benda bergerak itu adalah
mobil, mesin (genset, generator, forklif), truk, bis penumpang, peralatan
pabrik, stock barang dagangan, alat berat (traktor, eksavator), inventaris
perusahaan, pakaian,. bahan mentah, bahan siap pakai, spare part kendaraan
bermotor. Putusan pengadilan tersebut pada umumnya merupakan kasus-kasus
perjanjian jaminan fidusia yang terjadi sebelum keluarnya UUJF, sehingga
pertimbangan hukum yang diberikan oleh pengadilan masih didasarkan kepada
pengertian dan prinsip hukum jaminan fidusia sebelum keluarr .1 UUJF.
Demikian juga kasus perjanjian jaminan fidusia yang diputus oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam suasana berlakunya UUJF, belum
memperlihatkan pertimbangan hukum yang didasarkan kepada norma-norma
hukum yang terkandung dalam UUJF. Sebagai contoh, objek jaminan fidusia
adalah . mesin atau alat pabrik yang tidak dipersoalkan oleh para pihak apakah
termasuk dalam kelompok benda bergerak atau benda tidak bergerak. Pada
prinsipnya, mesin itu adalah benda bergerak tetapi dalam kaitannya dengan
jaminan fidusia, harus diterangkan apakah mesin dalam pabrik tersebut ditanam
sedemikian rupa atau digunakan untuk kepentingan pabrik karena memiliki
konsekuensi yuridis yang berbeda. Jika mesin itu ditanam sedemikian rupa, dapat
dikatakan bahwa mesin itu karena hubungannya dengan pabrik telah memperoleh
sifat hukum sebagai benda tidak bergerak. Di sini mesin berperan sebagai benda
tambahan dari benda pokoknya (bangunan pabrik). Demikian juga kalau mesin-
mesin pendingin difungsikan untuk membekukan bahan mentah seperti udang,
ikan, kepiting, atau mesin pembuat pakaian difungsikan sebagai pencuci pakaian,
mesin-mesin tersebut dapat dikategorikan ke dalam benda tidak bergerak karena
mesin itu merupakan benda penolong.

Dari hasil penelitian terhadap putusan pengadilan tersebut di atas, juga


belum ditemukan adanya kasus jaminan fidusia yang objeknya adalah bangunan
di atas tanah orang lain atau tanah yang belum bersertifikat atau kios-kios dengan
hak sewa yang ada di plaza. Persoalannya bukan terletak kepada pengadilan yang
tidak memberikan putusan terhadap objek jaminan fidusia tersebut melainkan
perkara yang diajukan dengan objek yang sedemikian rupa oleh pihak bank atau
nasabah debitur atau para pihak lainnya yang belum pernah sampai ke pengadilan.
Oleh karena itu, belum ada putusan konkret tentang bagaimana sikap hakim dalam
kasus objek jaminan terhadap kios-kios dengan hak sewa yang ada di plaza atau
jaminan fidusia dengan objek bangunan di atas tanah orang lain atau objek
jaminan fidusia atas tanah belum bersertifikat. Namun, dalam praktik bank
ditemukan bahwa objek jaminan fidusia adalah bangunan pabrik dan bangunan
prasarana yang berdiri di atas tanah hak pengelolaan dari P.T. (Pesero) Pelabuhan
Indonesia I.4)

Dalam hal kekuasaan kehakiman, hakim bersifat menunggu, pasif. Kalau


tidak ada perkara diajukan kepada hakim, hakim bersikap menunggu, menunggu
datangnya atau diajukannya perkara kepadanya (ivo kein Klager ist, ist kein
Richter).5) Walaupun perkaranya belum pernah diputus, hakim memiliki
pandangan yang berbeda-beda mengenai jaminan fidusia yang objeknya benda
tidak bergerak. Menurut hakim pengadilan Tinggi Medan, apakah objek fidusia
dapat dibebankan kepada benda tidak bergerak seperti bangunan di atas tanah
orang lain atau tanah belum bersertifikat bergantung kepada kasus per kasus yang
diajukan para pihak.6) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat bahwa objek
jaminan fidusia dapat saja berupa benda tidak bergerak sepanjang objek jaminan
kredit itu tidak dapat dibebankan kepada hipotik atau hak tanggungan. 7)
Pengadilan Negeri Yogyakarta berpendapat bahwa pada prinsipnya jaminan
fidusia hanya dibebankan terhadap benda bergerak saja. Namun, dengan
4
Para pihak dalam perjanjian jaminan fidusia tersebut adalah P.T. Batamas Megah sebagai
debitur dan Bank Mandiri sebagai kreditur, dengan Akta Jaminan Fidusia No. 106 Tahun 2001,
dibuat oleh notaris B .R.AY. Mahyastoeti Notonagoro di Jakarta.
5
Sudikno Mertokusumo, Op.cit, h. 117.
6
Wawancara dengan salah seorang hakim X Pengadilan Tinggi Medan, tanggal 30 .Oktober
2000.
7
Wawancara dengan Cornel Sianturi, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tanggal 15
Februari 2002.
keluarnya UUJF dapat saja jaminan fidusia diberikan terhadap bangunan yang
tidak bisa dijaminkan melalui hak tanggungan.8) Sementara itu, di kalangan
Mahkamah Agung berpendapat bahwa jaminan fidusia menurut sejarahnya
dilakukan terhadap benda bergerak, tetapi perkembangannya setelah lahirnya
UUJF tidak terturup kemungkinan untuk membebankan jaminan fidusia atas
benda tidak bergerak sepanjang bukan merupakan objek hipotik atau hak
tanggungan. Pemeriksaannya harus dilihat kasus demi kasus.9) Sementara itu, ada
yang berpandangan bahwa selama keadaan hukum di Indonesia masih dalam
suasana seperti ini, masih sangat sulit untuk menerapkan UUJF. 10) Bagaimana
sebenarnya sikap Mahkamah Agung dalam memutus perkara, apakah konsisten
atau tidak dengan putusan-putusan sebelumnya khususnya mengenai jaminan
fidusia.

Mengenai hal ini, dikatakan bahwa hakim Mahkamah Agung selalu tidak
konsisten untuk mengikuti putusan-putusan hakim sebelumnya.11) Dalam
kaitannya dengan jaminan fidusia, Mahkamah Agung dalam putusannya No. 3216
K/SIP/1984 telah menetapkan bahwa tanah berikut rumah yang ada di atasnya
yang belum jelas status haknya dapat difidusiakan. Mahkamah Agung telah
menemukan hukum bagi persoalan tanah belum bersertifikat lewat lembaga
jaminan fidusia, tetapi putusan tersebut belum dapat menjadi pegangan bagi pihak
pemberi kredit. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Agung belumlah
memberikan kepastian hukum bagi masyarakat pemakai lembaga jaminan fidusia.
Kepastian hukum dari putusan Mahkamah Agung itu hanya bersifat konkret dan
berlaku bagi para pihak saja.12) Agar putusan tersebut berlaku umum, putusan itu
harus dituangkan dalam perundang-undangan.

Dalam sistem hukum .Indonesia, putusan Mahkamah Agung tidaklah


bersifat mengikat kepada hakim rendahan. Hal ini berbeda dengan putusan
pengadilan pada sistem common law, misalnya di Australia bahwa "the decisions
of higher courts bind all lower courts in the same judicial hirarchy". 13) Hakim
dalam sistem hukum Australia berusaha untuk "in the interest of consistency, try
to make the same decision in future cases ivith similar facts".,14) Dalam sistem
anglo saxon, hukum dikembangkan lewat budaya hukum dari putusan hakim
terdahulu yang selalu relatif bersifat konsisten. Hakim menemukan peraturan
hukum yang didasarkan kepada "reasoning from case to case". Tidak demikian

8
Wawancara dengan Mahmud Fauzi, hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta, tanggal 11
Februari 2002.
9
Wawancara dengan H.P Panggabean, hakim Agung pada Mahkamah Agung, tanggal 17
Februari 2002.
10
Wawancara dengan Andar Purba, direktur perdata pada Mahkamah Agung, tanggal
18Februari2002.
11
Wawancara dengan Adi Nugroho, Kapuslit Mahkamah Agung, tanggal 17 Februari 2002.
12
Lihat Pasal 1917 KUH Perdata.
13
J.V.Carvan, J.V.Gooley, E.L.Mc.Rae, A Guide To Business Law (Sydney, New: LBC
Information Services, 1997), h. 25.
14
Ibid,h.l4.
halnya dalam sistem hukum Indonesia yang menganut asas bahwa hakim tidak
terikat kepada hakim lain yang memutus perkara yang sama.

Dalam kasus jaminan fidusia atas tanah belum bersertifikat sudah


sepatutnya hakim lain memperhatikan putusan Mahkamah Agung itu, tetapi bukan
karena didasarkan pada prinsip precedent, melainkan kepada tuntutan adanya
kesatuan, kesamaan dan kepastian hukum. Alangkah janggalnya dalam perkara
yang sama diputus berbeda apalagi oleh hakim bawahan. Untuk lebih menjamin
kepastian hukum dan tidak meragukan terhadap jaminan fidusia atas tanah belum
bersertifikat, selayaknya pembentuk undang-undang merevisi UUJF dan
menjadikannya sebagai norma hukum tertulis.

Penemuan hukum Mahkamah Agung tersebut telah ber-fungsi memenuhi


ruangan kosong untuk mengisi kekurangan hukum jaminan fidusia. Bahkan, telah
mendapat dukungan dari para ahli hukum antara lain Tim Penyusun Naskah
Hukum Jaminan dan Djuhaendah Hasan. Tim Penyusun Naskah Akademik
berpendapat bahwa hak jaminan atas tanah ada dua bentuk yaitu hak tanggungan
dan fidusia. Salah satu objek jaminan fidusia adalah tanah belum terdaftar.15)

Djuhaendah Hasan dalam disertasinya mengatakan:


bahwa lembaga fidusia dapat dipergunakan bagi penjaminan hak atas
tanah yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan. Lembaga
fidusia dapat diharapkan dapat menggantikan posisi kreditverband yang
menerima hak atas tanah yang belum bersertifikat sebagai lembaga
jaminan kebendaan bagi tanah. Penjaminan Iwk atas tamh yang belum
bersertifikat ini hendak-nya Iwnya berlaku selama masa transisi yaitu
selarna hak atas tanah belum semua mempunyai sertifikat 16)

Khususnya tanah-tanah di Sumatera Utara, masih banyak yang belum


didaftar dan tanah ini memenuhi persyaratan untuk dijadikan jaminan kredit yakni
dapat dipindah tangankan dan memiliki nilai ekonomis. Penggunaan jaminan yang
tepat dan sesuai dengan sistem hukum jaminan adalah dengan lembaga jaminan
fidusia. Dengan melibatkan proses tanah yang belum terdaftar itu, berarti dapat
membantu pelaku usaha ekonomi kecil dan menengah. Jadi, jaminan atas tanah
belum bersertifikat bukanlah dengan menggunakan surat kuasa menjual, yang
tidak memiliki perlindungan yang kuat bagi kreditur (pihak bank). Namun, tidak
jelas mengapa perbankan masih menggunakan surat kuasa menjual. Oleh karena
itu, tidak pada tempatnya lagi dalam era saat ini -setelah berlakunya UUJF
menerapkan surat kuasa menjual atas jaminan tanah belum bersertifikat.

Dalam perkembangan sejarah, jaminan fidusia yang pernah diputus oleh


badan peradilan baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah
Agung bahwa masalah objek jaminan fidusia atas benda tidak bergerak belum
15
Madam Darus Badrulzaman, dkk., loc.cit, h.10.
16
Djuhaendah Hasan, Op.cit, h. 365-366
tuntas dan masih terus berbeda pendapat. Sebagian hakim pengadilan
berpandangan bahwa objek jaminan fidusia hanya dibebankan kepada benda
bergerak saja sesuai, sedangkan sebagian lagi hakim berpendapat bahwa jaminan
fidusia bukan saja dapat diletakkan kepada benda bergerak tetapi juga terhadap
benda tidak bergerak karena pengaruh perkembangan kebutuhan ekonomi dan
hukum positif. Kelompok hakim pertama disebut dengan paham konservatif
sedangkan kelompok kedua disebut dengan paham progresif. Paham progresif
ingin melihat bahwa hukum jaminan fidusia dapat berfungsi melakukan
perubahan kultur hukum masyarakat khususnya yang berkaitan dengan

pemberian kredit dengan jaminan fidusia. Di samping itu, jika dilihat


secara teoretis dengan pendekatan sistem hukum positif mengenai objek jaminan
fidusia, seharusnya hakim memper-hatikan faktor realia, idealia dan fleksibilitas
hukum jaminan fidusia. Bukankah sistem hukum jaminan itu terus berubah dan
berkembang sesuai dengan dinamika masyarakatnya? Apakah sistem hukum
jaminan itu harus kaku ibarat manusia yang diam di dalam sebuah foto
bergambar? Tidak demikian halnya, karena sistem hukum jaminan itu memiliki
karakter terbuka yang menerima pengaruh dari luar sistem itu, sehingga sistem
hukum jaminan itu tetap hidup, dinamis serta lincah dan mampu menampung
aspirasi kebutuhan masyarakatnya.

Putusan pengadilan adalah bagian dari sistem hukum jaminan fidusia.


Perubahan sistem hukum jaminan fidusia sangat dipengaruhi oleh putusan-
putusan pengadilan yang merupakan struktur hukum jaminan fidusia.
Karakteristik dari struktur hukum seperti pengadilan akan berpengaruh pada
perubahan unsur idealia hukum yang terdapat pada substansi hukum jaminan
fidusia, yang pada gilirannya akan mengubah budaya hukum pelaku usaha
perbankan dan nasabah debitur. Dengan demikian, setiap perubahan pada
subsistem hukum jaminan fidusia akan sangat berpengaruh terhadap subsistem
lainnya sebagai satu kesaruan.

Khusus mengenai bangunan di atas tanah orang lain, dalam penelitian ini
belum ditemukan kasusnya yang sampai ke pengadilan. Secara normatif dan
secara ekonomis, bangunan di atas tanah orang lain dapat dibebani dengan
jaminan hutang. Karena hak tanggungan tidak dimungkinkan untuk itu, dicari
jalan keluarnya melalui jaminan fidusia. Dengan keluarnya UUJF menambah
kepastian hukum bahwa pihak pemberi kredit tidak perlu ragu lagi untuk
mengikat bangunan terlepas dari hak atas tanahnya dengan jaminan fidusia.
Perkembangan hukum jaminan fidusia tersebut menunjukkan bahwa pembentuk
undang-undang cukup merespon realitas bisnis dan memperhatikan prinsip hukum
tanah yang dianut dalam UUPA. Karena tidak relevan lagi pendapat yang
dikemukakan oleh Djuhaendah Hasan bahwa hak tanggungan dapat dibebani atas
bangunan terlepas dari hak atas tanahnya.17) Untuk mendukung pelaksanaan
UUJF, perlu dipikirkan aturan mengenai bangunan dengan identitas tersendiri
terlepas dari hak atas tanahnya, yang dibuktikan dengan pendaftaran bangunan
17
Djuhaendah Hasan, Op.cit, h.352.
tersebut. Terhadap bangunan yang didaftarkan dikeluarkan sertifikat hak atas
bangunan. Bangunan yang telah memiliki sertifikat merupakan benda tersendiri
yang digolongkan kepada benda bukan tanah.18)

B. AS AS KEKUATAN MENGIKAT DALAM PERJANJIAN JAMINAN


FIDUSIA

Ada sepuluh asas hukum yang mendasari sistem hukum perjanjian. 19) Dari
sepuluh asas tersebut, terdapat tiga asas yang penting menguasai hukum perjanjian
yakni asas yang menentukan saat lahirnya perjanjian, asas yang berkenaan dengan
isi perjanjian dan asas yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian. Asas
yang terakhir ini disebut dengan asas kekuatan mengikat perjanjian. Secara
teoretis keriga asas harus dipisahkan, tetapi saling berkaitan erat satu dengan
lainnya. Hal-hal yang telah disepakati oleh para pihak pada awal perjanjian dan
dinyatakan dalam substansi perjanjian harus dilaksanakan dan mengikat bagi para
pihak sebagai undang-undang.20)

Perjanjian jaminan fidusia adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
perjanjian kredit sebagai perjanjian induknya. Dalam perjanjian kredit telah
ditentukan hal-hal yang disepakati oleh debitur dan kreditur, antara lain debitur
memberikan jaminan fidusia. Kesepakatan tersebut berlaku sebagai undang-
undang bagi para pihak. Apabila debitur wanprestasi, kreditur dapat
melaksanakan haknya sesuai dengan isi perjanjian. Pelaksanaan perjanjian
tersebut adalah perwujudan dari asas kekuatan mengikat perjanjian jaminan
fidusia. Dalam praktik peradilan, hal yang demikian dapat dilihat dari kasus yang
diputuskan oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Bank Buana
Indonesia v. Eddy Hartono.'dan Veronika Lidya, No. 03/Pdt.G/1999/PN-YK /
tanggal 12 April 1999.

Kasus ini terjadi pada tanggal 27 Januari 1998. Para tergugat (Eddy
Hartono dan Veronika Lidya) memperoleh kredit dari penggugat dalam rekening
koran maksimum Rp60 juta dengan jangka waktu satu tahun sesuai dengan akta
perjanjian kredit No. 98/PMK/Rk/006 dan kredit angsuran sebesar Rp30.560.682,-
dengan jangka waktu 17 bulan sesuai dengan akta perjanjian kredit No.
98/PMK/Ang/OOl masing-masing tanggal 27 Januari 1998. Para tergugat tidak
dapat membayar bunga pinjaman baik bunga rekening koran maupun bunga
angsuran. Penggugat telah memberikan teguran secara lisan dan tertulis, tetapi
18
Bandingkan dengan UUJF yang mengatakan bahwa bangunan adalah benda tidak bergerak.
19
Asas-asas hukum perjanjian tersebut adalah asas kebebasan berkontrak, asas
konsensualitas, asas kepercayaan, asas kekuatan mengikat, asas persamaan hukum, asas
keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan dan asas kebiasaan. l.ihal
Mariam Darus, Sistem Hukum Perdata Nasional, Dewan Kerjasama Hukum Belanda dengan
Indonesia, Proyek Hukum Perdata, (Medan, 1987), h. 17.
20
Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata. Lihat juga J.M van Dunne; Gr.van der Burght, Hukum
Perjanjian (terjemahan: Lely Niwan), Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan
Indonesia. Proyek Hukum Perdata (Medan, 1987), h. 7.
tidak digubris. Oleh karena itu, tergugat telah wanprestasi. Berd .,arkan perjanjian
kredit, walaupun kredit belum jatuh tempo, penggugat berhak mengakhiri
perjanjian dan menuntut pengembalian pinjaman. Jumlah hutang para tergugat
seluruhnya dalam bentuk rekening koran sebesar Rp75.378.719,50, dan kredit
angsuran sebesar Rp20.210.716,- ditambah bunga berjalan sebesar 45% sejak
gugatan didaftarkan. Untuk menjamin pelunasan kredit, para tergugat
menyerahkan jaminan satu mobil Jeep Suzuki tahun 1992 jenis mobil penumpang
atas nama Edward M. Djaja Margono, satu mobil minibus Isuzu tahun 1993 atas
nama Veronica Lidya, satu mobil Jeep Suzuki tahun 1994 atas nama Veronica
Lidya dan satu mobil Toyota Kijang Grand Extra tahun 1995 atas nama Veronica
Lidya. Bank sebagai lembaga keuangan yang dibebani misi khusus oleh
pemerintah khususnya di bidang pengumpulan dan penyaluran dana dari dan
kepada masyarakat semata-mata untuk menunjang program pembangunan,
sehingga pengembalian kredit macet serius dan urgen sifatnya. Oleh karena iru,
penggugat mohon kepada pengadilan untuk memberikan putusan dengan kekuatan
dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada : banding, verzet dan kasasi.

Dalam persidangan para tergugat tidak pernah hadir. Selanjutnya,


penggugat mengajukan bukti-bukti. Pengadilan memberikan pertimbangan hukum
bahwa antara penggugat dan para tergugat telah terjadi kesepakatan sebagaimana
tertuang dalam perjanjian kredit No. 98/PMK/Rk/006 dan perjanjian kredit
dengan angsuran No. 98/PMK/Ang/OOl masing-masing tanggal 27 Januari 1998.
Ternyata para tergugat tidak membayar bunga dan hal ini telah merupakan
perbuatan wanprestasi. Berdasarkan perjanjian, penggugat berhak mengakhiri
perjanjian kredit sekalipun jangka waktu kredit belum jatuh tempo. Karena pokok
persoalan adalah pelaksanaan perjanjian kredit yang dibuat para pihak, berarti
perjanjian tersebut berlaku sebagaimana hukum bagi yang membuatnya.
Berdasarkan bukti-bukti, para tergugat telah menerima kredit dari penggugat
sebesar Rp90,560.682,-. . Karena para tergugat tidak memenuhi perjanjian,
berdasarkan perhitungan, tergugat masih mempunyai hutang pokok ditambah
bunga sebesar Rp955.589.435,50. Ternyata telah disepakati bunga per bulan
2,58% sedangkan bunga lainnya 2,67% per bulan. Menurut perjanjian, apabila
tergugat wanprestasi, penggugat dapat mengakhiri perjanjian walaupun belum
jatuh tempo. Berdasarkan bukti-bukti, tergugat telah menjaminkan lima unit mobil
kepada penggugat yakni satu unit mobil suzuki Jeep atas nama Edward M. Djaja
Margono, satu unit mobil Isuzu Mini Bus atas nama Veronica Lidya, satu unit
mobil Suzuki Jeep atas nama Veronica Lidya, satu unit mobil Daihatsu Jeep atas
nama Bambang Sugiarto dan satu unit mobil Kijang atas nama Veronica Lidya.
Terhadap barang jaminan tersebut telah diletakkan sita jaminan sesuai dengan
berita acara sita jaminan No. 03/Pdt.G/1999/ PN.YK tanggal 19 April 1999.
Tuntutan gugatan agar putusan dapat dijalankan lebih dahulu tidak memenuhi
syarat Pasal 180 HIR sehingga gugatan harus ditolak.
Pengadilan memutuskan bahwa menyatakan para tergugat Eddy Hartono
dan Veronica Lidya tidak hadir di persidangan walaupun telah dipanggil secara
sah dan patut menurut perundang-undangan yang berlaku, menerima dan
mengabul-kan gugatan penggugat untuk sebagian, menyatakan sah dan berharga
sita jaminan, menyatakan pada tergugat telah wanprestasi, menyatakan perjanjian
kredit antara penggugat dengan para tergugat telah berakhir, menghukum para
tergugat untuk membayar hutang kepada penggugat sebesar Rp95.589.435,50,
menghukum para tergugat untuk membayar bunga pinjaman sebesar 45% per
tahun sejak gugatan didaftarkan sampai dengan pelunasan.

C. CEDERA JANJI DEBITUR DALAM PERJANJIAN JAMINAN


FIDUSIA

Dalam UUJF dikatakan bahwa debitur dan kreditur dalam perjanjian jaminan
fidusia berkewajiban untuk memenuhi prestasi.21) Secara a contrario dapat
dikatakan bahwa apabila debitur atau kreditur tidak memenuhi kewajiban
melakukan prestasi, salah satu pihak dikatakan wanprestasi. Fokus perhatian
dalam masalah jaminan fidusia adalah ivanprestasi dari debitur pemberi fidusia.
Dalam hukum perjanjian, jika seorang debitur tidak memenuhi isi perjanjian atau
tidak melakukan hal-hal yang dijanjikan, debitur tersebut telah melakukan
wanprestasi dengan segala akibat hukumnya.22)

UUJF tidak menggunakan kata wanprestasi melainkan cedera janji.23) Cedera


janji seorang debitur pemberi fidusia memiliki akibat hukum yang penting. Oleh
karena itu, harus terlebih dahulu diatur dalam perjanjian jaminan fidusia. Apabila
debitur pemberi fidusia menyangkal tidak adanya cedera janji dalam pelaksanaan
perjanjian tersebut, hal itu harus dibuktikan dalam sidang pengadilan.

Dalam praktik peradilan, kasus cedera janji yang dilaku-kan oleh debitur
pemberi fidusia pada umumnya adalah debitur tidak memenuhi kewajiban
membayar hutang/ angsuran kredit kepada bank. Akibatnya, adalah kreditur
penerima fidusia melakukan penyitaan terhadap benda jaminan fidusia dan debitur
harus membayar bunga, ongkos dan biaya perkara.

Dari hasil penelitian, ditemukan beberapa kasus yang berhubungan dengan


cedera janji debitur pemberi fidusia yakni putusan Pengadilan Negefi Medan
dalam perkara Sejahtera Bank Uiimm v. P.T. Surnatera Bambo Binatama
(tergugat I), Lai Tje Ning (tergugat II), Piter Kornelis (tergugat III), Hai Peng
Tjang (tergugat IV), No. 572/Pdt. 6/1991/PN-Mdn, tanggal 12 Desember 1992.
21
Pasal 4 UUJF.
22
Lihat Pasal 1243 KUHPerdata.
23
Pasal 15 ayat (3), Pasal 21 ayat (2) dan (4), Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 33 UUJF. Kata
cedera janji atau ingkar janji adalah terjemahan dari wanprestasi, lihat Marjanne
Termorshuizen, Op.cit, h. 527. Kata wanprestasi diartikan prestasi buruk, kealpaan, kelalaian.
Lihat R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1983), h. 45; lihat juga M. Yahya
Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), h. 60.
Kasus ini berawal ketika tergugat I meminjam kredit kepada penggugat (SBU)
sebesar RplOO juta dituangkan dalam akta pengakuan hutang dengan penyerahan
secara fidusia No. 35 tanggal 18 November 1938. Penggugat memberikan
tambahan kredit lagi sebesar Rp 100 juta, sehingga hutang tergugat I berjumlah
Rp 200 juta yang dituangkan dalam akta penambahan hutang tanggal 22 April
1989. Pada tanggal 24 juni 1989, tergugat I meminta tambahan hutang sebesar
Rp50 juta sehingga berjumlah Rp250 juta.

Tergugat II, III dan IV masing-masing adalah direktur utama, komisaris


utama dan komisaris dari tergugat I. Sebagai jaminan tergugat I menyerahkan
150.000 kg lidi penyangga bunga, 75.000 kg gagang gaharu, 3 juta pasang sumpit,
10 unit mesin pemotong bambu, 10 unit genset deutze 200 KVA, 1 unit genset
Stanford 125 KVA, 3 unit pemecah bambu, 20 unit mesin lidi impor, 20 unit
mesin keping bambu, 2 unit mesin pembentuk tusuk gigi, 2 unit mesin pembentuk
sumpit impor, 10 unit mesin polis lidi, 7 unit mesin potong lidi.

Barang jaminan secara fidusia tersebut disimpan dalam gudang tergugat I.


Jangka waktu perjanjian kredit ditentukan 12 bulan yang berakhir tanggal 19
November 1990. Pada tanggal 7 Desember 1991 hutang tergugat I termasuk
bunga berjumlah Rp251.444.322,53,-. Tergugat I tidak melaksanakan
kewajibannya sehingga merugikan penggugat. Oleh karena itu, tergugat-tergugat
harus secara tanggung renteng membayar hutang kepada penggugat. Agar para
tergugat tidak meng-alihkan harta kekayaannya, benda jaminan diletakkan sita
milik dan ditambah dengan sita jaminan atas satu bangunan pabrik di Kabupaten
Langkat, satu bangunan di jalan Bawean No. 34 C Medan, satu bangunan di jalan
Sutomo No. 131 Pematang Siantar, satu bangunan No. 222 Pematang Siantar.
Terhadap gugatan tersebut tergugat III mengajukan jawaban. Dalam eksepsi
dikemukakan bahwa gugatan yang diajukan kepada tergugat II, III dan IV sangat
berlebihan dan kabur (Obscuur libel) sekurang-kurangnya dinyatakan tidak dapat
diterima (Niet Ontvankelijkverklaard), karena penggugat hanya mempu-nyai
hubungan hutang piutang dengan tergugat I dan tidak ada sangkut pautnya dengan
tergugat II, III dan IV secara inpersoon. Tergugat III bukan sebagai persero atau
komisaris utama atau direksi dari tergugat I, karena sejak tanggal 15 Juni 1989
sesuai dengan akta jual beli saham No. 80 dan berita acara rapat No. 82 tanggal 15
Juni 1989 surat gugatan harus diajukan kepada orang yang mempunyai hubungan
hukum sesuai keputusan Mahkamah Agung No. 294 K/Sip/1970 tanggal 7 Juni
1991. Dalam pokok perkara dikemukakan bahwa selain alasan eksepsi, tidak tepat
sita jaminan atas harta tergugat III diminta oleh penggugat, sehingga harus
ditolak. Setelah melihat bukti-bukti yang telah diajukan penggugat dan tergugat
III, pengadilan memberikan pertimbangan hukum bahwa dalam eksepsi, sudah
cukup jelas dan terang penggugat menyebutkan jawaban dari tergugat. Kedudukan
tergugat III sebagai komisaris utama dari tergugat I ditetapkan dalam akta otentik
di hadapan notaris dengan No. 35 tanggal 18 November 1988. Pengunduran diri
dari tergugat III pada tanggal 15 Juni 1989 bukan berarti tergugat III terlepas dari
tanggung jawab atas perikatan yang telah disetujui sebelumnya pada penggugat.
Dalam pokok perkara, pertimbangan hukum yang diberikan bahwa tergugat telah
wanprestasi karena tidak membayar hutang kepada penggugat sebesar
Rp251.444.322,53, ditambah bunga sesuai dengan perjanjian. Pada tanggal 18
November 1988, penggugat telah memberikan pinjaman pada tergugat I sebesar
RplOO juta yang dituangkan dalam akta pengakuan hutang dengan penyerahan
jaminan secara fidusia dan tambahan sebesar RplOO juta sesuai dengan akta No.
30 tanggal 22 April 1989 ditambah Rp50 juta lagi sehingga jumlah keseluruhan
Rp250 juta yang harus 'dilunasi pada tanggal 19 November 1990. Terhadap
tergugat I, II dan IV karena tidak hadir berarti mengakui dalil-dalil penggugat.
Tenggang waktu pelunasan hutang telah lewat dan walaupun penggugat telah
berulang-ulang memperingatkan para tergugat tetapi tidak diindahkan. Agar
gugatan penggugat tidak sia-sia, sita yang telah dilakukan dinyatakan sah dan
berharga.

Pengadilan memutuskan bahwa eksepsi tergugat III tidak tepat dan tidak
berdasarkan hukum sehingga ditolak. Dalam pokok perkara, mengabulkan
gugatan penggugat seluruhnya, menghukum para tergugat secara tanggung
renteng untuk membayar hutang kepada penggugat sebesar Rp251.444.322,53,
ditambah bunga berjalan sesuai perjanjian, menyatakan sah dan berharga sita
jaminan dan sita milik sendiri, menyatakan sah dan berharga perjanjian yang
dibuat oleh penggugat dan para tergugat, menyatakan putusan ini dapat dijalankan
terlebih dahulu meskipun timbul verzet, banding maupun kasasi serta menghukum
tergugat untuk membayar ongkos dan biaya sebesar Rpl21 ribu..

Kasus lain dapat dilihat pada putusan Pengadilan Negeri Medan dalam
perkara Bank Internasional Indonesia Cabang Medan v. Harianto, No. 43/Pdt.
G/1992/PN- Mdn, tanggal 14 Januari 1993.

Kasus tersebut terjadi ketika Bank Internasional Indonesia (penggugat)


memberikan pinjaman kredit kepada Harianto Alias Keng Hok To (tergugat)
sebesar RplSO juta dengan bunga 2,5% yang tertuang dalam Perjanjian Membuka
Kredit No. 1041/PMK/BII/Mdn/I/90 tanggal 31 Januari 1990 jo atau pengakuan
hutang dengan jaminan No. 147 tanggal 21 Januari 1990. Hutang tersebut harus
dilunasi selambat-lambatnya 1990. Penggugat telah berulangkali menagih tetapi
tergugat belum melunasi kewajibannya sehingga tergugat telah melakukan
wanprestasi. Sebagai jaminan hutang diserahkan tanah hak guna bangunan (HGB)
No, 155, HGB No. 486, HGB No. 95 terletak di kota Tanjung Balai, satu kapal
motor Binfang Terang No. 1007 yang terdaftar di Belawan dengan akta
pendaftaran kapal No. 1759 tanggal 10 Agustus 1998, sebuah kapal motor Jaya II
No; 404 yang terdaftar atas nama tergugat dengan akta pendaftaran kapal No. 116
tanggal 19 Januari 1973, persediaan barang yang di gudang sesuai dengan daftar
persediaan barang yang ditandatangani tergugat, seluruh barang-barang elektronik
berupa video game. Terhadap tanah dan kapal dijamin melalui hipotik dan surat
kuasa hipotik, sedangkan persediaan barang-barang dijaminkan fidusia, Jaminan
fidusia dituangkan dalam akta pengikatan jaminan secara fidusia No. 152. Untuk
menjamin tuntutan penggugat perlu melakukan sita jaminan dan sita milik atas
jaminan fidusia.

Tergugat mengajukan jawaban dengan mengubah eksepsi bahwa setiap


gugatan harus memuat dalil-dalil dalam posita yang mendatangkan petition dan
tidak boleh ada bertentangan satu sama lain. Prinsip gugatan tidak terlihat dari
gugatan penggugat sebagian kabur. Pemberian kredit kepada tergugat adalah
sebagai debitur yang dijamin oleh penjamin. Oleh karena itu, gugatan kurang
lengkap dan patut dinyatakan tidak dapat diterima.

Dalam pokok perkara, tergugat mengakui telah meminjam kredit Rp 150


juta, tetapi bunga 2.5% per bulan tidak sesuai dengan perjanjian. Bunga yang
diperjanjikan adalah 1,75% sesuai dengan Perjanjian Membuka Kredit No.
1041/PMK/BII/ Mdn/I/90 tanggal 31 Januari 1990 dan akta pengakuan hutang.
dengan memakai jaminan No. 147 tanggal 31 Januari 1990. Tergugat tidak pernah
melakukan zvanprestasi, melainkan disebabkan sesuatu yang berada di luar diri
tergugat yakni lesunya kondisi perekonomian, sehingga menyebabkan tergugat
belum mampu untuk membayar dan melunasi pinjaman pokok kredit. Namun,
penggugat tetap menunjukkan iktikad baik dengan mengajukan permohonan
perpanjangan waktu pembayaran sebelum waktu pembayaran jatuh tempo dan
memberikan informasi tentang kesulitan yang dialami tergugat. Permohonan
tersebut telah pernah direspon dan dipertimbangkan oleh penggugat untuk
memberikan kelonggaran guna menyelesaikan pembayaran hutang tergugat.
Walaupun tidak membayar hutang pokok, bunga dari pinjaman tetap dibayar.
Jadi, jelas bahwa secara hukum tergugat wanpresiasi karena keadaan memaksa.
Oleh karena itu, patut gugatan penggugat ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat
diterima.

Dalam rekonvensi, hal-hal yang dikemukakan dalam konvensi


dikemukakan kembali dalam rekonvensi. Karena penggugat dalam rekonvensi
telah dinyatakan dalam keadaan memaksa, patut menurut hukum apabila tergugat
dalam rekonvensi dihukum untuk memberikan perpanjangan waktu kepada
penggugat dalam rekonvensi untuk membayar dan melunasi atau mengembalikan
pinjaman pokok sesuai dengan perjanjian membuka kredit. Sesuai dengan
kebiasan yang dilakukan dalam pemberian kredit pada nasabah dalam jumlah
besarnya pinjaman pokok hanyalah 70% dari nilai jaminan. Tergugat dalam
rekonvensi telah memberikan pinjaman sebesar RplSO juta, jadi besarnya jumlah
nilai jaminan yang diberikan oleh penggugat dalam rekonvensi adalah bernilai
RplSO juta bagi 70% dikalikan 100% sama dengan Rp214.285.714,-.

Tindakan tergugat dalam rekonvensi yang memasang hipotik atas barang


jaminan dengan nilai Rpl25 juta adalah sangat di bawah harga dan tindakan
tersebut bertentangan dengan asas kepatutan, yang mengindikasikan adanya
perbuatan yang melawan hukum. Akibatnya, bahwa sertifikat hipotik dan akta
hipotik yang dibuat tahun 1991 tidak mempunyai hukum dan kantor pendaftaran
tanah tingkat II Tanjung Balai mencoret sertifikat hipotik No. 18, No. 17, dan No.
16 masing-masing tertanggal 25 November 1991. Untuk menjamin gugatan
rekonvensi, penggugat dalam rekonvensi mohon sita atas benda bergerak dan
tidak bergerak satu pintu bangunan berikut tanahnya di jalan Mangkubumi No.
18.

Setelah diajukan bukti, pengadilan memberikan pertim-bangan hukum


bahwa tergugat menyanggah gugatan penggugat, sedangkan tergugat II tidak
berada di tempat lagi. Dalam eksepsi dipertimbangkan bahwa setiap gugatan harus
memuat dalil-dalil di dalam posita yang mendukung setiap petition. Sebagai
penjamin dari tergugat tidak ikut digugat oleh penggugat. Tergugat tidak melunasi
hutang kredit sedangkan waktu pembayaran telah lewat, Yang meminjam uang
adalah tergugat, jadi penggugat tidak merasa perlu menggugat orang lain.
Penggugat tidak dapat diharuskan untuk supaya menggugat penjamin atas uang
kredit yang diberikan. Dengan pertimbangan tesebut eksepsi tergugat ditolak.
Dalam konvensi dipertimbangkan bahwa objek perkara adalah tergugat
mempunyai hutang kepada penggugat sebesar RplSO juta dengan bunga 2,5% per
bulan yang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 31 Januari 1991. Yang
menjadi gugatan penggugat hanya supaya tergugat membayar hutang sebesar
Rp44. 388.626, 63 berikut bunga sebesar 2,5% terhitung sejak 1 Februari 1991
sampai hutang tersebut lunas. Perjanjian hutang atas Perjanjian Membuka Kredit
dapat diterima sebagai surat bukti tentang kebenaran hutang tersebut. Tergugat
mem-benarkan hutang tersebut, sehingga memang benar tergugat mempunyai
hutang sebesar RplSO juta dan belum dilunasi. Surat bukti berupa akta pengikatan
jaminan secara fidusia No. 152 tanggal 31 Januari 1991 dapat diterima sebagai
bukti yang sah. Demikian juga surat bukti kuasa untuk menjual dapat diterima.
Apabila tidak membayar lunas hutangnya pada waktu yang diperjanjikan,
penggugat dapat menjual barang jaminan. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
penggugat tidak dapat membuktikan kebenarannya dan sepatutnya dikabulkan,
sedangkan tergugat tidak dapat membuktikan penyang-gahannya. Tergugat hanya
menyatakan jumlah bunga sebesar 1,75% per bulan. Karena gugatan penggugat
terbukti, penyitaan dapat dinyatakan sah dan berharga. Tergugat dinyatakan
wanprestasi dan harus membayar hutang Rp44.388.626,63 berikut dengan bunga.
Dalam rekonpensi dipertimbangkan bahwa penggugat dalam rekonpensi tidak
melunasi hutangnya karena adanya keadaan memaksa. Agar tergugat dalam
rekonpensi dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum. Keadaan memaksa
tersebut disebabkan lesunya kondidi perekonomian di Indonesia. Dalam dunia
usaha terdapat risiko yang dihadapi penggugat dalam rekonpensi tidak dapat
diterima menjadi alasan untuk tidak melunasi hutangnya kepada penggugat dalam
konpensi. Sebelum penggugat dalam rekonpensi meminjam kredit dari penggugat
dalam konpensi sudah barang tentu dipikirkan terlebih dahulu untuk keperluan
apa uang itu digunakan. Oleh karena itu, keadaan lesunya perekonomian tidak
dapat diterima sebagai alasan untuk dijadikan/brce rmjeur, penggugat dalam
rekonpensi telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah memberikan
pinjaman kepada penggugat dalam rekonpensi sebesar Rp 150 juta dan hal itu
bertentangan dengan asas kepatutan. Setiap kreditur dapat memberikkan pinjaman
berapa pun besarnya asalkan diperkenankan kreditur baik dengan atau tanpa
barang jaminan. Besarnya jumlah kredit yang diberikan bergantung kepada
kreditur dan bila perjanjian lebih besar dafi jaminan sehingga timbul kerugian
adalah tanggung jawab kreditur. Penggugat dalam rekonpensi tidak mesti terikat
kepada kebiasaan dalam memberikan pinjaman kepada penggugat dalam
rekonpensi, Penerbitan sertifikat hipotik telah dilakukan atas dasar ketentuan
hukum, penerbitannya tidak mempunyai cacat, karena itu sah. Berdasarkan hal
tersebut, penggugat dalam rekonpensi tidak dapat membuktikan kebenarannya
sehingga harus ditolak.

Pengadilan memutuskan, dalam eksepsi, menolak eksepsi tergugat. Dalam


konpensi, mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, menyatakan sah dan
berharga atas sita jaminan dan sita milik, menyatakan tergugat wanprestasi,
menghukum tergugat membayar hutang kepada penggugat sebesar
Rp44.388.626,63 dengan bunga sebesar 1,75% per bulan terhitung sejak 1
Februari 1991 sampai hutang dibayar lunas, menghukum tergugat membayar
biaya perkara sebesar Rp33.750,- dan menyatakan putusan dapat dijalankan
dengan serta merta walaupun ada perlawanan, banding dan kasasi. Menolak
gugatan penggugat untuk selebihnya. Daiam rekonpensi, menolak gugatan
rekonpensi seluruhnya, menghukum penggugat dalam rekonpensi untuk
membayar biaya perkara sebesar nihil.

Kasus cedera janji debitur pemberi fidusia juga terungkap pada putusan
Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Bank Buana Indonesia Cabang Medan v.
Iwan Santoso dan Halim, No. 386/Pdt. G/1992/PN Medan, tanggal 14 Januari
1993.

Kasus ini bermula dari perbuatan Iwan Santoso (tergugat I) dan Halim
(tergugat II) yang berhutang kepada Bank Buana Indonesia (penggugat) sebesar
Rp200 juta yang tercantum dalam grosse akta pengakwn hutang dan pemberian
jaminan No. 320 tanggal 23 Desember 1989 serta perjanjian kredit No.
431/Mdn/1989. Perjanjian kredit tersebut diperpanjang tanggal 24 Desember 1990
sebesar Rp200 juta bunga 1,85% per bulan yang harus dilunasi pada tanggal 23
Desember 1991. Tenggang waktu telah lewat dan tergugat belum melunaskan
hutangnya. Tergugat-tergugat telah diperingati oleh penggugat dan tidak
ditar\ggapi sehingga jelas terbukti tergugat-tergugat telah zvanprestasi. Hutang
tergugat sampai tanggal 27 Agustus 1992 berjumlah Rp321.249.314 belum
termasuk bunga berjalan. Sebagai jaminan penggugat menerima tanah hak milik
No. 134 berikut bangunan pabrik luas 4000 m 2 yang terdaftar atas nama tergugat
II.

Tanah dan bangunan tersebut diserahkan oleh tergugat II kepada


penggugat sesuai dengan grosse akta pengakuan hutang dan pemberian jaminan
No. 320 tanggal 23 Desember 1989. Selain itu, diserahkan oleh tergugat satu unit
mesin suto sesuai dengan kuitansi tanggal 14 Agustus 1989, yang diikat dengan
akta penyerahan dalam milik fidusia sebagai jaminan No. 231 tanggal 23
Desember 1989. Untuk menjamin tuntutan penggugat perlu diletakkan sita milik
dan sita jaminan atas milik tergugat I baik bergerak maupun tidak bergerak. Untuk
menguatkan dalil gugatannya diajukan bukti-bukti.

Pertimbangan hukum yang diberikan oleh pengadilan pada prinsipnya


tergugat II telah melakukan wanprestasi supaya dihukum membayar hutang
kepada penggugat sebesar Rp321.249.314,- dengan bunga 1,85% per bulan. Sejak
28 Agustus 1989 sampai hutang tersebut dibayar lunas, tergugat II tidak
memberikan jawaban dalam persidangan sehingga diputus dengan verstek. Dari
bukti-bukti yang diajukan penggugat berupa perjanjian kredit dan akta jaminan,
pihak tergugat II telah mengakui memperoleh kredit untuk jangka waktu satu
tahun mulai tanggal 23 Desember 1990 sampai dengan 24 Desember 1991.
Tergugat telah diperingati oleh penggugat untuk melunasi hutang tetapi tergugat II
tidak melunasi hutangnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, tergugat II
dinyatakan telah melakukan ivanprestasi dan dihukum secara tanggung
menaggung membayar hutang sebesar Rp321.249.314,- ditambah bunga 1,85%
per bulan terhitung sejak tanggal 28 Agustus 1992 sampai hutang dibayar lunas.
Gugatan untuk membayar ongkos tagih 10% yang telah diperjanjikan harus
ditolak.

Pengadilan memutuskan bahwa perkara ini diputus dengan verstek,


mengabulkan gugatan penggugat sebagian, menyatakan tergugat telah melakukan
wanprestasi, meng-hukum tergugat secara tanggung menanggung sebesar
Rp321.249.314,- ditambah bunga 1,85% per bulan terhitung sejak tanggal 28
Agustus 1992 sampai dibayar lunas dan menyatakan sah sita jaminan, menyatakan
putusan dapat dijalankan secara serta merta walaupun ada perlawanan, banding
atau kasasi dan menghukum tergugat-tergugat secara tanggung menanggung
membayar biaya perkara sebesar Rp58.200,- serta menolak gugatan selebihnya.

Demikian pula dapat dilihat pada putusan Pengadilan Negeri Medan dalam
perkara Bank Duta Cabang Medan v. Arifin Aminah, No. 468/Pdt. G/1992/PN-
Mdn, tanggal 2 Februari 1993.

Kasus ini berawal ketika Bank Duta (penggugat) mem-berikan pinjaman


Arifin Aminah (tergugat) sebesar Rp200 juta dengan bunga 28% per tahun sesuai
dengan akta pengakuan hutang dengan penyerahan jaminan dan kuasa memasang
hipotik No. 47 tanggal 14 Februari 1991, Tergugat tidak rnelaksanakan kewajiban
setiap bulannya untuk membayar hutang dan sampai tanggal 21 Agustus 1992
hutang tergugat berjumlah Rpl97.827.643,02.

Tergugat menyerahkan jaminan secara fidusia berupa stock barang yaitu


bahan-bahan pakaian yang disimpan pada toko Budi Jaya Tekstil di Jalan
Perniagaan No. 132 Medan, sesuai dengan daftar stock tanggal 21 Januari 1991,

Jangka waktu kredit telah jatuh tempo tanggal 11 Februari 1992.


Penggugat telah berulang kali menegur tergugat tetapi tidak diindahkan. Hal ini
menunjukkan bahwa tergugat tidak memiliki iktikad baik, ternyata dari perbuatan
wanprestasi. Untuk menjamin gugatan diletakkan sita hak milik atas stock barang
pakaian dan sita jaminan. Berdasarkan akta Pengakuan Hutang dengan
Penyerahan Jaminan, biaya penagihan hutang diibebankan kepada tergugat
sebesar 10% dari jumlah hutang yang harus dibayar. Dalarn persidangan tergugat
hanya hadir pada sidang pertama dan pada sidang berikutnya tergugat tidak hadir,
kemudian penggugat membuktikan dalil gugatannya.

Selanjutnya, pengadilan memberikan pertimbangan hukum bahwa dari


bukti-bukti yang diajukan penggugat menunjukkan bahwa hutang tergugat kepada
penggugat sampai tanggal 21 Agustus 1992 berjumlah Rpl97.827,643,02. Jangka
waktu kredit telah jatuh tempo pada tanggal 11 Februari 1992 dan tergugat tidak
melunasinya, berarti tergugat terbukti wanprestasi.

Terhadap sita revindicatoir, ternyata barang-barang jaminan sudah tidak


ada lagi dan sita tersebut belum diletakkan sehingga harus ditolak. Mengenai
ongkos tagih sebesar 10% karena tidak diperjanjikan mengenai besar
persentasenya, tuntutan penggugat harus ditolak.

Pengadilan memutuskan bahwa mengabulkan gugatan sebagian,


menyatakan sah dan berkekuatan hukum grosse akta pengakuan hutang dengan
penyerahan jaminan dan kuasa memasang hipotik No. 47 tanggal 14 Februari
1991, menghukum tergugat untuk membayar hutang berikut bunga sampai tanggal
21 Agustus 1992 sebesar Rpl97,827.643,02 berikut dengan pertambahan bunga
yang sedang berjalan sebesar 28% per tahun. Menghukum tergugat membayar
ongkos perkara sebesar Rp62.900,- dan menolak gugatan penggugat selebihnya.

Cedera janji dapat juga disebabkan oleh faktor ekonomi yang tidak stabil
sehingga pelaku usaha sulit untuk membayar angsuran kredit kepada bank, seperti
kerugian akibat perdagangan ekspor kopi yang harganya di luar negeri merosot
secara drastis. Kenyataan ini terungkap pada putusan Pengadilan Negeri Medan
dalam perkara Bank Duta Cabaflg Medan v. P.T. Darsa Putra dan Mansyur Darus,
No. 488/ Pdt. G/1992/PN-Mdn, tanggal 31 Maret 1993.

Kasus ini bermula dari P.T. Darsa Putra (tergugat I) meminjam kredit
kepada Bank Duta (penggugat) sebesar Rpl milyar dengan bunga 22% per tahun
sesuai dengan grosse akta pengakuan hutang dengan penyerahan jaminan No. 19
tanggal 3 Maret 1989. Jangka waktu berakhirnya kredit tanggal 3 Mei 1991, tetapi
tergugat I tetap tidak melunasinya. Penggugat telah berulang kali menegur
tergugat I tetapi tidak diindahkan. Penggugat mohon eksekusi hipotik atas
jaminan tanah dan bangunan hak milik No. 84 dan diperoleh hasil tagih
Rp93.575.000,- setelah dikurangi hutang tergugat I, sisa hutang masih berjumlah
Rp l.346.937.551,27, Dengan perincian hutang pokok Rp 814.023.192,81,
ditambah bunga Rp 532.914.358,46.

Tergugat I tidak menunjukkan iktikad baik untuk membayar hutang dengan


terbuktinya melakukan perbuatan ingkar janji. Untuk itu penggugat mohon sita
jaminan atas hak pakai No.10 dan sita milik atas stock barang berupa biji kopi di
gudang terletak di jalan Rajawali Medan. Berdasarkan akta pengakuan hutang,
biaya penagihan ditangggung oleh tergugat sebesar 10% dari jumlah hutang
seluruhnya. Dalam jawabannya, tergugat I menyatakan bahwa tergugat I benar
menibuat akta pengakuan hutang dengan penyerahan jaminan dalam bentuk
pinjaman reguler untuk kepentingan usaha tergugat I dalam bentuk pinjaman
kredit ekspor. Tergugat I telah menyerahkan harang secara fidusia atas barang
dagangan biji kopi sesuai daftar stock. Tergugat II sebagai penjamin telah
menyerahkan harta kekayaannya dengan cara kuasa memasang hipotik kepada
penggugat sesuai akta No. 20 tanggal 3 Mei 1989 hak milik, dan Surat Kuasa Jual
atas tanah hak pakai sesuai dengan akta No. 21 tanggal 3 Mei 1989. Tergugat I
tidak memenuhi kewajibannya bukan karena beriktikad tidak baik melainkan
disebabkan oleh keadaan yang tidak dapat diperhitungkan semula dan berada di
luar kekuasaan tergugat I.

Sebagai eksportir kopi, tergugat I mengalami kerugian dan kesulitan dalam


usaha ekspor kopi serta harga kopi di luar negeri turun secara drastis yang tidak
dapat diimbangi dengan harga dalam negeri (lokal) yang masih terus tetap
bertahan. Mengenai jumlah hutang, penggugat telah menentukan bahwa hutang
tergugat I sampai dengan tanggal 25 September 1992 sebesar Rpl.440.512.551,27.
Perhitungan tersebut didasarkan kepada lopende rekening courant yang bersifat
sepihak, yang tidak tetap dan terus menerus mengalami perubahan. Hal ini tidak
memberikan patokan jumlah hutang yang pasti dan jelas tidak memberikan
kepastian hukum, serta tidak adil dan merugikan tergugat I. Tergugat I tidak
mengakui dan menolak perhitungan penggugat tentang jumlah hutang tersebut
dan menurut tergugat I jumlah hutang pokok dan bunga sampai dengan Juni 1990
sebesar Rp883.846.729,45. Karena adanya perhitungan berbeda tentang jumlah
hutang tergugat I dan penggugat, mohon pengadilan menetapkan hutang yang
pasti, yang diperkirakan berdasarkan peraturan undang-undang.

Mengenai eksekusi grosse akta hipotik tanggal 29 Januari 1991 mengandung


cacat yuridis, tidak mempunyai kekuatan eksekusi (non eksekutabel) karena tidak
memberikan besarnya jumlah hutang yang pasti dan terus menerus mengalami
perubahan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1176 ayat (1) KUH Perdata. Hasil
lelang eksekusi akta hipotik cacat hukum karena tergugat I dan tergugat II telah
mengajukan gugatan untuk membetulkan hal tersebut dengan daftar perkara No.
509/Pdt.G/1992/PN Medan. Bahwa sepengetahuan tergugat I dan II, harga
pemenang lelang adalah Rp99.655.000,-berdasarkan kwitansi dari kantor lelang.
Bila dilihat dari seluruh harga tersebut adalah tidak wajar atas pemotongan yang
dilakukan penggugat. Mengenai biaya 10%, tergugat I keberatan karena dalam
perjanjian tidak ada ditentukan besarnya biaya penagihan, melainkan hanya
tergugat I dibebankan biaya penagihan atas hutangnya. Oleh karena itu, hakim
harus menetapkan hal wajar dan patut. Mengenai grosse akta pengakuan hutang
dengan penyerahan jaminan No. 19, akta kuasa memegang hipotik No. 20 dan
akta kuasa jual No. 21 memiliki cacat hukum. Tergugat II sebagai penjamin
tergugat I telah menyerahkan dua bidang tanah berikut bangunan adalah
kepunyaan tergugat II bukan milik terguga, I. Harta tersebut adalah milik bersama
tergugat II dan istrinya yang diperoleh selama perkawinan. Pada waktu tergugat II
menyerahkan harta tersebut sebagai jaminan tidak ada izin dari istri tergugat II
yang merupakan syarat mutlak. Suatu kewajiban penggugat untuk meneliti
ketaklengkapan yang harus dipenuhi tergugat II sebagai penjamin hutang dari
tergugat I. Begitu pula terhadap akta No. 20 dan 21, dilakukan tergugat II tanpa
ada izin dari istri tergugat II sehingga ketiga akta tersebut cacat hukum.

Atas hal tersebut, istri tergugat II telah melakukan perlawanan terhadap


penggugat, tergugat I dan tergugat II yang perkara-nya sedang berjalan dengan
No. 59 Pdt/Plw/1992/PN Medan, Mengenai gugatan serta merta dikatakan bahwa
tergugat I merasakan keberatan karena belum ada kepastian hukum, masih ada
perlawanan dari pihak ketiga (istri tergugat II), pelaksanaan lelang eksekusi yang
cacat hukum, jumlah hutang yang tidak pasti. Selain itu, berdasarkan SEMA No, 3
tahun 1971, SEMA No. 3 tahun 1978, pengadilan harus menolak gugatan
penggugat, Selanjutnya, penggugat mengajukan replik dan tergugat mengajukan
duplik. Para pihak memberikan bukti-bukti tertulis.

Pengadilan memberikan pertimbangan hukum bahwa pengadilan


menyatakan sah dan berkekuatan hukum akta pengakuan hutang dengan
penyerahan jaminan No. 19 tanggal 5 Mei 1989 dan supaya tergugat-tergugat
membayar hutang berikut bunga sampai tanggal 31 September 1992 sebesar
Rpl.346.937.551,27 serta bunga yang sedang berjalan sebesar 22% pertahun.
Tentang grosse akta pengakuan hutang dengan penyerahan jaminan No. 19,
bahwa tergugat I benar meminjam kredit Rp, 1 miliar dengan bunga 22% per
tahun, jangka waktu satu tahun dan provisi 1,25% atas jumlah hutang yarig belum
dilunasi. Tergugat I menyerahkan jaminan secara fidusia dan tergugat II sebagai
penjamin telah menyerahkan harta kekayaannya sesuai dengan akta No. 20 dan
No. 21. Tentang kewajiban tergugat I yang tidak dapat memenuhi kewajiban
membayar hutang bukanlah karena iktikad tidak baik melainkan keadaan yang
tidak dapat diperhitungkan semula dan berada di luar kekuasaan tergugat I
sehingga tergugat I mengalami kerugian. Tentang jumlah hutang, tergugat I tidak
mengakui dan menolak perhitungan penggugat, tetapi mengakui jumlah hutang
yang tertera dalam akta pengakuan hutang sampai bulan Juni 1990, yang menurut
catatan tergugat I berjumlah Rp883,846.729,95. Tentang eksekusi grosse akta
hipotik, bahwa eksekusi terhadap grosse akta hipotik No. 5/ Pvldn Baru/1991
terhadap barang jaminan tergugat I mengandung cacat hukum dan tidak
mempunyai kekuatan eksekusi sebagai grosse akta hipotik karena tidak
memberikan jumlah hutang yang pasti, sehingga tergugat-tergugat mengajukan
gugatan untuk membatalkan hal tersebut. Tentang biaya penagihan 10%, tidak ada
diperjanjikan bahwa tergugat I harus menanggung biaya tersebut. Bahwa grosse
akta No. 19, 20, 21 memiliki cacat hukum karena dua bidang tanah merupakan
harta bersama tergugat II dengan istrinya dan pada waktu penyerahan sebagai
jaminan tidak ada izin dari istri tergugat II. Oleh karena itu, istri tergugat II
mengajukan perlawanan. Grosse akta No. 19 tanggal 3 Mei 1990 oleh tergugat-
tergugat diakui, sehingga sah secara hukum. Pendirian para tergugat bahwa pada
waktu penyerahan dua bidang tanah dan bangunan kepada penggugat karena tidak
ada izin dari istri tergugat II tidak dapat dipertimbangkan. Hal seperti itu tidak
dapat dikemukakan tergugat I dan tergugat II sebagai orang-orang yang
memberikan jaminan kepada penggugat. Tergugat I sebagai eksportir kopi
mengalami kesulitan dan kerugian yang sangat besar pada waktu harga kopi di
luar negeri turun secara drastis, yang merupakan suatu keadaan di luar kekuasaan
tergugat I baru dapat dipertimbangkan apabila tergugat I menyajikan data konkret
berupa pembukuan kegiatan perdagangan dengan memakai fasilitas uang
penggugat baik dalam bentuk faktur pembelian dan penjualan, transaksi uang
dengan pihak ketiga, data dari departemen perdagangan, dan sebagainya. Dengan
demikian, alasan tergugat I tidak dapat dibenarkan. Tentang jumlah hutang, bahwa
tergugat I berpendirian hanya mengakui jumlah hutang sampai dengan batas
waktu yang telah ditentukan sebesar Rp883.846.729,45. Oleh karena itu,
penggugat wajib membuktikan hutang tegugat 1 sebesar Rpl.440.512.551,27. Dari
Pasal 1 akta No. 19 dikatakan hutang tergugat I harus lunas dalam jangka waktu
12 bulan, selambat-lambatnya tanggal 3 Mei 1990. Pasal 2 menyatakan bahwa
tergugat I harus membayar bunga sebesar 22% per tahun, sedangkan Pasal 6
dikatakan bahwa apabila batas waktu berlakunya hutang tersebut telah
berakhir sedangkan pihak pertama (tergugat I) belum melunasi seluruh hutang
pokok, tambahan-tambahan , hutang pokok, bunga dan segala sesuatu yang lain
harus dibayar oleh pihak pertama, maka tergugat I wajib membayar denda kepada
pihak penggugat sebesar 1,25% per bulan dari jumlah hutang yang belum
dilunasi. Tergugat I mendalilkan hutang pokok ditambah bunga yang diakui hanya
sebesar Rp883.846.729,45. Hal tersebut sesuai dengan data yang diberikan
oleh penggugat dalam suratnya tanggal 2 Agustus 1990. Karena jangka waktu
perjanjian telah berakhir maka tergugat I harus dihukum untuk membayar hutang
kepada penggugat sebesar Rp883.846.729,45 ditambah dengan denda 1,25% per
bulan dari jumlah tersebut sebesar Rp93.575.000,-. Penagihan 10% dari jumlah
seluruh hutang yang harus dibayar tergugat I harus ditolak karena tidak
diperjanjikan secara tegas dalam Pasal 5 akta No. 19. Sita jaminan harus
dinyatakan sah dan berharga, putusan dapat dijalankan dengan serta merta
walaupun ada banding atau kasasi harus dikabulkan karena sudah sesuai dengan
Pasal 191 ayat (1) Rbg dan melihat urgensinya tergugat I cukup lama tidak
melunasi hutang kepada penggugat.

Pengadilan memutuskan dengan mengabulkan gugatan sebagian,


menyatakan sah dan berkekuatan hukum grosse akta pengakuan hutang dengan
penyerahan jaminan, menghukum tergugat I untuk membayar hutangnya kepada
penggugat sebesar Rp883.846.729,45 ditambah denda sebesar 1,25% per bulan
sampai hutang dibayar lunas dikurangi dengan jumlah hasil lelang akta hipotik
sebesar Rp93.575.000,-. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan, menghukum
tergugat I untuk membayar biaya perkara sebesar Rpl44.350,- dan menyatakan
putusan dapat dijalankan serta merta walaupun ada verzet, banding dan kasasi,
menolak gugatan penggugat setebihnya.
Kasus cedera janji terungkap juga dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia
berupa makanan ternak yang diekspor. Debitur tidak dapat memenuhi kewajiban
membayar hutang kepada bank sesuai jangka perjanjian kredit yang telah
ditentukan. Kasusnya dapat dilihat pada putusan Pengadilan Negeri Medan dalam
perkara Sejahtera Bank Umum v. P.T. Mitra Megah Cattleefeed Perdana, Budiono
Wiro Suparto, Gunawan Chandra, Kasim Yus, Tansri Chandra, Wagimun, No.
332/Pdt.G/1993/PN-Mdn tanggal 23 September 1994.

Perkara ini diawali ketika P.T. Mitra Megah (tergugat I) melalui Budiono
Wiro Suparto (tergugat II), Gunawan Chandra (terugta III), Kasim Yus (tergugat
IV) dan Tansri Chandra (tergugat V) meminjam kredit sebesar Rp200 juta dengan
bunga 2,4% per bulan, jangka waktu satu tahun terhitung dari tanggal 2 Januari
1991 sampai 2 Januari 1992 sebagaimana yang dituangkan dalam akta perjanjian
pinjam meminjam uang No. 0031/PK/91 tanggal 2 Januari 1991. Sebagai jaminan
hutang tergugat I kepada penggugat, tergugat II, III, IV dan V menyerahkan
barang dagangan yang akan diekspor berupa makanan ternak. Selain iru, para
tergugat tersebut mengikatkan diri sebagai penjamin sesuai dengan surat jaminan
tanggal 2 Januari 1991. Walaupun jangka waktu telah berakhir, tergugat tidak
memenuh kewajibannya dan sampai tanggal 12 Agustus 1993 jumlah hutang
tergugat berjumlah Rp298.025.835,- belum termasuk bunga berjalan. Tergugat I
telah beberapa kali diperingati oleh penggugat yang tembusannya disampaikan
kepada tergugat II, III, IV dan V. Untuk menjamin runtutan penggugat perlu
diletakkan sita rftilik atas jaminan fidusia dan sita jaminan atas satu pintu rumah
tempat tinggal permanen berikut tanahnya terletak di jalan Rajawali Selatan Raya
No. 25 A Jakarta Pusat milik tergugat II maupun harta bergerak dan tidak
bergerak lainnya di kemudian hari. Kedudukan penggugat sebagai bank yang
menerima simpanan masyarakat dengan membayar bunga tanpa dapat ditunda dan
uang simpanan tersebut disalurkan kembali dalam bentuk kredit yang salah satunya
adalah tergugat, dimohonkan putusan mi dapat dijalankan serta merta walaupun ada
banding dan kasasi. Dalam persidangan setelah dipanggil dengan patut, para
tergugat tidak hadir. Ketakhadiran bukan karena halangan yang sah. Berdasarkan
bukti-bukti, selanjutnya pertgadilan memberikan pertimbangan hukum yaitu
bahwa tergugat I, II, III, IV dan V meskipun telah dipanggil dengan patut tetapi
tidak datang dan ketakhadiran tersebut bukan disebabkan suatu halangan yang
sah, para tergugat harus dinyatakan tidak hadir. Yang menjadi pokok
permasalahan dalam gugatan ini adalah tergugat yang diwakili oleh tergugat II,
III, IV dan V telah meminjam kredit dari penggugat dan sampai tanggal 12
Agustus 1993 telah berjumlah Rp298.0255.835,-. Dari bukti akta perjanjian
pinjam meminjam uang ternyata bahwa tergugat I yang diwakili tergugat II, III,
IV dan V benar ada meminjam uang dari penggugat sebesar Rp200 juta dan
pinjaman harus dilunasi oleh tergugat kepada penggugat selambat-lambatnya
tanggal 2 Februari 1992. Sebagai jaminan kredit diikat perjanjian fidusia
berupa barang dagangan dan nilai transaksi sebesar Rp230 juta. Selain jaminan
fidusia, dibuat lagi surat jaminan sebagai avalist dari tergugat II, III, IV, V,
dan Wagimun (tergugat VI) atas hutang sebesar Rp200 juta. Dari aksep No.
0003/RK/92 ternyata bahwa tergugat II, HI, IV dan Vbet tindak untuk dan atas
nama P J. Mitra Megah Cattleefeed Perdana dalam menjalankan perusahaannya
berjanji membayar hutang kepada penggugat sebesar Rp 200 juta. Dari rekening
koran No. 03-1077787 tanggal 22 Agustus 1993, jumlah hutang tergugat-tergugat
telah berjumlah Rp298.025.835,-. Sejak tanggal 28 Januari 1992 sampai
dengan Agustus 1993 jumlah hutang tergugat-tergugat telah mencapai
Rp298.025.832,86. Dari bukti-bukti yang diajukan, ternyata tergugat I, II, III, IV,
V dan VI telah benar berhutang kepada penggugat sebesar Rp298.025.835.
Oleh karena itu, patut dikabulkan. Bahwa tergugat telah melakukan perbuatan
wanprestasi karena tidak melunasi hutangnya, patut dikabulkan. Karena
tergugat-tergugat terbukti berhutang dan bunga yang diperjanjikan 2,4% per
bulan, patut dikabulkan. Karena berita acara sita jaminan No. 024/94/Del.CB/PN
Jakarta Pusat jo No. 332/Pdt.G/ 1993/PN Medan yang dijalankan tanggal 16 Mei
1994 oleh juru sita PN Jakarta Pusat, dapat dikabulkan. Karena surat bukti adalah
akta di bawah tangan berarti tidak memenuhi Pasal 191 Rbg dan tidak beralasan,
harus ditolak. Dengan demikian, tergugat I, II, III, IV, V dan VI adalah pihak
yang dikalahkan.

Pengadilan memutuskan bahwa perkara tersebut diputus dengan verstek,


pengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, menyatakan sah dan berharga
akta pinjam meminjam uang dalam rekening koran No. 0031/RK/91 tanggal 2
Januari 1991, menyatakan tergugat-tergugat telah melakukan wanprestasi,
menghukum terguggat I, II, III, IV, V dan VI untuk membayar hutang kepada
penggugat dengan tunai seketika dan sekaligus, yang sampai tanggal 12 Agustus
1993 berjumlah Rp298.025.835,- ditambah bunga sedang berjalan 2,4% per bulan
terhitung sejak gugatan didaftarkan di pengadilan sampai dibayar lunas oleh
tergugat-tergugat, ' menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah
dijalankan oleh juru sita PN Jakarta Pusat dan menghukum tergugat I, II, HI, IV,
V dan VI untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp230.700,- serta menolak
gugatan penggugat selebihnya.

D. STATUS KEMILIKAN BEND A JAMINAN FIDUSIA

Salah satu persoalan yuridis yang menghendaki kejelasan \ dalam praktik


pengadilan mengenai kasus jaminan fidusia I adalah status barang jaminan
fidusia. Yang menjadi masalah adalah siapa yang menjadi pemilik benda Jaminan
fidusia, f kreditur penerima fidusia atau debitur pemberi fidusia? Tanpa adanya
kejelasan yang memberikan kepastian hukum terhadap masalah tersebut, akan
membawa konsekuensi yang semakin rumit terhadap penegakan hukum jaminan
fidusia.

Kasus mengenai status kemilikan benda jaminan fidusia dapat dilihat dari
putusan Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Bank Bumi Daya v. Kantor
Pelayanan Pajak Medan Barat dan P.T. Mahagoni Indah Industri No.
40/Pdt.Plw/1994 tanggal 17 November 1994.

Kasus ini terjadi ketika Kepala Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat
(terlawan I) yang telah meletakkan sita atas barang milik P.T. Mahogani Indah
Industri (terlawan II) sesuai dengan berita acara pelaksanaan sita No.
01/FS/XI/SPMP/B/ MB/1993 tanggal 17 November 1993 berdasarkan surat paksa
No. 360/II/SP/BJ/MB/92 tanggal 26 November 1992 dan No.
532/IV/SP/B/MB/1993 tanggal 16 April 1993 sebagai pelunasan hutang terlawan
II.

Penyitaan tersebut dilakukan terhadap satu set Genset Carterpillar, lima


unit Saw mill, satu unit Forklif, satu unit Generator Carterpillar. Terhadap barang
jaminan ini telah diumumkan lelang eksekusinya dengan pengumuman lelang No.
Peng. 004/WPJ.01/KP.0.0406/1994 tanggal 6 Mei 1995 di Harian Analisa Medan.
Bank Bumf Daya (pelawan) merasa keberatan terhadap sita tersebut karena
barang jaminan itu telah terikat sebagai jaminan kredit yang diserahkan secara
fidusia dengan akta No. 30 tanggal 22 Juli 1983 dan grosse akta pemberian
jaminan berupa penyerahan hak milik secara fidusia No. 83 tanggal 18 Agustus
1989 oleh terlawan II kepada pelawan. Menurut yurisprudensi, barang yang telah
dijaminkan kepada seorang kreditur tidak dapat lagi diletakkan sita untuk
kepentingan kreditur/pihak ketiga yang lain dan memberikan hak kepada kreditur
asal/pelawan. Menurut hukum, dengan penyerahan fidusia atas barang-barang
yang disita oleh terlawan I bukan lagi milik dari terlawan II melainkan berpindah
hak kemilikannya kepada pelawan. Dengan demikian, penyitaan yang telah
dilaksanakan dan rencana lelang yang akan dilakukan terlawan I adalah keliru dan
beralasan untuk diangkat. Karena lelang akan dilaksana oleh terlawan I, mohon
kepada pengadilan untuk tnenetapkan putusan propisionil yakni menangguhkan
pelaksanaan lelang pada tanggal 19 Mei 1994. Atas perlawanan tersebut, pihak
terlawan I mengajukan jawaban eksepsi bantahan bahwa perlawanan pelawan
terhadap terlawan I tanpa mengikutkan Direktur Jenderal Pajak yang merupakan
atasan langsung kepala kantor wilayah I DPJ Sumatera Utara yang justru menjadi
sumber pemegang kebijaksanaan. Dengan demikian, tidak memenuhi syarat
formal karena pihak yang dilawan tidak lengkap atau disebut sebagai perlawanan
error in persona. Bahwa perlawanan pelawan tertanggal 10 Mei 1994 adalah
terhadap penyitaan yang telah dilaksanakan pada tanggal 17 November 1993 yang
secara fakta menjadi gugur dan tidak berdasar. Pelelangan tanggal 22 Maret 1994
atas dasar pengumuman lelang di Harian Analisa Medan tidak ada perlawanan
dari pihak manapun. Bahwa kalau benar perlawanan ditujukan terhadap
pelaksanaan lelang tanggal 19 Mei 1994, pelaksanaan lelang itu hanya dapat
ditunda apabila terdapat perlawanan baik dari pemilik barang maupun pihak
ketiga berdasarkan hak milik barang yang disita. Namun, sampai tanggal tersebut
tidak ada pemberitahuan dari pengadilan untuk menunda pelaksanaan lelang. Hal
ini berarti sesuai dengan UU No. 19 tahun 1959, lelang dapat dilaksanakan.
Karena lelang dilakukan secara benar dan sah, perlawanan pelawan tidak dapat
diterima. Sesuai dengan yurisprudensi MA No. 954 K/Sip/1973 tanggal 1976, No.
697 K/Sip/1974 tanggal 31 Agustus 1977, No.1281 K/Sip/1979 tanggal 15 April
1981, No.2150 K/Sip/1985 tanggal 5 Agustus 1985 dan No.1157 K/Pdt/1986
tanggal 7 November 1987, diajukan dengan gugatan biasa bukan dengan
perlawanan.
Dalam pokok perkara, penyitaan atas barang jaminan tersebut merupakan
rangkaian pelaksanaan penagihan hutang pajak atas wajib pajak terlawan II yang
telah menunggak membayar pajak PPh, PPn dan PBB sejak tahun 1992. Sebelum
terlawan I melakukan pelelangan, penagihan dilakukan sesuai dengan prosedur
yakni peneguran, surat paksa, surat perintah penyitaan dan pengumuman lelang,
Penyitaan dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang sesuai dengan Pasal 3 UU
No. 19 Tahun 1959 bahwa surat paksa yang berkepala "Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" adalah suatu titel eksekutorial yang
mempunyai kekuatan yang sama seperti putusan hakim dalam perkara perdata
yang tidak dapat diminta bantuan lagi pada hakim atasan, Begitu juga pelaksanaan
lelang dengan risalah lelang No. 48/1994 merupakan akta otentik yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Bahwa barang yang disita
adalah milik terlawan II sesuai dengan data SPT-PPh yang dilaporkan terlawan II
kepada terlawan I dan untuk meyakinkan kebenaran tersebut, terlawan I telah
melakukan pengecekan ke tempat usaha terlawan II. Berdasarkan Pasal 9 ayat (4)
UU No.19 Tahun 1959 dikatakan bahwa penyitaan barang bergerak kepunyaan
penanggung pajak termasuk uang tunai dan surat berharga, meliputi juga barang
bergerak yang berwujud yang berada di tangan orang lain. Menurut UU No. 7
Tahun 1992 Pasal 1 angka 13 jo Pasal 6 huruf k jo Pasal 9 ayat (3) menegaskan
bahwa bank tidak mempunyai hak kemilikan atas harta debitur yang diagunkan.
Terhadap pelaksanaan lelang atas tagihan pajak itu, negara berkedudukan sebagai
kreditur preferen sebagaimana dikatakan Pasal 21 UU No. 6 tahun 1983.
Berdasarkan alasan tersebut, baik dalam provisi maupun pokok perkara, mohon
kepada pengadilan menyatakan perlawanan tidak dapat diterima dan
membebankan biaya perkara kepada pelawan.

Terlawan II mengajukan perlawanan, bahwa benar terlawan I telah


meletakkan sita atas barang-barang milik terlawan II sesuai dengan berita acara
sita tanggal 17 November 1993 dan telah dilakukan pengumuman lelang yang
akan dilaksanakan pada tanggal 19 Mei 1994. Barang yang disita itu terlebih
dahulu telah diletakkan sebagai jaminan hutang secara fidusia dengan akta No. 30
tanggal 22 Juli 1983. Dalam akta itu juga ditegaskan bahwa jaminan fidusia
diberikan kepada p.T. Private Development Finance Company of Indonesia Ltd
(PDFCI). Jadi, pemberian jaminan itu kepada pelawan adalah secara pari pasu.
Oleh karena itu, permohonan propisionil dari pelawan dapat dipertimbangkan oleh
pengadilan menurut hukum yang berlaku. Selanjutnya, pelawan mengajukan
replik, terlawan I dan II mengajukan duplik. Kemudian pelawan dan terlawan I
mengajukan bukti-bukti, sedangkan terlawan II tidak mengajukan bukti.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pengadilan memberikan


pertimbangan hukum. Dalam eksepsi, bahwa perlawanan error in persona karena
dalam perlawanan tidak mengikutkan Direktur Jenderal Pajak yang merupakan
atasan langsung kantor wilayah I DJP Sumatera Utara sebagai sumber dari
pemegang kebijaksanaan dalam pelaksanaan yang dijadikan pokok perlawanan
pelawan. Upaya hukum yang dilakukan pelawan seharusnya adalah gugatan biasa
dan bukan verzet dengan alasan pelawan sangat berkeberatan terhadap penyitaan
barang-barang milik terlawan II sesuai dengan berita acara sita tanggal 17
November 1993 dan tanggal 26 Maret 1994 yang dilanjutkan dengan
pengumuman lelang, yang dimuat pada harian Analisa tanggal 5 Mei 1994.
Perlawanan pelawan tanggal 10 Mei 1994 terhadap penyitaan yang dilaksanakan
pada tanggal 17 Novemt jr 1993 secara fakta menjadi gugur dan tidak berdasar.
Jika perlawanan ditujukan terhadap lelang tanggal 19 Mei 1994, yang berkaitan
dengan pelaksanaan tanggal 22 Maret 1994 dengan pengumuman lelang yang
dimuat di harian Analisa Medan tanggal 23 Februari 1994, atas pelelangan
tersebut tidak ada perlawanan/verzet dari pihak manapun. Lagi pula menurut Pasal
13 jo 14 UU No. 19 Tahun 1959, lelang hanya dapat ditunda apabila terdapat
perlawanan dari pemilik barang atau pihak ketiga berdasarkan hak milik barang
yang disita, diadakan pemeriksaan atau pemanggilan oleh pengadilan terhadap
pihak-pihak yang bersangkutan. Ternyata sampai tanggal 19 Mei 1994 tidak ada
pemberitahuan dari pengadilan atau penetapan penundaan pelaksanaan lelang.
Bahwa eksepsi bukan mengenai kewenangan maka diputuskan bersama dengan
pokok perkara. Bahwa dengan tidak mengikutsertakan direktur jenderal selaku
atasan langsung tidak menjadikan perlawanan error in persona karena Menteri
Keuangan yang menjadi atasan langsung dari direktur jenderal pajak dan yang
menjadi sumber kebijaksanaan telah. diikutsertakan sebagai terlawan I. Menurut
saksi Ir. Rama Butar-butar bahwa kepala kantor pelayanan pajak yang
diikutsertakan sebagai terlawan I mempunyai tanggung jawab penuh serta
wewenang penuh dalam pelaksanaan penagihan pajak, sedang pusat dapat
memberi petunjuk jika diminta atau tidak. Oleh karena itu, eksepsi terlawan I
harus ditolak.

Dalam pokok perkara, bahwa perlawanan pelawan pada pokoknya


ditujukan terhadap sita yang diletakkan oleh terlawan I atas barang-barang
terlawan II berupa satu set Genset Carterpillar, lima unit saw mill, satu unit
Forklif dan satu unit generator Carterpillar dengan memohon penangguhan lelang
atas barang-barang tersebut. Bahwa terlawan I telah membantah pelawan yang
pada pokoknya penyitaan dan pelelangan atas barang terlawan II dilakukan dalam
tahapan pelaksanaan penagihan hutang pajak terlawan II yang telah tertunggak.
Sebelum penyitaan dan pelelangan terlebjh dahulu dikeluarkan surat paksa.
Apabila ada sanggahan pelelangan hanya dapat ditangguhkan jika ada
pemberitahuan pemanggilan atau penetapan dari pengadilan. Barang-barang
terlawan II yang telah disita oleh terlawan I bukanlah merupakan barang yang
dikecualikan rnenurut Pasal 9 ayat (4) UU No. 19 Tahun 1959. Walaupun
terlawan II telah menyerahkan barang-barang itu secara fidusia kepada pelawan,
menurut Pasal 1 angka 13 jo Pasal 9 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1992 bahwa bank
tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta debitur yang diagunkan. Menurut
Pasal 21 UU No. 6 Tahun 1983, kedudukan negara sebagai kreditur preferen
mempunyai hak mendahulu melebihi segala hak mendahulu oranglain.
Bahwa terlawan II tidak hadir di persidangan. Selanjutnya, pelawan dan
terlawan I mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi. Menurut pengadilan, yang
menjadi persoalan adalah adanya dua tagihan terhadap terlawan II yaitu tagihan
pajak oleh terlawan I dan tagihan piutang oleh pelawan. Siapakah dari penagih
tersebut yang mempunyai hak mendahulu. Pelawan dalam dalilnya telah
menyatakan bahwa barang-barang jaminan tidak dapat lagi disita unruk
kepentingan pihak ketiga dan kreditur diberikan hak yang diutamakan. Ternyata
dari akta penyerahan hak.milik secara fidusia No. 30 dan No. 83, barang-barang
yang disita oleh terlawan I dan akan dilelang terlebih dahulu terikat sebagai
jaminan dari pelawan. Dalil pelawan didasarkan "kepada pengikatan jaminan
fidusia. Menurut Pasal 21 UU No. 6 Tahun 1983 bahwa negara mempunyai hak
mendahulu atas tagihan pajak di atas segala tagihan lainnya kecuali tagihan
ongkos perkara dan hak komisioner, Berdasarkan ketentuan tersebut tagihan yang
memakai jaminan dengan penyerahan hak milik secara fidusia tidak merupakan
kekecualian dari hak mendahulu negara atas tagihan pajak. Dengan pertimbangan
tersebut, pelawan tidak dapat membuktikan perlawanannya sedangkan terlawan I
dapat membuktikan dalil bantahannya. Oleh karena itu, pelawan harus dinyatakan
sebagai pelawan yang tidak baik dan perlawanannya harus ditolak seluruhnya.

Pengadilan memutuskan, dalam eksepsi, menolak eksepsi dari terlawan I.


Dalam pokok perkara, menyatakan pelawan adalah pelawan yang tidak baik,
menolak perlawanan Pelawanuntuk seluruhnya, menghukum pelawan untuk
membayar ongkos perkara yang ditaksir sebesar Rp39.300,-.

Dari kasus di atas, hakim hanya mempersoalkan adanya dua tagihan


terhadap terlawan II yaitu tagihan pajak oleh terlawan I dan tagihan piutang oleh
pelawan (bank). Siapakah dari penagih tersebut yang mempunyai hak mendahulu.
Namun, sebenarnya yang cukup menarik untuk dipersoalkan adalah tentang status
kemilikan dari benda jaminan fidusia tersebut. Dalam pertimbangan hukumnya,
hakim tidak mempersoalkan status kemilikan benda jaminan fidusia walaupun
salah satu dalil bantahan pelawan (kreditur penerima fidusia) telah dikemukakan
bahwa dalam perjanjian jaminan fidusia, hak kemilikan telah beralih kepada
kreditur penerima fidusia. Sebaliknya, pihak terlawan II (debitur pemberi fidusia)
mengemukakan bahwa benda jaminan fidusia adalah hak miliknya, sehingga oleh
terlawan I (Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat) melakukan penyitaan atas objek
jaminan fidusia.

Untuk menganalisis status kemilikan benda jaminan fidusia,. diperlukan


kerangka konsep pengertian fidusia sebelum dan setelah berlakunya UUJF.
Menurut beberapa yurisprudensi jaminan fidusia dapat disimpulkan bahwa fidusia
diartikan sebagai penyerahan hak milik secara kepercayaan atas benda bergerak
sebagai jaminan.24) Yang ditekankan adalah segi "penyerahan hak milik". Dalam
Undang-undang Rumah Susun, fidusia diartikan sebagai hak jaminan yang berupa
penyerahan hak atas benda berdasarkan kepercayaan yang disepakati sebagai
jaminan bagi pelunasan piutang kreditur.25) Yang ditekankan dalam undang-
undang ini adalah "penyerahan hak". UURS tidak menyebut-kan bahwa yang
diserahkan atas benda itu adalah hak milik, melainkan secara tegas dikatakan
bahwa yang diserahkan secara kepercayaan adalah "hak". Dengan demikian,
24
lihat Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, h. 91.
25
Pasal 1 angka 8 UURS.
pengertian hak yang diserahkan masih abstrak, 26) belum menunjukkan kepada
sesuatu hal tertentu. Jadi, yang diserahkan kepada kreditur penerima fidusia bukan
terbatas pada hak milik atas benda melainkan juga hak-hak lainnya atas benda.
Baik pengertian fidusia menurut yurisprudensi maupun UURS, keduanya
memiliki hakikat penyerahan yang sama yakni debitur pemberi fidusia
menyerahkan hak milik atas benda adalah dalam fungsinya sebagai jaminan.

Berbeda halnya pengertian fidusia dalam UUJF. Dalam UUJF dibedakan


arti fidusia dan jaminan fidusia.27) Yang dimaksud dengan fidusia menurut
undang-undang ini adalah pengalihan hak kepemilikan/ suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pengertian fidusia di sini lebih
ditekankan kepada dua hal yakni "pengalihan hak kepemilikan"28) dan
"penguasaan benda jaminan tetap pada pemilik benda". Jika dicermati uraian
pengertian fidusia sebelum dan sesudah berlakunya UUJF, dapat disimpulkan
adanya perubahan terminologi hukum yakni dari penyerahan menjadi peralihan,
dari hak milik dan hak kepemilikan menjadi hak kemilikan. Dari segi yuridis,
perubahan istilah tersebut membawa akibat hukum yang perlu disikapi dengan
hati-hati. Peralihan hak mempunyai arti yuridis yang lebih luas dari penyerahan
hak. Dalam terminologi hukum Eropa kontinental, dikenal istilah "transfer" dan
"levering". Kara "transfer" diartikan sebagai pemindahan,29) sedangkan levering
diartikan bukan saja sebagai pemindahan tetapi juga mencakup penyerahan dan
peralihan.30) Dalam terminologi hukum anglo saxon, kata "transfer" diartikan
sebagai an act of the parties, by which the title to property is conveyed from one
person to another.31) Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyerahan
hak merupakan perbuatan hukum untuk memberikan hak secara kepercayaan,
26
Hak adalah terjemahan dari kata Latin "lus". Hak tanpa diikuti oleh sesuatu yang lain,
tidak berarti apa-apa. Lihat Mahadi, Op.cit, h.. 15.
27
Menurut sejarah pembentukan UUJF, pada awalnya pemerintah hanya mengajukan
pengertian jaminan fidusia saja dan tidak membedakan antara fidusia dengam jaminan fidusia.
Namun, dalam rapat Panitia Khusus tanggal 27 Agustus 1999 diusulkan penambahan satu
butir mengenai definisi tentang fidusia, yang akan dijelaskan dalam penjelasan umum dengan
unsur-unsur yakni penyerahan hak milik atas dasar suatu benda, dan benda yang dijaminkan
masih digunakan pemilik benda. Hal ini disetujui oleh Tim tanggal 31 Agustus 1999. Ada tiga
alternatif pengertian fidusia dalam penjelasan umum. Pertama, fidusia adalah penyerahan hak
milik atas suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan benda yang hak miliknya
diserahkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Kedaa, fidusia adalah penyerahan hak
icepemilikan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur sebagai jaminan atas dasar
kepercayaan. Ketiga, fidusia adalah bentuk penjaminan (suatu benda atas dasar kepercayaan)
dimana hak dan kepemilikannya dialihkan kepada kreditur. Namun, benda tersebut
penguasaannya (atas dasar kepercayaan) berada di pihak debitur yang bertindak untuk dan
atas nama kreditur dan akan menyerahkannya kembali kepada debitur bila utangnya telah
dibayar lunas. Selanjutnya, tidak diperoleh kejelasan bagaimana akhirnya pengertian fidusia
dapat dimasukkan pada Pasal 1 angka 1 dan tidak pada penjelasan umum.
28
Seharusnya pembentuk undang-undang memakai kata peralihan bukan pengalihan, hak
kemilikan bukan hak kepemilikan. Di sini terlihat bahwa proses pembuatan UUJF
29
Marjanne Termorshui7en, Op.cii, h. 43.
30
Ibid, h. 214.
31
Henry Campbell Black, Op.cit, h. 1041.
sedangkan peralihan hak adalah perbuatan hukum untuk memindahkan hak atau
pergantian hak dari satu keadaan/orang tertentu kepada keadaan lain/orang lain.
Peralihan hak dapat meliputi perbuatan hukum menjual, menyewakan,
menjaminkan, dan sebagainya. Mengenai hak kepemilikan, dapat dijelaskan
bahwa istilah tersebut kurang tepat, seharusnya UUJF menggunakan kata
kemilikan sebagaimana yang diuraikan Mariam Darus Badrulzaman. Lembaga
hak kemilikan dikenal dengan istilah property right. Hak kemilikan diartikan
sebagai hak milik dalam arti umum (luas), tidak terbatas hanya pada hak milik
atas tanah, bangunan, mobil, sepeda dan sebagainya, tetapi seluruhnya sepanjang
hak tidak mengikutsertakan ahli bahasa Indonesia atau tidak memperhatikan
bahan hukum tersier dalam hal ini Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kelalaian ini juga terjadi pada UU
Perbankan yang memakai kata surat bukti kepemilikan, seharusnya surat bukti
kemilikan, ini mempunyai objek yang diperbolehkan hukum, vaitu benda (berujud
dan tidak berujud).32) Menurut penulis istilah hak kemilikan diterjemahkan dari
kata "right of ownership". Yang dimaksud dengan kemilikan (ownership) adalah
collection of rights to use and enjoy property, including right to transmit it to
others.33) Menurut J.C. Carvan, J.V. Gooley dan E.L. Me Rae, ownership means
that the owner has all the legal rights over property 34) Jadi, kata ownership lebih
luas dari kata property.35) Kemilikan bukan saja menunjukkan penguasaan atau
penggunaan benda tetapi juga yang lebih penting adalah titel dari benda itu.

Selanjutnya, dijelaskan sebagai berikut:


There is a difference between ownership and possession. A person can
own property without possessing it; A common example of this is the
bailment. Wilkie leaves his car with a mechanic for repairs. This is a
bailment. Wilkie, the bailor, owns the car but does not have possession of
it; the mechanic, tJie bailee, has possession of the car but does not own it.
The main advantage of ownership is that the owner can dispose of the
thing owned. Disposal can take many forms : transferring, leasing or
using it as security. Possession usually only indicates the right to
physically control the thing.36)

Dalam kaitannya dengan jaminan fidusia bahwa hak kemilikan benda yang
dijadikan agunan telah dialihkan kepada kreditur penerima fidusia. Artinya, alas
hak (titel) dari benda itu diserahkan kepada kreditur, tetapi pen uasaan
(possession) benda itu secara fisik ada pada debitur fidusia. Oleh karena itu,
dalam perkara yang diputuskan pengadilan tersebut di atas, pihak penggugat yang
merupakan kreditur atas objek jaminan :idusia adalah sebagai pemilik hak bukan
berstatus sebagai pemegang hak jaminan. Sebagai pemilik hak harus diartikan

32
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, h. 43.
33
Lihat Henry Campbell Black, Op.cit, h.765.
34
J.C. Carvan, J.V. Gooley dan E.L. McRae, Op.cit, h. 298.
35
M. Yahya Harahap menerjemahkan kata "property" adalah benda atau kekayaan, Op.cit,
h. 406
36
J.C. Carvan, J.V Gooley, E.L McRae, Loc.cit, h. 298.
sebagai pemilik jaminan atas benda bukan pemilik benda sepenuhnya dalam
pengertian perjanjian jual beli. Dari segi hukurn jaminan, orang yang
berkedudukan sebagai pemilik jaminan mempunyai hak-hak tertentu antara lain
berhak menjaminkan kembali benda jaminan itu kepada pihak lain. Sebagai
pemilik hak, kreditur berhak menguasai bukti kemilikan benda jaminan, misalnya
bukti BPKB untuk jaminan fidusia atas mobil, truk, kendaraan roda dua, bukti
kuitansi atau faktur pembelian untuk jaminan fidusia atas mesin-mesin, bukti
laporan daftar barang untuk jaminan fidusia atas benda persediaan. Bukti-bukti
kemilikan itu adalah surat-surat/ dokumen yang mempunyai hubungan langsung
dengan benda jaminan fidusia. Apabila surat/dokumen telah dikuasai oleh pemilik
jaminan fidusia, dan pada benda jaminan fidusia telah diberi tanda yang
ditempelkan, sehingga pihak ketiga mengetahui bahwa benda itu telah
difidusiakan kepada kreditur tertentu sehingga dapat dihindari adanya tumpang
tindih penyitaan. Hal ini akan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat lagi
dengan adanya lembaga pendaftaran jaminan fidusia yang telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000. Konsekuensi yuridis dari teori bahwa
kreditur penerima fidusia adalah pemilik jaminan yaitu debitur pemberi fidusia
tidak dapat mengalihkan benda jaminan fidusia kecuali dengan izin tertulis dari
kreditur tersebut.37) Dengan lahirnya UUJF, masalah kreditur sebagai pemilik
benda jaminan fidusia, masih menimbulkan persoalan yakni bilakah momentum
terjadinya kreditur penerima fidusia itu sebagai pemilik jaminan. Ada beberapa
penafsiran yang perlu dicermati. Pertama, apakah momentum itu terjadi pada saat
debitur pemberi fidusia menyerahkan haknya ketika mendatangani perjanjian
kredit dengan jaminan fidusia. Keduaf apakah momentum itu terjadi pada saat
debitur pemberi fidusia menandatangani akta jaminan fidusia di notaris. Ketiga,
apakah momentum itu terjadi pada saat akta jaminan fidusia didaftarkan ke kantor
fidusia. Atas problema ini, penulis berpendapat bahwa sebelum keluarnya UUJF,
momentum terjadinya kreditur penerima fidusia sebagai pemilik benda jaminan
adalah pada saat (ditandatangani akta pemberian jaminan fidusia. Setelah lahimya
UUJF, momentum terjadinya kreditur penerima fidusia sebagai pemilik benda
jaminan adalah pada saat akta jaminan fidusia didaftarkan di kantor pendaftaran
fidusia.

Dalam praktik pengadilan masih ada anggapan bahwa kreditur penerima


fidusia bukan merupakan pemilik jaminan tetapi hanya bertindak sebagai
pemegang saja. Hal ini terlihat dalam putusan Pengadilan Negeri Medan dalam
perkara Bank Surya Nusantara v. Mangasi Simbolon, Junaidi, Fauzie Yusuf
Hasibuan, Amir Syarifuddin, dan Yusnidar Mariati, No.71/ Pdt.Plw/1993/PN-
Mdn tanggal 13 April 1994.

37
Debitur pemberi fidusia hanya dapat mengalihkan objek jaminan fidusia berupa benda
persediaan dengan cara dan kebiasaan yang lazim dalam lalu lintas perdagangan. Setelah itu,
debitur wajib mengganti benda jaminan tersebut dengan nilai yang setara. Yang tidak
termasuk benda persediaan antara lain mesin pabrik, mobil pribadi, rumah. Lebih lanjut lihat
Pasal 21 jo 23 UUJF.
Persoalan kasus tersebut diawali dengan putusan Pengadilan Negeri
Medan dalam perkara No. 230/Pdt.G/ 1993/PN-Mdn yaitu perkara antara terlawan
I, II, dan III melawan terlawan IV dan V. Dalam perkara tersebut telah diletakkan
sita jaminan atas sebidang tanah SHM No.164 luas 883 m2 terletak di jalan Bromo
Medan atas nama Amir Syarifuddin, sebidang tanah SHM No. 279 luas 513 m 2
terletak di desa Tanjung Rejo atas nama Amir Syarifuddin, sebidang tanah akta
pelepasan hak/ganti rugi No. 167/1993 terletak di kelurahan Binjai atas nama
Amir Syarifuddin, satu unit Marcedez Benz tahun 1993 atas nama Amir
Syarifuddin dan satu unit Chevrolet Trooper tahun 1989 atas nama Yusnidar
Mariati. Dalam putusan PN Medan dan No, 230 tersebut dinyatakan bahwa sita
jaminan tersebut sah dan berharga. Atas keputusan itu, pelawan sangat keberatan
dengan alasan bahwa terlawan V mempunyai hutang sebesar Rp470 juta kepada
pelawan sebagaimana akta hutang dengan memakai jaminan No. 189 tanggal 31
Agustus 1990. Sebagai jaminan hutang, terlawan V menyerahkan jaminan berupa
tiga bidang tanah masing-masing SHM No. 164, SHM No. 279 dan akta
pelepasan hak/ganti rugi No. 167 sebagaimana tersebut di atas.

Pelawan juga keberatan terhadap sita jaminan atas benda bergerak berupa
dua unit mobil masing-masing Marcedez Benz dan Chevrolet Trooper tesebut di
atas. Kedua mobil ini telah diserahkan M. Yusuf Ngadio kepada pelawan sebagai
jaminan hutang sebesar Rpl35 juta yang diikat akta fidusia No. 18 tanggal 31
Agustus 1990. Bahwa semua surat dan dokumen kepemilikan atas barang
bergerak dan tidak bergerak ada pada pelawan sebagai jaminan hutang.
Penyerahan jaminan itu sudah dilakukan sebelum ada gugatan terlawan I, II dan
III di PN Medan dan sebelumnya sita jaminan diletakkan atas barang-barang
tersebut. Menurut pelawan gugatan antara terlawan I, II dan III melawan terlawan
IV dan V dalam perkara No. 230 khususnya menyangkut sita jaminan atas barang
barang bergerak dan tidak bergerak adalah suatu perbuatan pura-pura atau
tindakan tidak fair yang bermaksud merugikan pelawan untuk melakukan
eksekusi, karena jauh sebelumnya terlawan II telah mengetahui barang-barang
tersebut telah dijadikan agunan hutang kepada pelawan dalam perkara No.
550/Pdt.G/1992/PN-Mdn dan perkara No. 551/Pdt.G/ 1993/PN-Mdn. Menurut
putusan MARI No. 394 K/Sip/1984 tanggal 31 Mei 1985 bahwa barang-barang
yang telah diserahkan sebagai jaminan hutang tidak boleh diletakkan sita jaminan
lagi. Hal ini juga berkaitan dengan Surat Edaran MA No. 5 tahun 1975 tanggal 1
Desember bahwa MA mengharap-kan agar para hakim sangat berhati-hati
menerapkan lembaga sita jaminan. Karena peranan pelawan sebagai lembaga
keuangan (bank) untuk menggerakkan perekonomian masyarakat, sangat
berkeberatan dijatuhkan sita jaminan atas barang tersebut. Mengingat fungsi
pelawan perlu dilindungi untuk menghindari adanya kredit macet dan akan
menyulitkan perekonomian nasional, sudah cukup alasan kepada hakim untuk
menyatakan pelawan sebagai pelawan yang baik dan memerintahkan juru sita
pengadilan untuk mencabut sita jaminan dan menyatakan pelawan adalah sah
secara hukum sebagai pemegang jaminan hutang dari pelawan V. Mohon kiranya
agar putusan ini dapat dijalankan dengan serta merta walaupun ada banding dan
kasasi.
Terhadap hal ini, terlawan I, II dan III mengajukan jawaban. Dalam
eksepsi, bahwa pada prinsipnya yang menjadi dasar perlawanan pelawan adalah
tanah-tanah dan mobil-mobil yang menjadi objek sita jaminan yang sesungguhnya
telah menjadi agunan kredit pada pelawan. Alasan pelawan itu sama sekali tidak
ada menuntut agar .pelawan dinyatakan sebagai pemilik sah atas tanah-tanah dan
mobil-mobil melainkan hanya sebagai pemegang jaminan yang sah. Jadi,
hubungan pelawan dengan sita jaminan itu hanya sebagai pemegang jaminan
bukan selaku eigenaar dan bahkan bukan pula selaku bezitter. Selaku pemegang
jaminan berarri fungsi dari tanah-tanah itu bagi pelawan adalah tetap hanya
sekadar barang jaminan. Terlebih dalam proses hipotik atas tanah itu baru sampai
pada tahap kuasa memasang hipotik sehingga pelawan tidak berkedudukan selaku
kreditur preferen sehingga tidak mempunyai droit de suite dan droit de
preference. Demikian juga atas jaminan mobil, walaupun perjanjian agunan itu
telah memenuhi syarat hukum fidusia, penyerahan surat pemilikan (BPKB) kedua
mobil itu kepada pelawan bukanlah suatu penyerahan hak milik yang
sesungguhnya seperti halnya dalam jual beli, sehingga pelawan tidaklah dapat
mempro-klamirkan diri selaku voile eigenaar. Terlebih lagi dalam kenyataannya
pelawan tidak pula selaku beziter atas kedua mobil itu. Oleh karena itu, hak dan
kewenangan pelawan atas tanah dan mobil tersebut setaraf dengan hak dan
kewenangan yang dimiliki kreditur konkurensi dalam hal ini terlawan I, II dan III.
Kaidah normatif secara limitatif menyebutkan bahwa perlawanan sita pihak ketiga
dapat diajukan hanya atas dasar alasan tunggal yakni bahwa objek sita adalah hak
kepunyaan/ milik dari pihak ketiga dalam ini pelawan. Oleh karena itu,
perlawanan pelawan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam hal
exceptio plurium litis consortium, pelawan mengemukakan dalil-dalil yang
pada pokoknya bahwa mobil yang disita telah lebih dahulu diserahkan M. Yusuf
Ngadio kepada pelawan sebagai jaminan kredit dengan jaminan fidusia sebesar
Rpl35 juta, tetapi pelawan tidak turut menarik subjek M. Yusuf sebagai turut
terlawan dalam perkara ini padahal pelawan menuntut agar dinyatakan sebagai
pemegang jaminan hutang yang sah dan berprioritas pertama atas kedua mobil itu.
Selain itu, pelawan sama sekali tidak menjelaskan atas dasar kewenangan apa M.
Yusuf dapat memfidusiakan kedua mobil itu sedangkan M. Yusuf bukan sebagai
pemilik mobil itu. Dengan demikian, M. Yusuf tidak dapat membela din
terhadap perlawanan pelawan. Untuk menghindari kerugian M. Yusuf dan
atau terlawan I, II dan III dan atau pemilik mobil yaitu terlawan IV dan V,
perlawanan harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Exceptio Obscuur libelli, bahwa pelawan mendaliikan terlawan V


mempunyai hutang kepada pelawan. Dalil pelawan itu sungguh sangat kabur
karena tidak jelas siapa yang berhutang apakah Amir Syarifuddin atau Yusnidar
Mariati,, sebab dalam urutan pihak terlawan disebutkan bahwa terlawan V adalah
Yusnidar Mariati sedangkan Amir Syarifuddin adalah terlawan IV. Demikian pula
dalil lain ditegaskan bahwa subjek yang berhutang adalah terlawan V. Kalaupun
yang dimaksud-kan debitur oleh pelawan adalah terlawan V, itupun masih sangat
kabur sebab pelawan sama sekali tidak menguraikan secara jelas dan tegas
peranan terlawan IV dalam perjanjian kredit. Tidak dijelaskan pula dasar
kewenangan terlawan V mengagunkan tanah-tanah tersebut padahal tanah itu
kepunyaan terlawan IV. Kedudukan terlawan IV tidak jelas apakah mengikatkan
diri dalam perjanjian kredit sebagai pribadi atau selaku pribadi dan direktur CV
Harapan jaya. Untuk itu perlawanan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Pelawan pada satu sisi menyebutkan bahwa mobil Chevrolet Trooper adalah
kepunyaan terlawan V (Yusnidar Mariati), tetapi pada sisi lain disebutkan mobil
itu adalah kepunyaan terlawan IV (Amir Syyarifuddin). Dengan demikian, sangat
tidak jelas siapa pemilik mobil itu dan siapa sesungguhnya avalist yang
memfidusiakan mobil itu. Jika dihubungkan dengan dalil pelawan bahwa yang
memfidusiakan mobil itu adalah M. Yusuf Ngadio. Jadi, semakin tidak jelas mana
debitur utama dan mana nvalist. Dalam pokok perkara, bahwa segala dalil eksepsi
diperlakukan juga di sini. Adalah sungguh mengada-ada dan tidak beralasan
bahwa perlawanan pelawan menuding seolah-olah gugatan terlawan I, II dan III
terhadap terlawan IV dan V sebagai perbuatan pura-pura atau tidak fair, dalil
pelawan mencerminkan keraguan atas keobjektivitasan, ketulusan dan kecermatan
majelis hakim dalam meletakkan sita jaminan padahal penetapan itu didasarkan
pada keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalil pelawan tidak
relevan urituk dipertimbangkan dalam perlawanan ini sebab menurut hukum
pemeriksaan perkara tidak dibenarkan meninjau lagi pokok perkara yang dilawan.
Boleh saja pelawan keberatan atas sita jaminan, tetapi keberatan itu tidak
berdasarkan hukum sebab pelawan bukan sebagai eigenaar dan bukan pula
bezitter atas tanah dan mobil tersebut. Dalam perkara No. 550 masih
dipersengketakan tentang benar tidaknya terlawan IV atau terlawan V dan M,
Yusuf mempunyai hutang kepada pelawan, Dalam perkara itu, tergugat yang
mengajukan gugatan rekonpensi terhadap pelawan dan perkaranya sampai saat ini
masih aanhanging. Demikian juga, dalam perkara No. 551, hanya saja sayangnya
pengadilan cenderung memutuskan gugatan konpensi penggugat
dinyatakan tidak dapat diterima. Pelawan telah keliru mensitir kaidah hukum
putusan MARI No. 394 K/Pdt/ 1984 bahwa barang-barang yang telah diserahkan
sebagai jaminan hutang tidak boleh diletakkan sita jaminan lagi. Yang benar
adalah bahwa barang-barang yang sudah dijadikan jaminan hutang kepada Bank
Rakyat Cabang Gresik tidak dapat dikenakan conservatoir beslag.
Pertimbangan hukum putusan tersebut sehubungan dengan adanya kontroversi
yang intinya PUPN telah meletakkan executorial beslag terhadap barang-barang
yang dimintakan conservatoir beslag oleh pihak penggugat dan telah pula
dilakukan pengumuman lelang eksekusi sebelum PN Gresik meletakkan
conservatoir beslag atas barang-barang dimaksud. Dengan demikian, kaidah
hukumnya adalah sita jaminan tidak dapat dilakukan terhadap barang-barang yang
lebih dahulu diletakkan executorial beslag oleh PUPN, dan hal ini sesuai dengan
Pasal 1 UU No. 49 Prp Tahun 1960, Pasal 463 Rv antara lain berbunyi
jika juru sita meletakkan sita dan mendapati bahwa barang-barang
bersangkutan sebelumnya telah disita, juru sita tidak dapat meletakkan suatu sita
baru. Lagi pula apabila barang telah diletakkan sita oleh PUPN masih juga
dikenakan sita lagi tentu mengakibatkan ketakpastian piutang negara kapan
dapat ditagih. Oleh karena itu, alasan pelawan yang mensitir putusan MA tersebut
keliru dan tidak beralasan. Apalagi sistem hukum di Indonesia tidak menganut
sistem precedent dan putusan MA itu tidak merupakan standaard yurisprudentie.
Dengan demikian, tidak ada alasan hukum yang sah bagi pelawan untuk
menuntut agar PN Medan mengangkat/mencabut sita jaminan atas tanah-tanah
dan mobil-mobil sesuai dengan berita acara sita No. 230/Pdt.G/ 1993/PN-Mdn
tanggal 4 September 1993. Berdasarkan pretensi yuridis tersebut, telah cukup
dasar hukum untuk menolak seluruh perlawanan pelawan dan menyatakan
sebagai pelawan yang tidak jujur. Terhadap perlawanan pelawan-pelawan
tersebut, terlawan IV dan V mengajukan jawaban, dalam eksepsi, secara yuridis
antara nelawan dengan M. Yusuf Ngadio mempunyai hubungan hukum perdata.
Tidak diikutsertakan M. Yusuf sebagai terlawan mengakibatkan perlawanan
tidak sempurna. Pelawan juga mengemukakan dua tempat tinggal terlawan IV dan
V secara berbeda membuktikan perlawanan kabur. Oleh karena itu, patut ditolak
atau tidak dapat diterima. Dalam pokok perkara, bahwa benar dalam perkara
perdata terlawan IV dan V telah digugat terlawan I, II dan III, selanjutnya
pengadilan meletakkan sita jaminan atas tanah-tanah dan mobil-mobil dan sita
jaminan itu dinyatakan sah dan berharga. Namun, tidak benar terlawan IV masih
mempunyai hutang kepada pelawan berdasarkan akta No. 189 tanggal 31 Agustus
1990. Tujuan pembuatan akta itu bukan untuk mengadakan persetujuan novasi
atas perikatan lama yang tidak dijelaskan mana yang merupakan perikatan lama.
Fakta hukum persetujuan novasi tidak ada di dalam isi akta itu baik dari segi
objek maupun subjeknya, tetapi tujuan pembuatan akta itu adalah untuk
mengadakan kesepakatan membuka fasilitas kredit baru dalam bentuk pinjaman
rekening koran sejumlah Rp470 juta yang penarikannya dilakukan secara
bertahap. Kenyataannya, terlawan IV tidak pernah menarik dana sebagaimana
yang diperjanjikan tersebut. Jadi, tidak benar terlawan IV memiliki hutang
kepada pelawan. Sebaliknya, terlawan IV telah melakukan pembayaran
tanpa adanya hutang kepada pelawan sebesar Rpl46 juta. Oleh karena itu,
terlawan telah mengajukan gugatan kepada pelawan dalam perkara perdata No.
551 / Pdt.G/1992/PN-Mdn.

Tidak benar terlawan IV dan V bertindak sebagai penjamin hutang dari M.


Yusuf. Selain itu, tidak benar terlawan IV dan V menyerahkan mobil sebagai
jaminan hutang M. Yusuf kepada pelawan berdasarkan akta penyerahan hak milik
secara fidusia No. 188 tanggal 13 Agustus 1990. Oleh karena itu, akta jaminan
fidusia itu error in persona. Kenyataannya, dalam perkara No. 550, M. Yusuf
telah mengemukakan tidak ada berhutang kepada pelawan dan mengajukan
tuntutan rekonpensi sebesar Rpl02.500.000,-. Juga tuntutan rekonpensi dilakukan
oleh terlawan IV sebesar Rp45 juta dan pengembalian asli BPKB mobil. Sudah
sewajarnya pengadilan menolak perlawanan pelawan untuk seluruhnya atau tidak
dapat diterima. Selanjutnya, pelawan mengajukan replik dan terlawan mengajukan
duplik. Kemudian pelawan dan terlawan IV serta V mengajukan bukti-bukti
sedangkan terlawan I, II dan III tidak mengajukan bukti-bukti.

Berdasarkan hal-hal tersebut pengadilan memberikan pertimbangan


hukum. Dalam eksepsi yaitu mengenai eksepsi terlawan I, II dan III dikatakan
bahwa pelawan dalam posita perlawanannya mendalilkan terlawan V mempunyai
hutang kepada pelawan sebesar Rp470 juta sesuai dengan akta No.189 tanggal 13
Agustus 1990. Sebagai jaminan hutang tersebut, terlawan V menyerahkan dua
bidang tanah berbentuk SHM dan satu bidang tanah berbentuk akta pelepasan
hak/ganti rugi. M. Yusuf Ngadio telah menyerahkan kepada pelawan dua unit
mobil atas nama terlawan V sebagai jaminan hutang sebesar Rpl35 juta sesuai
dengan akta No. 187 tanggal 31 Agustus 1990. Pelawan mohon dinyatakan demi
hukum sebagai pemegang jaminan hutang yang sah dan berprioritas pertama atas
barang tidak bergerak dan bergerak. Berdasarkan posita dan petitum, bahwa
perlawanan pelawan adalah mengenai barang bergerak (mobil) dan tidak bergerak
(tanah) sebagai jaminan hutang oleh terlawan V dan penjaminan M. Yusuf Ngadio
kepada pelawan yang telah dilakukan sita jaminan sesuai dengan berita sita
jaminan No. 230/Pdt.G/ 1993/PN-Mdn tanggal 6 September 1993. Ternyata perla-
wanaan pelawan bukan didasarkan atas hak milik, padahal perlawanan pihak
ketiga atas sita jaminan hanya diajukan atas dasar hak milik yaitu pemilik barang
yang disita (Pasal 206 ayat 6 Rbg), sehingga pengadilan berpendapat eksepsi
terlawan I, II dan III adalah benar dan beralasan dan patut dikabulkan. Karena
dalam pokok perkara harus dinyatakan perlawanan pelawan tidak dapat diterima,
pelawan dinyatakan kalah dan membayar biaya perkara.

Pengadilan memutuskan bahwa, dalam eksepsi, menyatakan eksepsi


terlawan I, II dan III benar dan beralasan serta mengabulkan eksepsi terlawan I, II
dan III. Dalam pokok perkara, menyatakan perlawanan pelawan tidak dapat
diterima, menghukum pelawan untuk membayar biaya perkara sebesar Rp89.900,-

Dari putusan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kreditur penerima


fidusia sebagai pemilik jaminan tidak dapat mempertahankan haknya karena
bukan sebagai pemilik benda yang sesungguhnya.

E. PENARIKAN BENDA JAMINAN FIDUSIA DARI PENGUASAAN


DEBITOR

Dalam hal debitur pemberi fidusia tidak memenuhi kewajiban membayar


hutang kepada kreditur penerima fidusia, apakah kreditur dapat dibenarkan
menarik benda jaminan fidusia dari penguasaan debitur ke dalam kekuasaan
kreditur.

Dalam perjanjian jaminan fidusia, ciri utama adalah benda jaminan harus
tetap berada dalam penguasaan debitur. Apabila benda jaminan berada dalam
penguasaan kreditur, yang terjadi bukan perjanjian jaminan fidusia melainkan
perjanjian gadai. Dalam perjanjian jaminan fidusia, jika benda jaminan diserahkan
atau dikuasai oleh kreditur, perjanjian jaminan fidusia tidak sah. Namun, berbeda
halnya kalau debitur pemberi fidusia tidak memenuhi kewajiban, kreditur
penerima fidusia dapat menarik benda jaminan fidusia untuk dijual guna menutupi
hutang debitur. Tindakan tersebut bukan merupakan perbuatan hukum yang
bertentangan dengan UUJF. Bahkan, debitur pemberi fidusia mempunyai
kewajiban untuk menyerahkan benda jaminan fidusia untuk dijual. 38) Kasus
penarikan benda jaminan fidusia dari penguasaan debitur terlihat pada putusan
Pengadilan Negeri Siantar dalam perkara Sejahtera Bank Umum v. Lo Tjin Kuang
dan Lo Ah Lian, No. 80/Pdt.G/1992/PN-PMs, tanggal 2 Februari 1993.

Kasus tersebut berawal ketika Sejahtera Bank Umum (penggugat)


memberikan kredit kepada Lo Tjin Kuang (tergugat I) sebesar Rp.35 juta dengan
bunga 36%, jangka waktu 24 bulan, yang dituangkan dalam akta pengakuan
hutang dengan penyerahan jaminan secara fidusia No. 21 tanggal 23 Januari 1991.

Jaminan yang diberikan tergugat I kepada penggugat berupa satu unit


forklift. Selain itu, penggugat juga memberikan pinjaman kredit kepada tergugat I
sebesar Rpl85 juta dengan bunga 32%, jangka waktu 24 bulan, yang dituangkan
dalam akta pengakuan hutang dengan penyerahan jaminan dan kuasa memasang
hipotik No. 40 tanggal 18 April 1992. Sebagai jaminan hutang tergugat I kepada
penggugat, Lo Ah Lian (tergugat II) menyerahkan jaminan sebidang tanah seluas
69m2 berikut bangunan rumah, tempat tinggal permanen, ber-tingkat, lengkap
dengan listrik dan air leding, status tanah Hak Guna Bangunan No. 1273 atas
nama tergugat II. Selain itu, tergugat I juga menyerahkan jaminan secara fidusia
satu mobil sedan merek BMW, satu mobil penumpang Mitsubishi,
tertuang dalam akta No. 41 tanggal 18 April 1992. Terhadap hutang tergugat I
sebesar Rp35 juta telah dibayar Rpl2.531.900,- sedangkan hutang sebesar
Rpl85 juta belum dibayar. Penggugat telah berulangkali menegur tergugat, tetapi
tergugat tidak juga memenuhi kewajibannya. Penggugat khawatir bahwa
barang jaminan fidusia akan dialihkan atau digadaikan kepada pihak lain
sehingga atas barang jaminan telah diletakkan sita revindikasi.

Terhadap gugatan tersebut, tergugat I dan tergugat II memberikan jawaban


dalam konvensi dan menuntut dalam rekonvensi. Dalam konvensi, bahwa
pimpinan cabang Sejahtera Bank Umum Pematang Siantar Muliadi Rencong Oei
bukan wakil menurut undang-undang dari Sejahtera Bank Umum Pusat, sehingga
ketiadaan surat kuasa khusus berakibat pimpinan cabang tidak berwenang
mewakili atau memberi kuasa kepada Marthin S. Meliala untuk memajukan
gugatan di PN Pematang Siantar. Alasan ini didasarkan kepada pendapat
Soepomo, Retnowulan dan Rudi Prasetya. Soepomo menyatakan di depan
pengadilan surat kuasa yang hanya berbunyi umum dengan tidak memberi
petunjuk, bahwa orang yang diberi kuasa itu boleh mewakili pemberi kuasa dalam
perkara yang diperiksa hakim tidak akan mencukupi.

Retnowulan mengatakan seorang wakil yang mewakili salah satu pihak


yang berperkara harus merupakan wakil yang sah, wakil tersebut harus
mempunyai surat kuasa yang menyebutkan nomor perkara, pengadilan yang mana
dan dimana, perihal apa dan untuk apa surat kuasa diberikan. Rudi Prasetya
mengatakan pendirian kantor cabang biasanya dilakukan dengan akta notaris yang
38
Pasal 30 UUJF.
berisi pernyataan dari direksi telah didirikannya kantor cabang di wilayah tertentu
dengan sekaligus menunjuk pimpinannya -dengan perincian batas-batas
wewenangnya.

Selain alasan tersebut dengan berdasarkan asas Nemo phis juris ad alium
transferre potest quam ipse habet, Mulyadi Rencong Oei tidak berhak mewakili
direksi Sejahtera Bank Umum Pusat sehingga tidak berwenang memberikan kuasa
kepada Marthin S. Meliala.

Tentang petitum bertentangan dengan posita dikemukakan bahwa kata-


kata dan kalimat serta dalil-dalil posita gugatan tidak merinci tergugat I telah
melakukan wanprestasi. Alasan ini didasarkan kepada yurisprudensi Mahkamah
Agung No. 1075 K/Sip/1982 tanggal 8 Desember 1982 yang amar pertimbangan
hukumnya berbunyi karena petitum berten-tangan dengan posita gugatan,
gugatan tidak dapat diterima.

Tentang revidicatoir beslag, dikemukakan bahwa PN Fematang Siantar


tanpa surat bukti milik telah meletakkan sita revindikasi atas barang-barang
jaminan fidusia. Berdasarkan Pasal 212 Rbg atau kebiasaan-kebiasaan dalam
pengadilan, barang-barang yang telah disita harus diserahkan untuk penjagaannya
kepada pihak tersita, tetapi sebaliknya PN Pematang Siantar secara melawan
hukum telah menarik kekuasaan dan menyerahkan barang jaminan yang disita ke-
pada penggugat sebagai penjaga barang sitaan, Jadi, tindakan PN Pematang
Siantar bertentangan dengan Pasal 212 Rbg .

Tentang pokok perkara, dikemukakan bahwa penggugat telah menghitung


sendiri hutang pokok, bunga dari fasilitas kredit. Perhitungan bunga berbunga
sangat bertentangan dengan Pasal 1250 KUH Perdata. Oleh karena itu, tergugat
membantah berhutang sebesar Rp259.597.04V- Tergugat telah menyicil kredit
sehingga tidak beralasan untuk menggugat, karena waktu perjanjian kredit 24
bulan belum terlampaui.

Tentang Uitvoerbaar bij Voorraad dikemukakan bahwa permohonan


penggugat tersebut bertentangan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No, 03
tahun 1978 tanggal 1 April 1978 serta tidak memenuhi syarat dalam Pasal 180
HIR/191 Rbg. Untuk mendukung alasan tersebut dikemukakan putusan
Mahkamah Agung No. 499 K/Sip/1974 tanggal 13 Juni 1974, yang amar
pertimbangan hukumnya berbunyi gugatan agar putusan dapat dijalankan dengan
serta merta yang belum memenuhi syarat-syarat Pasal 191 ayat (1) Rbg harus
ditolak. Demikian juga putusan Mahkamah Agung No. 3328 K/Pdt/ 1984 tanggal
29 April 1986 bahwa putusan Uitooerbaar Uj Voorraad tidak dikabulkan majelis.
Tentang ongkos tanggung renteng dikemukakan, hukuman membayar ongkos dan
biaya perkara tanggung renteng tidak dikenal dalam HIR dan Rbg, dengan alasan
mensitir isi Indisch tijdschrift van het recht yang berbunyi "Hoofdelijke
veroordeeling in de kosten kent het inlandsch procesrecht" (penghukuman untuk
membayar ongkos perkara secara tanggung menanggung tidak dikenal dalam
hukum acara Indonesia). Hal tersebut juga dipertegas lewat yurisprudensi
Pengadilan Tinggi Surabaya No. 498/1958/Pdt, tanggal 11 Desember 1958.

Dalam rekonpensi dikemukakan yang intinya bahwa walaupun perjanjian


kredit masih belum melampaui tenggang waktu 24 hari, tergugat dalam
rekonpensi telah memajukan. gugatan. Dengan demikian, tergugat dalam
rekonpensi telah wanprestasi karena melanggar kesepakatan perjanjian kredit.
Berdasarkan permohonan tergugat dalam rekonpensi kepada pengadilan telah
menarik barang-barang milik penggugat dalam rekonpensi. Berdasarkan fakta
yuridis, tergugat dalam rekonpensi telah merusak atau merugikan nama baik
penggugat dari rekonpensi secara moral dan materil dalam dunia perdagangan.
Pertimbangan hukum yang diberikan PN Pematang Siantar sebagai berikut:
Tentang tuntutan penggugat tidak dapat diterima. Mengenai wakil, pimpinan
Sejahtera Bank Umum Pematang Siantar tidak berhak memberi kuasa untuk
memajukan gugatan sebab tidak ada surat kuasa dari pimpinan Sejahtera Bank
Umum Pusat. Dalam surat kuasa khusus harus disebut nama dan dimana, perihal
apa kuasa diberikan. Mengenai petitum bertentangan dengan posita. Dalam posita
gugatan tidak merinci bahwa tergugat, telah melakukan wanprestasi terhadap
penggugat.

Tentang revindicated beslag. Atas permohonan penggugat, PN Pematang


Siantar telah mengeksekusi barang-barang terperkara tanpa adanya suatu putusan
yang mempunyai kekuatan mutlak.

Mengenai Eksepsi tergugat-tergugat, pengadilan berpendapat, wakil


penggugat dengan surat kuasa yang diberikan . oleh pimpinan Sejahtera Bank
Umum Pematang Siantar adalah sah setelah dilegalisir oleh hakim Pengadilan
Negeri Pematang Siantar. Pemberian kuasa tersebut didasarkan dengan kuasa
khusus yang diberikan oleh direktur Sejahtera Bank Umum Pusat kepada
pimpinan Sejahtera Bank Umum Pematang Siantar dibuat di hadapan notaris
Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang isinya penerima kuasa dikuasakan khusus
untuk dan atas nama serta kepentingan Sejahtera Bank Umum memajukam
gugatan kepada tergugat-tergugat. Jadi, kuasa tersebut telah sah menurut undang-
undang.

Mengenai petitum bertentangan dengan posita pengadilan berpendapat


bahwa penggugat telah menguraikan hutang tergugat I dan hutang itu harus
diangsur setiap bulan sesuai perjanjian. Akan tetapi, tergugat I ingkar janji akan
kewajibannya. Sesuai dengan posita, penggugat menuntut pada petitum sebesar
Rp259.597.042,-. Dengan demikian, petitum tidak bertentangan dengan posita.

Mengenai revindicatoir beslag, pengadilan berpendapat bahwa penarikan


barang-harang yang diagunkan secara fidusia dari tergugat dengan
menyerahkannya kepada penggugat tidak bertentangan dengan undang-undang.
Dalam konvensi, pengadilan memberikan pertimbangan bahwa tergugat
dirtyatakan mempunyai hutang kepada penggugat sebesar Rp259.597.042,-
ditambah bunga dan denda, pang berasal pengakuan hutang dengan penyerahan
secara fidusia dan kuasa memasang hipotik. Sesuai dengan perjanjian, :ergugat I
dan II telah menyerahkan hak miliknya kepada ?enggugat berupa mobil.

Tergugat telah mengikatkan diri untuk melaksanakan cewajiban membayar


hutang setiap bulan kepada penggugat etapi isi perjanjian tersebut tidak dipenuhi.
Berdasarkan bukti-bukti, ternyata bantahan tergugat tersebut ridak dapat
mengurangi hutang kepada penggugat dan tidak dapat menunjukkan dalil
penggugat. Oleh karena itu, surat bukti tergugat-tergugat dikesampingkan.

Dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, pengadilan berpendapat


bahwa petitum-petitum yang dimohonkan penggugat dapat dikabulkan seluruhnya
dan sebaliknya menolak gugatan rekonpensi.

Pengadilan memutuskan, dalam eksepsi, menolak eksepsi tergugat-


tergugat seluruhnya. Dalam konpensi, mengabulkan gugatan penggugat untuk
seluruhnya, menyatakan sah dan berharga perjanjian-perjanjian antara penggugat
dengan tergugat yaitu akta pengakuan hutang dengan penyerahan jaminan secara
fidusia dan akta pengakuan hutang dengan penyerahan jaminan dan kuasa
memasang hipotik.

Kasus penarikan benda jaminan fidusia ke dalam penguasaan kreditur


penerima fidusia dapat juga dilihat pada putusan Pengadilan Negeri Medan dalam
perkara Syafril v. BPDSU; Armyn; Kepala BUPLN, No. 407/Pdt.G/1997/PN-
Mdn, tanggal 20 Mei 1998.

Kasus ini bermula dari Syafril (penggugat) telah menerima fasilitas kredit
dari BPDSU (tergugat I) dalam bentuk kredit rekening koran sebesar Rp200 juta
sebagaimana tertuang dalam persetujuan membuka kredit No. '314/CU/KRK/1991
tanggal 6 Agustus 1991. Tenggang waktu berlakunya perjanjian kredit adalah 12
bulan dan akan berakhir pada Uinggal 5 Agustus 1992. Sebagai jaminan kredit
penggugat menyerahkan kepada tergugat I barang-barang jaminan berupa tiga unit
mobil bus penumpang umum dengan merek dinding ALNI (Antar Lintas
Nusantara Indonesia), satu unit mobil suzuki, dua bidang tanah, masing-masing
seluas 3.645 m2 dengan bukti akta perjanjian pengalihan hak dengan ganti rugi
No. III, tanah seluas 1.464 m2 dengan bukti akta perjanjian pengalihan hak dengan
ganti rugi No. 120, yang keduanya terletak di kecamatan Medan Johor.

Terhadap permasalahan kredit yang pernah diberikan kepada penggugat,


oleh tergugat I telah melimpahkan penanganan penyelesaiannya kepada BUPLN
(tergugat III) selaku lembaga yang menjamin penagihan hutang piutang negara.
Oleh tergugat III telah pula melakukan pemanggilan terhadap penggugat serta
melakukan tindakan penetapan terhadap besarnya jumlah saldo hutang terakhir
dari penggugat. Dengan adanya pelimpahan penanganan penyelesaian kredit yang
pernah diperoleh penggugat dari tergugat I dilaksanakan dalam tenggang waktu
perjanjian kredit yaitu sejak tanggal 6 Agustus 1992. Hal tersebut juga didukung
oleh fakta bahwa nilai barang-barang yang diberikan oleh penggugat kepada
tergugat jauh lebih besar ataupun lebih tinggi dari jumlah fasilitas kredit yang
diberikan oleh tergugat I kepada penggugat.

Pada tanggal 1 Juni 1992, tergugat II dengan mengatas namakan tergugat I


secara tanpa hak dan melawan hukum telah pula mengambil alih dan menguasai
pengelolaan dan pengoperasian ketiga unit bus penumpang umum dengan merek
dinding ALNI milik penggugat yang dijadikan sebagai jaminan kredit dalam
bentuk kredit investasi. Terhadap perbuatan tergugat I dan II yang telah
menunjukan ikf kad tidak baik serta secara nyata telah melakukan perbuatan
melawan hukum dalam bentuk misbruik omstandigheden (penyalahgunaan
keadaan). Oleh karena itu, patut dan beralasan menurut hukum apabila tergugat I
dan II dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam bentuk
misbruik van omstandigheden. Adanya pelimpahan penanganan penyelesaian
permasalahan kredit yang bersangkutan pada tergugat III, telah mengandung cacat
hukum sehingga patut dan beralasan menurut hukum apabila diambil dan
dijatuhkan putusan provisionil yang memerintahkan tergugat III untuk tidak
melakukan tindakan pelelangan terhadap barang-barang jaminan kredit yang
tercantum dalam persetujuan membuka kredit No. 314/CU/KRK/91 tertanggal
g Agustus 1991, sampai menunggu adanya putusan yang berkekuatan hukum
tetap. Perbuatan tergugat I dan II yang mengambil alih dan menguasai
pengelolaan dan pengoperasian ketiga unit bus penumpang umum dengan merek
dinding ALNI milik penggugat adalah perbuatan melawan hukum. Oleh karena
itu, patut dan beralasan kiranya menurut hukum apabila tergugat I dan II dihukum
secara tanggung menanggung untuk mengembalikan kepada penggugat seketika
dan sekaligus tiga unit bus penumpang umum mersedez benz dengan merek
dinding ALNI atau konpensasi dalam bentuk uang tunai sebesar Rpl65 juta.

Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat I dan II telah


pula menimbulkan kerugian materil kepada penggugat dimana penggugat
kehilangan pendapatan yang seharusnya diterima oleh penggugat dan penghasilan
pengelolaan serta pengoperasian bus penumpang umum yang bersangkutan
diperhitungkan sebesar Rp200 ribu dari setiap unit bus. Setiap harinya dapat
dioperasikan rata-rata setiap bulannya selama 25 hari. Sampai gugatan ini
didaftajrkan tergugat I dan II telah menguasai dan mengambil alih pengelolaan
kegiatan usaha penggugat selama 63 bulan yaitu terhitung 1 Juni 1992 hingga-
September 1994 sehingga seharusnya penggugat telah menerima peadapatan
sebesar Rp200 ribu kali tiga unit kali 25 hari kali 63 bulan sama dengan Rp945
juta. Oleh karena itu, patut dan beralasan apabila terguggat I dan II dihukum
secara tar ;gung menanggung untuk membayar kepada penggugat serta ganti rugi
pendapatan yang seharusnya diterima sebesar 10% dari Rp945 juta terhitung sejak
gugatan didaftarkan. Di samping itu, penggugat telah mengalami kerugian
immateril berupa tercemarnya nama baik di bidang angkutan umum yang
diperhitungkan sebesar Rp5 milyar. Karena tergugat I dihukum mengembalikan
tiga unit bus penumpang umum juga patut menurut hukum apabila tergugat I
dihukum membayar dwangsom sebesar Rp2.500.000 setiap hari apabila
lalai menjalankan putusan ini. Untuk menghindari gugatan penggugat tidak
hampa, mohon diletakkan sita jaminan atas harta benda tergugat I dan II baik
bergerak maupun tidak bergerak terutama atas satu bangunan gedung BPDSU
beserta tanah pertapakannya terletak di jalan Imam Bonjol No. 18 Medan.
Demikian pula menurut hukum bahwa putusan di dalam perkara ini dapat
dijalankan terlebih dahulu karena telah didasarkan pada bukti-bukti yang cukup.
Untuk menghindarkan kerugian selanjutnya yang diderita penggugat mohon
berkenan menjatuhkan putusan provisionil yang amarnya berbunyi
memerintahkan tergugat III untuk tidak melakukan pelelangan terhadap barang-
barang jaminan yang termaktub dalam persetujuan membuka kredit No. 314/CU-
KRK/1991 tertanggal 6 Agustus 1991 menunggu adanya putusan yang
berkekuatan hukum tetap dalam perkara ini.

Terhadap gugatan penggugat, pihak tergugat-tergugat mengajukan


jawaban. Tergugat I mengemukakan bahwa pihak-pihak dalam perkara ini kabur
dan tak jelas karena penggugat menggugat II sebagai pribadi dan bukan bertindak
untuk dan atas nama BPDSU. Tergugat II sebagai pribadi tidak
mempunyai hubungan hukum dengan pihak tergugat sesuai dengan putusan MA
No. 4 K/SIP/1985 berbunyi secara mutlak untuk menggugat seseorang di depan
pengadilan adalah adanya perselisihan hukum kedua belah pihak. Oleh karena itu,
gugatan penggugat yang ditujukan kepada tergugat II harus dinyatakan kabur dan
obscuur libel. Penggugat tidak turut serta menggugat P.T. ALNI yang diwakili
direktur utamanya Zainal Abiddin dan Asli Binner Tambunan karena keduanya
telah merugikan penggugat dalam mengelola bus yang menjadi agunan hutang
penggugat kepada tergugat. Oleh karena itu, gugatan penggugat tidak
sempurna dan menurut yurisprudensi MA No. 447 K/SIP/1976 tanggal
20 Oktober 1976 mengatakan gugatan yang tidak sempurna menurut hukum acara
karena adanya kekeliruan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dengan
demikian, gugatan penggugat tidak mempunyai dasar hukum. Penggugat telah
keliru menggugat tergugat I dan II karena menurut hukum setelah pengurusan
kredit ditangani oleh KP3N, bukan lagi pemerintah, bank atau BUMN yang
menjadi pihak berpiutang melainkan negaralah yang menjadi pihak berpiutang
sebagai penguasa yang melaksanakan wewenang yang bersifat hukum publik.
Karena itu, kedudukan debitur dan BUPLN tidak dalam posisi yang sejajar serta
tidak bersifat hukum publik. Karena penggugat tidak dapat melunasi hutang-
hutangnya setelah diberi kelonggaran, hutang itu diserahkan oleh tergugat I dan II
kepada KP3N. Untuk itu, tanggung jawab sepenuhnya berada pada tergugat III.
Apabila penggugat merasa dirugikan oleh tergugat III, penggugat hanya
menggugat tergugat III dan tidak mengikut-sertakan tergugat I dan II. Dengan
demikian, jelas gugatan terhadap tergugat I dan II harus ditolak atau tidak dapat
diterima.

Dalam pokok perkara, hal-hal yang dikemukakan tergugat I dan II dalam


eksepsi dianggap mutatis mutandis dalam pokok perkara ini. Sesuai dengan
pengakuan penggugat mempunyai hutang kepada tergugat I dan II dan hutang itu
telah dinyatakan macet sehingga penggugat harus berkewajiban membayar hutang
pokok, bunga, denda dan beban lainnya. Oleh karena itu, tergugat I dan II
menyerahkan penagihan piutang kepada tergugat III sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Permohonan penggugat bahwa beban bunga hanya berlaku
dari tanggal mulai perjanjian kredit sampai berakhirnya waktu perjanjian patut
ditolak dan dikesampingkan, karena tidak sesuai dengan Keputusan Menteri No.
293/KMK, 09/1993 tanggal 27 Februari 1993 Tentang Pengurusan Piutang
Negara yang menetapkan perhitungan bunga sejak hutang diragukan dapat
dikenakan bunga sampai dengan 21 bulan, yang sepenuhriya ditentukan oleh
tergugat III. Tenggang waktu penyerahan penanganan penyelesaian kredit tidak
bertentangan dengan hukum yang berlaku dan bukan merupakan perbuatan
hukum karena tergugat I dan II telah memberikan kelonggaran-kelonggaran
dengan proses negosiasi. Tergugat II tidak pernah mengatas - namakan tergugat I
dan tidak pernah secara tanpa hak dan melawan hukum dalam mengambil
alih dan menguasai pengelolaan pengoperasian keenam unit bus penumpang
P.T. ALNI tetapi bus-bus tersebut tetap berada pada penggugat kecuali tiga bus
penumpang yang telah diserahkan P.T. ALNI kepada tergugat I dan II yang
keadaan bus-bus tersebut tinggal chasis saja. Perbuatan tergugat I dan II tetap
menunjukan iktikad baik dan tidak pernah melakukan penyalahgunaan keadaan.
Bila hal ini didalilkan oleh penggugat yang memohon agar perjanjian kredit
dibatalkan karena cacat hukum tetapi tidak ada mengajukan permohonan yang
demikian sehingga. tuduhan iru patut ditolak dan dikesampingkan. Lagi pula
ajaran penyalahgunaan belum dimasukkan dalam KUH. Perdata. Karena
tergugat I dan II tidak terbukti melakukan penyalahgunaan keadaan berarti
tergugat I dan II tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Bahwa tergugat
I dan II bertindak sesuai dengan hukum sehingga purusan provisionil
yang memerintahkan tergugat III untuk tidak melakukan pelelangan harus
ditolak. Untuk melunasi hutang penggugat, barang jaminan dijual di depan umum
atau di bawah tangan yang apabila ada kelebihan diserahkan kepada penggugat.
Bahwa permohonan penggugat untuk menghukum secara tanggung menanggung
tergugat I dan II atas konpensasi sebesar Rpl65 juta dan ganti kerugian atas
keuntungan yang diharapkan sebesar 10% dari Rp945 juta patut ditolak.
MA daJam putusannya No. 51 K/SIP/1974 tanggal 29 Mei 1975
menyatakan dalam hal adanya tuntutan ganli rugi, adanya kerugian haruslah
dibuktikan, Demikian juga purusan MA No. 588 K/SIP/1983 tanggal 28 Mei 1984
menyatakan tuntutan penggugat mengenai ganti rugi karena tidak disertai bukti-
bukti harus ditolak. Gugatan penggugat yang menyatakan tergugat I telah
mencemarkan nama baik harus ditolak karena tergugat I dan II telah bertindak
sesuai dengan hukum. Sebaliknya, penggugatlah yang mencemarkan nama baik
tergugat I dan II yang mengatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Demikian juga tuntutan ganti rugi immateril sebesar Rp5 milyar harus ditolak.
Selain itu, tuntutan dwangsom sebesar Rp2.500.000,- harus ditolak, hal ini sesuai
dengan purusan MA No. 781 K/SIP/1972 tanggal 26 Februari 1973 yang
menyatakan uang paksa tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar hutang.
Penggugat yang memohon meletakkan sita jaminan atas bangunan gedung
BPDSU harus ditolak karena bukan milik tergugat I dan II tetapi milik pemerintah
daerah propinsi Sumatera Utara. Hal ini menurut Pasal 65 ICW sita jaminan
terhadap barang milik negara dilarang kecuali seizin Mahkamah Agung setelah
mendengar Jaksa Agung. Selain iru, penggugat tidak mencantumkan letak batas-
batas tanah yang akan disita patut ditolak. Menurut yurisprudensi tetap MA No.
1149 K/SIP/1975 tanggal 17 April 1979 dinyatakan karena dalam surat gugatan
tidak disebutkan dengan jelas letak/batas-batas tanah sengketa gugatan tidak dapat
diterima. Bahwa di samping iru MARI dalam surat edaran No. 89 K/1018/M/1962
tanggal 25 April 1962 menyatakan apabila yang disita adalah tanah, harus dilihat
dengan saksama bahwa tanah tersebut adalah milik tergugat yang dikuasai
olehnya, luas dan batas-batasnya harus disebutkan dengan jelas. MARI dalam
putusannya No. 957 K/SIP/1983 tanggal 8 Mei 1984 menyatakan: conseroatoir
beslag yang bukan didasarkan atas alasan Pasal 227 ayat (1) HIR tidak dapat
dibenarkan. Conservatoir beslag harus lebih dahulu dilakukan terhadap barang
bergerak dan apabila tidak men-cukupi barulah terhadap barang tidak bergerak,
Conservatoir beslag tidak dapat dibenarkan karena nilai barang yang disita terlalu
tinggi dibandingkan nilai gugatan yang dikabulkan. Dengan demikian,
permohonan penggugat tidak sesuai dengan hukum karena yang berhutang
bukanlah tergugat I dan jj melainkan penggugat. Oleh karena itu, sita terhadap
bangunan gedung BPDSU harus ditolak. Permohonan putusan agar dapat
dijalankan lebih dahulu walaupun ada perlawanan, banding maupun kasasi
harus ditolak karena tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan putusan MA
No. 935 K/ Pdt/1985 tanggaJ 30 September 1986. Untuk itu, izinkan tergugat I
dan If menurunkan yurisprudensi tetap MA No. 3328 K/Pdt/1984 tanggal 28 April
1986 menyatakan "menimbang karena adanya surat edaran MA No. 06/1975 jo
No. 03/1978 berarti tuntutan ex Pasal 180 HIR tidak dapat dikabulkan oleh
majelis". Bahwa karena penanganan hutang diserahkan tergugat I dan II kepada
tergugat III, sejak saat itu hutang menjadi piutang negara dan didahulukan
penagihannya dari hutang-hutang yang lain. Tergugat III memberikan jawaban
dalam eksepsi, bahwa gugatan penggugat yang ditujukan kepada KP3N adalah
rnenyangkut keberatan penggugat tentang besarnya jumlah hutang negara macet
yang telah ditetapkan oleh pihak bank. Berdasarkan hal tersebut, PN Medan
tidak berwenang memeriksa kasus kredit macet yang pengurusan penagihannya
telah diserahkan oleh bank pemerintah kepada PUPN selaku tergugat III. Hal ini
merupakan eksepsi kompetensi absolut sesuai dengan yurisprudensi MA No. 1205
K/SIP/1970 tanggal 17/anuari 1973. Menurut hukum acara upaya hukum
keberatan lelang eksekusi yang pelelangannya belum dilaksanakan adalah
berbenruk perlawanan (verzet) dan bukan gugatan. Hal ini sesuai dengan putusan
MA No. 697 K/SIP/1974 tanggal 31 Agustus 1973. Berdasarkan alasan tersebut
mohon eksepsi tergugat III dapat diterima.

Dalam pokok perkara, berdasarkan surat No. 191/CU.PK/ KM/96 tanggal


31 Januari 1997, tergugat I telah menyerahkan penanganan kredit macet atas nama
debitur Syafril kepada tergugat III. Dengan surat tanggal 20 Maret, tergugat I
telah mengajukan jumlah piutang negara macet sebesar 290
gp366.590.140,25. Berdasarkan surat tersebut, tergugat III telah menerima
penyerahan piutang negara dengan terbitnya surat Icetua PUPN Wilayah I Medan
No. SP3N/84/PUPNW.I/1997 tanggal 13 Maret 1997. Selanjutnya, tergugat III
memanggil penggugat untuk melunasi hutang dengan tiga kali surat peringatan
masing-masing tanggal 4 Juni, 18 Juni dan 7 Juli 1997 dan tidak diindahkan
penggugat, sehingga tergugat me-ngeluarkan jumlah piutang negara sebear
Rp366.590.140,25. Kemudian tergugat III mengeluarkan surat paksa No. SP-
242/PUPNW.I/97 tanggal 1997 tanggal 3 Oktober 1997 yang isinya agar
penggugat dalam waktu satu kali dua puluh eempat jam melunasi kewajibannya.
Berdasarkaan hal tersebut, tuntutan agar tergugat menunda lelang adalah tidak
relevan karena penggugat sama sekali tidak pernah berusaha untuk melunasi
hutang yang sudah berlangsung lima tahun. Atas jawaban tergugat-terugat,
penggugat mengajukan replik dan tergugat-tergugat menyerahkan dupliknya.
Kemudian penggugat mengajukan bukti-bukti dan dua orang saksi. Demikian
pula tergugat mengajukan bukti-bukti.

Pengadilan memberikan pertimbangan hukum, dalam provisi, menurut


majelis hakim ternyata gugatan provisionil termasuk bagian dalam pokok perkara.
Selain itu, penggugat tidak melampirkan bukti permulaan sehingga tidak serius
dalam tuntutannya. Oleh karena itu, harus ditolak. Dalam eksepsi, tergugat I dan
II mengemukakan bahwa gugatan penggugat kabur karena penggugat mengf agat
sebagai pribadi sedangkan tergugat I dan II tidak mempunyai hubungan hukum
dengan penggugat. Penggugat tidak menggugat P.T. ALNI yang telah
merugikan penggugat. Penggugat telah keliru menggugat tergugat I dan II karena
pengurusan kredit telah ditangani oleh KP3N. Tergugat II juga mengemukakan
eksepsi bahwa PN Medan tidak berwenang memeriksa dan rnengadili kredit
macet, yang penagihannya telah diserahkan kepada KP3N (tergugat III),
hal ini sesuai dengan yurisprudensi MA No. 1205/K/SIP/1970 tanggaal 17
Juni 1973. Terhadap eksepsi tergugat-tergugat tersebut, penggugat membantah
dengan mengemukakan bahwa penggugat telah menjelaskan yang menjadi pokok
perkara adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat I, II dan
III, sedangkan P.T, ALNI tidak mempunyai hubungan hukum serta tidak ada
melakukan perbuatan hukum yang merugikan penggugat. Terhadap argumentasi
para pihak tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa eksepsi mengenai kaburnya
yang digugat yaitu tergugat II atau kurang lengkapnya yang digugat hak dan
wewenang penggugat, yang tenrunya dengan konsekuensi gugatan
ditolak/tidak diterima karena hal itu baru diketahui setelah pemeriksaan pokok
perkara sehingga eksepsi tergugat I dan II dinilai majelis tidak tepat dan
harus dikesampingkan, Mengenai eksepsi tergugat III, majelis berpendapat
bahwa PN Medan berwenang untuk memeriksa perkara tersebut dengan
pertimbangan bahwa inti dari gugatan penggugat adalah perbuatan melawan
hukum, dengan demikian eksepsi terguggat III tidak tepat dan harus
dikesampingkan. Dalam pokok perkara, yang menjadi permasalahan
utama adalah penggugat telah memperoleh kredit dalam bentuk rekening koran
A/Cukup jelas No. 13.839 sejumlah Rp200 juta sebagai-mana persetujuan
membuka kredit tanggal 6 Agustus 1991. Kredit harus dilunasi oleh penggugat
tanggal 5 Agustus 1992. Sebagai jaminan hutang, penggugat telah menyerahkan
barang bergerak terdiri satu unit kendaraan Suzuki, tiga unit bus Marcedeez Benz
atas nama CV Kurnia. Barang tidak bergerak terdiri dari sebidang tanah luas
3.645 m2 atas nama Zainal Abidin terletak di Gedung Johor, sebidang tanah luas
1.464 m2 atas nama Zainal Abidin terletak di Gedung Johor.

Walaupun pinjaman kredit itu telah jatuh tempo dan diberikan


kelonggaran oleh BPDSU, tidak juga dilunasi oleh penggugat dan kredit itu telah
dinyatakan macet tanggal 31 Agustus 1992. Berdasarkan bukti surat tergugat I
yaitu surat kuasa untuk menarik seluruh bus atas nama P.T. ALNI termasuk tiga
unit bus penggugat. Terhadap penarikan tiga unit bus tersebut, penggugat
berkeberatan dan mohon agar nerbuatan tergugat I dinyatakan sebagai perbuatan
melawan hukum. Dalam jawabannya, tergugat I telah membantah tnenarik tiga
unit bus penggugat bukanlah merupakan perbuatan melawan, tetapi telah sesuai
dengan hukum yang berlaku dalam hal ini yurisprrudensi MA No. 1500 K/
SIP/1978 tanggal 2 Februari 1978 bahwa "hak bank terhadap borg bergerak yang
menjadi jaminan fidusia yaitu debitur/ pemilik borg yang dijaminkan setelah
menandatangani kredit hanya berkedudukan sebagai kuasa dari kreditur". Dalam
yurisprudensi itu diuraikan bahwa kreditur sewaktu-waktu dapat menguasai atau
memindahkan borg yang dijaminkan ke tempat lain jika pinjaman tidak dilunasi
pada waktunya oleh debitur, dan tanpa peringatan terlebih dahulu kreditur berhak
menjual sebagian/seluruhnya borg jaminan tersebut baik se-cara hukum atau di
bawah tangan, Berdasarkan pertimbangan di atas, majelis hakim berpendapat
bahwa perbuatan tergugat I menarik tiga unit bus penggugat yang menjadi
jaminan hutang bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum karena
penggugat telah menunggak/tidak melunasi hutangnya, sehingga petitum yang
menyatakan tergugat I dan II telah melakukan perbuatan melawan hukum
beralasan untuk ditolak. Mengenai petitum yang menyatakan persetujuan
membuka kredit No. 314/CU-KRK/1991 tanggal 6 Agusus 1991 telah berakhir
dan hanya berlaku sampai 5 Agustus 1992, menurut majelis bahwa maksud
peutum itu adalah agar bunga yang dibebankan kepada penggugat berlaku sampai
tanggal 5 Agustus 1992, hal ini harus ditolak dengan pertimbangan bahwa sesuai
dengan jawaban tergugat I dan II yang mendasarkan kepada Keputusan Menteri
Keuangan No. 293/KMK.09/1993 tanggal 27 Februari 1993 Tentang Pengurusan
Piutang Negara menetapkan bahwa sejak hutang diragukan dapat dikenakan
bunga selama 21 bulan ditambah i dengan kelalaian penggugat mengajukan
gugatan ini. Mengenai eksepsi yang ditujukan kepada tergugat II, majelis
berpendapat bahwa setelah meneliti jawaban kedua belah pihak bahwa tergugat II
tidak ada hubungan hukum dengan penggugat maupun dengan tergugat lain, Dengan
demikian, tergugat II tidaklah patut/tepat untuk digugat, sedangkan P.T. ALNI harus
dimasukkan sebagai tergugat. Majelis berpendapat, bahwa P.T. ALNI hanya
sebagai wadah saja sedangkan pelaksanaan/hasil dari tiga bus tersebut langsung
diambil oleh yang memiliki kenderaan/bus. Dengan demikian, P.T. ALNI tidak perlu
untuk dijadikan pihak dalam perkara. Mengenai surat bukti dari penggugat dan
tergugat tidak perlu dipertimbangkan karena hal itu hanya historis/kronologis dari
suatu persetujuan membuka kredit, begitu juga keterangan saksi penggugat yang
bukan merupakan masalah pokok. Mengenai sita jaminan harus ditolak dengan
pertimbangan bahwa PN Medan tidak ada meletakkan sita jaminan dalam perkara ini.
Megenai petitum lainnya harus ditolak dengan pertimbangan sudah berkaitan dengan
masalah pokok perkara yang sudah dipertimbangkan. Berdasarkan pertimbangan di
atas, gugatan penggugat ditolak seluruhnya dan membebankan biaya perkara kepada
penggugat.

Pengadilan memutuskan, dalam provisionil, menolak tuntutan provisionil


penggugat. Dalam eksepsi, menolak eksepsi tergugat-tergugat seluruhnya. Dalam
pokok perkara, menolak gugatan penggugat seluruhnya dan membebankan ongkos
perkara ini kepada penggugat sebesar Rp58 ribu.

Dalam perkara di atas dapat dilihat bahwa benda jaminan fidusia diambil alih
oleh kreditur karena debiturnya wanprestasi. Benda jaminan dijual untuk menutupi
hutang debitur. Tindakan kreditur bukan merupakan perbuatan melawan hukum dan
hal ini juga sesuai dengan Yurisprudensi MA No. 1500/K/SIP/1978.
Berbeda halnya kalau benda jaminan diserahkan debitur pemberi fidusia kepada
kreditur penerima fidusia untuk pelunasan hutang. Di sini inisiatif datang dari debitur
sebagai pertanggungjawaban hukum atas benda jaminan. Debitur dengan sukarela
menyerahkan benda jaminan fidusia kepada kreditur sesuai dengan perjanjian yang
telah ditentukan. Kasus seperti ini dapat dijumpai pada putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dalam perkara Bank Mulia Arta Sentosa v. Herman Wiryadi, No.
273/Pdt.G/2000 PN Jakarta Pusat tanggal 14 November 2000.

Perkara ini terjadi ketika tergugat memperoleh kredit dari penggugat sebesar
Rp550 juta yang dituangkan dalam akta pengakuan hutang No. 32 tanggal 2 Februari
1993, penambahan kredit sebesar Rp250 juta yang dituangkan dalam akta pengakuan
hutang dengan pemberian jaminan No. 122 tanggal 15 Juni 1993, serta memperoleh
kredit sebesar Rp200 juta yang dituangkan dalam akta pengakuan hutang dengan
pemberian jaminan No. 75 tanggal 12 Agustus 1993. Pada tanggal 30 November 1994
memperoleh kredit lagi sebesar Rp50 juta yang dituangkan dalam perjanjian kredit
No. 519/ PK/FL/XI/1994 dan sebesar Rp 50 juta yang tercantum dalam perjanjian
kredit No. 573/PK/FL/I/1995 tanggal 30 Januari 1995. Untuk menjamin pembayaran
hutang, tergugat memberikan jaminan sebidang tanah dan bangunan di atasnya
sertifikat HGB No. 2615 atas nama Herman Wiryadi terletak di jalan Barat
Kecamatan Kebun Jeruk. Selain itu, diadakan jaminan fidusia atas satu unit mobil
Toyota tahun 1991 jenis penumpang BPKB atas nama Herman Wiryadi, satu unit
mobil Toyota Corona tahun 1986 yang dituangkan dalam perjanjian Pemberian
Jaminan Secara Fidusia No. 18/F/V/1993 tanggal 24 Mei 1993 dan Spare part motor
Honda terdiri dari 124 buah Cyl blok GL Pro, 9800 set platina GL, 2050 rantai roda
GL, 285 buah Carburator, 2120 buah pelat 250 X 18, 724 set setang seher GL dan
1024 set plat kopling GL yang dituangkan dalam perjanjian Pemberian Pinjaman
Secara Fidusia No. 113 tanggal 15 Juni 1993.

Tergugat tidak mampu memenuhi kewajiban angsuran pokok dan bunga


yang telah jatuh tempo sejak tanggal 3 Februari 1994. Penggugat telah memanggil
dan memperingati tergugat baik lisan maupun tulisan dengan surat No. 008/I/
KL/1996 tanggal 30 Januari 1996 tentang pemberitahuan Over Draft, No.
003/III/KL/1996, tanggal 11 Maret 1996 perihal peringatan I, No.
055/V/KL/1996, perihal peringatan II, No, 002/I/KL/1997, tanggal 6 Januari 1997
perihal peringatan III.

Tergugat telah menjual sebagian jaminan berupa sebidang tanah dan


bangunan di atasnya, HGB No. 2615 yang hasilnya senilai Rp 1.200.000.000,-
dan telah disetorkan tergugat untuk melunasi hutangnya. Setoran ini belum
mencukupi untuk menutupi hutang tergugat yang jumlahnya Rp2.303.495.311,-,
Jadi, hutang tergugat masih bersisa Rpl.103.495,311,-. Perbuatan wanprestasi
tergugat sangat merugikan penggugat dan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan tersebut dimohonkan kepada pengadilan xintuk meletakkan sita
jaminan terhadap barang jaminan tersebut di atas. Karena gugatan ini didasarkan
atas bukti-bukti otentik, putusan ini mohon dapat dijalankan terlebih dahulu
walaupun ada banding, verzet dan kasasi.

Terhadap gugatan ini, tergugat mengajukan jawaban yang pada pokoknya


berisikan bahwa penggugat benar menjalankan usaha di bidang perbankan dan
tergugat rnendapat fasilitas kredit. Karena situasi krisis moneter, untuk memenuhi
kewajiban tergugat membayar hutang kepada penggugat dimohonkan keringanan
bunga agar tidak memberatkan tergugat karena hal tersebut tidak dapat diduga
sebelumnya. Jaminan yang diserahkan tergugat adalah untuk sewaktu-waktu
tergugat tidak mampu membayar .hutang tetapi penggugat telah melanggar
prosedur hukum. Tergugat diminta untuk menyerahkan jaminan sebidang tanah
dan bangunan di atasnya sertifikat HGB No. 2615 untuk dijual. Penjualan
dilakukan secara tidak terbuka sehingga perhitungan tidak jelas dan tunggakan
kredit membengkak. Oleh karena itu, untuk jaminan berupa mobil dan spare part
motor Honda sebagai jaminan tambahan tidak diserahkan kepada penggugat
karena dikhawatirkan pengguggat akan melakukan perbuatan yang sama. Khusus
mengenai stock barang dagangan yang diusahakan tergugat untuk mencari
keuntungan guna pembayaran hutang bukanlah jaminan tetap dan tidak diletakkan
sita. Dalam krisis moneter seharusnya penggugat melakukan pembinaan kepada
tergugat sebagai nasabah dan mencari alternatif pemecahan yang tidak menekan
tergugat, tetapi hal itu tidak dilakukan penggugat. Bahkan, penggugat mengulur-
ulur waktu sehingga terjadi tumpukan bunga dan denda yang memberatkan
tergugat. Mengenai penjualan barang jaminan bahwa penggugat dengan segala
upaya menekan tergugat untuk menyerahkan jaminan dan dijual sendiri oleh
penggugat sehingga dalam kondisi yang tidak berdaya, tergugat menandatangani
segala surat-surat dan akta yang sudah dipersiapkan dan tidak diberi kesempatan
untuk berpikir. Hasil penjualan barang jaminan tidak pernah diterima oleh
tergugat. Penggugat telah mengatur pembeli dari barang jaminan dan berapa
jumlahnya tidak diketahui tergugat dan hanya dijanjikan bahwa setelah jaminan
dijual, hutang tergugat selesai atau lunas. Tergugat juga tidak mengetahui berapa
besar hasil penjualan yang diterima dan disetorkan karena perhi-tungannya tidak
jelas dan tergugat sama sekali tidak mengerti. Tergugat tidak ingkar janji, tetapi
penggugatlah yang wanprestasi. Penggugat tidak dapat meletakkan sita jaminan
terhadap jaminan milik tergugat dengan perhitungan kewajiban yang tidak jelas.
Hal itu jelas melanggar Undang-undang Perbankan.

Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan penggugat dan tergugat,


pengadilan memberikan pertimbangan hukum bahwa tanggal 2 Februari 1993
tergugat memperoleh kredit sebesar Rp550 juta sesuai dengan akta pengakuan
hutang No. 32, sebesar Rp200 juta sesuai dengan akta pengakuan hutang No, 33,
tanggal 15 Juni 1993 sebesar Rp250 juta tertuang dalam akta pengakuan hutang
dan pemberian No, 122, tanggal 12 Agustus 1993 sebesar Rp200 juta tercantum
dalam akta pengakuan hutang dan pemberian jaminan No. 75, tanggal 30
November 1994 sebesar Rp50 juta tecantum dalam perjanjian kredit No.
573/PK/I/1995.

Yang dipersoalkan, tergugat tidak dapat memenuhi kewajibannya


yang telah jatuh tempo sejak tanggal 3 Februari 1994. Menurut perhitungan
terakhir, tergugat mempunyai hutang pokok ditambah bunga dan dikurangi hasil
penjualan barang jaminan berjumlah Rpl.103.495.311,-. Jadi, perselisihan hukum
adalah wanprestasi tergugat. Terhadap pinjaman kredit, tergugat telah
menyerahkan jaminan sebidang tanah dan bangunan di atasnya sertifikat HGB
No. 2615, satu mobil Toyota jenis penumpang tahun 1991, satu mobil Toyota
Corona tahun 1986 jenis penumpang masing-masing atas nama Herman
Wiryadi, Stock spare part motor Honda terdiri dari 124 Cyl blok GL Pro, 9800 set
platina GL, 2050 buah rantai roda GL, 285 buah Carburator, 2120 buah pelat 250
x 18 dan 724 set setang seher GL serta 1024 set plat kopling GL. Karena tergugat
tidak mampu membayar kredit dan sudah jatuh tempo, penggugat
memperingatkan tergugat dengan beberapa kali teguran melalui surat. Atas
pernyataan penggugat, tergugat telah menjual sebagian jaminan berupa sebidang
tanah dan bangunan di atasnya sertifikat HGB No. 2615 senilai Rpl milyar 200
juta yang dibayarkan untuk pelunasan hutang tergugat kepada penggugat.
Bahwa setoran hasil penjualan rumah tersebut belumlah cukup melunasi sisa
kredit tergugat tetapi hanya sebagian yang terbayarkan, Menurut
perhitungan penggugat, pinjaman rekening koran, pinjaman pokok dan bunga
setelah dikurangi dari hasil penjualan rumah, sisa kewajiban kredit tergugat
adalah Rpl.103.495.311,-. Jaminan lainnya yang diikat secara fidusia atas dua unit
mobil dan stock barang dagangan berupa spare part motor Honda belum
diserahkan tergugat kepada penggugat. Tergugat dalam penyangkalannya
mengatakan bahwa tidak terbayarnya angsuran kredit disebabkan oleh kondisi
ekonomi yang sangat buruk atau krisis moneter, alasan ini tidak tepat karena
bukan hanya tergugat yang terkena krisis tetapi seluruh masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, krisis moneter tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak
melunasi sisa pembayaan kredit. Tergugat mempersoalkan penjualan rumah
karena sesuai dengan surat Herman Budiharjo direktur Bank Multiarta Sentosa
dikatakan apabila akan menjual rumah tersebut dipasarkan lewat koran.
Keberatan tergugat ini tidak cukup beralasan karena dengan ditandatangani
pengikatan jual beli oleh tergugat di hadapan notaris berarti jual beli sah. Alasan
tergugat menandatangani surat pengikatan jual beli itu karena pengugat
menjanjikan bahwa dengan dijualaya jaminan, hutang tergugat selesai atau
lunas. Hal ini pernah disepakati tetapi apabila seluruh barang jaminan
diserahkan kepada penggugat baik tanah maupun mobil dan stock barang
dagangan. Penggugat sebagai direktur bank telah membeli sendiri barang jaminan
dengan mengadakan pengikatan jual beli dari tergugat. Jual beli tersebut sah
karena kalau tergugat tidak setuju, tidak akan menandatangani akta jual beli itu.
Mengenai jumlah hutang telah dipertimbangkan dan di-nyatakan bahwa
sisa kewajiban kredit tergugat adalah Rpl.103.495.331,- dan tergugat
telah terbukti wanprestasi. Tuntutan sita jaminan agar dinyatakan sah dan
berharga harus ditolak karena selama pemeriksaaan per-k -ra, pengadilan tidak
pernah mengeluarkan penetapan untuk penyitoan terhadap barang jaminan.
Tuntutan dua unit mobil dan Spare part motor Honda karena telah dijadikan
jaminan, cukup beralasan untuk dikabulkan, sedangkan tuntutan agar putusan
ini dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada banding dan kasasi karena tidak
memenuhi Pasal 180 HIR harus ditolak.

Pengadilan memutuskan bahwa gugatan penggugat dikabulkan sebagian.


Selain itu, tergugat dinyatakan melaku-kan wanprestasi, menghukum tergugat
untuk irtenyerahkan dalam keadaan baik untuk dilelang atas satu mobil toyota tahun
1991 jenis penumpang, satu mobil toyota Corona tahun 1986 jenis penumpang,
masing-masing atas nama Herman Wiryadi dan Stock Spare part motor Honda yang
tediri dari 124 buah Cyl blok GL Pro, 9800 set platina GL, 2050 buah rantai roda GL,
285 buah Carburator, 2120 buah pelat 250 x 18 dan 724 set setang seher GL serta
1024 set plat kopling GL, menghukum tergugat memmbayar ongkos perkara sebesar
Rp89.000,- dan menolak gugatan selebihnya.

Kasus yang sama dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Medan dalam
perkara Prima Ekspres Bank Cabang Medan v. Lim Bun long, No.
176/Pdt.GG/1998/PN-Mdn, tanggal 17 September 1998.

Perkara ini terjadi diawali dengan Lim Bun long (tergugat) meminjam kredit
kepada Prima Ekspress Bank (penggugat) sebesar Rp20 juta sesuai dengan akta
pengakuan hutang dengan jaminan fidusia tanggal 5 Agustus 1997, dengan bunga
sebesar 11,87% per tahun dan harus dibayar lunas tanggal 5 Agustus 2000. Sebagai
jaminan kredit, tergugat menyerahkan satu unit mobil sedan model truk Mitsubishi
tahun 1995 kepada penggugat secara fidusia. Meskipun jangka waktu kredit telah
berakhir, tergugat tidak memenuhi kewajiban untuk membayar angsuran pokok
beserta bunganya. Penggugat memberikan peringatan, tetapi tergugat tidak
mengindahkannya. Dengan demikian, tergugat telah melaku-kan perbuatan
ivanprestasi. Menurut Pasal 2 akta perjanjian fidusia tersebut di atas, apabila tergugat
melalaikan kewa-jibannya, penggugat berhak memutuskan perjanjian kredit yang
masih berjalan dan menagih hutang yang masih tersisa dengan seketika dan sekaligus.
Hutang tergugat sampai tanggal 22 April 1998 berjumlah Rp25.120.896,- belum
termasuk bunga berjalan. Selain itu, berdasarkan Pasal 6 akta jaminan fidusia,
tergugat harus membayar ongkos tagih sebesar 20% dan segala biaya yang timbul
sebagai akibat gugatan ini.

Karena gugatan ini didasarkan pada bukti otentik, cukup beralasan untuk
mengabulkan gugatan ini dengan serta merta. Untuk menjamin tuntutan penggugat,
perlu diletakkan sita jaminan terhadap harta milik tergugat baik barang bergerak
maupun tidak bergerak. Dalam persidangan tergugat tidak hadir. Untuk menguatkan
dalil gugatannya, penggugat mengajukan bukti-bukti. Selanjutnya, pengadilan
memberikan pertimbangan hukum bahwa ternyata tergugat telah dipanggil dengan
patut dan ketidakhadirannya tidak ternyata disebabkan oleh halangan yang sah hingga
tergugat dinyatakan tidak hadir. Dalam petitum penggugat mohon dinyatakan bahwa
tergugat telah wanprestasi terhadap perjanjian kredit dengan fidusia tanggal 5
Agustus 1997. Menurut Pasal 1 perjanjian tersebut, tergugat telah menerima pinjaman
kredit dari penggugat sebesar Rp200 juta dan harus dilunasi tergugat tanggal 5
Agustus 2000. Ternyata tergugat tidak pernah mengangsur hutangnya walaupun
sudah diperingati penggugat dan sesuai dengan Pasal 7, tergugat wajib menyerahkan
barang jaminan tersebut kepada pihak penggugat. Berdasarkan uraian di atas, tuntutan
terhadap tergugat telah melakukan perbuatan ivanprestasi cukup beralasan
dikabulkan.

Mengenai tuntutan agar tergugat membayar hutangnya kepada penggugat


sebesar Rp25.120.896,- dengan bunga 11,87% per tahun sejak 22 April 1998
sampai hutang dibayar lunas dapat dikabulkan sebagian yakni agar tergugat mem-
bayar hutangnya kepada penggugat sebr -ar Rp25.120.896,-sedangkan bunganya
ditolak dengan pertimbangan bahwa tidaklah adil tergugat dibebankan bunga
sedangkan perkara sudah diajukan ke pengadilan. Mengenai tuntutan selebihnya
dari penggugat, menurut majelis tidak beralasan untuk dikabulkan sehingga harus
ditolak, Berdasarkan pertimbangan di atas, gugatan penggugal dikabulkan
sebagian dan menolak yang lain selebihnya serta tergugat dibebankan membayar
ongkos perkara.

Pengadilan memutuskan bahwa gugatan penggugat di-kabulkan untuk


sebagian dengan verstek, menyatakan tergugat telah melakukan wanprestasi,
menghukum tergugat mem-bayar hutangnya kepada penggugat sebesar
Rp25,120.896,-serta menghukum tergugat membayar ongkos perkara sebesar
Rp68 ribu.
A. ENYITAAN ATAS BENDA JAMINAN FIDUSIA YANG SUDAH
TIDAK DITEMUKAN LAGI

Dalam perjanjian jaminan fidusia, pada pokoknya ditentukan


bahwa debitur pemberi fidusia memiliki kewajiban dan tanggung jawab atas
keadaan, kehilangan, kemusnahan, pengurangan kualitas atau nilai dan kerusakan
barang-barang yang dijadikan objek jaminan fidusia, Oleh karena itu, debitur
pemberi fidusia harus melakukan pemeliharaan agar benda jaminan fidusia dalam
keadaan relatif baik. Debitur pemberi fidusia wajib mengganti benda jaminan
fidusia apabila benda tersebut rusak atau hilang atau tidak dapat dipakai lagi.
Kewajiban debitur pemberi fidusia harus diletakkan dalam logika berpikir bahwa
kreditur penerima fidusia memiliki hak atas benda jaminan fidusia dalam
kaitannnya dengan penjaminan hutang debitur. Realisasi ini lebih semakin jelas
kerika debitur melakukan wanprestasi yakni tidak memenuhi kewajiban untuk
membayar hutang. Pertanggungjawaban atas hutang debitur adalah dengan
meletakkan sita atas objek jaminan fidusia yang kemudian dijual menurut
ketentuan hukum jaminan.

Apabila objek jaminan fidusia dalam keadaan rusak, dan debitur fidusia
tidak dapat melunasi hutangnya, penyitaan benda jaminan atas permintaan
kreditur fidusia tidak harus menunggu bahwa debitur fidusia memperbaiki benda
tersebut seperti dalam keadaan semula sebagaimana pada saat debitur fidusia
menyerahkan benda jaminan itu. Kelalaian atas kewajiban merawat benda
jaminan fidusia adalah tanggung jawab debitur fidusia.

Kasus tentang benda jaminan fidusia dalam keadaan rusak dapat dilihat
dari putusan Pengadilan Negeri Siantar dalam perkara Sejahtera Bank Umum v.
Timbul Saragih, No. 26/ pdt.G/1991/PN-PMs, tanggal 11 Oktober 1991.

Perkara ini bermula dari Sejahtera Bank Umum (penggugat) memberikan


pinjaman kredit investasi kepada Timbul Saragih (tergugat) yang dituangkan
dalam perjanjian kredit No. 019/KI/90, tanggal 22 Maret 1990 dan akta
pengakuan hutang dengan jaminan fidusia No. 113, tanggal 30 Maret 1990.

Jumlah pinjaman Rp41 juta dengan bunga 1,25% per bulan, jangka waktu
48 bulan. Jaminan yang diserahkan tergugat satu mobil mercedes benz tahun
1980, satu mobil bis mercedes benz tahun 1982, satu mini bis daihatsu 1985.
Barang jaminan tersebut berdasarkan akta notaris No. 35, tanggal 28 Juli 1990
diganti dengan barang jaminan yang baru berupa satu mobil truk toyota tahun
1981 dan satu mobil truk daihatsu tahun 1980. Selain itu, diserahkan barang
jaminan berupa tanah sertifikat hak milik, luas 1190 m2 atas nama Ropinus
Sitinjak. Terhadap jaminan mobil tersebut dibuat akta pemindahan hak milik
mutlak sebagai jaminan fidusia atas nama tergugat di depan notaris. Tergugat
hanya membayar angsuran satu kali sebesar Rp737.000,- dan dua kali pembayaran
bunga masing-masing sebesar Rp437.500,- dan Rp521.730,-. Selanjutnya,
tergugat tidak pernah memenuhi kewajibannya lagi, sehingga dapat dikatakan
wanprestasi.

Dalam eksepsi gugatan penggugat yang diajukan oleh Muliadi Rencong


Oei adalah bertindak inperson karena tidak tertera dan tidak tercantum dengan
surat kuasa yang jelas dan tegas dari dewan direksi Sejahtera Bank Umum,
Berdasarkan alasan tersebut tergugat tidak pernah mengadakan hubungan hukum
dengan Muliadi Rencong Oei. Sejahtera Bank Umum tidak pernah membuat
tegoran kepada tergugat atas kelalaiannya.

Tergugat mengajukan jawaban yang intinya adalah gugatan penggugat


yang belum jatuh tempo bertentangan dengan Pasal 1 huruf c UU No. 14 Tahun
1967 dan Pasal 1754 KUHPerdata. Dengan demikian, penggugat tidak
memberikan secara bebas untuk menikmati penggunaan peminjaman modal kerja.
Tergugat tidak pernah melalaikan kewajiban tetapi pinjaman modal kerja tidak
diberikan tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian. Tidak benar akibat
kemacetan pembayaran mengakibatkan penggugat mengalarni kerugian, karena
jaminan fidusia yang diberikan nilainya lebih besar dari kredit yang diberikan.
Fungsi jaminan adalah sebagai pengaman atas kredit kalau di kemudian hari
tergugat tidak melunasi hutang.

Dalam rekonpensi, dikatakan penggugat rekonpensi bahwa kemacetan


cicilan tidak merupakan syarat pembatalan perjanjian kredit dan tindakan tergugat
rekonpensi tersebut merupakan perbuatah sepihak. Bahwa sita revindikator tidak
dibenarkan sebab harta tergugat rekonpensi tidak ada di bawah penguasaan
penggugat rekonpensi. Dalam perjanjian fidusia, apabila terjadi penyitaan barang,
barang tersebut bukan di bawah kekuasaan tergugat rekonpensi melainkan tetap
di bawah penguasaan pemilik barang dalam hal' ini tergugat rekonpensi. Mobil
sebagai jaminan dalam keadaan rusak sehingga sementara waktu cicilan macet,
tetapi penggugat rekonpensi sedang memperbaiki mobil tersebut. Kalau jaminan
barang tersebut disita, penggugat rekonpensi akan mengalami kerugian atas
penghasilan 5 mobil sebesar Rp4.500.000,- setiap bulan. Dalam perjanjian kredit
investasi ditentukan bahwa pihak yang meminjam harus membayar hutang
berdasarkan waktu yang telah ditentukan dan pihak pemberi kredit tidak boleh
meminta kembali barang atau uang sebelum waktu perjanjian berakhir. Tergugat
rekonpensi telah rnelakukan perbuatan yang tidak patut dan bertentangan dengan
Pasal 1338 KUH Perdata.

Pertimbangan hukum yang diberikan oleh hakim adalah, dalam eksepsi,


yang mengajukan gugatan adalah Muliadi Rencong dan tidak secara tegas
diberikan kuasa dari dewan direksi Sejahtera Bank Umum, oleh karena itu
tergugat tidak pernah mempunyai hubungan hukum secara inperson. Penggugat
berdasarkan surat bukti telah diberi kuasa oleh dewan direksi dari kantor pusat
Sejahtera Bank Umum untuk bertindak ke dalam dan ke luar atas nama serta
kepentingan Sejahtera Bank Umum Pematang Siantar yang menandatangani
perjanjian kredit dengan tergugat adalah Sejahtera Bank Umum melalui direktur
pimpinan cabang Muliadi Rencong. Dengan demikian, Muliadi Rencong sebagai
penggugat bukan bertindak sebagai inperson melainkan mewakili Sejahtera Bank
Umum, yang tidak pernah membuat teguran kepada tergugat atas kelalaiannya,
sehingga belum ada perkara. Perjanjian kredit diangsur selama 48 bulan atau 4
tahun artinya angsuran pinjaman tersebut harus dibayar tergugat kepada
penggugat setiap bulan untuk jangka waktu 4 tahun bukan angsuran ditetapkan
pertahun atau pembayaran setelah jatuh tempo. Tidak memenuhi kewajiban
tersebut telah cukup menjadi bukti sebagai kelalaian sehingga peringa tan/teguran
tidak perlu lagi dari Sejahtera Bank Umum. Berdasarkan alasan tersebut,
pengadilan berpendapat bahwa gugatan penggugat berdasar dan eksepsi tergugat
ditolak. Dalam pokok perkara, jawaban meliputi konpensi dan rekonpensi. Dalam
konpensi, bentuk perjanjian pinjaman uang antara penggugat dan tergugat adalah
perjanjian kredit investasi dengan jangka waktu 4 tahun, jadi gugatan yang
diajukan belum jatuh tempo. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 huruf c
Undang-undang Pokok Perbankan dan Pasal 1754 jo 1755 jo 1759 jo 1763
KUHPerdata. Penggugat juga tidak memberikan kebebasaan untuk menikmati
pinjaman uang sebagai modal kerja. Tergugat tidak pernah lalai melaksanakan
kewajibannya tetapi modal kerja yang diberikan mengalami kemacetan sehingga
tidak berjalan sesuai perkiraan semula, sehingga tidak benar adanya wanprestasi.
Penggugat tidak benar mengalami kerugian akibat kemacetan pembayaran sebab
dalam perjanjian sudah dimuat angsuran cicilan pokok dan bunga sampai
berakhirnya janji tersebut.

Dalam pembuktian, bahwa hubungan hukum pinjam-meminjam diperkuat


dengan akta notaris No. 113, tgl 30 Maret v' 1990. Isi pengakuan hutang dengan
penyerahan jaminan, Pasal 1 menyatakan "tergugat mengaku berhutang sebesar
Rp45 juta dan harus dibayar lunas oleh tergugat secara angsuran tiap-tiap bulan
dalam jangka waktu selama 4 tahun. Untuk menjamin kepastian pembayaran
hutang, tergugat telah memberikan harta berupa tanah sertifikat hak milik No. 86
tahun 1990, No. 87 tahun 1990 dan No. 88 tahun 1990 serta jaminan fidusia atas
benda bergerak, berupa 3 buah mobil bis yang dituangkan dalam akta notaris No.
113.

Pasal 4 akta notaris tersebut menyatakan bahwa "jika tergugat tidak


membayar angsuran pokok dan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
adalah tidak mencicil hutang sebagaimana yang telah ditentukan, lewatnya waktu
atau terjadi pelanggaran atas salah satu kewajiban tergugat, telah cukup menjadi
bukti kelalaian dan tidak perlu ada peringatan.

Dalam hal ini perlu dipertimbangkan, apakah benar sudah pemah ada
pembayaran hutang secara angsuran dari tergugat kepada penggugat. Penggugat
mengakui bahwa tergugat sudah pernah menyicil hutangnya hanya satu kali
angsuran pokok tgl. 30 April 1990 sebesar Rp737,- ribu dan dua kali pembayaran
bunga tgl. 30 April 1990 sebesar Rp937.500,- dan tgl. 7 Juli 1990 sebesar
Rp521.730,- sehingga tergugat masih berhutang sebesar Rp44.263.000,- hutang
pokok dan bunga sebesar Rp5.592.676,-.
Atas pertimbangan di atas, tergugat tidak menyangkal sehingga tergugat
benar masih berhutang kepada penggugat. Bahwa pinjaman tergugat dengan
pembayaran cicilan 48 bulan dan tidak ditentukan akan dibayar sekaligus pada
tanggal 22 Maret 1994 tahun terakhir bertentangan dengan Undang-undang Pokok
Perbankan dan Pasal 2 KUH Perdata tidak tepat sebab sesuatu persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Bahwa tergugat tidak menyangkal pembayaran angsuran yang hanya baru
membayar satu kali angsuran ditambah dengan dua kali pembayaran bunga,
berarti benar dan tidak bertentangan dengan undang-undang yang dikemukakan
tergugat. Kemacetan pembayaran adalah di luar kemampuan tergugat disebabkan
mobil yang menjadi jaminan telah rusak dan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Dengan tidak dipenuhinya kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan terutama
pembayaran setiap bulan sampai perkara diajukan sudah dapat dinyatakan
wanprestasi. Penggugat selaku badan usaha yang menjalankam modalnya kepada
orang lain sudah positif mengharapkan keuntungan, dimana angsuran yang
seharusnya sudah diterima penggugat dapat disalurkan lagi kepada pihak lain.
Oleh karena itu, dengan lalainya tergugat akan menyebabkan kerugian bagi
penggugat. Penyitaan revindicatoir beslag dan conservatoir beslag yang telah
dijalankan oleh juru sita sesuai dengan berita acara sita jaminan No. 26/
BA.Pdt/G/1991/PN - Pms, tgl 5 Oktober 1991 dan No. 10/ C.B/1991/PN - Pms,
tgl 4 Oktober 1991 dinyatakan sah dan berharga. Keputusan dalam perkara ini
hclum dilaksanakan secara serta merta sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 03, tgl 1 April 1978.

Berdasarkan pertimbangan di atas, pengadilan memutus-kan, dalam


eksepsi, menolak eksepsi tergugat. Dalam pokok perkara, mengabulkan gugatan
penggugat sebagian, menyatakan sah dan berharga sita jaminan dan sita milik,
menyatakan menurut hukum tergugat telah ingkar janji kepada penggugat,
menghukum tergugat untuk membayar hutang pokok kepada penggugat sebesar
Rp44.263.000,- ditambah dengan bunga sebesar Rp5.592.676,- menghukum
tergugat untuk membayar bunga atas hutangnya sebesar 1,25% dai hutang pokok
sebagai bunga berjalan sejak gugatan didaftarkan di pengadilan hingga putusan
mempunyai kekuatan hukum tetap, menghukum tergugat untuk membayar biaya
sebesar Rp592 ribu dan menolak gugatan penggugat selebihnya. Dalam
rekonpensi, dalam pokok perkara, menolak gugatan penggugat rekonpensi untuk
seluruhnya, menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar nihil.

Penyitaan adalah salah satu upaya hukum yang diberikan oleh undang-
undang kepada kreditur untuk menjamin tuntutan hak apabila gugatan
dikabulkan.39) Jadi, maksud kreditur penerima fidusia untuk meletakkan sita
terhadap benda jaminan fidusia adalah untuk menjamin hak dari kreditur
penerima fidusia dan untuk menjaga adanya usaha debitur pemberi fidusia
40)
menyingkirkan atau menjauhkan benda dari kreditur penerima fidusia. Yang
dimaksud dengan menyingkirkan atau menjauhkan benda yang disita adalah dengan
39
Pasal 227 HIR pada prinsipnya mengatakan apabila ada persangkaan yang beralasan bahwa
seseorang berhutang mencari akal akan menggeJapkan atau menjauhkan barang dari kreditur, akan
dapat diletakkan sita untuk menjaga hak kreditur,
melakukan penjualan atau menghilangkan benda jaminan. 41) Dengan penyitaan
benda jaminan fidusia dimaksudkan bahwa kreditur penerima fidusia memper-
siapkan agar kepentingannya dapat dilaksanakan lewat putusan hakim. Ini
berarti benda jaminan fidusia yang disita tidak boleh lagi diaJihkan kepada siapapun.
Debitur pemberi fidusia yang menguasai benda jaminan fidusia kehilangan
kewenangannya dan apabila benda jaminan itu diasingkan atau dialihkan maka
perbuatan tersebut tidak sah dan merupakain perbuatan pidana. 42)

Yang menjadi masalah adalah penyitaan benda jaminain fidusia sudah tidak
ada lagi atau bendanya tidak ditemukain lagi. Dalam hukum acara perdata, penyitaan
yang demikiaui lazim disebut dengan istilah sita niet bevindin. Tidalk
ditemukannya benda jaminan yang disita di lapangan pada saat pelaksanaan sita dapat
terjadi terhadap semua baranjg yang ditunjuk penggugat atau hanya mengenai barang
tertentui saja. Sita niet bevinding telah digariskan dalam Surat Edaraw Mahkamah
Agung No. 2 Tahun 1962 tanggal 25 April 19622. Dalam surat tersebut pengertian
niet bevinding harus diberikarn makna yang luas yakni meliputi secara nyata
barangnya tidallc diketemukan, secara nyata barangnya tidak ada, sifat dan jenigs
tidak cocok dengan yang dikemukakan penggugat, dan batas-batas serta luas yang
dikemukakan penggugat tidak sesuai-i dengan kenyataan di lapangan. 43) Tujuan dari
surat edaram tersebut adalah untuk menghindari penyitaan benda jaminam yang tidak
pasti. Hasil temuan penelitian mengenai sita nietd bevinding adalah benda jaminan
fidusia tidak ditemukan lagiA, kreditur penerima jaminan fidusia tidak dapat
menunjukkann benda jaminan fidusia, benda jaminan fidusia tidak diketahuii
keberadaannya, benda jaminan fidusia sudah tidak ada lagi dam kreditur fidusia
tidak dapat menunjukkan benda jaminam fidusia.

Kasus perjanjian jaminan fidusia yang objeknya telah disita. dan tuntutan
kreditur dikabulkan hakim tetapi ternyata barangnya tidak ditemukan lagi dapat
dilihat dari putusan Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Bank Internasional
Indonesia v. Kwan Pok Keng, Liaw Tjai Hoa dan Ng Tjin San, No. 462/Pdt.G/PN-
Mdn, tanggal 23 Juni 1992.

Kasus tersebut terungkap ketika Kwan Pok Keng (tergugat I) mendapatkan


fasilitas kredit dari Bank Internasional Indonesia (penggugat).

Pertama, tergugat I memperoleh kredit sebesar Rp260.369.463,- yang


dituangkan dalam akta pembaharuan pengakuan hutang dan jaminan No. 78
tanggal 10 Maret 1990 jo Perjanjian Membuka Kredit No. 975/PMK - PPBJ -
TMB/BII/ 111/90 dan kedua, tergugat I kembali memperoleh kredit sebesar
Rp150 juta yang dituangkan dalam akta pengakuan hutang dengan jaminan No. 40
tanggal 4 Agustus 1990 jo Perjanjian Membuka Kredit No. 1393/PMK -
40
Bandingkan Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Segi Hukum dan
Penegakan Hukum, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1987), h. 53.
41
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Binacipta, 1982), h. 46.
42
Lihat Pasal 231 KUHP jo Pasal 199 HIR,
43
M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Canservatoir Beslag,
(Bandung: Pustaka, 1990), h. 98.
PBJ/BII/Mdn/III/90. Untuk fasilitas kredit I dikenakan bunga 10,5% per tahun dan
perjanjian kredit berakhir 20 Maret 1992 sedangkan fasilitas kredit II dikenakan
bunga 12% per tahun dan waktu perjanjian kredit berakhir 2 Agustus 1992.
Meskipun tenggang waktu pelunasan kredit tersebut belum berakhir, penggugat
berhak untuk mengakhiri perjanjian apabila tergugat I tidak memenuhi isi
perjanjian sesuai dengan Pasal 7 perjanjian membuka kredit, Pasal 5 akta
pengakuan hutang dengan jaminan No. 78 dan akta pengakuan hutang dengan
jaminan No. 40.

Penggugat telah menegur tergugat I untuk membayar hutang pokok dan


bunga sesuai dengan surat No 70.406/10/ 91/DIRKR tanggal 31 Oktober 1991.
Jumlah hutang tergugat I sesuai dengan rekening koran sampai tanggal 17
Oktober 1991 berjumlah sebesar Rpl99.569.931,92.

Sebagai jaminan, tergugat I memberikan kepada penggugat satu unit


catterpillar traktor dan satu unit catterpillar exavator SN GK 600244 milik Liaw
Tjai Hoa dan Ng Tjin San (tergugat II) secara fidusia.

Untuk menjamin gugatan penggugat diletakkan sita atas sebidang tanah


Hak Guna Bangunan No. 472 dengan luas 115 m2 terletak di Jalan Semarang No.
57 Medan dan sita milik terhadap barang jaminan fidusia. Dalam persidangan
tergugat I dan II tidak hadir. Penggugat untuk mendukung gugatannya
memberikan bukti-bukti surat. Berdasarkan hal tersebut, hakim memberikan
pertimbangan hukum, bahwa tergugat-tergugat tidak pernah hadir walupun telah
dipanggil dengan sepatutnya. Hubungan hukum penggugat dengan tergugat
adalah hubungan pinjam-meminjam uang sebagai jaminan adalah barang-barang
bergerak milik tergugat II. Karena tergugat I tidak memenuhi kewajibannya,
penggugat menggugat tergugat-tergugat. Dari bukti-bukti yang diajukan
penggugat, telah terbukti bahwa tergugat I berhutang kepada penggugat sebesar
Rpl99.569.931.92,- terhitung sejak 17 Oktober 1991. Karena barang-barang
bergerak sebagai jaminan hutang tidak ditemukan lagi, atas harta milik tergugat I
berupa sebidang tanah Hak Guna Bangunan diletakkan sita jaminan. Terhadap sita
atas barang milik tergugat II karena barang jaminan fidusia tidak ditemukan,
tuntutan tidak dapat dikabulkan.

Pengadilan memutuskan, mengabulkan gugatan untuk sebagian dengan


verstek, menyatakan tergugat I berhutang sebesar Rpl99.569.931,92 ditambah
dengan bunga 10,5% per tahun sejak tanggal 17 Oktober 1991 sampai hutang
dibayar lunas, menghukum tergugat I membayar ongkos tagih sebesar 10% dari
hutang, menghukum tergugat-tergugat membayar ongkos perkara sebesar Rpl06
ribu dan menolak gugatan untuk selebihnya.
Dari putusan di atas dapat dilihat pada pertimbangan hukum, hakim
mengemukakan bahwa benda bergerak berupa alat-alat berat (traktor, eksavator)
sebagai jaminan hutang tidak ditemukan lagi, sita tidak dapat dikabulkan. Sebagai
gantinya diletakkan sita jaminan atas sebidang tanah HGB.
Hal yang sama diputuskan juga oleh Pengadilan Negeri Medan dalam
perkara Bank Dharmala Nugraha Cabang Medan v. CV Barumun Jaya dan
Ridwan, No. 558/Pdt.G/ 1992/PN-Mdn, tanggal 26 April 1993.

Kasus tersebut terjadi ketika CV Barumun Jaya Ridwan (tergugat I) yang


diwakili oleh Ridwan (tergugat II) meminjam kredit dari Bank Dharmala
(penggugat) sebesar Rp50 juta dengan bunga 2,1% perbulan, Perjanjian kredit
ditentukan dalam jangka waktu pembayaran selambat-lambatnya tanggal 22
Agustus 1991 sesuai dengan akta pengakuan hutang No. 167 jo perjanjian kredit
No. 180/BL/VIII/1990 tanggal 22 Agustus 1990. Walaupun tenggang waktu
perlunasan kredit berakhir, tergugat-tergugat tidak memenuhi kewajibannya
sehingga dapat dikatakan wanprestasi. Sampai tanggal 30 Oktober 1992 hutang
pokok tergugat-tergugat ditambah bunga berjumlah Rp65.458.499,81 dan belum
termasuk bunga berjalan. Sebagai jaminan hutang diserahkan tergugat II berupa
satu mobil Toyota tahun 1987 yang diikat secara fidusia dengan akta No. 168
tanggal 22 Agustus 1990. Hutang tergugat-tergugat harus ditambah lagi dengan
biaya tagihan sesuai dengan Pasal 1 ayat (5) akta No. 167. Tergugat II harus
bertanggung jawab atas hutang tergugat I karena tergugat II adalah pesero
pengurus dari tergugat I. Untuk menjamin tunrutan penggugat perlu diletakkan
sita jaminan terhadap barang-barang tidak bergerak milik tergugat-tergugat dan
sita milik atas barang bergerak yang dijamin secara fidusia. Tergugat-tergugat
mengajukan jawaban, dalam eksepsi dikatakan gugatan penggugat tidak jelas
tentang siapa yang digugat apakah Perseroan Komanditer, direktur CV atau
pribadi tergugat II. Oleh karena itu, gugatan penggugat agar tidak dapat diterima.
Dalam pokok perkara dikatakan bahwa tidak benar tergugat I tidak dapat
melaksanakan kewajibannya karena hutang telah diangsur sebagaimana mestinya.
Tergugat I telah memberikan jaminan yang nilainya sudah mencukupi menurut
penilaian penggugat pada waktu proses pinjaman kredit. Oleh karena itu, tidak
beralasan bahwa penggugat meletakkan sita atas barang-barang lain milik
tergugat-tergugat. Dalam replik penggugat dijelaskan mengenai sita bahwa
menurut ketentuan UU No. 7 Tahun 1992 bahwa penggugat dapat meminta
jaminan tambahan apabila nilai jaminan pokok telah menurun dari harga yang
telah ditaksir sebelumnya karena faktor kondisi dari barang jaminan tersebut.
Selanjutnya, para pihak mengajukan bukti-bukti. Berdasarkan hal-hal tersebut,
pengadilan memberikan pertimbangan hukum bahwa gugatan penggugat tidak
jelas/kabur dengan alasan seharusnya gugatan ditujukan kepada tergugat II
sebagai direktur perseroan komanditer, tetapi dalam gugatannya CV Barunuin
juga diwakili oleh Ridwan secara pribadi. Terhadap hal ini, pengadilan
berpendapat bahwa eksepsi para tergugat bukanlah mengenai kewenangan untuk
memeriksa dan mengadili perkara ini, sehingga dengan sendirinya eksepsi dapat
diputus bersamaan dengan pokok perkara. Terhadap eksepsi, bahwa setelah CV
Barumun berdiri yang menjadi direktur adalah Ridwan. Perjanjian kredit
dilakukan antara tergugat I sendiri dengan penggugat sesuai akta pengakuan
hutang No. 167 jo perjanjian kredit No. 180/BL/VIII/90 tanggal 22 Agustus 1990.
Jadi, yang bertanggung jawab adalah tergugat I sendiri bukan yang mewakili
tergugat II sehingga istilah kabur tidak benar. Oleh karena itu, eksepsi harus
ditolak. Berdasarkan bukti akta pengakuan hutang dan perjanjian kredit, hutang
tergugat I adalah sebesar Rp50 juta ditambah bunga 2,1% per bulan dan provisi
sebesar 0,5% per tahun dari jumlah maksimal disertai pengikatan jaminan secara
fidusia. Mengenai jumlah hutang pokok, bunga dan provisi tidak dibantah oleh
tergugat, dengan demikian dianggap benar. Menurut perjanjian kredit, jatuh tempo
pelunasan hutang tanggal 22 Agustus 1991, tetapi tergugat telah lalai membayar
hutangnya. Hal ini membuktikan bahwa tergugat I dan II dapat dinyatakan
melakukan perbuatan wanprestasi dan harus membayar hutang secara tanggung
menanggung. Dalam hal penagihan hutang, telah menjadi hal umum bahwa
mengeluarkan biaya yang dibebankan kepada tergugat sebesar 10% dari jumlah
tunggakan secara tanggung menanggung. Sita terhadap barang agunan tidak dapat
dikabulkan karena menurut penggugat secara lisan barang jaminan tersebut tidak
dapat diketahui lagi dimana berada. Putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu
walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi karena gugatan penggugat didasarkan
pada alat-alat bukti otentik. Karena tergugat-tergugat tidak dapat mempertahankan
dalil bantahannya, dinyatakan sebagai pihak yang kalah.

Pengadilan memutuskan, dalam eksepsi, menolak eksepsi tergugat-


tergugat. Dalam pokok perkara, mengabulkan gugatan sebagian, menyatakan
tergugat-tergugat telah melakukan wanprestasi dan secara tanggung menanggung
membayar hutang sebesar Rp65.458.499,81 ditambah bunga 2,1% per bulan
terhitung sejak tanggal 1 November 1992 sampai hutang dibayar lunas serta
membayar ongkos perkara sebesar Rp43.700,- dan menyatakan putusan dapat
dijalankan secara serta merta walaupun ada perlawanan, banding dan kasasi serta
menolak gugatan penggugat selebihnya.

Kasus jaminan fidusia yang objeknya ketika disita tidak diketahui


keberadaannya dapat dilihat dari putusan Pengadilan Negeri Medan dalam perkara
Bank Mestika Dharma v. Norin Yoshiwarti dan P.T. Indo Prima Tour & Travel
Service, No. 424/Pdt.G/1998/PN-Mdn, tanggal 16 Desember 1998.

Perkara ini diawali ketika Norin Yoshiwarti (tergugat I) memiliki hutang


kepada penggugat sebesar Rpl61 juta sesuai dengan perjanjian membuka kredit
No. 4133/AKS/BMD/1996 tanggal 24 Desember 1996 dengan bunga 13,5% per
tahun dalam jangka waktu 36 bulan terhitung dari tanggal 24 Januari 1997 sampai
tanggal 24 Desember 1999. Sebagai jaminan hutang, tergugat I telah menyerahkan
barang jaminan secara fidusia satu unit mobil bus Marcedez Benz atas nama
tergugat II. Berdasarkan Pasal 6 perjanjian membuka kredit ditentukan bahwa
menyimpang dari jangka waktu yang telah ditentukan, bank tanpa harus
memperhatikan suatu jangka waktu tertentu, sewaktu-waktu berhak untuk
mengakhiri perjanjian ini apabila nasabah dan atau penjamin tidak membayar
angsuran pokok pinjaman, bunga dan denda pada vvaktu yang telah ditetapkan,
dalam hal mana lewatnya waktu saja sudah merupakan bukti yang cukup dan sah
bahwa nasabah telah melalaikan kewajibannya. Tergugat I ternyata tidak
membayar angsuran secara teratur setiap bulan kepada penggugat. Hutang
"tergugat I yang meliputi hutang pokok, bunga dan denda sampai tanggal 7
September 1998 sebesar Rp250.886.192.-. Penggugat telah berulang kali menagih
hutang tersebut kepada tergugat I dan II tetapi tidak diindahkan, sehingga
perbuatan tergugat I dan II itu membuktikan adanya wanprestasi. Bahwa sudah
sewajarnya tergugat I dan II baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dihukum
untuk membayar hutang tergugat I sebesar Rp250.886.192.-dan ditambah bunga
13,5% per tahun serta bunga berjalan terhitung sejak tergugat I tidak teratur
membayar hutangnya. Selain itu, tergugat I dan II baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama dihukum untuk membayar gaftti kerugian ongkos tagih/honor
pengacara sebesar 10% dari Rp250.886.192,- sama dengan Rp25.088.619,20, juga
sudah sepatutnya tergugat dihukum membayar uang paksa sebesar Rp 500 ribu
per hari apabila tergugat lalai melaksanakan putusan ini. Untuk menjamin tuntutan
penggugat, mohon pengadilan meletakkan sita jaminan atas barang bergerak dan
tidak bergerak milik tergugat I dan II. Untuk itu melalui penetapan majelis hakim
telah mengel arkan penetapan No. 424/Pdt.G/1998/PN-Mdn tanggal 5 Desember
1998 telah meletakkan sita jaminan terhadap satu unit mobil bus Mercedez Benz
tahun 1996 atas nama P.T. Indo Prima Tour & Travel Service dan satu pintu
bangunan rumah dengan tanah pertapakan terletal di komplek Perumahan Pondok
Surya Blok I No. 28 Medan. Namun, ternyata terhadap sita jaminan atas mobil
milik tergugat II tidak diketahui keberadaannya sehingga tidak diletakkan sita di
atasnya. Karena gugatan ini didukung oleh bukti otentik, sudah sepatutnya
putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding atau
kasasi. Dalam persidangan tergugat I dan II tidak hadir dan tidak ternyata bahwa tidak
datangnya tergugat disebabkan sesuatu halangan yang sah. Untuk menguatkan
dalil gugatannya, penggugat mengajukan bukti-bukti.

Pengadilan memberikan pertimbangan hukum bahwa tergugat-tergugat


telah dipanggil dengan patut dan pula tidak ternyata bahwa tidak datangnya itu
disebabkan sesuatu halangan yang sah. Bahwa dari bukti-bukti ternyata tergugat-
tergugat mengadakan perjanjian membuka kredit sebesar Rp250.886.192,-.
Mengenai kewajiban tergugat-tergugat mem-bayar ongkos honor pengacara tidak
beralasan menurut hukum, karena itu harus ditolak. Mengenai tergugat I dan II
untuk membayar uang paksa dan supaya keputusan dapat dijalankan dengan serta
merta karena belum cukup syarat harus ditolak. Karena tergugat I dan II
dikalahkan, biaya perkara dibebankan kepada tergugat-tergugat. Sita jaminan
yang telah dijalankan pada tanggal 10 November 1998 karena telah dilaksanakan
sesuai undang-undang haruslah dinyatakan sah dan berharga.

Pengadilan memutuskan bahwa mengabulkan gugatan penggugat untuk


sebagian dengan verstek, menyatakan sita jaminan yang telah diletakkan adalah
sah dan berharga, menyatakan tergugat I dan II melakukan perbuatan
wanprestasi, menghukum tergugat I dan II baik sendiri-sendiri maupun bersama-
sama untuk membayar seluruh hutang kepada penggugat sebesar Rp250.886.192,-
dan membayar bunga 13,5% per tahun ditambah bunga berjalan setiap bulannya
sesuai dengan perjanjian hingga hutang dibayar lunas. Menghukum tergugat I dan
II membayar biaya perkara sebesar Rpl91.500,-serta menolak gugatan selebihnya.
Dari putusan di atas dapat disimpulkan bahwa kreditur penerima jaminan fidusia
menyatakan secara lisan benda jaminan fidusia (mobil) tidak dapat diketahui lagi
dimana berada, sita tidak dapat dikabulkan. Berbeda halnya apabila objek jaminan
fidusia masih dalam pencarian debitur karena hilang atau dicuri, hakim dapat
mengabulkan sita tetapi belum dapat dilaksanakan dan penetapan sita tersebut
akan dipertahankan.

Hal ini dapat dilihat dalam putusan Pengadilan Negeri Medan dalam
perkara Sejahtera Bank Umum v. Chairul Azhari Siregar No. 105/Pdt.G/1994/PN-
Mdn, tanggal 30 Agustus 1994.
Kejadian kasus tersebut bermula dari Chairul Azhari Siregar (tergugat) meminjam
kredit kepada Sejahtera Bank Umum (penggugat) sebesar Rp8.500.000,- dengan
bunga 15% per tahun. Jangka waktu perjanjian kredit ditentukan 18 bulan
terhitung tanggal 3 Juni 1993 sampai dengan 3 Desember 1994 yang dituangkan
dalam akta pengakuan hutang dan penyerahan jaminan secara fidusia No. 16
tanggal 3 Juni 1993. Jaminan yang diserahkan tergugat adalah satu unit mobil
Mitsubisi Lancer tahun 1983. Tergugat harus membayar angsuran hutang kepada
penggugat sebesar Rp578.500,- setiap bulannya sebanyak 18 kali sesuai dengan
pernyataan tergugat tanggal 3 Juni 1993. Sejak memperoleh kredit tergugat tidak
pernah memenuhi kewajiban untuk mengangsur hutang kepada penggugat,
sehingga penggugat dirugikan. Tergugat telah berulang kali diperingati oleh
penggugat, tetapi tergugat tidak pernah mengindahkannya. Hal ini mcnunjukkan
bahwa perbuatan tergugat merupakan wanprestasi. Hutang tergugat sampai
dengan tanggal 25 Maret 1994 berjumlah Rpl3.363.000,-ditambah denda
keterlambatan Rp 10 ribu per hari sampai lunas.

Penggugat khawatir atas iktikad buruk dari tergugat untuk mengalihkan,


mengoperkan, mengasingkan atau menjual harta kekayaannya, sehingga
penggugat memohon kepada pengadilan untuk meletakkan sita milik sendiri
(revendicatoir beslag) atas satu unit mobil Mitsubishi Lancer tahun 1983.
Penggugat memohon kepada pengadilan untuk mengatakan putusan perkara ini
dapat dijalankan terlebih dahulu dengan serta merta walaupun ada verzet, banding
maupun kasasr karena didasarkan pada bukti-bukti yang otentik dan tidak dapat
disangkal kebenarannya.

Pertimbangan hukum yang diberikan pengadilan adalah, penggugat


mendalilkan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji terhadap
penggugat, karena tergugat tidak membayar hutangnya kepada penggugat yang
jumlahnya sampai 25 Maret 1994 sebesar Rpl3.363.000,-. Tergugat dalam
jawabannya mengakui hutangnya dengan jaminan satu unit mobil Mitsubshi
Lancer dan belum dilunasi sampai sekarang. Tergugat mohon kepada hakim untuk
menunda angsuran sebesar Rp3 juta selama tiga bulan terhitung dari bulan Juli
sampai Oktober 1994. Selain itu juga mohon kredit diringankan dengan mencicil
sebesar RplSO ribu per bulan dan bunga kredit dihapuskan serta berjanji akan
tetap mencari mobil tersebut. Untuk mendukung gugatannya penggugat telah
mengajukan bukti-bukti. Berdasarkan penetapan Majelis Hakim tanggal 20 April
1994 No.l05/Pdt.G/1994/PN Mdn telah mengabulkan sita jaminan satu unit mobil
mitsubishi Lancer tahun 1983, tetapi belum dapat dilaksanakan sehingga
penetapan tersebut akan dipertahankan. Permohonan penggugat agar putusan ini
dapat dijalankan terlebih dahulu dengan serta merta meskipun ada verzet, banding
maupun kasasi telah memenuhi Pasal 191 ayat (1) Rbg. .

Pengadilan memutuskan bahwa mengabulkan gugatan untuk seluruhnya,


menyatakan sah dan berharga akta pengakuan hutang dan penyerahan
jaminan secara fidusia No. 16 tanggal 03 Juni 1993 yang dibuat di hadapan notaris
dan menyatakan bahwa tergugat telah melakukan wanpr^stasi. Menghukum
tergugat untuk membayar seluruh hutangnya kepada penggugat dengan tunai
seketika dan sekaligus pula sampai tanggal 25 Maret 1994 sebesar Rpl3.363.000,-
ditambah denda keterlambatan Rpl 0.000,- per hari sampai dibayar lunas
terhitung sejak putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Selanjutnya,
menyatakan penetapan Majelis Hakim tanggal 20 April 1994 No.
105/pdt.G/1994/PN Mdn tetap berlaku atau dipertahankan. Menyatakan putusan
ini dapat dijalankan terlebih dahulu dengan serta merta meskipun ada verzet,
banding maupun kasasi. Menghukum tergugat untuk membayar ongkos perkara
sebesar Rp47.500,-.

Namun, dapat juga hakim tidak mengabulkan sita jaminan fidusia apabila
kreditur penerima fidusia tidak dapat menunjukkan benda jaminan yang akan
disita (mobil). Sikap hakim tersebut dapat dilihat dalam putusan Putusan
Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Prima Ekspress Bank v. Guntur P.
Napitupulu, No. 308/Pdt.G/1994/PN-Mdn, tanggal 28 Maret 1995.

Kasus tersebut diawali dengan Guntur P. Napitupulu (tergugat) yang


memperoleh fasilitas kredit bank dari Prima Ekspress Bank (penggugat).
^Perjanjian kredit itu dinyatakan dalam grosse akta pengakuan hutang dengan
peny.erahan jaminan secara fidusia No. 77 tanggal 27 Februari 1993 sebesar Rp60
juta yang dibuat di hadapan notaris jo. surat pengakuan hutang dengan penyerahan
hak milik secara fidusia No. 4013 / KM/Primex/93 sebesar Rp60 juta tanggal 27
Februari 1993 dikenakan bunga sebesar 14% per tahun yang berakhir tanggal 27
Februari 1995. Fasilitas kredit tersebut digunakan oleh tergugat untuk membeli
kendaraan bermotor. Meskipun tenggang waktu pelunasan kredit tersebut belum
berlaku, tergugat tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran
hutang pokok beserta bunganya berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam
Pasal 4 grosse akta pengakuan hutang dengan penyerahan jaminan secara fidusia
No. 77 menyebutkan bahwa penggugat berhak menagih seluruh sisa hutang dari
tergugat dengan sekaligus dan seketika apabila tergugat melakukan kewajibannya
dan mengakhiri perjanjian kredit yang masih berjalan.

Tergugat telah memutuskan atau mengakhiri masa jangka waktu perjanjian kredit
yang masih berjalan kepada penggugat. Dengan demikian, tergugat telah
melakukan wanprestasi. Sebagai jaminan hutang, tergugat telah menyerahkan
satu mobil Mercedes Benz tahun 1988 dan satu unit mobil Mercedes Benz tahun
1987 secara fidusia berdasarkan akta No. 77 tersebut di atas. Biaya penagihan
hutang dibebankan kepada tergugat seperti yang ditentukan dalam Pasal 5 grosse
akta. Tergugat dibebani untuk membayar ongkos tagih pengacara sebesar 10%.
Karena tergugat telah melakukan wanprestasi, biaya perkara menjadi tanggung
jawab tergugat. Berdasarkan bukti-bukti otentik yang diajukan oleh penggugat
sangat beralasan untuk mengabulkan gugatan penggugat dengan putusan serta
merta. Untuk menjamin gugatan penggugat ini perlu diletakkan sita milik atas
jaminan fidusia dan sita jaminan serta penggugat ditetapkan sebagai penjaga
atas dua unit mobil yang disita. Dalam persidangan ini tergugat tidak hadir
walaupun telah dipanggil dengan patut. Selanjutnya, penggugat mengajukan
bukti-bukti untuk memperkuat dalil gugatannya.

Pengadilan memberikan pertimbangan hukum bahwa penggugat


mendalilkan bahwa tergugat telah berhutang kepada penggugat sebesar Rp60 juta
berdasarkan grosse akta pengakuan hutang dan penyerahan jaminan secara fidusia
tanggal 27 Februari 1993 dan bunga 14% per tahun dan harus dilunasi sampai
tanggal 27 Februari 1995. Walaupun tenggang waktu pelunasan belum lewat,
tergugat tidak memenuhi kewajiban untuk membayar hutangnya sehingga sampai
tanggal 21 Juli 1994 hutang tergugat berjumlah Rp88.944.878,-

Penggugat telah mengajukan bukti-bukti yang ternyata benar tergugat


telah berhutang kepada penggugat sebesar Rp60 juta berupa kredit pembelian
kendaraan bermotor dan dikena-kan bunga sebesar 14% per tahun yang harus
dilunasi oleh tergugat sampai tanggal 27 Februari 1995. Sebagai jaminan,
tergugat telah menyerahkan dua buah BPKB No. 8207480 A dan No. 7346397 A.
Menurut keterangan penggugat bahwa tergugat tidak memenuhi kewajibannya
untuk membayar hutangnya sesuai dengan yang ditentukan dalam perjanjian
pengakuan hutang No. 77 tanggal 27 Februari 1993 karena itu perbuatan atau
tindakan tergugat adalah wanprestasi. Berdasarkan bukti rekening koran ternyata
sampai tanggal 21 Juli 1994 sebagai akibat tergugat tidak memenuhi
kewajibannya membayar hutang, jumlah hutang tergugat menjadi Rp88.944.878,-
terdiri dari hutang pokok Rp38.529.098,- (karena sudah diangsur) tambah bunga
dan denda Rp50.415.780,- dari jumlah ini harus dibayar oleh tergugat kepada
penggugat ditambah dengan bunga sebesar 14% per tahun sesuai dengan
perjanjian terhitung mulai tanggal 22 Juli 1994 sampai hutang tersebut lunas
dibayar oleh tergugat. Mengenai ongkos tagih sebesar 10%, karena biaya tersebut
telah disepakati dan diserujui oleh tergugat seperti ditentukan dalam Pasal 5
grosse akta pengakuan hutang dengan penyerahan jaminan secara fidusia No. 77
tanggal 27 Februari 1993, dan tuntutan tersebut dikabulkan. Karena bukti-bukti
yang diajukan oleh penggugat untuk membuktikan gugatan merupakan bukti-
bukti otentik dan di samping itu untuk menjaga agar penggugat merupakan sebuah
bank tidak dirugikan terus menerus, tuntutan penggugat agar putusan dapat
dijalankan terus meskipun ada perlawanan, banding dan kasasi dapat dikabulkan.
Tuntutan penggugat agar sita milik dinyatakan sah dan berharga harus dinyatakan
tidak dapat diterima karena objek yang akan disita tidak dapat ditunjukkan oleh
penggugat sendiri.

Berdasarkan pertimbangan tersebut pengadilan berpendapat bahwa


gugatan penggugat dapat dikabulkan sebagian dengan menolak bagian yang lain.
Tergugat sejak persidangan dimulai sampai akhir pemeriksan perkara ini tidak
pernah hadir di persidangan meskipun telah dipanggil dengan patut. Karena itu,
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku putusan perkara dapat dilakukan
tanpa dihadiri oleh tergugat dengan putusan verzet, biaya perkara dibebankan
kepada tergugat sebagai pihak yang kalah.

Pengadilan memutuskan bahwa mengabulkan gugatan penggugat


sebahagian dengan verstek, menyatakan tergugat telah melakukan wanprestasi,
menghukum tergugat membayar hutangnya kepada penggugat sebesar
Rp88.944.878,- beserta bunganya 14% per tahun terhitung sejak tanggal 22 Juli
1994 sampai hutang lunas dibayar tanggal 27 Februari 1995, menghukum tergugat
untuk membayar ongkos tagih 10% dan menyatakan putusan ini dapat dijalankan
serta merta meskipun ada perlawanan, banding dan kasasi serta menghukum
tergugat untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp39.500,-dan menolak
gugatan penggugat selebihnya.

Dalam kasus yang lain sebelum tahun 1995, pernah juga dipuruskan hal
yang sama oleh Pengadilan Negeri Medan yakni permohonan sita yang
dimintakan oleh kreditur fidusia ditolak oleh hakim dengan alasan kreditur fidusia
tidak dapat menunjukkan benda jaminan yang akan disita. Putusan itu terlihat
dalam perkara Bank Ball Cabang Medan v= Abdullah Mahmud, No. 385/Pdt.
G/1992/PN-Mdn, tanggal 18 Januari 1993.

Kasus ini terjadi ketika Abdullah Mahmud (tergugat) berhutang kepada


Bank Bali (penggugat) serbesar Rp27 juta sesuai dengan akta perjanjian kredit dan
pengakuan hutang No. 10849 jo akta pengakuan hutang No. 44, tanggal 6
September 1990. dengan bunga 13,75%, jangka waktu 2 tahun dan berakhir
tanggal 6 September 1992. Tergugat tidak memenuhi kewajiban membayar
angsuran pokok dan bunga. Penggugat telah memperingati dan tidak ditanggapi
sehingga tergugat dapat dikatakan wanprestasi.

Berdasarkan Pasal 5 akta No. 44 dikatakan bahwa bank untuk setiap saat
dapat mengakhiri perjanjian kredit apabila tergugat melalaikan kewajiban
melunasi hutang dan menagih pinjaman seketika dan sekaligus. Sampai tanggal
11 Juli 1992, hutang pokok ditambah bunga berjumlah Rp27.622.959,- belum
termasuk bunga berjalan. Sebagai jaminan hutang diserahkan tergugat satu unit
tracktor Massey Ferguson. Sesuai kuitansi No. faktur 0003-AB-VIII-90, tanggal
25 Agustus 1990 pengikatan jaminan dilakukan dengan akta milik fidusia sebagai
jaminan No. 45 tanggal 6 September 1990. Untuk menjamin tunrutan penggugat
perlu diletakkan sita jaminan atas benda tidak bergerak dan sita milik atas jaminan
fidusia. Dalam persidangan tergugat tidak hadir dan tidak disebabkan halangan
yang sah. Untuk menguatkan dalil-dalil penggugat diajukan surat-surat bukti.

Selanjutnya, pengadilan memberikan pertimbangan hukum bahwa tergugat


telah dipanggil secara patut dan tergugat telah dipanggil sebagai gugatan ini
diputus dalam verstek. Dari fakta-fakta dan bukti-bukti yang diajukan ternyata
bahwa tergugat telah mengadakan perjanjian kredit dengan jaminan fidusia.
Gugatan penggugat tidak melawan hukum dan beralasan. Tergugat tidak
memenuhi kewajibannya membayar hutang, berarti tergugat telah melakukan
wanprestasi. Oleh karena itu, harus dihukum membayar hutang sebesar
Rp27.622.959,- ditambah bunga 13,37% terhitung sejak tanggal 11 Juli 1992
sampai hutang dibayar lunas. Karena penggugat tidak dapat menunjukkan barang-
barang akan disita, berarti sita jaminan harus ditolak.

Berdasarkan hal tersebut, pengadilan memutuskan bahwa gugatan


penggugat dikabulkan dengan verstek, mengabulkan gugatan sebagian,
menyatakan tergugat telah melakukan wanprestasi, menghukum tergugat
membayar hutang kepada penggugat sebesar Rp27.622.959,- berikut bunga
13,75% terhitung sejak 11 Juli 1992 sampai hutang dibayar lunas, menghukum
tergugat membayar biaya perkara sebesar Rp51.500,- dan menyatakan putusan ini
dapat dijalankan secara serta merta meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi
serta menolak gugatan penggugat selebihnya.

A. KREDITUR PENERIMA JAMINAN FIDUSIA MEMlLIKI HAK


PREFEREN

Salah satu karakter perjanjian jaminan kebendaan adalah hak preferen.


Jaminan fidusia adalah salah satu hak jaminan kebendaan, maka hak preferen
merupakan sifat yang melekat - pada jaminan fidusia. Namun, hak preferen
bukanlah hak kebendaan melainkan hak terhadap benda dan hak tersebut tidak
timbul karena undang-undang tetapi diperjanjikan. Dalam UUJF dikatakan
bahwa hak preferen itu disamakan artinya dengan memberikan hak yang
didahulukan.44) Yang dimaksud dengan hak preferen adalah hak penerima fidusia
untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi
objek jaminan fidusia. Hak preferen momentumnya lahir pada saat pendaftaran
jaminan fidusia. Jadi, selama jaminan fidusia tidak didaftarkan pada kantor
pendaftaran fidusia, kreditur penerima fidusia tidak memiliki hak preferen
melainkan hak konkuren.45)

Dari gambaran di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
hak preferen harus dilihat dalam kaitannya dengan kreditur-kreditur lain. Kedua,
hak preferen menggambarkan adanya kaitan antara hak dengan objek jaminan

44
Penjelasan Umum UUJF di bawah angka 3.
45
Menurut Bindu Tigor Naibaho, apabila jaminan fidusia tidak didaftarkan di kantor
pendaftaran fidusia, kreditur penerima jaminan fidusia tidak mendapatkan perlindungan
hukum, hasil wawancara tanggal 26 Februari 2002.
fidusia. Ketiga, pelaksanaan hak adalah untuk mengambil pelunasan piutang
bukan memiliki objek jaminan fidusia. Keempat, hak preferen lahir pada saat
jaminan fidusia didaftarkan.

Menurut KUH Perdata, hak preferen hanya diberikan kepada kreditur yang
diistimewakan (privilege), gadai dan hipotik.46) Gadai dan hipotik lebih tinggi
kedudukannya dari hak privilese kecuali undang-undang menentukan
sebaliknya.47) Yang menjadi pertanyaan, jaminan fidusia tidak ada dicantumkan
dalam KUH Perdata tetapi secara analogi dari gadai dapat dikatakan bahwa
jaminan fidusia memiliki hak preferen. Setelah keluarnya UUJF, semakin jelas
dan secara eksplisit dinyatakan bahwa kreditur penerima fidusia mempunyai hak
preferen.48) Tidak ditegaskan lebih lanjut apakah hak preferen kreditur tersebut
lebih tinggi kedudukannya dari pada hak privilese atau sebaliknya. Permasalahan
yuridis ini terungkap dalam putusan Pengadilan Negeri Medan dalam perkara
Bank Bumi Daya v. Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat dan P.T. Mahogani
Indah Industri No. 40/Pdt.Plw/1994 tanggal 17 November 1994 seperti yang telah
diuraikan sebelumnya.

Dalam kasus tersebut, hakim mempermasalahkan dua kreditur yaitu Bank


Bumi Daya sebagai kreditur penerima fidusia atas benda jaminan fidusia dari P.T.
Mahogani Indah Industri dan Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat sebagai
kreditur atas pajak debitur. Dalam putusannya pengadilan berpendapat bahwa hak
preferen atas benda jaminan fidusia diberikan kepada kreditur Kantor Pelayanan
Pajak. Alasan hukum yang diberikan pengadilan adalah bahwa negara mempunyai
hak mendahulu atas tagihan pajak di atas segala tagihan lainnya kecuali tagihan
ongkos perkara dan hak komisioner. Tagihan jaminan fidusia tidak merupakan
kekecualiaan dari hak mendahulu negara atas tagihan pajak.

Dalam putusan itu yang meletakkan piutang fiscus lebih tinggi


kedudukannya dari piutang jaminan fidusia tidak menjelaskan secara rinci dalam
pertimbangan hukumnya. Hanya dijelaskan bahwa negara memiliki hak preferen
atas pajak melebihi dari piutang lainnya. Kalau dilihat kasus di atas, pihak
pemberi kredit adalah bank pemerintah yang berarti juga piutang negara. Hanya
bedanya piutang fiscus terbit dari undang-undang sedangkan piutang bank terbit
dari perjanjian jaminan fidusia. Berdasarkan Pasal 1133 dan 1134 ayat (2) KUH
Perdata, piutang fiscus merupakan hak privilese yang ditunjuk oleh undang-
undang perpajakan untuk didahulukan pena-gihannya dari piutang jaminan
fidusia.

Bertitik tolak dari kasus hak preferen piutang fiscus, putusan pengadilan
tersebut dapat melengkapi kekurangan norma hukum dalam UUJF. Setidak-
46
Pasal 113 3 KUH Perdata.
47
Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata.
48
Pasal 27 ayat (2) UUJF.
tidaknya dapat di-masukkan sebagai penyempurnaan UUJF yang akan datang.
Artinya bukan hanya piutang fiscus saja yang berada di atas piutang jaminan
fidusia, melainkan juga dapat dipikirkan hak-hak privilese lainnya yang harus
didahulukan dari piutang jaminan fidusia. Sebaliknya, dapat saja jaminan
fidusia diletakkan di atas hak privilese karena kreditur penerima fidusia adalah
pemilik benda jaminan.

Dalam kasus lainnya dapat pula dilihat hak preferensi kreditur penerima
fidusia atas benda jaminan yang disita dalam perkara pidana, yang telah
dipuruskan oleh Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Bank Danamon
Indonesia v. Sudarli, No. 220/Pdt.G/1994/PN- Mdn, tanggal 21 September 1994.
Kasus tersebut diawali dengan Sudarli (tergugat) telah meminjam kredit kepada
Bank Danamon (penggugat) sebesar Rp34.680.000,-. Dalam perjanjian kredit
ditentukan bahwa hutang harus dilunasi tergugat selama 24 bulan terhitung sejak
7 Oktober 1992 sampai 7 Oktober 1994. Dalam perjanjian kredit dan pengakuan
tersebut, tergugat akan membayar bunga sebesar 18% per tahun yang
diperkirakan sebesar Rp9.180.000,-. Sebagai jaminan, tergugat telah menyerahkan
satu unit mobil Isuzu berdasarkan kontrak No. 327/KPM/MDM/ 1092 dengan
jaminan secara fidusia. Tergugat juga menjanjikan bahwa jika tergugat tidak
membayar kembali uang pinjaman kredit tersebut, penggugat berhak menarik
kendaraan barang jaminan tersebut dan menjualnya kepada pihak ketiga guna
mengambil pelunasan hutang tergugat pinjaman fasilitas kredit tersebut. Ternyata,
tergugat telah melarikan diri dan keluarganya telah menyatakan tidak sanggup
lagi melunasi hutang tergugat tersebut. Tergugat telah wanprestasi dan memberi
alasan yang kuat kepada penggugat untuk mengambil kendaraan barang jaminan
tersebut untuk diuangkan guna melunasi hutang tergugat. Penggugat khawatir
tergugat akan mengalihkan kendaraan jaminan mobil Isuzu BL 886 kepada
pihak ketiga atau pihak ketiga akan mengambil mobil tersebut sebelum tergugat
melunasi hutang kredit tersebut kepada penggugat. Oleh karena itu, penggugat
memohon kepada pengadilan agar sebelum perkara ini diputuskan supaya
terlebih dahulu diletakkan sita jaminan atas kendaraan mobil Isuzu yang menjadi
jaminan kredit tersebut guna menjamin gugatan penggugat seluruhnya.
Sekarang ini tergugat telah melarikan diri dan diburon oleh pihak berwajib karena
diduga melakukan perbuatan melanggar hukum sehingga tergugat tidak lagi
membayar hutangnya berupa fasilitas jaminan kredit bank tersebut. Penggugat
memohon kepada pengadilan untuk mengambil putusan yang dapat dijalankan
serta merta meskipun tergugat menyatakan perlawanan, banding atau kasasi.

Pertimbangan hukum dalam perkara ini bahwa tergugat telah dipanggil


dengan patut dan tidak menghadap disebabkan sesuatu halangan yang sah,
tergugat harus dinyatakan tidak hadir. Berdasarkan bukti surat perjanjian
kredit serta pengakuan hutang dan pemberian jaminan kuasa tanggal 7 Oktober
1992, surat aksep tertanggal 7 Oktober 1992 dan surat pernyataan tertanggal 7
Oktober 1992 bahwa tergugat ada menerima kredit kepada penggugat untuk
membeli kendaraan bermotor dengan kredit selama 24 bulan yang terdiri dari
hutang pokok sebesar Rp25.500.000,- ditambah bunga sebesar 18% per tahun
yaitu sebesar Rp9.180.000,- sehingga jumlah keseluruhannya adalah sebesar
Rp34.180.000,-. Mengenai permohonan penggugat mempunyai hak preferensi
untuk rnendapat pembayaran dalam kendaraan diuangkan dengan alasan apapun
juga, oleh siapapun juga dapat dikabulkan karena haJ itu didasarkan pada Pasal 7
surat perjanjian kredit dimana penggugat dapat menuntut pembayaran
dengan sekaJigus dengan seketika. Mengenai permohonan penggugat menyatakan
sah dan berharga sita jaminan yang telah dilaksanakan dan si penjaga
sita adalah Joko Warianto bertempat tinggal di j'alan Merdeka No. 40
Lhoksemawe Aceh Utara yang bertanggung jawab untuk menyimpan dan
memelihara mobil/kendaraan jaminan tersebut sampai adanya putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau yang dapat dilaksanakan serta merta
harus ditolak karena berdasarkan berita acara penyitaan jaminan tertanggal 20 Juli
1994 No. 220/BA/Eks/1994/PN Mdn yang diperbuat oleh juru sita PN Bireun
bahwa terhadap satu unit mobil Isuzu tidak dapat dilaksanakan penyitaan karena
barang-barang tersebut telah disita dalam perkara pidana dan telah memperoleh
kekuatan hukum. Terhadap permohonan tentang putusan ini dapat dilaksanakan
serta merta meskipun tergugat menyatakan perlawanan, banding atau
kasasi, pengadilan dapat mengabulkannya karena adanya surat bukti
penggugat dan adanya urgensi yaitu tidak ada jaminan.tergugat akan segera
melunasi hutangnya tersebut dan bank sebagai lembaga keuangan yang
menghimpun dana masyarakat harus menjaga likuiditasnya. Berdasarkan
pertimbangan tersebut gugatan penggugat dapat dikabulkan untuk sebagiannya.
Pengadilan memutuskan bahwa tergugat telah dipanggil dengan patut dan
tidak hadir, mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dengan verstek,
menyatakan sah demi hukum perjanjian kredit serta pengakuan hutang dan
pemberian jaminan tanggal 7 Oktober 1992 jo surat aksep No.
327/KPN/MDMI/1992, jo surat kuasa menjual kendaraan bermotor tanggal 7
Oktober 1992, menyatakan demi hukum tergugat telah berhutang kepada
penggugat secara tunai dan sekaJigus sebesar Rp34.180.000,- dan menyatakan
putusan ini dapat dijalankan dengan serta merta meskipun tergugat 328
menyatakan perlawanan, banding atau kasasi. Menyatakan penggugat mempunyai
hak preferensi untuk mendapat pembayaran dalam kendaraan diuangkan dengan
alasan apapun juga oleh siapapun juga, dan menghukum tergugat membayar
ongkos perkara sebesar Rpl 67.500,- serta menolak gugatan penggugat yang
selebihnya.

Dalam kasus di atas, hak preferensi berhadapan dengan objek jaminan


fidusia yang telah disita karena perbuatan pidana. Permintaan sita revindikasi atas
jaminan fidusia tidak dikabulkan hakim dengan alasan benda jaminan fidusia telah
disita dalam perkara pidana dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Walaupun demikian, tidak berarti hak preferen dari kreditur penerima fidusia
ditiadakan. Hak preferen kreditur tersebut tetap diakui apabila mobil yang
menjadi jaminan fidusia dijual. Hak dari kreditur tetap mengikuti kemana benda
jaminan fidusia berada (droit de suite). Yang menjadi pertanyaan, apakah kreditur
penerima fidusia sebagai pemilik jaminan tidak dapat menggunakan haknya
untuk melakukan parate eksekusi atas benda jaminan fidusia itu. Ataukah sita
atas perkara pidana dapat menangguhkan parate eksekusi dari kreditur pemilik
jaminan fidusia. Ketentuan seperti ini belum diatur secara tegas dalam UUJF.
Oleh karena itu, putusan tersebut dapat diambil alih untuk penyempurnaan
ketentuan pidana dalam UUJF.

H. BENDA JAMINAN FIDUSIA TIDAK MENCUKUPI MEMBAYAR


HUTANG KEPADA KREDITUR

Hukum jaminan yang bersumber dari KUH Perdata mengandung prinsip


bahwa harta kekayaan debitur menjadi jaminan hutang untuk segala perikatan
yang dibuatnya.49) Prinsip ini kurang memberikan rasa perlindunggan yang cukup
aman bagi kreditur. Untuk menutupi adanya kelemahan itu, perlu diperjanjikan
secara khusus benda-benda tertentu dari debitur yang diikat sebagai jaminan
hutang. Hukum jaminan yang diperjanjikan adalah hipotik, hak tanggungan,
gadai, jaminan fidusia dan jaminan perorangan.50) Secara teoretis, jika seorang
debitur pemberi fidusia wanprestasi, terhadap objek jaminan fidusia dapat
dilakukan eksekusi. Dalam hal eksekusi, kalau harga jual benda jaminan melebihi
hutang debitur, kreditur penerima fidusia wajib mengem-balikan kelebihan sisa
uang penjualan kepada debiturnya. Sebaliknya, apabila hasil eksekusi tidak
mencukupi untuk membayar hutang, debitur tetap bertanggungjawab atas sisa
hutang tersebut.51)

Dalam praktik perjanjian jaminan fidusia di lingkungan bank, lazim


ditentukan bahwa dalam hal penjualan barang agunan bilamana ada sisanya, bank
akan mengembalikan kepada debiturnya dan jika hasil penjualan tidak mencukupi,
debitur tetap bertanggung jawab penuh untuk membayar sisa jumlah terhutang
kepada bank. Yang selalu dipersoalkan, mengapa benda yang dijadikan jaminan
fidusia tidak mencukupi untuk membayar hutang debitur. Kalau tidak mencukupi,
bolehkah kreditur penerima fidusia meminta pertanggungjawaban harta kekayaan
debitur lainnya yang tidak turut dijaminkan. Jika dibenarkan secara yuridis,
apakah kedudukan kreditur penerima fidusia masih sebagai kreditur preferen.
Pertanyaan yuridis tersebut harus diberikan solusi hukumnya oleh hakim dengan
pertimbangan hukum yang logis dan rasional, sehingga tidak merugikan
kepentingan hukum debitur pemberi fidusia. Sebelum perkara ini sampai diputus
pengadilan, jawaban atas permasalahan tersebut masih menimbulkan perbedaan
pendapat. Menurut pihak bank, apabila ternyata objek jaminan fidusia tidak
mencukupi untuk membayar hutang, bank dapat menyita barang-barang lain milik
debitur.52) Selain jaminan fidusia, adakalanya bank meminta jaminan lainnya yang

49
Prinsip hukum jaminan tersebut tercantum dalam Pasal 1131 KUH Perdata.

50
Lihat Mariam Darus Badrulzaman, Kertas Kerja "Kerangka Hukum Jaminan Indonesia",
Workshop Hukum Jaminan, Blips Project bekerjasama dengan USU, Medan, 1993, h. 1.

51
Pasal 34 UUJF.

52
Wawancara dengan bank A dan B tanggal 8 Oktober 2001; bank D tanggal 11 Juni 2001.
diikat dengan surat kuasa memasang hak tanggungan atau surat kuasa menjual
atau hak tanggungan atas objek tanah belum bersertifikat, kapal laiit, hak guna
bangunan, hak milik atau jaminan yang bersifat perorangan. Gambaran tersebut
dapat dilihat dari 11 putusan Pengadilan Negeri di Sumatera Utara dalam perkara
jaminan fidusia yang diikuti dengan jaminan lainnya. 53) Sebaliknya, pihak debitur
beranggapan bahwa hutang kredit tidak dapat melibatkah harta kekayaan lainnya,
tetapi benda yang dijaminkan itu saja yang disita. 54) Pendapat lain mengatakan,
seharusnya yang boleh disita dan diminta pertanggungjawaban hanya sebatas
benda jaminan fidusia dengan alasan bahwa ketika membuat perjanjian kredit,
pihak bank sudah dapat menaksir bahwa benda agunan lebih tinggi nilainya dari
jumlah pinjaman yang diberikan. Setiap saat bank dapat mengontrol benda agunan
dan debitur tetap membuat laporan secara berkala. Jadi, kalau ada benda jaminan
fidusia tidak mencukupi untuk melunasi hutang, tentu ada yang "tidak beres"
dalam hubungan hukum antara bank dengan debiturnya.55)

Adalah tidak logis bahwa benda jaminan fidusia tidak mencukupi untuk
menutupi pembayaran hutang debitur karena pada saat perjanjian kredit dengan
pengikatan jaminan fidusia, pihak bank telah melakukan analisis faktor agunan
terhadap nasabah debiturnya. Nilai agunan jaminan fidusia adalah lebih besar dari
pinjaman kredit yang diberikan.

Oleh karena itu, tidak sepantasnya kreditur meminta penyitaan atas benda-
benda lainnya milik debitur. Namun, asas hukum jaminan dan doktrin hukum
perdata mengatakan bahwa semua harta debitur memikul beban untuk melunasi
hutangnya kepada kreditur, sampai terpenuhi seluruh pembayaran hutang.56)

Dalam praktik pengadilan, hakim berpendapat bahwa walaupun debitur


pemberi fidusia telah dinyatakan ivanprestasi dan berkewajiban untuk
melunasi hutangnya, tetapi permintaan sita tidak dikabulkan dengan alasan
tidak pantas dan tidak ada urgensinya. Sikap pengadilan itu dapat dilihat pada
putusan Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Sejahtera Bank Umum v.
Rotua Juni Martinus, No. 55/Pdt.G/ 1995/PN-Mdn, tanggal 20 Juni 1995.

Kasus tersebut terjadi ketika Rotua Juni Martinus (tergugat)


mendapatkan fasilitas kredit dari Sejahtera Bank Umum (penggugat) sebesar
Rpl8.250.000,- dengan bunga 11,5% per tahun. Dalam perjanjian kredit
ditentukan jangka waktu 2 tahun terhitung sejak tanggal 1 Maret 1994 sampai
dengan tanggal 28 Februari 1996 sebagaimana diuraikan dalam akta pengakuan
hutang dengan penyerahan jaminan secara fidusia No. 25 tanggal 1 Maret 1994
53
Penelitian terhadap perkara jaminan fidusia di lingkungan Pengadilan Negeri di Sumatera
Utara berjumlah 32 kasus.
54
Wawancara dengan debitur Ahmad, Musa, Yani, AH (bukan nama sebenarnya), masing-
masing tanggal 18 Agustus 2001, 19 Agustus 2001, 1 September 2001, 8 September 2001.
55
Wawancara dengan Hindu Tagor Naibaho, tanggal 16 Maret 2002.
56
M. Yahya Harahap, Ruang Unggkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta:
Gramedia, 1989), h. 371.
yang dibuat di hadapan notaris. Sebagai jaminan hutang tergugat
menyerahkan jaminan benda bergerak secara fidusia atas satu unit mobil sedan
Toyota tahun 1988. Tergugat harus membayar angsuran hutangnya kepada
penggugat sebesar Rp781.500,- sebanyak satu kali, dan sebesar Rp942.000,-
sebanyak 23 kali pada tanggal 28 setiap bulan berjalan, sesuai dengan pernyataan
tergugat tertanggal 1 Maret 1994. Sejak bulan November 1994 tergugat tidak
pernah memenuhi kewajibannya untuk mengangsur kepada penggugat
sehingga penggugat dirugikan, yang sampai tanggal 9 Februari 1995 berjumlah
Rpl5.802.000,-.

Tergugat telah berulang kali diperingati oleh penggugat, tetapi peringatan


tersebut tidak diindahkan oleh tergugat. Hal ini membuktikan bahwa tergugat
telah melakukan ivanprestasi. Kerugian tersebut ditambah denda keterlambatan
RplO ribu per hari sampai hutang dibayar lunas. Penggugat khawatir atas iktikad
buruk dari tergugat untuk mengalihkan, mengoperkan, mengasingkan atau
menjual harta kekayaannya. Oleh karena itu, penggugat mohon kepada
pengadilan untuk terlebih dahulu meletakkan sita milik atas satu unit mobil
sedan Toyota tersebut dan harta bergerak maupun harta tetap lainnya dari tergugat
yang akan ditunjuk kemudian oleh penggugat. Penggugat mohon kepada
pengadilan untuk dapat terlebih dahulu menjalankan putusan dalam perkara ini
dengan serta merta walaupun ada verzet, banding maupun kasasi. Untuk
memperkuat dalil gugatannya, penggugat mengajukan bukti-bukti. Sementara itu,
tergugat tidak hadir dalam persidangan.

Pengadilan memberikan pertimbangan hukum bahwa tergugat telah


dipanggil dengan patut sesuai dengan surat panggilan tertanggal 9 maret 1995,
tanggal 15 Maret 1995 dan tanggal 29 Maret 1995 masing-masing dengan No.
55/Pdt.G/ 1995/PN Mdn, tetapi tidak hadir di persidangan. Bahwa yang menjadi
sengketa adalah tergugat telah mengikatkan diri untuk meminjam uang dari
Bank Sejahtera Umum sebesar Rpl8.250.000,- ditambah bunga sebesar
11,5% per tahun. Dengan adanya pinjaman uang tersebut, tergugat tidak
membayar hutangnya kepada penggugat. Tergugat telah lalai untuk membayar
hutangnya kepada penggugat walaupun telah ditegur, tetapi tergugat tidak
melunasi hutangnya. Dengan demikian, tergugat telah melakukan
perbuatan melawan hukum/'wanprestasi. Berdasarkan uraian tersebut tergugat
harus dihukum untuk membayar hutangnya kepada penggugat sebesar yang
digugat termasuk bunga yang telah disepakati terlebih dahulu. Atas permohonan
penggugat untuk menaruh sita atas harta tergugat, pengadilan beranggapan bahwa
tidaklah pantas diletakkan sita karena tidak ada urgensinya, sehingga harus
ditolak. Tentang permohonan serta merta juga tidak dapat dikabulkan oleh karena
tidak ada urgensinya sepanjang perkara ini diperiksa. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, gugatan penggugat harus dikabulkan untuk sebagian dan tergugat berada
di pihak yang dikalahkan, biaya perkara dibebankan kepada tergugat.
Pengadilan memutuskan bahwa tergugat dinyatakan tidak hadir di
persidangan dan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian secara verstek,
menyatakan sah dan berharga akta pengakuan hutang dengan penyerahan jaminan
secara fidusia No. 25 tanggal 1 Maret 1994, menyatakan tergugat telah melakukan
perbuatan ivanprestasi terhadap penggugat. Menghukum tergugat untuk
membayar seluruh hutangnya kepada penggugat dengan tunai seketika dan
sekaligus sampai tanggal 9 Februari 1995 sebesar Rpl5.802.000,- ditambah denda
keterlambatan RplO ribu per hari sampai dibayar lunas, menghukum tergugat
untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp44.500,- dan menolak gugatan
penggugat untuk selebihnya.

Dari putusan di atas tidak dapat dilihat jalan pikiran hakim yang
beranggapan bahwa tidak pantas diletakkan sita atas objek jaminan fidusia (mobil)
karena tidak ada urgensinya, sehingga permohonan penggugat ditolak. Seharusnya
hakim •nenerangkan mengapa sita ditolak, karena tujuan sita adalah untuk
menjamin tuntutan hak melalui benda jaminan. Tuntutan hak tanpa diikuti
dengan sita atas benda jaminan akan berakibat terjadinya illusoir. Menurut hukum
jaminan, bahwa dibuatnya perjanjian jaminan atas benda-benda secara khusus
adalah untuk menjamin dipenuhinya pembayaran hutang debitur lewat sita,
sehingga tidak beralasan bahwa pemenuhan hak tidak memiliki urgensi dengan
benda jaminan fidusia yang akan disita. Menurut M. Yahya Harahap, kalau dalam
perjanjian hutang piutang telah ditentukan barang jaminan, sita eksekusi dapat
langsung diletakkan pada barang jaminan. Apabila terhadap sita eksekusi
barang jaminan tersebut belum cukup melunasi pembayaran hutang, pihak
nemohon eksekusi dapat mengajukan sita eksekusi terhadap barang yang lain.57)
I. BENDA JAMINAN FIDUSIA MILIK ORANG LAIN

Dalam hukum perdata dikenal asas Nemo plus juris ad alium transferre
potest cjuam ipse habet atau Nemo dat rule.58) Prinsip hukum ini juga berlaku
dalam hukum jaminan kebendaan, antara lain jaminan fidusia. Pemberi fidusia
adalah orang yang memiliki benda jaminan fidusia dan memiliki kewenangan
untuk menjaminkan benda itu kepada kreditur. Dalam praktik perjanjian kredit
dengan jaminan fidusia dikatakan bahwa debitur adalah pemilik benda jaminan.
Bukti kemilikan benda jaminan itu lazimnya diserahkan kepada kreditur
sesuai dengan jenis benda jaminan. Misalnya kendaraan bermotor, bukti
kemilikan yang diserahkan adalah BPKB. Bukti kemilikan mesin-mesin adalah
kuitansi atau faktur pembelian. Namun, dalam praktik pengadilan ditemukan
kasus bahwa benda jaminan fidusia yang diserahkan kepada bank bukan milik dari
debitur tetapi milik orang lain. Hal ini tentu menimbulkan pesoalan yuridis.
Persoalan ini terletak kepada pengertian milik dari benda yang dijaminkan.
Pemahaman milik dalam masyarakat bisnis dapat diartikan dalam dua hal.
Pertama, debitur menguasai titel dari benda jaminan dan sekaligus menguasai
benda secara fisik. Kedua, debitur menguasai benda jaminan secara fisik

57
Ibid, h. 376
58
Nemo dat rule adalah suatu prinsip dari proverty law di Australia. Prinsip ini mengatakan
you cannot pass on a better title than you yourself have. For example, a person who buys
stolen goods, even in good faith, does not get ownership of those goods. Lihat J.C. Carvan,
J.V. Gooley dan E.L. McRae, Loc.cit, h. 38.
sedangkan secara yuridis debitur belum menjadi pemilik. Dikaitkan dengan
hukum jaminan, bilakah saat debitur itu dianggap sebagai pemilik benda jaminan,
atau dapatkah pemilik benda yang hanya menguasai benda jaminan secara fisik
menjaminkan benda itu kepada bank untuk meminjam kredit. Permasalahan
ini semakin jelas dalam kenyataan perilaku bisnis jual beli kredit kendaraan
bermotor. Ada dua hal yang terjadi dalam perjanjian jual beli kendaraan bermotor
yaitu kendaraan bermotor baru dan kendaraan bermotor bekas (second hand).
Dalam jual beli kredit kendaraan bermotor baru, pembeli mengangsur harga setiap
bulan dalam jangka waktu tertentu. Bukti kemilikan atas kendaraan tersebut
lazimnya akan diserahkan setelah pembayaran angsuran terakhir lunas.
Selama angsuran belum dilunasi pembeli, pihak penjual menjaminkan kendaraan
tersebut kepada bank. Yang menjadi problem, apakah penjual dapat
menjaminkan kendaraan tersebut, sedangkan kendaraan itu sudah atas nama
pembeli. Bahkan, tidak tertutup bagi pembeli kendaraan untuk menggadaikan
kendaraan itu kepada pihak lain. Berbeda halnya dengan jual beli kendaraan
bermotor bekas. Pada umumnya, pihak pembeli merasa enggan untuk melakukan
balik nama atas kendaraan tersebut. Lazimnya secara yuridis, bukti kemilikan
berupa BPKB masih atas nama penjual, Keadaan ini sering dimanfaatkan
oleh penjual untuk mendapatkan kredit dengan cara menjaminkan
kendaraan yang telah dijual melalui jaminan fidusia kepada bank.
Tentunya pembeli dirugikan atas perbuatan pihak penjual. Persoalan yuridisnya,
apakah penjual dapat menjaminkan kendaraan tersebut cukup dengan
menunjukkan bukti kemilikan berupa BPKB kepada bank dan sebaliknya apakah
bank dapat menerima jaminan yang diserahkan debitur tanpa meneliti secara jelas
keadaan fisik benda jaminan. Dalam Undang-undang Perbankan, dianut prinsip
bahwa bank harus bersikap hati-hati untuk memberikan kredit kepada nasabah
debitur. Salah satu realisasi prinsip kehati-hatian tersebut adalah ketika bank
menilai faktor collateral.

Konflik hukum jaminan fidusia seperti paparan di atas terlihat pada


putusan Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Bank Bali Cabang Medan v.
Lucyana dan Pulung Sukatendel, No. 32/Pdt.G/1992/PN-Mdn, tanggal 31 Oktober
1992.

Kasus tersebut sampai ke pengadilan karena Lucyana (tergugat I) telah


berhutang kepada Bank Bali (penggugat) lewat transaksi kredit sebesar Rpl4 juta
dengan bunga 15,5% per tahun pada tanggal 15 September 1990 dan harus
dibayar pada 15 Oktober 1991, sesuai dengan perjanjian kredit dan pengakuan
hutang No. 210907 tanggal 15 Oktober 1990 jo grose akta pengakuan hutang
dengan penyerahan jaminan secara fidusia No. 54 tanggal 15 September 1990.
Penggugat telah berulang kali menegur tergugat I, tetapi tergugat I belum
melunasinya, dengan demikian perbuatan tersebut adalah ivnnprestasi. Sebagai
jaminan kredit diserahkan kepada penggugat satu mobil merek Mitsubishi tahun
1989 yang dijaminkan secara fidusia. Barang jaminan tersebut tercatat atas nama
Pulung Sukatendel (tergugat II). Untuk menjamin tuntutan penggugat diletakkan
sita milik dan sita jaminan. Dalam persidangan tergugat I tidak hadir, sedangkan
tergugat II memberikan jawaban. Dalam konvensi dikatakan bahwa penggugat
tidak secara jelas menguraikan fungsi dan kedudukan masing-masing tergugat I
dan II dalam posita gugatan. Selain ketidaksempurnaan meletakkan fungsi dan
kedudukan tergugat I dan II sebagai yang digugat, juga antara posita dengan
petitum tidak serasi menurut hukum acara. Dalam pokok perkara, tergugat II tidak
ada berhutang ber-dasarkan perjanjian kredit dan pengakuan hutang No. 210907
tanggal 15 Oktober 1990 jo akta pengakuan hutang dengan penyerahan jaminan
secara fidusia No. 54 tanggal 15 September 1990 sebesar Rpl4 juta dengan bunga
15,5% yang dibayar selambat-lambatnya tanggal 15 Oktober 1991. Tergugat II
tidak pernah ditegur secara berkali-kali oleh penggugat dan tidak pernah
melakukan wanprestasi karena tergugat II tidak mem-punyai hubungan hukum
dalam bentuk apapun. Tergugat II tidak ada menyerahkan sebagai jaminan kepada
penggugat satu mobil Mitsubishi tahun 1989 secara fidusia. Memang benar mobil
tersebut atas nama dan milik tergugat II, tetapi tergugat II keberatan diletakkan
sita milik atas barang jaminan. Tergugat II tidak pernah memindahkan hak milik
atas mobil tersebut sebagai jaminan kepada penggugat. Tergugat II sangat
dirugikan akibat dari tindakan penggugat yang bekerjasama dengan tergugat I
yang telah melarikan diri dari pihak berwajib dengan menerima jaminan dari harta
milik tergugat II tanpa seizin dari tergugat II baik lisan maupun tertulis. Tergugat
II telah mengadukan tergugat I kepada polisi sesuai dengan laporan Polisi No,
164/K-3/I/1992/OPS tanggal 25 Januari 1992. Tergugat II mohon bukti apakah
benar ada berhutang kepada penggugat dan menjaminkan mobil tersebut. Dalam
rekonvensi, penggugat dalarn rekonvensi/tergugat II dalarn konvensi adalah yang
berhak atas mobil Mitsubishi tahun 1989 yang dibeli dari tergugat II dalam
rekonvensi/tergugat I dalam konvensi. Sebagai bukti pembelian mobil adalah
surat kuitansi tanggal 14 Desember 1990. Secara fisik mobil tersebut dikuasai dan
dimiliki oleh penggugat dalam rekonvensi, tetapi Buku Pendaftaran Kendaraan
Bermotor (BPKB) belum diserahkan oleh tergugat II dalam rekonvensi
karena masih dalam pengurusan. Penggugat dalam rekonvensi telah berulang
kali meminta BPKB tetapi tergugat II dalam rekonvensi membuat surat
pernyataan tanggal 14 Febuari 1992 dan tanggal 22 Desember 1990 menyatakan
paling lambat tanggal 5 Januari 1991 BPKB diserahkan, Pada tanggal 17
Desember 1990 tergugat II dalam rekonvensi menyatakan akan menyerahkan
BPKB kepada penggugat dalam rekonvensi sesuai dengan isi surat tanggal 14
Febuari 1990. Tergugat II dalam rekonvensi ada meminta kartu tanda
penduduk penggugat dalam rekonvensi untuk kepentingan pengurusan BPKB.
Kemudian diketahui oleh penggugat dalam rekonvensi bahwa mobil tersebut
diagunkan oleh tergugat II dalam rekonvensi pada tergugat I dalam. rekonvensi
tanpa seizin dan sepengetahuan dari penggugat dalam rekonvensi. Pemberian
kredit tidak mungkin terjadi kalau tidak ada kerjasama antara tergugat I dalam
rekonvensi dan tergugat II dalam rekonvensi. Setelah penggugat dalam
rekovensi mengetahui BPKB ada pada tergugat I dalam rekonvensi, penggugat
dalam rekonvensi menerima copy kuitansi kosong yang bertanda tangan mirip
dengan tanda tangan penggugat dalam rekonvensi yang tertera dalam kartu tanda
penduduk. Oleh karena itu, tanda tangan tersebut mohon diperiksa di laboratorium
kriminal kepolisian untuk mencocokkan dengan tanda tangan penggugat dalam
rekonvensi. Menurut prosedur perbankan, tergugat I dalam rekonvensi begitu
mudah menerima barang jaminan yang bukan milik nasabah kalau tidak ada
kerjasama antara tergugat I dalam rekonvensi dengan tergugat II dalam
rekonvensi. Akibat tindakan dari tergugat I dalam rekonvensi yang hendak
menahan mobil tersebut mengakibatkan malu dan usaha penggugat dalam
rekonvensi terhalang beberapa saat dan untuk itu menuntut ganti kerugian sebesar
RplOO juta atau hal yang wajar. Oleh karena itu, mohon agar tergugat I dalam
rekonvensi mengembalikan/rnenyerahkan BPKB kepada penggugat dalam
rekonvensi. Menyatakan perbuatan tergugat I dalam rekonvensi merupakan
perbuatan melawan hukum. Untuk menjamin tuntutan ganti kerugian penggugat
dalam rekonvensi mohon diletakkan sita atas barang bergerak dan tetap baik milik
tergugat I dalam rekonvensi maupun tergugat
II dalam rekonvensi.

Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-bukti, pengadilan


memberikan pertimbangan hukum. Dalam eksepsi gugatan penggugat cukup jelas
baik posita dan petitum berarti eksepsi tidak tepat dan tidak beralasan hukum
sehingga ditolak. Dalam pokok perkara, tergugat I telah melakukan ivanprestasi
karena tidak membayar hutang Rpl4 juta bunga 15,5% per tahun sejak tanggal 15
Oktober 1991 sebagai hutang dibayar lunas, yang terbukti dari perjanjian kredit
dan pengakuan terhutang No. 210907 tanggal 15 Oktober 1991. Tergugat II telah
membenarkan bahwa mobil yang dijadikan jaminan hutang tergugat I adalah atas
nama tergugat II. Tenggang waktu pelunasan hutang tergugat telah lewat dan telah
diperingatkan, tetapi tidak diindahkan.

Karena BPKB mobil yang dijaminkan oleh tergugat I pada penggugat


yang atas nama tergugat II, tergugat II dihukum untuk mematuhi putusan. Dalam
rekonvensi, yang menjadi pokok perkara adalah perbuatan tergugat I dalam
rekonvensi menerima jaminan BPKB dari tergugat II dalam rekonvensi adalah
perbuatan melawan hukum sehingga penggugat dalam rekonvensi menuntut ganti
kerugian sebesar Rp 100 juta. Yang harus dibuktikan apakah benar tergugat I
dalam rekonvensi melakukan perbuatan melawan hukum. Dari bukti-bukti yang
diajukan, tidak ada satu surat buktipun yang menyatakan tergugat I dalam
rekonvensi telah melakukan perbuatan melawan hukum. Perjanjian kredit antara
tergugat I dalam rekonvensi dengan tergugat II dalam rekonvensi adalah menurut
prosedur yang berlaku yaitu di depan notaris sehingga petitum lainnya juga harus
ditolak,

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, pengadilan memutuskan


bahwa dalam eksepsi, menolak eksepsi dari tergugat II. Dalam pokok perkara,
mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, menyatakan tergugat I telah
melakukan rvanprestasi dan menghukum tergugat I membayar hutang kepada
penggugat sebesar Rpl4 juta dengan bunga 15,5% pertahun sejak tanggal 15
Oktober 1991 sampai hutang dibayar lunas, menghukum tergugat II mematuhi
putusan ini, menyatakan putusan ini dapat dijalankan secara serta merta meskipun
ada perlawanan, banding atau kasasi, menghukum tergugat I dan II untuk
membayar biaya yang timbul sebesar Rp66.500,- dan menolak gugatan penggugat
untuk selebihnya, Dalam Rekonpensi, menolak gugatan rekonvensi untuk
seluruhnya dan menghukum penggugat rekonpensi untuk membayar biaya perkara
sebesar nihil.

Dalam pertimbangan hukum tersebut di atas, terlihat bahwa pengadilan


tidak mempersoalkan objek jaminan fidusia atas nama orang lain. Yang dilihat
pengadilan hanya sebatas pemilik benda jaminan dari segi yuridis formil melalui
bukti BPKB. Pengadilan tidak menilai bukti kemilikan berupa
kuitansi jual beli mobil. Demikian juga tidak memper-timbangkan prosedur
pemberian kredit bank yang diatur dalam Undang-undang Perbankdn khususnya
melakukan pengecekan benda jaminan secara fisik. Kelalaian perbuatan hukum
yang dilakukan oleh bank dalam rneneliti aspek agunan tidak dapat dibebankan
kepada pemilik benda jaminan secara fisik kecuali terbukti adanya izin dari
pemilik benda jaminan secara fisik untuk memenuhi kewajiban debitur. Oleh
karena itu, dari kasus ini dapat diciptakan prinsip hukum sebagai landasan bagi
pelaku usaha bank yaitu dalam memberikan kredit, bank harus menilai faktor
agunan dari segi yuridis formil dan materil. Dari segi yuridis formil, bank
diwajibkan memeriksa bukti kemilikan dan pernyataan bahwa debitur adalah
benar sebagai pemilik benda jaminan. Dari segi yuridis materil, bank diwajibkan
untuk mengecek benda jaminan ke lapangan dan sekaligus dapat menilai kualitas
benda jaminan tersebut.

J. BENDA JAMINAN FIDUSIA MERUPAKAN HARTA BERSAMA

Dalam UUJF tidak ada ketentuan yang mengatur tentang benda jaminan
fidusia yang berasal dari harta bersama. Yang menjadi persoalan adalah, apakah
seorang istri dapat menjaminkan harta benda secara fidusia yang diperoleh selama
perkawinan tanpa izin suami. Yang dimaksud dengan harta benda yang diperoleh
selama perka • man adalah harta bersama.59) Undang-undang tidak rnenjelaskan,
atas usaha siapa harta benda itu diperoleh, apakah atas jerih payah isteri atau
suami. Yang terpenting bagi hukum adalah harta benda itu diperoleh selama
perkawinan. Juga undang-undang tidak rnenjelaskan luas cakupan harta bersama
tersebut. Menurut Kompilasi Hukum Islam, harta bersama meliputi harta benda
berwujud dan harta benda tidak berwujud. Harta benda berwujud meliputi benda
bergerak dan benda tidak bergerak.60)

Suami atau istri dapat melakukan perbuatan hukum terhadap harta


bersama dengan persetujuan kedua belah pihak.61) Perbuatan hukum yang
dimaksud antara lain menyewakan, menjual dan menjaminkan harta bersama
untuk memperoleh fasilitas kredit.62) Ratio yuridis diperlukannya persetujuan

59
Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.
60
Pasal 91 ayat (1) dan (2) Instruksi Presiden No.l Tahun 1991.
61
Pasal 36 ayat (1) UU No.l Tahun 1974.
62
Lihat Pasal 91 ayat (4) Instruksi Presiden No.l Tahun 1991.
suami atau istri jika salah satu pihak hendak menggunakan harta bersama adalah
didasarkan kepada asas keseimbangan antara hak dan kedudukan suami istri baik
dalam rumah tangga maupun kehidupan masyarakat.63)

Dalam penelitian ditemukan bahwa seorang istri mengadakan


perjanjian jual beli mobil dengan pihak Showroom sebagai penjual. Harga
mobil dibiayai oleh fasilitas kredit bank. Sebagai jaminan hutang kepada bank,
pihak pembeli/debitur menjaminkan mobil tersebut secara fidusia. Ternyata
debitur ingkar janji dan perkaranya diajukan ke pengadilan. Benda jaminan
fidusia disita dan debitur dinyatakan harus membayar hutang kepada bank.
Kemudian suami melakukan perlawanan dengan dasar bahwa mobil yang
dijadikan jaminan hutang adalah harta bersama. Putusan pengadilan
memenangkan suami dari debitur sehingga sita harus diangkat atau dicabut. Atas
putusan ini, pihak penjual mengajukan banding dan ternyata tidak berhasil.
Akhirnya, perkara tersebut diajukan ke tingkat kasasi. Dalam putusannya,
Mahkamah Agung berpendapat bahwa mobil yang dijadikan jaminan hutang
adalah harta bersama. Jadi, dapat disimpulkan bahwa harta bersama dapat
dijadikan jaminan hutang termasuk lembaga jaminan fidusia dehgan ketentuan
harus ada persetujuan dari suami atau istri.
Kasus tersebut dapat dilihat pada putusan Pengadilan Negeri Medan dalam
perkara Reny Helena Hutagalung v, p.T. Sumatera Berlian Motors dan Bank Ball,
No. 107/Pdt.G/ 1994/PN Mdn, tanggal 3 Agustus 1994.

Perkara ini berawal dari Reny Helena Hutagalung (penggugat) membeli


satu unit mobil Mitsubishi New Eterna tahun 1991 dari P.T. Berlian Motors
(tergugat I), Pembelian mobil tersebut dengan memakai uang pinjaman kredit dari
Bank Bali (tergugat II) sesuai akta perjanjian kredit dan pengakuan hutang No.
262056 tanggal 10 Juli 1991. Jumlah fasilitas kredit sebesar Rp55.500.000,-
dengan jangka waktu 3 tahun terhitung tanggal 10 Juli 1991 s.d. 10 Juli 1994,
bunga 17% per tahun, sehingga jumlah keseluruhannya Rp83.805.300,- dan
besarnya angsuran per bulan Rp2.327.917,-. Uang muka pembelian mobil telah
dibayar penggugat kepada tergugat I sebesar Rp24 juta. Selain itu, dibayar uang
administrasi sebesar Rp550.000,-. Penggugat telah membayar angsuran mobil ke-
pada tergugat I melalui tergugat II sebanyak 14 kali sebesar Rp31.235.100,-. Jadi,
seluruhnya yang sudah dibayar termasuk uang muka adalah Rp55.235.100,-, Sisa
pembayaran adalah Rp83.805.300,-dikurangi Rp55.235.100,- sama dengan
Rp28.570.200,-. Mengingat penggugat telah membayar uang muka sebesar Rp24
juta, sesuai dengan kesepakatan, penggugat menghentikan pembayaran angsuran
tetapi tidak diindahkan tergugat I dan II. Sebaliknya, tergugat I melalui suratnya
tanggal 22 Februari 1994 telah menegur penggugat dengan inengatakan
penggugat telah menunggak 20 kali angsuran sejak Juli 1992 s.d. Februari 1994.
Tergugat I secara melawan hukum telah menerbitkan surat tanggal 1 Maret 1994
No. 9400890/SA dengan memerintahkan penggugat agar menyerahkan mobil

63
Pasal 31 ayat (1) UU No.l Tahun 1974.
tersebut kepada tergugat I agar mobil tersebut dapat diperjualbelikan kembali.
Sehubungan dengan itu, penggugat menghubungi tergugat II untuk menanyakan
uang muka sebesar Rp5.627.925,- yang ternyata tidak turut diperhitungkan oleh
tergugat I dan II. Perbuatan tergugat-tergugat tersebut dapat dikatakan sebagai
perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, pantas dan adil apabila pengadilan
menyatakan sah sebagai pembayaran uang muka sebesar Rp24 juta ditambah uang
angsuran mobil sebesar Rp5.627.925,-. Dengan demikian, tindakan tergugat I yang
menerbitkan surat teguran tanggal 22 Februari 1994 dan tanggal 1 Maret 1994
adalah cacat hukum sehingga batal demi hukum. Adalah patut dan adil bahwa
pengadilan juga menyatakan sisa pembayaran pembelian mobil sebesar
Rp28.570.200,- dan menerima angsuran mobil sebesar Rp2.327.917,- per bulan
sejak gugatan ini didaftarkan sampai lunas. Apabila tergugat I menarik mobil,
penggugat sangat dirugikan sehingga untuk menghindarinya guna kepastian hukum,
patut dan adil menurut hukum apabila penggugat diberikan kesempatan untuk
melunasi pembayaran harga mobil terhitung sejak putusan propisionil. Akibat
tindakan tergugat-tergugat, penggugat mengalami kerugian materil dan moril.
Kerugian materil adalah biaya yang telah dikeluarkan dan biaya pengacara sebesar
Rp 20 juta dan kerugian moril adalah tnencemarkan nama, harkat martabat dan
status penggugat di tengah keluarga, di hadapan instansi swasta, lembaga perbankan,
teman notaris, yang jumlahnya sebesar Rp.500 juta. Untuk menjamin tuntutan
penggugat, mohon pengadilan meletakkan sita jaminan atas harta benda bergerak dan
tidak bergerak milik tergugat-tergugat. Selanjutnya, mohon perkara ini dapat
dijalankan terlebih dahulu walaupun ada banding dan kasasi. Atas gugatan tersebut,
tergugat-terugat mengajukan jawaban yang pada pokoknya, dalam konpensi bahwa
penggugat telah mengakui rnembeli satu unit mobil Mitsubishi New Eterna tahun
1991 dengan menggunakan fasilitas kredit dari tergugat II. Bahwa dalam perjanjian
kredit ditentukan fasilitas kredit diberikan sebesar Rp55.500.OCX),- adalah untuk
membeli satu unit mobil tidak benar, tetapi yang benar adalah untuk membiayai satu
mobil Mitsubishi dengan harga yang diperhitungkan penggugat sebesar
Rp83.805.300,- adalah kesimpulan dari penggugat sendiri yang telah menyimpang
dari kesepakatan. Sesuai dengan Pasal 2 akta perjanjian kerjasama No. III tanggal
19 Juli 1988 antara tergugat I dengan tergugat II di hadapan notaris dikatakan bahwa
tergugat I harus terlebih dahulu melakukan seleksi terhadap calon pembeli dan calon
pembeli yang sudah disetujui tergugat II akan membuat perjanjian kredit
tersendiri. Dalam perjanjian kredit ditentukan bahwa calon pembeli harus membayar
uang muka minimal 20% dari harga mobil kepada tergugat II. Harga mobil adalah
Rp79.500.000,- dikurangi uang muka Rp24 juta, sisanya Rp55,5 juta yang
akan dibayar oleh tergugat II. Uang muka yang disetor penggugat kepada tergugat I
sebesar Rp24 juta dan hal tersebut sesuai dengan jangka waktu kredit 3 tahun. Setiap
bulan penggugat membayar cicilan Rp2.327.925,- yang dimulai tanggal 10 Agustus
1991. Hal ini telah disetujui oleh penggugat terbukti dengan telah dicicilnya sebanyak
11 kali yaitu dari tanggal 10 Agustus 1991 s.d. 17 Juni 1992. Dari pembayaran
tersebut ternyata jumlah hutang baru dibayar oleh penggugat sebesar Rp25.607.175,-.

Dengan demikian, terbukti bahwa penggugat yang melakukan


ivanprestasi karena sejak Juli 1992 hingga saat ini tidak pernah melaksanakan
kewajibannya. Jadi, tidak benar penggugat telah membayar angsuran sebanyak
14 kali. Pembayaran yang telah dilakukan penggugat adalah Rp24 juta ditambah
Rp25.607.175,- sama dengan Rp49.607,175,-. Bahwa benar tergugat II telah
menegur penggugat karena telah menunggak sebanyak 20 kali angsuran yaitu sejak
Juli 1992 s.d. Februari 1994. Berhubung sampai tanggal 1 Maret 1994
penggugat tidak melaksanakan kewajibannya, tergugat II melalui suratnya
meminta secara sukarela menyerahkan barang jaminan mobil kepada tergugat I agar
mobil dijual. Tergugat I tidak pernah mengatakan bahwa uang muka pembayaran
pembelian mobil sebesar Rp5 juta. Karena tuntutan atas kerugian materil dan
moril tidak patut dan tidak beralasan, juga sita jaminan tidak layak untuk dikabulkan
serta putusan dijalankan serta merta tidak ada relevansinya karena
penggugat telah mengakui hutangnya. Dalam rekonpensi, bahwa tergugat
dalarn rekonpensi/penggugat dalam konpensi telah berhutang kepada penggugat
dalam rekonpensi/tergugat I dalam konpensi yang berasal dari pembelian satu unit
mobil Mitsubishi New Eterna 1991. Pembelian mobil tersebut dibiayai dari
fasilitas kredit Bank Bali sesuai denan perjanjian kredit tanggal 10 Juli 1991
sebesar Rp55.500.000,-- Sesuai dengan akta perjanjian kerja sama tanggal 19 Juli
1988 bahwa setiap mobil dari penggugat rekonpensi/tergugat I dalam konpensi
harus membuat perjanjian kredit tersendiri dengan Bank Bali dengan ketentuan
calon pembeli membayar uang muka minimal 20% dari harga mobil. Jumlah
hutang tergugat dalam rekonpensi/ penggugat dalam konpensi sampai tanggal 10
Juli 1994 berikut bunganya sebesar Rp83.805.300,- ditambah denda penalty
sebesar 4% berjumlah Rp22.861.557,- sehingga total berjumlah Rpl06.666.857,-,
Dengan demikian, jumlah hutang tergugat dalam rekonpensi/penggugat dalam
konpensi yang harus dilunasi adalah Rpl06.666.857,- dikurangi Rp25.607.175,-
sama dengan Rp81.059.682,-. Atas keterlarnbatan pembayaran dikenakan
bunga 17% per tahun. Sejak tanggal 10 Juli 1992 tergugat dalam
rekonpensi/penggugat dalam konpensi tidak melaksanakan kewajibanriya dan
jelas merupakan perbuatan rvanprestasi. Untuk menjaga kerugian yang lebih
besar bagi penggugat dalam rekonpensi/tergugat I dalam konpensi mohon
kepada pengadilan untuk meletakkan sita milik atas mobil Mitsubishi New Eterna
Tahun 1991. Mengingat mobil tersebut berada dalam pengusaaan tergugat dalam
rekonpensi/ penggugat dalam konpensi telah mengalami penyusutan dan
dikhawatirkan tidak mencukupi untuk membayar hutang mohon juga
diletakkan sita atas rumah milik tergugat dalam rekonpensi/penggugat dalam
konpensi yang terletak di jalan Malaka No. 88 Medan. Selanjutnya, para pihak
mengajukan replik, duplik dan bukti-bukti.

Berdasarkan hal-hal tersebut, pengadilan memberikan pertimbangan


hukum. Dalam konpensi, dalil gugatan penggugat pada pokoknya mengemukakan
penggugat membeli satu unit mobil Mitsubishi New Eterna Tahun 1991 dari
tergugat dengan mempergunakan fasilitas kredit dari tergugat II dengan harga
Rp55.500.000,-, jangka waku 3 tahun terhitung dari tanggal 10 Juli 1991 s.d. 10
Juli 1994 dengan bunga 17% per tahun dan jumlah angsuran per bulan
Rp2.327.917,- sesuai dengan perjanjian kredit dan pengakuan hutang tanggal 10
Juli 1991. Dengan demikian, harga mobil tersebut berjumlah Rp83.805.300,-.
Dari harga tersebut penggugat telah membayar uang muka Rp24 juta, uang cicilan
Rp31.235.100,- sehingga jumlah seluruhnya Rp55.235.100,-. Yang belum dibayar
Rp28.570.200,-. Terhadap uang muka sebesar Rp24 juta dan telah dibayar sebesar
Rp5.625.925,- tergugat-tergugat tidak mau memperhitungkannya karena uang
muka bukan sebagai cicilan tetapi termasuk harga mobil ditambah fasilitas kredit
yang diperoleh penggugat dari tergugat II, sedangkan untuk cicilan sebesar
Rp5.625.925,- dikatakan tidak diterima. Karena terdapat perbedaan pendapat atas
jumlah tersebut, untuk penyelesaian-nya penggugat tidak melakukan pembayaran
cicilan lanjutan. Akibat tindakan penggugat, tegugat II menegur penggugat dan
meminta mobil untuk diserahkan kembali kepada tergugat I. Bahwa karena
tergugat-tergugat tidak memperhitungkan uang muka dan uang angsuran sebesar
Rp5.627.925,- serta melakukan teguran dan meminta mobil dari penggugat,
penggugat telah dirugikan dan nama baiknya dicemarkan. Perbuatan tersebut
dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.

Dalil-dalil bantahan tergugat-tergugat pada pokoknya adalah


membenarkan bahwa tergugat I menjual satu unit mobil Mitsubishi New Eterna
tahun 1991 kepada penggugat dengan harga Rp79 juta. Uang muka Rp24 juta
telah dilunasi dan telah diterima tergugat-tergugat dan sisanya dibayar dengan
menggunakan fasilitas kredit dari tergugat II. Harga mobil bukan sebesar
Rp55.500.000,-, tetapi sebesar Rp79.500.000,- yakni uang muka Rp24 juta dan
sisanya Rp55.500.000,- sebagai angsuran yang ditentukan dalam surat perjanjian
kerja sama tanggal 19 Juli 1988. Fasilitas kredit sebesar Rp55.500.000,-dipergunakan
untuk pembiayaan mobil yang dibeli penggugat dari tergugat I dan yang telah
diterima tergugat-tergugat baru sejumlah Rp25.607.175,- dan tidak benar
Rp31.235.100,-. Karena penggugat telah menunggak 20 kali angsuran, tergugat II
menegur penggugat untuk membayar hutang dan dengan sukarela menyerahkan
mobil kalau tidak dilunasi. Tergugat II tidak ada melakukan perbuatan melawan
hukum kepada penggugat tetapi penggugat wanprestasi kepada tergugat-
tergugat. Yang menjadi persoalan adalah menurut penggugat harga mobil sebesar
Rp55.500.000 yakni sebesar fasilitas kredit yang diperoleh penggugat dari tergugat II
termasuk bunga 17% per tahun untuk selama 3 tahun sehingga berjumlah
Rp83.805.300,-. Menurut tergugat harga mobil sebesar Rp79.500.000, uang
muka Rp24 juta dan pembayaran cicilan Rp55.500.000,-. Menurut penggugat uang
muka tersebut harus diperhitungkan dan dikurangkan dari hutang penggugat
sebesar Rp83.805.300,- sedangkan menurut tergugat-tergugat, uang muka tidak
termasuk dalam fasilitas kredit yang diperoleh penggugat dari tergugat II tetapi
pembayaran harus sesuai dengan surat perjanjian kerjasama tanggal 9 Juli 1988.
Bahwa telah terbukti uang muka sebesar Rp24 juta tidak termasuk dalam fasilitas
kredit yang diperoleh penggugat dari tergugat II dan uang muka telah dibayar lunas.
Bahwa benar yang didalilkan tergugat-tergugat, fasilitas kredit diperoleh penggugat
dari tergugat II adalah untuk pembiayaan mobil. Dalam persyaratan ditentukan bahwa
calon pembeli yang hendak membeli mobil dari tegugat I harus disetujui oleh tergugat
II dan membuat perjanjian kredit tersendiri. Calon pembeli harus membayar uang
muka minimal 20% dari harga mobil kepada tergugat II. Dari ketentuan ini jelas uang
muka tidak termasuk di dalam fasilitas kredit tetapi merupakan pembayaran
tersendiri. Dengan telah terbukti harga mobil bukan Rp55.500.000,-, tetapi
Rp79.500.000.-. Untuk jumlah cicilan sebesar Rp5.627.925,- tidak terbukti dan
permohonannya untuk memperhitungkan dan mengurangi jumlah tersebut dari
hutangnya tidak dapat diterima. Bahwa karena tergugat tidak terbukti melakukan
perbuatan melawan hukum tetapi penggugatlah yang melakukan wanprestasi dengan
tidak membayar cicilan 20 kali, tuntutan ganti rugi materil dan moril sebesar Rp520
juta tidak dapat dikabulkan dan harus ditolak.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, penggugat belum berhasil


membuktikan dalil-dalil gugatannya sedangkan tergugat-tergugat telah berhasil
membuktikan dalil-dalil bantahannya sehingga gugatan penggugat harus ditolak.

Dalam rekonpensi dipertimbangkan bahwa dalam eksepsi tergugat


rekonpensi mengemukakan dalam pembelian mobil, tergugat rekonpensi tidak
mempunyai hubungan dengan penggugat rekonpensi tetapi hanya berhubungan
dengan tergugat II dalam konpensi. Jadi penggugat rekonpensi tidak berhak
mengajukan gugatan rekonpensi. Mengenai surat kuasa dikatakan bahwa tergugat
I dalam konpensi/penggugat dalam rekonpensi memberikan kuasa kepada Abdul
Aziz, S.H. hanya untuk perkara perdata No. 107/Pdt.G/1994/PN-Mdn dan tidak
untuk rekonpensi. Oleh karena itu, Abdul Aziz, S.H. tidak berhak mengajukan
gugatan rekonpensi. Bahwa gugatan rekonpensi tentang denda penalty sebesar 4%
yang tidak diketahui dari mana sumbernya merupakan gugatan yang kabur.
Dengan alasan tersebut, mohon gugatan rekonpensi ditolak atau tidak dapat
diterima. Atas eksepsi ini, penggugat dalam rekonpensi mengatakan bahwa dalil
eksepsi tersebut tidak beralasan karena fasilitas kredit yang diterima penggugat
dalam konpensi/tergugat dalam rekonpensi tidak terlepas dari perjanjian
kerjasama tanggal 19 Juli 1988. Sejak tanggal 10 Juli 1992 tergugat dalam
rekonpensi tidak pernah melaksanakan kewajibannya, Bank Bali telah mendebet
jumlah angsuran yang telah jatuh tempo dari rekening penggugat rekonpensi.
Karena hutang tergugat rekonpensi/penggugat konpensi telah dibayar penggugat
rekonpensi/tergugat I konpensi, tepat dan beralasan kalau penggugat
rekonpensi/tergugat I konpensi menuntut pembayaran dari tergugat
rekonpensi/penggugat konpensi. Mengenai surat kuasa dikatakan bahwa isinya
dalam/untuk segala tindakan-tindakan lain yang dipandang perlu oleh penerima
kuasa, di dalamnya termasuk mengajukan gugatan rekonpensi. Mengenai denda
penalty telah jelas diuraikan dalam perjanjian kredit tanggal 10 Juli 1991. Dengan
demikian, gugatan tidak kabur dan telah sempurna untuk dasar pemeriksaan
perkara. Oleh karena itu, mohon eksepsi ditolak. Mengenai eksepsi ini, pengadilan
berpendapat bahwa karena telah menyangkut pokok perkara, akan dipertimbang-
kan bersama pokok perkara. Surat kuasa yang diberikan kepada Abdul Aziz
adalah sah karena dalam surat kuasa itu ada ditentukan untuk segala tindakan lain
yang dipandang perlu untuk kepentingan kliennya. Gugatan rekonpensi telah
sempurna karena posita dan petitum saling berkaitan. Karena yang
dipersengketakan adalah isi perjanjian kredit dan pengakuan hutang yang di
dalamnya termasuk denda penalty, hal itu telah berhubungan dan berdasarkan
alasan tersebut, eksepsi tergugat rekonpensi/penggugat konpensi ditolak.

Dalam pokok perkara, karena gugatan rekonpensi erat hubungannya


dengan gugatan konpensi, pertimbangan dalam konpensi menjadi pertimbangan
dalam rekonpensi. Bahwa dalil gugatan rekonpensi mengatakan tergugat
rekonpensi/ penggugat konpensi membeli satu unit mobil Mitsubishi New Eterna
taun 1991. Harga mobil Rp79.500.000,- dengan uang muka Rp24 juta dan sisanya
Rp55.500.000,- dibayar dengan fasilitas kredit yang diperoleh dari tergugat II
dalam konpensi. Sampai tanggal 10 Juli 1994, jumlah hutang yang belum dibayar
tergugat dalam rekonpensi sebesar hutang pokok ditambah bunga Rp83.605.300,-
dan denda penalty sebesar 4% per bulan Rp22.861.557,- sehingga total
Rpl06.666.857,-. Sejak tanggal 10 Juli 1992 tergugat dalam rekonpensi tidak
membayar hutangnya dari berdasarkan Pasal 5 akta kerjasama tanggal 19 Juli
1988, Bank Bali mendebet angsuran yang telah jatuh tempo ke dalam rekening
penggugat rekonpensi. Karena hutang tergugat rekonpensi telah dibayar
penggugat rekonpensi, jumlah hutang tergugat rekonpensi harus dibayar kepada
penggugat rekonpensi. Berdasarkan hal tersebut dimohonkan agar tergugat
rekonpensi dinyatakan wanptestasi dan dihukum membayar hutang
Rp81.059,682,- ditambah bunga 17% per tahun sejak tanggal 10 Juli 1992.

Dalil bantahan tergugat dalam rekonpensi, bahwa yang berhak melakukan


penagihan menurut hukum adalah tergugat II dalam konpensi bukan tergugat I
dalam konpensi/ penggugat dalam rekonpensi. Akibat kerjasama antara tergugat I
dalam konpensi dan tergugat II dalam konpensi yang menimbulkan kerugian bagi
tergugat III dalam konpensi, yang dituntut adalah tergugat II dalam konpensi dan
bukan penggugat dalam konpensi/tergugat dalam rekonpensi. Besarnya hutang
pokok tergugat dalam rekonpensi kepada tergugat III dalam konpensi berjumlah
Rp83.805.300,- yang dicicil Rp2.327.925 per bulan selama 36 bulan. Cicilan yang
telah dibayar adalah Rp25.607.175,- dan bukan Rp31.235.100,-. Sisa hutang yang
belum dibayar Rp58.198.125,-. Pembayaran uang muka adalah panjar dan tidak
termasuk dalam fasilitas kredit pembiayaan mobil yang diperoleh dari tergugat II
dalam konpensi. Denda penalty sebesar Rp22.861.557,- yang diperjanji-kan dalam
akta perjanjian kredit tidak dapat mengabulkannya karena pinjaman kredit telah
dfkenai bunga 17% per tahun selama 3 tahun. Tidak patut dan adil untuk
membebani denda penalty sedangkan hutang penggugat dalam konpensi belum
dapat dilunasi.

Agar hutang tergugat rekonpensi tidak membengkak, ketika terjadi


wanprestasi terhadap isi perjanjian kredit dan pengakuan berhutang seharusnya
penggugat dalam rekonpensi menegur dan mengajukan gugatan dan tidak
menunggu tergugat dalam rekonpensi mengajukan gugatan seperti dalam
konpensi. Bahvva penggugat dalam rekonpensi telah membayar hutang ke Bank
Ball, penggugat rekonpensi berhak menuntut tergugat rekonpensi untuk
membayar hutang tersebut. Hutang tersebut berjumlah Rp58.198.125 dengan
bunga 17% per tahun dapat dikabulkan sejak tanggal 10 Juli 1994 sampai hutang
dibayar lunas. Dengan demikian, sita jaminan dan sita milik yang telah diletakkan
sesuai dengan berita acara tanggal 6 Juli 1994 karena beralasan dapat dikuatkan.
Terhadap putusan serta merta karena didukung oleh bukti otentik dan agar
penggugat rekonpensi dapat memutar kembali uangnya sebagai seorang
pengusaha dapat dikabulkan. Oleh karena itu, gugatan rekonpensi dapat
dikabulkan sebagian dan membebankan ongkos perkara kepada tergugat
rekonpensi.

Pengadilan memutuskan bahwa menolak gugatan gugatan konpensi


seluruhnya. Dalam rekonpensi, menolak eksepsi tergugat dalam rekonpensi
untuk seluruhnya. Dalam pokok perkara, menggabulkan gugatan rekonpensi untuk
sebagian yakni menyatakan sah dan berharga sita milik dan sita jaminan yang
telah diletakkan berdasarkan berita acara sita tanggal 6 Juli 1994, menyatakan
tergugat dalam rekonpensi/penggugat dalam konpensi telah melakukan
wanprestasi, menghukurri tergugat dalam rekonpensi/penggugat dalam konpensi
untuk membayar hutangnya kepada penggugat dalam rekonpensi/ tergugat II
dalam konpensi sebesar Rp58.198.125,- ditambah bunga 17% per tahun sejak
tanggal 10 Julii 1994 sampai hutang dibayar lunas, menghukum tergugat dalam
rekonpensi untuk membayar ongkos perkara baik dalam pada konpensi maupun
rekonpensi sebesar Rpl20.500,- dan menyatakan putusan dapat dijalankan terlebih
dahulu walaupun ada perlawanan, banding dan kasasi.
Dalam tingkat banding, kasus tersebut dapat dilihat pada putusan Pengadilan
Tinggi Medan dalam perkara P.T. Sumatera Beriian Motors v. Maruli H.T.T,
Pardede; Bank Ball; Reny Helena Hutagalung, No. 396/Pdt/1995/PT-Mdn,
tanggal 20 Juni 1996.

Memperhatikan dan mengutip salinan resmi putusan PN Medan No.


60/Pdt.Plw/1994/PN-Mdn, tanggal 20 Juni 1995 yang amarnya berbunyi pertama,
mengabulkan gugatan perlawanan (verzet) pelawan tesebut untuk sebagian.
Kedua, menyatakan demi hukum bahwa pelawan adalah pelawan yang baik.
Ketiga, menyatakan demi hukum bahwa sita milik dan sita jaminan yang
diletakkan berdasarkan penetapan PN Medan No. 107/Pdt.G/1994/PN-Mdn
tanggal 30 Mei 1994 tidak sah dan tidak berharga yaitu sita yang dimaksud dalam
berita acara sita milik No. 107/Pdt.G/1994/PN-Mdn tanggal 6 Juni 1994 atas satu
unit mobil Mitsubshi New Eterna 1991 yang telah dibeli Reny Helena Hutagalung
(terlawan III/terbanding III) dari P.T. Sumatera Beriian Motors (terlawan
I/pembanding) dan merupakan harta bersama Maruli H.T.T. Pardede
(pelawan/terbanding I) dengan terlawan III/terbanding III. Demikian juga, sita
jaminan atas satu pintu rumah tempat tinggal terletak di jalan Malaka No. 88 yang
merupakan harta bersama antara pelawan dengan terlawan III yang telah terlebih
dahulu diletakkan sita atas objek yang sama. Keempat, memerintah sita milik dan
sita jaminan tersebut untuk dicabut dan diangkat kembali. Kelima, menghukum
terlawan-terlawan membayar ongkos perkara sebesar Rp57.100 secara tanggung
renteng. Keenam, menolak perlawanan pelawan selebihnya.

Pengadilan memberikan pertimbangan hukum bahwa permohonan banding


yang diajukan terlawan I masih dalam tenggang waktu dan menurut cara undang-
undang, sehingga permohonan banding dapat diterima. Setelah membaca acara
persidangan, alat-alat bukti serta pertimbangan hukum PN Medan yang dibanding,
Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan hukum dan
putusan Pengadilan Negeri yang dibanding telah tepat dan benar menurut hukum
yang berlaku, kemudian Pengadilan Tinggi mengambil alih pertimbangan-
pertimbangan hukum PN Medan tersebut sebagai pertimbangannya sendiri,
sehingga putusan dapat dikuatkan. Karena terlawan I/pembanding sebagai pihak
yang kalah, patut dihukum untuk membayar biaya perkara.

Pengadilan memutuskan bahwa menerima permohonan banding dari


terlawan I/pembanding, menguatkan putusan PN Medan No.60/Pdt.Plw/1994/PN-
Mdn tanggal 20 Juni 1995 dan menghukum terlawan I/pembanding untuk
membayar biaya perkara sebesar Rp25.000,-.

Selanjutnya, di tingkat kasasi dapat dilihat pada putusan Mahkamah


Agung dalam perkara P.T. Sumatera Berlian Motors v. Maruli H.T.T. Pardede;
Bank Ball; Reny Helena Hutagalung, No. 3935 K/Pdt/1996, tanggal 14 Maret
2000.

Maruli H.T.T. Pardede (termohon kasasi, dahulu pelawan/ terbanding),


Bank Bali (turut termohon kasasi, dahulu terlawan II/terbanding II) dan Reny
Helena Hutagalung (turut termohon kasasi, dahulu terlawan III/terbanding III)
telah mengajukan perlawanan terhadap sita jaminan No. 1207/Pdt.G/1994/PN-
Mdn tanggal 30 Mei 1994, sekarang P.T. Sumatera Berlian Motors (pemohon
kasasi, dahulu terlawan I/pembanding) mengemukakan dalil-dalil bahwa dalam
perkara No. 107/ Pdt.G/1994/PN-Mdn dalam rekonpensi telah dimohonkan
peletakan sita jaminan oleh terlawan I yaitu sita milik atas satu unit mobil
Mitsubishi New Eterna dan sita jaminan atas satu pintu rumah tempat tinggal
terletak di jalan Malaka No. 88 Medan. Bahwa sita milik tersebut adalah tidak sah
karena mobil tersebut telah dibeli oleh terlawan III dari terlawan I dengan
mempergunakan fasilitas kredit dari terlawan II berdasarkan surat pengakuan
hutang tanggal 10 Juli 1991. Terhadap sita jaminan atas rumah tersebut juga tidak
sah dan tidak berharga karena objek sengketa berdasarkan penetapan PN Medan
No.332/Pdt.G/1991/PN-Mdn tanggal 13 November 1991 jo sita jaminan tanggal
14 November 1991 dalam perkara antara Bank Surya Nusantara melawan Maruli
H.T.T. Pardede (pelawan dalam perkara ini dan sita belum dicabut, sedangkan
perkaranya masih dalam proses di Mahkamah Agung.

Kedua barang sita itu adalah harta bersama antara pelawan dengan
terlawan III yang terikat dalam perkawinan yang sah. Oleh karena itu, pelawan
mohon kepada PN Medan untuk mengambil putusan dalam provisionil seperti
tersebut dalam surat gugatan perlawanan serta memberikan putusan, pertama,
mengabulkan gugatan perlawanan (verzet) pelawan tesebut untuk seluruhnya.
Kedua, menyatakan demi hukum bahwa pelawan adalah pelawan yang baik.
Ketiga, menyatakan demi hukum bahwa sita milik dan sita jaminan yang
diletakkan berdasarkan penetapan PN Medan No. 107/Pdt.G/1994/PN-Mdn
tanggal 30 Mei 1994 tidak sah dan tidak berharga serta harus diangkat/dicabut
kembali yaitu sita yang dimaksud dalam berita acara sita milik No.
107/Pdt.G/1994 PN-Mdn tanggal 6 Juli 1994 atas satu unit mobil Mitsubishi New
Eterna 1991 yang telah dibeli Reny Helena Hutagalung (terlawan III/ terbanding
III) dari P.T. Sumatera Berlian Motors (terlawan I/ pembanding) dan merupakan
harta bersama Maruli H.T.T. Pardede (pelawan/terbanding I) dengan terlawan III/
terbanding III. Demikian juga, sita jaminan atas satu pintu rumah tempat tinggal
terletak di jalan Malaka No. 88 yang merupakan harta bersama antara pelawan
dengan terlawan III yang telah terlebih dahulu diletakkan sita atas objek yang
sama. Keempat, menyatakan demi hukum bahwa sita milik dan sita jaminan dalam
perlawanan ini harus diperintahkan untuk dicabut dan diangkat kembali. Kelima,
menghukum terlawan-terlawan membayar ongkos perkara. Keenant, menyatakan
putusan dalam perkara ini dapat dijalankan secara serta merta walaupun ada
banding atau kasasi. Ketujuh, mohon putusan yang seadil-adilnya.

Bahwa terhadap gugatan tersebut PN Medan telah mengambil putusan No.


60/Pdt.Plw/1994/PN-Mdn tanggal 20 Juni 1995 yang amarnya berbunyi pertama,
mengabulkan gugatan perlawanan (verzet) pelawan tesebut untuk sebagian.
Kedua, menyatakan demi hukum bahwa pelawan adalah pelawan yang baik.
Ketiga, menyatakan demi hukum bahwa sita milik dan sita jaminan yang
diletakkan berdasarkan penetapan PN Medan No. 107/Pdt.G/1994/PN-Mdn
tanggal 30 Mei 1994 tidak sah dan tidak berharga yaitu sita yang dimaksud dalam
berita acara sita milik No. 107/Pdt.G/1994 PN-Mdn tanggal 6 Juli 1994 atas satu
unit mobil Mitsubishi New Eterna 1991 yang telah dibeli Reny Helena
Hutagalung (terlawan III/terbanding HI) dari P.T. Sumatera Berlian Motors *
(terlawan I/pembanding) dan merupakan harta bersama Maruli H.T.T.
Pardede (pelawan/terbanding I) dengan terlawan III/terbanding III. Demikian
juga, sita jaminan atas satu pintu rumah tempat tinggal terletak di jalan Malaka
No. 88 yang merupakan harta bersama antara pelawan dengan terlawan III
yang telah terlebih dahulu diletakkan sita atas objek yang sama. Keempat,
memerintah sita milik dan sita jaminan tersebut untuk dicabut dan diangkat
kembali. Kelima, menghukum terlawan-terlawan membayar ongkos perkara
sebesar Rp57.100,- secara tanggung renteng. Keenam, menolak perlawanan
pelawan selebihnya.

Putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan terlawan


I/pembanding telah dikuatkan oleh PT Medan dengan putusannya No.
396/Pdt/1995/PT-Mdn tanggal 20 Juni 1996.

Bahwa keberatan-keberatan yang diajukan pemohon kasasi dalam


memori kasasi pada pokoknya adalah periama, judex facile telah melakukan
kesalahan atas dilaksanakannya sita jaminan dan sita milik terhadap harta-harta
milik turut termohon kasasi II/terlawan III dalam berita acara sita jaminan
No.l07/Pdt.G/1994/PN-Mdn tanggal 6 Juni 1994, karena judex factie telah
mempertimbangkan eksepsi ke dalam pokok perkara tanpa memisahkan satu
sama lain. Kedua, dalam menetapkan hukum pembuktian, judex factie telah
pula bertentangan dengan yurisprudensi MARI No. 305 K/Sip/1971 tanggal 16
Juni 1971 yang menyatakan bahwa penggugatlah yang berwenang untuk
menentukan siapa-siapa yang akan digugatnya. Sejalan dengan yurisprudensi
MARI No. 2823 K/Pdt/1992 tanggal 18 Juli 1994 yang menyatakan ".... karena
wewenang menentukan siapa-siapa yang akan digugat ialah para penggugat. Jadi,
judex factie telah memberikan keputusan hukum vang telah melampaui
wewenang. Ketiga, judex factie telah melanggar ketentuan Pasal 206 ayat (6) Rbg,
serta pedoman pelaksanaan tugas administrasi dan pengadilan buku II MARI
April 1994.

Pasal 206 ayat (6) Rbg mengatakan bahwa perlawanan terhadap pihak
ketiga terhadap sita conservatoir, sita revindicatoir dan sita eksekusi hanya dapat
diajukan atas dasar hak milik. Jadi, hanya dapat diajukan oleh pemilik atau orang
lain yang merasa bahwa ia adalah pemilik barang yang disita dan diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang secara nyata menyita. Oleh karena itu, judex factie
telah salah dimana mengabulkan perlawanan dari termohon kasasi/pelawan,
seharusnya harta bersama selalu dijaminkan untuk membayar hutang istri atas
suami yang terjadi dalam perkawinan yang ditanggung secara bersama. Keempat,
bahwa Pengadilan Tinggi Medan dengan serta merta menguatkan pertimbangan
serta putusan PN Medan tanpa mempertimbangkan kembali secara keseluruhan
bukti-bukti dari pemohon kasasi/terlawan I.

Mengenai keberatan-keberatan pertama, kedua, ketiga dan keeempat, tidak


dapat dibenarkan, karena judex factie tidak salah menerapkan hukum.
Berdasarkan apa yang dipertimbangkan di atas, lagi pula dari sebab itu i dak
ternyata bahwa putusan judex factie dalam perkara ini bertentangan dengan
hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh
pemohon kasasi P.T. Sumatera Berlian Motors harus ditolak.

Mahkamah Aguhg memutuskan bahwa menolak permohonan kasasi dari


pemohon kasasi P.T. Sumatera Berlian Motors dan menghukum pemohon kasasi
untuk membayar biaya perkara sebesar Rp50 ribu.
Dari uraian putusan-putusan di atas dapat disimpulkan bahwa benda jaminan
fidusia yang diperoleh selama perkawinan dapat dijadikan jaminan hutang kepada
bank dengan persetujuan dari suami atau istri. Dalam praktik bank, apabila suami
atau istri hendak meminjam kredit dengan menjaminkan harta benda bersama,
harus mendapat izin dari salah satu pihak. Izin tersebut diberikan secara tertulis.
Tujuannya agar ketika bank akan melelang benda jaminan, salah satu pihak suami
atau istri tidak melakukan perlawanan.
K. PENJUALAN BENDA JAMINAN FIDUSIA SECARA DI BAWAH
TANGAN

Dalam UUJF,64) ditentukan bahwa cara melakukan eksekusi jaminan fidusia


adalah pertama, pelaksanaan titel eksekutorial; kedua, penjualan benda jaminan
berdasarkan parate eksekusi dan ketiga, penjualan benda jaminan fidusia secara di
bawah tangan. Dalam hal benda jaminan dijual secara di bawah tangan, undang-
undang memberikan persyaratan bahwa pelaksanaan penjualan dilakukan setelah
lewat waktu atau bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan
penerima fidusia kepada pihak-pihak berkepentingan dan liumumkan sedikit-
dikitnya dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.

Ratio yuridis penjualan benda jaminan fidusia secara di bawah tangan


adalah untuk memperoleh biaya tertinggi dan menguntungkan kedua belah pihak.
Oleh karena itu, perlu kesepakatan antara debitur dengan kreditur tentang cara
menjual benda jaminan fidusia. Misalnya, apakah yang mencari pembeli adalah
debitur atau kreditur. Uang hasil penjualan diserahkan kepada kreditur untuk
diperhitungkan dengan hutang debitur. Kalau ada sisanya, uang tersebut
dikembalikan kepada debitur pemberi fidusia, tetapi jika tidak mencukupi untuk
melunasi hutang, debitur tetap bertanggung jawab untuk melunasi hutangnya.

Kasus jaminan fidusia yang debiturnya wanprestasi dan agar benda


jaminan dijual di bawah tangan atas permintaan debiturnya dapat dilihat pada
putusan Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Bank Dagang Nasional
Indonesia v. Soekarsa dan Joeskawati, No. 375/Pdt.G/1992/PN-Mdn, tanggal 31
Januari 1994.

Soekarso (tergugat I) berhutang kepada Bank Dagang Nasional Indonesia


(penggugat) sebesar Rp60 juta dengan bunga 15% per tahun sesuai dengan
perjanjian kredit No. 024/ KMK/00.115.0.0066.8/1990 jo Grosse akta pengakuan
hutang No. 410 tanggal 30 Maret 1990. Hutang tergugat I pertanggal 4 Juni 1991
telah berjumlah sebesar hutang pokok Rp81.287.835,-dan bunga Rp9.793.100,-
sehingga berjumlah Rp.91.080.935,-.

Sebagai jaminan tergugat I memberikan tanah hak pakai No. 666 luas 236
m2 dijalan Kalimantan No. 9B Medan, jaminan ini diserahkan oleh tergugat II
kepada penggugat sesuai dengan akta pemberian jaminan No. 411 tanggal 30
Maret 1990. Selain itu, diserahkan jaminan fidusia berupa satu unit mesin offset,
sesuai dengan kuitansi No 145/X/86, tanggal 29 Oktober 1986. Jaminan fidusia
ini diserahkan tergugat I kepada penggugat berdasarkan akta pengikatan jaminan
berupa penyerahan hak milik secara kepercayaan No. 413 tanggal 30 Maret 1990.
Jangka waktu pelunasan hutang telah berakhir, tetapi tergugat I tidak memenuhi
kewajibannya membayar hutang pokok dan bunga, dengan demikian tergugat I
telah wanprestasi. Selain hutang tersebut, tergugat I harus membayar biaya
penagihan bagi kuasa penggugat sesuai dengan Pasal 6 dari grosse akta pengakuan
64
Pasal 29 ayat (1) UUJF
hutang No. 410, tanggal 30 Maret 1990. Untuk menjamin tuntutan penggugat
diperlukan sita jaminan atas benda tak bergerak dan sita milik atas jaminan
fidusia. Tergugat II telah meninggal dunia tanggal 11 September 1990, sesuai
dengan kutipan akta kematian No. 444/ 1990 dengan ini kedudukan tergugat II
beralih pada ahli waris dari tergugat II. Dalam jawaban tergugat I tidak
membantah isi gugatan dan tergugat II tidak hadir. Bahkan, tergugat mohon agar
barang jaminan cepat dijual dan sisanya dikembalikan kepada tergugat I.
Selanjutnya, penggugat mengajukan surat-surat bukti.

Pengadilan memberikan pertimbangan hukum bahwa tergugat-tergugat


tidak mengajukan bantahan, tetapi mohon agar jaminan hutang tergugat kepada
penggugat dapat dijual di bawah tangan untuk menutupi hutangnya. Oleh karena
itu, tergugat telah mengakui dalil-dalil penggugat. Dengan bukti dan pengakuan
tergugat, penggugat dapat membuktikan gugatannya. Karena tergugat I telah
wanprestasi, hams membayar hutang sebesar Rp91.080.935,- dengan bunga 15%
per tahun. Sesuai dengan perjanjian tergugat I dan penggugat tergugat I harus
membayar biaya penagihan sebesar 6% dari jumlah hutang pokok. Kepada ahli
waris tergugat II harus mematuhi isi dari perjanjian ini dan putusan dapat
dijalankan dengan serta merta,

Pengadilan memutuskan bahwa mengabulkan gugatan penggugat untuk


sebagian, menyatakan sah dan berharga sita jaminan, menyatakan tergugat I
wanprestasi, menghukum tergugat I membayar hutang kepada penggugat sebesar
Rp90.080.935 berikut bunga 15% per tahun sejak tariggal 5 Juni 1992 sampai
hutang lunas, menghukum tergugat I membayar ongkos tagih 6% kepada
penggugat, menghukum tergugat I membayar ongkos perkara sebesar Rpl90 ribu,
menghukum ahli waris tergugat II mematuhi putusan ini dan menyatakan putusan
ini dapat dijalankan serta merta.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman dan Syamsul Wahidin, Beberapa Catatan Tentang Hukum


Jaminan dan Hak-Hak Jaminan Atas Tanah
(Bandung: Alumni, 1989). Adiwinata, Saleh, Istilah Hukum Latin - Indonesia,
Qakarta:
Intermasa, 1977). Algra, N.E. dan K. Van Duyvendijk, Mulct Hukum, (Jakarta:
Binacipta, 1983). Amirin, Tatang, Pokok-Pokok Teori Sistem, Qakarta: Rajawali,
1986). Amershah, Basrah, Materi Inti Kuliah Filsafat Hukum, (Medan:
Fakultas Hukum USU, 1985). Andasasmita, Komar, Hukum Apartemen
Rumah Susun,
(Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat, 1986).
Anderson, Ronald. A; Ivon Fox; David P.T. Oney, Business Law,
(Cincinnati Ohio: South Western Publishing Co, 1984). Asser's, C, Handleiding
Tot De Beofening Van Het Nederlands
Burgerlijk Recht, Zakenrecht Zekerheidsrechten, (Zwolle: W.E.J.Tjeenk
Willink, 1986).
————, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, Bagian
Umum, (Terjemahan: Siti Soemarti Hartono), (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1992).
Badrulzaman, Mariam Darus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional (Bandung:
Alumni, 1997).
——, Suatu Pemikiran Mengenai Bebempa Asas Hukum yang Perlu Diperhatikan
dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Kertas Kerja dalam Simposium
Pembaha-ruan Hukum Perdata, (Jakarta: BPHN, 1981).
——, Kompilasi Hukum Perikatan, dalam Rangka Menyambut Masa Purnabakti
Usia 70 Tahun, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001).
——, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Alumni, 1989).
—, Hak Mendirikan dan Memiliki Bangunan di Atas Tanah Orang Lain Dapat
Dijaminkan dengan Hipotik, Makalah dalam Seminar Hukum Jaminan
1978 di Yogyakarta, (Jakarta: BPHN - Binacipta, 1981).
—, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia (Bandung: Alumni,
1984).
______, Permasalahan Mengenai Hak Mendirikan dan Memiliki Bangunan di
Atas Tanah Orang Lain dalam Kaitannya dengan Hipotik", Himpunan
Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Perdata Tahun 1982/1983 dan
1983/1984 (Jakarta: BPHN, 1985).
_______, Bab-Bab Tentang Hypotheek, (Bandung: Alumni, 1986).
_______,Mengatur Jaminan Fidusia dengan Undang-undang dan Penempan
Sistem Pendaftaran", Makalah dalam Seminar tentang Sosialisasi RUU
Jaminan Fidusia, diseleng-garakan oleh Ellips, Jakarta 1999.
—, Beberapa Permasalahan Hukum Jaminan, Makalah dalam Seminar Sosialisasi
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia,
BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI Bekerjasama
dengan P.T. Bank Mandiri (Persero), Jakarta 09-10 Mei 2000.
———-, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994).
———-, Penelitian Tentang Perjanjian Sewa Beli, Jwl Beli dan Leasing,
Makalah dalam Simposium Bab-bab Kodifikasi Hukum Perdata, BPHN,
Jakarta tanggal 1 Maret 1998.
————, Menuju Hukum Perikatan, (Medan: Fakultas Hukum USU, 1986).
———, Benda-benda yang Dapat Diletakkan Sebagai Objek Hak Tanggungan,
Makalah dalam Seminar Nasional Sehari Persiapan Pelaksanaan Hak
Tanggungan di Lingkungan Perbankan, Medan, 25 Juli 1996.
Bank BNI, Hukum Pengikatan Agunan dan Penanggungan Hutang, Gakarta,
1994).
Bank Indonesia, Bahasan Tentang RUU Hak Tanggungan, Makalah dalam
Seminar Nasional Hukum Agraria ke-3, Medan, 1990.
Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 2001).
Black, Henry Campbell, Black's Law Dictionary, Definitions of The Terms and
Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern
(St. Paul. Minn: West Publishing Co, 1991).
BPHN, Seminar Hipotek dan Lembaga-Lembaga Jaminan Lainnya, (Bandung:
Binacipta, 1981).
————, Seminar Hukum Jaminan Tahun 1978 (Bandung:
Binacipta, 1981). Bradbrook, Adrian. J., Australian Real Property Law, (Sydney:
The Law Book Company Limited, 1991). Brahn, O.K., Fiduciaire Stille
Vervanding en Eigendomsvoorbehoud
Naar Huiding en Komendrecht (Den Haag: Tjeenk
Willink B.V, Zwolle, 1988). Bruggink, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, Alih
Bahasa Arief
Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996). Carvan, J.J., Cs, A Guide To
Business Law, (Sydney: LBC
Information Service, 1997). Charlesworth's, Mercantile Law, (London: Stevens &
Sons, 1977).
Corley, Robert. N, Principles of Business Law, (New Jersey,
Englewood Cliffs: Prentice Hall Inc, 1971). Dainow Joseph, The Civil Law And
The Common Law: Some Points
of Comparison. Dijk, Van, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Terjemahan: A.
Soehardi), (Bandung: S'Gravenhage, Tanpa Tahun). Dirdjosisworo Soedjono,
Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1988).
Donnel, John. D; A. James Barnes; Michael B. Metzger, Law For Business,
(Homewood, Illinois: Richard D.Irwin, 1983). Ehrmann, Henry W, Cita
Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi
Globalisasi, Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi,
(Jakarta: Candra Pratama, 1999).
Ewan McKendrick, Contract Law, (London: The Macmillan Press Ltd, 1990).
Farmer, James, Creditor and Debtor Law in Australia & New Zealand,
(New South Wales: CCH Australia Limited, 1983).
Fisher, Bruce D. dan Marianne Moody Jennings, Law for Business, (New York:
West Publishing Company, 1986).
Fleming, Andrew, Canadian Common and Civil Law: A Study In
Convergence, (Interntional Business Lawyer, 1997). Friedmann, Lawrence M.
American Law, (New York - London:
W.W. Norton & Company, 1984). Garis-garis Besar Haluan Negara 1999 - 2004,
Tap MPR IV/
MPR/1999, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999). Gautama, Sudargo, "Pengakuan
Fidusia dalam Penmdang-undangan di Indonesia", Varia
Peradilan, Majalah Hukum No. 30, (Jakarta: IKAHI, 1988).
Gautama, Sudargo dan Budi Harsono, Agrarian Law Survey of Indonesian
Economic Law, (Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan
Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 1972).
Gautama, Sudargo dan Ellyda T. Soetiyarto, Komentar Atas Peraturan-Peraturan
Pelaksanaan Undang-undang Pokok-Agraria (1996), (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1997).
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Buku IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978).
Haanappel, P.P.C. dan Ejan Mackaay, Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek
Het Vermogensrecht, (Boston -Deventer: Kluwer Law and Taxation
Publisher, 1990).
Harsono, Boedi, Masalah Hipotik dan Credietverband, Seminar Tentang Hipotik
dan Lembaga-lembaga Jaminan Lainnya, (BPHN: Binacipta, 1981).
————, Undang-Undang Pokok Agraria, Bagian Pertama, Jilid II, (Jakarta:
Djambatan, Tanpa Tahun).
———, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 1999).
Hartono, Sunaryati, Beberapa Pemikiran ke Arah Pembaharuan Hukum Tanah,
(Bandung: Alumni, 1978).
————, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Binacipta, 1982).
————, Capita Selekta Perbandingan Hukum, (Bandung: Alumni, 1982).
————, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung:
Alumni, 1994).
————, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional (Materi Hukum, Proses
dan Mekanism ) dalam PJP II, Makalah dalam Seminar Akbar 50 Tahun
Pembinaan Hukum Sebagai Modal Bagi Pembangunan Hukum Nasional
dalam PJP II, BPHN, Departemen Kehakiman, Jakarta, 1995.
Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain
yang Melekat pada Tanah dalam Kosepsi Penerapan Asas Pemisalwn
Herisontal, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996).
———, Hak Tanggungan Implikasinya Terhadap Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah, Journal Hukum Bisnis, Vol. 1,1997.
Hatta, Sri Gambir Melati, Beli Sewa Sebagai Jaminan Perjanjian Tak
Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Makhkamah
Agung Indonesia, (Bandung: Alumni, 1999). Howard Davies dan
David Holdcroft, Jurisprudence: Texts and
Commentary (London: Butterworth, 1991). Hutagalung, Arie S, Eksekusi
Jaminan Fidusia Menurut Undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia (Suatu Analisis Yuridis Praktis untuk Mengantisipasi
Efektivitasnya), Majalah Hukum Trisakti No. 33/ Tahun
XXIV/Oktober, 1999. Idham, Anis, Pranata Jaminan Kebendaan
Hipotik Kapal Laut,
(Bandung: Alumni, 1995). Isnaeni, Moch, Hipotek Pesawat Udara di Indonesia,
(Surabaya:
Dharma Muda, 1996).
Juniadi, Ridzki, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Makalah dalam
Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia, BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undang-an
RI, Bekerjasama dengan P.T. Bank Mandiri (Persero), Jakarta 09-10 Mei
2000.
Kamello, Tan, Tanah Belum Bersertifikat Sebagai Jaminan Kredit dalam
Praktek Bank di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, (Tesis,
1992).
————, Hukum Bisnis Masalah Hukum Perbankan, Perkreditan dan Jaminan,
Kumpulan Kertas Kerja Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH (Seri
I), (Medan: Fakultas Hukum USU, 1998).
———, Laporan Penelitian Analisis Perjanjian Kredit dengan Jaminan
Rumah yang Dibeli dari Perumnas di Kotamadya Medan, 1994.
————, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan
Menjadi Undang-undang, (Medan: Fakultas Hukum USU, 1998).
———, Undang-undang Tentang Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia,
(Medan: Fakultas Hukum USU, 2000).
———, Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Hukum
Perbankan, (Medan: Fakultas Hukum USU, 2000). Kartohadiprodjo,
Soediman, Hukum Nasional Beberapa Catatan,
Cakarta: Binacipta, 1978). Keraf, A Sonny, Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik
Pribadi,
(Yogyakarta: Kanisius, 1997). Kim, Hyung I., The Development of Chinese
Conceptions of Law To The End ofHan Dynasty in Fundamental
Legal Concepts ofChina and The West A Comaprative Study,
(London: Kennikat Press, 1981). Kleyn, W.M., Pengakuan Atas
Milik Fidusiyer Sebagai Jaminan,
Compendium Hukum Belanda (Tanpa Tahun).
———, Ikhtisar Hukum Benda Belanda, Compendium Hukum Belanda,
(Gravenhage: Yayasan Kerjasama Ilmu Hukum Indonesia-Negeri
Belanda, 1978).
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat Jakarta:
Gramedia,1986).
Kusumaatmadja, Muchtar, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,
(Bandung: Binacipta, 1986).
———, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, (Bandung: Binacipta, Tanpa Tahun). Lash, Nicholas A, Banking Laws
and Regulations An Economic
Perspective, (United State: Prentice Hall, Inc., 1987). Lawrence, M.
Friedmann, American Law, (New York - London:
W.W. Norton & Company, 1984). Lerner, Daniel, Memudarnya
Masyarakat Tradisianil, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1978). Lev, Daniel S, Hukum dan
Politik Hukum di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan,
(Jakarta: LP3ES, 1990).
Murdick, Robert G. dan Joel E. Ross, Information System for Modern
Management, (New Delhi: Prentice-Hall of India, 1982).
Nasikun, Hukum dalam Paradigma Sistem Sosial, (Editor: Artidjo Alkostar,
Identitas Hukum Nasional), (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997).
Nazir, Mohd, Metode Penelitian 0akarta: Ghalia Indonesia, 1988).
Nugroho, Pembahasan Kertas Kerja, Pengaturan Hukum Tentang Hipotik,
Kreditverband dan Fiducia, Seminar Hukum Jaminan 1978, (Jakarta: BPHN-
Binacipta, 1981),
Parlindungan, A.P., Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung:
Mandar Maju,1991).
———, Komentar Undang-undang Hak Tanggungan dan Sejamh
Terbentuknya, (Bandung: Mandar Maju, 1996).
———-, Konsep RUU Hak Tanggungan dan Gadai, Seminar Nasional Agraria,
Medan, 1990.
———, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1990).
—-——, Berakhirnya Hak-hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA, (Bandung:
Mandar Maju, 1989).
————-, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform, Bagian
I, (Bandung: Mandar Maju, 1989). Paton, George Whitecross, A Text Book of
Jurisprudence, Second
Edition, (Oxford: At The Clarendon Press, 1951). Pitlo, Het Zakenrecht Met
Verwijzing Naar Het N.B.W, deel 2,
(Arnhem: S. Gouda Quint - D. Brouwer En Zoon,
1980).
-———, Het Systeem Van het Nederlandse Privaatrecht, bewerkt door
P.H.M. Gerver, H. Sorgdrager, R.H.H. Stutterheim, T.R.
Hidma, (Arnhem: Gouda Quint - D.
Brouwer en Zoon, 1995). Plonger, Hendrik Dirk, Horizontal Splitsing Van
Eigendom, (Kluwer-Deventer, Proefschrift, 1997).
Poespoprodjo, W, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek,
(Bandung: Remaja Karya, 1986). Poespoprodjo, W dan T. Gilarso,
Logika Ilmu Menalar, (Bandung:
Remadja Karya, 1985). Popper, Karl. R, Masyarakat Terbuka dan Musuh-
musuhnya,(Penerjemah: Uzair Fauzan), (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002). Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (diterjemahkan:
Mohammad Radjab, (Jakartra: Bhratara Karya Aksara,
1982). Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Marthalena Pohan, Bab-Bab
Tentang Hukum Benda, (Surabaya: Bina Ilmu, 1991). Prasadja, Ratnawati W,
Pokok-Pokok Undang-undang No. 42
Tahun 1999, Tentang Jaminan Fidusia, Majalah Hukum
Trisakti No. 33/Tahun XXIV/Oktober, 1999. Prasodjo, Ratnawati W, Pokok-
Pokok Undang-undang Nomor 42
Tahun 1999, Tentang Jaminan Fidusia, Majalah Hukum
Trisakti, Nomor 33/Tahun XXIV/Oktober/1999. Prodjodikoro Wiryono, Hukum
Perdata Tentang Persetujuan-
Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur, 1981).
———, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, (Jakarta:
Intermasa, 1986). Proyek Pembinaan Tehnis Yustisial Mahkamah Agung - R.I,
Pustaka Peradilan, Jilid I, (Jakarta, 1994). Purnadi Purbacaraka dan Soerjono
Soekanto, Perundang-
undangan dan Yurisprudensi, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1993). Puspa, Yan Paramudya, Kamus Hukum Bahasa Belanda,
Indonesia,
Inggris, (Semarang: Aneka Ilmu, 1977). Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum,
(Bandung: Alumni, 1986).
————, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1984). Rajagukguk,
Erman, Transaksi Berjaminan dalam Berbagai
Putusan Pengadilan di Indonesia, Hukum Jaminan
Indonesia, Qakarta: ELIPS, 1998).

Anda mungkin juga menyukai