VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan pemegang saham pengendali Bank
Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim menjadi
tersangka terkait kasus dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Wakil Ketua KPK, Suat Situmorang menjelaskan konstruksi perkara itu. Pada 21 September
1998, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan Sjamsul Nursalim (SJN)
melakukan penandatanganan penyelesaian pengambilalihan pengelolaan Bank Dagang
Negara Indonesia (BDNI) melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
Dalam MSAA itu, disepakali bahwa BPPN mengambil alih pengeloaan BDNI dan SJN sebagai
pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan
kewajibannya baik secara tunai ataupun berupa penyerahan aset.
Maka, jumlah kewajiban Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP) adalah
sebesar Rp47.258 triliun
"Kemudian, kewajiban tersebut dikurangi dengan sejumlah aset Rp18.850 triliun termasuk
di antaranya: pinjaman kapada petani, petambak sebesar Rp4,8 Triliun. Aset senilai Rp4,8
Triliun ini dipresintasikan SJN seolah-olah sabagai piutang lancar dan tidak bermasalah,"
tuturnya.
Namun, kata dia, setelah dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence
(LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi
misrepresentasi.
Atas hasil FDD dan LDD tersebut, BPPN kemudian mengirimkan surat yang intinya
mengatakan SJN telah melakukan misrepresentasi dan meminta SJN menambah aset untuk
mengganti kerugian yang diderita BPPN tersebut. Namun SJN menolak. Lalu, pada Oktober
2003, menurut dia, agar rencana penghapusbukuan piutang petambak Dipasena bisa
berjalan, maka dilakukan rapat antara BPPN dan pihak SJN yang diwakili isterinya, Itjih
Nursalim. Pada rapat tersebut Ijtih menyampaikan SJN tidak melakukan misrepresentasi.
Pada Februari 2004, dilakukan rapat kabinet terbatas (Ratas) yang intinya BPPN melaporkan
dan meminta pada Presiden RI agar terhadap sisa utang petani tambak dilakukan write
off (dihapusbukukan) namun tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari SJN.
"Ratas tersebut tidak memberikan keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap
usulan write off dari BPPN," katanya.
Setelah melalui beberapa proses, meskipun Ratas tidak memberikan persetujuan namun
pada, pada 12 April 2004, Syafruddin Arsyad Temanggung dan Ijtih menandatangani Akta
Perjanjian Penyelesaian akhir yang pada pokoknya berisikan ialah, pemegang saham telah
menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur di MSAA.
"Sehingga, diduga kerugian keuangan negara yang terjadi adalah sebesar Rp4,58 triliun,"
katanya.
(Sumber : Kronologi yang Bikin Sjamsul Nursalim Jadi Tersangka Kasus BLBI |(viva.co.id))
Ya, KPK telah menetapkan SJN DAN ITN sebagai tersangka kasus BLBI, atas penyidikan
ditemukan bukti yang cukup. Keduanya melanggar pasal 2 ayat 1.
Atas penyidikan itulah, ditemukan bukti yang cukup. Keduanya melanggar pasal 2 ayat 1
tentang tindak pidana korupsi. Adapun konstruksi perkara awalnya diduga pada 21
September 1998 telah terjadi penandatanganan antara BPPN dan Sjamsul atas penyelesaian
pengambilalihan pengelolaan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) melalui Master
Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
Disebutkan dalam MSAA jika BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan Sjamsul sebagai
pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan
kewajiban baik secara tunai atau berupa penyerahan aset.
Jumlah kewajiban Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali (PSP) BDNI adalah
sebesar lebih dari Rp 47 triliun. Kemudian kewajiban tersebut dikurangi dengan aset
sejumlah Rp18 triliun termasuk di antaranya pinjaman kepada petani atau petambak
sebesar Rp 4,8 triliun.
"Aset senilai Rp 4,8 triliun ini dipresentasikan SJN seolah-olah sebagai piutang lancar dan
tidak bermasalah," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode
Muhammad Syarif di Jakarta, Senin (10/6/2019).
Namun, setelah dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD)
disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi
misrepresentasi.
Atas hasil FDD dan LDD tersebut, BPPN kemudian mengirimkan surat yang intinya
mengatakan SIN telah melakukan misrepresentasi dan meminta SJN menambah aset untuk
mengganti kerugian yang diderita BPPN tersebut, namun SJN menolak.
Selanjutnya pada Oktober 2003, agar rencana penghapusan piutang petambak Dipasena
bisa berjalan, maka dilakukan rapat antara BPPN dan pihak SJN yang diwakilkan isterinya,
ITN serta pihak lain. Pada rapat tersebut, ITN menyampaikan SJN tidak melakukan
misrepresentasi.
Kemudian pada Februari 2004, dilakukan rapat kabinet terbatas yang intinya BPPN
melaporkan dan meminta pada Presiden RI agar terhadap sisa utang petani tambak
dilakukan write off atau dihapusbukukan namun tidak melaporkan kondisi misrepresentasi
dari SJN. Ratas tersebut tidak memberikan keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap
usulan write off dari BPPN.
Setelah melalui beberapa proses, meskipun ratas tidak memberikan persetujuan namun
pada 12 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung dan ITN menandatangani akta
perjanjian penyelesaian akhir yang pada pokoknya berisikan pemegang saham telah
menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur pada MSAA.
Pada 26 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung menandatangani surat perihal
pemenuhan kewajiban pemegang saham kepada SIN. Hal ini mengakibatkan hak tagih atas
utang petambah Dipesena menjadi hilang atau hapus.
Pada 24 Mei 2007, PT PPA melakukan penjualan hak tagih hutang petambak plasma senilai
Rp 220 miliar padahal nilai kewajiban SIN yang seharusnya diterima negara adalah Rp 4,8
triliun.
"Sehingga atas kejadian ini, diduga kerugian keuangan negara adalah Rp 4,58 triliun,"
ujarnya.
Sebagai pemenuhan hak tersangka pada 17 Mei 2019, KPK telah mengirimkan informasi
pemberitahuan dimulainya penyidikan dengan tersangka SIN dan ITN pada tersangka ke tiga
lokasi di Singapura dan Indonesia yaitu The Oxley-Singapura, Cluny Road-Singapura, Head
Office of Gii Tire Pte Ltd-Singapura dan Rumah di Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan.
Dikarenakan tersangka SIN diduga sebagai pihak yang diperkaya Rp 4,58 Triliun dalam kasus
korupsi ini, maka KPK akan memaksimalkan upaya aset recovery agar uang yang dikorupsi
dapat kembali kepada masyarakat melalui mekanisme keuangan negara.
(Sumber : Kronologi Kasus BLBI Sjamsul Nursalim yang Jadi Tersangka KPK (cnbcindonesia.com)
KPK Rilis SP3 Perdana, Setop Kasus BLBI Sjamsul Nursalim & Istrinya
tirto.id - KPK menerbitkan SP3 untuk dua tersangka kasus korupsi BLBI, Sjamsul Nursalim
dan Itjih Syamsul Nursalim. tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan Surat
Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) untuk dua tersangka kasus korupsi Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yakni, Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Syamsul Nursalim.
Ini menjadi SP3 pertama usai revisi undang-undang KPK. "Penghentian penyidikan ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 40 UU KPK," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam
konferensi pers di Jakarta pada Kamis (1/4/2021) sore. Sjamsul Nursalim merupakan
pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan Itjih Syamsul
Nursalim selaku obligor bantuan likuiditas BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN), bersama dengan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).
(Sumber : KPK Rilis SP3 Perdana, Setop Kasus BLBI Sjamsul Nursalim & Istrinya - Tirto.ID )