Anda di halaman 1dari 31

BANK INDONESIA

A. SEJARAH BANK INDONESIA


Meskipun secara yuridis Bank Indonesia baru lahir tanggal 1 Juli 1953, namun peran
bank sentral sudah ada sejak Jaman Raja-Raja Nusantara. Meskipun pada waktu itu peran bank
sentral belum begitu kompleks, namun paling tidak ada pihak yang mengatur sirkulasi uang.
Pada masa penjajahan Belanda, tepatnya tanggal 24 Januari 1828 pemerintah Belanda
mendirikan De Javasche Bank (DJB), yang difungsikan sebagai bank sirkulasi. DJB inilah yang
berperan sebagai Bank Sentral, tepatnya Bank Sirkulasi, sampai masa peralihan pemerintahan
Belanda ke pemerintahan Republik Indonesia. Pada masa kemerdekaan Bank Indonesia belum
terbentuk, namun dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII pasal 23 Hal Keuangan menyatakan
cita-cita membentuk bank sentral dengan nama Bank Indonesia untuk memperkuat adanya
kesatuan wilayah dan kesatuan ekonomi moneter.
Pada 19 Juni 1951 pemerintah membentuk Panitia Nasionalisasi DJB yang akan
mengkaji usulan langkah nasionalisasi, menyusun RUU nasionalisasi dan sekaligus merancang
undang-undang bank sentral. Selanjutnya pada 15 Desember 1951 diumumkan undang-undang
No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi DJB. Setelah itu Rancangan Undang-Undang Pokok
Bank Indonesia diajukan ke parlemen pada September 1952. RUU tersebut kemudian disetujui
oleh parlemen pada 10 April 1953, disahkan oleh Presiden pada 29 Mei 1953 dan akhirnya
dinyatakan mulai berlaku sejak 1 Juli 1953. Sejak saat itu bangsa Indonesia telah memiliki
sebuah lembaga bank sentral dengan nama Bank Indonesia.
Dalam Undang-Undang No. 11 tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok
Bank Indonesia, dijelaskan bahwa Bank Indonesia (BI) didirikan untuk menggantikan De
Javasche Bank N.V. sekaligus bertindak sebagai bank sentral Indonesia. Dalam Undang-Undang
tersebut tugas Bank Indonesia antara lain: menjaga stabilitas rupiah, menyelenggarakan
peredaran uang di Indonesia, memajukan perkembangan urusan kredit, dan melakukan
pengawasan pada urusan kredit tersebut. Berkaitan dengan hubungan BI dan pemerintah,
Undang-Undang tersebut mengatur bahwa BI wajib menyelenggarakan kas umum negara dan
bertindak sebagai pemegang kas pemerintah Republik Indonesia (RI). BI juga memberi uang
muka dalam rekening koran kepada pemerintah RI.

1
Dalam perkembangannya, tahun 1959 muncul gagasan untuk membentuk Bank
Tunggal. Bank Tunggal itu sendiri baru terbentuk tahun 1965. Pembentukan Bank Tunggal
merupakan kebijakan yang paling berpengaruh bagi dunia perbankan dalam masa Demokrasi
Terpimpin. Pembentukan bank tunggal pada dasarnya merupakan perwujudan dari Doktrin Bank
Berjuang pada 1964. Dalam posisi ini Bank Indonesia juga diberi tugas untuk melayani secara
langsung beberapa bidang usaha yang dilaksanakan oleh pemerintah. Selanjutnya dalam struktur
Bank Tunggal, Bank Indonesia beroperasi dengan nama Bank Negara Indonesia Unit I dan tetap
berfungsi sebagai Bank Sentral sebagaimana Bank Indonesia sebelumnya. Dalam masa Bank
Tunggal tersebut, Bank pemerintah yang ada meliputi:
– Bank Indonesia (Bank Negara Indonesia Unit I)
– Bank Koperasi Tani dan Nelayan (Bank Negara Indonesia Unit II)
– Bank Negara Indonesia (Bank Negara Indonesia Unit III)
– Bank Umum Negara (Bank Negara Indonesia Unit IV)
– Bank Tabungan Negara (Bank Negara Indonesia Unit V)
– Bank Dagang Negara
– Bank Pembangunan Indonesia
Pada masa Bank Tunggal, tugas Bank Indonesia (Bank Nasional Indonesia Unit I)
adalah melayani secara langsung beberapa bidang usaha dengan kriteria sebagai berikut:
1. Proyek-proyek Mandataris di luar anggaran pembangunan (APBN).
2. Usaha-usaha penting yang mendapat pembiayaan dari anggaran pembangunan, tetapi
untuk sementara waktu belum mendapatkan pengesahan.
3. Perusahan-perusahaan Negara yang memenuhi kebutuhan bagi kepentingan umum dan
mengalami defisit karena tingginya biaya produksi. Dalam kasus semacam ini pemerintah
memberikan subsidi kepada perusahaan tersebut agar mengurangi biaya yang ditanggung
oleh bank.
4. Perusahaan-perusahaan vital dan perusahaan lainnya yang memerlukan biaya besar tetapi
jangka waktu pembayaran kembalinya cukup lama, lebih dari tiga tahun. Proyek
semacam ini khususnya terjadi di perusahaan pertambangan negara seperti pertambangan
timah, minyak, batubara dan pertambangan umum seperti emas, nikel, bauksit, dll.
5. Kredit-kredit yang sifatnya perintisan (pilot project) yang umumnya kurang memenuhi
persyaratan bank-teknis dan kredit-teknis namun penting secara sosial ekonomi.

2
Seiring dengan perubahan politik tahun 1965, masa Bank Tunggal dan doktrin Bank
Berjuang berakhir. Pada tanggal 31 Desember 1968, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
No. 13 tahun 1968 tentang Bank Indonesia. Undang-Undang ini memiliki perbedaan sangat
prinsip dibandingkan dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1953. Dalam Undang-Undang No.
13 Tahun 1968 ini, BI tidak lagi diperkenankan melakukan jenis usaha bank yang bersifat
komersial. Status BI masih sama dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No. 11
Tahun 1953, dimana BI didirikan sebagai bank sentral Indonesia.
Tugas pokok BI menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 Tentang Bank Indonesia
ini adalah membantu pemerintah mengatur, menjaga, dan memelihara stabilitas rupiah,
mendorong kelancaran produksi dan pembangunan, serta memperluas kesempatan kerja untuk
meningkatkan taraf hidup rakyat. Berkaitan dengan tugas pokoknya sebagai bank sentral, jenis
usaha BI antara lain memindahkan uang, menerima dan membayar kembali uang dalam
rekening, mendiskonto, membeli dan menjual (wesel yang diakseptasi oleh suatu bank, kertas
perbendaharaan atas beban negara, dan surat-surat utang negara), membeli dan menjual cek,
surat wesel, kertas dagang lainnya, memberi jaminan bank (bank garansi) dengan tanggungan
yang cukup, serta menyediakan tempat penyimpanan barang-barang berharga. Berkaitan dengan
hubungannya dengan pemerintah, menurut UU No. 13 Tahun 1968, BI menjalankan tugas-tugas
pokok berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. BI bertindak sebagai pemegang
kas pemerintah, memberikan kredit kepada pemerintah dalam rekening koran, serta BI dapat
membeli sendiri surat surat utang negara.
Perubahan selanjutnya terjadi pada era deregulasi moneter dan perbankan tahun 1983-
1991. Perubahan kebijakan Bank Indonesia (BI) pada era ini dilakukan untuk menyesuaiakan
dengan perubahan terhadap tata perbankan di Indonesia, karena adanya deregulasi moneter dan
perbankan. Oleh karena itu, dilakukan perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1967
dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Berdasarkan Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 tersebut, BI diberikan wewenang dalam penetapan tingkat kesehatan bank
berdasarkan aspek permodalan, kualitas aset, kekuatan manajemen, rentabilitas, likuiditas,
solvabilitas, dan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan bank. Dalam masa ini tugas pokok
Bank Indonesia tidak mengalami perubahan yang berarti.
Setelah era deregulasi, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang diawali dengan krisis
moneter. Pada masa setelah krisis, terjadi perubahan yang fenomenal terhadap status Bank

3
Indonesia. Pada tanggal 17 Mei 1999, di undangkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia. Dalam Undang-Undang ini Posisi Bank Indonesia adalah independen. Pada
tanggal yang sama, diundangkan pula Undang-Undang yang terkait cukup dekat dengan
operasional BI, yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar. Dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 ini, Undang-Undang No. 32
Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa dinyatakan tidak berlaku. Perubahan
fenomenal ini menjadikan peranan dan posisi BI dalam ketatanegaraan mengalami perubahan
yang cukup signifikan. Sejak saat itu tugas BI diarahkan pada satu sasaran (single objective),
yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Selanjutnya kelembagaan dan
operasional Bank Indonesia berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 akan dibahas pada bagian
berikut.

B. KELEMBAGAAN DAN OPERASIONAL BANK INDONESIA


Sejalan dengan perjalanan sejarah yang sudah dibahas sebelumnya, kelembagaan Bank
Indonesia juga mengalami perkembangan menyesuaikan dengan Undang-Undang yang berlaku
pada masanya. Saat ini, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, dan Undang-
Undang Nomer 6 Tahun 2009, kedudukan Bank Indonesia selaku Bank Sentral telah dipertegas
kembali. Berdasarkan UU ini maka posisi Bank Indonesia adalah independen dalam hal
menjalankan kebijakan moneter. Dengan kedudukan yang independen dalam kebijakan moneter
ini, maka selaku otoritas moneter Bank Indonesia dapat melakukan tugasnya dalam merumuskan
kebijakan moneter tanpa campur tangan pihak luar. Selain itu, Bank Indonesia wajib menolak
dan mengabaikan setiap bentuk campur tangan atau intervensi dari pihak manapun di luar Bank
Indonesia.

Kedudukan Bank Indonesia Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Berdasarkan independensi tersebut, maka sebagai lembaga negara, Bank Indonesia
mempunyai kedudukan yang istimewa dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dilihat dari
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, kedudukan BI tidak sejajar dengan lembaga tinggi
negara Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung. Dalam
hubungannya dengan pemerintah (Presiden), Bank Indonesia berada di luar pemerintahan.

4
Dengan posisi ini, maka kedudukan Bank Indonesia tidak sama dengan Departemen. Status dan
kedudukan yang khusus ini diperlukan agar BI dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai
Otoritas Moneter secara lebih efektif dan efisien. Selanjutnya, posisi dan kedudukan Bank
Indonesia dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia dapat dicermati pada bagan yang disajikan
dalam gambar 3.1.
Meskipun BI berkedudukan sebagai lembaga negara adalah independen dalam
melaksanakan tugas pokoknya, namun BI mempunyai hubungan kerja dan koordinasi yang baik
dengan DPR, BPK, Pemerintah dan pihak lainnya. Dalam hubungannya dengan Presiden dan
DPR, BI setiap awal tahun anggaran menyampaikan informasi tertulis mengenai evaluasi
pelaksanaan kebijakan moneter dan rencana kebijakan moneter yang akan datang. Khusus
kepada DPR, pelaksanaan tugas dan wewenang setiap triwulan dan sewaktu-waktu bila diminta
oleh DPR. Selain itu, BI menyampaikan rencana dan realiasasi anggaran tahunan kepada
Pemerintah dan DPR. Dalam hubungannya dengan BPK, BI wajib menyampaikan laporan
keuangan tahunan kepada BPK. Dalam pengelolaan keuangan negara, bahkan Bank Indonesia
berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Koordinasi ini diatur dengan surat keputusan bersama
antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia yang ditanda tangani tahun 2009.

MPR

PRESIDEN DPR BPK MA

Bank Kepala Kepala


Indonesia Negara Pemerintahan
Sumber: Bank Indonesia, 2003

Gambar 3.1:
Posisi dan Kedudukan Bank Indonesia Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indoneia.

5
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah
dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2009,
dinyatakan bahwa Bank Indonesia adalah badan hukum. Atas dasar ini maka Bank Indonesia
mempunyai kewenangan untuk mengeluarakan peraturan yang mengikat masyarkat luas, sesuai
dengan tugas dan kewenangannya. Selain itu Bank Indonesia juga mempunyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum diantaranya mengelola kekayaan sendiri terlepas dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tujuan dan Sasaran Bank Indonesia


Selain bersifat independen, dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, dan Undang-Undang
Nomer 6 Tahun 2009, disebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Atas dasar tujuan tersebut, maka misi Bank Indonesia saat
ini adalah, “mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan
moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka
panjang yang berkesinambungan”. Sementara visinya adalah, “menjadi lembaga bank sentral
yang dapat dipercaya (kredibel) secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-
nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil”.
Tujuan Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. tersebut
merupakan tujuan tunggal (single objective). Dengan tujuan tunggal ini, sasaran yang akan
dicapai dan batasan tanggung jawab Bank Indonesia menjadi lebih jelas. Dalam Undang-Undang
ini juga disebutkan bahwa kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud dalam UU tersebut diukur dengan dua dimensi
yaitu:
1. Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta terhadap mata uang negara lain.
Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa diukur dengan atau tercermin dari
perkembangan laju inflasi.
2. Kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain diukur dengan atau tercermin dari
perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.

6
Dua indikator kestabilan nilai Rupiah tersebut yaitu laju inflasi dan nilai kurs, pada
dasarnya dapat dicerminkan dalam satu indikator yaitu inflasi. Secara teori, nilai tukar rupiah
dengan mata uang negara lain (nilai kurs) berkaitan dan berpengaruh langsung terhadap laju
inflasi (Bank Indonesia, 2003), sehingga kedua indikator tersebut dapat diwakili dengan
indikator laju inflasi. Dengan demikian maka Bank Indonesia dalam menjalankan tugasnya
memiliki target tunggal (single targeting) yaitu pengendalian laju inflasi.
Selain pertimbangan teori, target tunggal berupa pengendalian laju inflasi sebagai
sasaran akhir dalam setiap kebijakan moneter Bank Indonesia, juga didasarkan pada beberapa
hal, antara lain (Bank Indonesia, 2003):
1. Bukti-bukti empiris menunjukkan, bahwa dalam jangka panjang, kebijakan moneter
hanya dapat mempengaruhi inflasi dan tidak dapat mempengaruhi variabel riil, seperti
pertumbuhan ekonomi, dan kesempatan kerja. pengaruh kebijakan moneter pada variabel
riil, hanya terjadi dalam jangka pendek.
2. Laju inflasi yang rendah merupakan prasyarat bagi terjadinya pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan.
3. Dengan ditetapkannya inflasi sebagai sasaran tunggal, maka memperjelas sasaran yang
harus dicapai oleh Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan
demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan lebih transparan
dan dapat diukur dengan mudah.
Selanjutnya implikasi atas tujuan tunggal tersebut, Bank Indonesia perlu mengarahkan
kebijakannya untuk menyeimbangkan kondisi ekonomi internal, yaitu keseimbangan antara
permintaan dan penawaran agregat, dan menyeimbangkan kondisi ekonomi eksternal, yaitu
keseimbangan dalam neraca pembayaran.

Tugas Pokok Bank Indonesia


Dari tujuan tunggal tersebut, maka tugas pokok Bank Indonesia yang tertuang dalam
Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang-
Undang No. 3 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2009 meliputi 3 tugas utama,
yaitu:
1. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
2. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;

7
3. mengatur dan mengawasi Bank.
Selain tugas pokok tersebut, Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang
telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomer 6 Tahun
2009 juga mengatur bahwa dalam rangka menjalankan tugas Bank Indonesia tersebut,
1. Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas
Bank Indonesia
2. Bank Indonesia wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari
pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugasnya.

1. Tugas Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan Moneter;


Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, sesuai Undang-
Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia berwenang :
1. menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang
ditetapkannya;
2. melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara antara lain (yang termasuk
tetapi tidak terbatas pada) :
a. operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valutaasing;
b. penetapan tingkat diskonto;
c. penetapan cadangan wajib minimum;
d. pengaturan kredit atau pembiayaan.
Cara-cara pengendalian moneter sebagaimana dimaksud tersebut dapat dilaksanakan juga
berdasarkan prinsip syariah. Pelaksanaan ketentuan ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
Selain itu, untuk menunjang kebijakan moneter yang dilakukan, Bank Indonesia dapat
memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama
90 (sembilan puluh) hari kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek Bank
yang bersangkutan. Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
tersebut wajib dijamin oleh Bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah
dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya.
Dalam kaitannya dengan valuta asing, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk
melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang berlaku. Untuk
melaksanakan kebijakan valuta asing tersebut, dalam Undang-Undang dinyatakan:

8
a. Bank Indonesia mengelola cadangan devisa.
b. Dalam pengelolaan cadangan devisa Bank Indonesia melaksanakan berbagai jenis transaksi
devisa.
c. Dalam rangka pengelolaan cadangan devisa, Bank Indonesia dapat menerima pinjaman
luar negeri.
Selain mengelola devisa, untuk mendukung kebijakan moneter, Bank Indonesia dapat
menyelenggarakan survei secara berkala atau sewaktu-waktu diperlukan yang dapat bersifat
makro atau mikro untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Pelaksanaan survey
dapat dilakukan oleh pihak lain berdasarkan penugasan dari Bank Indonesia. Dalam
penyelenggaraan survei, setiap badan wajib memberikan keterangan dan data yang diperlukan
oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk untuk melakukan survey
tersebut wajib merahasiakan sumber dan data individual kecuali yang secara tegas dinyatakan
lain dalam undang-undang.
Atas dasar ketentuan dalam UU Bank Indonesia tersebut, Bank Indonesia melakukan
beberapa penyesuaian dalam melaksanakan tugasnya, antara lain:
1. Untuk tujuan menghindari terjadinya ekspansi moneter yang berlebihan, yang
memungkinkan mengakibatkan terjadinya inflasi dan kurang efektifnya kebijakan
moneter, mak Bank Indonesia tidak lagi diijinkan memberikan kredit pada pemerintah,
dan kredit likuiditas yang berupa kredit program. Kredit-kredit tersebut selanjutnya
dialihkan pada beberapa bank yang ditunjuk. Bank Indonesia hanya dapat melakukan
penyertaan modal pada perusahaan yang sangat diperlukan dalam menunjang kelancaran
pelaksanaan tugasnya.
2. Dalam kaitannya dengan sistem nilai tukar dan sistem devisa, Bank Indonesia
melaksanakan kebijakan berdasarkan sistem nilai tukar yang berlaku (ditetapkan). Secara
teori terdapat tiga tistem nilai tukar, yaitu sistem nilai tukar tetap, dimana kebijakan yang
bisa ditempuh adalah devaluasi atau revaluasi terhadap mata uang asing; sistem nilai
tukar mengambang, dimana kebijakan yang bisa ditempuh adalah intervensi pasar; dan
sistem nila tukar mengambang terkendali, dimana kebijakan yang bisa ditempuh adalah
penetapan nilai tukar harian, dan penetapan leber pita intervensi. Indonesia pernah
menganut ketiga sistem tersebut, dan sejak 14 Agustus 1997 Pemeruntah menetapkan
sistem nilai tukar yang dianut adalah sistem nilai tukar mengambang.

9
Selain itu, sistem nilai tukar tersebut tidak terlepas dari sistem devisa yang dianut. Secara
umum terdapat tiga sistem devisa yang dapat berlaku dalam sistem ekonomi. Ketiga
sistem devisa tersebuta adalah, sistem devisa kontrol, sistem devisa semikontrol, dan
sistem devisa bebas. Dalam sestem devisa kontrol, setiap deviasa yang diperoleh
masyarakat harus diserahkan pada negara, dan penggunaannya harus seijin negara.
Sedangkan dalam sistem devisa semikontrol sebagian devisa yang diperoleh masyarakat
harus diserahkan pada negara, dan penggunaannya harus seijin negara, dan sebagaian lain
dapat dipergunakan masyarakat secara bebas. Sementara sistem devisa bebas berarti
semua devisa yang diperoleh masyarakat dapat dipergunakan oleh masyarakat secara
bebas. Saat ini, Indonesia sistem devisa yang dianut Indonesia adalah sistem devisa
bebas.

2. Tugas Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran


Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, sesuai Undang-
Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang-Undang
No. 3 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2009, Bank Indonesia memiliki
kewenangan :
a. melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran;
b. mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang
kegiatannya;
c. menetapkan penggunaan alat pembayaran.
Pelaksanaan kewenangan ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Selain itu, Bank
Indonesia berwenang mengatur sistem kliring antarbank dalam mata uang rupiah dan/atau valuta
asing. Penyelenggaraan kegiatan kliring antarbank dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing
dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia. Pelaksanaan
ketentuan ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
Selain kliring, Bank Indonesia juga memiliki kewenangan menyelenggarakan
penyelesaian akhir transaksi pembayaran antarbank dalam mata uang rupiah dan/atau valuta
asing. Penyelenggaraan kegiatan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank dapat

10
dilakukan oleh pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia. Pelaksanaannya dengan Peraturan
Bank Indonesia.
Dalam kaitannya dengan alat pembayaran, Bank Indonesia berwenang menetapkan
macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan, dan tanggal mulai
berlakunya sebagai alat pembayaran yang syah. Bank Indonesia merupakan satu-satunya
lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut,
menarik, dan memusnahkan uang dimaksud dari peredaran. Bank Indonesia juga dapat
mencabut dan menarik uang rupiah dari peredaran dengan memberikan penggantian dengan nilai
yang sama.
Dari ketentuan tersebut, maka dalam hal tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, memiliki dua kewenangan utama, yaitu kewenangan mengatur dan
menyelenggarakan sistem pembayaran, dan kewenangan dalam menetapkan penggunaan alat
pembayaran. Dalam hal mengatur dan menyelenggarakan sistem pembayaran, Bank Indonesia
berwenang melaksanakan, memberi persetujuan dan perizinan atas penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran seperti sistem transfer dana baik yang bersifat real time, sistem kliring maupun
sistem pembayaran lainnya misalnya sistem pembayaran berbasis kartu. Selain itu, Bank
Indonesia berkewenangan menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran
antarbank, baik dalam mata uang rupiah maupun dalam mata uang asing.
Sementara itu kewenangan Bank Indonesia kewenangan dalam menetapkan penggunaan
alat pembayaran, secara umum terdapat dua jenis alat pembayaran, yaitu alat pembayaran tunai
dan alat pembayaran non-tunai. Dalam kaitannya dengan alat pembayaran tunai Bank Indonesia
merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang
rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dari peredaran.
Sementara, dalam kaitannya dengan alat pembayaran non-tunai saat ini penyediaan
layanan jasa pembayaran di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh perbankan baik melalui
rekening bank di Bank Indonesia, hubungan bilateral antar bank maupun melalui jaringan
internal bank yang dimilikinya. Layanan pembayaran dana antar nasabah tersebut biasanya
dilakukan melalui transfer elektronik, sistem kliring maupun melalui sistem Bank Indonesia Real
Time Gross Settlement (BI-RTGS). Dari sisi piranti pembayaran, secara historis sistem
pembayaran non tunai di Indonesia didominasi oleh piranti pembayaran berbasis warkat, namun

11
dalam perkembangannya piranti elektronik mulai banyak berperan terutama sejak
dioperasikannya sistem BI-RTGS untuk penyelesaian transaksi bernilai besar atau urgent.

3. Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank


Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan mengawasi Bank, sesuai dengan UU
Bank Indonesia, Bank Indonesia memiliki kewenangan menetapkan peraturan, memberikan dan
mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan
pengawasan Bank, dan mengenakan sanksi terhadap Bank. Dalam rangka melaksanakan tugas
tersebut, dan dalam menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan, Bank Indonesia menganut
prinsip kehati-hatian. Pelaksanaan kewenangan ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
Dalam hal perizinan, sesuai UU tersebut, Bank Indonesia, mempunyai kewanangan :
1. memberikan dan mencabut izin usaha Bank;
2. memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor Bank;
3. memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan Bank;
4. memberikan izin kepada Bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Sementara itu, dalam hal pengawasan Bank oleh Bank Indonesia adalah pengawasan
langsung dan tidak langsung. Bentuk-bentuk pengawasan itu meliputi:
1. Bank Indonesia mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan
sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2. Apabila diperlukan, kewajiban pelaporan ini dikenakan pula terhadap perusahaan induk,
perusahaan anak, pihak terkait, dan pihak terafiliasi dari Bank.
3. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap
waktu apabila diperlukan.
4. Apabila diperlukan, pemeriksaan dapat pula dilakukan pada perusahaan induk, perusahaan
anak, pihak terkait, pihak terafiliasi, dan debitur Bank. Bank dan pihak-pihak wajib
memberikan kepada pemeriksa : keterangan dan data yang diminta; kesempatan untuk
melihat semua pembukuan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan
usahanya; dan hal-hal lain yang diperlukan.
5. Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia
melaksanakan pemeriksaan

12
Dari hasil pemeriksaan tersebut, Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk
menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut
penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di
bidang perbankan. Bila hal demikian terjadi Bank Indonesia wajib mengirim tim pemeriksa
untuk meneliti kebenaran atas dugaan tersebut. Apabila dari hasil pemeriksaan tidak diperoleh
bukti yang cukup, Bank Indonesia pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi
sebagaimana dimaksud
Dalam mengatur hubungan antar bank, Bank Indonesia mengatur dan mengembangkan
sistem informasi antar bank. Sistem informasi tersebut dapat diperluas dengan menyertakan
lembaga lain di bidang keuangan. Penyelenggaraan sistem informasi dapat dilakukan sendiri oleh
Bank Indonesia dan/atau oleh pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia.
Dalam hal keadaan suatu Bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan
kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan atau
terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat
melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku.
Dalam menjalankan tugas pengawasan bank, saat ini BI melaksanakan sistem pengawasannya
dengan menggunakan 2 pendekatan yakni pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance
based supervision) dan pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision/RBS).
Pendekatan pengawasan berdasarkan kepatuhan pada dasarnya menekankan
pemantauan kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan ketentuan yang terkait dengan
operasi dan pengelolaan bank. Pendekatan ini mengacu pada kondisi bank di masa lalu dengan
tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar
menurut prinsip-prinsip kehati-hatian. Sedangkan pendekatan pengawasan berdasarkan risiko
merupakan pendekatan pengawasan yang berorientasi ke depan (forward looking). Dengan
menggunakan pendekatan tersebut pengawasan/pemeriksaan suatu bank difokuskan pada risiko-
risiko yang melekat (inherent risk) pada aktivitas fungsional bank serta sistem pengendalian
risiko (risk control system). Melalui pendekatan ini akan lebih memungkinkan otoritas
pengawasan bank untuk proaktif dalam melakukan pencegahan terhadap permasalahan yang
potensial timbul di bank (www.bi.go.id ).
Selanjutnya, tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor
jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Dalam Undang-Undang

13
tentang Bank Indonesia, sepanjang lembaga pengawasan belum dibentuk, tugas pengaturan dan
pengawasan Bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Saat ini, lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yang disebut
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih dalam proses pembentukan. Namun demikian, Undang-
Undang tentang OJK, yaitu Undang-Undang Nomer 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan, telah diundangkan pada tanggal 22 November 2011. Oleh karena itu, tugas mengatur
dan mengawasi Bank oleh Bank Indonesia adalah tinggal beberapa waktu.
Dalam Undang-Undang Nomer 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK
berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan terhadap:
1. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
2. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
3. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan , OJK
mempunyai wewenang:
1. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
a. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana
kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan
akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
b. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan
aktivitas di bidang jasa;
2. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
a. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum,
batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan
pencadangan bank;
b. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
c. sistem informasi debitur;
d. pengujian kredit (credit testing); dan
e. standar akuntansi bank;

14
3. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
a. manajemen risiko;
b. tata kelola bank;
c. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
d. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
e. pemeriksaan bank.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai wewenang:
1. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang;
2. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
3. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
4. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
5. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
6. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa
Keuangan dan pihak tertentu;
7. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa
Keuangan;
8. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan
menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
9. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang:
1. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
2. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
3. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan
lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
4. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
5. melakukan penunjukan pengelola statuter;
6. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
7. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

15
8. memberikan dan/atau mencabut:
a. izin usaha;
b. izin orang perseorangan;
c. efektifnya pernyataan pendaftaran;
d. surat tanda terdaftar;
e. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
f. pengesahan;
g. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
h. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.

Struktur Organisasi Bank Indonesia


Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur. Sesuai Undang-Undang No. 23 Tahun

GUBERNUR

DEPUTY
GUBERNUR
SENIOR

Deputy Deputy Deputy Deputy Deputy Deputy Deputy


Gubernur Gubernur Gubernur Gubernur Gubernur Gubernur Gubernur
Sumber: www.bi.go.id

Gambar 3.2: Dewan Gubernur Bank Indonesia

16
1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, dan
Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2009, Dewan Gubernur terdiri dari seorang Gubernur, Seorang
Deputy Gubernur Senior, minimal 4 dan maksimal 7 Deputy Gubernur. Dalam menjalankan
tugasnya, Deputy Gubernur Senior bertindak sebagai Wakil Gubernur. Bagan pada gambar 3.2
menunjukkan susunan Dewan Gubernur Bank Indonesia. Saat ini, Dewan Gubernur Bank
Indonesia terdiri dari Seorang Gubernur, seorang Deputy Gubernur Senior, dan 7 orang Deputy
Gubernur, seperti yang ditunjukkan dalam bagan pada pada gambar 3.2 tersebut
Dewan Gubernur tersebut, memimpin Bank Indonesia baik di pusat, daerah, maupun di
kantor perwakilan. Secara keseluruhan struktur organisasi Bank Indonesia ditunjukkan pada
bagan dalam gambar 3.3 berikut:

DEWAN
GUBERNUR

KANTOR KANTOR KANTOR


PUSAT BANK PERWAKILAN
INDONESIA (4)
(41)

SEKTOR SEKTOR SEKTOR MANAJEMEN


MONETER PERBANKAN SISTEM INTERNAL
PEMBAYARAN

Sumber: www.bi.go.id

Gambar 3.3: Struktur Organisasi Bank Indonesia

17
Kebijakan Keuangan dan Moneter Bank Indonesia
Kerangka operasional kebijakan moneter diawali dengan penyusunan program moneter
(monetery programming), yaitu perencanaan kebijakan pengendalian jumlah uang beredar untuk
mencapai sasran akhir berupa pengendalian inflasi. Dalam program moneter ini termasuk
didalamnya adalah sasaran operasional. Selanjutnya baru ditetapkan langkah-langkah dan
instrumen yang akan digunakan. Kaitan sasaran operasional, sasaran antara, dan sasran akhir ini
dapat ditunjukkan pada bagan dalam gambar 3.4.
Sampai saat ini, sasaran operasional Bank Indonesia masih pada uang primer. Beberapa
instrumen yang digunakan, meliputi Operasi Pasar Terbuka (OPT), Fasilitas diskonto, Giro
Wajib Minimum (GWM), maupun himbauan moral (moral suasion). Operasi pasar terbuka

Sasaran Sasaran antara Sasaran


Instrumen
operasional: (jumlah uang akhir:
kebijakan:
Uang primer beredar: M1, stabilitas
OPT, GWM,
M2) harga
dll.

Sumber: Bank Indonesia, 2003

Gambar 3.4: Makenisme Kebijakan Moneter di Indonesia

dilakukan dengan cara melakukan lelang surat-surat berharga dengan target untuk menambah
atau mengurangi jumlah uang beredar. Fasilitas diskonto merupakan fasilitas kredit dari Bank
Indonesia kepada bank-bank kemersial, dengan tingkat diskonto (bunga) yang ditentukan oleh
Bank Indonesia. Sedangkan giro wajib minimum merupakan cadangan wajib yang harus
ditetapkan untuk menjaga likuiditas bank. Sementara moral suasion merupakan himbauan dari
Bank Indonesia kepada bank-bank komersial untuk melakukan sesuai dengan kebijakan yang
diambil Bank Indonesia.
Dari keempat instrumen tersebut, OPT merupakan instrumen utama (Bank Indonesia,
2003). OPT tersebut dilakukan Bank Indonesia dengan tiga cara, yaitu:
1. Lelang SBI (Sertifikat Bank Indonesia)
2. Fasilitas Bank Indonesia (Fasbi)
3. Sterilisasi atau intervensi di pasar valuta asing

18
Hubungan Kerja Bank Indonesia Dengan Pemerintah
Meskipun dalam menjalankan kebijakan Moneter Bank Indonesia memiliki
independensi, namun dalam rangka koordinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal, Bank
Indonesia selaku Otoritas Moneter perlu menjalin hubungan kerja dengan Pemerintah selaku
otiritas Fiskal. Selain itu cakupan tugas dan wewenang Bank Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang-
Undang No. 3 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2009, sedikit banyak terkait
dengan kegiatan kegiatan dan kepentingan Pemerintah. Dalam UU tersebut, hubungan Bank
Indonesia dengan Pemerintah tercakup dalam hal:
1. Bank Indonesia bertindak sebagai pemegang kas Pemerintah.
2. Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah dapat menerima pinjaman luar negeri,
menatausahakan, serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan Pemerintah terhadap
pihak luar negeri.
3. Pemerintah wajib meminta pendapat Bank Indonesia dan/atau mengundang Bank Indonesia
dalam sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan dan keuangan yang
berkaitan dengan tugas Bank Indonesia atau masalah lain yang termasuk kewenangan Bank
Indonesia.
4. Bank Indonesia memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah mengenai
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta kebijakan lain yang berkaitan
dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia.
5. Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih
dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia. Sebelum menerbitkan surat utang negara
Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Bank Indonesia dapat
membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah.
6. Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara kecuali di pasar
sekunder. Perbuatan hukum Bank Indonesia membeli surat utang negara untuk diri sendiri
tidak di pasar sekunder dinyatakan batal demi hukum.
7. Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada Pemerintah. Dalam hal Bank Indonesia
melanggar perjanjian pemberian kredit kepada Pemerintah tersebut batal demi hukum.

19
Dari cakupan hubungan tersebut, maka antara Bank Indonesia dan pemerintah perlu selalu
bersinergi untuk dapat mencapai target kebijakan yang optimal.

Hubungan Kerja Bank Indonesia Dengan Lembaga Keuangan Internasional


Selain melakukan bekerja sama dan bersinergi dengan Pemerintah, Bank Indonesia juga
melakukan hubungan kerja dengan lembaga keuangan internasional. Dalam Undang-Undang No.
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun
2004, dan Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2009, diatur bahwa Bank Indonesia dapat melakukan
kerja sama dengan bank sentral lainnya, organisasi, dan lembaga internasional. Dalam hal
dipersyaratkan bahwa anggota lembaga internasional dan/atau lembaga multilateral adalah
negara, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama negara Republik Indonesia sebagai
anggota.
Beberapa hubungan kerja sama internasional yang sudah dijalin Bank Indonesia selama
ini antara lain (Bank Inndonesia, 2011):
1. Keanggotaan Bank Sentral di South East Asia Central Bank (SEACEN)
2. SEANZA (South East Asia, New Zealand, Australia)
3. EMEAP (the Executives' Meeting of East Asia-Pacific Central Banks)
4. ACBF (ASEAN Central Banks Forum)
5. BIS (Bank for International Settlement)
Kerja sama lain yang dijalin atas nama Pemerintah antara lain:
1. ADB (The Asian Development Bank)
2. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations)
3. APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation)
4. ASEM (Asia–Europe Meeting)
5. IDB (Islamic Development Bank
6. CGI (Consultative Group on Indonesia)
7. Keanggotaan dalam IMF(International Monetary Fund)
8. World Bank (WB)
9. IDA (International Development Association)
10. IFC (International Finance Corporation)
11. MIGA (Multilateral Investment Guarantee Agency)

20
12. WTO (World Trade Organizations)
13. G20 (Kelompok 20 ekonomi utama)

21
SISTEM PEMBAYARAN

Adalah sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga dan mekanisme yang
digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul
dari suatu kegiatan ekonomi. Sistem Pembayaran merupakan sistem yang berkaitan dengan
pemindahan sejumlah nilai uang dari satu pihak ke pihak lain.
Media yang digunakan untuk pemindahan nilai uang tersebut sangat beragam, mulai dari
penggunaan alat pembayaran yang sederhana sampai pada penggunaan sistem yang kompleks
dan melibatkan berbagai lembaga berikut aturan mainnya. Kewenangan mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran di Indonesia dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang dituangkan
dalam Undang Undang Bank Indonesia.
Dalam menjalankan mandat tersebut, Bank Indonesia mengacu pada empat prinsip
kebijakan sistem pembayaran, yakni keamanan, efisiensi, kesetaraan akses dan perlindungan
konsumen.
 Aman berarti segala risiko dalam sistem pembayaran seperti risiko likuiditas, risiko
kredit, risiko fraud harus dapat dikelola dan dimitigasi dengan baik oleh setiap
penyelenggaraan sistem pembayaran.
 Prinsip efisiensi menekankan bahwa penyelenggaraan sistem pembayaran harus dapat
digunakan secara luas sehingga biaya yang ditanggung masyarakat akan lebih murah
karena meningkatnya skala ekonomi.
 Kemudian prinsip kesetaraan akses yang mengandung arti bahwa Bank Indonesia tidak
menginginkan adanya praktik monopoli pada penyelenggaraan suatu sistem yang dapat
menghambat pemain lain untuk masuk.
 Terakhir adalah kewajiban seluruh penyelenggara sistem pembayaran untuk
memperhatikan aspek-aspek perlindungan konsumen.

Sementara itu dalam kaitannya sebagai lembaga yang melakukan pengedaran uang,
kelancaran sistem pembayaran diejawantahkan dengan terjaganya jumlah uang tunai yang
beredar di masyarakat dan dalam kondisi yang layak edar atau biasa disebut cleanmoneypolicy.

Secara garis besar Sistem pembayaran dibagi menjadi dua jenis, yaitu Sistem pembayaran
tunai dan Sistem pembayaran non-tunai. Perbedaan mendasar dari kedua jenis sistem
pembayaran tersebut terletak pada instrumen yang digunakan. Pada sistem pembayaran tunai
instrumen yang digunakan berupa uang kartal, yaitu uang dalam bentuk fisik uang
kertas dan uang logam, sedangkan pada sistem pembayaran non-tunai instrumen yang digunakan
berupa Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), cek, bilyet giro, nota debit,
maupun uang elektronik.

Uang kertas dan uang logam terdiri dari beberapa pecahan dengan masing-masing tahun
emisinya sebagai berikut.

Ruang lingkup sistem pembayaran


 Nilai besar, diselenggarakan oleh Bank Indonesia:

22
o Bank Indonesia Real TimeGrossSettlement (BI-RTGS)
o Bank Indonesia Scripless Securities Settlement (BI-SSSS)
 Nilai kecil:
o Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), diselenggarakan oleh Bank
Indonesia
o Instrumen pembayaran elektronis, diselenggarakan oleh industri (Bank dan
non-Bank):
 Alat pembayaran menggunakan kartu (APMK):
 Kartu kredit

 Kartu ATM/Debit
 Kartu prabayar (prepaid)
 Uang elektronik (e-money)
o Kegiatan usaha pengiriman uang (KUPU), diselenggarakan oleh industri (Bank
dan non-Bank)

Penyelenggara sistem pembayaran non-Bank saat ini terdiri dari Institusi jasa keuangan,
Koperasi dan Institusi penyedia jasa telekomunikasi.

Selain hal-hal di atas, masih terdapat instrumen pembayaran lain yaitu e-wallet. Beberapa
contoh yang termasuk dalam kategori e-wallet adalah PayPal, Doku, Rakuten, dan RekBer.
Kategori e-wallet belum diatur oleh Bank Indonesia.

Komponen sistem pembayaran


Komponen-komponen yang membangun sebuah sistem pembayaran terdiri dari Regulator,
Penyelenggara, Infrastruktur, Instrumen, dan Pengguna.

 Regulator berwenang mengatur aturan main, ketentuan, dan kebijakan yang mengikat
seluruh komponen sistem pembayaran.
 Penyelenggara adalah lembaga yang memastikan penyelesaian akhir dari seluruh
transaksi yang terjadi di penggunanya.
 Infrastruktur adalah sarana fisik yang mendukung operasional sistem pembayaran.
 Instrumen adalah alat pembayaran baik tunai maupun non-tunai yang disepakati oleh para
pengguna dalam melakukan transaksi.
 Pengguna adalah konsumen yang memanfaatkan Sistem pembayaran.

Evolusi Sistem Pembayaran


Sistem Pembayaran terus berevolusi mengikuti evolusi uang dengan 3 unsur penggerak
yaitu inovasi teknologi & model bisnis, tradisi masyarakat, dan kebijakan otoritas. Awal mula
alat pembayaran yaitu sistem barter antarbarang yang diperjualbelikan. Hanya saja masalah

23
muncul ketika dua orang ingin bertukar tidak bertukar dengan nilai pertukarannya atau salah satu
pihak tidak membutuhkan barang yang akan ditukarkan.
Untuk mengatasi hal itu, manusia mengembangkan komoditas uang. Komoditas di sini
adalah barang yang paling dibutuhkan oleh semua orang, misalnya garam, teh, tembakau, hingga
biji-bijian. Hewan ternak digunakan sebagai komoditas pada tahun 900 hingga 6000 Sebelum
Masehi (SM). Gandum, sayuran, dan tumbuhan kemudian dijadikan uang komoditas setelah
muncul budaya pertanian.
Selanjutnya uang primitif mulai digunakan sekitar tahun 1200 SM dan berupa cangkang
kerang atau cangkang hewan lainnya. Orang Tionghoa mulai memproduksi tiruan
tiruan cowrie yang terbuat dari logam dan tembaga. Sekitar tahun 100 SM, potongan kulit rusa
putih dengan ukuran dan diberi berbagai jenis warna juga pernah digunakan sebagai alat
pembayaran.
Uang kertas mulai digunakan sebagai alat pembayaran. Swedia adalah negara pertama di
benua Eropa yang menggunakan uang kertas di tahun 1661 setelah pabrik didirikan pada tahun
1150 di Spanyol.

 
Sistem Pembayaran Tunai
Secara garis besar sistem pembayaran dibagi menjadi dua yaitu sistem pembayaran dan
sistem pembayaran non-tunai. Perbedaan mendasar terletak pada instrumen yang
digunakan. Sistem pembayaran tunai menggunakan uang kartal sebagai alat pembayaran. 

24
Sistem Pembayaran Non Tunai
Sedangkan pada sistem pembayaran non-tunai, instrumen yang digunakan berupa Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), cek, bilyet giro, nota debit, maupun uang elektronik
( cardbased dan server based ). Cakupan sistem pembayaran non tunai transaksi menjadi 2 jenis
transaksi yaitu transaksi nilai besar ( grosir ) dan ritel.
Transaksi nilai besar memiliki karakteristik transaksi yang bersifat penting dan segera
( urgent ), meliputi transaksi antar bank, transaksi di pasar keuangan atau transaksi dengan
nilai ukuran tiket Rp1 Miliar. Infrastruktur yang digunakan untuk memroses aktivitas transaksi
ini adalah Bank Indonesia Real TimeGrossSettlement (BI-RTGS) dan Bank Indonesia Scripless
Securities Settlement System (BI-SSSS). Sedangkan transaksi ritel meliputi transaksi antar
individu dengan nilai ticketsize< Rp1 Miliar dengan karakteristik yang bernilai kecil dan relatif
tinggi frekuensinya. Infrastruktur yang digunakan untuk memroses aktivitas transaksi ini adalah
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).

Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia

Evolusi yang Dinamis


Alat pembayaran di Indonesia berkembang sangat pesat dan maju. alat pembayaran terus
berkembang dari alat pembayaran tunai ( cashbased ) ke alat pembayaran nontunai ( non tunai )
seperti alat pembayaran berbasis kertas ( paperbased ) misalnya cek dan bilyet giro yang
menggunakan mekanisme kliring/ settlement . Selain itu dikenal juga alat
pembayaran paperless seperti transfer dana elektronik dan alat pembayaran memakai Kartu
ATM, Kartu Kredit, Kartu Debit dan Kartu Prabayar ( card-based ).
Pada satu dekade terakhir, telah terjadi gelombang digitalisasi dan penetrasinya ke
kehidupan masyarakat yang mengubah drastis secara drastis perilaku masyarakat. Instrumen alat
pembayaran pun bervariasi bervariasi dengan kehadiran uang elektronik berbasis kartu
( chipbased ) maupun peladen/server ( server based ). Pola konsumsi masyarakat pun mulai
bergeser dan menuntut pembayaran serba mobile , cepat serta aman melalui
berbagai platform antara lain web, mobile , UnstructruredSupplementary Service Data (USSD)
dan SIM Toolkit (STK).
Selanjutnya, muncul instrumen mata uang virtual yang merupakan uang digital yang
diterbitkan oleh pihak lain yang berasal dari otoritas moneter dan diperoleh dengan
cara penambangan , pembelian atau transfer pemberian ( reward ). Kepemilikan mata uang
virtual sangat berisiko dan sarat akan spekulatif. Hal ini dikarenakan tidak terdapat administrator
resmi, terdapat aset dasar yang memiliki harga serta nilai perdagangan yang sangat fluktuatif
sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan ( bubble ) serta tidak dapat digunakan sebagai
sarana pemanfaatan uang dan pendanaan, sehingga dapat mempengaruhi stabilitas sistem
keuangan dan merugikan masyarakat. 
Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia /2016 kepada semua pihak agar tidak
menjual, membeli, atau memperdagangkan mata uang virtual sebagaimana diatur dalam PBI
18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan
dalam PBI19/12/PBI/2017 PenyelenggaraanTeknologkeuangan. 

25
Perkembangan Sistem Pembayaran Saat Ini
Dinamika kehidupan masyarakat dewasa ini, melahirkan pola pemikiran baru yang turut
berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Ketika suatu kejadian sederhana untuk selalu
mengakomodir setiap kebutuhan masyarakat dalam hal mengalirkan dana dengan cepat, maka
inovasi-inovasi teknologi pembayaran tumbuh dengan sangat pesat. Bank Indonesia memastikan
untuk selalu memastikan bahwa setiap sistem pembayaran harus selalu berada pada
perkembangan sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini tentu saja demi menjaga dan menjaga
sistem pembayaran.
Berkaca pada kondisi tersebut, perkembangan sistem pembayaran tidak pernah
terpisahkan dengan inovasi-inovasi infrastruktur teknologi, maka perkembangan sistem
pembayaran di Indonesia saat ini mengarah pada upaya penguatan infrastruktur dan
pengembangan sistem dengan bertopang pada kemajuan teknologi informasi. Industri
pembayaran baik yang melibatkan bank maupun lembaga selain bank berlomba-lomba
melakukan pengembangan sistem pembayarannya. Bahkan saat ini peranannya sebagai lembaga
selain bank (LSB) di dalam penyelenggaraan sistem pembayaran semakin nyata dengan semakin
banyaknya LSB yang melakukan kerjasama dengan perbankan baik sebagai penyedia jaringan
dan tidak menutup kemungkinan sebagai penerbit instrumen pembayaran tersebut. 
Bank Indonesia sebagai penyelenggara kegiatan penyelesaian transaksi-transaksi melalui
Sistem Bank Indonesia Real TimeGrossSettlement (BI-RTGS), Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI), dan Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) juga
terus berupaya memperbaiki dan memperbaharui mekanisme sistem yang ada agar selalu efisien,
aman, dan sejalan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat yang selalu
berkembang.  
Masyarakat kini menghadirkan berbagai macam pilihan instrumen pembayaran yang
bervariasi. Terjadi pergeseran instrumen yang semula menggunakan instrumen berbasis
kertas seperti cek dan bilyet giro ke penggunaan kartu berbasis dan instrumen berbasis
elektronik terlihat dari semakin terbiasanya masyarakat bertranskasi dengan kartu kredit, kartu
ATM/Debet, uang elektronik baik chipbased maupun server based sebagai alat pembayaran. 
Penguatan infrastruktur tersebut dimana Bank Indonesia sebagai penyelenggara sistem
pembayaran mulai mengoperasikan layanan penyelesaian Payment-versus-Payment (PvP) pada
Sistem Bank Indonesia Real TimeGrossSettlement (-RTGS). LAYANAN
Penyelesaian pemukiman Dari Transaksi jual beli Valuta Asing khususnya Dolar Amerika
Serikat (USD) Terhadap IndonesiaRupiah (IDR) dilakukan secara bersamaan. Hal ini untuk
menghindari terjadinya risiko kegagalan penyelesaian pada saat pertukaran nilai uang
dilakukan. Selain itu, dengan kecenderungan transaksi pembayaran ke depan yang memunculkan
batas, tentu saja kebutuhan likuiditas yang semakin tinggi para pelaku ekonomi, antara lain
munculnya ragam derivasi produk keuangan global dan batasan wilayah ekonomi regional yang
digagas melalui MEA kerjasama regional lainnya.
Selain PvP, infrastruktur lainnya adalah penyatuan penyelenggaraan fungsi penyelesaian
surat berharga BI-SSSS ke dalam penyelenggaraan sistem pembayaran dan penyelesaian di Bank
Indonesia. Penyatuan tersebut kepada untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraan kegiatan
dana dan surat berharga berikut infrastruktur dan sumber daya manusia yang pada akhirnya dapat
meningkatkan kualitas layanan pemangku kepentingan Bank Indonesia terkait. 

26
Tak ketinggalan di sisi ritel, Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang
merupakan sistem kliring. Penyempurnaan SKNBI dilakukan untuk mendapatkan penawaran
kredit pada kliring debet. Penerapan prinsip nomoneynogame pada proses penghitungan kliring
debet yang baru, menuntut bank untuk selalu menjaga sumber daya agar dapat digunakan untuk
memenuhi kewajiban pembayaran dari bank lainnya.
Hal ini mendorong para peserta bank untuk melakukan pengelolaan likuiditasnya secara
lebih baik dan efisien. Masih di sisi pembayaran ritel, perkembangan industri pembayaran ritel
diarahkan untuk menciptakan  interoperabilitas antar sistem yang digunakan demi terciptanya
keamanan dan sistem pembayaran. Standardisasi nasional instrumen kartu ATM/Debet adalah
salah satunya. Dilatarbelakangi oleh isu keamanan bertransaksi dalam menggunakan kartu
ATM/Debet, penggunaan teknologi chip pada kartu ATM/Debet diyakini dapat menimbulkan
kejahatan penipuan pada kartu ATM/Debet. Selain itu, interoperabilitas antar sistem juga
diciptakan pada penyelenggaraan uang elektronik.
Bank Indonesia telah menetapkan lima visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025. Sebagai
salah satu quickwin untuk mewujudkan visi SPI 2025 tersebut, Bank Indonesia telah melakukan
kebijakan operasional SKNBI yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan
industridengantetamemperhatikanperlindungannasabah. 

Perkembangan Kebijakan Sistem Pembayaran


Orientasi kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran mulai bergeser sejak 1
dekade terakhir, dari pengembangan infrastruktur sistem pembayaran yang dioperasikan
langsung oleh Bank Indonesia menuju pengaturan regulasi dan kelembagaan sistem pembayaran,
khususnya sistem pembayaran yang tidak terlepas dari dampak kuatnya arus digitalisasi.

27
 
Dalam rangka mendukung kegiatan ekonomi, Bank Indonesia berkomitmen untuk
menyediakan uang Rupiah di seluruh wilayah Indonesia sesuai kebutuhan masyarakat. Proses
distribusi uang Rupiah terus menerus agar perekonomian dapat terus berkembang secara
merata. Struktur distribusi seluruh uang dioptimalkan dengan pengiriman melalui 12 depo kas
sebagai hub ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
Bank Indonesia juga bekerja sama dengan POLRI dan TNI dalam mengawal dan
menyebarkan jalur distribusi uang di seluruh wilayah NKRI. Layanan kas titipan juga terus
ditingkatkan bersinergi dengan perbankan, termasuk penarikan uang tidak layak
edar. Pembukaan kas titipan diprioritaskan bagi daerah-daerah yang memiliki keterbatasan akses
dan jarak ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia. Layanan kas prima juga tetap dilakukan pada
saat terjadi kondisi darurat atau bencana agar aktivitas perekonomian dapat berjalan. kami
Kebijakan Sistem Pembayaran Indonesia

Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025: Menavigasi Sistem Pembayaran


Nasional di Era Digital
Arus digitalisasi masuk secara deras ke Indonesia, demikian pula potensinya di masa
depan. Tren digitalisasi tersebut mempengaruhi sendi-sendi perekonomian, mengubah pola

28
transaksi masyarakat, baik individu maupun korporasi, dan mendisrupsi fungsi-fungsi
konvensional, tidak dijalankan di sektor keuangan.
Dengan gambaran tersebut, tren digitalisasi ekonomi dan keuangan di Indonesia
memberikan peluang sekaligus risiko. Perkembangan teknologi digital dan inovasi telah
memungkinkan perkembangan sistem pembayaran yang nyaman, cepat, dan efisien serta
membuka lebar peluang inklusivitas ekonomi-keuangan. Namun demikian, kemajuan tersebut
muncul bukan tanpa risiko, risiko cybersecurity, AML-CFT dan proteksi terhadap pemanfaatan
data. Selain itu, kecenderungan penguasaan ekosistem digital rentan terhadap penguasaan pasar
dan data yang mengganggu sistem keuangan. Risiko penting lainnya adalah potensi perbankan
perbankan dan menguatnya shadowbanking yang berdampak pada terganggunya kebijakan
moneter.
Tantangan kebijakan bagi otoritas ekonomi dan keuangan di era digital, khususnya Bank
Indonesia adalah menemukan titik keseimbangan yang tepat antara upaya mengoptimalkan
peluang yang diusung oleh inovasi digital dengan upaya untuk memitigasi risiko.
Untuk itu, hadirnya Visi Sistem Pembayaran Indonesia dan Blueprint Sistem Pembayaran
Indonesia 2025 diharapkan dapat memberikan arah yang jelas, guna memperoleh manfaat
digitalisasi dengan tetap menjamin terlaksananya mandat Bank Indonesia dalam pengedaran
uang, moneter, dan sistem keuangan.
Lima Visi SPI 2025 adalah Pertama, mendukung integrasi ekonomi-keuangan digital
nasional sehingga menjamin fungsi bank sentral dalam proses peredaran uang, kebijakan
moneter, dan sistem keuangan, serta mendukung inklusi keuangan. 
Kedua, mendukung digitalisasi perbankan sebagai lembaga utama dalam ekonomi-
keuangan digital melalui open-banking maupun pemanfaatan teknologi digital dan data dalam
bisnis keuangan. 
Ketiga, menjamin interlink antara Fintech dengan perbankan untuk menghindari
risiko shadowbanking melalui pengaturan teknologi digital
(seperti ApplicationProgrammingInterface-API), kerjasama bisnis, maupun kepemilikan
perusahaan. 
Keempat, menjamin antara inovasi dengan perlindungan konsumen, integritas dan
persaingan serta persaingan usaha yang sehat melalui penerapan KnowYourCustomer (KYC)
& Anti-Money Laundering / CombatingtheFinancingofTerrorism (AML/CFT), kewajiban untuk
data/informasi/ bisnis publik, dan penerapan reg-tech dan sup-tech dalam kewajiban pelaporan,
regulasi dan pengawasan.
 Kelima,menjamin kepentingan nasional dalam ekonomi-keuangan digital antar negara
kewajiban membayar semua transaksi domestik di dalam negeri dan kerja sama penyelenggara
asing dengan domestik, dengan memperhatikan prinsip resiprokalitas.

29
  Kelima visi SPI 2025 ini akan diwujudkan dalam lima inisiatif, baik yang akan
diimplementasikan langsung oleh Bank Indonesia maupun melalui kolaborasi dan koordinasi
dengan otoritas terkait dan industri. Inisiatif pertama  adalah  open banking  dan  interlink
bank-fintech  yang terwujud melalui standarisasi  open API  yang mendukung informasi
keuangan bank dan  fintech  kepada pihak ketiga secara aman.
Inisiatif kedua adalah pengembangan  pembayaran ritel  yang mengarah kepada
penyelenggaraan secara  real time  24/7 dengan keamanan dan tingkat efisiensi yang lebih
tinggi. Hal ini dilakukan melalui  pembayaran cepat,  optimalisasi Gerbang Pembayaran
Nasional (GPN) dan pengembangan  antarmuka pembayaran terpadu.
Inisiatif ketiga merupakan pengembangan  pembayaran grosir  dan  infrastruktur pasar
keuangan. Cakupan ini mencakup beberapa pengembangan yang salah satunya adalah
pengembangan RTGS. Inisiatif keempat  berbicara mengenai data, dalam hal ini melakukan
pengembangan data nasional yang kolaboratif dan terintegrasi sehingga dapat dioptimalkan
pemanfaatannya. Inisiatif terakhir adalah melakukan pengaturan, pengawasan, perizinan, dan
pelaporan untuk percepatan Ekonomi Keuangan Digital (EKD). 
Dengan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025 , diyakini bahwa inovasi digital
akan mampu membuka akses 83,1 juta populasi unbanked dan 62,9 juta UMKM pada ekonomi

30
dan keuangan formal secara berkelanjutan . Dengan demikian, semua upaya yang dilakukan
diarahkan untuk masa depan Indonesia yang lebih kuat dan merata.

31

Anda mungkin juga menyukai