Anda di halaman 1dari 70

 

Tentang BI. Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia bertugas untuk  mengelola tiga bidang yaitu Moneter, Sistem Pembayaran, dan Stabilitas Sistem
Keuangan. Ketiga bidang tugas tersebut perlu diintegrasi agar tujuan tunggal dapat dicapai secara efektif dan efisien.

Status dan Kedudukan

Lembaga Negara yang Independen


Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dimulai ketika sebuah
undang-undang baru, yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999 dan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 6/ 2009. Undang-undang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang independen
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam
undang-undang ini.
Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak
atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia
dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.
Sebagai Badan Hukum
Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum
publik Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh
masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam
maupun di luar pengadilan.

Visi dan Misi

Visi

Menjadi bank sentral digital terdepan yang berkontribusi nyata terhadap perekonomian nasional dan terbaik di antara negara emerging markets untuk
Indonesia maju.

Misi

1. Mencapai dan memelihara stabilitas nilai Rupiah melalui efektivitas kebijakan moneter dan bauran Kebijakan Bank Indonesia;.

1
2. Turut menjaga stabilitas sistem keuangan melalui efektivitas kebijakan makroprudensial Bank Indonesia dan sinergi dengan kebijakan mikroprudensial
Otoritas Jasa Keuangan;
3. Turut mengembangkan ekonomi dan keuangan digital melalui penguatan kebijakan sistem pembayaran Bank Indonesia dan sinergi dengan kebijakan
Pemerintah serta mitra strategis lain;
4. Turut mendukung stabilitas makroekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui sinergi bauran Kebijakan Bank Indonesia dengan
kebijakan fiskal dan reformasi struktural Pemerintah serta kebijakan mitra strategis lain;
5. Turut meningkatkan pendalaman pasar keuangan untuk memperkuat efektivitas kebijakan Bank Indonesia dan mendukung pembiayaan ekonomi
nasional;
6. Turut mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah di tingkat nasional hingga di tingkat daerah;
7. Mewujudkan bank sentral berbasis digital dalam kebijakan dan kelembagaan melalui penguatan organisasi, sumber daya manusia, tata kelola dan
sistem informasi yang handal, serta peran internasional yang proaktif.

Tujuan dan Tugas

Tujuan Tunggal
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan
nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek
pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.
Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan
demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.

2
Tiga Pilar Utama
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang
merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas tersebut perlu diintegrasi
agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara
efektif dan efisien. Berikut tugas dan fungsi Bank Indonesia yang telah
dituangkan dalam bentuk gambar berisi tiga pilar.

2011
 Fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan berpindah ke OJK
 DPR mengesahkan UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengalihkan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan
dari Bank Indonesia ke OJK.

3
 Undang-Undang ini membagi ruang lingkup pengaturan dan pengawasan mikroprudensial lembaga keuangan sebagai kewenangan OJK, sementara
pengaturan dan pengawasan makroprudensial menjadi tanggung jawab BI dengan sasaran stabilitas sistem keuangan.

2009
Penegasan Bank Indonesia sebagai lender of the last resort.
DPR mengesahkan UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU
No.23/1999 Tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang. UU ini memperjelas dan mempertegas peran BI dalam fungsinya sebagai lender of the last
resort.

2004
Pengesahan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang Independen.
DPR mengesahkan UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

UU ini berisi tentang penegasan terhadap kedudukan bank sentral yang independen, penyempurnaan pengaturan tugas dan wewenang, dan penataan fungsi
pengawasan BI.

1999
UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Dengan adanya UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia ditetapkan sebagai Bank Sentral yang bersifat independen.  UU ini
menetapkan tujuan tunggal BI yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, dan menghapuskan tujuan sebagai agen pembangunan. Sejak periode
ini, BI menerapkan rezim kebijakan moneter dengan inflation targeting framework. Dalam framework ITF, kredibilitas BI dinilai dari kemampuannya
mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah.

1997
Krisis Moneter Asia
Krisis moneter yang terjadi di Asia mendorong BI mengambil langkah–langkah kebijakan penanggulangan krisis, seperti penerapan kebijakan floating
exchange rate untuk nilai tukar, penutupan bank-bank bermasalah, dan restrukturisasi bank-bank yang tidak sehat.

1988
Deregulasi perbankan
BI mengeluarkan paket kebijakan deregulasi perbankan, dengan nama Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 yang lebih dikenal sebagai Pakto 88 atau Pakto
27. Kebijakan ini ditujukan untuk mendorong tumbuhnya industri perbankan dengan mempermudah perizinan dalam pendirian bank baru.

4
1968
Bank Indonesia sebagai agen pembangunan dan pemegang kas negara
Pada tahun 1968, Pemerintah RI mengeluarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia. Undang-undang ini mengembalikan tugas BI sebagai
Bank Sentral Republik Indonesia dan menghentikan status BI sebagai BNI Unit I. Salah satu pasal di dalam undang-undang ini juga mengatur bahwa BI tidak
lagi memiliki fungsi menyalurkan kredit komersial, namun berperan sebagai agen pembangunan dan pemegang kas negara.  Sementara itu, melalui UU No.21
dan 22 Tahun 1968, bank-bank lainnya yang tergabung dalam Bank Tunggal berubah kembali menjadi bank pemerintah yang berdiri sendiri.

1953
Berdirinya Bank Indonesia

Pada tahun 1951, muncul desakan kuat untuk mendirikan bank sentral sebagai wujud kedaulatan ekonomi Republik Indonesia. Oleh karena itu,
Pemerintah memutuskan untuk membentuk Panitia Nasionalisasi DJB. Proses nasionalisasi dilakukan melalui pembelian saham DJB oleh Pemerintah RI,
dengan besaran mencapai 97%.

Pemerintah RI pada tanggal 1 Juli 1953 menerbitkan UU No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia, yang menggantikan DJB Wet Tahun 1922.
Sejak 1 Juli 1953 Bank Indonesia secara resmi berdiri sebagai Bank Sentral Republik Indonesia.

UU No.11 Tahun 1953 merupakan ketentuan pertama yang mengatur BI sebagai bank sentral. Tugas BI tidak hanya sebagai bank sirkulasi, melainkan
sebagai bank komersial melalui pemberian kredit. Pada masa ini, terdapat Dewan Moneter (DM) yang bertugas menetapkan kebijakan moneter. DM diketuai
Menteri Keuangan dengan anggota Gubernur BI dan Menteri Perdagangan. Selanjutnya, BI bertugas menyelenggarakan kebijakan moneter yang telah
ditetapkan oleh DM.

Masa Ekonomi Terpimpin

Pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno memperkenalkan konsep Ekonomi Terpimpin. Pada masa ini, Gubernur BI ditetapkan sebagai
anggota kabinet dengan sebutan Menteri Urusan Bank Sentral dan Dewan Moneter tidak berfungsi lagi. Dalam bidang perbankan, terdapat doktrin “Bank
Berdjoang” berupa penyatuan seluruh bank-bank negara menjadi Bank tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI) yang pendiriannya lewat Perpres
No.17 Tahun 1965. Dalam masa implementasi “Bank Berdjoang”, Bank Indonesia diubah menjadi BNI Unit I, sedangkan bank-bank milik pemerintah
lainnya dibagi menjadi BNI Unit II-V.

1949

5
Republik Indonesia Serikat (RIS)
Pada tahun 1949, berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan salah satu butir kesepakatan penting adalah pengakuan kedaulatan Republik
Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda. Kedudukan RIS berada di bawah Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia menjadi bagian dari RIS. Selain itu, KMB
juga menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi Republik Indonesia Serikat. Setelah Republik Indonesia memutuskan untuk keluar dari RIS, pada masa
peralihan kembali menjadi NKRI, DJB tetap menjadi bank sirkulasi dengan kepemilikan saham oleh Belanda.

1945
Dua Wilayah di Indonesia
Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Pada masa ini, NICA mendirikan kembali DJB untuk mencetak dan mengedarkan uang NICA. Hal ini bertujuan untuk mengacaukan ekonomi Indonesia.
Sesuai mandat yang tertulis dalam penjelasan UUD 45 pasal 23 yaitu “Berhubung dengan itu kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan
mengatur peredaran uang kertas ditetapkan dengan Undang-undang”, maka Pemerintah Republik Indonesia membentuk bank sirkulasi yaitu Bank Negara
Indonesia (BNI). Sebagai upaya menegakkan kedaulatan ekonomi, BNI menerbitkan uang dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI).
Keberadaan BNI milik RI dan DJB milik NICA membuat terjadinya dualisme bank sirkulasi di Indonesia dan munculnya peperangan mata uang (currency
war). Pada masa ini, uang DJB yang dikenal dengan sebutan “uang merah” dan ORI dikenal sebagai “uang putih”.

1942
Masa Hindia Belanda
Pada tahun 1828, Pemerintah Kerajaan Belanda memberikan octrooi atau hak-hak istimewa kepada De Javasche Bank (DJB) untuk menjadi bank
sirkulasi. Pada periode ini, DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia Belanda.
Octrooi secara periodik diperpanjang setiap 10 tahun sekali. Hingga tahun 1922, telah dilakukan tujuh kali perpanjangan Octrooi.
Pada tahun 1922, Pemerintah Belanda menerbitkan undang-undang De Javasche Bank Wet

1942
Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pemerintahan Militer Jepang, DJB dilikuidasi. Tugas DJB sebagai bank sirkulasi di Indonesia kemudian digantikan oleh Nanpo Kaihatsu
Ginko (NKG).

1870
Liberalisasi Ekonomi Hindia Belanda
Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) yang memperbolehkan pihak swasta menanamkan modalnya pada sektor bisnis di
Hindia Belanda. Hal ini mendorong kebangkitan sektor perkebunan di Hindia Belanda sehingga menjadi produsen penting komoditas-komoditas perdagangan
internasional di dunia. Akibat eksploitasi ekonomi besar-besaran oleh Belanda selama penerapan Sistem Tanam Paksa, muncul gerakan yang disebut sebagai

6
politik balas budi atau yang lebih dikenal dengan Politik Etis pada tahun 1901.
Pada bidang perbankan, pada awal abad ke-20 banyak bermunculan bank-bank perkreditan yang bertujuan untuk mendorong perkembangan perekonomian
rakyat.

Rentang tahun 1870-1942, De Javasche Bank membuka 15 kantor cabang di kota-kota yang dianggap strategis di Hindia Belanda, yaitu: Yogyakarta
(1879), Pontianak (1906), Bengkalis (1907), Medan (1907), Banjarmasin (1907), Tanjungbalai (1908), Tanjungpura (1908), Bandung (1909), Palembang
(1909), Manado (1910), Malang (1916), Kutaraja (1918), Kediri (1923), Pematang Siantar (1923), Madiun (1928).

1830
Ekspansi Ekonomi Kolonial Belanda
Untuk mengisi kas negara karena terkuras oleh Perang Jawa, Belanda memberlakukan tanam paksa (cultuurstelsel) di Hindia Belanda.
Penyimpangan implementasi Sistem Tanam Paksa dituangkan dalam novel Max Havelaar karya Douwes Dekker yang mengundang polemik kalangan
masyarakat dan politikus di negeri Belanda.

De Javasche Bank digunakan pemerintah kolonial untuk mendukung kebijakan finansial dari Sistem Tanam Paksa.
Rentang tahun 1829-1870, DJB melakukan ekspansi bisnis dengan membuka kantor cabang di beberapa kota di Hindia Belanda, termasuk di luar Jawa:
Semarang (1829), Surabaya (1829), Padang (1864), Makassar (1864), Cirebon (1866), Solo (1867), dan Pasuruan (1867).

1828
Pendirian De Javasche Bank
Pendirian De Javasche Bank yang nantinya menjadi cikal bakal Bank Indonesia.

Pada tahun 1828, pemerintah Kerajaan Belanda memberikan octrooi atau hak-hak istimewa kepada De Javasche Bank (DJB) untuk bertindak sebagai
bank sirkulasi. Sebagai bank sirkulasi, DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia Belanda. Octrooi secara
periodik diperpanjang setiap 10 tahun sekali. Secara keseluruhan, DJB telah melalukan tujuh kali masa perpanjangan octrooi.

De Javasche Bank merupakan bank sirkulasi pertama di Asia.

1818
Bank Courant en Bank Van Leening
Penutupan Bank van Courant en Bank van Leening karena krisis keuangan.

1746

7
Bank Courant en Bank Van Leening
Bank pertama di Nusantara yang berdiri untuk menunjang kegiatan perdagangan pada tahun 1746 adalah Bank van Courant. Bank ini memiliki tugas untuk
memberikan pinjaman dengan jaminan emas, perak, perhiasan, dan barang-barang berharga lainnya.

Pada tahun 1752, Bank van Courant disempurnakan menjadi De Bank van Courant en Bank van Leening. Bank ini bertugas memberikan pinjaman kepada
pegawai VOC agar mereka dapat menempatkan dan memutarkan uang mereka pada lembaga ini. Hal ini dilakukan dengan iming-iming imbalan bunga.

1603
Tugas Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
VOC bertujuan untuk membuka perdagangan di Nusantara sekaligus menghancurkan dominasi Portugis (namun gagal).

1602
Maskapai Dagang
Pembentukan maskapai dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie yang dikenal dengan nama VOC (Persekutuan Dagang Hindia Timur).

Mata uang Real Spanyol masuk ke Nusantara.

1600
Abad ke-16
Kedatangan bangsa Eropa ke Asia Tenggara dengan misi mencari rempah-rempah.

Di Nusantara telah berdiri kerajaan-kerajaan yang telah memiliki mata uangnya sendiri. Selain itu, beredar pula mata uang asing seperti Picis dari Tiongkok
yang mendominasi peredaran uang.

8
Latar Belakang

Pencapaian visi Bank Indonesia, yaitu menjadi bank sentral digital terdepan yang berkontribusi nyata terhadap perekonomian nasional dan terbaik di
antara negara emerging markets untuk Indonesia maju, didukung oleh pelaksanaan transformasi Bank Indonesia secara menyeluruh. Transformasi yang
dilakukan merupakan respons Bank Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan yang dapat memengaruhi pencapaian visi dan misi tersebut.
Terdapat sekurangnya lima tantangan global yang muncul akibat pandemi dan perlu diwaspadai dengan baik, serta dua tantangan kelembagaan yang
berpotensi menghambat pencapaian visi dan misi Bank Indonesia. Dalam menjawab tantangan tersebut, Bank Indonesia melakukan transformasi menyeluruh,
baik di area kebijakan, maupun kelembagaan.

Transformasi Bank Indonesia dilakukan mengacu pada arah strategis yang ditetapkan sebagai pedoman dalam mencapai tujuan Bank Indonesia jangka
menengah-panjang. Transformasi kebijakan Bank Indonesia dilakukan melalui penguatan bauran kebijakan dalam rangka menjalankan mandat Undang-
Undang untuk menjaga stabilitas nilai Rupiah (inflasi dan nilai tukar), turut menjaga stabilitas sistem keuangan, serta mendorong pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan, serta penguatan di masing-masing area kebijakan moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan pendukung kebijakan. Transformasi
kelembagaan dilakukan untuk meningkatkan kinerja unggul berbasis kinerja efektif, efisien, dan bertata-kelola/governed (2EG) agar mandat Bank Indonesia
dapat terlaksana secara kredibel.

9
Transformasi Kebijakan

10
Sejalan dengan arah strategis, transformasi kebijakan Bank Indonesia dilakukan guna memperkuat kerangka bauran kebijakan, yakni kerangka Bank
Indonesia Policy Mix (BIPOLMIX), serta penguatan di masing-masing area kebijakan.

11
12
Transformasi Kelembagaan

Transformasi kelembagaan Bank Indonesia mencakup penguatan organisasi dan proses kerja, SDM dan budaya kerja, serta digitalisasi. Untuk memperkuat
pengelolaan kelembagaan, pada 2021 Bank Indonesia mengembangkan kerangka bauran kebijakan kelembagaan berbasis kinerja efektif, kinerja efisien, dan
kinerja bertata-kelola/governed (2EG).

13
Monitoring pelaksanaan dan pencapaian transformasi Bank Indonesia

Implementasi dan pencapaian transformasi Bank Indonesia senantiasa dipantau dan dievaluasi secara berkala untuk memastikan kesesuaiannya dalam
mendukung pencapaian visi dan misi Bank Indonesia di tengah lingkungan strategis yang dapat berubah sewaktu-waktu. Implementasi dan pencapaian
transformasi Bank Indonesia dilaporkan secara berkala dalam Laporan Kelembagaan Bank Indonesia dan Laporan Tahunan Bank Indonesia.

14
Fungsi Utama Bank Indonesia berkomitmen untuk senantiasa mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pengelolaan bidang
Moneter, Sistem Pembayaran, dan Stabilitas Sistem Keuangan. Pengelolaan ketiga bidang tersebut diimplementasikan melalui kebijakan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan dioperasikan melalui berbagai instrumen yang sesuai dengan bidang tugas terkait. Ketahui lebih lanjut
mengenai kebijakan serta indikator perekonomian Indonesia pada masing-masing bidang tugas Bank Indonesia melalui menu berikut.

Tujuan Kebijakan Moneter

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia, yang sebagaimana diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 2009 pada pasal 7. Kestabilan Rupiah yang dimaksud
mempunyai dua dimensi. Dimensi pertama kestabilan nilai Rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan
laju inflasi. Sementara itu, dimensi kedua terkait dengan kestabilan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara lain. Indonesia menganut sistem nilai tukar
mengambang (free floating). Namun, peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan.

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia sejak 1 Juli 2005 menerapkan kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF).
Kerangka kebijakan tersebut dipandang sesuai dengan mandat dan aspek kelembagaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang. Dalam kerangka ini, inflasi
merupakan sasaran yang diutamakan (overriding objective). Bank Indonesia terus melakukan berbagai penyempurnaan kerangka kebijakan moneter, sesuai
dengan perubahan dinamika dan tantangan perekonomian yang terjadi, guna memperkuat efektivitasnya.

Kerangka Kebijakan Moneter

Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF).  ITF merupakan
suatu kerangka kerja (framework) dengan kebijakan moneter yang diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan ke depan dan diumumkan
kepada publik sebagai perwujudan dari komitmen dan akuntabilitas bank sentral. ITF diimplementasikan dengan menggunakan suku bunga kebijakan sebagai
sinyal kebijakan moneter dan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sebagai sasaran operasional. Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak 1
Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan kerangka kebijakan moneter dengan uang primer (base money) sebagai sasaran kebijakan moneter. 

Berpijak pada pengalaman krisis keuangan global 2008/2009, salah satu pelajaran penting yang mengemuka adalah perlunya fleksibilitas yang cukup bagi
bank sentral untuk merespons perkembangan ekonomi yang semakin kompleks dan peran sektor keuangan yang semakin kuat dalam memengaruhi stabilitas
ekonomi makro. Berdasarkan perkembangan tersebut, Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF. 

15
Apa itu Flexible ITF?
Flexible ITF dibangun dengan tetap berpijak pada elemen-elemen penting ITF yang telah terbangun. Elemen-elemen pokok ITF termasuk pengumuman
sasaran inflasi kepada publik, kebijakan moneter yang ditempuh secara forward looking (kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi pada
periode yang akan datang karena mempertimbangkan adanya efek tunda/time lag kebijakan moneter).
Akuntabilitas kebijakan kepada publik tetap menjadi bagian inherent dalam Flexible ITF. Kerangka Flexible ITF dibangun berdasarkan 5 elemen pokok,
yaitu:
1. Strategi penargetan inflasi (Inflation Targeting) sebagai strategi dasar kebijakan moneter.
2. Integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial untuk memperkuat transmisi kebijakan dan sekaligus mengupayakan stabilitas makroekonomi.
3. Peran kebijakan nilai tukar dan arus modal dalam mendukung stabilitas makroekonomi.
4. Penguatan koordinasi kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah untuk pengendalian inflasi maupun dalam menjaga stabilitas moneter dan sistem
keuangan.
5. Penguatan strategi komunikasi kebijakan sebagai bagian dari instrumen kebijakan.

Mengapa Flexible ITF?


Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008/2009 mengharuskan bank sentral untuk melakukan stabilitas sistem keuangan dan penyelamatan
perekonomian. Kebijakan yang hanya mengedepankan penerapan ITF dipandang tidak lagi sesuai. Hal ini dikarenakan penerapan ITF secara ketat hanya
fokus pada mandat kebijakan moneter untuk menjaga inflasi sesuai dengan targetnya, tidak cukup untuk menjaga stabilitas sistem perekonomian secara
keseluruhan.
Peran sistem keuangan makin besar dalam perekonomian, sehingga dampak ketidakstabilan sistem keuangan menjadi makin signifikan. Hal ini tercermin dari
besarnya biaya penyelamatan dan dampak yang ditimbulkan oleh krisis keuangan global tahun 2008/2009. Hal ini menyadarkan pentingnya peran bank
sentral untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan.  Penerapan ITF untuk pencapaian stabilitas harga hanya memenuhi syarat perlu, belum kondisi
kecukupan (necessary but not sufficient).

Pascakrisis keuangan global tahun 2008/2009, bank sentral dituntut untuk semakin memperkuat stabilitas sistem keuangan untuk memastikan perekonomian
berada dalam kondisi stabil, baik dari sisi makroekonomi maupun sektor keuangan. Untuk itu, keberhasilan penerapan ITF harus didukung dengan kerangka
pengaturan di sektor keuangan secara makro (macroprudential regulatory framework). Oleh karena itu, Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi
flexible ITF dengan makin memperkuat mandatnya dalam menjaga stabilitas harga dan turut mendukung stabilitas sistem keuangan.

Bagaimana Flexible ITF diterapkan?


Pencapaian overriding objective ITF dan Flexible ITF adalah sama, yaitu pengendalian inflasi.  Dimensi baru sejak krisis keuangan global adalah

16
perkembangan peran bank sentral dalam turut menjaga stabilitas sistem keuangan secara terintegrasi dengan mandat mencapai stabilitas harga. 
Pengejawantahan Flexible ITF adalah adanya ruang fleksibilitas dalam mengintegrasikan kerangka stabilitas moneter dan sistem keuangan melalui penerapan
instrumen bauran kebijakan moneter, makroprudensial, nilai tukar, aliran modal dan penguatan kelembagaan untuk mengoptimalkan peran kordinasi dan
komunikasi kebijakan. 

Terkait dengan strategi penargetan inflasi (inflation targeting), Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu. Sasaran inflasi
ditetapkan oleh pemerintah berkoordinasi dengan Bank Indonesia untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Setiap periode
Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model
dan berbagai informasi yang tersedia untuk menggambarkan kondisi inflasi ke depan sebagai basis kebijakan moneter yang ditempuh. Hal ini merupakan
implikasi dari adanya efek tunda/time lag kebijakan moneter sehingga target dalam pelaksanaan kebijakaan moneter didasarkan pada perkiraan inflasi ke
depan. Upaya pencapaian target tersebut dilakukan melalui respons bauran kebijakan (policy mix) dengan memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas. 

Bank Indonesia melaporkan pelaksanaan tugas tersebut secara reguler kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga Pemerintah. Secara reguler, Bank
Indonesia juga menjelaskan kepada publik mengenai asesmen terhadap kondisi terkini dan outlook inflasi ke depan, keputusan yang diambil, serta arah
kebijakan ke depan yang akan diambil untuk menjaga inflasi sesuai dengan sasarannya (forward guidance). Hal ini tidak hanya untuk memenuhi aspek
transparansi namun juga penting dalam memperkuat kredibilitas Bank Indonesia sehingga kebijakan yang ditempuh menjadi lebih efektif.  

Dalam rangka memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter, pada 19 Agustus 2016 Bank Indonesia menetapkan BI 7-day (Reverse) Repo Rate (BI
7DRR) sebagai suku bunga kebijakan yang merepresentasikan sinyal respons kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi sesuai dengan sasaran.
Penggunaan BI 7DRR sebagai suku bunga acuan merupakan bagian dari reformulasi kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. 

Sebelumnya, Bank Indonesia menggunakan BI Rate sebagai suku bunga acuan yang setara dengan dengan instrumen moneter 12 bulan. Melalui penetapan BI
7DRR sebagai suku bunga acuan, tenor instrumen menjadi lebih pendek yakni setara dengan instrumen moneter 7 hari sehingga diharapkan dapat
mempercepat transmisi kebijakan moneter dan mengarahkan inflasi sesuai dengan sasarannya. 

Reformulasi kebijakan moneter memiliki tiga tujuan utama. Pertama, memperkuat sinyal arah kebijakan moneter. Kedua, memperkuat efektivitas transmisi
kebijakan moneter melalui pengaruhnya pada pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan. Ketiga, mendorong pendalaman pasar keuangan,
khususnya transaksi dan pembentukan struktur suku bunga di PUAB untuk tenor 3 bulan hingga 12 bulan. 

17
Dalam implementasinya, reformulasi kebijakan moneter memegang empat prinsip. Pertama, reformulasi tidak mengubah kerangka kebijakan moneter karena
Bank Indonesia tetap menerapkan Flexible ITF. Kedua, reformulasi tidak untuk mengubah stance kebijakan moneter yang sedang ditempuh. Ketiga,
reformulasi membuat suku bunga kebijakan terefleksikan di instrumen moneter dan dapat ditransaksikan dengan Bank Indonesia. Keempat, penentuan suku
bunga sasaran operasional berdasarkan pertimbangan dapat dipengaruhi oleh suku bunga kebijakan. Sesuai dengan prinsip kedua, perubahan tersebut tidak
mengubah stance kebijakan moneter karena kedua suku bunga kebijakan BI Rate dan BI 7DRR berada dalam satu struktur suku bunga (term structure) yang
sama dalam mengarahkan inflasi agar sesuai dengan sasarannya. 

Implementasi flexible ITF juga didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar. Kebijakan nilai tukar yang ditempuh Bank Indonesia dalam rangka
mengelola stabilitas nilai tukar Rupiah agar sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap mendorong bekerjanya mekanisme pasar. Kebijakan nilai tukar
dilakukan dalam rangka mengurangi gejolak yang muncul dari ketidakseimbangan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing (valas), melalui strategi
triple intervention. Strategi triple intervention dilakukan melalui intervensi jual di pasar spot, pasar Domestik Non-Deliverable Forward (DNDF) atau pasar
berjangka valas serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Strategi triple  intervention dilakukan untuk menjaga kestabilan nilai tukar
dan sekaligus menjaga kecukupan likuiditas Rupiah.

Implementasi Flexible ITF juga didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar. Kebijakan nilai tukar ditempuh Bank Indonesia untuk mengelola stabilitas
nilai tukar Rupiah agar sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap mendorong bekerjanya mekanisme pasar. Kebijakan nilai tukar dilakukan dalam
rangka mengurangi gejolak yang muncul dari ketidakseimbangan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing (valas) melalui intervensi jual di pasar spot,
pasar Domestik Non-Deliverable Forward (DNDF) atau pasar berjangka valas serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Strategi ini
dilakukan untuk menjaga kestabilan nilai tukar dan sekaligus menjaga kecukupan likuiditas Rupiah.

Berbagai kebijakan tersebut diperkuat oleh koordinasi kebijakan bersama Pemerintah, khususnya dari sisi penawaran. Kebijakan pemerintah terutama
diarahkan untuk menjaga keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif untuk stabilisasi harga pangan guna
mendukung terkendalinya inflasi. Koordinasi kebijakan pengendalian inflasi antara Bank Indonesia dengan Pemerintah yang semakin kuat diwujudkan
melalui forum Tim Pengendalian Inflasi (TPI) baik di pusat maupun daerah. Koordinasi kebijakan dengan Pemerintah juga dilakukan dalam rangka
memperkuat stabilitas sistem keuangan. Melalui komite Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia bersama dengan Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menetapkan langkah koordinasi dan memberikan rekomendasi dalam rangka pemantauan dan
pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan.

18
Transmisi Kebijakan Moneter

Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan
stabil. Untuk mencapai tujuan itu, Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebagai instrumen kebijakan
utama untuk memengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Proses tersebut atau transmisi dari keputusan BI-7 Day
Reverse Repo Rate (BI7DRR)  sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut melalui berbagai channel dan memerlukan waktu (time lag). 

Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu (time lag). Time lag masing-masing jalur bisa berbeda. Dalam kondisi normal, perbankan
akan merespons kenaikan/penurunan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)  dengan kenaikan/penurunan suku bunga perbankan. Namun demikian, apabila
perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respons perbankan terhadap penurunan suku bunga BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)  akan lebih
lambat. Sebaliknya, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan peningkatan
permintaan kredit tidak selalu direspons dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga tidak selalu
direspons oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu. Efektivitas transmisi kebijakan moneter
dipengaruhi oleh  kondisi eksternal, sektor keuangan dan perbankan, serta sektor riil. 

19
Pada jalur suku bunga, perubahan BI 7DRR memengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Bank Indonesia dapat menggunakan
kebijakan moneter yang ketat melalui peningkatan suku bunga yang berdampak pada permintaan agregat sehingga menurunkan tekanan inflasi. Sebaliknya,
penurunan suku bunga BI 7DRR akan menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan kredit dari perusahaan dan rumah tangga meningkat. Penurunan
suku bunga kredit juga menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Hal ini meningkatkan aktivitas konsumsi dan investasi sehingga
mendorong perekonomian.  

Perubahan suku bunga BI 7DRR dapat memengaruhi nilai tukar (jalur nilai tukar). Kenaikan BI 7DRR, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih
antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan
modal ke dalam instrumen-instrumen keuangan di Indonesia, karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk
asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor
kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Apresiasi nilai tukar tersebut akan

20
berdampak pada penurunan tekanan inflasi.   

Perubahan suku bunga BI 7DRR juga memengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset
seperti saham dan obligasi, sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan
kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi. Hal ini akan mengurangi permintaan agregat sehingga menurunkan tekanan inflasi. 

Dampak perubahan suku bunga pada kegiatan ekonomi juga memengaruhi ekspektasi publik terhadap inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga akan
mendorong aktivitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi akan mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih
tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga. 

Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu (time lag). Time lag masing-masing jalur bisa berbeda. Dalam kondisi normal, perbankan
akan merespons kenaikan/penurunan BI 7DRR dengan kenaikan/penurunan suku bunga perbankan. Namun demikian, apabila perbankan melihat risiko
perekonomian cukup tinggi, respons perbankan terhadap penurunan suku bunga BI 7DRR akan lebih lambat. Sebaliknya, apabila perbankan sedang
melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan peningkatan permintaan kredit tidak selalu direspons dengan
menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga tidak selalu direspons oleh meningkatnya permintaan kredit
dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu. Efektivitas transmisi kebijakan moneter dipengaruhi oleh kondisi eksternal, sektor keuangan dan
perbankan, serta sektor riil. 

Transparansi dan Akuntabilitas

Transparansi dan Komunikasi
Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2004 dan UU No. 6 tahun 2009, pada pasal 4
ayat 2 tertera bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali
untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang. Pemberian independensi tersebut, diimbangi dengan pelaksanaan transparansi dan
akuntabilitas.  

Transparansi 
Prinsip yang mendasari transparansi kebijakan moneter adalah agar informasi yang disampaikan memungkinkan publik untuk memahami dan mampu
mengantisipasi keputusan-keputusan bank sentral untuk mencapai target akhir yang ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut, cakupan informasi yang
disampaikan kepada publik meliputi aspek berikut: 

21
1. Tujuan 
Bank sentral menyampaikan secara jelas dan konsisten mengenai apa yang akan dicapai dari kebijakan moneter, baik mengenai tujuan akhir maupun
tujuan jangka pendek, serta rasionalitas dari penetapan tujuan tersebut.
2. Metode 
Bank sentral transparan terkait aktivitas prosedural dalam kebijakan moneter (a.l menyampaikan operasi moneter yang dilakukan, hasil prakiraan dan
model ekonomi yang dipergunakan termasuk gambaran pokok dan asumsi-asumsi yang digunakan). Hal tersebut untuk membentuk ekspektasi di pasar
keuangan serta menghindari dan meminimalkan gejolak yang terjadi di pasar. Selain itu, hal tersebut diperlukan untuk meningkatkan pemahaman
publik terhadap kebijakan moneter bank sentral. 
3. Pengambilan keputusan 
Bank sentral mengumumkan kebijakan yang ditempuh dengan pertimbangan yang mendasarinya, misalnya keputusan mengenai suku bunga kebijakan,
segera setelah keputusan tersebut diambil.

Selain itu, ada beberapa pokok cakupan transparansi mengenai kebijakan moneter yang baik yang tertuang dalam “Code of Good Practices on Transparency
in Monetary and Financial Policies”. Dokumen tersebut dikembangkan oleh IMF sejak tahun 1999 dan kini telah diikuti oleh banyak negara anggotanya.
Beberapa pokok cakupan transparansi tersebut antara lain: 

 Kejelasan mengenai peran, wewenang, dan tujuan otoritas kebijakan moneter. 


 Keterbukaan mengenai proses perumusan dan pelaporan kebijakan moneter. 
 Ketersediaan informasi kebijakan moneter kepada publik.
 Akuntabilitas dan jaminan integritas dari otoritas moneter.

Komunikasi Kebijakan Moneter


Efektivitas kebijakan moneter dapat ditingkatkan melalui komunikasi yang efektif, terlebih dalam kondisi meningkatnya ketidakpastian. Bank Indonesia
sebagai otoritas moneter hanya dapat memengaruhi secara langsung suku bunga jangka pendek, sementara suku bunga jangka panjang lebih ditentukan oleh
ekspektasi kebijakan moneter ke depan yang dapat diarahkan melalui komunikasi kebijakan.  

Komunikasi turut berperan dalam penguatan transparansi dan akuntabilitas Bank Indonesia dengan cara memberikan pemahaman kepada publik terkait
kebijakan moneter secara keseluruhan, membantu menggerakkan ekspektasi publik dan pelaku pasar, serta mengurangi ketidakpastian ke depan. Komunikasi
kebijakan moneter Bank Indonesia dilakukan melalui berbagai media antara lain:

 Siaran Pers dan Konferensi Pers


 Publikasi berupa Laporan Kebijakan Moneter, Indonesia: Perekonomian Terkini dan Respons Kebijakan, Laporan Perekonomian Indonesia, Laporan
Triwulanan DPR RI dll.
 Website Bank Indonesia

22
 Talkshow di radio dan televisi
 Seminar/Diskusi dengan stakeholders
 Diseminasi di daerah 

Akuntabilitas 
UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang telah diamandemen dengan UU No. 3 Tahun 2004 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Republik Indonesia No. 6/2009) mengamanatkan akuntabilitas Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas, wewenang, dan anggaran.  

Prinsip akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia diterapkan dengan cara menyampaikan informasi langsung kepada masyarakat
luas melalui media massa pada setiap awal tahun, mengenai evaluasi pelaksanaan kebijakan moneter pada tahun sebelumnya, serta rencana kebijakan moneter
dan penetapan sasaran-sasaran moneter untuk tahun yang akan datang. Informasi tersebut juga disampaikan secara tertulis kepada Presiden dan DPR. 

Akuntabilitas juga terkait erat dengan independensi. Semakin besarnya independensi yang diberikan kepada bank sentral menuntut pula pentingnya
akuntabilitas. 

Koordinasi dan Pengendalian Inflasi

Inflasi yang rendah dan stabil diperlukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan tujuan kebijakan makro. Namun, sumber tekanan inflasi
tidak hanya berasal dari permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia, tetapi juga berasal dari sisi penawaran, yakni berkaitan dengan produksi dan
distribusi barang. Selain itu, shocks dari inflasi juga dapat berasal dari kebijakan pemerintah terkait dengan barang-barang yang termasuk ke dalam
kelompok administered price (kelompok barang yang harganya diatur oleh Pemerintah) seperti harga BBM dan komoditas energi lainnya. Oleh karena itu,
diperlukan bauran kebijakan untuk dapat mencapai tujuan tersebut.

Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah dalam melakukan pengendalian inflasi, baik dalam ruang lingkup daerah maupun nasional. Sementara itu,
Pemerintah berperan dalam mengendalikan ekspektasi inflasi dan mengelola penawaran, diantaranya pengelolaan terhadap pasokan, distribusi, konektivitas,
rantai perdagangan, dan subsidi. Sinergi dibentuk untuk mengendalikan inflasi agar tetap berada pada kisaran sasaran akhir yang telah ditetapkan dengan cara
membentuk Tim Pengendalian Inflasi (TPI). TPI di level pusat terbentuk sejak tahun 2005, kemudian diperkuat dengan pembentukan TPI di level daerah
sejak tahun 2008.

23
Koordinasi pengendalian inflasi diperkuat dengan landasan hukum berupa Perpres No.23/2017 tentang Tim Pengendalian Inflasi Nasional (TPIN). Keppres
tersebut menaungi mekanisme koordinasi pengendalian inflasi melalui pembentukan Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP), Tim Pengendalian Inflasi Daerah
(TPID) Provinsi, dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Kabupaten/Kota.

Produk turunan dari dasar hukum ini selanjutnya ditindaklanjuti melalui diterbitkannya Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No.10 Tahun
2017 tentang Mekanisme dan Tata Kerja TPIP, TPID Provinsi, dan TPID Kabupaten/Kota, Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No.148
tahun 2017 tentang Tugas dan Keanggotaan Kelompok Kerja dan Sekretariat Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP), dan Keputusan Menteri Dalam Negeri
No.500.05-8135 Tahun 2017 tentang Tim Pengendalian Inflasi Daerah. Fokus program pengendalian inflasi adalah 4K, yakni: 

1. Keterjangkauan harga. 
2. Ketersediaan pasokan. 
3. Kelancaran distribusi.
4. Komunikasi efektif. 

24
Definisi Inflasi

Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Deflasi merupakan kebalikan
dari inflasi, yakni penurunan harga barang secara umum dan terus menerus.
Perhitungan inflasi dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), link ke metadata SEKI-IHK. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat
disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.

Pengukuran IHK

Berdasarkan the Classification of Individual Consumption by Purpose (COICOP), IHK dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok pengeluaran, yaitu:

1. Bahan Makanan.
2. Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau.
3. Perumahan.

25
4. Sandang.
5. Kesehatan.
6. Pendidikan dan Olahraga.
7. Transportasi dan Komunikasi.

Data pengelompokan tersebut didapatkan melalui Survei Biaya Hidup (SBH).

Disagregasi Inflasi

Di samping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan lainnya yang dinamakan
disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi dilakukan untuk menghasilkan indikator inflasi yang menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.

Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:

1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh
faktor fundamental, seperti:
o Interaksi permintaan-penawaran.
o Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang.
o Ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.

2. Inflasi non-Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non-
inti terdiri dari:
o Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food): Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti
panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan
internasional.
o Inflasi Komponen Harga yang diatur oleh Pemerintah (Administered Prices): Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa
kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.

Determinan Inflasi

Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-
faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara mitra dagang,
peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (Administered Price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya
distribusi.

26
Faktor penyebab demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi
ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian.
Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam
keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut dapat bersifat adaptif atau forward looking.

Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal,
dan tahun baru) dan penentuan upah minimum provinsi (UMP). Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung
kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand tersebut. Demikian
halnya pada saat penentuan UMP, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong
peningkatan permintaan.

Pentingnya Kestabilan Harga

Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan
dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya
menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi
pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat
dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih
tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan
tekanan pada nilai Rupiah. Keempat, pentingnya kestabilan harga kaitannya dengan SSK (referensi).

Sasaran Inflasi

Melalui amanat yang tercakup di Undang Undang tentang Bank Indonesia, tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah.
Kestabilan nilai Rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara
lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang
negara lain.
 
Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai oleh Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan
demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah. Dalam upaya pencapaian tujuannya, Bank Indonesia
menyadari bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi perlu diselaraskan untuk mencapai hasil yang optimal dan berkesinambungan
dalam jangka panjang.

Pengendalian Inflasi

27
Kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga yang berasal dari sisi permintaan agregat (demand management) relatif terhadap
kondisi sisi penawaran. Kebijakan moneter tidak ditujukan untuk merespons kenaikan inflasi yang disebabkan oleh faktor yang bersifat kejutan dan bersifat
sementara (temporer) yang akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.

Sementara itu, inflasi juga dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari sisi penawaran ataupun yang bersifat kejutan (shocks) seperti kenaikan harga
minyak dunia dan adanya gangguan panen atau banjir. Dari bobot dalam keranjang IHK, bobot inflasi yang dipengaruhi oleh faktor penawaran dan kejutan
diwakili oleh kelompok volatile food dan administered prices yang mencakup kurang lebih 40% dari bobot IHK.

Dengan demikian, kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi relatif terbatas apabila terdapat kejutan (shocks) yang sangat besar, seperti ketika
terjadi kenaikan harga BBM di tahun 2005 dan 2008, sehingga menyebabkan adanya lonjakan inflasi.

Dengan pertimbangan bahwa laju inflasi juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat kejutan tersebut maka pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerjasama
dan koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi baik dari kebijakan fiskal, moneter maupun
sektoral. Lebih jauh, karakteristik inflasi Indonesia yang cukup rentan terhadap kejutan-kejutan (shocks) dari sisi penawaran memerlukan kebijakan-kebijakan
khusus untuk permasalahan tersebut.

Dalam tataran teknis, koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia telah diwujudkan dengan membentuk Tim Koordinasi Penetapan Sasaran,
Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan kementerian teknis terkait di
Pemerintah seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,  Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Sekretaris kabinet, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008, pembentukan TPI diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan
BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang
bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan berkelanjutan.

Penetapan Target Inflasi

Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia, berkoordinasi dengan Pemerintah. Penetapan sasaran inflasi
berdasarkan UU mengenai Bank Indonesia dilakukan oleh Pemerintah. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi
ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK No.101/PMK.010/2021 tanggal 28 Juli 2021 tentang

28
Sasaran Inflasi tahun 2022, tahun 2023, dan tahun 2024, sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk periode 2022 – 2024, masing-masing sebesar
3,0%, 3,0%, dan 2,5%, dengan deviasi masing-masing ±1%.
 
Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan, sehingga
tingkat inflasi dapat dijaga pada tingkat yang rendah dan stabil. Salah satu upaya pengendalian inflasi menuju inflasi yang rendah dan stabil adalah dengan
membentuk dan mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat agar mengacu pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Angka target atau sasaran inflasi dapat
dilihat pada situs Bank Indonesia atau situs instansi Pemerintah lainnya seperti Kementerian Keuangan, Kantor Kementerian Koordinator bidang
Perekonomian, atau Bappenas. Sebelum UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sementara setelah
UU tersebut, dalam rangka meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia maka sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah.

 Apa Itu Indikator Moneter?

Apa Itu Indikator Moneter?

Indikator moneter menyediakan data/statistik moneter bulanan yang digunakan untuk mengetahui perkembangan besaran moneter secara ringkas dan cepat.
Indikator moneter terdiri dari uang primer, posisi luar negeri bersih bank sentral, aktiva dalam negeri bersih bank sentral, serta cadangan devisa. Kebutuhan
atas data/statistik serta uraian/penjelasan moneter lain tersedia pada Publikasi dan Statistik yang disajikan pada menu Publikasi dan menu Statistik. 

Apa Itu BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)

Bank Indonesia melakukan penguatan kerangka operasi moneter dengan mengimplementasikan suku bunga acuan atau suku bunga kebijakan baru yaitu BI-
7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) yang berlaku efektif sejak 19 Agustus 2016, menggantikan BI Rate. Penguatan kerangka operasi moneter ini merupakan
hal yang lazim dilakukan di berbagai bank sentral dan merupakan best practice internasional dalam pelaksanaan operasi moneter. Kerangka operasi moneter
senantiasa disempurnakan untuk memperkuat efektivitas kebijakan dalam mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan. Instrumen BI 7-Day (Reverse) Repo
Rate digunakan sebagai suku bunga kebijakan baru karena dapat secara cepat memengaruhi pasar uang, perbankan dan sektor riil. Instrumen BI 7-Day
(Reverse) Repo Rate sebagai acuan yang baru memiliki hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang, sifatnya transaksional atau diperdagangkan di
pasar, dan mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya penggunaan instrumen repo.

Dengan penggunaan instrumen BI 7-Day (Reverse) Repo Rate sebagai suku bunga kebijakan baru, terdapat tiga dampak utama yang diharapkan, yakni: 

1. Menguatnya sinyal kebijakan moneter dengan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)  sebagai acuan utama di pasar keuangan.
2. Meningkatnya efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui pengaruhnya pada pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan. 
3. Terbentuknya pasar keuangan yang lebih dalam, khususnya transaksi dan pembentukan struktur suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) untuk
tenor 3-12 bulan.

29
Apa itu Operasi Moneter?

Operasi Moneter (OM) bertujuan untuk mendukung pencapaian stabilitas moneter yang dilaksanakan di pasar uang dan pasar valas secara terintegrasi. OM
dapat dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Upaya mencapai stabilitas moneter melalui OM dilakukan dengan mengendalikan suku
bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) Overnight agar bergerak di sekitar suku bunga kebijakan Bank Indonesia yaitu BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7-
DRR) dan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah agar bergerak stabil sejalan dengan nilai tukar fundamental. Untuk mengendalikan suku bunga
PUAB Overnight sebagai sasaran operasional kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan pengelolaan likuiditas di pasar uang Rupiah dengan cara
absorpsi likuiditas dan/atau injeksi likuiditas. Untuk menjaga nilai tukar agar sejalan dengan nilai tukar fundamental, OM dilakukan melalui pelaksanaan
intervensi dan/atau transaksi valas lainnya di pasar valuta asing. OM terdiri dari Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facilities (SF).

 
Proyeksi Likuiditas Harian
Dalam Miliar Rp.

Hari Sebelumnya Hari ini (13-Sep-22)

12-Sept-22 08.30 WIB 14.00 WIB

A.Total Likuiditas Tersedia (Net) 86,159 92,954

diantaranya :

 - Instrumen OPT Jatuh Waktu - Konvensional 103,798 90,879

 - Instrumen OPT Jatuh Waktu - Syariah 6,981 4,062

B. Excess Reserve (akhir hari)

 - Perbankan Konvensional 17,534 14,469

 - Perbankan Syariah 2,591 2,525

 Sumber: Departemen Pengelolaan Moneter - Grup Operasi Moneter - Divisi Proyeksi Likuiditas
 
Telepon:

30
Departemen Pengelolaan Moneter: 021 - 29810000 ext 5849
Grup Operasi Moneter: 021 - 29810000 ext 1831/2180
Divisi Proyeksi Likuiditas: 021 - 29814797 / 29815807
 
Email: DPM_DPL@bi.go.id

Operasi Harian Terbuka

Operasi Pasar Terbuka (OPT) adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau
pihak lain untuk OM secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Pelaksanaan OPT Rupiah dibagi menjadi dua yaitu OPT absorbsi dan OPT injeksi
dengan mempertimbangkan kondisi likuiditas di sistem perbankan baik konvensional maupun syariah. OPT absorbsi dilakukan untuk menyerap kelebihan
likuiditas sementara OPT injeksi dilakukan untuk menambah ketersediaan likuiditas guna menjaga keseimbangan kondisi likuiditas untuk mendukung
pencapaian sasaran OM. OPT dapat dilaksanakan secara reguler dan non reguler. OPT reguler adalah OPT yang dilakukan secara terjadwal melalui lelang.
Sementara itu, OPT non-reguler adalah OPT yang dapat dilaksanakan sewaktu-waktu (fine-tune operation) untuk memperkuat pencapaian sasaran OM yang
dilakukan melalui pelaksanaan OPT reguler. BI mengumumkan rencana dan hasil lelang OPT reguler maupun OPT non-reguler melalui website BI dan/atau
sarana lain yang ditetapkan.
 
OPT Rupiah dilakukan melalui instrumen sebagai berikut:

31
32
OPT valas dilakukan melalui instrumen intervensi valas (transaksi spot, transaksi forward dan transaksi DNDF) serta instrumen pengelolaan likuditas yang
bertujuan mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah (FX Swap, TD Valas, SBBI Valas, dan TD Valas Syariah).
OPT valas dilakukan melalui instrumen sebagai berikut:

Standing Facilities

Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana Rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana Rupiah oleh Bank di Bank Indonesia
untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Standing Facility tersedia di setiap akhir hari untuk bank
konvensional dan bank syariah yang terdiri dari:

 Deposit Facility (DF) yang merupakan penempatan dana Rupiah oleh peserta Standing Facilities di Bank Indonesia untuk operasi moneter yang
dilakukan secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. DF yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah dilaksanakan dalam bentuk Fasilitas
Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS).

33
 Lending Facility (LF) atau FinancingFacility (FF), dimana LF adalah penyediaan dana Rupiah dari Bank Indonesia kepada peserta Standing
Facility konvensional untuk operasi moneter yang dilakukan secara konvensional, dan FF adalah penyediaan dana Rupiah dari Bank Indonesia kepada
peserta Standing Facility syariah untuk operasi moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah.

Standing Facility dilakukan melalui instrumen sebagai berikut:

Keterangan:

 VRT: Variable Rate Tender


 FRT: Fixed Rate Tender
 SBI: Sertifikat Bank Indonesia
 SBIS: Sertifikat Bank Indonesia Syariah
 SDBI: Sertifikat Deposito Bank Indonesia
 TD: Term Deposit
 SukBI: Sukuk Bank Indonesia
 FX: Foreign Exchange
 PaSBI: Pengelolaan Likuiditas Berdasarkan Prinsip Syariah Bank Indonesia
 FLiSBI: Fasilitas Likuiditas Berdasarkan Prinsip Syariah Bank Indonesia
 SBBI: Surat Berharga Bank Indonesia

34
 DNDF: Domestic Non-Deliverable Forward

 
Tautan Terkait:

 PBI No. 22/14/PBI/2020 tentang Operasi Moneter


 PADG No. 22/22/PADG/2020 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka
 PADG No. 22/23/PADG/2020 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka
 PADG No. 22/24/PADG/2020 tentang Standing Facilities
 PADG No. 22/25/PADG/2020 tentang Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga dalam Operasi Moneter
 PADG No. 22/26/PADG/2020 tentang Kepesertaan Operasi Moneter

Suku Bunga RRT Hasil Transaksi OM

*) Tanggal publikasi : 12 September 2022

35
*) Tanggal publikasi : 12 September 2022

Apa Itu IndONIA

IndONIA (Indonesia Overnight Index Average)

IndONIA dimaksudkan berperan sebagai benchmark rate pasar uang, yakni cerminan suku bunga yang terjadi di pasar uang, yang dihitung secara periodik,
tersedia dan dapat digunakan oleh para pelaku pasar sebagai referensi seperti penetapan suku bunga pinjaman, penetapan harga instrumen keuangan, dan
pengukuran kinerja instrumen keuangan. IndONIA adalah indeks suku bunga atas transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan
antarbank untuk jangka waktu overnight di Indonesia.

36
IndONIA ditetapkan berdasarkan rata-rata suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan dengan jangka waktu overnight yang dilaporkan
oleh seluruh bank kepada Bank Indonesia. Dengan demikian, IndONIA merupakan suku bunga transaksi yang terbentuk dari transaksi pasar. Penetapan
IndONIA dilakukan dengan menghitung rata-rata tertimbang berdasarkan nilai nominal transaksi (volume-weighted average) atas seluruh data transaksi yang
dilakukan pada hari transaksi, yang dilaporkan oleh bank kepada Bank Indonesia melalui sistem laporan harian bank umum sejak pukul 07.00 WIB s/d 18.00
WIB (dan koreksi online hingga pukul 19.00 WIB).
IndONIA mulai dipublikasikan oleh Bank Indonesia sejak tanggal 1 Agustus 2018 pada setiap hari kerja pukul 19.30 WIB di website Bank Indonesia.
Dengan mulai dipublikasikannya IndONIA per tanggal 1 Agustus 2018 yang terbentuk dari transaksi pasar, IndONIA diharapkan dapat menggantikan peran
JIBOR tenor overnight sebagai benchmark rate pasar uang. Per tanggal 2 Januari 2019, Bank Indonesia tidak lagi memublikasikan JIBOR tenor overnight dan
diharapkan pada saat itu kontrak-kontrak keuangan yang sebelumnya menggunakan JIBOR overnight sebagai referensi dapat beralih ke IndONIA sebagai
referensi terkini untuk tenor overnight.
Penjelasan singkat mengenai IndONIA adalah sebagai berikut:
N
o Subjek Keterangan
1 Waktu
19.30 WIB
Publikasi
2 Tenor Overnight
3 Metode
Rata-rata tertimbang berdasarkan nilai nominal transaksi (volume-weighted average)
Perhitungan
PBI 20/7/PBI/2018
Pasal 4:
(1)  Bank Indonesia melakukan publikasi IndONIA
(2)  Apabila dalam ketentuan Bank Indonesia terdapat rujukan penggunaan IndONIA untuk tanggal tertentu, namun pada
tanggal tersebut Bank Indonesia tidak memublikasikan IndONIA maka rujukan penggunaan IndONIA menggunakan tanggal
Ketentuan
4 publikasi sebelumnya.
Fallback
PADG 20/19/PADG/2018
Pasal 2.(1): Bank Indonesia menetapkan IndONIA pada setiap Hari Kerja
Pasal 4(2):  Dalam hal terjadi perpanjangan batas waktu pelaporan, IndONIA dipublikasikan pada situs web Bank Indonesia
30 (tiga puluh) menit setelah batas waktu pelaporan dimaksud berakhir
Ketentuan mengenai IndONIA diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.20/7/PBI/2018 tanggal 24 Juli 2018 dan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur (PADG) No. 20/19/PADG/2018 tanggal  27 Agustus 2018 tentang Indonesia Overnight Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate. 

Apa Itu JIBOR

37
JIBOR (Jakarta Interbank Offered Rate)
JIBOR berperan sebagai benchmark ratepasar uang. Dihitung secara periodik, JIBOR tersedia dan dapat digunakan oleh para pelaku pasar sebagai referensi
seperti penetapan suku bunga pinjaman, penetapan harga instrumen keuangan, dan pengukuran kinerja instrumen keuangan. JIBOR adalah rata-rata dari suku
bunga indikasi pinjaman tanpa agunan yang ditawarkan oleh bank kontributor kepada bank kontributor lain untuk meminjamkan rupiah di Indonesia, untuk
tenor di atas overnight. 

JIBOR ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan kuotasi suku bunga indikasi pinjaman yang ditawarkan oleh Bank Kontributor (offer rate). Disampaikan
oleh Bank Kontributor kepada Bank Indonesia dengan window timepenyampaian sejak pukul 07.00 WIB s/d 09.30 WIB (dan koreksi online hingga pukul
09.45 WIB). Penetapan JIBOR dilakukan dengan menghitung rata-rata sederhana (simple average) dari kuotasi yang disampaikan oleh Bank Kontributor,
setelah mengeluarkan 15% data offer rate tertinggi dan 15% data offer rateterendah. 

JIBOR dipublikasikan oleh Bank Indonesia pada setiap hari kerja pukul 10.00 WIB di website Bank Indonesia. JIBOR terdiri dari tenor overnight, 1 minggu,
1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan. 

Untuk meningkatkan kredibilitas JIBOR sebagai referensi suku bunga, Bank Indonesia melakukan sejumlah penyempurnaan. Per tanggal 2 Januari 2019,
pembentukan JIBOR diatur dengan mengacu pada data transaksi dan diterapkan dengan tata kelola yang baik, dengan harapan dapat mencerminkan suku
bunga yang terjadi di pasar. Hal ini sejalan denganglobal best practices, terkait referensi suku bunga keuangan yang dituangkan dalam prinsip International
Organization of Securities Commissions (IOSCO) untuk referensi suku bunga keuangan (IOSCO principles for financial benchmarks). 

Peningkatan kredibilitas benchmark rate pasar uang diharapkan mampu mengurangi kompleksitas kontrak keuangan dengan mendorong standardisasi dalam
penggunaan suku bunga acuan pada surat utang dan/atau pinjaman dengan suku bunga mengambang, derivatif suku bunga rupiah, dan untuk valuasi
instrumen keuangan. 

Per tanggal 2 Januari 2019, JIBOR overnight tidak lagi dipublikasikan oleh Bank Indonesia. Dengan demikian, JIBOR akan terdiri dari 5 tenor yaitu 1
minggu, 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan yang dipublikasikan di website Bank Indonesia pada pukul 11.00 WIB. 

Penjelasan singkat mengenai JIBOR adalah sebagai berikut:


N
o Subjek Keterangan

1 10.00 WIB
Waktu Publikasi Per tanggal 2 Januari 2019:
11.00 WIB

Tenor Overnight, 1 minggu, 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan

38
N
o Subjek Keterangan

2 Per tanggal 2 Januari 2019:


1 minggu, 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan

3 Rata-rata sederhana (simple average), setelah mengeluarkan 15% data Offer Rate tertinggi dan 15% dataOffer
Metode Perhitungan
Rateterendah.

Ketentuan mengenai JIBOR diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.20/7/PBI/2018 tanggal 24 Juli 2018 tentang Indonesia Overnight Index
Average dan Jakarta Interbank Offered Rate.

Kontributor JIBOR

Bank kontributor yang akan menyampaikan kuotasi suku bunga penawaran offer rate dan bid rate dalam rangka pembentukan JIBOR mulai 1 Maret
2021 adalah sebagai berikut:
No Bank Kontributor JIBOR

1 BPD DKI JAKARTA

2 CITIBANK

3 MUFG BANK, LTD

4 PT BANK BTPN, Tbk

5 PT BANK CENTRAL ASIA Tbk

6 PT BANK CTBC INDONESIA

7 PT BANK DANAMON INDONESIA Tbk

8 PT BANK DBS INDONESIA

9 PT BANK HSBC INDONESIA

10 PT BANK JABAR BANTEN Tbk

39
No Bank Kontributor JIBOR

11 PT BANK KEB HANA INDONESIA

12 PT BANK MANDIRI (PERSERO) Tbk

13 PT BANK MIZUHO INDONESIA

14 PT BANK NEGARA INDONESIA 1946 (PERSERO) Tbk

15 PT BANK OCBC NISP Tbk

16 PT BANK PERMATA Tbk

17 PT BANK RAKYAT INDONESIA Tbk

18 PT BANK RESONA PERDANIA

19 PT BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO)

20 PT BANK UOB INDONESIA

21 PT PAN INDONESIA BANK LTD. Tbk

22 STANDARD CHARTERED BANK

Data Harian

Tanggal : 12 September 2022

Fixing 19.30 WIB

IndONIA(%)

3.31614

40
IndONIA(%)

Fixing pukul 11.00 WIB

JIBOR

1 Minggu (%) 1 Bulan (%) 3 Bulan (%) 6 Bulan (%) 12 Bulan (%)

Avg 3.88938 4.15063 4.23844 4.32375 4.48688

Max 3.90000 4.20000 4.30000 4.35000 4.50000

Min 3.85000 4.10000 4.20000 4.30000 4.45000

Kuotasi Individu Offer Rate

No Nama Bank 1 Minggu (%) 1 Bulan (%) 3 Bulan (%) 6 Bulan (%) 12 Bulan (%)

1 B.P.D. DKI JAKARTA 3.88000 4.14000 4.23000 4.31000 4.48000

2 B.P.D. JAWA BARAT BANTEN 3.85000 4.10000 4.20000 4.30000 4.45000

3 BANK BTPN, Tbk 3.90000 4.15000 4.23000 4.30000 4.45000

4 BANK CENTRAL ASIA Tbk 3.90000 4.20000 4.25000 4.35000 4.50000

5 BANK CTBC INDONESIA 3.90000 4.20000 4.35000 4.50000 4.65000

6 BANK DANAMON INDONESIA 3.90000 4.15000 4.25000 4.35000 4.50000

7 BANK DBS INDONESIA 3.90000 4.20000 4.30000 4.35000 4.50000

8 BANK HSBC INDONESIA 3.90000 4.15000 4.25000 4.30000 4.50000

9 BANK KEB HANA INDONESIA 3.90000 4.15000 4.25000 4.35000 4.50000

41
No Nama Bank 1 Minggu (%) 1 Bulan (%) 3 Bulan (%) 6 Bulan (%) 12 Bulan (%)

10 BANK MANDIRI 3.85000 4.10000 4.20000 4.30000 4.45000

11 BANK MIZUHO INDONESIA 3.85000 4.10000 4.25000 4.30000 4.45000

12 BANK NEGARA INDONESIA 1946 3.85000 4.10000 4.20000 4.30000 4.50000

13 BANK OCBC NISP Tbk 3.90000 4.15000 4.25000 4.35000 4.50000

14 BANK PANIN INDONESIA 3.88000 4.10000 4.20000 4.30000 4.50000

15 BANK PERMATA Tbk 3.90000 4.15000 4.20000 4.30000 4.45000

16 BANK RAKYAT INDONESIA 3.85000 4.10000 4.20000 4.30000 4.45000

17 BANK RESONA PERDANIA 3.90000 4.15000 4.25000 4.35000 4.50000

18 BANK TABUNGAN NEGARA 3.87000 4.12000 4.21000 4.30000 4.46000

19 BANK UOB INDONESIA 3.90000 4.20000 4.30000 4.35000 4.50000

20 CITIBANK 3.90000 4.31000 4.22000 4.32000 4.50000

21 MUFG BANK, LTD 3.90000 4.20000 4.30000 4.35000 4.50000

22 STANDARD CHARTERED BANK 3.90000 4.20000 4.27500 4.35000 4.50000

Kuotasi Individu Bid Rate

No Nama Bank 1 Minggu (%) 1 Bulan (%) 3 Bulan (%) 6 Bulan (%) 12 Bulan (%)

1 B.P.D. DKI JAKARTA 3.78000 3.94000 4.03000 4.11000 4.28000

2 B.P.D. JAWA BARAT BANTEN 3.75000 3.90000 4.00000 4.10000 4.25000

3 BANK BTPN, Tbk 3.80000 3.95000 4.03000 4.10000 4.25000

42
No Nama Bank 1 Minggu (%) 1 Bulan (%) 3 Bulan (%) 6 Bulan (%) 12 Bulan (%)

4 BANK CENTRAL ASIA Tbk 3.80000 4.00000 4.05000 4.15000 4.30000

5 BANK CTBC INDONESIA 3.80000 4.00000 4.15000 4.30000 4.45000

6 BANK DANAMON INDONESIA 3.80000 3.95000 4.05000 4.15000 4.30000

7 BANK DBS INDONESIA 3.80000 4.00000 4.10000 4.15000 4.30000

8 BANK HSBC INDONESIA 3.80000 3.95000 4.05000 4.10000 4.30000

9 BANK KEB HANA INDONESIA 3.80000 3.95000 4.05000 4.15000 4.30000

10 BANK MANDIRI 3.75000 3.90000 4.00000 4.10000 4.25000

11 BANK MIZUHO INDONESIA 3.75000 4.00000 4.05000 4.10000 4.25000

12 BANK NEGARA INDONESIA 1946 3.75000 3.90000 4.00000 4.10000 4.30000

13 BANK OCBC NISP Tbk 3.80000 3.95000 4.05000 4.15000 4.30000

14 BANK PANIN INDONESIA 3.78000 3.90000 4.00000 4.10000 4.30000

15 BANK PERMATA Tbk 3.80000 3.95000 4.00000 4.10000 4.25000

16 BANK RAKYAT INDONESIA 3.75000 3.90000 4.00000 4.10000 4.25000

17 BANK RESONA PERDANIA 3.80000 3.95000 4.05000 4.15000 4.30000

18 BANK TABUNGAN NEGARA 3.77000 3.92000 4.01000 4.10000 4.26000

19 BANK UOB INDONESIA 3.80000 4.00000 4.10000 4.15000 4.30000

20 CITIBANK 3.80000 4.11000 4.02000 4.12000 4.30000

21 MUFG BANK, LTD 3.80000 4.00000 4.10000 4.15000 4.30000

43
No Nama Bank 1 Minggu (%) 1 Bulan (%) 3 Bulan (%) 6 Bulan (%) 12 Bulan (%)

22 STANDARD CHARTERED BANK 3.80000 4.00000 4.07500 4.15000 4.30000

Apa Itu JISDOR

JISDOR merupakan harga spot USD/IDR, yang disusun berdasarkan kurs transaksi USD/IDR terhadap rupiah antar bank di pasar valuta asing Indonesia,
melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah (SISMONTAVAR) di Bank Indonesia secara real time. JISDOR dimaksudkan untuk
memberikan referensi harga pasar yang representatif untuk transaksi spot USD/IDR pasar valuta asing Indonesia. JISDOR mulai diterbitkan sejak 20 Mei
2013.

 Data JISDOR tersedia untuk setiap hari kerja, dalam hal ini tidak termasuk Sabtu, Minggu, hari libur nasional, atau hari lain yang ditetapkan sebagai
hari libur yang berakibat bank tidak melakukan kegiatan operasi.
 Dalam hal tidak terdapat data transaksi spot antar bank selama rentang waktu yang ditetapkan yang disebabkan oleh ketidaktersediaan data maupun
kerusakan sistem, maka JISDOR akan menampilkan kurs hari kerja sebelumnya.
 Penguatan JISDOR dilakukan sejak Senin, 5 April 2021 sebagaimana disampaikan dalam “Keputusan dan Siaran Pers RDG Bulanan 21 Januari 2021".
 Pertanyaan dan Jawaban (FAQ) seputar implementasi penguatan JISDOR dapat dilihat dalam halaman Tanya Jawab JISDOR.

Spesifikasi data JISDOR :


Spesifikasi Keterangan

Currency Pair USD/IDR

Jenis Data Data transaksi spot aktual antar bank USD/IDR

Seluruh bank devisa yang melakukan transaksi spot USD/IDR


Kontributor 
antar bank USD/IDR dalam rentang waktu yang ditentukan

Media Pelaporan Data SISMONTAVAR

Penerbit 
Bank Indonesia

44
Spesifikasi Keterangan

Rentang Waktu Pengambilan Data 08.00 – 16.00 WIB

Cut off Time 16.00 WIB

Waktu Pengumuman 16.15 WIB

Rata-rata tertimbang (Weighted  Average) berdasar volume


Metode Perhitungan
transaksi

Media Pengumuman Website BI

 Dalam hal terdapat perubahan jam operasional pasar valas domestik, maka rentang waktu pengambilan data dan publikasi JISDOR akan disesuaikan
mengikuti jam operasional pasar valas domestik yang berlaku.
 Sehubungan dengan penyesuaian waktu operasional pasar valuta asing domestik pada masa Pandemi COVID-19, maka rentang waktu pengambilan
data JISDOR: 09.00 – 15.00 WIB, dan JISDOR terbit pada 15.15 WIB.

Apa Itu Kurs Transaksi BI

 Kurs Transaksi BI disajikan dalam bentuk kurs jual dan kurs beli valas terhadap rupiah, digunakan sebagai acuan transaksi BI dengan pihak ketiga,
seperti pemerintah.
 Titik tengah Kurs Transaksi BI USD/IDR mengacu pada kurs referensi (JISDOR) hari kerja sebelumnya (H-1).
 Kurs Transaksi BI diumumkan sekali setiap hari kerja pada pukul 08.00 WIB.
 Penyesuaian publikasi Kurs Transaksi BI terkait dengan implementasi penguatan JISDOR yang dipublikasikan secara efektif mulai Senin, 5 April
2021.

Apa Itu Pasar Uang

Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang berhubungan dengan kegiatan perdagangan, pinjam-meminjam, atau pendanaan berjangka pendek
sampai dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistem
keuangan, dan kelancaran sistem pembayaran.
Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter melalui Pasar Uang baik rupiah maupun
valuta asing. Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang dilakukan oleh
Bank Indonesia, diperlukan pendalaman pasar keuangan guna mencapai pasar uang domestik yang efisien, likuid, dan dalam.
45
Pasar uang yang efisien, likuid, dan dalam tidak hanya akan mendukung efektivitas kebijakan moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah, tapi juga dapat memberikan fleksibilitas bagi Pelaku Pasar dalam rangka pengelolaan dana, baik untuk kegiatan pendanaan, investasi, maupun
kegiatan ekonomi lainnya. Oleh karena itu, Bank Indonesia perlu mempercepat proses pendalaman Pasar Uang melalui pengaturan, perizinan, pengembangan,
dan pengawasan yang komprehensif terhadap berbagai transaksi dan instrumen di Pasar Uang.
Pengaturan Pasar Uang juga dilakukan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan mengenai perbendaharaan negara terkait penggunaan
instrumen Surat Utang Negara sebagai instrumen moneter melalui operasi moneter yang dilakukan antara lain dengan transaksi repurchase agreement (repo).
Pengaturan Pasar Uang dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum sehingga dapat menjadi pedoman dan memberikan kepastian hukum bagi Pelaku
Pasar dalam bertransaksi di Pasar Uang.

Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar

Pengembangan pasar keuangan perlu diimbangi dengan pembentukan pasar keuangan yang kredibel melalui upaya peningkatan kompetensi dan integritas
Pelaku Pasar. Peningkatan kompetensi dan integritas tersebut dapat diwujudkan dengan mewajibkan Pelaku Pasar untuk memastikan Direksi dan Pegawainya
memiliki Sertifikat Tresuri yang sesuai dengan bentuk Pelaku Pasar dan jenjang jabatan, serta memastikan penerapan Kode Etik Pasar dan menjadi anggota
asosiasi profesi tresuri.
Upaya peningkatan kompetensi dan integritas Pelaku Pasar tersebut juga perlu didukung dengan adanya Lembaga Sertifikasi Profesi yang terpercaya.
Lembaga Sertifikasi Profesi yang terpercaya harus dikelola dengan baik dan sesuai standar profesi yang berlaku di Indonesia, dikelola oleh sumber daya
manusia berkualitas, berpengalaman dan kredibel, serta memiliki perangkat organisasi yang memadai.
Pengaturan melalui PBI No.19/5/PBI/2017 tentang Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar dan PADG No. 19/5/PADG/2017 tentang Pelaksanaan
Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar, dimaksudkan untuk memberikan kejelasan atas mekanisme penerapan kode etik pasar, keanggotaan pada
asosiasi profesi tresuri, pelaksanaan sertifikasi tresuri sesuai bentuk Pelaku Pasar dan jenjang jabatannya, kriteria Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui
oleh Bank Indonesia, serta kewajiban pelaporan oleh Pelaku Pasar dan Lembaga Sertifikasi Profesi.
Adapun ringkasan pengaturan sebagai berikut:

1. Kode etik pasar yang menjadi pedoman Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar mengacu pada kode etik yang diterbitkan oleh asosiasi/komite di industri
jasa keuangan, baik konvensional maupun syariah. Kode etik tersebut harus dipahami dan diterapkan Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar dengan
kewajiban Pelaku Pasar memiliki prosedur internal yang memuat kode etik pasar.
2. Keharusan Pelaku Pasar memastikan Direksi dan Pegawainya menjadi anggota asosiasi profesi sesuai prinsip usahanya, konvensional, atau syariah.
3. Pengaturan mengenai masa berlaku, perpanjangan, kesesuaian tingkatan dengan jenjang jabatan, dan pemeliharaan dari Sertifikat Tresuri.
4. Pengaturan dan persyaratan perangkat organisasi, Skema Sertifikasi yang harus dimiliki, dan penatausahan Sertifikat Tresuri oleh Lembaga Sertifikasi
Profesi yang diakui Bank Indonesia.
5. Penyampaian pelaporan oleh Pelaku Pasar dan Lembaga Sertifikasi Profesi ke Bank Indonesia.
6. Tata cara pengenaan sanksi bagi Pelaku Pasar dan Lembaga Sertifikasi Profesi.

Kode Etik Pasar

46
Kode Etik Pasar adalah norma moral profesional tentang perbuatan yang harus dilakukan dan yang harus dihindari dan menjadi pedoman berperilaku di Pasar
Uang dan Pasar Valuta Asing beserta derivatifnya.
Dalam rangka memperkuat kredibilitas pasar keuangan melalui peningkatan kompetensi dan integritas pelaku pasar, Bank Indonesia telah menerbitkan
Peraturan Bank Indonesia No.19/5/PBI/2017 tentang Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur
No.19/5/PADG/2017 tentang Pelaksanaan Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur No.21/21/PADG/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.19/5/PADG/2017 tentang Pelaksanaan Sertifikasi Tresuri
dan Penerapan Kode Etik Pasar. Salah satu maksud diterbitkannya pengaturan ini adalah untuk menerapkan kode etik kepada pelaku pasar di Indonesia.
Kode Etik Pasar adalah norma moral profesional tentang perbuatan yang harus dilakukan dan yang harus dihindari yang menjadi pedoman berperilaku di
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing beserta derivatifnya. Sebagai acuan pelaku pasar dalam menerapkan etika tersebut telah diterbitkan Market Code of
Conduct: Guideline to Market Practices in the Financial Market. Market Code of Conduct yang menjadi rujukan pelaku pasar berdasarkan prinsip
konvensional adalah “Market Code of Conduct” Edisi Ketiga yang diterbitkan oleh Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC). Market Code
of Conduct yang menjadi rujukan pelaku pasar berdasarkan prinsip syariah adalah “Islamic Financial Market Code of Conduct” yang diterbitkan oleh
Indonesia Islamic Global Market Association (IIGMA).
SURAT PERNYATAAN KOMITMEN TERHADAP KODE ETIK PASAR
Sebagaimana ketentuan tersebut di atas, “Surat Pernyataan Komitmen Terhadap Kode Etik Pasar” merupakan bentuk komitmen dari Pelaku Pasar dalam
menerapkan Kode Etik Pasar. Pelaku Pasar dapat menyampaikan surat pernyataan komitmen berdasarkan hasil self-assesment di internal Pelaku Pasar kepada
Bank Indonesia untuk dipublikasikan kepada publik. Surat pernyataan tersebut merupakan wujud komitmen lembaga dalam mengimplementasikan Market
Code of Conduct dalam aktivitas tresuri secara konsisten.
Dengan mengadopsi Market Code of Conduct, pelaku pasar memperoleh manfaat antara lain:

 Meningkatkan implementasi kode etik dalam aktivitas tresuri sesuai dengan international best market practice.
 Menginformasikan kepada stakeholder dan investor dalam maupun luar negeri, bahwa lembaga telah memiliki komitmen dalam melaksanakan kode
etik pasar, sehingga stakeholder akan memperoleh manfaat positif dari komitmen tersebut.
 Memberikan keunggulan kompetitif untuk Pelaku Pasar terkait dengan efektivitas dan perilaku dalam bertransaksi.
 Mendukung implementasi kebijakan pengembangan pasar keuangan Indonesia melalui upaya menciptakan pasar keuangan yang transparan, efektif,
dan resilien.

Pengantar

Stabilitas Sistem Keuangan dan Peran Bank Indonesia

47
Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap
kerentanan internal dan eksternal, sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian
nasional. 

Stabilitas Keuangan memegang peran yang sangat penting untuk menjaga stabilitas perekonomian.  Krisis global 2008/2009 mengajarkan kepada kita semua
bahwa dengan semakin menguatnya keterkaitan makrofinansial (macrofinancial-linkages) maka sistem keuangan yang tidak berfungsi dengan baik akan
menurunkan efektivitas kebijakan moneter, mengganggu kelancaran kegiatan perekonomian, dan dapat berakibat pada perlambatan pertumbuhan hingga
kontraksi ekonomi. Oleh karena itu, terwujudnya stabilitas sistem keuangan merupakan tanggung jawab bersama di antara otoritas sektor keuangan, termasuk
Bank Indonesia.

Di sisi lain, Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan terkait dengan fungsi sebagai Lender of Last
Resort (LoLR), yaitu otoritas yang berwenang menyediakan likuiditas pada saat krisis.
 
Dalam pelaksanaan mandat dan wewenang untuk menjaga SSK, Bank Indonesia memiliki beberapa payung hukum sebagai berikut:

1. Undang-Undang No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan


2. Undang-Undang No.9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
3. Peraturan Bank Indonesia No.16/11/PBI/2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial
4. Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam
Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, Bank Indonesia memiliki mandat untuk melakukan pengaturan makroprudensial terhadap bank serta pengawasan
makroprudensial melalui surveilans sistem keuangan dan pengawasan terhadap bank dan lembaga lain yang memiliki keterkaitan dengan bank bila
diperlukan. 

Dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi dan sistem keuangan Indonesia dari dampak Pandemi COVID-19 melalui sinergi dan bauran kebijakan yang tepat
dan terukur, Pemerintah telah menempuh kebijakan luar biasa (extraordinary measure) dengan memberikan penguatan kewenangan kepada anggota Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yaitu Bank Indonesia, Kementerian Keuangan,  Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Langkah kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun

48
2020. Dalam kondisi pandemi COVID-19, UU ini hadir melengkapi UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
(UU PPKSK) sebagai landasan hukum dalam melakukan manajemen krisis.

Bagi Bank Indonesia, penguatan kewenangan yang diamanatkan meliputi: (i) penanganan permasalahan bank melalui pemberian Pinjaman Likuiditas Jangka
Pendek/Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah (PLJP/PLJPS) untuk bank sistemik dan bank selain bank sistemik; (ii) pemberian Pinjaman Likuiditas
Khusus (PLK) kepada bank sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan PLJP/PLJPS yang dijamin oleh Pemerintah dan
diberikan berdasarkan Keputusan KSSK; (iii) pembelian Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang di
pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk untuk tujuan tertentu khususnya
dalam rangka pandemi COVID-19; (iv) pembelian/repo SBN milik LPS untuk biaya penanganan permasalahan solvabilitas bank sistemik dan bank selain
bank sistemik; (v) mengatur kewajiban penerimaan dan penggunaan devisa bagi penduduk termasuk ketentuan mengenai penyerahan, repatriasi, dan konversi
devisa untuk menjaga kestabilan makroekonomi dan system keuangan; dan (vi) pemberian akses pendanaan kepada korporasi/swasta dengan cara repo
SUN/SBSN yang dimiliki korporasi/swasta melalui perbankan. UU ini menjadi landasan hukum bagi Bank Indonesia untuk memperkuat langkah dan
kebijakan menjaga untuk stabilitas ekonomi dan sistem keuangan dari dampak pandemi COVID-19, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari program
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)

Kebijakan Makroprudensial

Kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang bertujuan memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan risiko
sistemik. Risiko sistemik adalah potensi instabilitas akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena
interaksi dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), keterkaitan antarinstitusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness), serta
kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality). Merespons perkembangan
tren perilaku finansial serta perhatian para pelaku di sektor keuangan maka Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan makroprudensial dengan inovasi di
aspek digital, inklusi keuangan, dan kebijakan berwawasan lingkungan (green central banking / green financing).

Urgensi kebijakan makroprudensial semakin mengemuka pasca Krisis Keuangan Global 2008 ketika G20 merekomendasikan perlunya kebijakan
makroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan makroekonomi. Sejalan dengan hal itu, Bank Indonesia terus mengembangkan instrumen-
instrumen kebijakan makroprudensial dan secara aktif menggunakan instrumen-instrumen tersebut sebagai bagian bauran kebijakan Bank Indonesia, bersama
dengan kebijakan moneter dan sistem pembayaran. Kebijakan makroprudensial dirumuskan dan diimplementasikan dengan fokus pada upaya mendorong
intermediasi, menjaga ketahanan sistem keuangan, serta mendorong inklusi ekonomi dan keuangan.
Dalam rangka proses pengambilan keputusan kebijakan makroprudensial yang kredibel maka diperlukan surveilans terhadap elemen-elemen sistem
keuangan, yang mencakup sistem perbankan, industri keuangan non-bank, korporasi non-keuangan, rumah tangga, pasar keuangan dan infrastruktur pasar
keuangan.

Pengawasan Makroprudensial
49
Bank Indonesia melakukan pengawasan makroprudensial melalui surveilans sistem keuangan dan pemeriksaan terhadap bank dan terhadap lembaga lainnya
yang memiliki keterkaitan dengan bank jika diperlukan. Surveilans dilakukan mulai dari pemantauan perkembangan kondisi sistem keuangan hingga
identifikasi, analisis, dan penilaian risiko. Dalam rangka pelaksanaan surveilans ini, Bank wajib menyediakan dan menyampaikan data dan informasi yang
diperlukan, serta bertanggung jawab atas kebenaran data dan informasi yang disampaikan.
Sejak 2020, Bank Indonesia menempuh pendekatan pengawasan dengan menggunakan Dynamic Systemic Risk Surveillance (DSRS). DSRS merupakan
kerangka surveilans risiko sistemik dari dimensi keterkaitan mikrofinansial (microfinancial linkages) yang bersifat forward looking dan terintegrasi dengan
mempertimbangkan seluruh informasi pengawasan yang dimiliki  dan dapat diakses Bank Indonesia. DSRS dilakukan melalui asesmen terhadap
risiko idiosyncratic individual bank beserta dampak rambatan (contagion effect) yang ditimbulkan, untuk kemudian menilai eskalasi risiko sistemik yang
terjadi pada sistem keuangan.

Countercyclical Capital Buffer (CCyB)

Countercyclical Capital Buffer (CCyB) adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi
pertumbuhan kredit dan/atau pembiayaan perbankan yang berlebihan (excessive credit growth) sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. 

Risiko ini terkait dengan perilaku prosiklikalitas penyaluran kredit perbankan, yakni cenderung meningkat saat periode ekonomi ekspansi (boom) dan
melambat pada periode ekonomi kontraksi (bust). CCyB perlu diimplementasikan di Indonesia karena adanya perilaku prosiklikalitas, yang ditunjukkan oleh
antara pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi yang berbanding lurus.
Tambahan modal yang wajib dibentuk bank pada periode ekspansi dapat digunakan ketika bank menghadapi tekanan saat ekonomi sedang kontraksi,
sehingga keberlanjutan fungsi intermediasi bank diharapkan tetap dapat terjaga. Besaran CCyB bersifat dinamis yaitu berkisar antara 0% sampai 2,5% dari
Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bank. Bank Indonesia melakukan evaluasi besaran CCyB tersebut secara berkala paling kurang satu kali dalam
enam bulan. 
Secara umum, Bank Indonesia akan meningkatkan besaran CCyB pada saat ekonomi sedang ekspansi, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan besaran
CCyB pada saat ekonomi sedang kontraksi. Kebijakan ini tidak terpisahkan dari ketentuan permodalan perbankan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yang diharapkan akan memperkuat daya tahan perbankan.
Ketentuan terkini mengenai CCyB dapat diakses pada PBI No.17/22/PBI/2015 tanggal 23 Desember 2015 tentang Kewajiban Pembentukan Countercyclical
Buffer.
 
Data Countercyclical Capital Buffer

Tanggal Pengumuman Besaran Tanggal Berlaku Siaran Pers

28 Des 2015 0% 1 Jan 2016 Pranala Siaran Pers


23 Mei 2016 0% 23 Mei 2016 Pranala Siaran Pers

50
21 Nov 2016 0% 21 Nov 2016 Pranala Siaran Pers
19 Mei 2017 0% 19 Mei 2017 Pranala Siaran Pers
16 Nov 2017 0% 16 Nov 2017 Pranala Siaran Pers
17 Mei 2018 0% 17 Mei 2018 Pranala Siaran Pers
15 Nov 2018 0% 15 Nov 2018 Pranala Siaran Pers
16 Mei 2019 0% 16 Mei 2019 Pranala Siaran Pers
21 Nov 2019 0% 21 Nov 2019 Pranala Siaran Pers
19 Mei 2020 0% 19 Mei 2020 Pranala Siaran Pers
19 Nov 2020 0% 19 Nov 2020 Pranala Siaran Pers
20 Apr 2021 0% 20 Apr 2021 Pranala Siaran Pers

19 Okt 2021 0% 19 Okt 2021 Pranala Siaran Pers


19 April 2022 0% 19 April 2022 Pranala Siaran Pers

Keterangan :
-Tanggal Pengumuman pada tanggal diundangkan PBI
-Belum ada perubahan PBI terkait CCyB dan masih mengacu ke PBI No.17/22/PBI/2015

Loan To Value/Financing To Value

Rasio Loan to Value atau Financing to Value (LTV/FTV) adalah rasio antara nilai kredit/pembiayaan yang diberikan oleh Bank Umum Konvensional
maupun Syariah terhadap nilai agunan, berupa properti pada saat pemberian kredit/pembiayaan berdasarkan hasil penilaian terkini. Sedangkan Uang Muka
Kredit/Pembiyaan Kendaraan Bermotor adalah pembayaran di muka sebesar persentase tertentu dari nilai harga kendaraan bermotor yang sumber dananya
berasal dari debitur atau nasabah. 

51
Dalam perkembangan terkini, salah satu risiko yang dihadapi di sistem keuangan adalah peningkatan harga aset properti. Salah satu tujuan dari kebijakan
LTV/FTV adalah untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan memitigasi risiko sistemik yang berasal dari peningkatan harga properti.
Kebijakan LTV/FTV juga bertujuan sebagai instrumen makroprudensial untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan yang seimbang dan berkualitas
dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dengan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan. Instrumen kebijakan Makroprudensial ini
bersifat countercyclical dan dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi ekonomi dan keuangan.
Ketentuan terkini mengenai Rasio LTV/FTV dapat diakses pada PBI No. 23/2/PBI/2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/8/PBI/2018 Tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau
Pembiayaan Kendaraan Bermotor

 
Tanggal   Besaran Tanggal Berlaku Ketentuan Siaran Pers
Pengumuman
15/03/2012 a. Penetapan rasio LTV sebesar 70%. 15/03/2012 SE No.14/10/DPNP Pranala
b. Penetapan DP min sebesar 30% (roda 4), 20% (roda 4
produktif), 25% (roda 2)

24/09/2013 1. Penetapan rasio LTV/FTV sebesar 60% s.d. 90%. 24/09/2013 SE No.15/40/DKMP Pranala
2. Penetapan DP min sebesar  30% (roda 4), 20% (roda 4
produktif), 25% (roda 2).

18/06/2015 a. Penetapan rasio LTV/FTV sebesar 60% s.d. 90%. 18/06/2015 PBI No.17/10/PBI/2015 Pranala
b. Penetapan DP min sebesar  25% (roda 4), 20% (roda 4
produktif), 20% (roda 2).

26/08/2016 a. Penetapan rasio LTV/FTV sebesar 60% s.d. 90% 29/08/2016 PBI No.18/16/PBI/2016 Pranala
(tiering 5%).
b. Penetapan DP min sebesar  25% (roda 4), 20% (roda 4
produktif), 20% (roda 2).

30/07/2018 a. FK 1 diserahkan kpd kebijakan masing-masing bank; 01/08/2018 PBI No.20/8/PBI/2018 Pranala
FK 2 dst LTV dikisaran 80% s.d 90%.

52
b. Penetapan DP min sebesar  25% (roda 4), 20% (roda 4
produktif), 20% (roda 2).

26/11/2019 a. Rasio Loan to Value / Financing to Value (LTV/FTV) 02/12/2019 PBI No. 21/13/PBI/2019 Pranala
untuk kredit/pembiayaan Properti sebesar 5%.
b. Uang Muka untuk Kendaraan Bermotor pada kisaran 5
sampai 10%, serta
c. Tambahan keringanan rasio LTV/FTV untuk kredit
atau pembiayaan properti dan Uang Muka untuk
Kendaraan Bermotor yang berwawasan lingkungan
masing-masing sebesar 5%.

26/2/2021 1. Penyesuaian batasan rasio LTV/FTV untuk KP/PP 26/02/2021 PBI No. 23/2/PBI/2021 Pranala
sebesar 0% bagi Bank dengan NPF <5%, termasuk
properti berwawasan lingkungan, dengan tetap
memerhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko bank.

2. Penyesuaian batasan Uang Muka untuk KKB/PKB


paling sedikit 0% bagi Bank dengan NPF <5%,
termasuk kendaraan bermotor berwawasan lingkungan,
, dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko bank

Rasio Intermediasi Makroprudensial

Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah (RIM Syariah) merupakan instrumen makroprudensial yang
ditujukan pada pengelolaan fungsi intermediasi perbankan agar sesuai dengan kapasitas dan target pertumbuhan perekonomian serta tetap menjaga prinsip
kehati-hatian. 

53
Kebijakan RIM/RIM Syariah mengakomodasi adanya keberagaman bentuk intermediasi perbankan dengan memasukkan investasi bank pada surat berharga.
RIM/RIM Syariah juga mendorong terciptanya fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, sehingga dapat mencegah dan mengurangi risiko dan
perilaku perbankan yang cenderung prosiklikal. Instrumen kebijakan Makroprudensial ini bersifat countercyclical dan dapat disesuaikan dengan perubahan
kondisi ekonomi dan keuangan.

Giro RIM/RIM Syariah adalah saldo giro dalam rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh BUK, BUS, dan UUS untuk pemenuhan
RIM/RIM Syariah. 

Sebagai bagian dari Keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia April 2022, untuk mendorong bank-bank dalam penyaluran kredit/pembiayaan
kepada dunia usaha dalam rangka PEN dengan tetap menjaga SSK, kebijakan Rasio Intermediasi Makroprudensial/Rasio Intermediasi Makroprudensial
Syariah (RIM/RIMS) tetap pada kisaran 84-94% dengan disinsentif berupa kewajiban giro RIM/RIMS bagi bank-bank dengan RIM/RIMS yang tidak
memenuhi batas bawah yang ditetapkan.

GIRO RIM Parameter Disinsentif Bawah x (Target RIM - RIM) x DPK BUK dalam rupiah
GIRO RIM SYARIAH Parameter Disinsentif Bawah x (Target RIM Syariah - RIM Syariah) x DPK BUS/UUS dalam rupiah
 
Keterangan :

NPL/NPF KPMM Parameter Disinsentif Bawah


≥ 5% - 0,00
< 5% KPMM ≤ 14% 0,00
14% < KPMM ≤ 19% 0,10
KPMM > 19% 0,15

 
Ketentuan terkini mengenai RIM / RIM Syariah dapat dilihat pada:

54
 PBI No.21/12/PBI/2019 tanggal 25 November 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang Rasio
Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha
Syariah
 PADG No. 23/7/PADG/2021 tanggal 1 Mei 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/22/PADG/2019
tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan
Unit Usaha Syariah.

Penyangga Likuiditas Makroprudensial

Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial Syariah (PLM Syariah) merupakan cadangan likuiditas minimum
dalam Rupiah yang wajib dipelihara oleh BUK dan BUS dalam bentuk surat berharga dalam Rupiah yang dapat digunakan dalam operasi moneter, yang
besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK BUK dan BUS dalam Rupiah. 

PLM dan PLM Syariah juga memiliki fitur fleksibilitas, yang berarti pada kondisi tertentu surat berharga tersebut dapat digunakan untuk transaksi repo
kepada Bank Indonesia dalam Operasi Pasar Terbuka sebesar persentase tertentu dari DPK BUK dan BUS dalam Rupiah. 

Kebijakan PLM/PLM Syariah diharapkan mengatasi permasalahan prosiklikalitas likuiditas serta menjadi instrumen makroprudensial berbasis likuiditas yang
berlaku untuk seluruh bank. PLM wajib dipenuhi oleh Bank Umum Konvensional dan Unit Usaha Syariah, sedangkan PLM Syariah wajib dipenuhi oleh
Bank Umum Syariah.

Kebijakan PLM/PLM Syariah diharapkan mengatasi permasalahan prosiklikalitas likuiditas serta menjadi instrumen makroprudensial berbasis likuiditas yang
berlaku untuk seluruh bank. PLM wajib dipenuhi oleh Bank Umum Konvensional dan Unit Usaha Syariah, sedangkan PLM Syariah wajib dipenuhi oleh
Bank Umum Syariah. Ketentuan terkini mengenai PLM/PLM Syariah dapat dilihat pada:

 Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/17/PBI/2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang Rasio
Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha
Syariah.
 Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 22/30/PADG/2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
21/22/PADG/2019 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank
Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah.

55
Perkembangan PLM/PLM Syariah
 
Tgl. Pengumuman Tgl. Berlaku Ketentuan Siaran Pers Instrumen Besaran Fleksibilitas

3 Apr 2018 16 Jul 2018 PBI No.20/4/PBI/2018 Pranala Siaran PLM 4% 2%


Pes

PLM Syariah 4% 4%
15 Nov 2018 30 Nov 2018 PADG No.20/31/PADG/2018 Pranala Siaran PLM 4% 2%
Pers

PLM Syariah 4% 4%
19 Nov 2020 30 Sep 2020 PBI No.22/17/PBI/2020 Pranala Siaran PLM 6% 6%
Pers
PLM Syariah 4,5% 4,5%
20 Apr 2021 30 Sep 2020 PBI No.22/17/PBI/2020 Pranala Siaran PLM 6% 6%
Pers
PLM Syariah 4,5% 4,5%

19 Okt 2021 30 Sep 2020  PBI No.22/17/PBI/2020 Pranala Siaran PLM 6% 6%


Pers
PLM Syariah 4,5% 4,5%
19 April 2022 30 Sep 2020  PBI No.22/17/PBI/2020 Pranala Siaran PLM 6% 6%
56
Pers
PLM Syariah 4,5% 4,5%

Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP)

Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) adalah pinjaman dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang
dialami oleh Bank. Sedangkan Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah (PLJPS) adalah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia
kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang di alami oleh Bank. Kesulitan likuiditas jangka pendek adalah keadaan yang dialami
Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar dalam rupiah yang dapat membuat Bank tidak
dapat memenuhi kewajiban GWM.
Sebagai langkah antisipatif untuk menjaga stabiliitas ekonomi dan sistem keuangan nasional di tengah tekanan dampak pandemi COVID-19, Menindaklanjuti
diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 2020, Bank Indonesia menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur tentang PLJP/PLJPS. Dengan
penyempurnaan ini, proses pemberian PLJP/PLJPS dapat berlangsung lebih cepat dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian dan tata kelola yang baik.
Penyempurnaan ketentuan meliputi (i) penyesuaian suku bunga PLJP/PLJPS, (ii) penyempurnaan persyaratan agunan kredit, (iii) penambahan agunan lain
untuk jaminan sebagai langkah mitigasi risiko, (iv) percepatan proses di Bank Indonesia, dan (v) penyempurnaan proses verifikasi dan valuasi aset dengan
pihak independen sebelum permohonan PLJP/PLJPS.
Ketentuan mengenai PLJP dapat dilihat di :

 PBI No. 22/15/PBI/2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/3/PBI/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek
bagi Bank Umum Konvensional.
 PADG No. 22/31/PADG/2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/6/PADG/2017 tentang Pinjaman
Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional.

Peran BI dalam Manajemen Krisis

Pengalaman krisis keuangan yang dialami dunia, termasuk Indonesia, telah mengajarkan otoritas dunia akan pentingnya sebuah Protokol Manajemen Krisis
(PMK). Kata protokol sendiri didefinisikan sebagai sistem aturan yang menjelaskan praktek-praktek (conduct) dan prosedur yang benar (atau dianggap benar)
yang harus dijalankan dalam suatu situasi yang formal. Keberadaan PMK dalam sistem keuangan sangat penting dalam upaya penyelesaian krisis (crisis
resolution) untuk membantu otoritas keuangan bereaksi dan mengambil langkah-langkah tepat dan terkoordinasi dengan cepat.

57
Keberadaan PMK di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Berdasarkan
UU tersebut, amanat pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan dipegang oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan
Kementerian Keuangan (Kepala KSSK), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). KSSK merupakan forum
koordinasi, kerjasama dan pertukaran informasi antar otoritas dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan SSK, penanganan krisis sistem keuangan, serta
penanganan permasalahan bank sistemik dalam kondisi sistem keuangan normal maupun kondisi krisis sistem keuangan. Selanjutnya, dalam kondisi pandemi
COVID-19, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 yang mengatur tentang kebijakan penanganan pandemic COVID-19 melengkapi UU PPKSK, untuk
memberikan landasan hukum dalam upaya penguatan PMK di tengah langkah Pencegahan dan penanganan krisis pandemi COVID-19.

PMK Bank Indonesia mencakup langkah pencegahan dan penanganan Krisis, termasuk proses pengambilan keputusan dan koordinasi dengan Pemerintah,
KSSK dan/atau institusi terkait. PMK Bank Indonesia mengedepankan prinsip tata kelola yang baik, pengutamaan pencegahan dan percepatan penanganan
krisis serta koordinasi dan komunikasi yang efektif. Dalam prosesnya, protokol dijalankan melalui koordinasi dan pertukaran data serta informasi,
pelaksanaan keputusan Rapat Dewan Gubernur, evaluasi terhadap status tekanan dan respons kebijakan serta komunikasi pencegahan dan penanganan krisis.
Semua kerangka kebijakan dan protokol koordinasi antarlembaga ini diuji dalam Simulasi Pencegahan dan Penanganan Krisis Nasional (Simkrisnas) yang
dilaksanakan dari waktu ke waktu.

Sebagai bank sentral, Bank Indonesia secara konsisten menjalankan fungsinya sebagai Lender of Last Resort (LoLR), baik dalam kondisi normal maupun
krisis. Dalam kerangka LoLR, Bank Indonesia dapat memberikan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek dan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek Syariah
(PLJP/PLJP Syariah), serta Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK) bagi perbankan nasional. Fasilitas ini ditujukan untuk mengatasi permasalahan likuiditas
jangka pendek agar stabilitas sistem keuangan dan kepercayaan masyarakat tetap terjaga.

Komite Stabilitas Sistem Keuangan

Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dibentuk sebagai upaya menyelenggarakan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan demi
kepentingan dan ketahanan negara di bidang perekonomian.

Berdasarkan Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), KSSK beranggotakan Menteri Keuangan sebagai
koordinator merangkap anggota dengan hak suara, Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota dengan hak suara, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan sebagai anggota dengan hak suara, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagai anggota tanpa hak suara. Setiap anggota
Komite Stabilitas Sistem Keuangan bertindak untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

58
KSSK bertugas melakukan koordinasi pemantauan dan pemeliharaan SSK, melakukan penanganan krisis sistem keuangan, serta melakukan penanganan
permasalahan bank sistemik, baik dalam kondisi normal maupun kondisi krisis sistem keuangan. Dalam pelaksanaan tugasnya, KSSK menetapkan kriteria
dan indikator penilaian kondisi SSK, melakukan penilaian kondisi, menetapkan langkah koordinasi untuk mencegah krisis, serta merekomendasikan
perubahan status SSK dan langkah penanganan krisis kepada Presiden.

Dalam rangka menjaga stabilitas perekonomian dan sistem keuangan Indonesia di tengah tekanan dampak pandemi COVID-19 dan mengakselerasi program
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), lembaga anggota KSSK bersinergi merumuskan dan melaksanakan respons kebijakan yang terintegrasi dan bersifat
antisipatif (forward looking). Sinergi kebijakan ini ditetapkan sebagai “Paket Kebijakan Terpadu untuk Peningkatan Pembiayaan Dunia Usaha dalam rangka
Percepatan Pemulihan Ekonomi”, ditujukan untuk membantu dunia usaha agar tetap bertahan dan menopang pemulihan ekonomi. 

Sebagai bagian dari sinergi tersebut, Bank Indonesia menempuh bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran yang akomodatif untuk
mendorong akselerasi pemulihan ekonomi dengan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan. Bank Indonesia juga melakukan inovasi kebijakan dan
memperkuat sinergi dengan Pemerintah dan KSSK dalam rangka mendorong penyaluran kredit/pembiayaan industri keuangan terutama kepada sektor-sektor
prioritas dan UMKM.

Koordinasi BI dengan Lembaga/Otoritas Lain

Kerjasama dan koordinasi antar otoritas sistem keuangan dilakukan baik secara bilateral maupun trilateral, dalam rangka melakukan harmonisasi kebijakan,
pertukaran data dan/atau informasi, serta kepentingan koordinasi lainnya. Sebagaimana amanat Pasal 10 ayat 4 Undang-Undang Republik Indonesia No. 21
Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan dan Pasal 65 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin
Simpanan, Bank Indonesia menempatkan masing-masing satu orang ADG sebagai Anggota Dewan Komisioner (ADK) Ex-Officio di OJK dan LPS. Peran
strategis ADG Bank Indonesia sebagai Ex-Officio di kedua lembaga ini turut mendukung pelaksanaan koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan
antara Bank Indonesia dan lembaga penugasan.

Selain penempatan ADK Ex-officio, kerja sama dan koordinasi antar otoritas tersebut dilakukan mulai dari level pimpinan lembaga hingga level teknis.
Koordinasi BI-OJK dijalankan dalam kerangka Forum Koordinasi Makroprudensial – Mikroprudensial (FKMM), sedangkan kerjasama dan koordinasi BI dan
LPS dilakukan dalam kerangka penjaminan dan resolusi bank. Koordinasi ini dipayungi oleh suatu Keputusan Bersama atau Nota Kesepahaman antar
lembaga serta petunjuk-petunjuk pelaksanaan. Selanjutnya untuk menjembatani kegiatan kerja sama dan koordinasi termasuk pertukaran data bilateral
maupun trilateral antara BI dengan OJK dan LPS, dibentuklah Focal Point. 

Dalam ruang lingkup yang lebih luas, Bank Indonesia juga menjalin kerja sama dan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Otoritas Jasa

59
Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang akan disampaikan lebih detil pada
Protokol Manajemen Krisis.

Keanggotaan BI Pada Forum Internasional

Merespons pengalaman krisis keuangan global tahun 2008, G20 mendeklarasikan komitmen untuk melakukan langkah reformasi sektor keuangan global
dengan tujuan memperkuat stabilitas sistem keuangan dan mengurangi peluang serta dampak terjadinya krisis di masa mendatang. Inisiasi reformasi sektor
keuangan global menjadi tonggak sejarah baru bagi penguatan koordinasi antar otoritas global melalui pembentukan Financial Stability Board (FSB) yang
dimandatkan G20 untuk mengawal implementasi reformasi dimaksud. 

Disadari bahwa peran reformasi keuangan global dan koordinasi antar otoritas bagi penguatan resiliensi sistem keuangan domestik sangat penting. Oleh
karena itu, Bank Indonesia ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai fora internasional yang strategis di bidang SSK, diantaranya FSB dan Basel Committee on
Banking Supervision (BCBS).

1. Financial Stability Board (FSB)


Bank Indonesia telah menjadi anggota FSB sejak awal pendirian di 2009. Pada 2014, partisipasi otoritas sektor keuangan Indonesia dalam keanggotaan FSB
diperluas dengan mengikutsertakan peranan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Partisipasi Bank Indonesia dan otoritas
domestik dioptimalkan dalam berbagai tatanan struktur FSB baik di forum tingkat tinggi maupun tingkat teknis sesuai relevansi kewenangan otoritas dengan
topik pembahasan di suatu forum. Koordinasi lintas otoritas juga diperkuat melalui pembentukan forum gugus tugas seiring dengan semakin pentingnya
upaya mendorong implementasi rekomendasi FSB yang bersifat lintas sektor yang memerlukan dukungan dan kerjasama dari berbagai otoritas.

Secara garis besar, pembahasan topik reformasi sektor keuangan global mencakup empat agenda utama atau prioritas yaitu memperkuat ketahanan lembaga
keuangan, mengurangi permasalahan lembaga keuangan yang “too big to fail”, memperluas parameter pengawasan dan pengaturan lembaga keuangan hingga
mencakup market-based finance, serta reformasi pasar Over the Counter (OTC) derivatif. Di samping itu, topik lain juga dibahas seperti penguatan kebijakan
makroprudensial, manajemen risiko, penjaminan deposito, dan penerapan standar akuntansi yang berkualitas. Pemantauan terhadap risiko baru yang
berkembang juga terus dilakukan untuk mengakses serta memitigasi risiko dan dampaknya terhadap SSK, seperti risiko penurunan aktivitas correspondent
banking, misconduct risk, perkembangan fintech, cyber risk dan cryptoasset serta di area sustainable finance.

2. Basel Committee on Banking Supervision (BCBS)


Keanggotaan Indonesia di BCBS diwakili oleh Bank Indonesia selaku otoritas makroprudensial dan OJK selaku otoritas mikroprudensial sektor keuangan di
Indonesia. Forum ini merupakan standard setting body untuk regulasi prudensial perbankan dengan mandat untuk memperkuat pengaturan, pengawasan serta

60
praktik perbankan global dalam rangka menjaga stabilitas keuangan. Secara garis besar, status adopsi kerangka Basel III oleh yurisdiksi anggota BCBS
tergolong cukup baik dan tepat waktu. Elemen utama Basel III yaitu kerangka permodalan dan standar likuiditas Liquidity Coverage Ratio (LCR) telah
diterapkan sebagian besar yurisdiksi anggota dalam regulasi domestik, termasuk Indonesia. 
 
Menyadari urgensi reformasi sektor keuangan, Bank Indonesia juga aktif dalam berbagai standing committee di dalam FSB dan forum regional, diantaranya: 

a. FSB Standing Committee on Assessment of Vulnerabilities (SCAV)


SCAV beranggotakan bank sentral dari negara anggota FSB. Pembahasan pada forum ini fokus pada isu terkait aspek kerentanan dalam perekonomian
global dan transmisinya ke sektor keuangan.
b. FSB Standing Committee on Supervisory and Regulatory Cooperation (SRC)
SRC beranggotakan bank sentral, otoritas pengawas dan otoritas pasar dari negara G20 dan negara maju anggota FSB. Fokus tugas di forum ini terkait
dengan pengaturan dan pengawasan makroprudensial dan mikoprudensial sektor keuangan.
c. FSB Regional Consultative Groups (RCG) Asia
RCG Asia beranggotakan bank sentral, ototritas pengawas, dan kementerian keuangan dari negara anggota FSB dan Non-anggota FSB. Forum ini
merupakan outreach kepada negara anggota non-FSB untuk mengkomunikasikan program kerja FSB kepada otoritas yang tidak menjadi anggota FSB
dan memberikan landasan pemahaman yang sama bagi otoritas terkait di seluruh dunia terhadap isu strategis yang berkembang dan relevan di
kawasan. 
d.  Executives Meeting of East Asia Pacific Working Group on Banking Supervision (EMEAP-WGBS)
EMEAP-WGBS beranggotakan bank sentral dan otoritas pengawas dari wilayah Asia Timur dan Pasifik yang meliputi negara Australia, Tiongkok,
Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, New Zealand, Filipina, Singapura, dan Thailand. Forum EMEAP berperan penting dalam
memperkuat kerjasama antar otoritas sektor keuangan di regional, termasuk mendiskusikan berbagai isu stabilitas keuangan yang menjadi perhatian
bersama (common interest).

Lebih lanjut, untuk mendukung penguatan stabilitas dan pengembangan sistem keuangan, Bank Indonesia bersama otoritas keuangan terkait secara sukarela
berpartisipasi dalam pelaksanaan Financial Sector Assessment Program (FSAP). Asesmen ini dilakukan rutin oleh International Monetary Fund (IMF) dan
The World Bank yang diharapkan dapat memberikan masukan bagi otoritas domestik dalam menjaga stabilitas dan menjaga akselerasi sistem keuangan, serta
mengevaluasi kepatuhan implementasi terhadap standar/rekomendasi internasional.

Pengembangan UMKM

Sebagai salah satu upaya pelaksanaan mandat kebijakan makroprudensial khususnya dalam mendorong fungsi intermediasi serta peningkatan akses keuangan,
BI juga memiliki peran dalam pengembangan UMKM. Salah satu hal yang menjadi perhatian utama BI terkait UMKM adalah akses keuangan.

UMKM memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia karena memberikan sumbangan signifikan khususnya dalam pembentukan produk domestik
bruto dan penyerapan tenaga kerja. UMKM juga dipercaya memiliki ketahanan ekonomi yang tinggi sehingga dapat menjadi penopang bagi stabilitas sistem

61
keuangan dan perekonomian. Namun demikian, pengembangan UMKM masih menghadapi berbagai kendala, salah satunya dari sisi akses keuangan.

Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan UMKM untuk menghasilkan laporan keuangan yang menjadi alat utama lembaga keuangan menilai
kelayakan kredit. Sebagai respon atas kondisi tersebut, Bank Indonesia sebagai bank sentral berupaya untuk memberikan kontribusi yang terbaik melalui
kebijakan pengembangan UMKM dalam meningkatkan akses keuangan. Selain itu, pengembangan UMKM BI bertujuan pula untuk meningkatkan kapasitas
dan kemampuan manajerial SDM serta inovasi dari UMKM.

Kebijakan Pengembangan UMKM Bank Indonesia diimplementasikan sebagai bagian dari program strategis Bank Indonesia sebagai berikut:

1. Memperkuat efektivitas kebijakan moneter dan bauran kebijakan BI untuk mencapai stabilitas nilai Rupiah.
2. Memperkuat sinergi bauran kebijakan BI dengan kebijakan fiskal dan reformasi struktural pemerintah dalam mengelola defisit transaksi berjalan dan
mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
3. Memperkuat kebijakan dan surveilans makroprudensial untuk turut memelihara SSK.
4. Memperkuat kebijakan BI dan sinergi dengan kebijakan pemerintah dan OJK untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan digital.
5. Mengembangkan kebijakan BI yang bersinergi dengan pihak lainnya untuk mendukung pengembangan ekonomi dan keuangan Syariah.
6. Memperkuat kerjasama internasional untuk memperjuangkan kepentingan BI dan Republik Indonesia
Penyusunan peta jalan UMKM yang disusun oleh Bank Indonesia meliputi 4 tahapan yakni, UMKM potensial, UMKM success/link to
market and finance, UMKM go digital, serta UMKM go export. 

Sementara itu, ruang lingkup pengembangan produk UMKM meliputi pengembangan produk volatile food, local economic development serta Wirausaha
Bank Indonesia (WUBI). Pada aspek percepatan akses, pengembangan didorong dari akses financial, market, knowledge network, serta inovasi dan
digitalisasi. Dukungan dari infrastruktur dan kelembagaan turut memberikan dampak bagi pembentukan ekosistem UMKM yang optimal, diantaranya melalui
dukungan regulasi/kebijakan, keuangan inklusif, perlindungan konsumen, edukasi/literasi, model bisnis, monitoring, dan evaluasi serta penguatan
kelembagaan dan sistem informasi.

Selain beberapa aspek tersebut, penguatan korporatisasi, penyempurnaan akurasi informasi dan data, optimalisasi koordinasi yang intensif antar
kementerian/lembaga, peningkatan pemanfaatan inovasi dan teknologi, serta menciptakan ekosistem yang mendukung, merupakan bagian dari faktor
pendorong keberhasilan pengembangan UMKM di Indonesia yang akan senantiasa dibangun oleh Bank Indonesia.

 Istilah financial inclusion atau inklusi keuangan menjadi tren pascakrisis 2008, terutama didasari dampak krisis kepada kelompok in the bottom of the
pyramid (pendapatan rendah dan tidak teratur, tinggal di daerah terpencil, orang cacat, buruh yang tidak mempunyai dokumen identitas legal, dan
masyarakat pinggiran) yang umumnya unbanked yang tercatat sangat tinggi di luar negara maju.

Pada G20 Pittsbugh Summit 2009, anggota G20 sepakat perlunya peningkatan akses keuangan bagi kelompok ini yang dipertegas pada Toronto
Summit tahun 2010, dengan dikeluarkannya 9 Principles for Innovative Financial Inclusion sebagai pedoman pengembangan inklusi keuangan. Prinsip
62
tersebut adalah leadership, diversity, innovation, protection, empowerment, cooperation, knowledge, proportionality, dan framework.

Sejak itu, banyak fora internasional yang fokuskan pada kegiatan inklusi keuangan seperti CGAP, World Bank, APEC, Asian Development Bank
(ADB), Alliance for Financial Inclusion (AFI), termasuk standard body seperti BIS dan Financial Action Task Force (FATF), termasuk negara
berkembang seperti Indonesia.

Apa itu Keuangan Inklusif?

Belum/tidak terdapat definisi yang baku dari keuangan inklusif, berbagai institusi mencoba untuk mendefinisikannya, sebagai berikut:

“state in which all working age adults have effective access to credit, savings, payments, and insurance from formal service providers. Effective access
involves convenient and responsible service delivery, at a cost affordable to the customer and sustainable for the provider, with the result that financially
excluded customers use formal financial services rather than existing informal options” (CGAP-GPFI). 

“financial inclusion involves providing access to an adequate range of safe, convenient and affordable financial services to disadvantaged and other
vulnerable groups, including low income, rural and undocumented persons, who have been underserved or excluded from the formal financial sector”
(FATF). 

“process of ensuring access to appropriate financial products and services needed by all sections of the society in general and vulnerable groups such as
weaker sections and low-income groups in particular, at an affordable cost in a fair and transparent manner by regulated, mainstream institutional players”
(RBI/Reserve Bank of India).

Mengapa Perlu Keuangan Inklusif?

Berbagai alasan menyebabkan masyarakat dimaksud menjadi unbanked, baik dari sisi supply (penyedia jasa) maupun demand (masyarakat), yaitu karena
price barrier (mahal), information barrier (tidak mengetahui), design product barrier (produk yang cocok) dan channel barrier (sarana yang sesuai). Keuangan
inklusif mampu menjawab alasan tersebut dengan memberikan banyak manfaat yang dapat dinikmati oleh masyarakat, regulator, pemerintah dan pihak
swasta, antara lain sebagai berikut:

• Meningkatkan efisiensi ekonomi.


• Mendukung stabilitas sistem keuangan.
• Mengurangi shadow banking atau irresponsible finance.
• Mendukung pendalaman pasar keuangan.
• Memberikan potensi pasar baru bagi perbankan.
• Mendukung peningkatan Human Development Index (HDI) Indonesia.
• Berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional yang berkelanjutan.

63
• Mengurangi kesenjangan (inequality) dan rigiditas low income trap, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya berujung
pada penurunan tingkat kemiskinan.

Bagaimana Penerapannya?

Dari berbagai belahan dunia, untuk menurunkan financial exclusion dilakukan dalam dua pendekatan, yaitu secara komprehensif dengan menyusun suatu
strategi nasional seperti Indonesia, Nigeria, Tanzania atau melalui berbagai program terpisah, misal edukasi keuangan seperti dilakukan oleh pemerintah
Amerika Serikat pascakrisis 2008. Secara umum, pendekatan melalui suatu strategi nasional mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu penyediaan sarana layanan yang
sesuai, penyediaan produk yang cocok, responsible finance melalui edukasi keuangan dan perlindungan konsumen. Penerapan keuangan inklusif umumnya
bertahap dimulai dengan target yang jelas seperti melalui penerima bantuan program sosial pemerintah atau pekerja migran (TKI) sebelum secara perlahan
dapat digunakan oleh masyarakat umum.

Siapa Saja Yang Menerapkan

Strategi keuangan inklusif bukanlah sebuah inisiatif yang terisolasi, sehingga keterlibatan dalam keuangan inklusif tidak hanya terkait dengan tugas Bank
Indonesia, namun juga regulator, kementerian dan lembaga lainnya dalam upaya pelayanan keuangan kepada masyarakat luas. Melalui strategi nasional
keuangan inklusif diharapkan kolaborasi antar lembaga pemerintah dan pemangku kepentingan tercipta secara baik dan terstruktur.

64
65
Pengelolaan Uang Rupiah

Sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia diberikan tugas dan kewenangan Pengelolaan Uang Rupiah mulai dari
tahapan Perencanaan, Pencetakan, Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, sampai dengan Pemusnahan. Bahwa Pengelolaan Uang Rupiah perlu
dilakukan dengan baik dalam mendukung terpeliharanya stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran sistem pembayaran. Pengelolaan Uang
Rupiah yang dilakukan oleh Bank Indonesia ditujukan untuk menjamin tersedianya Uang Rupiah yang layak edar, denominasi sesuai, tepat waktu sesuai
kebutuhan masyarakat, serta aman dari upaya pemalsuan dengan tetap mengedepankan efisiensi dan kepentingan nasional.

66
Perencanaan

Perencanaan Uang Rupiah merupakan suatu rangkaian kegiatan menetapkan besarnya jumlah dan jenis pecahan berdasarkan perkiraan kebutuhan Rupiah
dalam periode tertentu. Dalam melakukan perencanaan jumlah uang yang akan dicetak dilakukan dengan memperhatikan asumsi tingkat inflasi, asumsi
pertumbuhan ekonomi, perkembangan teknologi, kebijakan perubahan harga uang Rupiah, kebutuhan masyarakat terhadap jenis pecahan uang Rupiah
tertentu, tingkat pemalsuan, dan  faktor lain yang mempengaruhi. Perencanaan uang Rupiah terdiri dari dua jenis perencanaan yaitu perencanaan pencetakan
uang Rupiah dan perencanaan uang Rupiah emisi baru.

Terdapat dua faktor utama yang dipertimbangkan oleh Bank Indonesia dalam melakukan perencanaan pencetakan uang Rupiah:

1. Tambahan uang kartal yang diedarkan, yaitu tambahan uang kartal yang diperlukan masyarakat sejalan dengan meningkatnya perekonomian.
Dalam menentukan tambahan uang kartal yang diedarkan, proyeksi dilakukan dengan memperhatikan asumsi besaran ekonomi makro yang meliputi
inflasi, suku bunga, produk domestik bruto dan nilai tukar. Asumsi besaran ekonomi makro tersebut harus dikoordinasikan dengan pemerintah (c.q.
Kementerian Keuangan). Selain memperhatikan besaran ekonomi makro, perkiraan tambahan uang kartal yang diedarkan juga mempertimbangkan data
historis outflow (uang yang keluar dari Bank Indonesia), inflow (uang yang masuk kembali ke Bank Indonesia), dan  karakteristik perekonomian secara
spasial.
2. Penggantian uang yang dimusnahkan karena tidak layak edar, yaitu perkiraan jumlah uang yang akan dimusnahkan oleh Bank Indonesia.
Pemusnahan uang ini dilakukan oleh Bank Indonesia sebagian besar berasal dari setoran bank (inflow) yang oleh Bank Indonesia diklasifikasikan
sebagai uang tidak layak edar. Jumlah uang tidak layak edar yang dimusnahkan tersebut harus diganti dengan yang baru (clean money policy).
3. Menjaga kecukupan persediaan kas Bank Indonesia melalui penetapan Kas Minimum dan Iron Stock Nasional. Kas Minimum adalah
persediaan kas yang harus dijaga oleh setiap kantor Bank Indonesia yang memperhatikan faktor kelancaran distribusi uang dan ketersediaan moda
transportasi. Saat ini Bank Indonesia menetapkan jumlah Kas Minimum sebesar dua hari rata-rata outfow bulanan untuk Kantor Pusat Bank Indonesia,
satu minggu rata-rata outflow bulanan untuk kantor Bank Indonesia di wilayah Jawa, dan 2 minggu rata-rata outflow bulanan untuk kantor Bank
Indonesia di wilayah non-Jawa. Sementara itu jumlah Iron stock Nasional ditetapkan sebesar 15% dari Uang Kartal yang Diedarkan (UYD).

Selanjutnya, perencanaan uang Rupiah emisi baru merupakan kegiatan untuk merencanakan desain uang baru, yang meliputi ukuran uang, gambar utama
uang, dan unsur pengaman yang akan ditanamkan pada uang baru (ciri-ciri khusus uang), serta bahan uang yang digunakan. Faktor yang dipertimbangkan
Bank Indonesia dalam menerbitkan uang emisi baru adalah:

1. Tingkat pemalsuan uang, yaitu suatu kondisi dimana Bank Indonesia mencermati perkembangan tingkat kualitas temuan uang Rupiah palsu, sejalan
dengan perkembangan teknologi digital (antara lain fotokopi berwarna, scanner, dan printer berwarna). Untuk melindungi masyarakat dari dampak
pemalsuan uang, Bank Indonesia menerbitkan uang emisi baru untuk menggantikan uang emisi lama yang memiliki potensi dapat dipalsukan dengan

67
kualitas yang baik. Penerbitan uang emisi baru harus dilengkapi dengan unsur pengaman baru yang lebih mampu melindungi uang dari upaya
pemalsuan.
2. Nilai instrinsik uang, yaitu nilai atau harga dari bahan yang digunakan untuk membuat uang. Nilai intrinsik uang kertas pada umumnya jauh lebih
rendah dari nilai nominalnya, sedangkan nilai intrinsik uang logam berpotensi melebihi nilai nominalnya. Oleh karena itu, pertimbangan nilai intrinsik
dalam penerbitan uang emisi baru biasanya terkait dengan uang logam.
3. Masa edar uang, yaitu jangka waktu pecahan uang tertentu berlaku sebagai alat pembayaran yang sah yang dimulai sejak uang diterbitkan sampai
uang dicabut dan ditarik dari peredaran.
4. Kebutuhan masyarakat akan pecahan baru, dengan mempertimbangkan faktor kegunaan dalam transaksi sehari-hari dan kegunaan dalam
menyimpan nilai (store a value).

Pencetakan

Pencetakan Uang Rupiah merupakan suatu rangkaian kegiatan mencetak Uang Rupiah yang dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan rencana cetak dalam
periode tertentu. Rencana tersebut mencakup rencana jumlah nominal dan jumlah lembar Uang Rupiah kertas, serta rencana jumlah nominal dan keping Uang
Rupiah logam. Sesuai amanat UU Mata Uang, pencetakan Uang Rupiah dilaksanakan di dalam negeri dengan menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
sebagai pelaksana pencetakan Uang Rupiah. Saat ini Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) merupakan satu-satunya BUMN
yang bergerak dalam bidang pencetakan Uang Rupiah. 
Namun demikian, dalam hal Perum Peruri tidak sanggup memenuhi permintaan Bank Indonesia, maka pencetakan uang Rupiah dilaksanakan oleh
Perum Peruri bekerja sama dengan lembaga lain yang ditunjuk melalui proses yang transparan, akuntabel serta menguntungkan negara. Dalam melaksanakan
pencetakan uang kertas Rupiah, Perum Peruri menerapkan standar operasional prosedur yang berpengaman tinggi untuk menjamin mutu serta keamanan dan
kerahasiaan proses cetak uang, mulai dari proses desain uang, penyediaan bahan kertas uang, tinta maupun proses cetaknya. 
Selain itu, kewajiban Bank Indonesia dalam proses pencetakan uang adalah menyediakan bahan uang sebesar pesanan cetak ditambah dengan tingkat salah
cetak (inschiet). Oleh karenanya dalam proses pencetakan Bank Indonesia berkordinasi secara intens dengan Perum Peruri untuk  menjamin kelancaran
proses cetak Perum Peruri, sehingga keseluruhan pesanan cetak dapat diselesaikan Perum Peruri secara tepat waktu.

Kualitas hasil pencetakan uang Rupiah sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan uang yang dikirimkan Bank Indonesia ke Perum Peruri. Oleh karena itu,
sebelum dikirimkan ke Perum Peruri bahan uang tersebut harus lolos uji mutu di laboratorium untuk memastikan kesesuaian dengan spesifikasi teknis yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia. 

Pengeluaran

Pengeluaran Uang Rupiah merupakan suatu rangkaian kegiatan menerbitkan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Bank Indonesia memiliki wewenang dalam mengeluarkan Uang Rupiah dalam bentuk emisi baru, Uang Rupiah desain baru dan Uang Rupiah
khusus (commemorative currency). Pengeluaran uang Rupiah baru diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang ditempatkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia, serta diumumkan melalui media massa sehingga masyarakat di seluruh wilayah NKRI dapat mengetahui adanya pengeluaran uang baru
68
oleh Bank Indonesia. Konsekuensi dari penerbitan uang ini adalah masyarakat dilarang menolak apabila dibayar dengan uang yang telah diterbitkan oleh
Bank Indonesia.
Sesuai amanat UU Mata Uang, Bank Indonesia telah mengeluarkan 11 pecahan Uang Rupiah Tahun Emisi 2016 yang diresmikan oleh Presiden Republik
Indonesia, Ir. H. Joko Widodo pada tanggal 19 Desember 2016. Uang tersebut terdiri atas 7 Uang Rupiah kertas dan 4 Uang Rupiah logam. Selain itu, dalam
rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75 Tahun, pada tanggal 17 Agustus 2020, Bank Indonesia mengeluarkan
Uang Peringatan Kemerdekaan 75 Tahun Republik Indonesia pecahan Rp75.000 tahun emisi 2020 sebagai wujud ungkapan rasa syukur dan berbagi
kebahagiaan kepada rakyat Indonesia. 

Pengedaran

Pengedaran Uang Rupiah merupakan suatu rangkaian kegiatan mengedarkan atau mendistribusikan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kegiatan pengedaran Uang Rupiah mencakup distribusi Uang Rupiah dan layanan kas. Kegiatan distribusi Uang Rupiah dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan kas di seluruh wilayah kerja Bank Indonesia baik dalam bentuk pengiriman uang (remise) dari KPBI ke KPwBI maupun pengembalian uang
(retur) dari KPwBI ke KPBI. Sementara itu, kegiatan layanan kas bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui penarikan dan penyetoran
perbankan, termasuk Kas Titipan, serta penukaran uang rusak/cacat/lusuh kepada masyarakat melalui Kas Keliling dan kerja sama dengan perbankan dan/atau
instansi lain.

Mekanisme distribusi uang Rupiah dilakukan dari Kantor Pusat Bank Indonesia kepada Kantor-kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwDN) yang berfungsi
sebagai Kantor Depo Kas (KDK), dan untuk selanjutnya oleh KDK didistribusikan lagi kepada KPwDN lainnya. Moda transportasi utama yang digunakan
adalah moda transportasi darat (truk dan kereta api) dan laut (kapal barang dan kapal penumpang). Dalam kondisi tertentu, moda transportasi udara (pesawat)
juga digunakan untuk melakukan distribusi uang oleh Bank Indonesia. Untuk menjaga kelancaran distribusi uang, Bank Indonesia terus meningkatkan kerja
sama dengan berbagai instansi seperti penyedia moda transportasi dan penyedia pengawalan dan pengamanan jalur distribusi.

Pencabutan/Penarikan
Pencabutan dan Penarikan Uang Rupiah merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menetapkan Rupiah tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah
di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pencabutan dan penarikan uang dilakukan dengan berbagai pertimbangan, diantaranya masa edar suatu
pecahan sudah terlalu lama dan adanya perkembangan teknologi unsur pengaman (security features) pada uang. Di samping itu juga dimaksudkan untuk
mencegah dan meminimalisir peredaran uang palsu serta menyederhanakan komposisi dan emisi pecahan yang ada. 

Esensi dari pencabutan dan penarikan uang dari peredaran adalah pengumuman Bank Indonesia yang menyatakan bahwa uang yang dicabut dan ditarik dari
peredaran sudah tidak lagi berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah NKRI, sehingga masyarakat dapat menolak apabila dibayar dengan uang
yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran tersebut. Oleh karena itu, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia mengenai pencabutan dan
penarikan uang yang ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, serta membuat pengumuman melalui media massa sehingga masyarakat luas
dapat mengetahui adanya pencabutan dan penarikan uang oleh Bank Indonesia. Uang Rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran dapat ditukarkan
dengan uang Rupiah layak edar sebesar nilai nominalnya.

69
Pemusnahan

Pemusnahan Uang Rupiah merupakan suatu rangkaian kegiatan meracik, melebur, atau cara lain memusnahkan Rupiah sehingga tidak menyerupai Rupiah.
Bank Indonesia berkomitmen untuk menyediakan uang layak edar bagi masyarakat, yaitu Uang Rupiah yang memenuhi persyaratan untuk diedarkan
berdasarkan standar kualitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sebagai wujud komitmen tersebut, salah satu langkah yang dilakukan Bank Indonesia
secara rutin adalah kegiatan pemusnahan uang. 

Uang yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia merupakan uang yang tidak layak edar baik berupa uang lusuh, uang cacat, uang rusak maupun Uang rupiah
yang masih layak edar yang dengan pertimbangan tertentu tidak lagi mempunyai manfaat ekonomis dan/atau kurang diminati oleh masyarakat serta uang
yang telah dicabut/ditarik dari peredaran. Pemusnahan uang kertas dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara diracik sehingga tidak menyerupai uang
kertas, baik dengan menggunakan Mesin Sortasi Uang Kertas (MSUK) dan/atau Mesin Racik Uang Kertas (MRUK). Sementara itu, pemusnahan uang logam
dilakukan dengan cara dilebur atau dengan cara lainnya sehingga  tidak menyerupai uang logam. 

Sesuai dengan Undang-Undang Mata Uang, pelaksanaan pemusnahan uang Rupiah oleh Bank Indonesia harus berkoordinasi dengan Pemerintah. Koordinasi
Bank Indonesia dengan Pemerintah diwujudkan dalam bentuk nota kesepahaman antara Bank Indonesia dan Pemerintah yang berisi teknis pelaksanaan
pemusnahan uang Rupiah, termasuk pembuatan berita acara pemusnahan uang Rupiah. Pelajari lebih lanjut mengenai Pengelolaan Uang Rupiah

70

Anda mungkin juga menyukai