Anda di halaman 1dari 17

KRONOLOGI KASUS BLBI

(BANTUAN LIKUIDASI BANK INDONESIA)

oleh :

Kelompok 7

Gede Rama Juneta (3.15.1.1380)

Michael (3.15.1.1387)

Ida Bagus Agung Andhika Putra (3.15.1.1437)

Fakultas Hukum

Universitas Pendidikan Nasional Denpasar

2017
Kronologi Kasus BLBI

11 Juli 1997
Pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi kurs dari 192 (8 persen) menjadi
304 (12 persen), melakukan pengetatan likuiditas dan pembelian surat berharga pasar uang, serta
menerapkan kebijakan uang ketat.
14 Agustus 1997
Pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (free floating). Masyarakat
panik, lalu berbelanja dolar dalam jumlah sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank
Indonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank
berebut dana masyarakat.
1 September 1997
Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali. Berkembang isu di
masyarakat mengenai beberapa bank besar yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam
transaksi valas.
Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-kecilan.
3 September 1997
Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan serta Produksi
dan Distribusi berlangsung di Bina Graha dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Hasil
pertemuan: pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas,
sedangkan bank yang sakit akan dimerger atau dilikuidasi. Belakangan, kredit ini disebut
bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
1 November 1997
16 bank dilikuidasi.
26 Desember 1997
Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono melayangkan surat ke Presiden
Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang terus mengalami saldo debit akibat
tekanan dari penarikan dana nasabah. Soedradjad mengusulkan agar mengganti saldo debit
dengan surat berharga pasar uang (SBPU) khusus.
27 Desember 1997
Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M.Sesneg/12/1997 yang ditandatangani
Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran direksi Bank Indonesia untuk
mengganti saldo debit bank dengan SBPU khusus agar tidak banyak bank yang tutup dan
dinyatakan bangkrut.
31 Desember 1997
Keran uang Bank Indonesia mulai dibuka, dan mengucurlah aliran dana besar-besaran ke
bank-bank yang saat itu mengalami masalah.
15 Januari 1998
Penandatanganan Letter of Intent. Dalam LoI, pemerintah mendapat pembenaran untuk
memberikan bantuan likuiditas kepada bank yang sekarat karena krisis ekonomi.
26 Januari 1998
Pemerintah mengeluarkan Keppres No. 26/1998 tentang Program Penjaminan.
27 Januari 1998
BPPN didirikan dan tugas penagihan utang BLBI dialihkan ke BPPN
11 Februari 1998
Gubernur BI Soedradjad Djiwandono diganti oleh Syahril Sabirin. Salah satu direktur BI,
Budiono, juga dicopot.
20 Februari 1998
Presiden Soeharto menyetujui pengembalian dana nasabah 16 bank yang dicabut izin
usahanya, 1 November 1997.
5 Maret 1998
Pemerintah mengeluarkan Keppres No 34 Tahun 1998 tentang tugas dan wewenang
BPPN
2 April 1998
Pemerintah mengumumkan akan mencetak Rp 80 triliun uang baru sebagai pengganti
dana BI yang dikucurkan ke bank-bank yang dialihkan ke BPPN.
4 April 1998
Pemerintah membekuoperasikan (BB0) 7 Bank da mengambil alih 7 bank (BTO). Ini
dikenal sebagai likuidasi tahap II.
10 April 1998
Menkeu diminta untuk mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN(Badan Penyehatan
Perbankan Nasional) dengan batas waktu pelaksanaan 22 April 1998
Mei 1998
BLBI yang dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp 164 triliun, dana penjaminan
antarbank Rp 54 triliun, dan biaya rekapitalisasi Rp 103 triliun. Adapun penerima terbesar
(hampir dua pertiga dari jumlah keseluruhan) hanya empat bank, yakni BDNI Rp 37,039 triliun,
BCA Rp 26,596 triliun, Danamon Rp 23,046 triliun, dan BUN Rp 12,067 triliun.
4 Juni 1998
Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan (L/C) bank-bank
dalam negeri oleh Kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan prasyarat agar L/C yang diterbitkan
oleh bank dalam negeri bisa diterima di dunia internasional. Pemerintah nterpaksa memakai dana
BLBI senilai US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 18 triliun pada kurs Rp 14 ribu waktu itu).
21 Agustus 1998
Pemerintah memberikan tenggat pelunasan BLBI dalam tempo sebulan. Bila itu
dilanggar, ancaman pidana menunggu.
21 September 1998
Tenggat berlalu begitu saja. Boro-boro ancaman pidana, sanksi administratif pun tak
terdengar.
26 September 1998
Menteri Keuangan menyatakan pemerintah mengubah pengembalian BLBI dari sebulan
menjadi lima tahun.
27 September 1998
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita meralat
angka lima tahun. Menurut Ginandjar, pemerintah minta pola pembayaran BLBI tunai dalam
tempo setahun.
18 Oktober 1998
Hubert Neiss (Direktur IMF kawasan Asia Pasifik) melayangkan surat keberatan. Dia
minta pelunasan lima tahun.
10 November 1998
Pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 persen, sisanya dikembalikan
dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama. Jumlah kewajiban BLBI dari BTO (bank take-over)
dan BBO (bank beku operasi) saat itu adalah Rp 111,29 triliun.
8 Januari 1999
Pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp 64,5 triliun sebagai tambahan
penggantian dana yang telah dikeluarkan BI atas tagihan kepada bank yang dialihkan ke BPPN.
6 Februari 1999
BI dan Menkeu membuat perjanjian pengalihan hak tagih (on cessie) BLBI dari BI
kepada pemerintah senilai Rp 144,53 triliun
8 Februari 1999
Penerbitan Surat Utang Pemerintah No SU-001/MK/1998 dan No SU-003/MK/1998.
13 Maret 1999
Pemerintah membekukan kegiatan usaha 38 bank, mengambil alih 7 bank, dan
merekapitalisasi 7 bank
Februari 1999
DPR RI membentuk Panja BLBI
19 Februari 1999
Ketua BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) Soedarjono
mengungkapkan adanya penyelewengan dana BLBI oleh para bank penerima. Potensi kerugian
negara sebesar Rp 138,44 triliun (95,78%) dari total dana BLBI yang sudah disalurkan.
13 Maret 1999
Pemerintah mengumumkan pembekuan usaha (BBKU) 38 bank
14 Maret 1999
Pemerintah dan BI mengeluarkan SKB Penjaminan Pemerintah
17 Mei 1999
UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia ditandatangani Presiden Habibie. Dalam UU itu
disebutkan bahwa BI hanya dapat diaudit oleh BPK, dan direksi BI tak dapat diganti oleh siapa
pun.
1 September-7 Desember 1999
BPK mengaudit neraca BI per 17 Mei 1999 dan menemukan bahwa jumlah BLBI yang
dapat dialihkan ke pemerintah hanya Rp 75 triliun, sedangkan Rp 89 triliun tidak dapat
dipertangggungjawabkan. BPK menyatakan disclaimer laporan keuangan BI. Tapi, pejabat BI
menolak hasil audit. Alasannya, dana BLBI itu dikeluarkan atas keputusan kabinet.
28 Desember 1999
Pemerintah melalui Kepala BPPN Glen Yusuf memperpanjang masa berlaku program
penjaminan terhadap kewajiban bank.
Desember 1999
BPK telah menyelesai-kan audit BI dan terdapat selisih dari dana BLBI sebesar Rp 51
triliun yang tidak akan dibayarkan pemerintah kepada BI, terutama karena penggunaannya tidak
dapat dipertanggung-jawabkan.
5 Januari 2000
Ada perbedaan jumlah BLBI antara pemerintah dan BI. Pemerintah menyebut BLBI
sebesar Rp 144,5 triliun plus Rp 20 triliun untuk menutup kerugian Bank Exim (Mandiri). Tapi,
menurut BI, masih ada Rp 51 triliun dana BLBI yang harus ditalangi pemerintah. Dana sebanyak
itu diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama November 1997-
Januari 1998.
10 Januari 2000
Bocoran hasil audit KPMG (Klynveld Peat Marwick Goerdeler) yang ditunjuk BPK
untuk mengaudit neraca awal BI beredar di kalangan wartawan. Audit itu menemukan bahwa
penyelewengan BLBI berjumlah Rp 80,25 triliun.
29 Januari 2000
Audit BPK menemukan fakta bahwa 95,78 persen dari BLBI sebesar Rp 144,54 triliun
berpotensi merugikan negara karena sulit dipertanggung-jawabkan.tersangka dalam kasus cessie
Bank Bali.
21 Juni 2000
Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, ditahan Kejaksaan Agung dengan status
sebagai tersangka
Juli 2000
Menko Ekuin Kwik Kian Gie ingin merevisi MSAA, tapi Ketua BPPN Cacuk
Sudarijanto menyatakan MSAA tetap berlaku.
22 Juli 2000
Hasil audit BPKP menunjukkan, dari total BLBI (posisi audit per 31 Januari 2000)
sebesar Rp 106 triliun, Rp 54,5 triliun diselewengkan. Jumlah ini diberikan kepada 10 BBO dan
32 BBKU yang men-jadi obyek audit BPKP.
31 Juli 2000
BPPN diharuskan mengambil tindakan hukum terhadap semua obligor, termasuk penanda
tangan surat penyelesaian utang MSAA (Master Settlement for Acquisition Agreement) yang
tidak menaati pengembalian BLBI.
1 Agustus 2000
Presiden Abdurrahman menyetujui revisi MSAA, sehingga debitor tetap dapat dituntut
bila aset yang mereka serahkan jauh di bawah jumlah utangnya.
Agustus 2000
Kepala BPPN hanya menarget-kan pengembalian utang BLBI sebesar 30-40 persen.
5 Agustus 2000
Giliran BPK mengumumkan hasil audit menyeluruh BLBI: dari Rp 144,5 triliun BLBI,
potensi kerugian negara Rp 138,4 triliun; dan dari 48 bank penerima, ada penyelewengan
penggunaannya sebesar Rp 84,8 triliun. Yang dapat dipertanggungjawabkan hanya Rp 34,7
triliun (25 persen).
September 2000
Deputi Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, menolak hasil audit BPK. Katanya, potensi
kerugian negara dari BLBI yang besarnya Rp 138 triliun tidak proporsional. Lagi pula, dana itu
keluar karena kebijakan presiden untuk menolong bank-bank yang sekarat.
9 Oktober 2000
Ketua BPK Billy Judono mengatakan bahwa BLBI sudah diberikan oleh BI sejak 1991
hingga 1996. Jadi, tidak benar bahwa BI hanya bertanggung jawab saat krisis saja.
18 Oktober 2000
Komisi IX DPR yang membidangi perbankan menolak jumlah BLBI yang ditanggung BI
hanya sebesar Rp 24,5 triliun. Jumlah ini merendahkan hasil audit BPK, kata anggota dewan
26 Oktober 2000
Jaksa agung menunda proses hukum terhadap 21 obligor agar mereka punya kesempatan
melunasi dana BLBI.
1 November 2000
DPR, Pemerintah dan BI menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian beban
antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan
Awal November 2000
Sumber di BI menyatakan, tanggung jawab BI terhadap BLBI hanya Rp 48 triliun,
terhitung sejak 3 September 1997-29 Januari 1999, bukan sebelum dan sesudahnya
2 November 2000
BPK mengancam BI akan memberikan opini wajar dengan pengecualian terhadap
laporan neraca BI jika dana BLBI tidak dapat dituntaskan.
17 November 2000
Pukul 16.30, pejabat teras BI menyatakan mundur serentak. Mereka yang mundur adalah
Deputi Senior Gubernur Anwar Nasution, Deputi Gubernur Miranda Goeltom, Dono Iskandar,
Achwan, dan Baharuddin Abdullah, dengan alasan tak mendapat dukungan politik pemerintah
dan DPR. Sedangkan Syahril Sabirin, Achjar Iljas, dan Aulia Pohan tidak mundur. Pokok-pokok
Kesepakatan Bersama antara Pemerintah dan BI ditetapkan. Berdasarkan kesepakatan ini, BI
menanggung beban Rp 24,5 triliun dan sisanya menjadi beban Pemerintah.
3 Januari 2001
Dua Deputi BI Aulia Pohan dan Iwan G Prawiranata ditingkatkan berkasnya ke
penyidikan berkaitan dengan keterlibatan mereka dalam penyalahgunaan dana BLBI
7 Maret 2001
DPR mengusulkan pembentukan Pansus BLBI DPR. Pembentukan Pansus ini dipicu oleh
pernyataan Menkeu Prijadi Praptosuhardjo yang menyebutkan pemerintah belum menyepakati
jumlah tanggungan BI sebesar Rp 24,5 miliar.
10 Maret 2001
Pemilik BUN Kaharuddin Ongko ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan
dana BLBI
22 Maret 2001
Pemilik Bank Modern, Samandikun Hartono ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan
penyelewengan dana BLBI
9 April 2001
Dirut BDNI Sjamsul Nursalim yang bersatus tersangka penyelewengan dana BLBI
dicekal Kejaksaan Agung. Selain Sjamsul, David Nusawijaya (Sertivia) dan Samandikun
Hartono (Bank Modern) juga dicekal.
29 Maret 2001
Kejaksaan gung mencekal mantan ketua Tim Likuidasi Bank Industri (Jusup
Kartadibrata), Presider Bank Aspac (Setiawan Harjono).
2 April 2001
Pelaksanaan Program Penjaminan dana nasabah yang semula diatur melalui SKB antara
BI dan BPPN diubah dengan SK BPPN No 1036/BPPN/0401 tahun 2001.
30 April 2001
Kejaksaan Agung membebaskan David Nusawijaya, tersangka penyelewengan BLBI.
Selain itu, Kejaksaan Agung juga mencekal 8 pejabat bank Dewa Rutji selama 1 tahun.
2 Mei 2001
Kejaksaan Agung membebaskan 2 tersangka penyelewengan BLBI (Samandikun Hartono
dan Kaharuddin Ongko) dan mengubah statusnya menjadi tahanan rumah.
19 Juni 2001
Wapresider Bank Aspac, Hendrawan Haryono dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan
dikenai denda Rp 500 juta. Ia didakwa telah merugikan negara sebesar Rp 583,4 miliar
21 Juni 2001
Mantan Direksi BI Paul Sutopo ditahan di gedung Bundar oleh aparat Kejaksaan Agung.
24 Januari 2002 (!!)
Gubernur BI Syahrir Sabirin mengeluarkan SK No 4/1/KEP.GBI/INTERN/2002 tentang
pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian BLBI. Satgas ini bertugas mengkordinasikan
penyelesaian BLBI dan memberikan rekomendasi penyelesaian BLBI yang mencakup bidang
keuangan, bidang hukum dan bidang citra. Satgas ini diketuai oleh M Ali Said, sedangkan Rusli
Simandjuntak menjadi ketua I. Satgas dikordinasikan oleh Direktorat Keuangan Intern BI yang
dijabat Bun Bunan Hupatea.
31 Mei 2002
Tim Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan menyampaikan Laporan
Pemeriksaan Kepatuhan Anthony Salim, Andre Salim dan Sudono Salim untuk memenuhi
Kewajiban-kewajibannya dalam MSAA tanggal 21 September 1998. Dalam bagian
kesimpulannya, TBH antara lain menyatakan meski telah memenuhi sebagian besar kewajiban-
kewajibannya, namun secara yuridis formal telah terjadi pelanggaran, atau kelalaian atau cidera
janji atau ketidakpatuhan, atas kewajiban-kewajibannya dalam MSAA yang berpotensi
merugikan BPPN.
11 Januari 2007
Dua petinggi Salim Grup (Anthony Salim dan Beny Setiawan) menjalani pemeriksaan di
Mabes Polri atas tuduhan telah menggelapkan aset yang telah diserahkan kepada BPPN sebagai
bagian pembayaran utangnya. Aset yang digelapkan itu meliputi tanah, bangunan pabrik dan
mesin-mesin di perusahaan gula Sugar Grup
19 Februari 2007
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di
Gedung MPR/DPR RI menegaskan terhadap 8 obligor yang bermasalah, pemerintah akan
menggunakan kesepakatan awal APU plus denda. Kami tetap akan menjalankan sesuai
keyakinan pemerintah bahwa mereka (delapan obligor BLBI, red) default. Tagihan kepada
mereka adalah Rp 9,3 triliun, tegas. Ke delapan obligor itu adalah James Sujono Januardhi dan
Adisaputra Januardhy (Bank Namura), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Lidia Muchtar
(Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa), Omar Putihrai (Bank Tamara),
Atang Latief (Bank Bira), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Istimarat).
18 September 2007
Sejumlah anggota DPR mengajukan hak Interpelasi mengenai BLBI kepada Pimpinan
DPR
4 Desember 2007
Rapat Paripurna DPR menyetujui Hak Interpelasi Atas Penyelesaian KLBI dan BLBI
yang diajukan 62 pengusul.
21 Januari 2008
Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Jihad Melawan Koruptor BLBI memberikan
penghargaan terhadap sejumlah anggota DPR yang dinilai benar-benar serius hendak
mengungkap kasus BLBI.
28 Januari 2008
DPR RI secara resmi mengirimkan surat kepada Presiden RI agar memberikan
keterangan di depan Rapat Paripurna DPR sekaitan Hak Interpelasi atas penyelesaian KLBI dan
BLBI.
29 Januari 2008
Ratusan orang yang tergabung dalam GEMPUR berunjuk rasa di depan gedung DPR.
Mereka curiga ada anggota DPR yang menjadi beking para obligor BLBI.
12 Februari 2008
Pemerintah yang diwakili Menko Perekonomian Boediono menyampaikan jawaban
pemerintah terhadap 10 pertanyaan terkait penyelesaian BLBI di depan Rapat Paripurna DPR.
Ketika membacakan keterangan, lebih separuh anggota dewan meninggalkan ruang sidang. Pada
awalnya, Rapat Paripurna diwarnai hujan interupsi yang mempersoalkan ketidakhdiran SBY dan
lembaran jawaban yang hanya ditandatangani Boediono saja.
29 Februari 2008
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, menyatakan Tim 35 yang
melakukan penyelidikan kasus ini BLBI I dan BLBI II tidak menemukan adanya pelanggaran
pidana yang dilakukan Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim. Menurut Kemas Yahya, sesuai
dengan surat penyelesaian utang Master Settlement for Acquisition Agreement atau MSAA,
kewajiban debitor kepada pemerintah dianggap selesai jika aset yang dinilai sesuai dengan
kewajiban dan diserahkan kepada pemerintah. Kami sudah berbuat semaksimal mungkin dan
kami kaitkan dengan fakta perbuatannya. Hasilnya tidak ditemukan perbuatan melanggar hukum
yang mengarah pada tindakan korupsi, kata Kemas Yahya Rachman.
2 Maret 2008
Jaksa Urip Tri Gunawan yang menjadi ketua Tim Jaksa BLBI II dicokok aparat KPK
seusai bertandang ke rumah milik pengusaha Syamsul Nursalim di Jalan Hang Lekir, Jakarta
Selatan, Dari tangan Urip, penyidik KPK menyita uang sebesar US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6
miliar. Uang ini diduga sebagai uang suap terkait kasus BLBI. Selain Urip, KPK juga menahan
Artalyta Suryani, seorang pengusaha yang diketahui dekat dengan Sjamsul Nursalim dan juga
Anthony Salim
2 Maret 2008
Wacana perguliran tentang hak angket mulai mengemuka di kalangan anggota DPR
menyusul tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan.
8 Maret 2008
Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad Bandung, Romli Atmasasmita.
mengusulkan agar KPK mengambil alih pengusutan BLBI. Menurut dia, kasus BLBI telah
masuk ranah pidana, karena obligor yang tidak membayar menyebabkan negara rugi. Selain itu,
ada unsur penipuan di dalamnya, karena tidak ada niat dari obligor nakal untuk melunasi
utangnya. Saran ini mengacu pada pasal 8 ayat 2 UU KPK yang memberi wewenang KPK
mengambil alih penyidikan atau penuntutan pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan
polisi atau jaksa.
10 Maret 2008
Usulan hak angket kasus BLBI sudah diedarkan kepada para anggota DPR. Usulan hak
angket dimunculkan karena langkah penyelesaian kasus BLBI secara hukum yang dirintis
Kejaksaan Agung ternyata berakhir antiklimaks. Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan
kasus yang diduga melibatkan sejumlah pengusaha kelas kakap itu. Apalagi dengan adanya
jaksa yang tertangkap tangan menerima suap. Inilah yang menyebabkan kami akan
menggunakan hak angket, ujar Dradjad Wibowo, anggota DPR dari Fraksi PAN
13 Maret 2008
Empat orang inisiator hak angket BLBI, Soeripto, Dradjad Wibowo, Abdullah Azwar Anas dan
Ade Daud Nasution secara resmi menyerahkan draft hak angket kasus BLBI ke pimpinan DPR,
Draft tersebut diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di ruang kerjanya.
Sebanyak 55 anggota DPR telah memberikan tanda tangan sebagai bentuk dukungan.
6 Mei 2008
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan Masyarakat
Antikorupsi Indonesia terhadap surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan
Kejaksaan Agung atas kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syamsul
Nursalim. Kejaksaan Agung langsung menyatakan banding.
Jadi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) lahir ini untuk mengatasi masalah ini,
yaitu menutupi talangan hutang luarnegeri yang dilakukan para bankir tersebut :

Bank yang banyak menjamur sebagai akibat kebijakan deregulasi perbankan dimasa orde baru
akhirnya runtuh dan jatuh bangkrut, serta tetap tidak kuat menahan nilai mata uang rupiah yang
anjlok, juga sektor perekonomian kita (industrialisasi yang dibantu oleh kredit bank) yang
berantakan akibat kredit macet.Kredit macet itu saling berkaitan dan tali temali, antara industri
terhadap bank, bank terhadap pemerintah, pemerintah terhadap bantuan asing, sehingga
menambah beban hutang luarnegeri kita total menjadi 1200 trilyun (600 trilyun). Akhirnya
banyak bank yang diambil alih pemerintah dan kemudian dijual kembali dibursa saham setelah
sehat atau merger (digabungkan). Dan ada juga yang dinyatakan bangkrut dan hilang tak tentu
rimbanya (begitupula pemiliknya).

Berikut ini adalah Daftar Hitam Kelam Kasus BLBI yang menurutku masalah sangat
unik, kreatif, lucu menggelitik, penuh intrik, tertata rapi, sangat licik, dan yang pasti PENUH
KONSPIRASI. 5 (lima) Bank yang melakukan penyimpangan terbesar hingga 74% dari total
BLBI penyimpangan 48 bank penerima yaitu :
1. BDNI sebesar 24, 47 trilyun yaitu 28, 84% dengan pemilik Syamsul Nursalim
2. BCA sebesar 15, 82 trilyun yaitu 18,64% dengan pemilik Soedono Salim
3. Bank Danamon sebesar 13,8 trilyun yaitu 16,27% dengan pemilik Usman Admadjaya
4. Bank Umum Nasional sebesar 5,09 trilyun yaitu 6,0 % dengan pemilik Bob Hasan
5. Bank Indonesia Raya (BIRA) sebesar 3,66 trilyun yaitu 4,31 % dengan pemilik Atang
Latief

Tersangka kasus perbankan tersebut, yaitu (dalam miliar) :


1. Sudono Salim (BCA hutang 52,767)
2. The Nin King, (Danahutama hutang 23)
3. Hendra Liem , (Bank Internasional-hutang 16,95)
4. Sudwikatmono (Bank Surya hutang 1,887)
5. Ibrahim Risjad (Risyad Salim Internasional 10,664)
6. Nyoo Kok Kiong (Papan Sejahtera, hutang 108,49)
7. Honggo Wendratmo (Papan Sejahtera hutang 216, 98)
8. Andi Hartawan (Badja Internasional-hutang 32, 66)
9. Soeparno Adiyanto (Bumi Raya Utama, 24, 81)
10. Ganda Eka Handria (Bank Sanho hutang 4,41)
11. Mulianto Tanaga (Bank Indo Trade hutang 15,31)
12. Phillip S Widjaya (Bank Mashill hutang 14,90)
13. Hasyim Joyohadikusumo (Papan Sejahtera hutang 216,98)
14. Siti Hardiyanti Rukmana,(Bank Yama-Yakin Makmur hutang 155)
15. Nirwan Bakri (Nusa Nasional-hutang 3.006, 16 trilyun)
16. Husodo Angko Subroto (Sewu Internasional-hutang 209,20)
17. Iwan Suhardiman (Tamara Bank hutang 35,61)
18. The Nin Kong (Baja Internasional hutang 45,14)
19. The Tje Min (Bank Hastin hutang 139,79)
20. Samsul Nursalim (BDNI hutang 28.408, 00 trilyun)
21. Bob Hasan (BUN hutang 5.341,00 trilyun)
22. Usman Admadjaya (Bank Danamon hutang 12.533, 00 trilyun)

Daftar para obligor yang belum melunasi kewajibannya :


1. Atang Latief (Bank Indonesia Raya hutang 325,46
2. James Januardy (Bank Namura Internasionalhutang123,04)
3. Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian-hutang 615)
4. Lidia Mochtar (Bank Tamara hutang 202,80)
5. Omar Putirai (Bank Tamara hutang 190,17)
6. Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa-hutang 1.130,61T)
7. Kaharuddin Ongko (Bank Umum Nasional 8.348,00 Trilyun)
8. Samadikun (Bank Modern hutang 2.663, 00 Trilyun)

Daftar Banker yang dilimpahkan ke Tim Pemberantasan Korupsi :


1. Atang Latief (Bank Indonesia Raya hutang 325,46)
2. James Januardy (Bank Namura Internasionalhutang123,04)
3. Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian-hutang 615)
4. Lidia Mochtar (Bank Tamara hutang 202,80)
5. Omar Putirai (Bank Tamara hutang 190,17)
6. Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa-hutang 1.130,61T)

Daftar Banker yang diserahkan kekepolisian :


1. Baringin Panggabean (Bank Namura Internusa-APU- 158,93 )
2. Santosa Sumali (B.Metropolitan APU 46,55)
3. Fadel Muhammad (Bank Intan APU-93,28 )
4. Santosa Sumali (B. Bahari-APU-295,05)
5. Trijono Gondokusumo (Bank PSP- APU 3.3031, 11 trilyun)
6. Hengky Widjaya (Bank Tata-APU-461,99 ) Taony Tanjung
7. I Gde Dermawan (Bank Aken-APU-680,89)
8. Tarunojoyo Nusa (Bank Umum Servitia-APU-3.336, 44 trilyun)David Nusa Widjaya
9. Kaharuddin Ongko (BUN MRNIA-8.348.00 trilyun)
10. Samadikun H. (Bank Modern MRNIA-2.663, 0 Trilyun)
Analisis :
Dalam kasus ini kami menemukan beberapa bentuk korupsi yaitu, kerugian
keuangan Negara dan suap. Kerugian keuangan Negara dilakukan oleh para pihak bank
yang di berikan dana BLBI yang dimana pada tahun 1997 bank-bank yang ada di
Indonesia dalam ambang kebangkrutan karena nilai mata uang Indonesia menurun. Suap
dilakukan oleh para pihak bank yang terjerat kasus korupsi dimana suap dilakukan untuk
memberhentikan kasus tersebut, contohnya adalah suap yang dilakukan oleh Artalyta
Suryani terhadap Kejaksaan Agung Urip Tri Gunawan sebesar 6 Miliar. Ayi (Artalyta
Suryani) menyuap untuk memberhentikan kasus BLBI yang melibatkan pemilik Bank
Dagang Negara Indonesia (BDNI) Syamsul Nursalim. Ayi juga terbukti bersekongkol
dengan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahma dan Jaksa Agung Muda
Perdata dan Tata Usaha Negara, Untung Udji Santoso. Ayi akhirnya divonis 5 tahun
penjara. Jaksa Urip divonis selama 20 tahun penjara (banding). Dan Jaksa Kemas dan
Jaksa Untung hanya dicopot jabatannya di Kejaksaan. Dalam kasus tersebut faktor-faktor
yang mempengaruhi adalah :
1. Faktor Internal
yaitu faktor pendorong korupsi dari dalam diri, rinciannya :
Aspek Perilaku Individu
a. Sifat tamak manusia : dalam kasus ini sifat tamak manusia merupakan
seseorang yang tamak akan uang/ kekayaan. Yang diibaratkan tidak pernah
puas akan apa yang dimiliki saat ini selalu mengharapkan lebih.
b. Moral yang kurang kuat : dalam kasus ini moral yang kurang kuat dapat
menyebabkan seseorang melakukan tindakan tindakan melawan hukum,
contohnya seperti kasus diatas. Jika moral sudah kuat, bisikan-bisikan
yang menjerumus kedalam perbuatan melawan hukum sekalipun tidak
akan pernah di dengar.
c. Gaya hidup yang konsumtif : dalam kasus ini dimana pada tahun 1997
mengalami krisis ekonomi, yang menyebabkan prilaku manusia yang
ingin hidup bermewah mewahan dapat mejadi alasan terjadinya tindakan
melawan hukum.
2. Faktor Eksternal
yaitu faktor pendorong korupsi dari luar diri pelaku, rinciannya :
Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi
Sikap cuek yang diperlihatkan masyarakat dalam lingkungannya yang dapat
menyebabkan korupsi ini subur dan tumbuh berkembang menjadi budaya.
Aspek ekonoomi
Pendapatan ekonomi yang tidak mencukupi kebutuhan juga dapat
menyebabkan terjadinya korupsi. Dalam kasus ini pada tahun 1997 terjadi
krisis ekonomi yang sangat besar.
Aspek organisasi
Lemahnya pengawasan yang dilakukan baik internal maupun eskternal ini
yang menyebabkan pelaku tindakan korupsi dapat leluasa melakukan
kejahatannya. Namun pengawasan ini kurang bisa efektif karena adanya
oknum-oknum dari pengawas yang ikut bekerjasama dengan para pelaku
korupsi.

Anda mungkin juga menyukai