Menurut sejarah hukum jaminan fidusia dan pendapat para ahli hukum
antara lain Pitlo dan A. Veenhoven bahwa pada prinsipnya semua benda baik
benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang dapat diserahkan I hak
miliknya kepada orang lain dapat pula diserahkan hak miliknya secara
kepercayaan sebagai jaminan hutang melalui / lembaga fidusia. Namun, karena
benda tidak bergerak sudah ada lembaga jaminannya tersendiri yaitu hipotik atau
hak tanggungan, hal tersebut tidak dimungkinkan dijaminkan melalui
lembaga fidusia. Pertanyaan yang muncul adalah apakah pendapat tersebut
rnasih dapat dipertahankan sampai sekarang? Secara teoretis, pandangan tersebut
sampai saat ini masih relevan serta mendapat dukungan dari Mahkamah
Agang dan hukurrt positif. Ada alasan untuk memperkuat pendapat tersebut
yakni: pertama, setiap benda tanah dan bukan tanah karena sifatnya bergerak atau
tidak bergerak yang secara yuridis dapat diserahkan kemiltkannya kepada orang
lain dapat juga diserahkan sebagai jaminan hutang melalui jaminan fidusia. Jadi,
yang ditekankan di sini adalah segi karakter penyerahan benda itu. Kedua, karena
tanah sudah mendapat pengaturan hak jaminannya lewat lembaga hak
tanggungan, lembaga jaminan fidusia tidak dimungkinkan untuk itu. Pengikatan
tanah sebagai objek hak tanggungan memiliki pembatasan yaitu tanah-tanah yang
sudah memiliki buktr hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak
pakai1) Terhadap tanah yang belum bersertifikat atau belum terdaftar, oleh
pembentuk undang-undang dilakukan dengan surat kuasa memasang hak
tanggungan. Ketiga, putusan Mahkamah Agung No. 3216/K/Perd/1984 tanggal
28 Juli 1986 telah menetapkan bahwa tanah berikut rumah yang ada di atasnya
yang belum jelas status haknya dapat difidusiakan. Yang menjadi pertanyaan,
mengapa putusan Mahkamah Agung tersebut tidak diambil alih oleh
pembentuk UUHT untuk dijadikan sebagai norma hukum. Bukankah peranan
Mahkamah Agung memiliki arti yang penting dalam pembentukan norma
hukum yang bertujuan untuk meniptakan kepastian hukum. Lagi pula asas
hukum mengatakan bahwa Res judicata pro veritate habetur artinya, putusan
hakim harus dianggap benar.2) Di sini terlihat adanya kontradiksi Uukum antara
putusan Mahkamah Agung dengan pembentuk undang-undang. Keempat, undang-
undang Jaminan Fidusia menyebutkan dengan tegas bahwa bangunan yang tidak
1
Pasal 4 UUHT. Sebelum UUHT ditindangkan, hak pakai tidak dapat dijadikan sebagai objek
jaminan hipotik. UUPA juga hanya menentukan bahwa objek hak tanggungan adalah hak
milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha. Para ahli hukum menyepakati sebagai jalan
keluar untuk mengatasi hak pakai sebagai jaminan hutang adalah dengan lembaga fidusia.
Dalam perkembangannya dan sesuai dengan tuntutan masyarakat terjadi perubahan pemikiran
bagi pembentuk undang-undang bahwa hak pakai menurut sifat dan kenyataannya dapat
dipindah tangankan, dapat juga dibebani hak tanggungan.
2
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2000),
h. 8.
dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah termasuk objek jaminan
fidusia.3)
Dalam praktik pengadilan di Sumatera Utara, diperoleh hasil penelitian
mengenai benda yang dijadikan objek jaminan fidusia sebagai berikut: Pertama,
putusan PN Pematang Siantar dalam perkara Sejahtera Bank Umum v. Timbul
Saragih No. 26/Pdt.G/1991, tanggal 11 Oktober 1991, bahwa objek jaminan
fidusia adalah mobil. Kedua, putusan PN Pematang Siantar dalam perkara
Sejahtera Bank Umum v. Lo Tjin Kuang dan Lo Ah Lian, No. 80/Pdt.G/1992,
tanggal 2 Februari 1992, bahwa objek jaminan fidusia adalah mesin forklif dan
mobil. Ketiga, putusan PN Medan dalam perkara United City Bank v. Herman
Kostan dan P.T. Sumatera Berlian Motors, No. 334/Pdt.G/1991, tanggal 29
Februari 1992, bahwa objek jaminan fidusia adalah mobil. Keempat, putusan PN
Medan dalam perkara Bank Internasional Indonesia v. Kwafi Pok Keng, Liaw
Tjai Hoa dan Ng Tjin San, No. 462/Pdt.G/ 1992, tanggal 23 Juni 1992, bahwa
objek jaminan fidusia adalah traktor dan eksavator. Kelima, putusan PN Medan
dalam perkara Bank Bali v. Lau Kie Ling dan P.T. Sumatera Bambo Binatama,
No. 569/Pdt.G/1991, tanggal 19 September 1992, bahwa objek jaminan fidusia
adalah mesin. Keenam, putusan PN Medan dalam perkara Sejahtera Bank Umum
v. P.T. Sumatera Bambo Binatama, Lai The Ning, Piter Kornelis dan Hai Peng
Tjang, No. 572/Pdt.G/1991, tanggal 12 Desember 1992, bahwa objek jaminan
fidusia adalah mesin dan barang dagangan berupa lidi penyangga bunga, gagang
gaharu dan sumpit. Ketujuh, putusan PN Medan dalam perkara Bank Bali v.
Lucyana dan Pulung Sukatendel, No. 32/Pdt.G/1992, tanggal 31 Oktober 1992,
bahwa objek jaminan fidusia adalah mobil. Kedelapan, putusan PN Medan dalam
perkara Bank Internasional Indonesia v. Harianto, No. 43/Pdt.G/1992, tanggal 14
Januari 1993, bahwa objek jaminan fidusia adalah barang-barang persediaan.
Kesembilan, putusan PN Medan dalam perkara Bank Dagang Nasional Indonesia
v, Soekarsa dan Joeskawati, No. 375/Pdt.G/1992, tanggal 31 Januari 1993, bahwa
objek jaminan fidusia adalah mesin. Kesepuluh, putusan ;PN Medan dalam
perkara Bank Buana Indonesia v. Ivvan Santoso dan Halim, No. 386/Pdt.G/1992,
tanggal 14 Januari 1993, bahwa objek jaminan fidusia adalah mesin. Kesebelas,
putusan PN Medan dalam perkara Bank Bali v. Abdullah Mahmud, No.
385/Pdt.G/1992, tanggal 18 Januari 1993, bahwa objek jaminan fidusia adalah alat
berat (traktor). Keduabelas, putusan PN Medan dalam perkara Bank
Pembangunan Daerah Sumatera Utara v. Paulus Usman, No. 471/Pdt.G/1992,
tanggal 19 Januari 1993, bahwa objek jaminan fidusia adalah barang-barang
dagangan, peralatan, mesin, perlengkapan, inventaris dan mobil. Ketigabelas,
putusan PN Medan dalam perkara Bank Duta v. Arifin Aminah, No.
468/Pdt.G/1992, tanggal 2 Februari 1993, bahwa objek jaminan fidusia adalah
stock barang pakaian. Keempatbelas, putusan PN Medan dalam perkara Bank
Duta v. P.T. Darsa Putra, No. 488/Pdt.G/1992, tanggal 31 Maret 1993, bahwa
objek jaminan fidusia adalah stock barang berupa biji kopi. Kelimabelas, putusan
PN Medan dalam perkara Bank Dharmala Nugraha v. CV Barumun Jaya dan
Ridwan, No. 558/Pdt.G/1992, tanggal 26 April 1993, bahwa objek jaminan fidusia
3
Pasal 1 angka 2 jo Penjelasan Pasal 3 UUJF.
adalah mobil. Keenambelas, putusan PN Medan dalam perkara Bank Surya
Nusantara v. Mangasi Simbolon, Junaidi, Fauzie Yusuf Hasibuan, Amir
Syarifuddin dan Yusnidar Mariaty, No. 71/Pdt,Plw/1992, tanggal 13 April 1994,
bahwa objek jaminan fidusia adalah mobil. Ketiijuhbelas, putusan PN Medan
dalam perkara Sejahtera Bank Umum v. P.T. Mitra Megah Cattleefeed Perdana,
Budiono Wiro Suparto, Gunawan Chandra, Kasim Yus, Tan Sri Chandra, dan
Wagimun, No, 332/Pdt.G/1993, tanggal 23 September 1994, bahwa objek jaminan
fidusia adalah barang dagangan berupa makanan ternak. Kedelapanbelas, putusan
PN Medan dalam perkara Bank Duta v. Bambang Sunandar, No. 414/Pdt.G/1993,
tanggal 19 Februari 1994, bahwa objek jaminan fidusia adalah eksavator.
Kesembilanbelas, putusan PN Medan dalam perkara Bank Bumi Daya v. Kantor
Pelayanan Pajak Medan Barat dan P.T. Mahogani Indah Industri, No.
40/Pdt.Plw/1994, tanggal 17 November 1994, bahwa objek jaminan fidusia adalah
mesin (genset, saw mill, forklif, generator). Keduapuluh, putusan PN Medan
dalam perkara Sejahtera Bank Umum v. Chairul Azhari Siregar, No.
105/Pdt.G/1994, tanggal.30 Agustus 1994, bahwa objek jaminan fidusia adalah
mobil. Keduapuluh satu, putusan PN Medan dalam perkara Reny Helena
Hutagalung v. P.T. Sumatera Berlian Motors dan Bank Bali, No.l07/Pdt.G/1994,
tanggal 3 Agustus 1994, bahwa objek jaminan fidusia adalah mobil. Terhadap
putusan tersebut dimintakan banding dengan putusan PT Medan dalam perkara
P.T. Sumatera Berlian Motors v. Maruli HTT Pardede, Bank Bali dan Reny
Helena Hutagalung, No. 396/Pdt/1995, tanggal 20 Juni 1996. Selanjutnya,
perkaranya dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung dengan putusan MA dalam
perkara P.T. Sumatera Berlian Motors v. Maruli HTT Pardede, Bank Bali dan
Reny Helena Hutagalung, No. 3935 K/Pdt/1996, tanggal 14 Maret 2000.
Keduapuluh dua, putusan PN Medan dalam perkara Sejahtera Bank Umum v.
Arvin Pawitra, No. 178/Pdt.G/1994, tanggal 30 Juli 1994, bahwa objek jaminan
fidusia adalah alat berat (eksavator). Keduapuluh tiga, putusan PN Medan dalam
perkara Sejahtera Bank Umum v. Sri Harum dan Heru Baskoro Syarif,
No.l87/Pdt.G/1994, tanggal 12 September 1994, bahwa objek jaminan fidusia
adalah mobil. Keduapuluh empat, putusan PN Medan dalam perkara Bank
Danamon Indonesia v. Sudarli, No. 220/Pdt.G/1994, tanggal 21 September 1994,
bahwa objek jaminan fidusia adalah mobil. Keduapuluh lima, putusan PN Medan
dalam perkara Prima Ekspress Bank v. Guntur P. Napitupulu, No.
308/Pdt.G/1994, tanggal 28 Maret 1995, bahwa objek jaminan fidu sia adalah
mobil. Keduapuluh enam, putusan PN Medan dalam perkara Sejahtera Bank
Umum v. Rotua Martinus, No. 55/Pdt.G/1995, tanggal 20 Juni 1995, bahwa
objek jaminan fidusia adalah mobil. Keduapuluh tujuh, putusan PN Medan
dalam perkara Standar Chartered Bank v. Native Prima, Djoesianto, Sindy
Lawina, No. 132/ Pdt.G/1996, tanggal 17 September 1997, bahwa objek jaminan
fidusia adalah stock barang dagangan berupa bahan mentah dan bahan
pendukung serta bahan siap pakai. Terhadap putusan dimintakan banding
dengan putusan PT Medan dalam perkara Native Prima, Djoesianto, Sindy
Lawina v. Standar Chartered Bank, No. 21/Pdt/1998, tanggal 25 Maret 1998.
Keduapuluh delapan, putusan PN Medan dalam perkara Syafril v. Bank
Pembangunan Daerah Sumatera Utara, Armyn, BUPLN, No. 407/Pdt.G/1997,
tanggal 20 Mei 1998, bahwa objek jaminan fidusia adalah bus penumpang dan
mobil. Keduapuluh sembilan, putusan PN Medan dalam perkara Zainal Abidin v.
Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara, Armyn, KP3N, No. 408/Pdt.G/1997,
tanggal 12 Agustus 1998, bahwa objek jaminan fidusia adalah bus penumpang
dan mobil. Ketigapuluh,, putusan PN Medan dalam perkara Prima Ekspress Bank
v. Lim Bun long, No. 176/Pdt.G/1998, tanggal 17 September 1998, bahwa objek
jaminan fidusia adalah mobil truk, Ketigapuluh satu, putusan PN Medan dalam
perkara Bank Mestika Dharma v. Darma Silan, No. 226/Pdt.G/1998, tanggal 13
Oktober 1998, bahwa objek jaminan fidusia adalah mobil truk. Ketigapuluh dua,
putusan PN Medan dalam perkara Bank Mestika Dharma v. Norin Yushiwarti dan
P.T. Indo Prima Tour & Travel Service, No. 424/Pdt.G/1998, tanggal 16
Desember 1998, bahwa objek jaminan fidusia adalah mobil.
Dari tiga puluh dua perkara perjanjian kredit bank dengan objek jaminan
fidusia yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri di propinsi Sumatera Utara dan
tiga perkara perjanjian kredit bank dengan objek jaminan fidusia yang diputuskan
oleh Pengadilan Negeri di luar propinsi Sumatera Utara yaitu Pengadilan
Negeri Yogyakarta dan Jakarta Pusat, diperoleh secara deskriptif bahwa objek
jaminan fidusia adalah benda bergerak. Pada umumnya, benda bergerak itu adalah
mobil, mesin (genset, generator, forklif), truk, bis penumpang, peralatan
pabrik, stock barang dagangan, alat berat (traktor, eksavator), inventaris
perusahaan, pakaian,. bahan mentah, bahan siap pakai, spare part kendaraan
bermotor. Putusan pengadilan tersebut pada umumnya merupakan kasus-kasus
perjanjian jaminan fidusia yang terjadi sebelum keluarnya UUJF, sehingga
pertimbangan hukum yang diberikan oleh pengadilan masih didasarkan kepada
pengertian dan prinsip hukum jaminan fidusia sebelum keluarr .1 UUJF.
Demikian juga kasus perjanjian jaminan fidusia yang diputus oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam suasana berlakunya UUJF, belum
memperlihatkan pertimbangan hukum yang didasarkan kepada norma-norma
hukum yang terkandung dalam UUJF. Sebagai contoh, objek jaminan fidusia
adalah . mesin atau alat pabrik yang tidak dipersoalkan oleh para pihak apakah
termasuk dalam kelompok benda bergerak atau benda tidak bergerak. Pada
prinsipnya, mesin itu adalah benda bergerak tetapi dalam kaitannya dengan
jaminan fidusia, harus diterangkan apakah mesin dalam pabrik tersebut ditanam
sedemikian rupa atau digunakan untuk kepentingan pabrik karena memiliki
konsekuensi yuridis yang berbeda. Jika mesin itu ditanam sedemikian rupa, dapat
dikatakan bahwa mesin itu karena hubungannya dengan pabrik telah memperoleh
sifat hukum sebagai benda tidak bergerak. Di sini mesin berperan sebagai benda
tambahan dari benda pokoknya (bangunan pabrik). Demikian juga kalau mesin-
mesin pendingin difungsikan untuk membekukan bahan mentah seperti udang,
ikan, kepiting, atau mesin pembuat pakaian difungsikan sebagai pencuci pakaian,
mesin-mesin tersebut dapat dikategorikan ke dalam benda tidak bergerak karena
mesin itu merupakan benda penolong.
Mengenai hal ini, dikatakan bahwa hakim Mahkamah Agung selalu tidak
konsisten untuk mengikuti putusan-putusan hakim sebelumnya.11) Dalam
kaitannya dengan jaminan fidusia, Mahkamah Agung dalam putusannya No. 3216
K/SIP/1984 telah menetapkan bahwa tanah berikut rumah yang ada di atasnya
yang belum jelas status haknya dapat difidusiakan. Mahkamah Agung telah
menemukan hukum bagi persoalan tanah belum bersertifikat lewat lembaga
jaminan fidusia, tetapi putusan tersebut belum dapat menjadi pegangan bagi pihak
pemberi kredit. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Agung belumlah
memberikan kepastian hukum bagi masyarakat pemakai lembaga jaminan fidusia.
Kepastian hukum dari putusan Mahkamah Agung itu hanya bersifat konkret dan
berlaku bagi para pihak saja.12) Agar putusan tersebut berlaku umum, putusan itu
harus dituangkan dalam perundang-undangan.
8
Wawancara dengan Mahmud Fauzi, hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta, tanggal 11
Februari 2002.
9
Wawancara dengan H.P Panggabean, hakim Agung pada Mahkamah Agung, tanggal 17
Februari 2002.
10
Wawancara dengan Andar Purba, direktur perdata pada Mahkamah Agung, tanggal
18Februari2002.
11
Wawancara dengan Adi Nugroho, Kapuslit Mahkamah Agung, tanggal 17 Februari 2002.
12
Lihat Pasal 1917 KUH Perdata.
13
J.V.Carvan, J.V.Gooley, E.L.Mc.Rae, A Guide To Business Law (Sydney, New: LBC
Information Services, 1997), h. 25.
14
Ibid,h.l4.
halnya dalam sistem hukum Indonesia yang menganut asas bahwa hakim tidak
terikat kepada hakim lain yang memutus perkara yang sama.
Khusus mengenai bangunan di atas tanah orang lain, dalam penelitian ini
belum ditemukan kasusnya yang sampai ke pengadilan. Secara normatif dan
secara ekonomis, bangunan di atas tanah orang lain dapat dibebani dengan
jaminan hutang. Karena hak tanggungan tidak dimungkinkan untuk itu, dicari
jalan keluarnya melalui jaminan fidusia. Dengan keluarnya UUJF menambah
kepastian hukum bahwa pihak pemberi kredit tidak perlu ragu lagi untuk
mengikat bangunan terlepas dari hak atas tanahnya dengan jaminan fidusia.
Perkembangan hukum jaminan fidusia tersebut menunjukkan bahwa pembentuk
undang-undang cukup merespon realitas bisnis dan memperhatikan prinsip hukum
tanah yang dianut dalam UUPA. Karena tidak relevan lagi pendapat yang
dikemukakan oleh Djuhaendah Hasan bahwa hak tanggungan dapat dibebani atas
bangunan terlepas dari hak atas tanahnya.17) Untuk mendukung pelaksanaan
UUJF, perlu dipikirkan aturan mengenai bangunan dengan identitas tersendiri
terlepas dari hak atas tanahnya, yang dibuktikan dengan pendaftaran bangunan
17
Djuhaendah Hasan, Op.cit, h.352.
tersebut. Terhadap bangunan yang didaftarkan dikeluarkan sertifikat hak atas
bangunan. Bangunan yang telah memiliki sertifikat merupakan benda tersendiri
yang digolongkan kepada benda bukan tanah.18)
Ada sepuluh asas hukum yang mendasari sistem hukum perjanjian. 19) Dari
sepuluh asas tersebut, terdapat tiga asas yang penting menguasai hukum perjanjian
yakni asas yang menentukan saat lahirnya perjanjian, asas yang berkenaan dengan
isi perjanjian dan asas yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian. Asas
yang terakhir ini disebut dengan asas kekuatan mengikat perjanjian. Secara
teoretis keriga asas harus dipisahkan, tetapi saling berkaitan erat satu dengan
lainnya. Hal-hal yang telah disepakati oleh para pihak pada awal perjanjian dan
dinyatakan dalam substansi perjanjian harus dilaksanakan dan mengikat bagi para
pihak sebagai undang-undang.20)
Perjanjian jaminan fidusia adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
perjanjian kredit sebagai perjanjian induknya. Dalam perjanjian kredit telah
ditentukan hal-hal yang disepakati oleh debitur dan kreditur, antara lain debitur
memberikan jaminan fidusia. Kesepakatan tersebut berlaku sebagai undang-
undang bagi para pihak. Apabila debitur wanprestasi, kreditur dapat
melaksanakan haknya sesuai dengan isi perjanjian. Pelaksanaan perjanjian
tersebut adalah perwujudan dari asas kekuatan mengikat perjanjian jaminan
fidusia. Dalam praktik peradilan, hal yang demikian dapat dilihat dari kasus yang
diputuskan oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Bank Buana
Indonesia v. Eddy Hartono.'dan Veronika Lidya, No. 03/Pdt.G/1999/PN-YK /
tanggal 12 April 1999.
Kasus ini terjadi pada tanggal 27 Januari 1998. Para tergugat (Eddy
Hartono dan Veronika Lidya) memperoleh kredit dari penggugat dalam rekening
koran maksimum Rp60 juta dengan jangka waktu satu tahun sesuai dengan akta
perjanjian kredit No. 98/PMK/Rk/006 dan kredit angsuran sebesar Rp30.560.682,-
dengan jangka waktu 17 bulan sesuai dengan akta perjanjian kredit No.
98/PMK/Ang/OOl masing-masing tanggal 27 Januari 1998. Para tergugat tidak
dapat membayar bunga pinjaman baik bunga rekening koran maupun bunga
angsuran. Penggugat telah memberikan teguran secara lisan dan tertulis, tetapi
18
Bandingkan dengan UUJF yang mengatakan bahwa bangunan adalah benda tidak bergerak.
19
Asas-asas hukum perjanjian tersebut adalah asas kebebasan berkontrak, asas
konsensualitas, asas kepercayaan, asas kekuatan mengikat, asas persamaan hukum, asas
keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan dan asas kebiasaan. l.ihal
Mariam Darus, Sistem Hukum Perdata Nasional, Dewan Kerjasama Hukum Belanda dengan
Indonesia, Proyek Hukum Perdata, (Medan, 1987), h. 17.
20
Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata. Lihat juga J.M van Dunne; Gr.van der Burght, Hukum
Perjanjian (terjemahan: Lely Niwan), Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan
Indonesia. Proyek Hukum Perdata (Medan, 1987), h. 7.
tidak digubris. Oleh karena itu, tergugat telah wanprestasi. Berd .,arkan perjanjian
kredit, walaupun kredit belum jatuh tempo, penggugat berhak mengakhiri
perjanjian dan menuntut pengembalian pinjaman. Jumlah hutang para tergugat
seluruhnya dalam bentuk rekening koran sebesar Rp75.378.719,50, dan kredit
angsuran sebesar Rp20.210.716,- ditambah bunga berjalan sebesar 45% sejak
gugatan didaftarkan. Untuk menjamin pelunasan kredit, para tergugat
menyerahkan jaminan satu mobil Jeep Suzuki tahun 1992 jenis mobil penumpang
atas nama Edward M. Djaja Margono, satu mobil minibus Isuzu tahun 1993 atas
nama Veronica Lidya, satu mobil Jeep Suzuki tahun 1994 atas nama Veronica
Lidya dan satu mobil Toyota Kijang Grand Extra tahun 1995 atas nama Veronica
Lidya. Bank sebagai lembaga keuangan yang dibebani misi khusus oleh
pemerintah khususnya di bidang pengumpulan dan penyaluran dana dari dan
kepada masyarakat semata-mata untuk menunjang program pembangunan,
sehingga pengembalian kredit macet serius dan urgen sifatnya. Oleh karena iru,
penggugat mohon kepada pengadilan untuk memberikan putusan dengan kekuatan
dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada : banding, verzet dan kasasi.
Dalam UUJF dikatakan bahwa debitur dan kreditur dalam perjanjian jaminan
fidusia berkewajiban untuk memenuhi prestasi.21) Secara a contrario dapat
dikatakan bahwa apabila debitur atau kreditur tidak memenuhi kewajiban
melakukan prestasi, salah satu pihak dikatakan wanprestasi. Fokus perhatian
dalam masalah jaminan fidusia adalah ivanprestasi dari debitur pemberi fidusia.
Dalam hukum perjanjian, jika seorang debitur tidak memenuhi isi perjanjian atau
tidak melakukan hal-hal yang dijanjikan, debitur tersebut telah melakukan
wanprestasi dengan segala akibat hukumnya.22)
Dalam praktik peradilan, kasus cedera janji yang dilaku-kan oleh debitur
pemberi fidusia pada umumnya adalah debitur tidak memenuhi kewajiban
membayar hutang/ angsuran kredit kepada bank. Akibatnya, adalah kreditur
penerima fidusia melakukan penyitaan terhadap benda jaminan fidusia dan debitur
harus membayar bunga, ongkos dan biaya perkara.
Pengadilan memutuskan bahwa eksepsi tergugat III tidak tepat dan tidak
berdasarkan hukum sehingga ditolak. Dalam pokok perkara, mengabulkan
gugatan penggugat seluruhnya, menghukum para tergugat secara tanggung
renteng untuk membayar hutang kepada penggugat sebesar Rp251.444.322,53,
ditambah bunga berjalan sesuai perjanjian, menyatakan sah dan berharga sita
jaminan dan sita milik sendiri, menyatakan sah dan berharga perjanjian yang
dibuat oleh penggugat dan para tergugat, menyatakan putusan ini dapat dijalankan
terlebih dahulu meskipun timbul verzet, banding maupun kasasi serta menghukum
tergugat untuk membayar ongkos dan biaya sebesar Rpl21 ribu..
Kasus lain dapat dilihat pada putusan Pengadilan Negeri Medan dalam
perkara Bank Internasional Indonesia Cabang Medan v. Harianto, No. 43/Pdt.
G/1992/PN- Mdn, tanggal 14 Januari 1993.
Kasus cedera janji debitur pemberi fidusia juga terungkap pada putusan
Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Bank Buana Indonesia Cabang Medan v.
Iwan Santoso dan Halim, No. 386/Pdt. G/1992/PN Medan, tanggal 14 Januari
1993.
Kasus ini bermula dari perbuatan Iwan Santoso (tergugat I) dan Halim
(tergugat II) yang berhutang kepada Bank Buana Indonesia (penggugat) sebesar
Rp200 juta yang tercantum dalam grosse akta pengakwn hutang dan pemberian
jaminan No. 320 tanggal 23 Desember 1989 serta perjanjian kredit No.
431/Mdn/1989. Perjanjian kredit tersebut diperpanjang tanggal 24 Desember 1990
sebesar Rp200 juta bunga 1,85% per bulan yang harus dilunasi pada tanggal 23
Desember 1991. Tenggang waktu telah lewat dan tergugat belum melunaskan
hutangnya. Tergugat-tergugat telah diperingati oleh penggugat dan tidak
ditar\ggapi sehingga jelas terbukti tergugat-tergugat telah zvanprestasi. Hutang
tergugat sampai tanggal 27 Agustus 1992 berjumlah Rp321.249.314 belum
termasuk bunga berjalan. Sebagai jaminan penggugat menerima tanah hak milik
No. 134 berikut bangunan pabrik luas 4000 m 2 yang terdaftar atas nama tergugat
II.
Demikian pula dapat dilihat pada putusan Pengadilan Negeri Medan dalam
perkara Bank Duta Cabang Medan v. Arifin Aminah, No. 468/Pdt. G/1992/PN-
Mdn, tanggal 2 Februari 1993.
Cedera janji dapat juga disebabkan oleh faktor ekonomi yang tidak stabil
sehingga pelaku usaha sulit untuk membayar angsuran kredit kepada bank, seperti
kerugian akibat perdagangan ekspor kopi yang harganya di luar negeri merosot
secara drastis. Kenyataan ini terungkap pada putusan Pengadilan Negeri Medan
dalam perkara Bank Duta Cabaflg Medan v. P.T. Darsa Putra dan Mansyur Darus,
No. 488/ Pdt. G/1992/PN-Mdn, tanggal 31 Maret 1993.
Kasus ini bermula dari P.T. Darsa Putra (tergugat I) meminjam kredit
kepada Bank Duta (penggugat) sebesar Rpl milyar dengan bunga 22% per tahun
sesuai dengan grosse akta pengakuan hutang dengan penyerahan jaminan No. 19
tanggal 3 Maret 1989. Jangka waktu berakhirnya kredit tanggal 3 Mei 1991, tetapi
tergugat I tetap tidak melunasinya. Penggugat telah berulang kali menegur
tergugat I tetapi tidak diindahkan. Penggugat mohon eksekusi hipotik atas
jaminan tanah dan bangunan hak milik No. 84 dan diperoleh hasil tagih
Rp93.575.000,- setelah dikurangi hutang tergugat I, sisa hutang masih berjumlah
Rp l.346.937.551,27, Dengan perincian hutang pokok Rp 814.023.192,81,
ditambah bunga Rp 532.914.358,46.
Perkara ini diawali ketika P.T. Mitra Megah (tergugat I) melalui Budiono
Wiro Suparto (tergugat II), Gunawan Chandra (terugta III), Kasim Yus (tergugat
IV) dan Tansri Chandra (tergugat V) meminjam kredit sebesar Rp200 juta dengan
bunga 2,4% per bulan, jangka waktu satu tahun terhitung dari tanggal 2 Januari
1991 sampai 2 Januari 1992 sebagaimana yang dituangkan dalam akta perjanjian
pinjam meminjam uang No. 0031/PK/91 tanggal 2 Januari 1991. Sebagai jaminan
hutang tergugat I kepada penggugat, tergugat II, III, IV dan V menyerahkan
barang dagangan yang akan diekspor berupa makanan ternak. Selain iru, para
tergugat tersebut mengikatkan diri sebagai penjamin sesuai dengan surat jaminan
tanggal 2 Januari 1991. Walaupun jangka waktu telah berakhir, tergugat tidak
memenuh kewajibannya dan sampai tanggal 12 Agustus 1993 jumlah hutang
tergugat berjumlah Rp298.025.835,- belum termasuk bunga berjalan. Tergugat I
telah beberapa kali diperingati oleh penggugat yang tembusannya disampaikan
kepada tergugat II, III, IV dan V. Untuk menjamin runtutan penggugat perlu
diletakkan sita rftilik atas jaminan fidusia dan sita jaminan atas satu pintu rumah
tempat tinggal permanen berikut tanahnya terletak di jalan Rajawali Selatan Raya
No. 25 A Jakarta Pusat milik tergugat II maupun harta bergerak dan tidak
bergerak lainnya di kemudian hari. Kedudukan penggugat sebagai bank yang
menerima simpanan masyarakat dengan membayar bunga tanpa dapat ditunda dan
uang simpanan tersebut disalurkan kembali dalam bentuk kredit yang salah satunya
adalah tergugat, dimohonkan putusan mi dapat dijalankan serta merta walaupun ada
banding dan kasasi. Dalam persidangan setelah dipanggil dengan patut, para
tergugat tidak hadir. Ketakhadiran bukan karena halangan yang sah. Berdasarkan
bukti-bukti, selanjutnya pertgadilan memberikan pertimbangan hukum yaitu
bahwa tergugat I, II, III, IV dan V meskipun telah dipanggil dengan patut tetapi
tidak datang dan ketakhadiran tersebut bukan disebabkan suatu halangan yang
sah, para tergugat harus dinyatakan tidak hadir. Yang menjadi pokok
permasalahan dalam gugatan ini adalah tergugat yang diwakili oleh tergugat II,
III, IV dan V telah meminjam kredit dari penggugat dan sampai tanggal 12
Agustus 1993 telah berjumlah Rp298.0255.835,-. Dari bukti akta perjanjian
pinjam meminjam uang ternyata bahwa tergugat I yang diwakili tergugat II, III,
IV dan V benar ada meminjam uang dari penggugat sebesar Rp200 juta dan
pinjaman harus dilunasi oleh tergugat kepada penggugat selambat-lambatnya
tanggal 2 Februari 1992. Sebagai jaminan kredit diikat perjanjian fidusia
berupa barang dagangan dan nilai transaksi sebesar Rp230 juta. Selain jaminan
fidusia, dibuat lagi surat jaminan sebagai avalist dari tergugat II, III, IV, V,
dan Wagimun (tergugat VI) atas hutang sebesar Rp200 juta. Dari aksep No.
0003/RK/92 ternyata bahwa tergugat II, HI, IV dan Vbet tindak untuk dan atas
nama P J. Mitra Megah Cattleefeed Perdana dalam menjalankan perusahaannya
berjanji membayar hutang kepada penggugat sebesar Rp 200 juta. Dari rekening
koran No. 03-1077787 tanggal 22 Agustus 1993, jumlah hutang tergugat-tergugat
telah berjumlah Rp298.025.835,-. Sejak tanggal 28 Januari 1992 sampai
dengan Agustus 1993 jumlah hutang tergugat-tergugat telah mencapai
Rp298.025.832,86. Dari bukti-bukti yang diajukan, ternyata tergugat I, II, III, IV,
V dan VI telah benar berhutang kepada penggugat sebesar Rp298.025.835.
Oleh karena itu, patut dikabulkan. Bahwa tergugat telah melakukan perbuatan
wanprestasi karena tidak melunasi hutangnya, patut dikabulkan. Karena
tergugat-tergugat terbukti berhutang dan bunga yang diperjanjikan 2,4% per
bulan, patut dikabulkan. Karena berita acara sita jaminan No. 024/94/Del.CB/PN
Jakarta Pusat jo No. 332/Pdt.G/ 1993/PN Medan yang dijalankan tanggal 16 Mei
1994 oleh juru sita PN Jakarta Pusat, dapat dikabulkan. Karena surat bukti adalah
akta di bawah tangan berarti tidak memenuhi Pasal 191 Rbg dan tidak beralasan,
harus ditolak. Dengan demikian, tergugat I, II, III, IV, V dan VI adalah pihak
yang dikalahkan.
Kasus mengenai status kemilikan benda jaminan fidusia dapat dilihat dari
putusan Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Bank Bumi Daya v. Kantor
Pelayanan Pajak Medan Barat dan P.T. Mahagoni Indah Industri No.
40/Pdt.Plw/1994 tanggal 17 November 1994.
Kasus ini terjadi ketika Kepala Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat
(terlawan I) yang telah meletakkan sita atas barang milik P.T. Mahogani Indah
Industri (terlawan II) sesuai dengan berita acara pelaksanaan sita No.
01/FS/XI/SPMP/B/ MB/1993 tanggal 17 November 1993 berdasarkan surat paksa
No. 360/II/SP/BJ/MB/92 tanggal 26 November 1992 dan No.
532/IV/SP/B/MB/1993 tanggal 16 April 1993 sebagai pelunasan hutang terlawan
II.
Dalam kaitannya dengan jaminan fidusia bahwa hak kemilikan benda yang
dijadikan agunan telah dialihkan kepada kreditur penerima fidusia. Artinya, alas
hak (titel) dari benda itu diserahkan kepada kreditur, tetapi pen uasaan
(possession) benda itu secara fisik ada pada debitur fidusia. Oleh karena itu,
dalam perkara yang diputuskan pengadilan tersebut di atas, pihak penggugat yang
merupakan kreditur atas objek jaminan :idusia adalah sebagai pemilik hak bukan
berstatus sebagai pemegang hak jaminan. Sebagai pemilik hak harus diartikan
32
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, h. 43.
33
Lihat Henry Campbell Black, Op.cit, h.765.
34
J.C. Carvan, J.V. Gooley dan E.L. McRae, Op.cit, h. 298.
35
M. Yahya Harahap menerjemahkan kata "property" adalah benda atau kekayaan, Op.cit,
h. 406
36
J.C. Carvan, J.V Gooley, E.L McRae, Loc.cit, h. 298.
sebagai pemilik jaminan atas benda bukan pemilik benda sepenuhnya dalam
pengertian perjanjian jual beli. Dari segi hukurn jaminan, orang yang
berkedudukan sebagai pemilik jaminan mempunyai hak-hak tertentu antara lain
berhak menjaminkan kembali benda jaminan itu kepada pihak lain. Sebagai
pemilik hak, kreditur berhak menguasai bukti kemilikan benda jaminan, misalnya
bukti BPKB untuk jaminan fidusia atas mobil, truk, kendaraan roda dua, bukti
kuitansi atau faktur pembelian untuk jaminan fidusia atas mesin-mesin, bukti
laporan daftar barang untuk jaminan fidusia atas benda persediaan. Bukti-bukti
kemilikan itu adalah surat-surat/ dokumen yang mempunyai hubungan langsung
dengan benda jaminan fidusia. Apabila surat/dokumen telah dikuasai oleh pemilik
jaminan fidusia, dan pada benda jaminan fidusia telah diberi tanda yang
ditempelkan, sehingga pihak ketiga mengetahui bahwa benda itu telah
difidusiakan kepada kreditur tertentu sehingga dapat dihindari adanya tumpang
tindih penyitaan. Hal ini akan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat lagi
dengan adanya lembaga pendaftaran jaminan fidusia yang telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000. Konsekuensi yuridis dari teori bahwa
kreditur penerima fidusia adalah pemilik jaminan yaitu debitur pemberi fidusia
tidak dapat mengalihkan benda jaminan fidusia kecuali dengan izin tertulis dari
kreditur tersebut.37) Dengan lahirnya UUJF, masalah kreditur sebagai pemilik
benda jaminan fidusia, masih menimbulkan persoalan yakni bilakah momentum
terjadinya kreditur penerima fidusia itu sebagai pemilik jaminan. Ada beberapa
penafsiran yang perlu dicermati. Pertama, apakah momentum itu terjadi pada saat
debitur pemberi fidusia menyerahkan haknya ketika mendatangani perjanjian
kredit dengan jaminan fidusia. Keduaf apakah momentum itu terjadi pada saat
debitur pemberi fidusia menandatangani akta jaminan fidusia di notaris. Ketiga,
apakah momentum itu terjadi pada saat akta jaminan fidusia didaftarkan ke kantor
fidusia. Atas problema ini, penulis berpendapat bahwa sebelum keluarnya UUJF,
momentum terjadinya kreditur penerima fidusia sebagai pemilik benda jaminan
adalah pada saat (ditandatangani akta pemberian jaminan fidusia. Setelah lahimya
UUJF, momentum terjadinya kreditur penerima fidusia sebagai pemilik benda
jaminan adalah pada saat akta jaminan fidusia didaftarkan di kantor pendaftaran
fidusia.
37
Debitur pemberi fidusia hanya dapat mengalihkan objek jaminan fidusia berupa benda
persediaan dengan cara dan kebiasaan yang lazim dalam lalu lintas perdagangan. Setelah itu,
debitur wajib mengganti benda jaminan tersebut dengan nilai yang setara. Yang tidak
termasuk benda persediaan antara lain mesin pabrik, mobil pribadi, rumah. Lebih lanjut lihat
Pasal 21 jo 23 UUJF.
Persoalan kasus tersebut diawali dengan putusan Pengadilan Negeri
Medan dalam perkara No. 230/Pdt.G/ 1993/PN-Mdn yaitu perkara antara terlawan
I, II, dan III melawan terlawan IV dan V. Dalam perkara tersebut telah diletakkan
sita jaminan atas sebidang tanah SHM No.164 luas 883 m2 terletak di jalan Bromo
Medan atas nama Amir Syarifuddin, sebidang tanah SHM No. 279 luas 513 m 2
terletak di desa Tanjung Rejo atas nama Amir Syarifuddin, sebidang tanah akta
pelepasan hak/ganti rugi No. 167/1993 terletak di kelurahan Binjai atas nama
Amir Syarifuddin, satu unit Marcedez Benz tahun 1993 atas nama Amir
Syarifuddin dan satu unit Chevrolet Trooper tahun 1989 atas nama Yusnidar
Mariati. Dalam putusan PN Medan dan No, 230 tersebut dinyatakan bahwa sita
jaminan tersebut sah dan berharga. Atas keputusan itu, pelawan sangat keberatan
dengan alasan bahwa terlawan V mempunyai hutang sebesar Rp470 juta kepada
pelawan sebagaimana akta hutang dengan memakai jaminan No. 189 tanggal 31
Agustus 1990. Sebagai jaminan hutang, terlawan V menyerahkan jaminan berupa
tiga bidang tanah masing-masing SHM No. 164, SHM No. 279 dan akta
pelepasan hak/ganti rugi No. 167 sebagaimana tersebut di atas.
Pelawan juga keberatan terhadap sita jaminan atas benda bergerak berupa
dua unit mobil masing-masing Marcedez Benz dan Chevrolet Trooper tesebut di
atas. Kedua mobil ini telah diserahkan M. Yusuf Ngadio kepada pelawan sebagai
jaminan hutang sebesar Rpl35 juta yang diikat akta fidusia No. 18 tanggal 31
Agustus 1990. Bahwa semua surat dan dokumen kepemilikan atas barang
bergerak dan tidak bergerak ada pada pelawan sebagai jaminan hutang.
Penyerahan jaminan itu sudah dilakukan sebelum ada gugatan terlawan I, II dan
III di PN Medan dan sebelumnya sita jaminan diletakkan atas barang-barang
tersebut. Menurut pelawan gugatan antara terlawan I, II dan III melawan terlawan
IV dan V dalam perkara No. 230 khususnya menyangkut sita jaminan atas barang
barang bergerak dan tidak bergerak adalah suatu perbuatan pura-pura atau
tindakan tidak fair yang bermaksud merugikan pelawan untuk melakukan
eksekusi, karena jauh sebelumnya terlawan II telah mengetahui barang-barang
tersebut telah dijadikan agunan hutang kepada pelawan dalam perkara No.
550/Pdt.G/1992/PN-Mdn dan perkara No. 551/Pdt.G/ 1993/PN-Mdn. Menurut
putusan MARI No. 394 K/Sip/1984 tanggal 31 Mei 1985 bahwa barang-barang
yang telah diserahkan sebagai jaminan hutang tidak boleh diletakkan sita jaminan
lagi. Hal ini juga berkaitan dengan Surat Edaran MA No. 5 tahun 1975 tanggal 1
Desember bahwa MA mengharap-kan agar para hakim sangat berhati-hati
menerapkan lembaga sita jaminan. Karena peranan pelawan sebagai lembaga
keuangan (bank) untuk menggerakkan perekonomian masyarakat, sangat
berkeberatan dijatuhkan sita jaminan atas barang tersebut. Mengingat fungsi
pelawan perlu dilindungi untuk menghindari adanya kredit macet dan akan
menyulitkan perekonomian nasional, sudah cukup alasan kepada hakim untuk
menyatakan pelawan sebagai pelawan yang baik dan memerintahkan juru sita
pengadilan untuk mencabut sita jaminan dan menyatakan pelawan adalah sah
secara hukum sebagai pemegang jaminan hutang dari pelawan V. Mohon kiranya
agar putusan ini dapat dijalankan dengan serta merta walaupun ada banding dan
kasasi.
Terhadap hal ini, terlawan I, II dan III mengajukan jawaban. Dalam
eksepsi, bahwa pada prinsipnya yang menjadi dasar perlawanan pelawan adalah
tanah-tanah dan mobil-mobil yang menjadi objek sita jaminan yang sesungguhnya
telah menjadi agunan kredit pada pelawan. Alasan pelawan itu sama sekali tidak
ada menuntut agar .pelawan dinyatakan sebagai pemilik sah atas tanah-tanah dan
mobil-mobil melainkan hanya sebagai pemegang jaminan yang sah. Jadi,
hubungan pelawan dengan sita jaminan itu hanya sebagai pemegang jaminan
bukan selaku eigenaar dan bahkan bukan pula selaku bezitter. Selaku pemegang
jaminan berarri fungsi dari tanah-tanah itu bagi pelawan adalah tetap hanya
sekadar barang jaminan. Terlebih dalam proses hipotik atas tanah itu baru sampai
pada tahap kuasa memasang hipotik sehingga pelawan tidak berkedudukan selaku
kreditur preferen sehingga tidak mempunyai droit de suite dan droit de
preference. Demikian juga atas jaminan mobil, walaupun perjanjian agunan itu
telah memenuhi syarat hukum fidusia, penyerahan surat pemilikan (BPKB) kedua
mobil itu kepada pelawan bukanlah suatu penyerahan hak milik yang
sesungguhnya seperti halnya dalam jual beli, sehingga pelawan tidaklah dapat
mempro-klamirkan diri selaku voile eigenaar. Terlebih lagi dalam kenyataannya
pelawan tidak pula selaku beziter atas kedua mobil itu. Oleh karena itu, hak dan
kewenangan pelawan atas tanah dan mobil tersebut setaraf dengan hak dan
kewenangan yang dimiliki kreditur konkurensi dalam hal ini terlawan I, II dan III.
Kaidah normatif secara limitatif menyebutkan bahwa perlawanan sita pihak ketiga
dapat diajukan hanya atas dasar alasan tunggal yakni bahwa objek sita adalah hak
kepunyaan/ milik dari pihak ketiga dalam ini pelawan. Oleh karena itu,
perlawanan pelawan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam hal
exceptio plurium litis consortium, pelawan mengemukakan dalil-dalil yang
pada pokoknya bahwa mobil yang disita telah lebih dahulu diserahkan M. Yusuf
Ngadio kepada pelawan sebagai jaminan kredit dengan jaminan fidusia sebesar
Rpl35 juta, tetapi pelawan tidak turut menarik subjek M. Yusuf sebagai turut
terlawan dalam perkara ini padahal pelawan menuntut agar dinyatakan sebagai
pemegang jaminan hutang yang sah dan berprioritas pertama atas kedua mobil itu.
Selain itu, pelawan sama sekali tidak menjelaskan atas dasar kewenangan apa M.
Yusuf dapat memfidusiakan kedua mobil itu sedangkan M. Yusuf bukan sebagai
pemilik mobil itu. Dengan demikian, M. Yusuf tidak dapat membela din
terhadap perlawanan pelawan. Untuk menghindari kerugian M. Yusuf dan
atau terlawan I, II dan III dan atau pemilik mobil yaitu terlawan IV dan V,
perlawanan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Dalam perjanjian jaminan fidusia, ciri utama adalah benda jaminan harus
tetap berada dalam penguasaan debitur. Apabila benda jaminan berada dalam
penguasaan kreditur, yang terjadi bukan perjanjian jaminan fidusia melainkan
perjanjian gadai. Dalam perjanjian jaminan fidusia, jika benda jaminan diserahkan
atau dikuasai oleh kreditur, perjanjian jaminan fidusia tidak sah. Namun, berbeda
halnya kalau debitur pemberi fidusia tidak memenuhi kewajiban, kreditur
penerima fidusia dapat menarik benda jaminan fidusia untuk dijual guna menutupi
hutang debitur. Tindakan tersebut bukan merupakan perbuatan hukum yang
bertentangan dengan UUJF. Bahkan, debitur pemberi fidusia mempunyai
kewajiban untuk menyerahkan benda jaminan fidusia untuk dijual. 38) Kasus
penarikan benda jaminan fidusia dari penguasaan debitur terlihat pada putusan
Pengadilan Negeri Siantar dalam perkara Sejahtera Bank Umum v. Lo Tjin Kuang
dan Lo Ah Lian, No. 80/Pdt.G/1992/PN-PMs, tanggal 2 Februari 1993.
Selain alasan tersebut dengan berdasarkan asas Nemo phis juris ad alium
transferre potest quam ipse habet, Mulyadi Rencong Oei tidak berhak mewakili
direksi Sejahtera Bank Umum Pusat sehingga tidak berwenang memberikan kuasa
kepada Marthin S. Meliala.
Kasus ini bermula dari Syafril (penggugat) telah menerima fasilitas kredit
dari BPDSU (tergugat I) dalam bentuk kredit rekening koran sebesar Rp200 juta
sebagaimana tertuang dalam persetujuan membuka kredit No. '314/CU/KRK/1991
tanggal 6 Agustus 1991. Tenggang waktu berlakunya perjanjian kredit adalah 12
bulan dan akan berakhir pada Uinggal 5 Agustus 1992. Sebagai jaminan kredit
penggugat menyerahkan kepada tergugat I barang-barang jaminan berupa tiga unit
mobil bus penumpang umum dengan merek dinding ALNI (Antar Lintas
Nusantara Indonesia), satu unit mobil suzuki, dua bidang tanah, masing-masing
seluas 3.645 m2 dengan bukti akta perjanjian pengalihan hak dengan ganti rugi
No. III, tanah seluas 1.464 m2 dengan bukti akta perjanjian pengalihan hak dengan
ganti rugi No. 120, yang keduanya terletak di kecamatan Medan Johor.
Dalam perkara di atas dapat dilihat bahwa benda jaminan fidusia diambil alih
oleh kreditur karena debiturnya wanprestasi. Benda jaminan dijual untuk menutupi
hutang debitur. Tindakan kreditur bukan merupakan perbuatan melawan hukum dan
hal ini juga sesuai dengan Yurisprudensi MA No. 1500/K/SIP/1978.
Berbeda halnya kalau benda jaminan diserahkan debitur pemberi fidusia kepada
kreditur penerima fidusia untuk pelunasan hutang. Di sini inisiatif datang dari debitur
sebagai pertanggungjawaban hukum atas benda jaminan. Debitur dengan sukarela
menyerahkan benda jaminan fidusia kepada kreditur sesuai dengan perjanjian yang
telah ditentukan. Kasus seperti ini dapat dijumpai pada putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dalam perkara Bank Mulia Arta Sentosa v. Herman Wiryadi, No.
273/Pdt.G/2000 PN Jakarta Pusat tanggal 14 November 2000.
Perkara ini terjadi ketika tergugat memperoleh kredit dari penggugat sebesar
Rp550 juta yang dituangkan dalam akta pengakuan hutang No. 32 tanggal 2 Februari
1993, penambahan kredit sebesar Rp250 juta yang dituangkan dalam akta pengakuan
hutang dengan pemberian jaminan No. 122 tanggal 15 Juni 1993, serta memperoleh
kredit sebesar Rp200 juta yang dituangkan dalam akta pengakuan hutang dengan
pemberian jaminan No. 75 tanggal 12 Agustus 1993. Pada tanggal 30 November 1994
memperoleh kredit lagi sebesar Rp50 juta yang dituangkan dalam perjanjian kredit
No. 519/ PK/FL/XI/1994 dan sebesar Rp 50 juta yang tercantum dalam perjanjian
kredit No. 573/PK/FL/I/1995 tanggal 30 Januari 1995. Untuk menjamin pembayaran
hutang, tergugat memberikan jaminan sebidang tanah dan bangunan di atasnya
sertifikat HGB No. 2615 atas nama Herman Wiryadi terletak di jalan Barat
Kecamatan Kebun Jeruk. Selain itu, diadakan jaminan fidusia atas satu unit mobil
Toyota tahun 1991 jenis penumpang BPKB atas nama Herman Wiryadi, satu unit
mobil Toyota Corona tahun 1986 yang dituangkan dalam perjanjian Pemberian
Jaminan Secara Fidusia No. 18/F/V/1993 tanggal 24 Mei 1993 dan Spare part motor
Honda terdiri dari 124 buah Cyl blok GL Pro, 9800 set platina GL, 2050 rantai roda
GL, 285 buah Carburator, 2120 buah pelat 250 X 18, 724 set setang seher GL dan
1024 set plat kopling GL yang dituangkan dalam perjanjian Pemberian Pinjaman
Secara Fidusia No. 113 tanggal 15 Juni 1993.
Kasus yang sama dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Medan dalam
perkara Prima Ekspres Bank Cabang Medan v. Lim Bun long, No.
176/Pdt.GG/1998/PN-Mdn, tanggal 17 September 1998.
Perkara ini terjadi diawali dengan Lim Bun long (tergugat) meminjam kredit
kepada Prima Ekspress Bank (penggugat) sebesar Rp20 juta sesuai dengan akta
pengakuan hutang dengan jaminan fidusia tanggal 5 Agustus 1997, dengan bunga
sebesar 11,87% per tahun dan harus dibayar lunas tanggal 5 Agustus 2000. Sebagai
jaminan kredit, tergugat menyerahkan satu unit mobil sedan model truk Mitsubishi
tahun 1995 kepada penggugat secara fidusia. Meskipun jangka waktu kredit telah
berakhir, tergugat tidak memenuhi kewajiban untuk membayar angsuran pokok
beserta bunganya. Penggugat memberikan peringatan, tetapi tergugat tidak
mengindahkannya. Dengan demikian, tergugat telah melaku-kan perbuatan
ivanprestasi. Menurut Pasal 2 akta perjanjian fidusia tersebut di atas, apabila tergugat
melalaikan kewa-jibannya, penggugat berhak memutuskan perjanjian kredit yang
masih berjalan dan menagih hutang yang masih tersisa dengan seketika dan sekaligus.
Hutang tergugat sampai tanggal 22 April 1998 berjumlah Rp25.120.896,- belum
termasuk bunga berjalan. Selain itu, berdasarkan Pasal 6 akta jaminan fidusia,
tergugat harus membayar ongkos tagih sebesar 20% dan segala biaya yang timbul
sebagai akibat gugatan ini.
Karena gugatan ini didasarkan pada bukti otentik, cukup beralasan untuk
mengabulkan gugatan ini dengan serta merta. Untuk menjamin tuntutan penggugat,
perlu diletakkan sita jaminan terhadap harta milik tergugat baik barang bergerak
maupun tidak bergerak. Dalam persidangan tergugat tidak hadir. Untuk menguatkan
dalil gugatannya, penggugat mengajukan bukti-bukti. Selanjutnya, pengadilan
memberikan pertimbangan hukum bahwa ternyata tergugat telah dipanggil dengan
patut dan ketidakhadirannya tidak ternyata disebabkan oleh halangan yang sah hingga
tergugat dinyatakan tidak hadir. Dalam petitum penggugat mohon dinyatakan bahwa
tergugat telah wanprestasi terhadap perjanjian kredit dengan fidusia tanggal 5
Agustus 1997. Menurut Pasal 1 perjanjian tersebut, tergugat telah menerima pinjaman
kredit dari penggugat sebesar Rp200 juta dan harus dilunasi tergugat tanggal 5
Agustus 2000. Ternyata tergugat tidak pernah mengangsur hutangnya walaupun
sudah diperingati penggugat dan sesuai dengan Pasal 7, tergugat wajib menyerahkan
barang jaminan tersebut kepada pihak penggugat. Berdasarkan uraian di atas, tuntutan
terhadap tergugat telah melakukan perbuatan ivanprestasi cukup beralasan
dikabulkan.
Apabila objek jaminan fidusia dalam keadaan rusak, dan debitur fidusia
tidak dapat melunasi hutangnya, penyitaan benda jaminan atas permintaan
kreditur fidusia tidak harus menunggu bahwa debitur fidusia memperbaiki benda
tersebut seperti dalam keadaan semula sebagaimana pada saat debitur fidusia
menyerahkan benda jaminan itu. Kelalaian atas kewajiban merawat benda
jaminan fidusia adalah tanggung jawab debitur fidusia.
Kasus tentang benda jaminan fidusia dalam keadaan rusak dapat dilihat
dari putusan Pengadilan Negeri Siantar dalam perkara Sejahtera Bank Umum v.
Timbul Saragih, No. 26/ pdt.G/1991/PN-PMs, tanggal 11 Oktober 1991.
Jumlah pinjaman Rp41 juta dengan bunga 1,25% per bulan, jangka waktu
48 bulan. Jaminan yang diserahkan tergugat satu mobil mercedes benz tahun
1980, satu mobil bis mercedes benz tahun 1982, satu mini bis daihatsu 1985.
Barang jaminan tersebut berdasarkan akta notaris No. 35, tanggal 28 Juli 1990
diganti dengan barang jaminan yang baru berupa satu mobil truk toyota tahun
1981 dan satu mobil truk daihatsu tahun 1980. Selain itu, diserahkan barang
jaminan berupa tanah sertifikat hak milik, luas 1190 m2 atas nama Ropinus
Sitinjak. Terhadap jaminan mobil tersebut dibuat akta pemindahan hak milik
mutlak sebagai jaminan fidusia atas nama tergugat di depan notaris. Tergugat
hanya membayar angsuran satu kali sebesar Rp737.000,- dan dua kali pembayaran
bunga masing-masing sebesar Rp437.500,- dan Rp521.730,-. Selanjutnya,
tergugat tidak pernah memenuhi kewajibannya lagi, sehingga dapat dikatakan
wanprestasi.
Dalam hal ini perlu dipertimbangkan, apakah benar sudah pemah ada
pembayaran hutang secara angsuran dari tergugat kepada penggugat. Penggugat
mengakui bahwa tergugat sudah pernah menyicil hutangnya hanya satu kali
angsuran pokok tgl. 30 April 1990 sebesar Rp737,- ribu dan dua kali pembayaran
bunga tgl. 30 April 1990 sebesar Rp937.500,- dan tgl. 7 Juli 1990 sebesar
Rp521.730,- sehingga tergugat masih berhutang sebesar Rp44.263.000,- hutang
pokok dan bunga sebesar Rp5.592.676,-.
Atas pertimbangan di atas, tergugat tidak menyangkal sehingga tergugat
benar masih berhutang kepada penggugat. Bahwa pinjaman tergugat dengan
pembayaran cicilan 48 bulan dan tidak ditentukan akan dibayar sekaligus pada
tanggal 22 Maret 1994 tahun terakhir bertentangan dengan Undang-undang Pokok
Perbankan dan Pasal 2 KUH Perdata tidak tepat sebab sesuatu persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Bahwa tergugat tidak menyangkal pembayaran angsuran yang hanya baru
membayar satu kali angsuran ditambah dengan dua kali pembayaran bunga,
berarti benar dan tidak bertentangan dengan undang-undang yang dikemukakan
tergugat. Kemacetan pembayaran adalah di luar kemampuan tergugat disebabkan
mobil yang menjadi jaminan telah rusak dan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Dengan tidak dipenuhinya kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan terutama
pembayaran setiap bulan sampai perkara diajukan sudah dapat dinyatakan
wanprestasi. Penggugat selaku badan usaha yang menjalankam modalnya kepada
orang lain sudah positif mengharapkan keuntungan, dimana angsuran yang
seharusnya sudah diterima penggugat dapat disalurkan lagi kepada pihak lain.
Oleh karena itu, dengan lalainya tergugat akan menyebabkan kerugian bagi
penggugat. Penyitaan revindicatoir beslag dan conservatoir beslag yang telah
dijalankan oleh juru sita sesuai dengan berita acara sita jaminan No. 26/
BA.Pdt/G/1991/PN - Pms, tgl 5 Oktober 1991 dan No. 10/ C.B/1991/PN - Pms,
tgl 4 Oktober 1991 dinyatakan sah dan berharga. Keputusan dalam perkara ini
hclum dilaksanakan secara serta merta sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 03, tgl 1 April 1978.
Penyitaan adalah salah satu upaya hukum yang diberikan oleh undang-
undang kepada kreditur untuk menjamin tuntutan hak apabila gugatan
dikabulkan.39) Jadi, maksud kreditur penerima fidusia untuk meletakkan sita
terhadap benda jaminan fidusia adalah untuk menjamin hak dari kreditur
penerima fidusia dan untuk menjaga adanya usaha debitur pemberi fidusia
40)
menyingkirkan atau menjauhkan benda dari kreditur penerima fidusia. Yang
dimaksud dengan menyingkirkan atau menjauhkan benda yang disita adalah dengan
39
Pasal 227 HIR pada prinsipnya mengatakan apabila ada persangkaan yang beralasan bahwa
seseorang berhutang mencari akal akan menggeJapkan atau menjauhkan barang dari kreditur, akan
dapat diletakkan sita untuk menjaga hak kreditur,
melakukan penjualan atau menghilangkan benda jaminan. 41) Dengan penyitaan
benda jaminan fidusia dimaksudkan bahwa kreditur penerima fidusia memper-
siapkan agar kepentingannya dapat dilaksanakan lewat putusan hakim. Ini
berarti benda jaminan fidusia yang disita tidak boleh lagi diaJihkan kepada siapapun.
Debitur pemberi fidusia yang menguasai benda jaminan fidusia kehilangan
kewenangannya dan apabila benda jaminan itu diasingkan atau dialihkan maka
perbuatan tersebut tidak sah dan merupakain perbuatan pidana. 42)
Yang menjadi masalah adalah penyitaan benda jaminain fidusia sudah tidak
ada lagi atau bendanya tidak ditemukain lagi. Dalam hukum acara perdata, penyitaan
yang demikiaui lazim disebut dengan istilah sita niet bevindin. Tidalk
ditemukannya benda jaminan yang disita di lapangan pada saat pelaksanaan sita dapat
terjadi terhadap semua baranjg yang ditunjuk penggugat atau hanya mengenai barang
tertentui saja. Sita niet bevinding telah digariskan dalam Surat Edaraw Mahkamah
Agung No. 2 Tahun 1962 tanggal 25 April 19622. Dalam surat tersebut pengertian
niet bevinding harus diberikarn makna yang luas yakni meliputi secara nyata
barangnya tidallc diketemukan, secara nyata barangnya tidak ada, sifat dan jenigs
tidak cocok dengan yang dikemukakan penggugat, dan batas-batas serta luas yang
dikemukakan penggugat tidak sesuai-i dengan kenyataan di lapangan. 43) Tujuan dari
surat edaram tersebut adalah untuk menghindari penyitaan benda jaminam yang tidak
pasti. Hasil temuan penelitian mengenai sita nietd bevinding adalah benda jaminan
fidusia tidak ditemukan lagiA, kreditur penerima jaminan fidusia tidak dapat
menunjukkann benda jaminan fidusia, benda jaminan fidusia tidak diketahuii
keberadaannya, benda jaminan fidusia sudah tidak ada lagi dam kreditur fidusia
tidak dapat menunjukkan benda jaminam fidusia.
Kasus perjanjian jaminan fidusia yang objeknya telah disita. dan tuntutan
kreditur dikabulkan hakim tetapi ternyata barangnya tidak ditemukan lagi dapat
dilihat dari putusan Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Bank Internasional
Indonesia v. Kwan Pok Keng, Liaw Tjai Hoa dan Ng Tjin San, No. 462/Pdt.G/PN-
Mdn, tanggal 23 Juni 1992.
Hal ini dapat dilihat dalam putusan Pengadilan Negeri Medan dalam
perkara Sejahtera Bank Umum v. Chairul Azhari Siregar No. 105/Pdt.G/1994/PN-
Mdn, tanggal 30 Agustus 1994.
Kejadian kasus tersebut bermula dari Chairul Azhari Siregar (tergugat) meminjam
kredit kepada Sejahtera Bank Umum (penggugat) sebesar Rp8.500.000,- dengan
bunga 15% per tahun. Jangka waktu perjanjian kredit ditentukan 18 bulan
terhitung tanggal 3 Juni 1993 sampai dengan 3 Desember 1994 yang dituangkan
dalam akta pengakuan hutang dan penyerahan jaminan secara fidusia No. 16
tanggal 3 Juni 1993. Jaminan yang diserahkan tergugat adalah satu unit mobil
Mitsubisi Lancer tahun 1983. Tergugat harus membayar angsuran hutang kepada
penggugat sebesar Rp578.500,- setiap bulannya sebanyak 18 kali sesuai dengan
pernyataan tergugat tanggal 3 Juni 1993. Sejak memperoleh kredit tergugat tidak
pernah memenuhi kewajiban untuk mengangsur hutang kepada penggugat,
sehingga penggugat dirugikan. Tergugat telah berulang kali diperingati oleh
penggugat, tetapi tergugat tidak pernah mengindahkannya. Hal ini mcnunjukkan
bahwa perbuatan tergugat merupakan wanprestasi. Hutang tergugat sampai
dengan tanggal 25 Maret 1994 berjumlah Rpl3.363.000,-ditambah denda
keterlambatan Rp 10 ribu per hari sampai lunas.
Namun, dapat juga hakim tidak mengabulkan sita jaminan fidusia apabila
kreditur penerima fidusia tidak dapat menunjukkan benda jaminan yang akan
disita (mobil). Sikap hakim tersebut dapat dilihat dalam putusan Putusan
Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Prima Ekspress Bank v. Guntur P.
Napitupulu, No. 308/Pdt.G/1994/PN-Mdn, tanggal 28 Maret 1995.
Tergugat telah memutuskan atau mengakhiri masa jangka waktu perjanjian kredit
yang masih berjalan kepada penggugat. Dengan demikian, tergugat telah
melakukan wanprestasi. Sebagai jaminan hutang, tergugat telah menyerahkan
satu mobil Mercedes Benz tahun 1988 dan satu unit mobil Mercedes Benz tahun
1987 secara fidusia berdasarkan akta No. 77 tersebut di atas. Biaya penagihan
hutang dibebankan kepada tergugat seperti yang ditentukan dalam Pasal 5 grosse
akta. Tergugat dibebani untuk membayar ongkos tagih pengacara sebesar 10%.
Karena tergugat telah melakukan wanprestasi, biaya perkara menjadi tanggung
jawab tergugat. Berdasarkan bukti-bukti otentik yang diajukan oleh penggugat
sangat beralasan untuk mengabulkan gugatan penggugat dengan putusan serta
merta. Untuk menjamin gugatan penggugat ini perlu diletakkan sita milik atas
jaminan fidusia dan sita jaminan serta penggugat ditetapkan sebagai penjaga
atas dua unit mobil yang disita. Dalam persidangan ini tergugat tidak hadir
walaupun telah dipanggil dengan patut. Selanjutnya, penggugat mengajukan
bukti-bukti untuk memperkuat dalil gugatannya.
Dalam kasus yang lain sebelum tahun 1995, pernah juga dipuruskan hal
yang sama oleh Pengadilan Negeri Medan yakni permohonan sita yang
dimintakan oleh kreditur fidusia ditolak oleh hakim dengan alasan kreditur fidusia
tidak dapat menunjukkan benda jaminan yang akan disita. Putusan itu terlihat
dalam perkara Bank Ball Cabang Medan v= Abdullah Mahmud, No. 385/Pdt.
G/1992/PN-Mdn, tanggal 18 Januari 1993.
Berdasarkan Pasal 5 akta No. 44 dikatakan bahwa bank untuk setiap saat
dapat mengakhiri perjanjian kredit apabila tergugat melalaikan kewajiban
melunasi hutang dan menagih pinjaman seketika dan sekaligus. Sampai tanggal
11 Juli 1992, hutang pokok ditambah bunga berjumlah Rp27.622.959,- belum
termasuk bunga berjalan. Sebagai jaminan hutang diserahkan tergugat satu unit
tracktor Massey Ferguson. Sesuai kuitansi No. faktur 0003-AB-VIII-90, tanggal
25 Agustus 1990 pengikatan jaminan dilakukan dengan akta milik fidusia sebagai
jaminan No. 45 tanggal 6 September 1990. Untuk menjamin tunrutan penggugat
perlu diletakkan sita jaminan atas benda tidak bergerak dan sita milik atas jaminan
fidusia. Dalam persidangan tergugat tidak hadir dan tidak disebabkan halangan
yang sah. Untuk menguatkan dalil-dalil penggugat diajukan surat-surat bukti.
Dari gambaran di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
hak preferen harus dilihat dalam kaitannya dengan kreditur-kreditur lain. Kedua,
hak preferen menggambarkan adanya kaitan antara hak dengan objek jaminan
44
Penjelasan Umum UUJF di bawah angka 3.
45
Menurut Bindu Tigor Naibaho, apabila jaminan fidusia tidak didaftarkan di kantor
pendaftaran fidusia, kreditur penerima jaminan fidusia tidak mendapatkan perlindungan
hukum, hasil wawancara tanggal 26 Februari 2002.
fidusia. Ketiga, pelaksanaan hak adalah untuk mengambil pelunasan piutang
bukan memiliki objek jaminan fidusia. Keempat, hak preferen lahir pada saat
jaminan fidusia didaftarkan.
Menurut KUH Perdata, hak preferen hanya diberikan kepada kreditur yang
diistimewakan (privilege), gadai dan hipotik.46) Gadai dan hipotik lebih tinggi
kedudukannya dari hak privilese kecuali undang-undang menentukan
sebaliknya.47) Yang menjadi pertanyaan, jaminan fidusia tidak ada dicantumkan
dalam KUH Perdata tetapi secara analogi dari gadai dapat dikatakan bahwa
jaminan fidusia memiliki hak preferen. Setelah keluarnya UUJF, semakin jelas
dan secara eksplisit dinyatakan bahwa kreditur penerima fidusia mempunyai hak
preferen.48) Tidak ditegaskan lebih lanjut apakah hak preferen kreditur tersebut
lebih tinggi kedudukannya dari pada hak privilese atau sebaliknya. Permasalahan
yuridis ini terungkap dalam putusan Pengadilan Negeri Medan dalam perkara
Bank Bumi Daya v. Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat dan P.T. Mahogani
Indah Industri No. 40/Pdt.Plw/1994 tanggal 17 November 1994 seperti yang telah
diuraikan sebelumnya.
Bertitik tolak dari kasus hak preferen piutang fiscus, putusan pengadilan
tersebut dapat melengkapi kekurangan norma hukum dalam UUJF. Setidak-
46
Pasal 113 3 KUH Perdata.
47
Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata.
48
Pasal 27 ayat (2) UUJF.
tidaknya dapat di-masukkan sebagai penyempurnaan UUJF yang akan datang.
Artinya bukan hanya piutang fiscus saja yang berada di atas piutang jaminan
fidusia, melainkan juga dapat dipikirkan hak-hak privilese lainnya yang harus
didahulukan dari piutang jaminan fidusia. Sebaliknya, dapat saja jaminan
fidusia diletakkan di atas hak privilese karena kreditur penerima fidusia adalah
pemilik benda jaminan.
Dalam kasus lainnya dapat pula dilihat hak preferensi kreditur penerima
fidusia atas benda jaminan yang disita dalam perkara pidana, yang telah
dipuruskan oleh Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Bank Danamon
Indonesia v. Sudarli, No. 220/Pdt.G/1994/PN- Mdn, tanggal 21 September 1994.
Kasus tersebut diawali dengan Sudarli (tergugat) telah meminjam kredit kepada
Bank Danamon (penggugat) sebesar Rp34.680.000,-. Dalam perjanjian kredit
ditentukan bahwa hutang harus dilunasi tergugat selama 24 bulan terhitung sejak
7 Oktober 1992 sampai 7 Oktober 1994. Dalam perjanjian kredit dan pengakuan
tersebut, tergugat akan membayar bunga sebesar 18% per tahun yang
diperkirakan sebesar Rp9.180.000,-. Sebagai jaminan, tergugat telah menyerahkan
satu unit mobil Isuzu berdasarkan kontrak No. 327/KPM/MDM/ 1092 dengan
jaminan secara fidusia. Tergugat juga menjanjikan bahwa jika tergugat tidak
membayar kembali uang pinjaman kredit tersebut, penggugat berhak menarik
kendaraan barang jaminan tersebut dan menjualnya kepada pihak ketiga guna
mengambil pelunasan hutang tergugat pinjaman fasilitas kredit tersebut. Ternyata,
tergugat telah melarikan diri dan keluarganya telah menyatakan tidak sanggup
lagi melunasi hutang tergugat tersebut. Tergugat telah wanprestasi dan memberi
alasan yang kuat kepada penggugat untuk mengambil kendaraan barang jaminan
tersebut untuk diuangkan guna melunasi hutang tergugat. Penggugat khawatir
tergugat akan mengalihkan kendaraan jaminan mobil Isuzu BL 886 kepada
pihak ketiga atau pihak ketiga akan mengambil mobil tersebut sebelum tergugat
melunasi hutang kredit tersebut kepada penggugat. Oleh karena itu, penggugat
memohon kepada pengadilan agar sebelum perkara ini diputuskan supaya
terlebih dahulu diletakkan sita jaminan atas kendaraan mobil Isuzu yang menjadi
jaminan kredit tersebut guna menjamin gugatan penggugat seluruhnya.
Sekarang ini tergugat telah melarikan diri dan diburon oleh pihak berwajib karena
diduga melakukan perbuatan melanggar hukum sehingga tergugat tidak lagi
membayar hutangnya berupa fasilitas jaminan kredit bank tersebut. Penggugat
memohon kepada pengadilan untuk mengambil putusan yang dapat dijalankan
serta merta meskipun tergugat menyatakan perlawanan, banding atau kasasi.
49
Prinsip hukum jaminan tersebut tercantum dalam Pasal 1131 KUH Perdata.
50
Lihat Mariam Darus Badrulzaman, Kertas Kerja "Kerangka Hukum Jaminan Indonesia",
Workshop Hukum Jaminan, Blips Project bekerjasama dengan USU, Medan, 1993, h. 1.
51
Pasal 34 UUJF.
52
Wawancara dengan bank A dan B tanggal 8 Oktober 2001; bank D tanggal 11 Juni 2001.
diikat dengan surat kuasa memasang hak tanggungan atau surat kuasa menjual
atau hak tanggungan atas objek tanah belum bersertifikat, kapal laiit, hak guna
bangunan, hak milik atau jaminan yang bersifat perorangan. Gambaran tersebut
dapat dilihat dari 11 putusan Pengadilan Negeri di Sumatera Utara dalam perkara
jaminan fidusia yang diikuti dengan jaminan lainnya. 53) Sebaliknya, pihak debitur
beranggapan bahwa hutang kredit tidak dapat melibatkah harta kekayaan lainnya,
tetapi benda yang dijaminkan itu saja yang disita. 54) Pendapat lain mengatakan,
seharusnya yang boleh disita dan diminta pertanggungjawaban hanya sebatas
benda jaminan fidusia dengan alasan bahwa ketika membuat perjanjian kredit,
pihak bank sudah dapat menaksir bahwa benda agunan lebih tinggi nilainya dari
jumlah pinjaman yang diberikan. Setiap saat bank dapat mengontrol benda agunan
dan debitur tetap membuat laporan secara berkala. Jadi, kalau ada benda jaminan
fidusia tidak mencukupi untuk melunasi hutang, tentu ada yang "tidak beres"
dalam hubungan hukum antara bank dengan debiturnya.55)
Adalah tidak logis bahwa benda jaminan fidusia tidak mencukupi untuk
menutupi pembayaran hutang debitur karena pada saat perjanjian kredit dengan
pengikatan jaminan fidusia, pihak bank telah melakukan analisis faktor agunan
terhadap nasabah debiturnya. Nilai agunan jaminan fidusia adalah lebih besar dari
pinjaman kredit yang diberikan.
Oleh karena itu, tidak sepantasnya kreditur meminta penyitaan atas benda-
benda lainnya milik debitur. Namun, asas hukum jaminan dan doktrin hukum
perdata mengatakan bahwa semua harta debitur memikul beban untuk melunasi
hutangnya kepada kreditur, sampai terpenuhi seluruh pembayaran hutang.56)
Dari putusan di atas tidak dapat dilihat jalan pikiran hakim yang
beranggapan bahwa tidak pantas diletakkan sita atas objek jaminan fidusia (mobil)
karena tidak ada urgensinya, sehingga permohonan penggugat ditolak. Seharusnya
hakim •nenerangkan mengapa sita ditolak, karena tujuan sita adalah untuk
menjamin tuntutan hak melalui benda jaminan. Tuntutan hak tanpa diikuti
dengan sita atas benda jaminan akan berakibat terjadinya illusoir. Menurut hukum
jaminan, bahwa dibuatnya perjanjian jaminan atas benda-benda secara khusus
adalah untuk menjamin dipenuhinya pembayaran hutang debitur lewat sita,
sehingga tidak beralasan bahwa pemenuhan hak tidak memiliki urgensi dengan
benda jaminan fidusia yang akan disita. Menurut M. Yahya Harahap, kalau dalam
perjanjian hutang piutang telah ditentukan barang jaminan, sita eksekusi dapat
langsung diletakkan pada barang jaminan. Apabila terhadap sita eksekusi
barang jaminan tersebut belum cukup melunasi pembayaran hutang, pihak
nemohon eksekusi dapat mengajukan sita eksekusi terhadap barang yang lain.57)
I. BENDA JAMINAN FIDUSIA MILIK ORANG LAIN
Dalam hukum perdata dikenal asas Nemo plus juris ad alium transferre
potest cjuam ipse habet atau Nemo dat rule.58) Prinsip hukum ini juga berlaku
dalam hukum jaminan kebendaan, antara lain jaminan fidusia. Pemberi fidusia
adalah orang yang memiliki benda jaminan fidusia dan memiliki kewenangan
untuk menjaminkan benda itu kepada kreditur. Dalam praktik perjanjian kredit
dengan jaminan fidusia dikatakan bahwa debitur adalah pemilik benda jaminan.
Bukti kemilikan benda jaminan itu lazimnya diserahkan kepada kreditur
sesuai dengan jenis benda jaminan. Misalnya kendaraan bermotor, bukti
kemilikan yang diserahkan adalah BPKB. Bukti kemilikan mesin-mesin adalah
kuitansi atau faktur pembelian. Namun, dalam praktik pengadilan ditemukan
kasus bahwa benda jaminan fidusia yang diserahkan kepada bank bukan milik dari
debitur tetapi milik orang lain. Hal ini tentu menimbulkan pesoalan yuridis.
Persoalan ini terletak kepada pengertian milik dari benda yang dijaminkan.
Pemahaman milik dalam masyarakat bisnis dapat diartikan dalam dua hal.
Pertama, debitur menguasai titel dari benda jaminan dan sekaligus menguasai
benda secara fisik. Kedua, debitur menguasai benda jaminan secara fisik
57
Ibid, h. 376
58
Nemo dat rule adalah suatu prinsip dari proverty law di Australia. Prinsip ini mengatakan
you cannot pass on a better title than you yourself have. For example, a person who buys
stolen goods, even in good faith, does not get ownership of those goods. Lihat J.C. Carvan,
J.V. Gooley dan E.L. McRae, Loc.cit, h. 38.
sedangkan secara yuridis debitur belum menjadi pemilik. Dikaitkan dengan
hukum jaminan, bilakah saat debitur itu dianggap sebagai pemilik benda jaminan,
atau dapatkah pemilik benda yang hanya menguasai benda jaminan secara fisik
menjaminkan benda itu kepada bank untuk meminjam kredit. Permasalahan
ini semakin jelas dalam kenyataan perilaku bisnis jual beli kredit kendaraan
bermotor. Ada dua hal yang terjadi dalam perjanjian jual beli kendaraan bermotor
yaitu kendaraan bermotor baru dan kendaraan bermotor bekas (second hand).
Dalam jual beli kredit kendaraan bermotor baru, pembeli mengangsur harga setiap
bulan dalam jangka waktu tertentu. Bukti kemilikan atas kendaraan tersebut
lazimnya akan diserahkan setelah pembayaran angsuran terakhir lunas.
Selama angsuran belum dilunasi pembeli, pihak penjual menjaminkan kendaraan
tersebut kepada bank. Yang menjadi problem, apakah penjual dapat
menjaminkan kendaraan tersebut, sedangkan kendaraan itu sudah atas nama
pembeli. Bahkan, tidak tertutup bagi pembeli kendaraan untuk menggadaikan
kendaraan itu kepada pihak lain. Berbeda halnya dengan jual beli kendaraan
bermotor bekas. Pada umumnya, pihak pembeli merasa enggan untuk melakukan
balik nama atas kendaraan tersebut. Lazimnya secara yuridis, bukti kemilikan
berupa BPKB masih atas nama penjual, Keadaan ini sering dimanfaatkan
oleh penjual untuk mendapatkan kredit dengan cara menjaminkan
kendaraan yang telah dijual melalui jaminan fidusia kepada bank.
Tentunya pembeli dirugikan atas perbuatan pihak penjual. Persoalan yuridisnya,
apakah penjual dapat menjaminkan kendaraan tersebut cukup dengan
menunjukkan bukti kemilikan berupa BPKB kepada bank dan sebaliknya apakah
bank dapat menerima jaminan yang diserahkan debitur tanpa meneliti secara jelas
keadaan fisik benda jaminan. Dalam Undang-undang Perbankan, dianut prinsip
bahwa bank harus bersikap hati-hati untuk memberikan kredit kepada nasabah
debitur. Salah satu realisasi prinsip kehati-hatian tersebut adalah ketika bank
menilai faktor collateral.
Dalam UUJF tidak ada ketentuan yang mengatur tentang benda jaminan
fidusia yang berasal dari harta bersama. Yang menjadi persoalan adalah, apakah
seorang istri dapat menjaminkan harta benda secara fidusia yang diperoleh selama
perkawinan tanpa izin suami. Yang dimaksud dengan harta benda yang diperoleh
selama perka • man adalah harta bersama.59) Undang-undang tidak rnenjelaskan,
atas usaha siapa harta benda itu diperoleh, apakah atas jerih payah isteri atau
suami. Yang terpenting bagi hukum adalah harta benda itu diperoleh selama
perkawinan. Juga undang-undang tidak rnenjelaskan luas cakupan harta bersama
tersebut. Menurut Kompilasi Hukum Islam, harta bersama meliputi harta benda
berwujud dan harta benda tidak berwujud. Harta benda berwujud meliputi benda
bergerak dan benda tidak bergerak.60)
59
Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.
60
Pasal 91 ayat (1) dan (2) Instruksi Presiden No.l Tahun 1991.
61
Pasal 36 ayat (1) UU No.l Tahun 1974.
62
Lihat Pasal 91 ayat (4) Instruksi Presiden No.l Tahun 1991.
suami atau istri jika salah satu pihak hendak menggunakan harta bersama adalah
didasarkan kepada asas keseimbangan antara hak dan kedudukan suami istri baik
dalam rumah tangga maupun kehidupan masyarakat.63)
63
Pasal 31 ayat (1) UU No.l Tahun 1974.
tersebut kepada tergugat I agar mobil tersebut dapat diperjualbelikan kembali.
Sehubungan dengan itu, penggugat menghubungi tergugat II untuk menanyakan
uang muka sebesar Rp5.627.925,- yang ternyata tidak turut diperhitungkan oleh
tergugat I dan II. Perbuatan tergugat-tergugat tersebut dapat dikatakan sebagai
perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, pantas dan adil apabila pengadilan
menyatakan sah sebagai pembayaran uang muka sebesar Rp24 juta ditambah uang
angsuran mobil sebesar Rp5.627.925,-. Dengan demikian, tindakan tergugat I yang
menerbitkan surat teguran tanggal 22 Februari 1994 dan tanggal 1 Maret 1994
adalah cacat hukum sehingga batal demi hukum. Adalah patut dan adil bahwa
pengadilan juga menyatakan sisa pembayaran pembelian mobil sebesar
Rp28.570.200,- dan menerima angsuran mobil sebesar Rp2.327.917,- per bulan
sejak gugatan ini didaftarkan sampai lunas. Apabila tergugat I menarik mobil,
penggugat sangat dirugikan sehingga untuk menghindarinya guna kepastian hukum,
patut dan adil menurut hukum apabila penggugat diberikan kesempatan untuk
melunasi pembayaran harga mobil terhitung sejak putusan propisionil. Akibat
tindakan tergugat-tergugat, penggugat mengalami kerugian materil dan moril.
Kerugian materil adalah biaya yang telah dikeluarkan dan biaya pengacara sebesar
Rp 20 juta dan kerugian moril adalah tnencemarkan nama, harkat martabat dan
status penggugat di tengah keluarga, di hadapan instansi swasta, lembaga perbankan,
teman notaris, yang jumlahnya sebesar Rp.500 juta. Untuk menjamin tuntutan
penggugat, mohon pengadilan meletakkan sita jaminan atas harta benda bergerak dan
tidak bergerak milik tergugat-tergugat. Selanjutnya, mohon perkara ini dapat
dijalankan terlebih dahulu walaupun ada banding dan kasasi. Atas gugatan tersebut,
tergugat-terugat mengajukan jawaban yang pada pokoknya, dalam konpensi bahwa
penggugat telah mengakui rnembeli satu unit mobil Mitsubishi New Eterna tahun
1991 dengan menggunakan fasilitas kredit dari tergugat II. Bahwa dalam perjanjian
kredit ditentukan fasilitas kredit diberikan sebesar Rp55.500.OCX),- adalah untuk
membeli satu unit mobil tidak benar, tetapi yang benar adalah untuk membiayai satu
mobil Mitsubishi dengan harga yang diperhitungkan penggugat sebesar
Rp83.805.300,- adalah kesimpulan dari penggugat sendiri yang telah menyimpang
dari kesepakatan. Sesuai dengan Pasal 2 akta perjanjian kerjasama No. III tanggal
19 Juli 1988 antara tergugat I dengan tergugat II di hadapan notaris dikatakan bahwa
tergugat I harus terlebih dahulu melakukan seleksi terhadap calon pembeli dan calon
pembeli yang sudah disetujui tergugat II akan membuat perjanjian kredit
tersendiri. Dalam perjanjian kredit ditentukan bahwa calon pembeli harus membayar
uang muka minimal 20% dari harga mobil kepada tergugat II. Harga mobil adalah
Rp79.500.000,- dikurangi uang muka Rp24 juta, sisanya Rp55,5 juta yang
akan dibayar oleh tergugat II. Uang muka yang disetor penggugat kepada tergugat I
sebesar Rp24 juta dan hal tersebut sesuai dengan jangka waktu kredit 3 tahun. Setiap
bulan penggugat membayar cicilan Rp2.327.925,- yang dimulai tanggal 10 Agustus
1991. Hal ini telah disetujui oleh penggugat terbukti dengan telah dicicilnya sebanyak
11 kali yaitu dari tanggal 10 Agustus 1991 s.d. 17 Juni 1992. Dari pembayaran
tersebut ternyata jumlah hutang baru dibayar oleh penggugat sebesar Rp25.607.175,-.
Kedua barang sita itu adalah harta bersama antara pelawan dengan
terlawan III yang terikat dalam perkawinan yang sah. Oleh karena itu, pelawan
mohon kepada PN Medan untuk mengambil putusan dalam provisionil seperti
tersebut dalam surat gugatan perlawanan serta memberikan putusan, pertama,
mengabulkan gugatan perlawanan (verzet) pelawan tesebut untuk seluruhnya.
Kedua, menyatakan demi hukum bahwa pelawan adalah pelawan yang baik.
Ketiga, menyatakan demi hukum bahwa sita milik dan sita jaminan yang
diletakkan berdasarkan penetapan PN Medan No. 107/Pdt.G/1994/PN-Mdn
tanggal 30 Mei 1994 tidak sah dan tidak berharga serta harus diangkat/dicabut
kembali yaitu sita yang dimaksud dalam berita acara sita milik No.
107/Pdt.G/1994 PN-Mdn tanggal 6 Juli 1994 atas satu unit mobil Mitsubishi New
Eterna 1991 yang telah dibeli Reny Helena Hutagalung (terlawan III/ terbanding
III) dari P.T. Sumatera Berlian Motors (terlawan I/ pembanding) dan merupakan
harta bersama Maruli H.T.T. Pardede (pelawan/terbanding I) dengan terlawan III/
terbanding III. Demikian juga, sita jaminan atas satu pintu rumah tempat tinggal
terletak di jalan Malaka No. 88 yang merupakan harta bersama antara pelawan
dengan terlawan III yang telah terlebih dahulu diletakkan sita atas objek yang
sama. Keempat, menyatakan demi hukum bahwa sita milik dan sita jaminan dalam
perlawanan ini harus diperintahkan untuk dicabut dan diangkat kembali. Kelima,
menghukum terlawan-terlawan membayar ongkos perkara. Keenant, menyatakan
putusan dalam perkara ini dapat dijalankan secara serta merta walaupun ada
banding atau kasasi. Ketujuh, mohon putusan yang seadil-adilnya.
Pasal 206 ayat (6) Rbg mengatakan bahwa perlawanan terhadap pihak
ketiga terhadap sita conservatoir, sita revindicatoir dan sita eksekusi hanya dapat
diajukan atas dasar hak milik. Jadi, hanya dapat diajukan oleh pemilik atau orang
lain yang merasa bahwa ia adalah pemilik barang yang disita dan diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang secara nyata menyita. Oleh karena itu, judex factie
telah salah dimana mengabulkan perlawanan dari termohon kasasi/pelawan,
seharusnya harta bersama selalu dijaminkan untuk membayar hutang istri atas
suami yang terjadi dalam perkawinan yang ditanggung secara bersama. Keempat,
bahwa Pengadilan Tinggi Medan dengan serta merta menguatkan pertimbangan
serta putusan PN Medan tanpa mempertimbangkan kembali secara keseluruhan
bukti-bukti dari pemohon kasasi/terlawan I.
Sebagai jaminan tergugat I memberikan tanah hak pakai No. 666 luas 236
m2 dijalan Kalimantan No. 9B Medan, jaminan ini diserahkan oleh tergugat II
kepada penggugat sesuai dengan akta pemberian jaminan No. 411 tanggal 30
Maret 1990. Selain itu, diserahkan jaminan fidusia berupa satu unit mesin offset,
sesuai dengan kuitansi No 145/X/86, tanggal 29 Oktober 1986. Jaminan fidusia
ini diserahkan tergugat I kepada penggugat berdasarkan akta pengikatan jaminan
berupa penyerahan hak milik secara kepercayaan No. 413 tanggal 30 Maret 1990.
Jangka waktu pelunasan hutang telah berakhir, tetapi tergugat I tidak memenuhi
kewajibannya membayar hutang pokok dan bunga, dengan demikian tergugat I
telah wanprestasi. Selain hutang tersebut, tergugat I harus membayar biaya
penagihan bagi kuasa penggugat sesuai dengan Pasal 6 dari grosse akta pengakuan
64
Pasal 29 ayat (1) UUJF
hutang No. 410, tanggal 30 Maret 1990. Untuk menjamin tuntutan penggugat
diperlukan sita jaminan atas benda tak bergerak dan sita milik atas jaminan
fidusia. Tergugat II telah meninggal dunia tanggal 11 September 1990, sesuai
dengan kutipan akta kematian No. 444/ 1990 dengan ini kedudukan tergugat II
beralih pada ahli waris dari tergugat II. Dalam jawaban tergugat I tidak
membantah isi gugatan dan tergugat II tidak hadir. Bahkan, tergugat mohon agar
barang jaminan cepat dijual dan sisanya dikembalikan kepada tergugat I.
Selanjutnya, penggugat mengajukan surat-surat bukti.