Anda di halaman 1dari 5

Resume Sejarah Bank Indonesia

Tugas Resume untuk Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro

Dosen Pembina : Bapak Barianto Nurasri Sudarmawan, M.E

Disusun oleh :

Jannara Dewaji 210503110123

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2022
SEJARAH BANK INDONESIA

Sejarah awal berdirinya Bank Indonesia dimulai pada abad ke-16. Kedatangan
bangsa Eropa ke Asia Tenggara dengan misi mencari rempah-rempah. Di Nusantara telah
berdiri kerajaan-kerajaan yang telah memiliki mata uangnya sendiri. Selain itu, beredar
pula mata uang asing seperti Picis dari Tiongkok yang mendominasi peredaran uang. Lalu
pada tahun 1602 terjadi Pembentukan maskapai dagang Vereenigde Oost-Indische
Compagnie yang dikenal dengan nama VOC (Persekutuan Dagang Hindia Timur). Pada
awalnya VOC bertujuan ntuk membuka perdagangan di Nusantara sekaligus
menghancurkan dominasi Portugis (namun gagal).
Pada tahun 1746, bank pertama yang berdiri di Nusantara adalah Bank Van
Courant, bank ini memiliki tugas untuk memberikan pinjaman dengan jaminan emas,
perak, perhiasan, dan barang-barang berharga lainnya. Pada tahun 1752, Bank van Courant
disempurnakan menjadi De Bank van Courant en Bank van Leening. Bank ini bertugas
memberikan pinjaman kepada pegawai VOC agar mereka dapat menempatkan dan
memutarkan uang mereka pada lembaga ini. Hal ini dilakukan dengan iming-iming
imbalan bunga. Dan akhirnya pada tahun 1818 Bank Courant en Bank Van Leening di
tutup dikarenakan krisis keuangan.
Pada tahun 1828 didirikanlah De Javasche Bank yang dilatar belakangi oleh
kondisi keuangan di Hindia Belanda memerlukan penertiban dan pengaturan sistem
pembayaran, dalam bentuk lembaga bank. Tepatnya pada 1819 kalangan pengusaha di
Batavia, Hindia Belanda, mendesak agar pemerintah mendirikan lembaga bank. Desakan
ini guna memenuhi kepentingan bisnis mereka.
Lalu pada 9 Desember 1826 Raja Willem 1 menerbitkan menerbitkan Surat Kuasa
kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda, yang isinya perintah untuk membentuk bank
berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu atau Oktroi. Oktroi ini diperpanjang setiap
10 tahun sekali, dan secara keseluruhan DJB sudah melakukan 7 kali masa perpanjangan
oktroi. Oktroi pertama sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837.
Pada tanggal 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard
Pierre Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No 28
tentang Oktroi dari Komisaris Jenderal Hindia, yang mengatur ketentuan DJB. Dengan
Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No 25, pada 24 Januari 1828
ditetapkanlah Akte Pendirian DJB.
DJB diberikan wewenang sebagai bank sirkulasi, sebagai bank sirkulasi DJB
memiliki kewenangan untuk mencetak dan menyedarkan uang Gulden di wilayah Hindia
Belanda. DJB merupakan bank sirkulasi pertama di Asia.
Lalu pada tahun 1830, pemerintah kolonial Belanda melakukan ekspansi ekonomi
guna mengisi kas Negara yang terkuras dikarenakan perang Jawa, Belanda
memberlakukan tanam paksa (cultuurstelsel) di Hindia Belanda, adapun tanaman yang di
tanam seperti tanaman kopi, tebu, dan indigo (nila). DJB digunakan pemerintah kolonial
untuk mendukung kebijakan finansial dari sistem tanam paksa tersebut.
Pada rentang tahun 1829-1870, DJB melaukan ekspansi bisnis dengan membuka
kantor cabang di beberapa kota di Hindia Belanda, di dalam Jawa maupun di luar Jawa:
Semarang (1829), Surabaya (1829), Padang (1864), Makassar (1864), Cirebon (1866),
Solo (1867), dan Pasuruan (1867).
Pada tahun 1870, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan UU Agraria
(Agrarische Wet) yang memperbolehkan pihak swasta menanamkan modalnya pada sektor
bisnis di Hindia Belanda. Hal ini mendorong kebangkitan sektor perkebunan di Hindia
Belanda sehingga menjadi produsen penting komoditas-komoditas perdagangan
internasional di dunia.
Akibat eksploitasi ekonomi besar-besaran oleh Belanda selama penerapan Sistem
Tanam Paksa, muncul gerakan yang disebut sebagai politik balas budi atau yang lebih
dikenal dengan Politik Etis pada tahun 1901.
Rentang tahun 1870-1942, De Javasche Bank membuka 15 kantor cabang di kota-
kota yang dianggap strategis di Hindia Belanda, yaitu: Yogyakarta (1879), Pontianak
(1906), Bengkalis (1907), Medan (1907), Banjarmasin (1907), Tanjungbalai (1908),
Tanjungpura (1908), Bandung (1909), Palembang (1909), Manado (1910), Malang (1916),
Kutaraja (1918), Kediri (1923), Pematang Siantar (1923), Madiun (1928).
Pada 1942 tepatnya pada saat pemerintahan militer Jepang, DJB dilikuidasi. Tugas
DJB sebagai bank sirkulasi di Indonesia kemudian digantikan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko
(NKG) yang bertugas mengedarkan invansion money. Adapun invasion money yang
dicetak di Jepang, terdiri dalam tujuh denominasi yakni dari 1 Gulden hingga 10 Gulden.
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia Belanda berusaha menguasai kembali
Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pada masa ini, NICA
mendirikan kembali DJB untuk mencetak dan mengedarkan uang NICA. Hal ini bertujuan
untuk mengacaukan ekonomi Indonesia.
Sesuai mandat yang tertulis dalam penjelasan UUD 45 pasal 23 yaitu “Berhubung
dengan itu kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran
uang kertas ditetapkan dengan Undang-undang”, maka Pemerintah Republik Indonesia
membentuk bank sirkulasi yaitu Bank Negara Indonesia (BNI). Sebagai upaya
menegakkan kedaulatan ekonomi, BNI menerbitkan uang dengan nama Oeang Republik
Indonesia (ORI) pada tanggal 30 Oktober 1946.
Keberadaan BNI milik RI dan DJB milik NICA membuat terjadinya dualisme bank
sirkulasi di Indonesia dan munculnya peperangan mata uang (currency war). Pada masa
ini, uang DJB yang dikenal dengan sebutan “uang merah” dan ORI dikenal sebagai “uang
putih”.
Pemerintah pada 1951 berniat untuk menasionalisasi DJB. Pada 19 Juni 1951
pemerintah pun membentuk Panitia Nasionalisasi DJB. Kemudian 15 Desember 1951,
diumumkanlah undang-undang No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi DJB.
Nasionalisasi dilaksanakan melalui pembelian 99,4% saham DJB senilai 8,9 juta Gulden.
Pada September 1952 pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Pokok Bank Indonesia ke parlemen dan dipelajari. Pada 10 April 1953 parlemen
menyetujui RUU Pokok Bank Indonesia tersebut. Mei 1953, tepatnya tanggal 29, Presiden
Soekarno mengesahkan RUU Pokok Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (UU). Pada
1 Juli 1953, diberlakukanlah UU Pokok Bank Indonesia sehingga sejak 1 Juli 1953 bangsa
Indonesia memiliki bank sentral dengan nama Bank Indonesia.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno memperkenalkan konsep
Ekonomi Terpimpin. Dalam bidang perbankan, terdapat doktrin “Bank Berdjoang” berupa
penyatuan seluruh bank-bank negara menjadi Bank tunggal dengan nama Bank Negara
Indonesia (BNI) yang pendiriannya lewat Perpres No.17 Tahun 1965. Dalam masa
implementasi “Bank Berdjoang”, Bank Indonesia diubah menjadi BNI Unit I, sedangkan
bank-bank milik pemerintah lainnya dibagi menjadi BNI Unit II-V.
Pada tahun 1968, Pemerintah RI mengeluarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang
Bank Indonesia. Undang-undang ini mengembalikan tugas BI sebagai Bank Sentral
Republik Indonesia dan menghentikan status BI sebagai BNI Unit I.
Salah satu pasal di dalam undang-undang ini juga mengatur bahwa BI tidak lagi
memiliki fungsi menyalurkan kredit komersial, namun berperan sebagai agen
pembangunan dan pemegang kas negara. 
Sementara itu, melalui UU No.21 dan 22 Tahun 1968, bank-bank lainnya yang
tergabung dalam Bank Tunggal berubah kembali menjadi bank pemerintah yang berdiri
sendiri.
Pada tahun 1988, BI mengeluarkan paket kebijakan deregulasi perbankan, dengan
nama Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 yang lebih dikenal sebagai Pakto 88 atau
Pakto 27. 
Kebijakan ini ditujukan untuk mendorong tumbuhnya industri perbankan dengan
mempermudah perizinan dalam pendirian bank baru.
Pada tahun 1997, terjadi krisis moneter Asia krisis ini mendorong BI mengambil
langkah–langkah kebijakan penanggulangan krisis, seperti penerapan kebijakan floating
exchange rate untuk nilai tukar, penutupan bank-bank bermasalah, dan restrukturisasi
bank-bank yang tidak sehat.
Pada tahun 1999, diterbikan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, UU
ini menetapkan BI sebagai bank sentral yang bersifat independen.
UU ini menetapkan tujuan tunggal BI yaitu mencapai dan memelihara kestabilan
nilai Rupiah, dan menghapuskan tujuan sebagai agen pembangunan. Sejak periode ini, BI
menerapkan rezim kebijakan moneter dengan inflation targeting framework. Dalam
framework ITF, kredibilitas BI dinilai dari kemampuannya mencapai sasaran inflasi yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
Lalu pada tahun 2004, DPR mengesahkan UU No. 3 Tahun 2004 tentang
perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. UU ini berisi tentang
penegasan terhadap kedudukan bank sentral yang independen, penyempurnaan pengaturan
tugas dan wewenang, dan penataan fungsi pengawasan BI.
Lalu pada tahun 2009, DPR mengesahkan UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU
No.23/1999 Tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang. UU ini memperjelas dan
mempertegas peran BI dalam fungsinya sebagai lender of the last resort (pinjaman
terakhir).
Pada tahun 2011, DPR mengesahkan UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yang mengalihkan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari
Bank Indonesia ke OJK.
Undang-Undang ini membagi ruang lingkup pengaturan dan pengawasan
mikroprudensial lembaga keuangan sebagai kewenangan OJK, sementara pengaturan dan
pengawasan makroprudensial menjadi tanggung jawab BI dengan sasaran stabilitas sistem
keuangan.

Anda mungkin juga menyukai