Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH BERDIRINYA BI, OJK DAN DSN-MUI

Nama: YULIANA PUTRI

Nim: 2018102291073

Prody: EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL WATHAN SAMAWA

Email: ade.yuliana217@gmail.com

Absrak

Perbankan memiliki peran penting dalam pembangunan khususnya dalam menunjang


pertumbuhan ekonomi negara. Bank adalah salah satu lembaga pembiayaan yang
menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kembali pada masyarakat. salah satunya
adalah Bank Syariah. Bank Syariah adalah bank yang menerapkan sistem perbankan dengan
berlandaskan dengan Syariat islam yaitu Hadist dan Al-Qur'an. Dalam prakteknya perbankan
syariah perlu di awasi agar produk atau kegiatan perbankan yang dilakukan tidak melanggar
aturan hukum dan syariat islam. pengawasan perbankan syariah dilakukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam
melakukan perannya sebagai pengawas perbankan syariah perlu di ketahui Fungsi Pengaturan
Pengawasannya dan Hubungan Hukum antara OJK dan DSN-MUI dalam melakukan
pengawasan Lembaga Perbankan Syariah. Penelitian menggunakan metode Yuridis Normatif
dan Yuridis Empiris. Hasil dari penelitian pengaturan fungsi pengawasan Lembaga
Perbankan Syariah oleh OJK berlandaskan pada Pasal 34 UndangUndang No. 6 Tahun 2009
tentang Bank Indonesia serta Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan dan Dasar Hukum Fungsi pengwasan DSN-MUI pada Pasal
32 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Hubungan
Hukum antara OJK dan DSN-MUI memiliki hubungan kemitraan dimana dalam hal
pengawasan lembaga perbankan syariah OJK melakukan pengawasan eksternal sedangkan
DSN-MUI melalui DPS melakukan pengwasan secara internal.

Kata kunci: sejarah berdirinya BI, OJK, dan DSN-MUI


PENDAHULUAN

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyrakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarkat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Di lihat dari sejarah, bank
indonesia berdiri pada tahun 1960-an dimana pada masa itu bank indonesia di fokuskan
sebagai sarana untuk pemulihan perekonomian yang berkonsentrasi pada pengendalian
inflasi, penerbitan bank swata nasional yang pada saat itu sangat banyak dan lemah serta
memperkuat bank yang ingin melanjutkan kegiatannya, meningkat mobilitas dana masyarakat
guna menopang pembiayaan pembangunan

Indonesia dilanda krisis moneter pada tahun 1998. Krisi tersebut menyebabkan efek
yang besar bagi perekonomian indonesia. Banyak lembaga kkeuangan yang harus gulung
tikar kemudian muncullah gagasan untuk mendirikan sebuah lembaga independen untuk
mengatasi permasalahan tersebut.

Menurut UU pembentukan OJK harus sudah terbentuk pada tahun 2002. Meskipun
sudah berdasarakan kesepakatan dan diamanatkan UU, tapi kenyataanya pada tahun 2002
belum terbentuk juga. Pada tanggal 27 oktober 2011, RUU OJK di sahkan oleh DPR dan
selanjutnya pemerintah mensahkan dan membuat UU tentang OJK yaitu UU no. 21 tahun
2011

DSN adalah singkatan dari dewan syariah nasional. DSN merupakan lembaga yang
dibentuk oleh majelis ulama indonesia(MUI) pada tahun 1998 yang kemudian di kukuhkan
oleh surat keputusan (SK). Dewan pemimpin MUI nomor kep.754/II/1999 di fngsikan untuk
mendorong penerapan ajaran islan dalam kehidupan ekonomi DSN-MUI bertugas
mengeluarkan fatwa atas produk-produk keuangan shar’ah, mengingat akan pentingnya
peran dewan pengawas syariah(DPS) di lembaga-lembaga tersebut. Pendirian tersebut
merupakan langkah koordinasi para ulama Dalam menghadapi kasus-kasus ekonomi atau
keuangab agar lebih efektif dan efisien.
PEMBAHASAN

A. Sejarah berdirinya bank indonesia (BI)

Asal mula Bank Indonesia adalah De Javasche Bank (DJB) yang didirikan pada 1828.
Pada abad ke-15, ramainya perdagangan di kawasan Asia menjadi daya tarik tersendiri.
Ramainya perdagangan tersebut kemudian menghadirkan ekspedisi perdagangan bangsa
Eropa di Nusantara. Pada 1746, untuk permudah perdagangan VOC di Nusantara (nama
Indonesia saat itu) didirikanlah De Bank van Leening. Kemudian pada 1752, De Bank van
Leening berubah menjadi De Bank Courant en Bank van Leening yang merupakan bank
pertama yang beroperasi di Nusantara. Di Pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles, mata
uang Rijksdaalder diganti menjadi Real Spanyol. Lalu pada 1813 Real Spanyol menjadi
Ropij Jawa. Pada periode 1815-1819, kondisi keuangan di Hindia Belanda memerlukan
penertiban dan pengaturan sistem pembayaran, dalam bentuk lembaga bank. Tepatnya pada
1819, kalangan pengusaha di Batavia, Hindia Belanda, mendesak agar pemerintahan
mendirikan lembaga bank. Desakan didirikannya lembaga bank oleh pengusaha di Batavia
tersebut guna memenuhi kepentingan bisnis mereka.

Lalu pada 9 Desember 1826 Raja Willem I menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris
Jenderal Hindia Belanda, yang isinya perintah untuk membentuk bank berdasarkan
wewenang khusus berjangka waktu atau Oktroi. Atas dasar Surat Kuasa Raja Willem I
tersebut Pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan berdirinya De Javasche Bank.

Setahun kemudian, tepatnya pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda
Leonard Pierre Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No 28
tentang Oktroi dari Komisaris Jenderal Hindia, yang mengatur ketentuan DJB. Dengan Surat
Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No 25, pada 24 Januari 1828 ditetapkanlah
Akte Pendirian DJB.

Oktroi DJB pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember
1837. Setelah diberlakukan, pada 11 Maret 1828, DJB mencetak uang kertas pertama kali
senilai ƒ 1. 120.000,- dengan pecahan uang kertas ƒ 1000, ƒ 500, ƒ 300, ƒ 200, ƒ100, ƒ 50,
dan ƒ 25. Tahun kedua, DJB mulai buka kantor cabang di luar Batavia, yaitu Semarang dan
Surabaya. Oktroi pertama ini lalu diperpanjang hingga 31 Maret 1838. Periode Oktroi
keempat, didirikan lima kantor cabang di Jawa maupun luar Jawa yaitu Padang, Makasar,
Cirebon, Solo dan Pasuruan. Menjelang berakhirnya Oktroi kelima, dibukalah Kantor Cabang
DJB Yogyakarta. Pada periode Oktroi keenam, di usianya yang 52 tahun, DJB melakukan
pembaruan dasar pendiriannya dengan Akte Pendirian di hadapan Notaris Derk Bodde, di
Jakarta pada 22 Maret 1881. Dalam akte baru tersebut, DJB mengubah statusnya menjadi
Naamlooze Vennootschap (N.V.). Dengan perubahan Akte tersebut NV.DJB dianggap
sebagai perusahaan baru. Masih di periode Oktroi keenam, pada 31 Maret 1890 terjadilah
penutupan Kantor Cabang DJB

Pasuruan, lantaran selalu merugi. Periode Oktroi kedelapan adalah Oktroi DJB terakhir,
yang berakhir pada 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang sampai 31 Maret 1922. Usai
Oktroi kedelapan, berlaku De Javasche Bankwet (DJB Wet) dengan ketentuan barunya.
Ketentuan baru DJB Wet menitikberatkan di bidang sistem pembayaran di Hindia Belanda.
Pada periode DJB Wet tersebut, terjadi perkembangan yang pesat, dengan lahirnya 16 Kantor
Cabang. Menjelang kedatangan Jepang di Pulau Jawa pada 1942, DJB Wet memindahkan
asetnya keluar Nusantara. Presiden DJB Wet Dr. G.G. van Buttingha Wichers memindahkan
semua cadangan emas ke Australia dan Afrika Selatan. Setelah Jepang masuk Nusantara,
pimpinan tentara Jepang untuk Pulau Jawa di Jakarta memerintahkan likuidasi seluruh bank
Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina.

Selama 1942-1944, untuk bank sirkulasi di pulau Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu
Ginko yang bertugas mengedarkan invansion money. Adapun invasion money yang dicetak
di Jepang, terdiri dalam tujuh denominasi yakni dari 1 Gulden hingga 10 Gulden. Namun
sebelumnya, pada 1945 pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, negara terbelah
menjadi dua pemerintahan, yakni Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA) dan
Republik Indonesia. NICA menugaskan De Javasche Bank mengambil alih peran Nanpo
Kaihatsu Ginko. Tugas DJB saat itu adalah sebagai bank sirkulasi. Pada 19 Oktober 1945,
wilayah yang dikuasai Republik Indonesia membentuk Jajasan Poesat Bank Indonesia
(Yayasan Bank Indonesia).

Poesat Bank Indonesia pada 1946 melebur dalam Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai
bank sirkulasi. Dan akhirnya pada 30 Oktober 1946, Oeang Repoeblik Indonesia (ORI)
diterbitkan pertama kali. Dengan keluarnya ORI ini, uang Jepang serta uang Belanda
dinyatakan tidak lagi berlaku. Pemerintah pada 1951 berniat untuk menasionalisasi DJB.
Pada 19 Juni 1951 pemerintah pun membentuk Panitia Nasionalisasi DJB. Kemudian 15
Desember 1951, diumumkanlah undang-undang No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi
DJB. Nasionalisasi dilaksanakan melalui pembelian 99,4% saham DJB senilai 8,9 juta
Gulden. Pada September 1952 pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Pokok Bank Indonesia ke parlemen dan dipelajari. Pada 10 April 1953 parlemen menyetujui
RUU Pokok Bank Indonesia tersebut. Mei 1953, tepatnya tanggal 29, Presiden Soekarno
mengesahkan RUU Pokok Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (UU). Pada 1 Juli 1953,
diberlakukanlah UU Pokok Bank Indonesia sehingga sejak 1 Juli 1953 bangsa Indonesia
memiliki bank sentral dengan nama Bank Indonesia.

Visi dan Misi Bank Indonesia

Visi Bank Indonesia adalah menjadi lembaga bank sentral yang dapat dipercaya
(kredibel) secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang
dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil.

Misi Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui
pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk
pembangunan nasional jangka panjang yang berkesinambungan.1

B. Sejarah berdirinya otoritas jasa keuangan (OJK)

1. Sejarah Terbentuknya OJK

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan
undang-undang nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan
dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan baik disektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-perbankan
seperti asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Secara lebih lengkap OJK adalah lembaga independen dan bebas dari campur tangan
pihak lain yang mempunyai fungsi,tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nomor 21 tahun
2011 tersebut.

Tugas pengawasan industri keuangan non-bank dan pasar modal secara resmi beralih
dari Kementrian Keuangan dan Bapepam-LK ke OJK pada 31 Desember 2012. Sedangkan

1
Andika Hendra Mustaqim, “Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Solusi Sistem Ekonomi Nasional”, (Jakarta: Graha
Ilmu, 2010), hlm. 121.
pengawasan disektor perbankan beralih ke OJK pada 31 Desember 2013 dan Lembaga
Keuangan Mikro pada 2015.

2. Tujuan Pembentukan OJK

Pada pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011 menyebutkan bahwa OJK dibentuk dengan
tujuan agar keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur,
adil,transparan, Akuntabel dan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil, serta melindungi kepentingan konsumen maupun masyarakat.

Dengan pembentukan OJK, maka lembaga ini diharapkan dapat mendukung


kepentingan sektor jasa keuangan secara menyeluruh sehingga meningkatkan daya saing
perekonomian. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional. Antara lain
meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan disektor jasa
keuangan dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi, OJK dibentuk dan
dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi,
akuntabilitas, pertanggungjawaban, tranparansi dan kewajaran (Fairness)

3. Visi dan Misi OJK

a. Visi OJK adalah menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya,
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dan mampu mewujudkan industri jasa
keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat
mewujudkan kesejahteraan umum.

b. Misi OJK adalah mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan didalam sektor jasa
keuangan secara teratur, adil, transparan dan akuntabel; mewujudkan sistem keuangan yang
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat.

C. Sejarah berdirinya dewan syariah nasional (DSN)-majelis ulama indonesia(MUI)

Seiring dengan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, Majelis Ulama


Indonesia mengadakan tim rapat Pembentukan Dewan Syariah Nasional (DSN) pada tanggal
14 Oktober 1997. Lokakarya ulama tentang Reksadana Syariah yang diselenggarakan MUI
pusat pada tanggal 29-30 Juli 1997 di Jakarta merekomendasikan perlunya sebuah lembaga
yang menangani masalah- masalah yang berhubungan dengan aktivitas Lembaga Keuangan
Syariah (LKS). Pada tahun 1999 MUI membentuk DSN dengan menerbitkan SK MUI No.
Kep- 754/MUI/II/99 tentang pembentukan Dewan Syariah Nasional. Salah satu tugas Dewan
Syariah Nasional adalah mengeluarkan fatwa tentang produk dan jasa keuangan syariah. MUI
memiliki tiga perangkat, yaitu satu komisi dan dualembaga yang terkait dengan pembuatan
dan penetapan fatwa, yakni komisi fatwa Lembaga Pengkajian Pangan, Obat- obatan,
Minuman dan Kosmetika (LP-POM),
dan Dewan Syariah Nasional (DSN).
Pembentukan DSN-MUI merupakan langkah efisiensi dan koordinasi para ulama
dalam menanggapi isu- isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan. Berbagai
masalah/ kasus yang memerlukan fatwa akan ditampung dan dibahas bersama agar diperoleh
kesamaan pandangan dalam penangannya oleh masing- masing Dewan Pengawas Syariah
(DPS) yang ada di lembaga keuangan syariah. Selain itu DSN-MUI juga untuk mendorong
penerapan ajaran Islam
dalam kehidupan ekonomi dan keuangan, DSN-MUI akan senantiasa dan berperan secara
proaktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam bidang
ekonomi dan keuangan.
Pihak- pihak yang meminta fatwa adalah (mustafti) adalah LKS dan pemerintah.
Lembaga Keuangan Syariah mengajukan fatwa kepada DSN untuk pelaksanaan kegiatan
usahanya yang akan dilakukan, sedangkan pemerintahan mengajukan fatwa dalam rangka
pembuatan peraturan perundang-undangan yang akan diberlakukan. Pada prinsipnya,
penerbitan fatwa DSN didasarkan permintaan atau pertanyaan mustasfi meskipun tidak semua
identitas mustasfi dicantumkan dalam fatwa DSN. Adapula fatwa DSN yang tidak diminta
oleh mustasfi, mempertimbangkan perlu adanya fatwa tersebut terkait dengan fatwa DSN
yang tidak diminta oleh mustasfi.
Proses internalisasi normative-religius mendesak pembentukan hokum (fatwa) di
bidang ekonom syariah untuk melaksanakan kegiatan ekonomi syariah yang tidak pernah
dilakukan sebelumnya. Pembentukan hukum di bidang ekonomi syariah menimbulkan proses
pengalihan dari nilai kegiatan ekonomi konvensional ke nilai kegiatan ekonomi syariah.
Selain itu, fatwa yang diminta oleh mustasfi adalah fatwa atas suatu peristiwa yang belum
terjadi. Fatwa ini berfungsi untuk kegiatan ekonomi syariah yang akan dilaksanakan. Tanpa
adanya fatwa, kegiatan ekonomi syariah tidak dapat dilaksanakan.
B. Peran dan Kewenangan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI)
Pada tahun 2000, lampiran II dari SK MUI No. Kep-754/MUI/II/99 tentang
Pembentukan Dewan Syariah Nasional dijadikan pedoman dasar Dewan Syariah Nasional
melalui Keputusan DSN-MUI No. 01 Tahun 2000, bahwa tugas dari DSN adalah sebagai
berikut:
a. Menumbuh kembangkan penerapan nilai- nilai syariah dalam kegiatan perekonomian
pada umumnya dan keuangan pada khususnya;
b. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan;
c. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syari’ah;
d. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Keberadaan DPS telah hadir terlebih dahulu dari DSN, tidak ditinggalkan dalam
mekanisme pelaksanaan tugas- tugas DSN. Dewan Syariah Nasional tetap memerlukan DPS
dalam melakukan pengawasan pelaksanaan syari’ah pada masing- masing LKS. Untuk itu,
DSN memiliki kewenangan berikut ini dalam rangka menjalankan tugas yang telah diberikan
kepadanya sebagaimana diatur dalam Keputusan DSN-MUI No.01 Tahun 2000, yaitu:
a. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di masingmasing
Lembaga Keuangan Syariah dan menjadi dasar tindakan hokum pihak terkait.
b. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank
Indonesia.
c. Memberikan rekomendasi dan/ atau mencabut rekomendasi nama- nama yang akan
duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah.
d. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam
pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam
maupun luar negeri.
e. Memberikan peringatan kepada Lembaga Keuangan Syariah untuk menghentikan
penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional
f. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila
peringatan tidak diindahkan.
C. Mekanisme Kerja DSN, BPH dan DPS
Berdasarkan keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 01
Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia,
mekanisme kerja DSN, BPH dan DPS adalah sebagai berikut:2
1. Dewan Syariah Nasional (DSN)
a. Dewan Syariah Nasional mensyahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan
Pelaksana Harian DSN
b. Dewan Syariah Nasiona melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga bulan
atau bilamana diperlukan
c. Setiap tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan
(annual report) bahwa lembaga keuangan syariah yang bersangkutan telah/ tidak
memenuhi segenap ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional
2. Badan Pelaksana Harian (BPH)
a. Badan Pelaksana Harian menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai suatu
produk lembaga keuangan syariah. Usulan ataupun pertanyaan ditujukan kepada
sekretariat Badan Pelaksana Harian.
b. Sekretariat yang dipimpin oleh sekretaris paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah
menerima usulan/ pertanyaan harus menyampaikan permasalahan kepada ketua.
c. Ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota dan staf ahli selambat-lambatnya 20
hari kerja harus membuat memorandum khusus yang terisi telah dan pembahasan
terhadap suatu pertanyaan/ usulan.
d. Ketua Badan Pelaksana Harian selanjutnya membawa hasil pembahasan ke dalam
Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional untuk mendapat pengesahan.
e. Fatwa dan memorandum Dewan Syariah Nasional ditandatangani oleh Ketua dan
Sekretaris Dewan Syariah Nasional.
3. Dewan Pengawas Syariah (DPS)
a. Dewan Pengawas Syariah melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga
keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya.
b. Dewan Pengawas Syariah berkewajiban mengajukan usul- usul pengembangan
Lembaga Keuangan Syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan
kepada Dewan Syariah Nasional.

2
Andika Hendra Mustaqim, “Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Solusi Sistem Ekonomi Nasional”, (Jakarta: Graha
Ilmu, 2010), hlm. 121.
c. Dewan Pengawas Syariah melaporkan perkembangan produk dan operasional
lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah Nasional
sekurang- kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran.
d. Dewan Pengawas Syariah merumuskan permasalahan- permasalahan yang
memerlukan pembahasan Dewan Syariah Nasional.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Asal mula Bank Indonesia adalah De Javasche Bank yang didirikan pada 1828. Pada abad
ke-15, ramainya perdagangan di kawasan Asia menjadi daya tarik tersendiri. Pada
1746, untuk permudah perdagangan VOC di Nusantara didirikanlah De Bank van
Leening. Kemudian pada 1752, De Bank van Leening berubah menjadi De Bank Courant en
Bank van Leening yang merupakan bank pertama yang beroperasi di Nusantara.
Lalu pada 1813 Real Spanyol menjadi Ropij Jawa. Pada periode 1815-1819, kondisi
keuangan di Hindia Belanda memerlukan penertiban dan pengaturan sistem
pembayaran, dalam bentuk lembaga bank. Tepatnya pada 1819, kalangan pengusaha di
Batavia, Hindia Belanda, mendesak agar pemerintahan mendirikan lembaga bank. Lalu pada
9 Desember 1826 Raja Willem I menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia
Belanda, yang isinya perintah untuk membentuk bank berdasarkan wewenang khusus
berjangka waktu atau Oktroi.

Setahun kemudian, tepatnya pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda


Leonard Pierre Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No 28
tentang Oktroi dari Komisaris Jenderal Hindia, yang mengatur ketentuan DJB. Dengan Surat
Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No 25, pada 24 Januari 1828 ditetapkanlah
Akte Pendirian DJB. Setelah diberlakukan, pada 11 Maret 1828, DJB mencetak uang kertas
pertama kali senilai ƒ 1. Pada periode Oktroi keenam, di usianya yang 52 tahun, DJB
melakukan pembaruan dasar pendiriannya dengan Akte Pendirian di hadapan Notaris Derk
Bodde, di Jakarta pada 22 Maret 1881.

Periode Oktroi kedelapan adalah Oktroi DJB terakhir, yang berakhir pada 31 Maret 1921
dan hanya diperpanjang sampai 31 Maret 1922. Pada periode DJB Wet tersebut, terjadi
perkembangan yang pesat, dengan lahirnya 16 Kantor Cabang. Menjelang kedatangan Jepang
di Pulau Jawa pada 1942, DJB Wet memindahkan asetnya keluar Nusantara. Selama 1942-
1944, untuk bank sirkulasi di pulau Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang bertugas
mengedarkan invansion money.

Adapun invasion money yang dicetak di Jepang, terdiri dalam tujuh denominasi yakni
dari 1 Gulden hingga 10 Gulden. Namun sebelumnya, pada 1945 pasca Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia, negara terbelah menjadi dua pemerintahan, yakni
Nederlandsche Indische Civil Administrative dan Republik Indonesia. Pada 19 Oktober
1945, wilayah yang dikuasai Republik Indonesia membentuk Jajasan Poesat Bank
Indonesia . Poesat Bank Indonesia pada 1946 melebur dalam Bank Negara Indonesia sebagai
bank sirkulasi.

Dan akhirnya pada 30 Oktober 1946, Oeang Repoeblik Indonesia diterbitkan pertama


kali. Pemerintah pada 1951 berniat untuk menasionalisasi DJB. Pada 19 Juni 1951
pemerintah pun membentuk Panitia Nasionalisasi DJB. Pada September 1952 pemerintah
mengajukan Rancangan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia ke parlemen dan dipelajari.
Pada 10 April 1953 parlemen menyetujui RUU Pokok Bank Indonesia tersebut. Pada 1 Juli
1953, diberlakukanlah UU Pokok Bank Indonesia sehingga sejak 1 Juli 1953 bangsa
Indonesia memiliki bank sentral dengan nama Bank Indonesia.

Dewan Syariah Nasional mensyahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan
Pelaksana Harian DSN b. Sekretariat yang dipimpin oleh sekretaris paling lambat 1 hari kerja
setelah menerima usulan/ pertanyaan harus menyampaikan permasalahan kepada
ketua. Ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota dan staf ahli selambat-lambatnya 20
hari kerja harus membuat memorandum khusus yang terisi telah dan pembahasan terhadap
suatu pertanyaan/ usulan. Dewan Pengawas Syariah melakukan pengawasan secara periodik
pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya.

Dewan Pengawas Syariah berkewajiban mengajukan usul- usul pengembangan Lembaga


Keuangan Syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada Dewan Syariah
Nasional. Dewan Pengawas Syariah melaporkan perkembangan produk dan operasional
lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah Nasional sekurang-
kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran. Dewan Pengawas Syariah merumuskan
permasalahan- permasalahan yang memerlukan pembahasan Dewan Syariah Nasional.
Daftar putaka

Andika Hendra Mustaqim, “Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Solusi Sistem Ekonomi
Nasional”, (Jakarta: Graha Ilmu, 2010)
Andika Hendra Mustaqim, “Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Solusi Sistem Ekonomi
Nasional”, (Jakarta: Graha Ilmu, 2010)

Anda mungkin juga menyukai