Anda di halaman 1dari 6

Nama : Wildan Sadad Muzaki

Kelas : XII RPL2


Mapel : PKN

LAPORANT ANALISIS KASUS KORUPUSI BANTUAN LIKUITIDAS BANK


INDOENSIA (BLBI)

Kronologi Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

Berawal dari krisis ekonomi yang menerpa negara-negara di Asia tahun 1997. Satu per satu mata uang
negara-negara di Asia merosot nilainya. Kemajuan perekonomian negara-negara di Asia yang banyak
dipuji oleh banyak pihak sebelumnya menjadi angin kosong belaka. Persis sebelum krisis ekonomi,
World Bank tahun 1997 menerbitkan laporan berjudul The Asian Miracle yang menunjukkan kisah
sukses pembangunan di Asia. Ternyata kesuksesan pembangunan ekonomi di negara-negara Asia
tersebut tidak berarti banyak karena pada kenyataannya negara-negara tersebut tidak berdaya
menghadapi spekulan mata uang yang tinggi dan berujung pada krisis ekonomi.
Menyusul jatuhnya mata uang Baht, Thailand, nilai rupiah ikut merosot. Untuk mengatasi pelemahan
rupiah, Bank Indonesia kemudian memperluas rentang intervensi kurs jual dan kurs beli rupiah, dari
Rp. 192 (8%), menjadi Rp. 304 (12%). Guna mengurangi tekanan terhadap rupiah, Bank Indonesia
mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
dari 6% menjadi 14%. Akibat kondisi ini bank-bank umum kemudian meminta bantuan BI sebagai
lender of the last resort . Ini merujuk pada kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank
dalam situasi darurat. Dana talangan yang dikucurkan oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI . Sesehat
apa pun sebuah bank, apabila uang dari masyarakat ditarik serentak tentu tidak akan sanggup
memenuhinya.
Penyimpangan BLBI dimulai ketika BI memberikan dispensasi kepada bank-bank umum untuk
mengikuti kliring meskipun rekening gironya di BI bersaldo debet. Dispensasi diberikan kepada
semua bank tanpa melakukan pre-audit untuk mengetahui apakah bank tersebut benar-benar
membutuhkan bantuan likuiditas dan kondisinya sehat. Akibatnya, banyak bank yang tidak mampu
mengembalikan BLBI.Penyimpangan BLBI dapat dianggap sebuah lembaran hitam dalam kehidupan
perbankan nasional. Sementara penanganan terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI tersebut dapat
pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam dalam sejarah kehidupan hukum Indonesia. Bekas
Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran
BLBI.
Orang-orang yang yang terlibat dan bertanggung jawab dalam kasus BLBI
1. Soedradjad Djiwandono (Mantan Gubernur BI)
2. Semua pemilik Bank penerima dana BLBI

Penyelesaian yang telah dilakukan


Audit oleh BPK

Tanggal 31 Desember 1999, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengeluarkan laporan audit
kinerja pada Bank Indonesia per 17 Mei 1999. Dalam laporan tersebut BPK mengungkapkan jumlah
BLBI yang telah disalurkan oleh BI kepada bank penerima telah mencapai jumlah Rp. 164.536,10
miliar dan jumlah BLBI yang tidak layak dialihkan kepada pemerintah sebesar Rp. 80,24
triliun.Pengalihan hak tagih BLBI dari BI terhadap bank umum penerima kepada pemerintah
merupakan tindak lanjut dari pengalihan 54 Bank dalam Penyehatan dari BI ke BPPN pada Maret
1998 dan pelaksanaan program penjaminan pemerintah yang dicanangkan melalui persetujuan
bersama Gubernur BI dan Menteri Keuangan pada tanggal 6 Februari 1999.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan pada Agustus 2008 menunjukkan, sebanyak Rp 138 triliun dari
dana itu atau sekitar 96 persennya ternyata diselewengkan pemilik bank untuk kepentingan sendiri.
Sepuluh tahun sejak kasus ini mencuat, pemerintah dinilai tak serius menyelesaikannya. Banyak
pemilik bank atau obligor melarikan diri ke luar negeri. Sebagian penunggak dana BLBI lolos
kewajiban melunasi utang saat pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002
yang memungkinkan lepasnya tuntutan dan pembebasan terhadap mereka. Peraturan ini diterbitkan di
masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri-Hamzah Haz.
Hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan.
Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus. Bahkan, pada era pemerintahan
SBY-JK, tidak ada satu orang terdakwa pun yang diajukan ke pengadilan. Tuntutan untuk mengusut
kasus BLBI memang selalu muncul mewarnai pergantian pemerintahan hingga pergantian jaksa
agung baru. Namun, tindak lanjut pengungkapan kasus itu tak ada kemajuan yang berarti.

Audit oleh BPKP

Audit investigasi juga dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). BPK
melakukan audit terhadap seluruh penyaluran BLBI dari BI kepada 48 bank penerima dan audit
investigasi terhadap penggunaan BLBI pada 5 Bank Take Over dan 15 Bank dalam likuidasi.
Sedangkan BPKP melakukan audit investigasi penggunaan BLBI pada 10 Bank Beku Operasi dan 18
Bank Beku Kegiatan Usaha.
Menteri Keuangan Bambang Sudibyo meminta BPKP melakukan audit investigasi berkoordinasi
dengan BPK Untuk mengetahui berbagai penyimpangan dalam kasus BLBI baik yang dilakukan oleh
BI maupun bank penerima BLBI. BPKP melakukan audit terhadap Bank Beku Operasi (BBO) dan
Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Sedangkan BPK melakukan audit investigasi terhadap Bank
Dalam Likuidasi (BDL) dan Bank Take Over (BTO).
Dalam laporannya, BPKP menyebutkan bahwa kerugian negara disebabkan oleh peranan BI yang
belum melakukan pengawasan sebagaimana mestinya, belum menerapkan sanksi terhadap
pelanggaran yang terjadi, dan lalai melakukan pengamanan terhadap bank yang laporannya ada
indikasi pelanggaran. Selain itu BPKP juga menganggap tidak adanya pengendalian yang memadai
oleh BI terhadap penggunaan dana BLBI oleh para obligor sebagai faktor yang turut memperkeruh
penanganan kasus ini.
Pernyataan tersebut kemudian disangkal oleh Gubernur BI Syahril Sabirin yang menyatakan bahwa
BLBI yang diberikan BI merupakan konsekuensi dari pelaksanaan pemerintah sebagai lender of the
last resort di bidang perbankan. Jika tidak, ekonomi sudah hancur dan ambruk.
Selain itu, BPKP juga menemukan sejumlah penyimpangan dalam penggunaan BLBI pada bank
penerima, seperti digunakan untuk pembayaran pinjaman subordinasi sebelum tahun 1997,
pembayaran kontrak derivatif baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo,
Penempatan baru di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) atau pelunasannya yang tidak sesuai ketentuan,
dan Membiayai over head Bank. Bila dilakukan perhitungan penyimpangan yang dilakukan oleh bank
penerima berjumlah Rp. 54,561 Milyar.
Syahril Sabirin beranggapan BLBI itu seperti ongkos yang harus ditanggung sebagai bagian untuk
penyelamatan ekonomi. Dalam kesempatan itu, Gubernur BI juga menyampaikan bahwa jumlah
BLBI yang sudah dikucurkan sampai pada posisi 29 Januari 1999 adalah Rp. 164,54 triliun. Dari
jumlah tersebut, Rp. 144,54 triliun sudah dialihkan kepada pemerintah lewat BPPN. Sementara Rp. 20
triliun tidak dapat dialihkan ke BPPN karena merupakan penyertaan modal pemerintah lewat Bank
Exim.

Analisis Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

BLBI pada hakikatnya adalah sebuah fasilitas yang secara khusus diberikan oleh Bank Indonesia
kepada pihak perbankan nasional untuk menanggulangi masalah kesulitan likuiditas yang
dihadapinya. Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa kebijakan itu ditempuh adalah untuk tujuan
menyelamatkan dunia perbankan nasional dari kehancuran yang dipastikan akan berimplikasi
terhadap perekonomian nasional. Akan tetapi persoalannya kemudian adalah, tujuan yang baik itu
ternyata telah disalahgunakan oleh sebagian penerima fasilitas untuk memperkaya diri. Artinya,
bantuan likuiditas itu tidak digunakan sesuai dengan maksud dikeluarkannya kebijakan tersebut.
Akibatnya terjadi kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar.

Bantuan likuiditas dalam berbagai bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank penerima, pada
awalnya adalah sesuatu yang berada dalam lapangan hukum keperdataan, karena para pihak dilandasi
oleh adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau kontrak sebagai kreditur dan debitur.
Berdasarkan verifikasi terhadap data hasil olahan pengawas bank penerima BLBI, ditemui oleh BPK
dan BPKP adanya indikasi penyalahgunaan BLBI oleh bank penerima. Menurut tujuannya, dana
BLBI itu hanyalah untuk dana pihak ketiga (masyarakat), namun pada kenyataannya juga digunakan
untuk membayar kembali transaksi bank yang tidak layak dibiayai oleh dana BLBI.

Oleh karena adanya penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank penerima,
yang kemudian ternyata merugikan keuangan negara, maka persoalannya tentu tidak lagi hanya
sekedar kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan ketentuan hukum keperdataan. Artinya
masalah BLBI telah berkembang menjadi perkara pidana. Penyalahgunaan dana BLBI yang
menimbulkan kerugian keuangan negara itu, telah cukup memenuhi rumusan hukum pidana
berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1971 jo UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, untuk membawa kasus kasus
BLBI itu ke dalam proses peradilan untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Meskipun demikian, kita tentu tidak boleh men-generalisasi semua kasus BLBI sebagai perbuatan
melawan hukum dalam konteks hukum pidana. Tentu ada kasus-kasus yang memang terjadi semata
mata karena sesuatu yang mesti diselesaikan melalui jalur hukum keperdataan. Ada beberapa bentuk
perilaku menyimpang dalam kaitannya dengan BLBI yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak
pidana, di antaranya:
1. pemberian BLBI dilakukan kepada pihak yang tidak pantas menerimanya.
2. konspirasi antara oknum Bank Indonesia dengan bank penerima BLBI.
3. pemberian BLBI melebihi jumlah yang sepantasnya.
4. penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI.

Di samping itu, studi hukum yang dilakukan Satgas BLBI telah mengidentifikasi bentuk-bentuk
penyimpangan penggunaan BLBI, antara lain: Penggunaan dana BLBI oleh penerima secara
menyimpang, seperti digunakan untuk keperluan pembelian devisa dan memindahkan asset ke luar
negeri, membawanya ke pasar uang atau digunakan untuk operasionalisasi bank, serta untuk
membayar pinjaman kepada kelompok sendiri (group perusahaan penerima BLBI). Studi hukum

1. membayar atau melunasi kewajiban kepada pihak terafiliasi.


2. membayar atau melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan.
3. membiayai kontrak derivatif baru atau kerugiaan karena kontrak derivative lama jatuh tempo.
4. membiayai penempatan baru di pasar uang antar bank (PUAB), atau pelunasan kewajiban yang
timbul dari transaksi PUAB.
5. membiayai ekspansi kredit atau merelasasikan kelonggaran tarik dari komitmen kredit yang sudah
ada.
6. bentuk-bentuk penyimpangan lainnya seperti :
a. pembayaran kepada pihak ketiga yang masih mempunyai kewajiban kepada bank.
b. penarikan dana tunai dari giro bank di BI yang penggunaannya tidak jelas.
c. pelunasan kewajiban antar bank, dan sebagainya.

Penyimpangan-penyimpangan tersebut dilakukan dengan berbagai cara dan modus operandi yang
pada prinsipnya tidak sesuai dengan penggunaan dana BLBI yang seharusnya dilakukan. Bertolak dari
adanya penyimpangan dalam berbagai bentuk dan modus operandi yang merugikan keuangan negara,
maka penyelesaian terhadap kasus-kasus BLBI mesti ditanggapi dengan menggunakan ketentuan-
ketentuan hukum pidana.

Dalam soal penanganan terhadap kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI, kalangan hukum
cenderung pula memperdebatkan aturan-aturan hukum pidana yang mesti digunakan. Masalahnya
terletak pada penerapan ketentuan pidana yang ada dalam UU Nomor 10 tahun 1998 tentang
Perubahan UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan atau ketentuan pidana dalam UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, sejauhmana dan dalam hal-hal apa sajakah
ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang korupsi dapat diimplementasikan terhadap pelanggaran
atau penyalahgunaan dana BLBI.

Pembuat UU Perbankan telah merumuskan berbagai kategori perbuatan yang dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana perbankan. Perbuatan-perbuatan tersebut meliputi:
1. tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan perizinan.
2. tindak pidana perbankan di bidang rahasia bank.
3. tindak pidana perbankan di bidang pengawasan.
4. tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan kegiatan usaha bank (kolusi
managemen).
5. tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pihak terafiliasi.

Dilihat dari rumusan delik yang ada dalam UU Perbankan, tidak ada satu rumusanpun yang dapat
digunakan untuk menjangkau pelaku penyalahgunaan dana BLBI. Oleh karena itu kasus-kasus BLBI
yang mengandung indikasi kriminal mesti ditanggapi dengan menggunakan ketentuan UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penaganan terhadap kasus-kasus penyimpangan dana BLBI yang dilakukan oleh pemerintah, kepada
bangsa ini telah dipertontonkan adanya kontradiksi antara keinginan untuk menegakkan supremasi
hukum pada satu sisi dengan realitas tentang betapa hukum (khususnya hukum pidana) telah
dikorbankan untuk memenuhi kebijakan pemulihan ekonomi pada sisi yang lain. Dengan alasan untuk
menyelamatkan keuangan negara dari para pelaku ekonomi yang nakal, maka perbuatan perbuatan
yang dalam perspektif hukum pidana telah memenuhi unsur delik, ternyata hanya diselesaikan dengan
cara-cara yang justru semakin menjauh dari cita-cita penegakan supremasi hukum.

Kebijakan pemberian melepaskan dan membebaskan (release and discharge), bagi para debitur nakal
yang melakukan penyimpangan dana BLBI secara besar-besaran sebagaimana dituangkan dalam
Inpres Nomor 8 tahun 2002 telah memperlemah daya laku hukum pidana untuk menyeret para pelaku
ke dalam proses peradilan pidana. Oleh karena itu, kebijakan yang tertuang dalam Master Settlement
and Acquisition Agreement (MSAA) tersebut dapat dinilai sebagai sesuatu yang kontradiktif dalam
penegakan supremasi hukum.
Di samping itu, kebijakan tersebut juga telah memperagakan adanya diskriminasi dalam penegakan
hukum pidana di bidang perbankan. Betapa tidak, dengan kebijakan release and discharge,
pelanggaran-pelanggaran hukum pidana dalam kaitannya dengan pemberian BLBI dapat di
kesampingkan manakala penerima BLBI bersikap koperatif dalam pengembalian utangnya. Artinya,
para pelaku penyimpangan dana BLBI yang secara faktual telah memenuhi rumusan hukum pidana
dibebaskan dari kemungkinan adanya tuntutan pidana atas pelanggaran-pelanggaran hukum pidana
yang telah dilakukannya apabila yang bersangkutan melunasi utangnya. Hal tersebut tertuang dalam
salah satu butir Inpres Nomor 8 tahun 2002 yang menginstruksikan agar obligor yang telah membayar
utangnya secara tunai sebesar minimum 30% dan bersedia membayar sisanya dengan sertifikat bukti
kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), diberikan surat keterangan lunas (SKL).
Dengan SKL tersebut mereka yang telah diperiksa dalam proses penyidikan akan diberikan surat
penghentian penyidikan perkara (SP3), dan mereka yang tengah diproses di pengadilan dapat
dibebaskan dengan menjadikan SKL sebagai novum atau bukti baru.

Pemberian pembebasan dari tuntutan pidana seperti itu adalah tidak logis dan tidak dikenal dalam
ajaran hukum pidana. Hukum pidana hanya mengajarkan, bahwa pengembalian kerugian keuangan
negara (dalam hal ini adalah kerugian sebagai akibat penyimpangan dana BLBI) tidak menghapuskan
sifat melawan hukumnya perbuatan. Hal ini bahkan sudah mendapat tempat dalam kebijakan
perundang-undangan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 4 UU Nomor 31 tahun 1999 yang
berbunyi: pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Jadi sekalipun
utang yang timbul dari BLBI dilunasi oleh penerimanya, namun tidak dapat mengakibatkan
dihapuskannya tuntutan pidana apabila dalam penyaluran dan penerimaan BLBI itu terdapat
penyimpangan-penyimpangan yang mengandung indikasi kriminal. Oleh karena itu, kalau kita ingin
konsisten dengan penegakan supremasi hukum, maka penyimpangan-penyimpangan yang
mengandung indikasi kriminal dalam praktek perbankan seperti itu harus diteruskan ke dalam proses
peradilan pidana tanpa mempertimbangkan apakah pelakunya koperatif atau tidak dalam melunasi
utang-utangnya.

Di samping itu, pemberian release and discharge, adalah sebuah inkonsistensi yang menampakkan
secara nyata adanya ketidakadilan, sehingga dapat menyentuh rasa keadilan masyarakat. Kebijakan
tersebut telah melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang diakui
dan diterima sebagai asas fundamental oleh bangsa-bangsa beradab, sehinga perlu dituangkan dalam
konstitusi sebagai constitutional right.

Kalaupun ada kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI yang telah diproses dengan hukum pidana, itu
tidaklah mendapatkan respons hukum yang memadai. Ada kasus-kasus yang telah berada pada tahap
penyidikan, tapi kemudian dihentikan penyidikannya karena adanya berbagai intervensi. Ada pula
kasus-kasus yang telah diajukan ke pengadilan, tapi kemudian pelakunya dilepaskan atau dibebaskan.
Ada pula yang pelakunya dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan kemudian
dipidana, tapi sebelum dieksekusi terpidana telah kabur atau melarikan diri terlebih dahulu ke luar
negeri. Bahkan ada pula yang diadili secara in-absentia, meskipun pelaku dipidana, namun hukum
tidak dapat berbuat banyak karena pelakunya tidak bisa diekstradisi. Fakta-fakta seperti itu dapat
menggambarkan kondisi tentang betapa bobroknya penegakan hukum di republik ini.

Adanya tarik ulur secara politis antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah dalam
penyelesaian masalah BLBI patut pula ditanggapi atau bahkan dicurigai adanya sesuatu yang tidak
beres dalam penyelesaian masalah BLBI. Dengan segala hak konstitusional yang dimiliki DPR,
nampaknya mereka tidak berdaya menghadapi pemerintah dengan segala argumentasinya

Ketidakberesan lain dalam penanganan kasus BLBI semakin terkuak dengan tertangkapnya jaksa Urip
Tri Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu yang lalu. Urip kemudian
ditetapkan sebagai tersangka menerima suap terkait dengan penanganan penghentian penyidikan
kasus BLBI atas sama Syamsul Nursalim.
Pasca tertangkapnya Urip ada keinginan untuk mendesak agar KPK mengambil alih penanganan
kasus penyalahgunaan dana BLBI, baik yang ditangani oleh kejaksaan maupun yang ditangani oleh
kepolisian. Persoalan hukum yang timbul kemudian adalah perdebatan tentang apakah KPK
mempunyai kewenangan untuk menangani kasus-kasus yang terjadi sebelum komisi itu terbentuk atau
tidak.

Akar permasalah yang diperdebatkan terkait dengan asas non retroaktif (tidak berlaku surut) yang
merupakan konsekuensi yuridis dari asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) sebagai suatu asas
fundamental dalam hukum pidana. Dalam konteks asas itu, hukum pidana tidak dapat dikenakan
kepada perbuatan-perbuatan yang terjadi sebelum undang-undang diberlakukan. Artinya, ketentuan-
ketentuan pidana tidak dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang terjadi sebelum undang-
undang pidana berlaku.

Asas non retroaktif dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari perlakuan sewenang-wenang
aparat penegak hukum yang menggunakan undang-undang yang berlaku setelah perbuatan dilakukan.
Dalam konteks asas tersebut hanya perbuatan-perbuatan yang telah dikriminalisasi dalam suatu
undang-undang sebagai tindak pidana orang dapat dituntut dan dijatuhi pidana. Mesti pula dipahami,
bahwa yang menjadi sasaran dari asas non retroaktif ini adalah perbuatan atau perilaku yang dapat
dipidana, sehingga ia berada dalam ruang lingkup hukum pidana materil.

Sedangkan kewenangan penyidikan berada dalam ranah hukum pidana formil, sehingga dengan
demikian kewenangan KPK untuk mengambil alih penanganan kasus-kasus penyalahgunaan dana
BLBI tidak perlu dikaitkan dengan asas non retroaktif. Dasar hukum untuk melakukan pengambil
alihan sudah dirumuskan pembuat undang-undang secara eksplisit dalam Pasal 68 UU Nomor 30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam pasal itu ditegaskan,
bahwa semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses
hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Hanya saja persoalan selanjutnya adalah apakah KPK memiliki keberanian untuk mendobrak
pemahaman yang sempit tentang asas non retroaktif. Namun keberanian itu perlu didukung oleh
kesamaan persepsi antara sesama aparat penegak hukum dalam konteks sistem peradilan pidana

Anda mungkin juga menyukai