Anda di halaman 1dari 13

Setiap tahun 50-60 triliun dana APBN rakyat harus tergerus untuk

membayar subsidi para bankir dan penerima BLBI. Disisi lain, rakyat
dipaksa membeli sumber kekayaan alam yang mahal dengan kebijakan
pasar bebas pada minyak dan (akan) listrik dan air,

Sangat ironis bahwa dengan alasan kooperatif membayar utang, pada


masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri
telah mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) kepada 5 obligor
MSAA dan 17 obligor PKPS APU.

11 Juli 1997
Pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi kurs dari 192 (8
persen) menjadi 304 (12 persen), melakukan pengetatan likuiditas dan
pembelian surat berharga pasar uang, serta menerapkan kebijakan uang
ketat.

14 Agustus 1997
Pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (free floating).
Masyarakat panik, lalu berbelanja dolar dalam jumlah sangat besar.
Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank Indonesia, tingkat suku bunga
di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank berebut
dana masyarakat.

1 September 1997
Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali.
Berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar yang
mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valas. Kepercayaan
masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-
kecilan.

3 September 1997
Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan
serta Produksi dan Distribusi berlangsung di Bina Graha dipimpin
langsung oleh Presiden Soeharto. Hasil pertemuan: pemerintah akan
membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan
bank yang sakit akan dimerger atau dilikuidasi. Belakangan, kredit ini
disebut bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

1 November 1997
16 bank dilikuidasi

26 Desember 1997
Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono melayangkan surat ke
Presiden Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang
terus mengalami saldo debit akibat tekanan dari penarikan dana nasabah.
Soedradjad mengusulkan agar mengganti saldo debit dengan surat
berharga pasar uang (SBPU) khusus.

27 Desember 1997
Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M.Sesneg/12/1997 yang
ditandatangani Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran
direksi Bank Indonesia untuk mengganti saldo debit bank dengan SBPU
khusus agar tidak banyak bank yang tutup dan dinyatakan bangkrut.

10 April 1998
Menkeu diminta untuk mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN dengan
batas waktu pelaksanaan 22 April 1998.

Mei 1998
BLBI yang dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp 164 triliun, dana
penjaminan antarbank Rp 54 triliun, dan biaya rekapitalisasi Rp 103
triliun. Adapun penerima terbesar (hampir dua pertiga dari jumlah
keseluruhan) hanya empat bank, yakni BDNI Rp 37,039 triliun, BCA Rp
26,596 triliun, Danamon Rp 23,046 triliun, dan BUN Rp 12,067 triliun.

4 Juni 1998
Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan (L/C)
bank-bank dalam negeri oleh Kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan
prasyarat agar L/C yang diterbitkan oleh bank dalam negeri bisa diterima
di dunia internasional. Pemerintah terpaksa memakai dana BLBI senilai
US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 18 triliun pada kurs Rp 14 ribu waktu itu).

21 Agustus 1998
Pemerintah memberikan tenggat pelunasan BLBI dalam tempo sebulan.
Bila itu dilanggar, ancaman pidana menunggu.

21 September 1998
Tenggat berlalu begitu saja. Boro-boro ancaman pidana, sanksi
administratif pun tak terdengar.

26 September 1998
Menteri Keuangan menyatakan pemerintah mengubah pengembalian
BLBI dari sebulan menjadi lima tahun.

27 September 1998
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar
Kartasasmita meralat angka lima tahun. Menurut Ginandjar, pemerintah
minta pola pembayaran BLBI tunai dalam tempo setahun.

18 Oktober 1998
Hubert Neiss melayangkan surat keberatan. Dia minta pelunasan lima
tahun.

10 November 1998
Pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 persen,
sisanya dikembalikan dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama. Jumlah
kewajiban BLBI dari BTO (bank take-over) dan BBO (bank beku
operasi) saat itu adalah Rp 111,29 triliun.

8 Januari 1999
Pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp 64,5 triliun sebagai
tambahan penggantian dana yang telah dikeluarkan BI atas tagihan
kepada bank yang dialihkan ke BPPN.

6 Februari 1999
BI dan Menkeu membuat perjanjian pengalihan hak tagih (on cessie)
BLBI dari BI kepada pemerintah senilai Rp 144,53 triliun.

8 Februari 1999
Penerbitan Surat Utang Pemerintah No SU-001/MK/1998 dan No SU-
003/MK/1998.

13 Maret 1999
Pemerintah membekukan kegiatan usaha 38 bank, mengambil alih 7
bank, dan merekapitalisasi 7 bank.

Februari 1999
DPR RI membentuk Panja BLBI.

19 Februari 1999
Ketua BPKP Soedarjono mengungkapkan adanya penyelewengan dana
BLBI oleh para bank penerima. Potensi kerugian negara sebesar Rp
138,44 triliun (95,78%) dari total dana BLBI yang sudah disalurkan.

13 Maret 1999
Pemerintah mengumumkan pembekuan usaha (BBKU) 38 bank.

14 Maret 1999
Pemerintah dan BI mengeluarkan SKB Penjaminan Pemerintah.
17 Mei 1999
UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia ditandatangani Presiden
Habibie. Dalam UU itu disebutkan bahwa BI hanya dapat diaudit oleh
BPK, dan direksi BI tak dapat diganti oleh siapa pun.

1 September-7 Desember 1999


BPK mengaudit neraca BI per 17 Mei 1999 dan menemukan bahwa
jumlah BLBI yang dapat dialihkan ke pemerintah hanya Rp 75 triliun,
sedangkan Rp 89 triliun tidak dapat dipertangggungjawabkan. BPK
menyatakan disclaimer laporan keuangan BI. Tapi, pejabat BI menolak
hasil audit. Alasannya, dana BLBI itu dikeluarkan atas keputusan
kabinet.

28 Desember 1999
Pemerintah melalui Kepala BPPN Glen Yusuf memperpanjang masa
berlaku program penjaminan terhadap kewajiban bank.

Desember 1999
BPK telah menyelesai-kan audit BI dan terdapat selisih dari dana BLBI
sebesar Rp 51 triliun yang tidak akan dibayarkan pemerintah kepada BI,
terutama karena penggunaannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan.

5 Januari 2000
Ada perbedaan jumlah BLBI antara pemerintah dan BI. Pemerintah
menyebut BLBI sebesar Rp 144,5 triliun plus Rp 20 triliun untuk
menutup kerugian Bank Exim (Mandiri). Tapi, menurut BI, masih ada
Rp 51 triliun dana BLBI yang harus ditalangi pemerintah. Dana
sebanyak itu diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan
likuiditas selama November 1997-Januari 1998.

10 Januari 2000
Bocoran hasil audit KPMG yang ditunjuk BPK untuk mengaudit neraca
awal BI beredar di kalangan wartawan. Audit itu menemukan bahwa
penyelewengan BLBI berjumlah Rp 80,25 triliun.

29 Januari 2000
Audit BPK menemukan fakta bahwa 95,78 persen dari BLBI sebesar Rp
144,54 triliun berpotensi merugikan negara karena sulit dipertanggung-
jawabkan.tersangka dalam kasus cessie Bank Bali.

21 Juni 2000
Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, ditahan Kejaksaan Agung
dengan status sebagai tersangka.

9 Oktober 2000
Ketua BPK Billy Judono mengatakan bahwa BLBI sudah diberikan oleh
BI sejak 1991 hingga 1996. Jadi, tidak benar bahwa BI hanya
bertanggung jawab saat krisis saja.

18 Oktober 2000
Komisi IX DPR yang membidangi perbankan menolak jumlah BLBI
yang ditanggung BI hanya sebesar Rp 24,5 triliun. Jumlah ini
merendahkan hasil audit BPK, kata anggota dewan.

26 Oktober 2000
Jaksa agung menunda proses hukum terhadap 21 obligor agar mereka
punya kesempatan melunasi dana BLBI.

1 November 2000
DPR, Pemerintah dan BI menetapkan keputusan politik menyangkut
pembagian beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang
sudah dikucurkan.

Awal November 2000?Sumber di BI menyatakan, tanggung jawab BI


terhadap BLBI hanya Rp 48 triliun, terhitung sejak 3 September 1997-29
Januari 1999, bukan sebelum dan sesudahnya.

2 November 2000
BPK mengancam BI akan memberikan opini wajar dengan pengecualian
terhadap laporan neraca BI jika dana BLBI tidak dapat dituntaskan.

17 November 2000
Pukul 16.30, pejabat teras BI menyatakan mundur serentak. Mereka yang
mundur adalah Deputi Senior Gubernur Anwar Nasution, Deputi
Gubernur Miranda Goeltom, Dono Iskandar, Achwan, dan Baharuddin
Abdullah, dengan alasan tak mendapat dukungan politik pemerintah dan
DPR. Sedangkan Syahril Sabirin, Achjar Iljas, dan Aulia Pohan tidak
mundur.

Pokok-pokok Kesepakatan Bersama antara Pemerintah dan BI


ditetapkan. Berdasarkan kesepakatan ini, BI menanggung beban Rp 24,5
triliun dan sisanya menjadi beban Pemerintah.

3 Januari 2001
Dua Deputi BI Aulia Pohan dan Iwan G Prawiranata ditingkatkan
berkasnya ke penyidikan berkaitan dengan keterlibatan mereka dalam
penyalahgunaan dana BLBI.

7 Maret 2001
DPR mengusulkan pembentukan Pansus BLBI DPR. Pembentukan
Pansus ini dipicu oleh pernyataan Menkeu Prijadi Praptosuhardjo yang
menyebutkan pemerintah belum menyepakati jumlah tanggungan BI
sebesar Rp 24,5 miliar.

10 Maret 2001
Pemilik BUN Kaharuddin Ongko ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan
penyelewengan dana BLBI.

22 Maret 2001
Pemilik Bank Modern, Samandikun Hartono ditahan Kejaksaan Agung
atas tuduhan penyelewengan dana BLBI.

9 April 2001
Dirut BDNI Sjamsul Nursalim yang bersatus tersangka penyelewengan
dana BLBI dicekal Kejaksaan Agung. Selain Sjamsul, David Nusawijaya
(Sertivia) dan Samandikun Hartono (Bank Modern) juga dicekal.

29 Maret 2001
Kejagung mencekal mantan ketua Tim Likuidasi Bank Industri (Jusup
Kartadibrata), Presider Bank Aspac (Setiawan Harjono).

2 April 2001
Pelaksanaan Program Penjaminan dana nasabah yang semula diatur
melalui SKB antara BI dan BPPN diubah dengan SK BPPN No
1036/BPPN/0401 tahun 2001.

30 April 2001
Kejagung membebaskan David Nusawijaya, tersangka penyelewengan
BLBI. Selain itu, Kejagung juga mencekal 8 pejabat bank Dewa Rutji
selama 1 tahun

2 Mei 2001
Kejagung membebaskan 2 tersangka penyelewengan BLBI (Samandikun
Hartono dan Kaharuddin Ongko) dan mengubah statusnya menjadi
tahanan rumah.

19 Juni 2001
Wapresider Bank Aspac, Hendrawan Haryono dijatuhi hukuman 1 tahun
penjara dan dikenai denda Rp 500 juta. Ia didakwa telah merugikan
negara sebesar Rp 583,4 miliar.

21 Juni 2001
Mantan Direksi BI Paul Sutopo ditahan di gedung Bundar oleh aparat
Kejagung.

31 Mei 2002
Tim Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan
menyampaikan Laporan Pemeriksaan Kepatuhan Anthony Salim, Andre
Salim dan Sudono Salim untuk memenuhi Kewajiban-kewajibannya
dalam MSAA tanggal 21 September 1998.

Dalam bagian kesimpulannya, TBH antara lain menyatakan meski telah


memenuhi sebagian besar kewajiban-kewajibannya, namun secara
yuridis formal telah terjadi pelanggaran, atau kelalaian atau cidera janji
atau ketidakpatuhan, atas kewajiban-kewajibannya dalam MSAA yang
berpotensi merugikan BPPN.

2004 Sampai 2004


Pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri
mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) kepada lima obligor MSAA
dan 17 obligor PKPS APU padahal mereka belum lunas membayar utang
mereka.
11 Januari 2007
Dua petinggi Salim Grup (Anthony Salim dan Beny Setiawan) menjalani
pemeriksaan di Mabes Polri atas tuduhan telah menggelapkan aset yang
telah diserahkan kepada BPPN sebagai bagian pembayaran utangnya.
Aset yang digelapkan itu meliputi tanah, bangunan pabrik dan mesin-
mesin di perusahaan gula Sugar Grup.

19 Februari 2007
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan
Komisi XI DPR RI di Gedung MPR/DPR RI menegaskan terhadap 8
obligor yang bermasalah, pemerintah akan menggunakan kesepakatan
awal APU plus denda. Kami tetap akan menjalankan sesuai keyakinan
pemerintah bahwa mereka (delapan obligor BLBI) default.

Tagihan kepada mereka adalah Rp 9,3 triliun, tegas. Ke delapan obligor


itu adalah James Sujono Januardhi dan Adisaputra Januardhy (Bank
Namura), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Lidia Muchtar (Bank
Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa), Omar Putihrai
(Bank Tamara), Atang Latief (Bank Bira), dan Agus Anwar (Bank Pelita
dan Istimarat).

18 September 2007
Sejumlah anggota DPR mengajukan hak Interpelasi mengenai BLBI
kepada Pimpinan DPR.

4 Desember 2007
Rapat Paripurna DPR menyetujui Hak Interpelasi Atas Penyelesaian
KLBI dan BLBI yang diajukan 62 pengusul.
21 Januari 2008
Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Jihad Melawan Koruptor
BLBI memberikan penghargaan terhadap sejumlah anggota DPR yang
dinilai benar-benar serius hendak mengungkap kasus BLBI.

28 Januari 2008
DPR RI secara resmi mengirimkan surat kepada Presiden RI agar
memberikan keterangan di depan Rapat Paripurna DPR sekaitan Hak
Interpelasi atas penyelesaian KLBI dan BLBI.

29 Januari 2008
Ratusan orang yang tergabung dalam GEMPUR berunjuk rasa di depan
gedung DPR. Mereka curiga ada anggota DPR yang menjadi beking para
obligor BLBI.

12 Februari 2008
Pemerintah yang diwakili Menko Perekonomian Boediono
menyampaikan jawaban pemerintah terhadap 10 pertanyaan terkait
penyelesaian BLBI di depan Rapat Paripurna DPR. Ketika membacakan
keterangan, lebih separuh anggota dewan meninggalkan ruang sidang.
Pada awalnya, Rapat Paripurna diwarnai hujan interupsi yang
mempersoalkan ketidakhdiran SBY dan lembaran jawaban yang hanya
ditandatangani Boediono saja.

29 Februari 2008
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, menyatakan
Tim 35 yang melakukan penyelidikan kasus ini BLBI I dan BLBI II tidak
menemukan adanya pelanggaran pidana yang dilakukan Anthony Salim
dan Sjamsul Nursalim.

Menurut Kemas Yahya, sesuai dengan surat penyelesaian utang Master


Settlement for Acquisition Agreement atau MSAA, kewajiban debitor
kepada pemerintah dianggap selesai jika aset yang dinilai sesuai dengan
kewajiban dan diserahkan kepada pemerintah.

Kami sudah berbuat semaksimal mungkin dan kami kaitkan dengan fakta
perbuatannya. Hasilnya tidak ditemukan perbuatan melanggar hukum
yang mengarah pada tindakan korupsi, kata Kemas Yahya Rachman.

2 Maret 2008
Jaksa Urip Tri Gunawan yang menjadi ketua Tim Jaksa BLBI II dicokok
aparat KPK seusai bertandang ke rumah milik pengusaha Syamsul
Nursalim di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan, Dari tangan Urip, penyidik
KPK menyita uang sebesar US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar. Uang
ini diduga sebagai uang suap terkait kasus BLBI. Selain Urip, KPK juga
menahan Artalyta Suryani, seorang pengusaha yang diketahui dekat
dengan Sjamsul Nursalim dan juga Anthony Salim.

2 Maret 2008
Wacana perguliran tentang hak angket mulai mengemuka di kalangan
anggota DPR menyusul tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan.

8 Maret 2008
Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad Bandung, Romli
Atmasasmita. mengusulkan agar KPK mengambil alih pengusutan BLBI.
Menurut dia, kasus BLBI telah masuk ranah pidana, karena obligor yang
tidak membayar menyebabkan negara rugi. Selain itu, ada unsur penipuan
di dalamnya, karena tidak ada niat dari obligor nakal untuk melunasi
utangnya.

Saran ini mengacu pada pasal 8 ayat 2 UU KPK yang memberi wewenang
KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan pelaku tindak pidana
korupsi yang sedang dilakukan polisi atau jaksa.

10 Maret 2008
Usulan hak angket kasus BLBI sudah diedarkan kepada para anggota
DPR. Usulan hak angket dimunculkan karena langkah penyelesaian kasus
BLBI secara hukum yang dirintis Kejaksaan Agung ternyata berakhir
antiklimaks.

Kejagung menghentikan penyelidikan kasus yang diduga melibatkan


sejumlah pengusaha kelas kakap itu. Apalagi dengan adanya jaksa yang
tertangkap tangan menerima suap. Inilah yang menyebabkan kami akan
menggunakan hak angket, ujar Dradjad Wibowo, anggota DPR dari
Fraksi PAN.

13 Maret 2008
Empat orang inisiator hak angket BLBI, Soeripto, Dradjad Wibowo ,
Abdullah Azwar Anas dan Ade Daud Nasution secara resmi menyerahkan
draft hak angket kasus BLBI ke pimpinan DPR, Draft tersebut diterima
langsung oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di ruang kerjanya.
Sebanyak 55 anggota DPR telah memberikan tanda tangan sebagai bentuk
dukungan.

6 Mei 2008
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan
praperadilan Masyarakat Antikorupsi Indonesia terhadap surat perintah
penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Kejaksaan Agung atas
kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syamsul Nursalim.
Kejaksaan Agung langsung menyatakan banding.

2009
Penangkapan Ketua KPK Antasari Azhar menjadi lonceng kematian
upaya penuntasan korupsi BLBI.

2014
Tekad Ketua KPK Abraham Samad menyidik kembali korupsi BLBI
untuk menuntaskan aspek hukum pidana yang terkait ternyata hanya
bualan kosong semata, karena penyidikan itu dilakukannya sekedar untuk
menekan PDIP dan Megawati agar menepati janji yang sudah disepakati
sebelumnya, yakni: kontribusi dan jasa Samad memanfaatkan KPK untuk
menghancurkan musuh dan rival politik PDIP guna memenangkan pemilu
dan pilpres, akan dihargai dan dibayar dengan pencawapresan Samad duet
bersama capres Jokowi pada Pilpres 2014.

Janji PDIP itu terbukti tidak ditepati dan Samad akhirnya gigit jari.

2015
Menko Polhukam Luhut B Panjaitan menegaskan kasus korupsi BLBI
tidak akan diteruskan lagi penyidikan dan penuntasannya.

Daftar Bank Penerima yang Melakukan Penyimbangan Dana BLBI


Terbesar
Ada 5 Bank dari 48 bank penerima dana BLBI yang melakukan
penyimpangan terbesar hingga 74% total BLBI yakni:
1. BDNI sebesar 24, 47 trilyun yaitu 28, 84% dengan pemilik Syamsul
Nursalim
2. BCA sebesar 15, 82 trilyun yaitu 18,64% dengan pemilik Soedono
Salim
3. Bank Danamon sebesar 13,8 trilyun yaitu 16,27% dengan pemilik
Usman Admadjaya
4. Bank Umum Nasional sebesar 5,09 trilyun yaitu 6,0 % dengan pemilik
Bob Hasan
5. Bank Indonesia Raya (BIRA) sebesar 3,66 trilyun yaitu 4,31 % dengan
pemilik Atang Latief.

Sumber : Laporan Audit BPK RI No.06/01/Auditama II /AI/ VII /2000

Anda mungkin juga menyukai