Anda di halaman 1dari 6

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/339165664

Analisis Kasus Tindak Pidana Perbankan PT. Bank Perkreditan Rakyat KS Bali
Agung Sedana (BPR KS BAS)

Preprint · February 2020

CITATIONS READS

0 6,949

1 author:

Idik Saeful Bahri


Universitas Gadjah Mada
24 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Perlindungan Upah Bagi Pekerja Badan Usaha Milik Desa Ditinjau dari Hukum Ketenagakerjaan (Studi Kasus BUM Desa X) View project

Implikasi Mogok Kerja Karyawan PT. Inecda Riau Terhadap Stabilitas di Internal Perusahaan View project

All content following this page was uploaded by Idik Saeful Bahri on 11 February 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


IDIK SAEFUL BAHRI, S.H., M.H.

E-JOURNAL : HTTPS://INDEPENDENT.ACADEMIA.EDU/IDIKSAEFULBAHRI

ANALISIS KASUS TINDAK PIDANA PERBANKAN PT. BANK PERKREDITAN


RAKYAT KS BALI AGUNG SEDANA (BPR KS BAS)

Oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.

A. Kronologis Kasus
Kasus ini berkaitan dengan penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Jepang oleh PT.
Indonesia Human Support Corporate (IHSC). Dalam persyaratannya, IHSC mewajibkan setiap
TKI yang akan diberangkatkan ke Jepang menyetorkan sejumlah dana kepada IHSC yang akan
digunakan untuk biaya pelatihan ketenagakerjaan. Jumlah dana yang disetorkan tidak sama,
kisarannya setiap TKI dibebankan sekitar Rp. 30 juta hingga Rp. 60 juta. Kisaran biaya tersebut
tergantung asal daerah calon TKI. Para TKI tersebut berasal dari tiga wilayah, yakni Bali,
Banyuwangi, dan Lombok yang keseluruhannya berjumlah 54 orang TKI. Dan untuk mengikat
para TKI yang dijanjikan akan disalurkan ke Jepang dengan imbalan gaji berkisar Rp 18 juta
hingga Rp. 20 juta per bulan, IHSC juga meminta setiap TKI juga menyerahkan sertifikat tanah
yang dimiliki (sertifikat hak milik/SHM).
Seluruh SHM yang telah diserahkan kepada IHSC kemudian dijadikan agunan untuk
memperoleh kredit oleh Jalaludin selaku Dirut IHSC kepada PT. Bank Perkreditan Rakyat KS
Bali Agung Sedaya (BPR KS BAS). Nyoman Supariyani selaku Dirut BPR KS BAS kemudian
memerintahkan pegawai BPR KS BAS untuk memproses pemberian kredit tersebut kepada 54
orang debitur dengan total nilai Rp. 24,225 miliar. Besaran kredit tersebut bervariasi, mulai dari
Rp. 200 juta hingga Rp. 600 juta per debitur. Pemberian kredit tersebut berlangsung pada periode
Maret 2014 hingga Desember 2014. Dalam pengajuan kredit tersebut, para TKI yang dijadikan
debitur tidak mengetahui adanya pengajuan kredit dan tidak pernah menerima uang dari kredit
tersebut. Bahkan terdapat mark up gaji TKI, yang sebenarnya Rp. 13 juta per bulan di-mark up
menjadi Rp. 30 juta, serta waktu kerja yang hanya lima tahun, tetapi kredit dapat terbayarkan

1
IDIK SAEFUL BAHRI, S.H., M.H.

E-JOURNAL : HTTPS://INDEPENDENT.ACADEMIA.EDU/IDIKSAEFULBAHRI

selama lima belas tahun. Selain itu, pencairan kredit tersebut juga dilakukan terlebih dahulu
sebelum semua prosedur administrasi terpenuhi. Dana kredit tersebut diduga digunakan untuk
pembelian sejumlah properti atau diputar untuk dana properti.
April 2018, kasus ini telah diungkap dan ditangani oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
melalui Satuan Kerja Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK yang bekerja sama dengan
Kepolisian Daerah Bali (Polda Bali). Pengungkapan kasus ini berawal dari temuan dalam proses
pengawasan yang dilakukan OJK terhadap kegiatan BPR KS BAS dan juga adanya laporan yang
diterima Polda Bali, yakni dari I Kadek Septian Dwi Cahyadi dan I Putu Arnawa yang tidak jadi
diberangkatkan ke Jepang oleh IHSC. Kedua pelapor tersebut juga mempertanyakan mengenai
kejelasan SHM mereka yang ditahan pihak IHSC. Dalam pengungkapan kasus ini, ada beberapa
tindak pidana yang diselidiki, yakni tindak pidana perbankan, tindak pidana umum
(penipuan/penggelapan), dan tindak pidana pencucian uang. Untuk tindak pidana perbankan
ditangani oleh OJK, sementara untuk kedua tindak pidana yang lain ditangani oleh Polda Bali.
OJK telah mengungkap tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh Nyoman Supariyani selaku
Dirut BPR KS BAS. Dalam proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri Denpasar, Nyoman
Supariyani selaku Dirut BPR KS BAS telah terbukti melakukan tindak pidana perbankan, yakni
ketentan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) juncto Pasal 64
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal ini, hakim dalam putusannya
yang dibacakan pada 08 Oktober 2018 menghukum Nyoman Supariyani selaku Dirut BPR KS
dengan pidana penjara selama enam setengan tahun dan pidana denda sebesar Rp. 5 miliar
subsider tiga bulan kurungan. Sementara itu, untuk dugaan tindak pidana umum
(penipuan/penggelapan) dan tindak pidana pencucian uang yang diduga melibatkan Jalaludin
selaku Dirut IHSC sampai saat ini sedang ditangani Polda Bali.
OJK sebelumnya melalui Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP-202/D.03/2017
tentang Pencabutan Izin Usaha PT Bank Perkreditan Rakyat KS Bali Agung Sedana, mencabut
izin usaha BPR KS BAS yang beralamat di Jl. Raya Kerobokan No. 15Z, Kuta, Badung, Bali

2
IDIK SAEFUL BAHRI, S.H., M.H.

E-JOURNAL : HTTPS://INDEPENDENT.ACADEMIA.EDU/IDIKSAEFULBAHRI

terhitung sejak tanggal 03 November 2017. BPR KS BAS tersebut telah masuk status Bank
Dalam Pengawasan Khusus sejak tanggal 12 April 2017, dan sesuai ketentuan yang berlaku,
BPR KS BAS diberikan kesempatan selama 180 hari untuk melakukan upaya penyehatan. Akan
tetapi, dalam jangka waktu tersebut, BPR KS BAS tidak dapat menjalankan semua arahan yang
diberikan, sehingga BPR KS BAS pun ditutup.

B. Analisis Kasus
Berdasarkan kronologis kasus tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Nyoman
Supariyani selaku Dirut BPR KS BAS bekerja sama dengan Jalaludin selaku Dirut IHSC dalam
melakukan kejahatannya. Modus yang dilakukan oleh Jalaludin sendiri adalah memberangkatkan
para TKI untuk bekerja di Jepang dengan salah satu syaratnya menyerahkan SHM yang dimiliki
oleh para TKI sebagai jaminan atau untuk mengikat para TKI. Akan tetapi, justru SHM tersebut
dijadikan jaminan oleh Jalaludin untuk mendapatkan kredit di BPR KS BAS, kredit tersebut
diatasnamakan kepada para TKI tanpa sepengetahuan dari para TKI tersebut. Tidak hanya itu,
dana yang diperoleh dari kredit tersebut tidak diserahkan kepada para TKI, melainkan diserahkan
kepada IHSC. Sementara itu, modus yang dilakukan Nyoman Supariyani adalah dengan
memerintahkan pegawainya untuk memproses pemberian kredit kepada 54 debitur dengan total
nilai sebesar Rp. 24,225 miliar pada periode Maret 2014 sampai dengan Desember 2014. Proses
penyaluran kredit tersebut tidak sesuai dengan prosedur sehingga menyebabkan pencatatan palsu
dan tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan suatu bank
terhadap ketentuan perbankan. Hal-hal yang tidak sesuai prosedur dalam pemberian kredit
tersebut adalah adanya mark-up gaji TKI, yang sebenarnya Rp. 13 juta per bulan di-mark up
menjadi Rp. 30 juta, serta waktu kerja yang hanya lima tahun, tetapi kredit dapat terbayarkan
selama lima belas tahun atau kredit diberikan selama lima belas tahun, sehingga tidak mungkin
para debitur akan mampu melunasi kredit tersebut.

3
IDIK SAEFUL BAHRI, S.H., M.H.

E-JOURNAL : HTTPS://INDEPENDENT.ACADEMIA.EDU/IDIKSAEFULBAHRI

Berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh Nyoman Supariyani dalam pemberian kredit
yang tidak sesuai prosedur sebagaimana yang disebutkan diatas, bertentangan dengan ketentuan
dalam hukum perbankan, yakni ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a Jo Pasal 49 ayat (2)
huruf b UU Perbankan. Pasal 49 ayat (1) huruf a UU Perbankan menyatakan bahwa “anggota
Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja membuat atau menyebabkan
adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau
laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank”. Nyoman Supariyani dalam
kasus ini telah jelas melakukan pencatatan palsu dengan melakukan mark-up gaji TKI yang
seharusnya Rp. 13 juta per bulan menjadi Rp. 30 juta, dan memberikan jangka waktu kredit
selama lima belas tahun, sementara waktu kerja para TKI hanya selama lima tahun.
Oleh karena itu, tindakan Nyoman Supariyani yang tidak sesuai prosedur diatas,
menunjukkan telah terjadi penyimpangan terhadap ketentuan perbankan sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan yang menyatakan bahwa “anggota Dewan
Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-
langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-
undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, dapat
dipidana diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8
(delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)”.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar, hakim menyatakan bahwa Nyoman
Supariyani telah melanggar Pasal 49 ayat (2) huruf b jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Pasal 64 ayat
(1) KUHP sendiri menyatakan bahwa “Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing
merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika
berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”.
Terkait tindak pidana umum yang dapat dikenakan kepada Jalaludin selaku Dirut IHSC
adalah penggelapan dalam Pasal 372 KUHP/penipuan dalam Pasal 378 KUHP. Pasal 372 KUHP
4
IDIK SAEFUL BAHRI, S.H., M.H.

E-JOURNAL : HTTPS://INDEPENDENT.ACADEMIA.EDU/IDIKSAEFULBAHRI

menjelaskan bahwa “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara
paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Sementara
Pasal 378 KUHP menyatakan bahwa “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu,
dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan
piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Dari dua rumusan Pasal diatas, tindakan yang dilakukan Jalaludin dalam pengajuan kredit
di BPR KS BAS masuk kategori penggelapan sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 372
KUHP. Dalam hal ini Jalaludin memiliki/menguasai barang milik orang lain berupa SHM milik
para TKI, yang kemudian dijadikan Jalaludin sebagai jaminan untuk mendapatkan kredit di BPR
KS BAS tanpa sepengetahuan/seizin pemilik SHM.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai