Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS KASUS TINDAK PIDANAPERBANKAN PT.

BANK PERKREDITAN

RAKYAT KS BALI AGUNG SEDANA (BPR KS BAS)

Oleh : Ketut Adi Ariawan

NIM : 02030030

A. Kronologis Kasus

Kasus ini berkaitan dengan penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke

Jepang oleh PT.Indonesia Human Suport Coporate (IHSC). Dalam

Persyaratannya.IHSC mewajibkan setiap TKI yang akan diberangkatkan ke jepang

menyetorkan sejumlah dana kepada IHSC yang akan digunakan untuk biaya

pelatihan ketenagakerjaan. Jumlah dana Yang disetorkan tidak sama, kisarannya

setiap TKI dibebankan sekitar Rp.30 juta hingga Rp. 60 juta. Kisarannya biaya

tersebut tergantung asal daerah calon TKI. Para TKI tersebut berasal dari tiga wilayah

,yakni Bali,Banyuwangi, dan Lombok yang keseluruhannya berjumlah 54 orang TKI.

Dan untuk mengikat para TKI yang dijanjikan akan disalurkan ke Jepang dengan
imbalan gaji berkisar Rp. 18 juta hingga Rp.20 juta perbulan, IHSC juga meminta

setiap TKI juga menyertakan sertifikat tanah yang dimiliki (sertifikat hak milik/SHM).

Seluruh SHM yang telah diserahkan kepada IHSC kemudian dijadikan agunan

untuk memperoleh kredit oleh Jalaludin selaku Dirut IHSC kepada PT. Bank

Perkreditan Rakyat KS Bali Agung Sedaya (BPR KS BAS). Nyoman Supariyani selaku

Dirut BPR KS BAS kemudian memerintahkan pegawai BPR KS BAS untuk memproses

pemberian kredit tersebut kepada 54 orang debitur dengan total nilai Rp. 24.225

miliar. Besaran kredit tersebut bervariasi, mulai dari RP.200 juta hingga 600 juta per

debitur. Pemberian kredit tersebut berlangsung pada periode Maret 2014 hingga

Desember 2014. Dalam pengajuan kredit tersebut,para TKI yang dijadikan debitur

tidak mengetahui adanya pengajuan kredit dan tidak pernah menerima uang dari

krdit tersebut. Bahkan terdapat mark up gaji TKI, yang sebenarnya Rp.13 juta per

bulan di mark up menjadi Rp.30 juta, serta waktu kerja yang hanya lima tahun, tetapi

kredit dapat terbayarkan selama lima belas tahun. Selain itu, pencairan kredit

tersebut juga dilakukan terlebih dahulu sebelum semua prosedur administrasi

terpenuhi. Dana kredit tersebut diduga digunakan untuk pembelian sejumlah

properti atau diputar untuk dana property.

April 2018, kasus ini telah diungkap dan ditangani oleh Otoritas Jasa

Keuangan (OJK) melalui Satuan Kerja Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK yang

bekerjasama dengan Kepolisian Daerah Bali (Polda Bali). Pengungkapan kasus ini

berawal dari temuan dalam proses pengawasan yang dilakukan OJK terhadap

kegiatan BPR KS BAS dan juga adanya laporan yang diterima Polda Bali, yakni dari I

Kadek Septian Dwi Cahyadi dan I Putu Arnawa yang tidak jadi diberangkatkan ke

Jepang oleh IHSC. Kedua pelapor tersebut juga mempertanyakan mengenai kejelasa
SHM mereka yang ditahan pihak IHSC. Dalam pengungkapan kasus ini,ada beberapa

tindak pidana yang diselidiki, yakni tindak pidana perbankan, tindak pidana umum

(penipuan/penggelapan), dan tindak pidana pencucian uang. Untuk tindak pidana

perbankan, ditangani oleh OJK, sementara untuk kedua tindak pidana yang lain

ditangani oleh Polda Bali. OJK telah mengungkap tindak pidana perbankan yang

dilakukan oleh Nyoman Supariyani selaku Dirut BPR KS BAS. Dalam proses

pemeriksaan di Pengadilan Negeri Denpasar, Nyoman Supariyani selaku Dirut BPR KS

BAS telah terbukti melakukan tindak pidana perbankan, yakni ketentuan Pasal 49

ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) juncto

Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal ini, hakum

dalam putusannya yang dibacakan pada 8 oktober 2018 menghukum Nyoman

Supariyaniselaku Dirut BPR KS BASdengan pidana penjara selama enam setengah

tahundan pidana denda sebesar Rp.5 miliar subsider tiga bulan kurungan.

Sementara itu, untuk dugaan tindak pidana umum (penipuan/penggalapan) dan

tindak pidana pencucian uang yang diduga melibatkan Jalaludin selaku Dirut IHSC

sampai saat ini sedang ditangani Polda Bali.

OJK sebelumnya melalui Keputusan Dewan Komisioner Nomor

KEP-202/D.03/2017 tentang Pencabutan Izin Usaha PT Bank Perkreditan Rakyat KS

Bali Agung Sedana, mencabut izin usaha BPR KS BAS yang beralamat di Jl.Raya

Kerobokan No.15Z, kuta, Badung, Bali terhitung sejak tanggal 03 November 2017.

BPR KS BAS tersebut telah masuk status Bank Dalam Pengawasan Khusus sejak

tanggal 12 April 2017, dan sesuai ketentuan yang berlaku, BPR KS BAS diberikan

kesempatan selama 180 hari untuk melakukan upaya penyehatan. Akan tetapi,
dalam jangka waktu tersebut, BPR KS BAS tidak dapat menjalankan semua arahan

yang diberikan, sehingga BPR KS BAS pun ditutup.

B.Analisis kasus

Berdasarkan kronologis kasus tersebut di atas, dapat diketahui bahwa

Nyoman Supariyani selaku Dirut BPR KS BAS bekerjasama dengan Jalaludin selaku Dirut IHSC

dalam melakukan kejahatannya. Modus yang dilakukan Jalaludin sendiri adalah

memberangkatkan para KI untuk bekerja di jepang dengan salah satu syaratnya

menyerahkan SHM yang dimiliki oleh para TKI sebagai jaminan atau untuk mengikat para

TKI. Akan tetapi, justru SHM tersebut/dijadikan jaminan oleh Jalaludin utk mendapatkan

kredit di BPR KS BAS, kredit tersebut diatasnamakan kepada para TKI tanpa sepengetahuan

dari para TKI tersebut.Tidak hanya itu dana yang di peroleh dari kredit tersebut tidak

diserahkan kepada para TKI, melainkan diserahkan kepada IHSC. Sementara itu, modus yang

dilakukan Nyoman Supariyani adalah dengan memerintahkan pegawainya untuk

memproses pemberian kredit kepada 54 debitur dengan total nilai sebesar Rp.24, 225 miliar

pada periode Maret 2014 sampai dengan Desember 2014. Proses penyaluran kredit

tersebut tidak sesuai dengan prosedur sehingga menyebabkan pencatatan palsu dan tidak

melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan suatu bank

terhadap ketentuan perbankan. Hal-hal yang tidak sesuai prosedur dalam pemberian kredit

tersebut adalah adanya mark-up gaji TKI, yang sebenarnya Rp.13 juta per bulan di mark-up

menjadi Rp.30 juta,serta waktu kerja yang hanya lima tahun, tetapi kredit dapet

membayarkan selama lima belas tahun atau kredit diberikan selama lim belas tahun,

sehingga tidak mungkin para debitur akan mampu melunasi kredit tersebut.

Berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh Nyoman Supariyani dalam pemberian

kredit yang tidak sesuai prosedur sebagaimana yang disebutkan di atas, bertentangan
dengan ketentuan dalam hukum Perbankan, yakni ketentuan dalam pasal 49 ayat (1) huruf a

Jo Pasal 49 ayat (2) huruf b UU perbankan. Pasal 49 ayat 9 (1) hurup a UU perbankan

menyatakan bahwa “anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan

sengaja membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau

laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau

rekening suatu bank”. Nyoman Supariyani dalam kasus ini telah jelas melakukan pencatatan

palsu dengan melakukan mark-up gaji TKI yang seharusnya Rp.13 juta per bulan menjadi

Rp.30 juta, dan memberikan jangka waktu kredit selama lima belas tahun, sementara waktu

kerja para TKI hanya selama lima tahun.

Oleh karena itu, tindakan Nyoman Supariyani yang tidak sesuai prosedur diatas,

menunjukkan telah terjadi penyimpangan terhadap ketentuan perbankan sebagaimana

yang diatur dalam pasal 49 ayat 2 hurup b UUperbankan yang menyatakan bahwa “anggota

Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan

langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan

dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang

berlaku bagi bank, dapat dipidana ancaman dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3

(tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya

Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000.00 (seratus miliar

rupiah)”.

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar, hakim menyatakan bahwa

Nyoman Supariyani telah melanggar Pasal 49 ayat (2) huruf b jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal 64 ayat (1) KUHP sendiri menyatakan bahwa ‘Jika antara beberapa

perbuatan,meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran,ada


hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut,

maka hanya diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat’.

Terkait tindak pidana umum yang dapat dikenakan kepada Jalaludin selaku Dirut

IHSC adalah penggelapan dalam pasal 372 KUHP/penipuan dalam pasal 378 KUHP.Pasal 372

KUHP menjelaskan bahwa ‘Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki

barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada

dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana

penjara paling lama empat tahun atau pidana dend paling banyak Sembilan ratus rupiah’.

Sementara Pasal 378 KUHP menyatakan bahwa ‘Barang siapa dengan maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melanggar hukum,dengan memakai

nama palsu atau martabat palsu,dengan tipu muslihat,ataupun rangkaian kebohongan,

menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya

memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana

penjara paling lama empat tahun’.

Dari dua rumusan masalah diatas, tindakan yang dilakukan Jalaludindalam pengajuan

kredit di BPR KS BAS masuk kategori penggelapan sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal

372 KUHP. Dalam hal ini Jalaludin memiliki/menguasai barang milik orang lain berupa SHM

milik para TKI, yang kemudian dijadikan Jalaludin sebagai jaminan untuk mendapatkankredit

di BPR KS BAS tanpa sepengetahuan/seizing pemilik SHM.

Anda mungkin juga menyukai